MARGINALISASI DAN REVITALISASI PARIKAN DI ERA KELISANAN SEKUNDER

3

"

! "

"
&$+ *&
(# ( +
(
(’Tanjung Perak, kapalnya

192

terbakar / Silakan masuk, kamarnya ko
song’).
(
lainnya lebih vul
gar erotis, seperti
( (8).
(8) /

#
#
Jombang, Mas, Boyolali
( (
#
(
Kalau tidak goyang, uang kembali

Dalam hal ini,
(
(8) adalah
sarana pemasaran, media promosi
dengan menawarkan “garansi” kepada
lelaki hidung belang yang berkunjung di
lokalisasi.
Karena banyak lokalisasi yang digu
sur—terutama sejak 1999, peluang mun
culnya
( +
(

erotis tersebut
pun makin mustahil. Setelah lokalisasi
ditutup, mereka “buka praktik” di ping
gir jalan. Kuat diduga, dengan kondisi
yang serba tidak nyaman (ramai kenda
raan, relasi antarindividu terbatas, setiap
saat digusur Satpol PP, angin kencang,
asap motor, dll.), peluang munculnya
( kreatif erotis tersebut kecil seka
li, bahkan mustahil!
Selanjutnya, makin berkurangnya
jumlah dan kesempatan para penjual
obat (jamu) di pasar tradisional dan para
pedagang keliling berlayar tancap juga
turut menyebabkan tergusurnya
(
sebagai media promosi dan komunikasi
niaga tradisional. Setiap menawarkan da
gangan dan mempromosikan produknya,
senantiasa meluncur dari mereka

( +
(
persuasif yang dituju
kan untuk para calon pembeli yang me
ngerumuninya. Misalnya, saat dikeru
muni pembeli yang tidak sabar, lewat co
rong pengeras suara penjual akan me
neriakkan
( segar seperti contoh
(9) dan (10). Akan tetapi, makin meni
pisnya jumlah mereka, tradisi
(
sebagai media jual beli pun makin tidak
terdengar.
(9)

(
Menyebar daun koro
Mohon bersabar sebentar saja


(10)
(
Kenikir dipakai lalapan
( ,
( ((
Jangan khawatir tidak kebagian

Lenyapnya budaya
( ( ( +
) di gardu, di lorong kampung,
atau di jembatan, juga turut memberi
kontribusi bagi hilangnya
( seba
gai tradisi lisan komunitas kampung. Da
lam situasi familiar intim santai seperti
ini, lazimnya ada satu atau dua orang se
nior yang dikenal sebagai “tukang bikin
( ”.
(
ciptaannya biasanya

lucu, nakal, dan menghibur orang orang
sekitar. (cf. Dananjaya, 1984). Isinya
biasanya sindiran (11), deskripsi penga
laman “sial” individu (12), atau soal soal
keseharian rumah tangga. Problem serius
seperti
+
politik, korupsi,
pilkada, KKN, terorisme, misalnya, tidak
menjadi bagian dari pokok pokok perso
alan kehidupan mereka.
(11)

(
(
Kutang berkancing batok kelapa
(
(
Setelah berhutang, tidak pernah muncul


(12)
Macan tutul makan terasi
#
(
Terlanjur bugil, anaknya bangun

&*&0 )&'&
/&*+ &! 0 $
! !&
Nasib
( sungguh memilukan. Jika
memang demikian, di manakah masih
dapat didengar gaung sayup tradisi lisan
itu sekarang?
(
dalam kemasan
media elektronik (TV, radio, CD), akhir
nya, harus diakui sebagai penentu eksis
tensi produk tradisi lisan Jawa ini—seti
daknya hingga hari ini. Adapun komuni

tas yang masih mempertahankan
(
sebagai tradisi lisan benar benar seperti
di era Kelisanan Primer adalah komuni
tas pesantren (Mun’im, 2000).

Seiring dengan derap dinamika re
volusi teknologi,
( pun terkooptasi
oleh kecanggihan produk teknologi, mi
salnya radio, TV, pita kaset, CD, dan
VCD.
( tidak muncul sebagai +
(
, tetapi terwadahi dalam
bungkus lagu langgam dan campursari.
Campursari telah menjelma sebagai ikon
kultur populer dalam kemasan budaya
massa dan budaya urban. Berbeda dari
6

Jawa, lagu lagu campursari
hampir selalu mengandung
( .
Kebangkitan
( dalam kemas
an kapitalisme teknologi media (radio,
TV) menunjukkan terjadinya pergeseran
sekaligus revitalisasi
( di tengah
orang orang Jawa pedesaan dan kalang
an muda, yang merantau di kota sebagai
komunitas urban, dalam mengapresiasi
sastra lisan
( . Komunitas urban et
nis Jawa lazim bekerja sebagai pekerja
kasar. Selera estetis mereka umumnya
tetap loyal pada
(, ( + (,
wayang, musik dangdut,
,

, dan campursari—semuanya
oleh kalangan luar sering dipersepsi se
bagai selera
, kalangan bawah
(Quinn, 1998). Dalam lagu campursari
”Randha Kempling” ciptaan Manthous
(13) dan ”Jambu Alas” ciptaan Didi
Kempot (14)—yang amat populer di pe
desaan Jawa dan komunitas urban Jawa
di Malaysia—misalnya, amat jelas dide
rasi oleh
( .
(13)

, + ,
Siang siang pergi belanja ke Pasar
Paing
,
(
Perawan janda, buatku, tidak jadi

masalah
#
#
(
+
Ke Semarang, mas, pergi belanja beli
anting anting
#
(
Jangan khawatir, biarpun janda djamin
masih padat seksi

193

(14) /
(
Jambu hutan kulitnya hijau
,
,
Yang ditaksir sudah bersuami

/
#
(#
Jambu hutan, Nduk, manis rasanya
# (
Biarpun bekas, kutunggu jandanya

Ruang gerak mereka sudah menem
bus batas batas geografis negara. Mereka
tidak hanya merambah Surabaya, Me
dan, Jakarta, Bali, tetapi juga Malaysia,
Singapura, Hongkong, dan Saudi Arabia
sebagai TKI ”pendulang devisa” (cf.
Soemantri, 2005). Di kamp kamp kerja
proyek bangunan di Kuala Lumpur, mi
salnya, mereka (terutama lelaki) tetap
memutar CD VCD campursari dan ( +
+ . &
+
Kirun, lagu lagu campursari Manthous,
Didik Kempot, Sony Joss, Mat Dikin,
misalnya, dengan mudah dapat ditemu
kan. Jarak yang relatif jauh dari tanah
kelahiran tidak membuat mereka jauh
dari selera estetis etnik macam
(
dalam
dan
+ . Mereka
memang menyukai beberapa lagu pop
Malaysia dan Barat yang kebetulan se
dang , tetapi mereka tetap lebih akrab
menikmati
+
(,
, dan lagu
. Begitu juga
cara berbusana, berbahasa, selera ma
kan—pendeknya gaya hidup. Sekalipun
perimbangan serapan antarbudaya tidak
merata, mereka, bagaimanapun, sudah
larut ke dalam komunitas transkultural
(Ridzi, 2008).
Perkembangan dinamis lagu lagu
—tentu saja termasuk
(+
—dengan sendirinya mereka ikuti.
Mereka tidak pernah terasing dari akar
budaya. Rupa rupanya predikat ekspatri
at yang mereka sandang tidak dengan
sendirinya mengubahnya menjadi berse
lera global (cf. Heryanto, 2000). Loyali
tasnya pada
(
terasa lebih kuat.
Oleh karena itu,
( (13) dan (14),
juga
(
+
(15) dan
(
(16) tetap menduduki pe

194

ringkat pertama dalam selera estetis me
reka. Berkat loyalitas mereka, tradisi li
san
( mampu bersaing di tengah
tengah massa individualis perkotaan
yang sudah terkooptasi secara bulat ke
dalam budaya pop modern dan budaya
massa—kecuali di radio—yang tentu ti
dak pernah memberi ruang bagi kebera
daan
( . Di pundak komunitas Ja
wa urban inilah obsesi melestarikan +
( dapat diharapkan (cf. Syah, 2008).
(15)

(
Ada tembok berlepotan
/
( (( (
(
Katanya jera, kok minta lagi

(16)
Baju hitam berlubang pas di tengah
'
#
,
Ketimbang mengintip, masuklah ke
rumah

Radio harus disebut secara khusus
sebab di forum inilah
( dalam ke
masan kapitalisme media siang malam
“melisankan” dirinya. Dalam rubrik pro
grama lagu lagu dangdut,
+
, dan
Jawa pilihan pen
dengar,
( tidak pernah mati. Bah
kan, penyiarnya pun ikut ikutan ber +
( untuk membalas pendengar yang
memancing dan terpancing ber
( .
Siaran ini langsung sehingga atmosfer
kelisanan naturalnya benar benar tera
sa—
kontak langsung. Harus dika
takan di sini bahwa kualitas estetis +
( rekacipta para pendengar ini tidak
merata. Ada yang pola persajakannya ti
dak tepat, ada yang jumlah ketukan suku
katanya terlalu berlebihan, ada pula yang
suasana lucunya hambar, dst. Radio ra
dio swasta (FM, MW) di semua kota di
Jawa Tengah dan Jawa Timur mayoritas
memiliki programa yang didominasi +
( dan mendapat dukungan iklan.
Selanjutnya, seperti disebut di mu
ka, komunitas yang hingga sekarang te
tap loyal pada
( adalah pesantren.
Dalam komunitas Nahdhatul ’Ulama

(NU) ini
( muncul dalam kemasan
, semacam syair puji pujian kepa
da Allah (cf. Muzakka, 2010), yang di
lantunkan setelah azan duhur, asar, dan
magrib sebelum salat berjamaah dimulai.
Bahasanya bahasa Arab bercampur ba
hasa Jawa
( dan (
. Dalam ke
masan
( , pesan pesan pujian tera
sa lebih menarik, jenaka, dan komuni
katif (Mun’im, 2000), seperti contoh (17,
18).
(17)

((
(
Anak katak jangan dibating
+
Malahan berilah makan
(
(
Anak ke pondok pesantren jangan dilarang
+
Malahan berilah bekal

(18)

+
Saat maghrib lampunya padam 0

+

Lampu lampu nyalakanlah
,
(
Semua orang hidup akan mati
#
Mumpung belum mati, segera shalatlah

(
nasihat dalam komunitas
pesantren bernuansa religius. Isinya
hampir selalu berkenaan dengan ajakan
meningkatkan ketakwaan kepada Allah
Swt., lewat berbagai tindakan ibadah
konkret, misalnya mempelajari Alquran
dan menjalankan salat fardu. (cf.
Muzakka, 2010). Dalam komunitas pe
santren, masjid, surau, dan
, +
( nasihat seperti ini menggema lewat
pelantunan
dengan baha
sa sederhana serta pendayagunaan energi
estetis
( (Mun’im, 2000). Dalam
ceramah agama di pengajian pun,
(+
dimunculkan oleh penceramah seba
gai penarik perhatian pengunjung.
+ * $&!
5 %& !&! & &
$&
!&*&* ' * $
Sekarang di era Kelisanan Sekunder,
tentu saja ada yang berubah pada
(+

. Karena
( muncul tidak alami,
tidak langsung muncul dalam latar natu
ral komunikasi intim sehari hari di te
ngah masyarakat desa Jawa, banyak un
sur yang hilang, seperti unsur spontani
tas, interpolasi, keterlibatan
(emosi)
dalam interaksi partisipatoris antarpenik
mat. Oleh karena itu, sebenarnya telah
terjadi pergeseran dan dinamika sebuah
era. Mereka tidak lagi terlibat mesra da
lam jaring jaring komunikasi lisan pri
mer, tetapi sudah menembus batas batas
komunikasi lisan sekunder (cf. Ong,
1977; Derk, 1998).
( sebagai me
dia komunikasi alami lisan sudah lenyap,
digantikan oleh
( dalam kemasan
teknologi media.
Budaya massa (termasuk di dalam
nya yang dikemas dalam media) tak per
nah menerima mitos sebab ia berwatak
membongkar mitos dengan logika pang
sa pasar dan diversifikasi produk. Ia de
ngan amat yakin bertindak sebagai pem
bentuk selera publik. Biarpun begitu, te
tap saja, telah terjadi pergeseran serius—
untuk tidak menyebut revolusi—karena
sebetulnya dengan munculnya
(
dalam kemasan media elektronik terse
but, yang terjadi adalah regenerasi dan
revitalisasi performasi
(
dalam
Era Kelisanan Sekunder. Regenerasi +
( seakan bangkit kembali dari masa
lalu yang pernah jaya.
( juga me
ngalami revitalisasi sebab eksistensinya:
semakin dimantapkan lewat dokumentasi
media teknologi canggih.
Masih layakkah
( dalam ke
masan VCD disebut tradisi budaya rak
yat? Karena dikemas luks, diproduksi
massal, dijual dan diiklankan sebagai ko
moditas masyarakat yang berada dalam
jargon hukum ekonomi kapitalisme (cf.
Heryanto, 2000),
( lebih tepat di
klasifikasikan ke dalam produk budaya
massa atau budaya populer.
Di kota, VCD campursari yang me
ngobral
( mudah ditemukan dan
murah. Siapakah pembelinya? Biasanya
komunitas urban yang berasal dari da

195

erah daerah. Di samping itu, banyak ra
dio swasta yang memiliki programa
campursari sehingga
( lestari. Pa
ra pemirsa yang aktif di acara semacam
ini pada umumnya juga massa urban dari
daerah daerah. Oleh karena itu, selera
estetik masa urban sesungguhnya turut
melestarikan tradisi lisan
( —wa
lau sudah bergeser ke era kelisanan se
kunder, bukan primer lagi.
Di Kota Surabaya, misalnya, komu
nitas urban tersebut bekerja sebagai kuli
bangunan, PKL, buruh pabrik, atau pe
gawai swasta. Mereka tinggal di kon
trakan yang diisi 2—3 keluarga. Untuk
komunitas Surabaya, misalnya, radio
swasta MTB FM, El Victor FM, Cakra
wala FM, Arumdalu FM, Media FM,
RRI Surabaya, dan Kota FM akrab di te
linga mereka. Di samping itu, mereka ju
ga mengoleksi beberapa keping VCD
DVD campursari dan menyukai
( .
- ) ! %&* = $ !
Di antara sisa sisa
( yang masih
terlontar, ada catatan yang layak diberi
kan. Pertama, fenomena
( peleset
an, yang terkesan tidak serius, sebagai
penolakan terselubung terhadap kekaku
ketatan norma tradisi
(
(cf.
Roesmiati, 2006).
( sengaja dipe
lesetkan demi kesopanan dan kelepasbe
basan dari keketatan norma sastra.
(19)

(
Kayu sekalian pangkalnya
( ( ( ---Kakek tidur kelihatan dari ... luar)
(Jupriono et al., 2001)

(20)

( (
Ada
mangga
dikerumuni
kepik
(serangga kutu)
+(
--- (
Cengar cengir merogoh tem ... bak saja

(21)

+
Saat puasa, (terdengar) adzan maghrib
*
( # ( --Ya buka puasa, Rek ...

196

(
(19) dan (20) bertendensi
porno; mereka yang paham bahasa Jawa
( dapat merasakan aroma jorok ter
sebut. Frase ( --(19) dan
--(
(20) sesungguhnya memang di
rancang secara nakal untuk diasosiasikan
pada penis dan vagina (dalam Jawa
( memang berawal dengan suku ka
ta ( dan
2, sedangkan
( (21)
sengaja mengecoh pendengar sebab itu
ternyata bukan
( , melainkan tutur
an biasa.
Kedua,
(
juga sangat serius
dimanfaatkan sebagai media iklan resmi
layanan masyarakat (ILM) dan kritik ter
hadap ketimpangan sosial dan kesewe
nangan penguasa. Pada fungsi ini,
+
( hadir sebagai produk kapitalisme
cetak (
) (Ong, 1983; cf.
Finnegan, 1992). Di Surabaya, misalnya,
lembaga yang banyak memberdayakan
( sebagai media iklan adalah ke
polisian, koran, dan partai politik. / ,
dan
, misalnya, turut
menghidupi tradisi lisan
( ini. Se
tiap menjelang Idul Fitri, / ,
se
lama tiga hari berturut turut memasang
( ucapan selamat lebaran dari para
pembaca;
sejak 2001
selalu hadir dengan rubrik pojok ber
nama “
( ”, sedangkan PKS, PKB,
dan PAN adalah parpol yang cukup jeli
memanfaatkan
(
sebagai media
pemasaran politiknya (
( +
). Ini mengherankan sebab bukankah
PKS dan PAN berbasis Islam modern—
konstituennya Muhammadiyah, yang se
lama ini “mengharamkan”
( .
Yang juga ganjil, mengapa PDIP, yang
jelas jelas berideologi nasionalisme se
kuler7, tampak tidak menyentuh
(
sebagai media komunikasi politiknya?
Tidak ketinggalan, Polda Jatim dan Pol
res Surabaya, misalnya, pun turut meles
tarikan
(
untuk ILM sekaligus
propaganda institusi, pada spanduk
spanduk di jalan raya. Perhatikan contoh
(22) dan (23).

(22) ' (
Beli jamu ke Saradan
+
(
Patuhi rambu rambu keselamatan
(23)

(
'
Mengajak pacar ke Pasar Turi
(
Ingin lancar ya harus mau antre

Di mana peran
(? Ternyata,
fungsi kritik atas ketimpangan sosial dan
kesewenangan penguasa dimainkan oleh
kidungan
+ . Dalam kesepiannya
di tengah tengah masyarakat kota, pentas
( juga amat garang melancarkan
kritik sosial (Roesmiati, 2006) secara lu
gas vulgar—sesuatu yang tidak lazim di
masa Orde Baru berkuasa (1966—1998).
Meskipun berbeda jauh dengan dahulu
(1970—1990), masih dapat ditemui pen
tas ludruk dalam hajatan di desa (Mojo
kerto, Jombang, Probolinggo, Malang).
Beberapa
( dikutip di sini: (24),
(25), (26).
(24) ' ( (
,
Beli ketupat ke Banyuwangi
/
( (
Jelas itu terlalu jauh
( ((
Jadi pejabat kok korupsi
(
Kalau Itu namanya penjahat
(25)

,
Ketupat jangan dibuat menjadi bubur
(
,
#
Kalau dibuat bubur, rasanya hambar
(
Menjadi pejabat harus jujur
( (
#
(
Kalau tak jujur, jadi keraknya neraka

(26)

(
, ( (
Kang Parmin tak pakai celana pendek
( , ((
Celana robek tersangkut pagar
(
Jadi pemimpin jangan suka main
perempuan
(,
, (
(
(

Kalau sudah tua, burungnya bengkok
(Jupriono, 2009)

Para penonton serentak bersorak
dan beberapa di antaranya bersuit saat
mendengar kritik
terhadap kese
wenangan pejabat tersebut. Tepuk
tangan dan suitan ditafsirkan sebagai
“setuju”; pelawak dan penonton sama
sama mengekspresikan sikap antinya ter
hadap pejabat korup. Dalam ranah ini,
Era Kelisanan Primer bertahan—atau bi
sa juga dianggap reinkarnasi (Finnegan,
1992)—di tengah tengah bombardir
radio dan televisi swasta.
)
Sastra lisan
( termarginalisasikan
dari masyarakatnya di Jawa Timur dan
Jawa Tengah karena (a) habitat tempat
munculnya
( tergusur; (b) melim
pahnya acara pop di media elektronik
TV; (c) hilangnya budaya sindiran; (d)
tergusurnya lembah lokalisasi; (e) makin
berkurangnya jumlah penjual jamu dan
para pedagang keliling berlayar tancap;
(f) lenyapnya budaya
( ( > +
. Meskipun demikian, ada dua
komunitas yang tetap melestarikan
+
( , yaitu komunitas pesantren, yang
tetap mempertahankan
(
sebagai
produk Kelisanan Primer, dan masyara
kat Jawa pedesaan serta komunitas urban
etnis Jawa, yang melestarikan
(
sebagai produk Kelisanan Sekunder da
lam kemasan media elektronik. Di antara
( yang masih tersisa, terdapat +
( pelesetan, yang hanya main main
oleh
(, dan
( serius,
sebagai media iklan resmi layanan ma
syarakat oleh kepolisian, parpol, perusa
haan, dan media massa, serta kritik so
sial terhadap ketimpangan keadaan dan
kesewenangan penguasa, juga oleh
+
(.
Catatan:
1 Beberapa radio di daerah memasang programa
pembacaan cerita bersambung. Radio RKPD
Tulungagung, misalnya, seminggu sekali sejak

197

1977 seminggu sekali pada pukul 21.30—
22.30 WIB menyiarkan pembacaan cerita ber
sambung berbahasa Jawa karya sastrawan Ja
wa, Tamsir A.S. (Tulungagung) atau Esmiet
(Banyuwangi) yang terbit di majalah /
dan
.

Kartolo cs. (1980 an); kasetnya laris. Tokoh
ini juga disebut sebut oleh Dukut Imam
Widodo dalam bukunya,
'
(2002:100). Baca juga: Yousri Nur
Raja Agam, “Ludruk dan Asal usulnya”,
">>(
+ ((2009).

2 Contohnya
(
( yang cukup popu
ler: ,
>
>
,
(
> (
,
,
mempunyai beberapa varian interpolasi di
tengah masyarakat Jawa. Ada yang mengganti
tanpa mengubah polanya, misalnya: ,
>
(
(
> ,
(
>(
(
- Ada
pula perubahan yang berakibat pada hampir
berubahnya status
nya dari
( ke
syair, misalnya: ,
>
, > ,
>
, .
Jan Harold Brunvand ('
$
% (
"
# 1968:4), misalnya,
menulis bahwa salah satu ciri folklor (termasuk
tradisi sastra lisan) adalah berwujud dalam
banyak versi ( 4
$$
).

5 Bahwa mereka yang berada di lokalisasi turut
berjasa melestarikan
( , itu bukan hal
aneh. Bahkan, sudah terbit kumpulan puisi dan
karya para PSK yang berjudul
+
0 (
(Santosa, 2009). Puisi
dan
dalam buku ini hasil dari Beng
kel Sastra Pelatihan Baca Tulis &
un
tuk Perempuan Binaan Lokalisasi Semampir,
Kediri (2007) dan Pelatihan Baca Tulis & +
dan Puisi untuk Perempuan Binaan Loka
lisasi Ngujang, Tulungagung (2008), yang
diselenggarakan oleh Balai Bahasa Surabaya.

3 Mataraman atau
adalah wilayah
kultural Jawa yang berbudaya sinkretis Ke
jawen (Islam Abangan), meliputi kawasan
barat selatan Provinsi Jawa Timur (dari Ma
diun, Ngawi, ke timur sampai Blitar dan Kedi
ri) (Supriyanto, 2002), pengabdi Kasultanan
Mataram di bawah Sultan Agung (1613—
1645). Wilayah mataraman merupakan pen
dukung drama tradisional
+
. Hingga
1980 an di Blitar, Kediri, Tulungagung,
Trenggalek, dan Nganjuk, masih dapat disaksi
kan pentas
+
. Tidak seberuntung dra
ma klasik lain (
(, (
(, wayang
orang),
+
tidak pernah ditulis atau di
rekam. Pada 1990 an tak tersisa satu pun ke
lompok
+
ini.
4 Bagi pecinta
(, nama Cak Markeso cukup
melegenda dan memiliki arti khusus—di sam
ping Pak Santik, Pak Kibat, Pak Besut, Cak
Gondo Durasim. Selama kurun 1949—1991, ia
mengamen sendirian di jalanan yang khusus
membawakan (
+
yang sarat dengan
( ciptaan sendiri dari
rumah ke rumah, kantor kantor kelurahan, dan
juga kompleks lokalisasi. Ia
(menyanyi) secara
, maksudnya tanpa
iringan gamelan, atau gamelannya ya mulutnya
sendiri (
) di sela sela syair dan
(+
jula julinya. Wilayah ngamennya sepanjang
jalan di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan,
Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Kediri, Tu
lungagung, Blitar, dan Malang. Cak Markesa
pernah diajak masuk dapur rekaman oleh Cak

198

6 Terjadi salah kaprah yang menyamakan begitu
saja
dengan lagu (nyanyian), padahal
jelas lain. Tembang adalah puisi dalam kesu
sastraan Jawa (juga Sunda dan Bali) yang ter
ikat oleh banyaknya baris dalam 1 bait,
banyaknya suku kata dalam 1 baris, pola per
sajakan (rima) yang tetap di akhir baris. Tem
bang diklasifikasikan ke dalam '
& +
# '
'
# dan '
(
3
2. Macapat dapat berbentuk
+
,
,
,
( ,
,
,
,
(
,
+
, &
, dan
. (Sumardjo,
1991). Adapun
( —yang memang bukan
tembang—berada di luar ketiganya. Jika tem
bang tembang umumnya serius, bukan untuk
kelakar, ketat dengan norma estetis masing
masing, kosakatanya pun khusus bahasa Jawa
Baru, penuh metafora, maka
( lebih lu
gas dan bebas, bahasanya bahasa Jawa Mo
dern, bisa untuk kelakar, mengkritik, sehingga
bisa sangat jorok dan vulgar.
7 Mayoritas konstituen PDIP di Jawa adalah
kalangan jelata
(“Islam KTP”). Subur
di kalangan ini persepsi ideologis bahwa seba
gai ,
( termasuk golongan “nasional”
dan ruang ideologis politis paling cocok untuk
golongan nasional adalah PDIP (cf. Budi,
2004). Realitas persepsional ini mestinya su
dah dibaca oleh para petinggi PDIP. Dengan
demikian, dalam menjalin komunikasi politis
dengan massa konstituennya, para petinggi
PDIP
mendayagunakan energi tradisi
lisan
( .

" 1

)

Abdullah, M.Z. 2006. “Matinya Lu
druk”.
, 18 Maret 2006: D.
Agam, Yousri Nur Raja. 2009. “Ludruk
dan Asal usulnya”,
">>(
+
(: diunduh: 2
Januari 2010.
Alfian. 1994. “Jargon Pelacur di Lokali
sasi Kalisari Malang”. 0
+
# JPBSI, FPBS, IKIP Ma
lang.
Anderson, B.R'OG. 1990. ”Sembah
Sumpah the Politics of Language
and Javanese Culture”. Dalam hal.
194—237, 0
, .
Ithaca: Cornell Univ. Press.
Austin, T. 1994.
@
"
+
0
' 4 . London: The University of
Alabama Press.
Brunvand, J.B. 1968. '
$
+
% (
"
.
New York: W.W. Norton & Co.
Inc.
Budi, Eko S. 2004. “Disparitas Politik
Aliran
dalam
Pilpres”.
,,,- > > (- ; diunduh
4 Januari 2010.
Dananjaya, James. 1984. % (
+
"
&
#
# . Ja
karta: PT Grafiti Pers.
Derks, W. 1994. '
%
$
+
" 8
8
'
.
Leiden: RUL
_____. 1998. ”Pengarang Indonesia se
bagai Tukang Sastra”.
11,
1998: 90—100.
Emeis, M.G. 1949.
+
3
1
. )
+
(
2. Djakarta—JB Wolters:
Groningen.
Endraswara, Suwardi. 2005. '
0+
/ , - Yogyakarta: Narasi.
Finnegan, R. 1992. 8
'
@
- London: Routledge.
Foley, J.M. 1986. 8 '
0 +
"
4.
London: Cambridge UP.

Hadiwibowo, G. 2001. “Melestarikan
Ludruk yang Terpinggirkan”.
+
# 28 09 2001.
Heryanto, A. 2000. “Dari Budaya Pop ke
Kajian Budaya”. Kertas Kerja +
, Univ. Petra Surabaya, 23
11 2000.
Hooykaas, C. 1951.
.
Terj. Raihoel Amar Gl. Datoek
Besar. Djakarta: J.B. Wolters—
Groningen.
Hutomo, S.S. 1991.
'
+
( "
0+
. Surabaya: Hiski Jatim.
Hutomo, S.S. & Pudentia M.P.S.S. 1993.
. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Junus, Umar. 2007. ”Pantun, Ajip, dan
Kita”. Resensi Buku
(
Karya Ajip Rosidi (2006)”.
Vol. 10, Ed. Juli—De
sember 2007: 107—113.
Jupriono, D., A. Andayani, S.
Mansurudin. 2001. ”Sastra Lisan
( : Analisis Fungsi
(
bagi Setiap Komunitasnya di Jawa
Timur”. % .
0
8(1)
Juli 2001: 39—51.
Jupriono, D. 2009. “Puisi
( pada
Jula Juli Ludruk dalam Perspektif
Marxian Zima”.
$
8(1) Fe
bruari 2009: 18—25.
">>
+
; diunduh 3 Ja
nuari 2010.
Jupriono, D. 2010. “Revitalization of
( Oral Tradition in Second
ary Orality Era (Revitalisasi Tradisi
Lisan
( dalam Era Kelisanan
Sekunder)”. Makalah ' :
+
.
+
"
#
)
, FIB
Unair, 23 01 2010.
Latief, A. 2000. “Ludruk Surabaya, Hi
dup Segan, Mati Pun Enggan”.
, 8 November 2000.
Mohamad, Goenawan. 1996. “Sastra
‘Pasemon’: Pergumulan Bawah Sa
dar Bahasa dan Kuasa”. Hal. 307—

199

317 dlm. Y. Latif & I.S. Ibrahim
(ed.),
(
. Ban
dung: Mizan.
Mun’im D.Z., Abdul. 2000. “Benci Tapi
Rindu: Pujian sebagai Sarana Eks
presi Kultural”. &
7(3)
Mei—Juli 2000: 81—113.
Muzakka, Moh. 2010. “Tradisi Lisan Pe
santren dan Pemberdayaan Politik
Kaum
Santri”.
">> $$- - >
> 1 (
( >:;B;>;B>:D>
+
+
+
; diunduh 20 April 2010
Ong, W.J. 1977.
$
$
!
.
Ithaca, N.Y.: Cornell University
Press.
_____. 1983. 8
0
"'
'
1
$ ' ! . New
York: Methuen.
Poerbowati, Endang. 2007. ”Sarip
Tambakasa: Sebuah Analisis Fungsi
Folklor”.
$
7(1) Februari
2007: 66—77.
Quinn, G. 1998. “The Case of the Invi
sible Literature: Power, Scholarship,
and Contemporary Javanese Wri
ting”.
35, April 1998: 1—
36
Ras, J.J. (ed.). 1985.
+
/ ,
( . Jakarta: Grafiti
Press.
Ridzki, Adzwari. 2008. ”Gaya Hidup
Masyarakat
Urban”.
,,,- - >
F G 9
; diunduh 25 Desember 2009.
Roesmiati, Dian. 2006. “
( dalam
Ludruk Jawa Timur: Kajian Fungsi
dan Makna”.
1(1): 29—
48.
Roqib, M. 2007. )
/ , . Jogjakarta: Pustaka pelajar.
Santosa, Anang et al. (ed.). 2009.
0 (
"
&
. Surabaya: Balai Ba
hasa Surabaya, Pusat Bahasa, Dep
diknas.

200

Saputra, Karsono H. 2003. “Kawruh Ba
sa: Istilah istilah dalam Sastra
Jawa”.
,,,- ,
>( , ?
; diunduh 20
Desember 2008.
Subagyo. 1992.
(
/ ,
. Jakarta Selatan: Garda Pusta
ka.
Sudikan, Setya Yuwana 1996. “Sastra
Jawa Modern: Siapa Peduli?”
+
, 20 Oktober 1996.
Sumantri,, A.S. 2005. “Fenomena Buda
ya: Produk Transkultural itu Berna
ma Buruh Migran”.
, 17
September 2005: 13.
Sumardjo, J. 1991. “Tembang”. 5 ( +
Jilid 16:
214—215. Jakarta: PT Cipta Adi
Pustaka.
Supriyanto, H. 1992. 0 ( 0
(/ +
, '
. Jakarta: PT Gramedia.
_____. 2002. “Wacana Sosial Budaya
Masyarakat Jawa Timur: Eksistensi
Budaya Jawa dalam Keberagaman”.
Makalah
+
/ , , Surabaya, 29 Agustus
2002.
Suseno, Franz Magnis. 1996. 5 ( / +
, . Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Sutarto, Ayu. 2004.
(
+
#
(#
#
+
. Jember: Kompyawisda.
Stolk, Benjamin A. & R.S. Shannon.
1976. 8
0
. Michigan:
The University of Michigan.
Syah, I. 2008. “Sastra Urban dan Pro
blem
Manusia
Urban”.
">>(
( - - ; diun
duh 27 Desember 2009.
Sweeney, A. 1987.
%
)
"
8
0
!
. Berkeley, L.A.: University
of California Press.
Widodo, Dukut Imam. 2002.
'
. Surabaya: Pemkot
Surabaya.