RELASI ISLAM DAN NEGARA 1

RELASI ISLAM DAN NEGARA 1
Haidir
Dewan Pimpinan Daerah IMM Sulawesi Tenggara
e-mail: haidirmsh2l2@gmail.com

A. Pengertian Negara

Istilah Negara merupakan terjemahan dari kata asing, yakni state
(bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa
Prancis). Kata state, staat, etat diambil dari kata bahasa latin status atau
statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang
memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.Secara terminologi, Negara
adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang
mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan
mempunyai pemerintah yang berdaulat. Dengan demikian unsur dalam
sebuah Negara terdiri dari masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah),
dan adanya pemerintah yang berdaulat.2

Secara khusus, pengertian negara dapat diketahui dari beberapa ahli
kenegaraan, antara lain:
1.


Menurut Aristoteles, negara adalah persekutuan dari keluarga dan
desa guna memperoleh hidup yang sebaik - baiknya.

1

Dibuat sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Darul Arqam Paripurna Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah di Asrama Haji Kendari Sulawesi Tenggara, 16-22 Februari
2014
2

http://memey7894.blogspot.com/201//06/makalah-hubungan-agama-dannegara_24.html (diakses pada tanggal 12 Desember 2014)
1

2.

Menurut Karl Marx, negara adalah alat yang berkuasa (kaum borjuis/
kapitalis) untuk menindas atau mengeksploitasi kelas yang lain
(proletariat/ buruh).


/.

Menurut Logemann, negara adalah organisasi kemasyarakatan (ikatan
kerja) yang mempunyai tujuan untuk mengatur dan memelihara
masyarakat tertentu dengan kekuasaannya.

4.

Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang
terintegrasi karena punya wewenang yang bersifat memaksa dan
secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang
merupakan bagian dari masyarakat.

5.

Menurut Kranenburg, negara adalah suatu sistem dari tugas - tugas
umum dan organisasi yang diatur dalam usaha mencapai tujuan yang
juga menjadi tujuan rakyat yang diliputinya, sehingga perlu adanya
pemerintahan yang berdaulat.


6.

Menurut Mr. Soenarko, negara adalah suatu organisasi masyarakat
yang mengandung tiga kriteria yaitu ada daerah, warga negara, dan
kekuasaan tertentu.

7.

Menurut Meriam Budiarjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang
rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhasil menuntut
warganya untuk taat pada peraturan perundang - undangan melalui
penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah/.

Teori tentang terbentuknya negara:
a) Teori

Kontrak

Sosial


(Social

Contract),

dibentuk

berdasarkan

perjanjian–perjanjian masyarakat.

3

Ibid

2

b) Teori Ketuhanan, dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin
negara ditunjuk oleh Tuhan
c)


Teori Kekuatan, dibentuk dengan penaklukan dan pendudukan.

d) Teori Organis, Negara disamakan dengan makhluk hidup, manusia
atau binatang individu yang merupakan komponen-komponen
negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu.
e) Teori Historis, Lembaga-lembaga social tidak dibuat, tetapi tumbuh
secara revolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia 4.
Bentuk-bentuk Negara:
a) Negara Kesatuan, merupakan bentuk suatu Negara yang merdeka
dan berdaulat. Dengan satu pemerintah yang mengatur seluruh
daerah.
b) Negara serikat, Kekuasaan asli dalam negara federasi merupakan
tugas Negara bagian, karena ia berhubungan dengan rakyatntya,
sementara Negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan
luar Negeri. Pertahanan Negara. Keuangan dan urusan pos. selain
kedua bentuk Negara tersebut. Bentuk Negara kedalam tiga
kelompok yaitu: monarki, olgarki, dan demokrasi5.

B. Relasi Islam dan Negara


Islam dan negara sudah sejak dari dulu menjadi perbincangan hangat
tiada henti dikalangan para ahli. Pembahasan islam dan negara adalah

4
5

Ibid
Ibid

3

tema yang menarik dikaji dan tak akan ada habisnya. Nurcholis Madjid
memberikan tiga alasan mengenai hal tersebut, yaitu:
1.

Kekayaan sumber bahasan

2.

Kompleksitas permasalahan


/.

Melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat,
termasuk kaum muslim sendiri6.

Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan
meyakini, bahwa hubungan antara agama dan negara dalam Islam sudah
sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak
terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat
dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari’ah (pemilik syariah),
yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari
Allah Swt. Sedangkan masalah negara (baca; politik) adalah bidang
wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalahmasalah teknis struktural dan prosedural 7.

Dengan kata lain, entitas agama dan negara adalah dua satuan yang
berbeda. Agama adalah kabar gembira dan peringatan (QS. Al-Baqarah:
119), sedangkan negara adalah kekuatan pemaksa. Agama punya khatib,
juru dakwah dan ulama, sedangkan negara punya birokrasi, pengadilan
dan tentara. Agama mempengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran

bersama, negara mempengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan
dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam dan negara adalah

6

La Ode Ismail Ahmad, (Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam (Studi atas
Konteks Ke-Indonesiaan), Millah Vol. X, Nomor 2, Februari 2011, halaman 272
7
Ibid, halaman 272-273

4

kekuatan dari luar. Hubungan antara agama dan negara yang tidak
terpisahkan itu telah diberikan teladannya oleh Nabi Saw sendiri dengan
jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad Saw
selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai
seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin
masyarakat politik (sebagai Kepala Negara)8.

J. Philip Wogemen dalam Sofyan Hadi berpendapat bahwa secara

garis besar terdapat tiga pola umum hubungan politik dan agama.
Pertama, erastianisme yaitu negara mengkooptasi agama (sekular); kedua,
pola teokrasi yaitu agama menguasai negara, dan ketiga, hubungan sejajar
antara agama dan negara9.

Eratianisme atau paham sekuler, negara dijalankan atas kesepakatan
manusia dan tidak berdasarkan agama atau frman-frman Tuhan,
meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma
agama. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang
kemudian
dipandang

menghasilkan
sebagai

masyarakat

realisasi

fantastis


Negara,
makhluk

sedangkan

Agama

manusia,

agama

merupakan keluhan makhluk tertindas. Pandangan eratianisme yang
memisakan agama dan negara. menurut saya pandangan ini pun juga
lemah. Karena kehidupan keagamaan selalu memiliki dimensi sosial dan
dengan demikian bersentuhan dengan aspek hukum yang menjadi
wewenang negara.

8


Ibid, halaman273
Sofyan Hadi, (Relasi dan Reposisi Agama dan Negara (Tatapan Masa Depan Keberagaman
Indonesia)) Millah Vol. X, Nomor 2 Februari 2011, halaman 228
9

5

Paham teokrasi dijalankan berdasarkan frman-frman Tuhan atau
dapat dikatakan bahwa ideologi negara adalah ideologi agama.
Pertanyaan kemudian bagaimana relasi islam dan negara?
Munawir Sadzali mengklarifkasikan relasi islam dan negara kedalam
tiga kelompok. Pertama, Kelompok Konservatif, yang berasumsi bahwa
Islam adalah entitas yang serba lengkap (perfect), seluruh umatnya hanya
tinggal mempraktekkan secara konsekuen dan bertanggungjawab, kapan
dan dimanapun mereka berada. Sistem pemerintahan dan politik yang
digariskan Islam tak lain hanya sistem yang pernah dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad SAW dan empat al-Khulafā’ ur-rasyidīn. Kelompok ini
secara spesifk terbagi lagi kedalam dua aliran yakni tradisionalisme dan
fundamentalisme. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap ingin
mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan keempat khalifah,
dan tokoh sentral dari kalangan ini adalah Muhammad Rasyid Ridha.
Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi
sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada
konsep Islam secara total dan menolak konsep selainnya, dan Abu al-A’la
al-Maududi adalah salah satu tokoh utamanya. Kedua, Kelompok
Modernis. Kelompok ini memandang bahwa Islam mengatur masalah
keduniaan (termasuk pemerintahan dan negara) hanya pada tataran nilai
dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat bisa mengambil sistem
lain yang dirasa bernilai dan bermanfaat. Diantara tokoh kelompok ini
adalah Muhammad ‘Abduh, Muhammad Husain Haikal dan Muhammad
As’ad. Ketiga, Kelompok Sekuler. Yang memisahkan Islam dengan urusan
pemerintahan, karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur

6

masalah keduniawian termasuk pemerintahan dan negara. Tokoh aliran
ini yang paling terkenal dan bersuara lantang adalah ‘Ali ‘Abd ar-Raziq10.

Gagasan yang menyatakan bahwa negara, sebagai sebuah instrumen
politik, harus dipisahkan dari semua ajaran agama (Islam), menurut
Abdurrahman Wahid dalam La Ode Ismail Ahmad, gagasan itu tidak
hanya menolak kaitan yang mungkin antara Islam dan negara, tetapi juga
mengabaikan begitu saja aspek-aspek normatif Islam dalam proses sosialpolitik dan mekanisme pemerintahan negara 11. Tentu sangat tidak
mungkin jika islam dipisahkan dari negara, walaupun memang islam
tidak pernah men

Selanjutnya, benarkah islam sebagai entitas serba lengkap yang telah
mengatur segalanya termasuk didalamnya islam dan negera. Abdur
Rahman Wahid berpendapat islam sebagai jalan hidup (syariah) tidak
memiliki konsep yang jelas tentang negara. Ada dua hal yang
melatarbelakangi sehingga beliau mengatakan demikian. Pertama, islam
tidak mengenal pandangan jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin.
Kedua, besarnya negara yang dikonsepsikan menurut islam, juga tidak
jelas ukurannya. Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan
menurut islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan madinah
tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum
muslimin12.
10

Masykuri Abdilah (Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah
dan Demokrasi Modern, Tashwirul Afar, No. 7, Th. 2000) halaman 10/.
11
La Ode Ismail Ahmad, (Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam (Studi atas
Konteks Ke-Indonesiaan), Millah Vol. X, Nomor 2, Februari 2011, halaman 281
12
Abdur Rahman Wahid, (Islamku, Islam Anda, Islam Kita Semua, Jakarta: Democracy
Project, 2011) halaman 81-82

7

Roy Mottahedeh (Guru Besar Sejarah pada Universitas Harvard)
dalam Abdour Filali Ansary juga mengatakan bahwa islam tidak
mempunyai sebuah skema, sebuah sistem siap pakai, sebuah rancang
bangun (blueprint) yang dapat diajukan untuk tatanan sosial, islam
memaksakan sejumlah amat terbatas dari perintah yang ketika ditafsirkan
dengan prosedur fqih, menjawab persoalan-persoalan tersebut 1/. Menurut
Munawir Sadzali dalam La Ode Ahmad Ismail kekeliruan teoritis AlMawdudi sebagai pendukung utama teori konservatif, terutama terletak
pada kegagalannya untuk mengakui bahwa Islam tidak menawarkan
mekanisme yang tegas untuk mengatur suksesi politik atau peralihan
kekuasaan/ wewenang sebagai sebuah unsur penting dalam konstruksi
teori politik pemerintahan negara14. Selanjutnya, penulis menyimpulkan
bahwa islam tidak mesti harus menjadi ideologi sebagai harga untuk
mencapai sebuah kesejahteraan, karena dalam sejarah yang terukir dalam
al-qur’an al karim, negeri saba adalah negeri yang dipimpin oleh Ratu
Balqis seorang wanita. Dia dan rakyatnya menyembah matahari, yang
artinya jelas tidak berideologikan islam. Tetapi, mereka memiliki nilainilai keislaman tentunya.

C. Islam, Demokrasi dan Pancasila: Pandangan Keindonesiaan

Di era ini, demokrasi menjadi sistem yang diadopsi disebagain besar
belahan dunia, termasuk Indonesia negeri yang kita cintai yang memiliki
13

Abdou Filali-Ansary (Pembaruan Islam dari Mana dan Hendak ke Mana?, Bandung: Mizan,
2009) halaman 241
14
La Ode Ismail Ahmad, (Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam (Studi atas
Konteks Ke-Indonesiaan), Millah Vol. X, Nomor 2, Februari 2011, halaman 281

8

kekayaan alam berlimpah ruah, diatas dan didalamnya. Namun,
rakyatnya masih belum sejahtera, korupsi merambah dimana-mana,
generasi muda terombang-ambing dalam hidup hedonisme. Dalam
kondisi yang seperti ini ada segelintir masyarakat yang menuduh
demokrasi dan pancasila sebagai dalang dari segala macam panyakit yang
menjangkiti bangsa ini, yang paling konsisten adalah Hizbut Tahrir.

Demokrasi sebagai sistem yang menganut suara terbanyak, memang
bukan berasal dari islam, tetapi tidak berarti tidak bisa di’islamkan’.
Demokrasi dengan sistem trias politica dapat kita (umat islam) manfaatkan
sebagai upaya untuk ‘memasukkan’ nilai-nilai islam kedalam peraturan
negara.

Juga,

menurut

saya

bukanlah

sikap

yang

tepat

jika

mengambinghitamkan demokrasi, ada banyak variabel-variabel yang
terkait dengan ketidaksejahteraan bangsa ini. Untuk itu diperlukan kajiankajian yang lebih lanjut, entah itu melalui seminar ataupun penelitian.
Namun, penulis menduga bahwa amburadul-nya bangsa ini disebabkan
oleh lemahnya karakter dan tidak terkritalisasinya nilai-nilai islam dalam
pribadi warga negara.

Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia yang disusun
oleh para pendiri bangsa ini, merupakan pengkristalan nilai-nilai dan
ajaran islam. Permasalahannya sekarang mengapa pancasila tidak mampu
menjadikan Indonesia sejahtera? Sekali lagi, saya berpandangan bahwa
yang salah bukan pancasila-nya tetapi nilai-nilai pancasila belum mampu
dijalankan dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

9

Sumber:

Abdou Filali-Ansary, Pembaruan Islam dari Mana dan Hendak ke Mana?,
Bandung: Mizan, 2009
Abdur Rahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita Semua, Jakarta:
Democracy Project, 2011
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011
La Ode Ismail Ahmad, Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam
(Studi atas Konteks Ke-Indonesiaan) Millah Vol. X, Nomor 2, Februari 2011
Masykuri Abdilah, Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah
Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern, Tashwirul Afar, No. 7
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996
Munawir Sadzali, Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, ed. V.
Jakarta: UII Press, 199/
Sofyan Hadi, Relasi dan Reposisi Agama dan Negara (Tatapan Masa Depan
Keberagaman Indonesia), Millah Vol. X, Nomor 2 Februari 2011
http://memey7894.blogspot.com/201//06/makalah-hubungan-agama-dannegara_24.html. Diakses, 7 Februari 2014

10