ESTETIKA SENI KONTEMPORER DAN PENDEKATAN
ESTETIKA SENI KONTEMPORER DAN PENDEKATAN KRITIKNYA
Agus Nur Setyawan, Seni Rupa Murni, FSSR, UNS.
Abstrak: Melintasi waktu dan jaman, seni kontemporer
dengan karakteristiknya sendiri boleh dikata senantiasa
mewarnai dinamika perkembangan seni, baik dalam skala
lokal maupun global. Dengan jargon menolak kemapanan
(seni moderen), keragaman ekspresi karya-karya seni
kontemporer menyajikan semangat berkesenian yang kuat,
yang mayoritas diusung oleh para perupa (seniman) muda.
Kehadiran
seni
kontemporer,
bagaimana
pun
kontroversialnya, sebagai ungkapan artsitik penciptanya
tentu diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan artsitik,
seberapapun kerasnya ia menolak seni moderen.
Pengantar.
Tulisan berikut ini lebih merupakan suatu lontaran pertanyaan seputar
estetika seni kontemporer dalam hubungannya dengan metodologi kritiknya.
Berangkat dari asumsi yang mendasarkan diri pada tulisan Jim Supangkat “Menyela
Arus Utama”, dalam Kalam, edisi 3, 1994, p. 106, yang menyatakan: "... istilah ini
(seni rupa kontemporer-pen.) muncul pada awal 1970-an sebagai reaksi terhadap
prinsip-prinsip seni rupa modern, ...", maka analisis kritis terhadap seni rupa
kontemporer memiliki paradigmanya sendiri, sehingga tidaklah relevan untuk
membuat dan merumuskan serangkaian kesimpulan analitis terhadapnya dengan
pendekatan paradigma seni rupa modern.
Situasi ini mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan; mengapa seni
rupa kontemporer tidak layak untuk dianalisis dengan pendekatan kritik seni
modern? Apa dan bagaimana sesungguhnya seni rupa kontemporer itu?, serta,
proposal apa yang kiranya memadai untuk diajukan, guna menjawab pertanyaan
mendasar, pendekatan kritik apakah yang sesuai dengan gejala atau wacana
perupaan seni kontemporer itu. Meski tulisan ini diawali oleh serangkaian
pertanyaan, diskusi tidak berpretensi untuk merumuskan sebuah jawaban final atas
sejumlah pertanyaan tersebut. Bisa saja pembahasan malah menghasilkan
serangkaian pertanyaan baru, mengingat masih terbukanya tesis Jim Supangkat di
atas untuk perdebatan lanjut.
Estetika Seni Modern
Dalam wacana seni rupa, sejarah mencatat berbagai gejala perupaan yang
secara terus-menerus berkembang, ditandai terutama dengan terjadinya perubahan
sebagai manivestasi tuntutan kreatif bagi para pelakunya. Perubahan yang
berlangsung dimungkinkan adanya semacam tuntutan dari dalam (internal pursuit),
yang memaksa para seniman dari belahan dunia mana pun dan dari masa kapan pun
untuk terus menemukan jatidiri atau kepribadiannya. Fenomena arus pengejaran
penemuan kepribadian, kekhasan gaya, keunikan goresan, pahatan dan bahkan
konsepsi, terutama dicatat paling radikal terjadi pada apa yang kemudian disebut
sebagai seni rupa modern.
Maka, begitulah, dalam arus besar seni rupa modern, sejarah kemudian
mencatat munculnya berbagai gaya, atau isme, yang bahkan dalam setiap gaya itu
sendiri menghadirkan keragaman gaya pribadi dari para senimannya. Bisa dilihat
sebagaimana tampak dalam aliran impressionisme misalnya, Monet menampilkan
perupaan pelukisan yang berbeda dengan Edgar Degas, atau Auguste Renoir. Dalam
aliran Cubisme, lukisan Piccaso sangat tidak sama dengan lukisan kubisme-nya
2
Marcel Duchamp. Demikian pula dalam ekspressionisme, Wasily Kandinsky mirip
saja tidak dengan karya Paul Klee.
Dalam perkembangannya, seni (rupa) modern baik yang terjadi di Barat
(tempat lahir dan berkembangnya modernisme), dan sudah barang tentu juga diikuti
kemudian di Indonesia, dianggap telah tidak lagi mampu menampung gagasangagasan faktual yang terjadi dalam lingkup sosialnya. Lahirnya paham postmodernisme merupakan suatu reaksi resistensi terhadap modernisme yang melalui
kekuatan hegemoninya telah dianggap teralienasi dari masyarakatnya. Sebagai
jawaban atas situasi tersebut, seni rupa post-modern banyak mengangkat persoalanpersoalan 'multikultural', 'gender', 'sosial', dan sebagainya, sebagai bentuk pluralitas
gagasan (Asmudjo Jono Irianto, Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-Negara
Non Blok: Mencari Perspektif Selatan?I dalam Jurnal Seni Rupa ITB, edisi II/1995,
p. 27), yang menjadi lahan pilihan bagi para penganut paham post-modernisme.
Istilah modern sendiri yang dijadikan paradigma penciptaan oleh para
seniman, melekat ke dalam bentuk-bentuk ekspresi seni rupa merujuk kepada
bentuk ekspresi perupaan yang dalam proses penciptaannya disemangati oleh paham
modernisme yang mengemuka menjadi paham universal, diilhami oleh terjadinya
revolusi Perancis dan revolusi industri, pada awal abad sembilan belas. Munculnya
berbagai temuan di bidang mekanik dan mesin uap, telah memberi inspirasi bahwa
manusia, dalam hal ini adalah individu, merupakan pusat dari segala-galanya.
Dalam wacana seni, hakekat seni modern dipengaruhi oleh wataknya yang
individualistis, sehingga ekspresi keseniannya merupakan ekspresi personal.
3
Filosofi seni modern sampai pada tahapan menemukan dirinya sendiri, yang terlepas
dari kaidah-kaidah di luar dirinya. Sebagaimana dikutip Jim Supangkat, Clemen
Greenberg mengemukakan : "... seni adalah tujuan pada dirinya sendiri dan estetika
menjadi otonom yang terlepas dari agama, politik, bahkan moralitas." Konsekuen
dengan pemahaman otonomisasi seni, modernisme menuntut orisinalitas dan
kehakekatan kreasi (Jim Supangkat , 'Komeng Dalam Pasca Modern', dalam katalog
pameran patung Nyoman Nuarta, 1989) yang pada gilirannya melahirkan berbagai
gaya penciptaan, baik sebagai gaya yang menandai ciri jamannya, sehingga muncul
berbagai aliran atau isme (dari impresionisme, ekspersionisme, dan seterusnya),
demikian pula berbagai gaya personal lahir sebagai akibat dari perburuan kebaruan
ciptaan. atau dalam kalimat lebih singkat, Harold Rosenberg, sebagaimana dikutip
Herberd Read, menyebutnya: "modern berarti tradisi kebaruan" (Herberd Read, A
Concise History of Modern Sculpture, Frederrick A. Praeger, New York,
Washington, 1964, p. 12).
5
.
Sifat otonom seni modern yang demikian canggih pada akhirnya berimplika-
si lahirnya estetika seni modern yang otonom pula, yang terbebas dari kaidah-kaidah
di luar dirinya. Meski Ignas Kleden menyatakan bahwa estetika secara etis dan
politis selalu bersifat netral (Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan,
dalam Prisma edisi 5 Mei 1987, p4) akan tetapi sejalan dengan sifat otonomnya, ia
(estetika) tidak mempunyai komitmen moral atau pun kuwajiban politik. Lebih jauh
Kleden menegaskan, adanya campur tangan agama, politik atau pendidikan dalam
4
estetika hanya akan menjauhkannya dari ujudnya, dan oleh sebab itu mengakibatkan
pertumbuhan seni yang counter productive. Pada titik inilah rupanya yang
mengakibatkan seni modern, dalam pandangan para penganjur paham postmodernisme, harus ditolak, serta harus ditemukan cara-cara baru (dalam
berskspresi) yang mampu mewadahi dan menyuarakan aspirasi pluralitas
(kemajemukan) dan sekaligus mengangkat realitas kontekstual. Dalam pandangan
Irving Sandler, sebagaimana dikutip Asmudjo Jono Irianto dalam Konflik Tradisi
dan Sosial-Politik Seni Rupa Kontemporer, menyatakan, kecenderungan postmodern ditinjau secara historis menempatkan seni post-modern sebagai sekumpulan
gaya yang menggantikan gaya modernisme, serta secara sosiologis merupakan
perubahan radikal dari masyarakat industri (yang menghasilkan seni modern),
menjadi masyarakat post-industrialis (yang menghasilkan seni post-modern). Sudah
barang tentu fenomena ini terbatas dalam lingkup perubahan yang terjadi dalam
wacana baik sosial, historis, maupun seni di Barat, dimana proses kelahiran dan
perkembangannya berlangsung secara kontinyu dan linier.
Estetika Seni Rupa Kontemporer
Berkembangnya paham post-modernisme bisa dikatakan sebagai lokomotif
bagi tumbuhnya kecenderungan gaya perupaan seni kontemporer, di mana aspek
pluralitas menjadi idiom utama dalam penciptaan. Sejalan dengan sifatnya yang
pluraistis ini, dalam pemahaman reaktif terhadap seni modern, berbagai ungkapan
seni yang dalam masa modern ditolak dan dipinggirkan dengan sebutan tradisional,
5
lokal dan berbau etnik, justru mendapatkan tempatnya. Tema-tema sosial, politik,
bias jender, menjadi tema favorit bagi para perupanya, dan dengan memanfaatkan
berbagai benda dan produk jadi (ready made object) para seniman kontemporer
bertutur dan mengungkapkan gagasan-gagasannya. Dalam pengejawantahannya,
para seniman kontemporer sangat akrab dengan cara pengungkapan melalui karyakarya instalasi, performence art (sering dilakukan dengan cara kolaborasi dengan
beberapa seniman dari disiplin seni lain) serta happening art, di samping ada pula
yang diwujudkan dalam bahasa perupaan yang bergaya representasional (Jim
Supangkat, Di Mana Letak Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer
Indonesia? , dalam Outlet, 2000, Yayasan Seni Cemeti, p. 18). dan lebih jauh lagi
malahan Jim menyebutnya sebagai kembalinya tradisi realis.
Konsep dan batasan seni kontemporer sendiri hingga saat ini agaknya masih
belum mampu dirumuskan secara eksplisit. Rupa-rupanya, dalam wacana seni rupa
kontemporer, lebih diramaikan oleh maraknya para pekerja seni dalam
menghasilkan karya, dibanding para kritikus yang berpikir merumuskan konsep dan
definisi. Dalam kumpulan penelitian peta seni rupa kontemporer Yogyakarta yang
dikemas dalam Outlet (Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, 2000) para peneliti tidak
merumuskan secara gamblang objek kajiannya, kecuali berpegang pada fenomena
gerakan yang terlembaga yang memanifesatsikan gerakannya dalam menolak dan
menentang sejumlah 'konvensi' yang dianggap sebagai produk pemikiran para
modernis. Dalam konteks Indonesia, maka gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
kelompok Gerakan seni Rupa Baru (GSRB), dan kelompok Kepribadian Apa yang
6
dimanifestasikan pada era 70-an, menjadi catatan penting dalam historiografi seni
kontemporer di Indonesia. Dan rumah seni Cemeti, Yogyakarta menjadi galeri
penting dalam aktivitas penggiatan seni rupa kontemporer dalam sepuluh tahun
terakhir ini.
Mencermati gejala perupaan dalam wacana seni rupa kontemporer, menarik
untuk melontarkan sejumlah pertanyaan, ketika ekspresi seni-nya harus dihadapkan
kepada tuntutan estetika. Dikaitkan dengan seni rupa kontempore, yang paradigma
penciptaannya menyodorkan aspek kontekstualitas ruang dan waktu, atau dengan
kata lain dengan realitas kulturalnya, apakah perwujudan perupaannya mampu
dihadikran sebagai citra artistik sebagai kristalisasi pengalaman estetis senimannya?
Pertanyaan ini wajar dan sah saja dikemukakan, mengingat pretensi penciptaan dan
visualisasinya, bahkan aktivitas proses penciptaannya diniatkan sebagai aktivitas
seni (rupa)! Apakah estetika seni kontemporere juga merupakan suatu kristalisasi
ekspresi individu senimannya yang memiliki sifat otonomnya sendiri sebagaimana
otonomnya estetika seni modern?
Munculnya pertanyaan di atas didorong oleh kenyataan, tidak sedikit bentukbentuk ekspresi seni kontemporer yang hadir di jalanan, di tanah lapang, di pusat
keramaian, atau bahkan yang di gelar di galeri sekalipun (jangan lupa bahwa galeri
lahir sebagai konsekuensi logis dari pemikiran seni modern, sebagai bagian dari
suprastruktur seni modern!), tidak mudah dipahami dan dilacak tanda-tanda
estetisnya. Demikin pun bila dibandingkan dengan aktivitas demo politik (seperti
yang marak dalam lima tahun terakhir ini) yang sering dilengkapi dengan kegiatan
7
happening art, atau performance art. Dalam bahasa yang agak sinis, gagasan yang
ingin disampaikan oleh seniman kontemporer bisa kalah lugas bila dibanding
dengan apa yang dilakukan oleh para demonstran tersebut. Dalam bahasa Asmudjo
dikatakan, sifat plural seni kontemporer banyak menyimpan paradoks, dengan
contoh, "karya-karya yang dibuat
dalam kepentingan lingkungan, misalnya,
tidaklah memiliki kekuatan advokasi sebesar lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang itu, seperti Green Peace."10
Ilustrasi berikut ini kiranya dapat memberikan gambaran lebih kongkrit
tentang pernyataan di atas.
Melalui pameran tunggalnya yang dikemas dalam Saya Makan Kamu
Makan Saya, Mella Jaarsma menggelar karya-karyanya di dua tempat sekaligus.
Tanggal 7 hingga 30 Nopember 2000 di Rumah Seni Cemeti, dan 9 hinga 30
Nopember di Lembaga Indonesia Perancis. Tak cukup dengan karya etsa dan
instalasi, bahkan seniwati kelahiran Belanda 1960 ini melengkapinya dengan
performance art (dipergelarkan di Lembaga Indonesia Perancis di bawah judul
Under Cover), serta pemutaran video untuk pamerannya di Rumah Seni Cemeti.
Ada sekitar 23 bingkai karya etsa berukuran 25 X 35 Cm yang memenuhi
dua sisi dinding ruang pamer, serta 10 buah kolase pada sisi lainnya yang berukuran
sedikit lebih besar. Di antara lukisan-lukisan itu, sebuah karya instalasi digelar di
lantai di bawah judul Butuh Disuap? Terdiri dari selembar plastik biru berukuran
sekitar dua kali tiga meter, dengan empat buah baskom tersusun di tengah. Pada
masing-masing ujung plastik diletakkan sebuah dingklik dan sebuah cobek lengkap
8
dengan alat penggilasnya. Semula materi di atas adalah perangkat performance art
yang dipergelarkan pada saat pembukaan pameran. Dipergelarkan oleh dua orang
gadis yang saling menyuapkan nasi kuning dari dalam baskom.
Sebuah karya instalai lainnya dirangkai tergantung di salah satu pojok
ruangan. Judulnya Saya Goreng Kamu 1(Gb. 1), dan Saya Goreng Kamu 2. Sebuah
instalasi lagi mengambil ruangan khusus, tersusun berbagai alat pemanas (mulai
dari keren yang dibuat dari tanah liat, kompor minyak hingga kompor gas),
kesemuanya lengkap dengan sebuah alat penggorengan di atas masing-masing alat
pemanas tersebut. Pada setiap wajan (alat penggoreng) yanng berjumlah 10 buah
itu, terendam selembar foto bergambar situasi ruangan dapur, tempat di mana alat
memasak itu 'semula' berada. Judulnya My Kampung's Privat Place.
Di antara semua itu, karya Saya Goreng Kamu 1 dan 2 agaknya yang paling
menarik perhatian. Digantungkan secara berjajar, kedua karya ini menggunakan
kulit binatang yang telah diawetkan sebagai idiom subjek metaforiknya dengan cara
apa Mella ingin menyampaikan pesannya. Karya pertama berupa samakan kulit
tupai yang dirangkai sedemikian rupa, hingga membentuk semacam tabung vertikal,
mengikuti bentuk rangka kawat setinggi satu setengah meter, dengan diameter
sekitar setengah meter.
Rangkaian kulit tupai ini tergantung di depan sebuah dinding, tempat di
mana
dua buah cetak foto seukuran kertas dobel kuarto ditempelkan vertikal
secata terpisah. Foto pertama setinggi mata memandang, menggambarkan sebuah
kepala seseorang yang dikerubuti kulit tupai, sehingga yang nampak tinggal bagian
9
matanya saja. Foto kedua yang ditempel tepat di atas garis lantai, mengambil
gambar bagian sepasang telapak kaki telanjang dengan beberapa helai kulit tupai
menutup sebagian kaki tadi.
Karya instalasi ke dua, (Saya Goreng Kamu 2) disusun dengan cara sama,
hanya kali ini yang menjadi subject matter adalah lembaran-lembaran kulit ular,
lengkap dengan bagian kepala yang sengaja disisakan. Sebagaimana instalasi Saya
Goreng Kamu 1, Saya Goreng Kamu 2 juga dilengkapi dengan karya foto. Kali ini
sebanyak tiga buah, di mana satu diantaranya di pasang di bagian tengah di antara
dua lainnya, sejajar garis pusar manusia.
Untuk mencoba merenungkan makna pesan yang terkandung dalam kedua
karya instalasi ini, tak bisa dipisahkan kaitannya dengan judul karya, maupun judul
proyek pameran Mella kali ini. Bahkan lebih dari itu, dengan cara menyimak karyakarya lain yang menjadi satu paket dalam keseluruhan sajian pameran ini, yaitu,
Saya Makan Kamu Makan Saya, maka akan teraba tema atau topik yang menjadi
perhatian Mella.
Setidaknya terdapat beberapa tanda kunci yang dapat membantu menggiring
perenungan kita, ke arah rumusan tema pokok apa yang menjadi gagasan dasar
senimannya. Penanda-penanda itu meliputi subjek mater jari-jari yang menyembul,
menunjuk ke berbagai arah dari karya-karya kolasenya, lalu materi instalasi berupa
kulit tupai dan kulit ular, kemudian judul karya, dan sudah barang tentu judul
pameran.
10
Melalui berbagai materi dan 'simbolisasi' itu, Mella agaknya tengah
memotret situasi aktual yang dihadapinya saat ini, yang telah menjadi bagian dari
hidup kesehariannya, semenjak ia menetap di Yogyakarya. Meliputi situasi sosial
politik yang marak dengan euforia reformasi, yang membuka jalan baru bagi
kehidupan politik yang lebih demokratis di Indonesia.
Subjek Matter Jari Sebagai Sistem Tanda ?
Apa yang menjadi pertimbangan Mella melalui pilihan idiomatis jari
telunjuk, potret dapur, serta tupai dan ular, agaknya didasarkan pada kelekatan
asosiatif yang menempel pada ikon-ikon itu. Dengan mengamati Saya Goreng
Kamu 1 dan 2 yang mengangkat material kulit tupai dan ular, tanpa harus
mengkaitkannya dengan petani, dikaitkan dengan manusia pada umumnya, kita
akan tergiring kepada asosiasi, keduanya adalah musuh manusia yang harus
dibasmi.
Demikian halnya dengan idiom jari yang lekat dengan asosiasi alat
menunjuk. Baik dalam fungsi eksistensialnya ketika diarahkan kepada orang lain,
atau pihak lain, maupun saat berperan sebagai pengganti eksistensi si empunya jari
tersebut. Secara konotatif jari ini menjelaskan perbedaan polaritas dikotomis, siapa
aku-siapa kamu. Atau lebih ekstrim lagi, dalam konstelasi politisnya berarti kamu
adalah musuh saya.
11
Pada sisi yang lain, melalui karya My Kampung's Privat Place, Mella
rupanya lebih menyuarakan kerinduannya akan pluralitas kehidupan yang pernah
dinikmatinya, yang tak lagi menjadi kekayaan wacana bermasyarakat dalam
beberapa waktu belakangan ini. Melalui penampilan potret situasi dapur dengan
kekhasannya dan karakteristiknya masing-masing, Mella sedang menghadirkan
kembali gambar-gambar dari realitas kehidupan masyarakat di sekitar kampungnya
(Yogyakarta), yang merefleksikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia. Kurang
lebih ia ingin mengatakan, keragaman itu adalah milik pribadi yang musti
disembunyikan (dapur di Yogyakarta, umumnya menempati struktur ruangan di
bagian belakang rumah) dan berada dalam kesadarannya masing-masing. Maka
pada saat ia dimunculkan ke permukaan, ketika kekurangan dan kelebihan isi dapur
(pluralitas) masing-masing sudah menjadi bahasa sehari-hari, hal itu menjadi saling
menuding dan mengabarkan perbedaan. Lebih dari itu, mungkin juga kesenjangan.
Seni rupa kontemporer dengan segala kelenturan bahasa ungkapnya, bagi
Mella Jaarsma telah menjadi 'juru bicara' yang sangat fasih dari sejumlah
gagasannya. Dengan latar belakang pendidikannya di tiga lingkungan berbeda (Fine
Art Academy 'Minerva', Groningen, Netherland, Institut Kesenian, Jakarta, dan
Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, kedua yang terakhir di Indonesia), serta
serangkaian pameran seni, baik secara tunggal maupun kelompok di berbagai kota
dan negara, sudah barang tentu telah memberikan banyak referensi dan
perbendaharaan estetis yang penting bagi Mella.
12
Persoalannya adalah, kalau karya seni rupa kontemporer berpretensi
menyampaikna nilai-nilai pesan moral, politik, sosial dan sebagainya, dengan
berbagai idiom yang bisa dipinjam dari benda-benda yang bisa ditemuinya,
mengapa bahasanya menjadi kalah lugas bila dibandingkan dengan demo-demo
politik yang sering dilengkapi dengan performance art? Sebagai catatan, bersamaan
terbukanya katup demokrasi di Indonesia, berbagai demontrasi mahasiswa marak
digelar, dan performance art menjadi bagian tak terpisahkan dari aksi tersebut.
Pertanyaan ini wajar saja mengemuka berkait pada kenyataan, menyaksikan
sebuah pameran seni rupa kontemporer masih sering memaksa penonton untuk
mengernyitkan dahi untuk mampu membaca pesan serta menangkap nilai yang ingin
disampaikan lewat berbagai model perupaan yang sering tak mampu menimbulkan
getaran estetis penontonnya. Bahkan tak jarang membingungkan. Menjawab
pertanyaan ini, Mella berdalih bahwa: " …estetika mereka (demonstran-pen.) sangat
verbal" katanya. Sebaliknya ia juga menampik kalau karyanya dikatakan simbolis.
"Saya mengekspresikan gagasan saya, dengan cara yang saya suka dan saya bisa,"
katanya menjelaskan.11
Tampaknya masih diperlukan sejumlah argumentasi untuk menjelaskan
kedudukan kedua gejala di atas. Di lain pihak argumentasi lain juga mengemuka
untuk memperjelas pertanyaan tadi. Betulkah pengamat pameran (penonton) yang
berlatar belakang pendidikan seni sekali pun, mampu menangkap pesan nilai dan
makna karya seni kontemporer tanpa membaca pengantar dari senimannya?, ketika
berhadapan dengan sejumlah benda sehari-hari seperti alat penggorengan dan
13
kompor?, patung-patung jari-jemari yang ditempel di dinding, atau menyembul dari
sebuah kanvas dengan untaian kalung terjulur?
Betulkah sajian rangkaian kulit ular dan tupai yang digantung akan sertamerta diasosiasikan kepada konotasi musuh dan bukan kepada bahan pakaian atau
ikat pinggang?
Pertanyaan-pertanyaan di atas wajar mengemuka, ketika pengamat
dihadapkan pada sebuah sajian karya seni rupa (kontemporer) yang spirit
penciptaannya menolak kaidah estetika seni modern, yang dilandasi oleh semangat
kebaruan, serta bermain di wilayah artistik yang diperas kedalam wujudnya yang
simbolistis. Ketika karya seni rupa gagal menghadirkan dan meramu subject matternya kedalam wujud simbolis-metaforiknya, maka ia hanya akan berkutat di wilayah
tanda-tanda (sign) saja. Sedang isinya (content) sekedar sejumlah petanda belaka.
Lalu, Saya Makan Kamu Makan Saya-nya Mella ini sebuah metafora cermin sosial,
atau sekedar sebuah petanda sosial?
Dalam contoh ini, selain karya Mella, simak juga karya Yustoni Volunteero
yang bertitel Open Your Freezer and Find New Cloths For The Fresh President,
1997 (Gb. 2), serta dalam bentuk happening art karya Harsono Korban I/Yang Mati
Terbakar, 1998 (Gb. 3).
Wacana Kritik Dalam Estetika (seni rupa )Kontemporer.
Dalam tradisi modernisme, terbangun suatu warisan atau semacam
infrastruktur yang melengkapi, dan dengan demikian menjadi bagian dari kesatuan
sistem perkembangannya, beberapa disiplin dan institusi, seperti misalnya kritik
14
seni, apresiasi seni serta galeri. Hal itu dimungkinkan kiranya oleh sifat
homogenitas paradigmatiknya dalam wujud otonomi estetikanya yang mati-matian
mencari hakekat kebaruan. Pada sisi lain, tradisi seni modern juga memungkinkan
tumbuhnya linieritas historiogrfinya oleh sebab temuan-temuan konseptual yang
melatar-belakangi kreatifitas penciptaannya.
Berbalik situasinya dengan seni kontemporer, yang terang-terangan atau
tidak, dengan tetap setia mendasarkan diri pada pernyataan Jim Supangkat bahwa
seni kontemporer merupakan ekspresi reaksi penolakan terhadap seni dalam tradisi
modernisme, keragaman ekspresi, keragaman idiom perupaan, keragaman medium
yang kesemuanya dikemas dalam paham pluralitas, belum memberi kesempatan
bagi lahirnya suatu pendekatan kritik yang memadai.
Sudah barang tentu metode kritik yang selama ini berkembang tidak begitu
saja dapat diterapkan guna menganalisis ekspresi penciptaan seni kontemporer,
oleh sebab metoda kritik seni tersebut lahir sebagai bagian dari tradisi modernisme.
Dengan kata lain, adanya perbedaan paradigma penciptaan serta merta memerlukan
alat kritik yang berbeda pula bagi paradigma penciptaan lainnya.
Persoalannya adalah, apakah seni kontemporer yang lahir sebagai ekspresi
penolakan terhadap tradisi modernisme, ekspresi penciptaan dan perupaannya masih
menjadi bagian dan warisan dari tradisi modernisme itu sendir? Atau, benarkah
bahwa seni kontemporer sungguh-sungguh merupakan suatu medan ekspresi yang
benar-benar telah mampu membebaskan diri dari paham modernisme, sehingga
dengan demikian memiliki otonomi estetikanya sendiri, yang sama sekali tidak
15
sekedar berlawanan, namun berbeda dengan seni modern? Bila demikian halnya,
lalu alat kritik yang bagaimanakah yang sesuai dan memadai secara konseptual
dengan tradisi seni kontemporer, sesuai dengan paradigma pluralisme dan
keragaman konsep, proses dan ekspresi penciptaanya? Kalau bukan dengan jargonjargon kreatifitas, inventifitas, personalitas dan sejumlah kriteria kehakekatan seni
modern, apakah analisis dengan pendekatan semiotik bisa menjadi alternatif alat
kritik guna melengkapi wacana estetika seni kontemporer. Atau seni kontemporer
memang tidak memerlukan itu semua?
5
Herberd Read, A Concise History of Modern Sculpture, Frederrick A. Praeger, New York,
Washington, 1964, p. 12.
10
Asmudjo J. Irianto, loc cit., p. 27.
11
Wawancara berlangsung di ruang pamer Rumah Seni Cemeti, 9 Nopember 2000.
Gb. 1
Gb. 2
16
Gb. 3
DAFTAR PUSTAKA
Asmudjo Jono Irianto, Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-Negara Non Blok:
Mencari
Perspektif Selatan?, dalam Jurnal Seni Rupa ITB, edisi II/1995.
_____________, Konflik Tradisi dan Sosial-Politik Seni Rupa Kontemporer
Yogyakarta Era '90-an,
dalam Outlet, Yayasan Seni Cemeti, 2000
Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, dalam Prisma edisi 5 Mei
1987
Jim Supangkat, Menyela Arus Utama, dalam Kalam, edisi 3, 1994.
____________, katalog pameran patung Nyoman Nuarta, 1989.
____________, Di Mana Letak Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer
Indonesia? , dalam Outlet, 2000, Yayasan Seni
Read, Herberd, A Concise History of Modern Sculpture, Frederrick A. Praeger,
New York,
Washington, 1964.
17
Agus Nur Setyawan, Seni Rupa Murni, FSSR, UNS.
Abstrak: Melintasi waktu dan jaman, seni kontemporer
dengan karakteristiknya sendiri boleh dikata senantiasa
mewarnai dinamika perkembangan seni, baik dalam skala
lokal maupun global. Dengan jargon menolak kemapanan
(seni moderen), keragaman ekspresi karya-karya seni
kontemporer menyajikan semangat berkesenian yang kuat,
yang mayoritas diusung oleh para perupa (seniman) muda.
Kehadiran
seni
kontemporer,
bagaimana
pun
kontroversialnya, sebagai ungkapan artsitik penciptanya
tentu diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan artsitik,
seberapapun kerasnya ia menolak seni moderen.
Pengantar.
Tulisan berikut ini lebih merupakan suatu lontaran pertanyaan seputar
estetika seni kontemporer dalam hubungannya dengan metodologi kritiknya.
Berangkat dari asumsi yang mendasarkan diri pada tulisan Jim Supangkat “Menyela
Arus Utama”, dalam Kalam, edisi 3, 1994, p. 106, yang menyatakan: "... istilah ini
(seni rupa kontemporer-pen.) muncul pada awal 1970-an sebagai reaksi terhadap
prinsip-prinsip seni rupa modern, ...", maka analisis kritis terhadap seni rupa
kontemporer memiliki paradigmanya sendiri, sehingga tidaklah relevan untuk
membuat dan merumuskan serangkaian kesimpulan analitis terhadapnya dengan
pendekatan paradigma seni rupa modern.
Situasi ini mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan; mengapa seni
rupa kontemporer tidak layak untuk dianalisis dengan pendekatan kritik seni
modern? Apa dan bagaimana sesungguhnya seni rupa kontemporer itu?, serta,
proposal apa yang kiranya memadai untuk diajukan, guna menjawab pertanyaan
mendasar, pendekatan kritik apakah yang sesuai dengan gejala atau wacana
perupaan seni kontemporer itu. Meski tulisan ini diawali oleh serangkaian
pertanyaan, diskusi tidak berpretensi untuk merumuskan sebuah jawaban final atas
sejumlah pertanyaan tersebut. Bisa saja pembahasan malah menghasilkan
serangkaian pertanyaan baru, mengingat masih terbukanya tesis Jim Supangkat di
atas untuk perdebatan lanjut.
Estetika Seni Modern
Dalam wacana seni rupa, sejarah mencatat berbagai gejala perupaan yang
secara terus-menerus berkembang, ditandai terutama dengan terjadinya perubahan
sebagai manivestasi tuntutan kreatif bagi para pelakunya. Perubahan yang
berlangsung dimungkinkan adanya semacam tuntutan dari dalam (internal pursuit),
yang memaksa para seniman dari belahan dunia mana pun dan dari masa kapan pun
untuk terus menemukan jatidiri atau kepribadiannya. Fenomena arus pengejaran
penemuan kepribadian, kekhasan gaya, keunikan goresan, pahatan dan bahkan
konsepsi, terutama dicatat paling radikal terjadi pada apa yang kemudian disebut
sebagai seni rupa modern.
Maka, begitulah, dalam arus besar seni rupa modern, sejarah kemudian
mencatat munculnya berbagai gaya, atau isme, yang bahkan dalam setiap gaya itu
sendiri menghadirkan keragaman gaya pribadi dari para senimannya. Bisa dilihat
sebagaimana tampak dalam aliran impressionisme misalnya, Monet menampilkan
perupaan pelukisan yang berbeda dengan Edgar Degas, atau Auguste Renoir. Dalam
aliran Cubisme, lukisan Piccaso sangat tidak sama dengan lukisan kubisme-nya
2
Marcel Duchamp. Demikian pula dalam ekspressionisme, Wasily Kandinsky mirip
saja tidak dengan karya Paul Klee.
Dalam perkembangannya, seni (rupa) modern baik yang terjadi di Barat
(tempat lahir dan berkembangnya modernisme), dan sudah barang tentu juga diikuti
kemudian di Indonesia, dianggap telah tidak lagi mampu menampung gagasangagasan faktual yang terjadi dalam lingkup sosialnya. Lahirnya paham postmodernisme merupakan suatu reaksi resistensi terhadap modernisme yang melalui
kekuatan hegemoninya telah dianggap teralienasi dari masyarakatnya. Sebagai
jawaban atas situasi tersebut, seni rupa post-modern banyak mengangkat persoalanpersoalan 'multikultural', 'gender', 'sosial', dan sebagainya, sebagai bentuk pluralitas
gagasan (Asmudjo Jono Irianto, Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-Negara
Non Blok: Mencari Perspektif Selatan?I dalam Jurnal Seni Rupa ITB, edisi II/1995,
p. 27), yang menjadi lahan pilihan bagi para penganut paham post-modernisme.
Istilah modern sendiri yang dijadikan paradigma penciptaan oleh para
seniman, melekat ke dalam bentuk-bentuk ekspresi seni rupa merujuk kepada
bentuk ekspresi perupaan yang dalam proses penciptaannya disemangati oleh paham
modernisme yang mengemuka menjadi paham universal, diilhami oleh terjadinya
revolusi Perancis dan revolusi industri, pada awal abad sembilan belas. Munculnya
berbagai temuan di bidang mekanik dan mesin uap, telah memberi inspirasi bahwa
manusia, dalam hal ini adalah individu, merupakan pusat dari segala-galanya.
Dalam wacana seni, hakekat seni modern dipengaruhi oleh wataknya yang
individualistis, sehingga ekspresi keseniannya merupakan ekspresi personal.
3
Filosofi seni modern sampai pada tahapan menemukan dirinya sendiri, yang terlepas
dari kaidah-kaidah di luar dirinya. Sebagaimana dikutip Jim Supangkat, Clemen
Greenberg mengemukakan : "... seni adalah tujuan pada dirinya sendiri dan estetika
menjadi otonom yang terlepas dari agama, politik, bahkan moralitas." Konsekuen
dengan pemahaman otonomisasi seni, modernisme menuntut orisinalitas dan
kehakekatan kreasi (Jim Supangkat , 'Komeng Dalam Pasca Modern', dalam katalog
pameran patung Nyoman Nuarta, 1989) yang pada gilirannya melahirkan berbagai
gaya penciptaan, baik sebagai gaya yang menandai ciri jamannya, sehingga muncul
berbagai aliran atau isme (dari impresionisme, ekspersionisme, dan seterusnya),
demikian pula berbagai gaya personal lahir sebagai akibat dari perburuan kebaruan
ciptaan. atau dalam kalimat lebih singkat, Harold Rosenberg, sebagaimana dikutip
Herberd Read, menyebutnya: "modern berarti tradisi kebaruan" (Herberd Read, A
Concise History of Modern Sculpture, Frederrick A. Praeger, New York,
Washington, 1964, p. 12).
5
.
Sifat otonom seni modern yang demikian canggih pada akhirnya berimplika-
si lahirnya estetika seni modern yang otonom pula, yang terbebas dari kaidah-kaidah
di luar dirinya. Meski Ignas Kleden menyatakan bahwa estetika secara etis dan
politis selalu bersifat netral (Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan,
dalam Prisma edisi 5 Mei 1987, p4) akan tetapi sejalan dengan sifat otonomnya, ia
(estetika) tidak mempunyai komitmen moral atau pun kuwajiban politik. Lebih jauh
Kleden menegaskan, adanya campur tangan agama, politik atau pendidikan dalam
4
estetika hanya akan menjauhkannya dari ujudnya, dan oleh sebab itu mengakibatkan
pertumbuhan seni yang counter productive. Pada titik inilah rupanya yang
mengakibatkan seni modern, dalam pandangan para penganjur paham postmodernisme, harus ditolak, serta harus ditemukan cara-cara baru (dalam
berskspresi) yang mampu mewadahi dan menyuarakan aspirasi pluralitas
(kemajemukan) dan sekaligus mengangkat realitas kontekstual. Dalam pandangan
Irving Sandler, sebagaimana dikutip Asmudjo Jono Irianto dalam Konflik Tradisi
dan Sosial-Politik Seni Rupa Kontemporer, menyatakan, kecenderungan postmodern ditinjau secara historis menempatkan seni post-modern sebagai sekumpulan
gaya yang menggantikan gaya modernisme, serta secara sosiologis merupakan
perubahan radikal dari masyarakat industri (yang menghasilkan seni modern),
menjadi masyarakat post-industrialis (yang menghasilkan seni post-modern). Sudah
barang tentu fenomena ini terbatas dalam lingkup perubahan yang terjadi dalam
wacana baik sosial, historis, maupun seni di Barat, dimana proses kelahiran dan
perkembangannya berlangsung secara kontinyu dan linier.
Estetika Seni Rupa Kontemporer
Berkembangnya paham post-modernisme bisa dikatakan sebagai lokomotif
bagi tumbuhnya kecenderungan gaya perupaan seni kontemporer, di mana aspek
pluralitas menjadi idiom utama dalam penciptaan. Sejalan dengan sifatnya yang
pluraistis ini, dalam pemahaman reaktif terhadap seni modern, berbagai ungkapan
seni yang dalam masa modern ditolak dan dipinggirkan dengan sebutan tradisional,
5
lokal dan berbau etnik, justru mendapatkan tempatnya. Tema-tema sosial, politik,
bias jender, menjadi tema favorit bagi para perupanya, dan dengan memanfaatkan
berbagai benda dan produk jadi (ready made object) para seniman kontemporer
bertutur dan mengungkapkan gagasan-gagasannya. Dalam pengejawantahannya,
para seniman kontemporer sangat akrab dengan cara pengungkapan melalui karyakarya instalasi, performence art (sering dilakukan dengan cara kolaborasi dengan
beberapa seniman dari disiplin seni lain) serta happening art, di samping ada pula
yang diwujudkan dalam bahasa perupaan yang bergaya representasional (Jim
Supangkat, Di Mana Letak Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer
Indonesia? , dalam Outlet, 2000, Yayasan Seni Cemeti, p. 18). dan lebih jauh lagi
malahan Jim menyebutnya sebagai kembalinya tradisi realis.
Konsep dan batasan seni kontemporer sendiri hingga saat ini agaknya masih
belum mampu dirumuskan secara eksplisit. Rupa-rupanya, dalam wacana seni rupa
kontemporer, lebih diramaikan oleh maraknya para pekerja seni dalam
menghasilkan karya, dibanding para kritikus yang berpikir merumuskan konsep dan
definisi. Dalam kumpulan penelitian peta seni rupa kontemporer Yogyakarta yang
dikemas dalam Outlet (Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, 2000) para peneliti tidak
merumuskan secara gamblang objek kajiannya, kecuali berpegang pada fenomena
gerakan yang terlembaga yang memanifesatsikan gerakannya dalam menolak dan
menentang sejumlah 'konvensi' yang dianggap sebagai produk pemikiran para
modernis. Dalam konteks Indonesia, maka gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
kelompok Gerakan seni Rupa Baru (GSRB), dan kelompok Kepribadian Apa yang
6
dimanifestasikan pada era 70-an, menjadi catatan penting dalam historiografi seni
kontemporer di Indonesia. Dan rumah seni Cemeti, Yogyakarta menjadi galeri
penting dalam aktivitas penggiatan seni rupa kontemporer dalam sepuluh tahun
terakhir ini.
Mencermati gejala perupaan dalam wacana seni rupa kontemporer, menarik
untuk melontarkan sejumlah pertanyaan, ketika ekspresi seni-nya harus dihadapkan
kepada tuntutan estetika. Dikaitkan dengan seni rupa kontempore, yang paradigma
penciptaannya menyodorkan aspek kontekstualitas ruang dan waktu, atau dengan
kata lain dengan realitas kulturalnya, apakah perwujudan perupaannya mampu
dihadikran sebagai citra artistik sebagai kristalisasi pengalaman estetis senimannya?
Pertanyaan ini wajar dan sah saja dikemukakan, mengingat pretensi penciptaan dan
visualisasinya, bahkan aktivitas proses penciptaannya diniatkan sebagai aktivitas
seni (rupa)! Apakah estetika seni kontemporere juga merupakan suatu kristalisasi
ekspresi individu senimannya yang memiliki sifat otonomnya sendiri sebagaimana
otonomnya estetika seni modern?
Munculnya pertanyaan di atas didorong oleh kenyataan, tidak sedikit bentukbentuk ekspresi seni kontemporer yang hadir di jalanan, di tanah lapang, di pusat
keramaian, atau bahkan yang di gelar di galeri sekalipun (jangan lupa bahwa galeri
lahir sebagai konsekuensi logis dari pemikiran seni modern, sebagai bagian dari
suprastruktur seni modern!), tidak mudah dipahami dan dilacak tanda-tanda
estetisnya. Demikin pun bila dibandingkan dengan aktivitas demo politik (seperti
yang marak dalam lima tahun terakhir ini) yang sering dilengkapi dengan kegiatan
7
happening art, atau performance art. Dalam bahasa yang agak sinis, gagasan yang
ingin disampaikan oleh seniman kontemporer bisa kalah lugas bila dibanding
dengan apa yang dilakukan oleh para demonstran tersebut. Dalam bahasa Asmudjo
dikatakan, sifat plural seni kontemporer banyak menyimpan paradoks, dengan
contoh, "karya-karya yang dibuat
dalam kepentingan lingkungan, misalnya,
tidaklah memiliki kekuatan advokasi sebesar lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang itu, seperti Green Peace."10
Ilustrasi berikut ini kiranya dapat memberikan gambaran lebih kongkrit
tentang pernyataan di atas.
Melalui pameran tunggalnya yang dikemas dalam Saya Makan Kamu
Makan Saya, Mella Jaarsma menggelar karya-karyanya di dua tempat sekaligus.
Tanggal 7 hingga 30 Nopember 2000 di Rumah Seni Cemeti, dan 9 hinga 30
Nopember di Lembaga Indonesia Perancis. Tak cukup dengan karya etsa dan
instalasi, bahkan seniwati kelahiran Belanda 1960 ini melengkapinya dengan
performance art (dipergelarkan di Lembaga Indonesia Perancis di bawah judul
Under Cover), serta pemutaran video untuk pamerannya di Rumah Seni Cemeti.
Ada sekitar 23 bingkai karya etsa berukuran 25 X 35 Cm yang memenuhi
dua sisi dinding ruang pamer, serta 10 buah kolase pada sisi lainnya yang berukuran
sedikit lebih besar. Di antara lukisan-lukisan itu, sebuah karya instalasi digelar di
lantai di bawah judul Butuh Disuap? Terdiri dari selembar plastik biru berukuran
sekitar dua kali tiga meter, dengan empat buah baskom tersusun di tengah. Pada
masing-masing ujung plastik diletakkan sebuah dingklik dan sebuah cobek lengkap
8
dengan alat penggilasnya. Semula materi di atas adalah perangkat performance art
yang dipergelarkan pada saat pembukaan pameran. Dipergelarkan oleh dua orang
gadis yang saling menyuapkan nasi kuning dari dalam baskom.
Sebuah karya instalai lainnya dirangkai tergantung di salah satu pojok
ruangan. Judulnya Saya Goreng Kamu 1(Gb. 1), dan Saya Goreng Kamu 2. Sebuah
instalasi lagi mengambil ruangan khusus, tersusun berbagai alat pemanas (mulai
dari keren yang dibuat dari tanah liat, kompor minyak hingga kompor gas),
kesemuanya lengkap dengan sebuah alat penggorengan di atas masing-masing alat
pemanas tersebut. Pada setiap wajan (alat penggoreng) yanng berjumlah 10 buah
itu, terendam selembar foto bergambar situasi ruangan dapur, tempat di mana alat
memasak itu 'semula' berada. Judulnya My Kampung's Privat Place.
Di antara semua itu, karya Saya Goreng Kamu 1 dan 2 agaknya yang paling
menarik perhatian. Digantungkan secara berjajar, kedua karya ini menggunakan
kulit binatang yang telah diawetkan sebagai idiom subjek metaforiknya dengan cara
apa Mella ingin menyampaikan pesannya. Karya pertama berupa samakan kulit
tupai yang dirangkai sedemikian rupa, hingga membentuk semacam tabung vertikal,
mengikuti bentuk rangka kawat setinggi satu setengah meter, dengan diameter
sekitar setengah meter.
Rangkaian kulit tupai ini tergantung di depan sebuah dinding, tempat di
mana
dua buah cetak foto seukuran kertas dobel kuarto ditempelkan vertikal
secata terpisah. Foto pertama setinggi mata memandang, menggambarkan sebuah
kepala seseorang yang dikerubuti kulit tupai, sehingga yang nampak tinggal bagian
9
matanya saja. Foto kedua yang ditempel tepat di atas garis lantai, mengambil
gambar bagian sepasang telapak kaki telanjang dengan beberapa helai kulit tupai
menutup sebagian kaki tadi.
Karya instalasi ke dua, (Saya Goreng Kamu 2) disusun dengan cara sama,
hanya kali ini yang menjadi subject matter adalah lembaran-lembaran kulit ular,
lengkap dengan bagian kepala yang sengaja disisakan. Sebagaimana instalasi Saya
Goreng Kamu 1, Saya Goreng Kamu 2 juga dilengkapi dengan karya foto. Kali ini
sebanyak tiga buah, di mana satu diantaranya di pasang di bagian tengah di antara
dua lainnya, sejajar garis pusar manusia.
Untuk mencoba merenungkan makna pesan yang terkandung dalam kedua
karya instalasi ini, tak bisa dipisahkan kaitannya dengan judul karya, maupun judul
proyek pameran Mella kali ini. Bahkan lebih dari itu, dengan cara menyimak karyakarya lain yang menjadi satu paket dalam keseluruhan sajian pameran ini, yaitu,
Saya Makan Kamu Makan Saya, maka akan teraba tema atau topik yang menjadi
perhatian Mella.
Setidaknya terdapat beberapa tanda kunci yang dapat membantu menggiring
perenungan kita, ke arah rumusan tema pokok apa yang menjadi gagasan dasar
senimannya. Penanda-penanda itu meliputi subjek mater jari-jari yang menyembul,
menunjuk ke berbagai arah dari karya-karya kolasenya, lalu materi instalasi berupa
kulit tupai dan kulit ular, kemudian judul karya, dan sudah barang tentu judul
pameran.
10
Melalui berbagai materi dan 'simbolisasi' itu, Mella agaknya tengah
memotret situasi aktual yang dihadapinya saat ini, yang telah menjadi bagian dari
hidup kesehariannya, semenjak ia menetap di Yogyakarya. Meliputi situasi sosial
politik yang marak dengan euforia reformasi, yang membuka jalan baru bagi
kehidupan politik yang lebih demokratis di Indonesia.
Subjek Matter Jari Sebagai Sistem Tanda ?
Apa yang menjadi pertimbangan Mella melalui pilihan idiomatis jari
telunjuk, potret dapur, serta tupai dan ular, agaknya didasarkan pada kelekatan
asosiatif yang menempel pada ikon-ikon itu. Dengan mengamati Saya Goreng
Kamu 1 dan 2 yang mengangkat material kulit tupai dan ular, tanpa harus
mengkaitkannya dengan petani, dikaitkan dengan manusia pada umumnya, kita
akan tergiring kepada asosiasi, keduanya adalah musuh manusia yang harus
dibasmi.
Demikian halnya dengan idiom jari yang lekat dengan asosiasi alat
menunjuk. Baik dalam fungsi eksistensialnya ketika diarahkan kepada orang lain,
atau pihak lain, maupun saat berperan sebagai pengganti eksistensi si empunya jari
tersebut. Secara konotatif jari ini menjelaskan perbedaan polaritas dikotomis, siapa
aku-siapa kamu. Atau lebih ekstrim lagi, dalam konstelasi politisnya berarti kamu
adalah musuh saya.
11
Pada sisi yang lain, melalui karya My Kampung's Privat Place, Mella
rupanya lebih menyuarakan kerinduannya akan pluralitas kehidupan yang pernah
dinikmatinya, yang tak lagi menjadi kekayaan wacana bermasyarakat dalam
beberapa waktu belakangan ini. Melalui penampilan potret situasi dapur dengan
kekhasannya dan karakteristiknya masing-masing, Mella sedang menghadirkan
kembali gambar-gambar dari realitas kehidupan masyarakat di sekitar kampungnya
(Yogyakarta), yang merefleksikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia. Kurang
lebih ia ingin mengatakan, keragaman itu adalah milik pribadi yang musti
disembunyikan (dapur di Yogyakarta, umumnya menempati struktur ruangan di
bagian belakang rumah) dan berada dalam kesadarannya masing-masing. Maka
pada saat ia dimunculkan ke permukaan, ketika kekurangan dan kelebihan isi dapur
(pluralitas) masing-masing sudah menjadi bahasa sehari-hari, hal itu menjadi saling
menuding dan mengabarkan perbedaan. Lebih dari itu, mungkin juga kesenjangan.
Seni rupa kontemporer dengan segala kelenturan bahasa ungkapnya, bagi
Mella Jaarsma telah menjadi 'juru bicara' yang sangat fasih dari sejumlah
gagasannya. Dengan latar belakang pendidikannya di tiga lingkungan berbeda (Fine
Art Academy 'Minerva', Groningen, Netherland, Institut Kesenian, Jakarta, dan
Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, kedua yang terakhir di Indonesia), serta
serangkaian pameran seni, baik secara tunggal maupun kelompok di berbagai kota
dan negara, sudah barang tentu telah memberikan banyak referensi dan
perbendaharaan estetis yang penting bagi Mella.
12
Persoalannya adalah, kalau karya seni rupa kontemporer berpretensi
menyampaikna nilai-nilai pesan moral, politik, sosial dan sebagainya, dengan
berbagai idiom yang bisa dipinjam dari benda-benda yang bisa ditemuinya,
mengapa bahasanya menjadi kalah lugas bila dibandingkan dengan demo-demo
politik yang sering dilengkapi dengan performance art? Sebagai catatan, bersamaan
terbukanya katup demokrasi di Indonesia, berbagai demontrasi mahasiswa marak
digelar, dan performance art menjadi bagian tak terpisahkan dari aksi tersebut.
Pertanyaan ini wajar saja mengemuka berkait pada kenyataan, menyaksikan
sebuah pameran seni rupa kontemporer masih sering memaksa penonton untuk
mengernyitkan dahi untuk mampu membaca pesan serta menangkap nilai yang ingin
disampaikan lewat berbagai model perupaan yang sering tak mampu menimbulkan
getaran estetis penontonnya. Bahkan tak jarang membingungkan. Menjawab
pertanyaan ini, Mella berdalih bahwa: " …estetika mereka (demonstran-pen.) sangat
verbal" katanya. Sebaliknya ia juga menampik kalau karyanya dikatakan simbolis.
"Saya mengekspresikan gagasan saya, dengan cara yang saya suka dan saya bisa,"
katanya menjelaskan.11
Tampaknya masih diperlukan sejumlah argumentasi untuk menjelaskan
kedudukan kedua gejala di atas. Di lain pihak argumentasi lain juga mengemuka
untuk memperjelas pertanyaan tadi. Betulkah pengamat pameran (penonton) yang
berlatar belakang pendidikan seni sekali pun, mampu menangkap pesan nilai dan
makna karya seni kontemporer tanpa membaca pengantar dari senimannya?, ketika
berhadapan dengan sejumlah benda sehari-hari seperti alat penggorengan dan
13
kompor?, patung-patung jari-jemari yang ditempel di dinding, atau menyembul dari
sebuah kanvas dengan untaian kalung terjulur?
Betulkah sajian rangkaian kulit ular dan tupai yang digantung akan sertamerta diasosiasikan kepada konotasi musuh dan bukan kepada bahan pakaian atau
ikat pinggang?
Pertanyaan-pertanyaan di atas wajar mengemuka, ketika pengamat
dihadapkan pada sebuah sajian karya seni rupa (kontemporer) yang spirit
penciptaannya menolak kaidah estetika seni modern, yang dilandasi oleh semangat
kebaruan, serta bermain di wilayah artistik yang diperas kedalam wujudnya yang
simbolistis. Ketika karya seni rupa gagal menghadirkan dan meramu subject matternya kedalam wujud simbolis-metaforiknya, maka ia hanya akan berkutat di wilayah
tanda-tanda (sign) saja. Sedang isinya (content) sekedar sejumlah petanda belaka.
Lalu, Saya Makan Kamu Makan Saya-nya Mella ini sebuah metafora cermin sosial,
atau sekedar sebuah petanda sosial?
Dalam contoh ini, selain karya Mella, simak juga karya Yustoni Volunteero
yang bertitel Open Your Freezer and Find New Cloths For The Fresh President,
1997 (Gb. 2), serta dalam bentuk happening art karya Harsono Korban I/Yang Mati
Terbakar, 1998 (Gb. 3).
Wacana Kritik Dalam Estetika (seni rupa )Kontemporer.
Dalam tradisi modernisme, terbangun suatu warisan atau semacam
infrastruktur yang melengkapi, dan dengan demikian menjadi bagian dari kesatuan
sistem perkembangannya, beberapa disiplin dan institusi, seperti misalnya kritik
14
seni, apresiasi seni serta galeri. Hal itu dimungkinkan kiranya oleh sifat
homogenitas paradigmatiknya dalam wujud otonomi estetikanya yang mati-matian
mencari hakekat kebaruan. Pada sisi lain, tradisi seni modern juga memungkinkan
tumbuhnya linieritas historiogrfinya oleh sebab temuan-temuan konseptual yang
melatar-belakangi kreatifitas penciptaannya.
Berbalik situasinya dengan seni kontemporer, yang terang-terangan atau
tidak, dengan tetap setia mendasarkan diri pada pernyataan Jim Supangkat bahwa
seni kontemporer merupakan ekspresi reaksi penolakan terhadap seni dalam tradisi
modernisme, keragaman ekspresi, keragaman idiom perupaan, keragaman medium
yang kesemuanya dikemas dalam paham pluralitas, belum memberi kesempatan
bagi lahirnya suatu pendekatan kritik yang memadai.
Sudah barang tentu metode kritik yang selama ini berkembang tidak begitu
saja dapat diterapkan guna menganalisis ekspresi penciptaan seni kontemporer,
oleh sebab metoda kritik seni tersebut lahir sebagai bagian dari tradisi modernisme.
Dengan kata lain, adanya perbedaan paradigma penciptaan serta merta memerlukan
alat kritik yang berbeda pula bagi paradigma penciptaan lainnya.
Persoalannya adalah, apakah seni kontemporer yang lahir sebagai ekspresi
penolakan terhadap tradisi modernisme, ekspresi penciptaan dan perupaannya masih
menjadi bagian dan warisan dari tradisi modernisme itu sendir? Atau, benarkah
bahwa seni kontemporer sungguh-sungguh merupakan suatu medan ekspresi yang
benar-benar telah mampu membebaskan diri dari paham modernisme, sehingga
dengan demikian memiliki otonomi estetikanya sendiri, yang sama sekali tidak
15
sekedar berlawanan, namun berbeda dengan seni modern? Bila demikian halnya,
lalu alat kritik yang bagaimanakah yang sesuai dan memadai secara konseptual
dengan tradisi seni kontemporer, sesuai dengan paradigma pluralisme dan
keragaman konsep, proses dan ekspresi penciptaanya? Kalau bukan dengan jargonjargon kreatifitas, inventifitas, personalitas dan sejumlah kriteria kehakekatan seni
modern, apakah analisis dengan pendekatan semiotik bisa menjadi alternatif alat
kritik guna melengkapi wacana estetika seni kontemporer. Atau seni kontemporer
memang tidak memerlukan itu semua?
5
Herberd Read, A Concise History of Modern Sculpture, Frederrick A. Praeger, New York,
Washington, 1964, p. 12.
10
Asmudjo J. Irianto, loc cit., p. 27.
11
Wawancara berlangsung di ruang pamer Rumah Seni Cemeti, 9 Nopember 2000.
Gb. 1
Gb. 2
16
Gb. 3
DAFTAR PUSTAKA
Asmudjo Jono Irianto, Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-Negara Non Blok:
Mencari
Perspektif Selatan?, dalam Jurnal Seni Rupa ITB, edisi II/1995.
_____________, Konflik Tradisi dan Sosial-Politik Seni Rupa Kontemporer
Yogyakarta Era '90-an,
dalam Outlet, Yayasan Seni Cemeti, 2000
Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, dalam Prisma edisi 5 Mei
1987
Jim Supangkat, Menyela Arus Utama, dalam Kalam, edisi 3, 1994.
____________, katalog pameran patung Nyoman Nuarta, 1989.
____________, Di Mana Letak Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer
Indonesia? , dalam Outlet, 2000, Yayasan Seni
Read, Herberd, A Concise History of Modern Sculpture, Frederrick A. Praeger,
New York,
Washington, 1964.
17