UANG DAN KEBIJAKAN MONETER DALAM EKONOMI

UANG DAN KEBIJAKAN MONETER DALAM
EKONOMI ISLAM
(Bercermin Dari Kerentanan Sistem Moneter Kapitalis)
Winoto Soekarno
STMIK AMIKOM Yogyakarta

Abstraksi
Krisis keuangan global belakangan di Amerika Serikat, yang dipicu oleh problem suprime
mortgage pada dasarnya membuktikan bagaimana kerentanan sistem moneter Kapitalisme yang
berporos pada berbagai instrument produk capital market yang bersifat derivatif. Intrumentintrument seperti collateralized debt obligations, hybrid products, credit derivatives, yang
kesemuanya berbasis bunga mengandung kerentanan pada satu sisi dan menyuburkan praktekpraktek spekulasi.(Adiwarman, 2008)
Menurut Sofyan S Harahap(2007), jauh sebelum terjadinya krisis subprime mortgage itu,
berbagai gejolak pasar uang dan pasar modal sudah kerap kali terjadi di berbagai belahan dunia,
karena gejolak tersebut bersifat built in dalam system Kapitalisme. Keberadaan hot money dalam
system pasar Kapitalis yaitu banyak bertunpu pada pasar sekunder telah menjadikan rentanitas pasar
dapat terjadi setiap saat. Bercermin dari realitas moneter dunia Kapitalis demikian bagaimanakah
ekonomi Islam memberikan jawaban atas problematika tersebut. Tulisan singkat ini akan mengurai
system dan kebijakan moneter ekonomi Islam dari konsep dasar tentang uang.
Kata Kunci: Uang, Kebijakan Moneter, Ekonomi Islam
Pendahuluan
Uang dan Kebijakan Moneter. Uang pada dasarnya berfungsi pada tiga hal, pertama, alat

tukar yaitu sebagai pemisah antara keputusan membeli dan menjual. Kedua, sebagai satuan pengukur
nilai terhadap suatu komoditas. Dan ketiga, sebagai alat penyimpan kekayaan. Dalam kondisi
perekonomian yang belum kokoh seperti yang dialami oleh negara-negara berkembang seperti
Indonesia, walaupun fungsi uang rupiah tetap, tetapi nilainya menjadi anjlok, terutama ketika
berhadapan dengan mata uang asing. Hal ini terjadi sejak negeri ini dirundung Krisis Moneter.
Secara teoritis dalam sistem perekonomian modern, uang menempati posisi dan fungsi yang
sangat strategis. Uang bagaikan darah dalam tubuh manusia. Dalam system perekonomian modern
uang telah bergeser fungsinya dari alat tukar menjadi komoditas, sehingga menjadikan uang lebih
banyak beredar di pasar sekunder dari pada ekonomi produktif yang dapat menggerakkan sektor riil
secara langsung.
Pembahasan
Fenomena kuatnya kinerja keuangan di pasar valas, margin trading, pasar derivatives dan
lain-lain semakin menjadikan uang kehilangan fungsinya semula yaitu sebagai alat tukar. Pada satu
sisi, ketika uang diperjualbelikan, dalam waktu yang relative singkat dapat memberikan keuntungan
yang banyak terutama pada para pemilik modal dan pelaku valas. Namun kondisi itu menyebabkan
semakin banyak memunculkan spekulan yang dapat mengatur pola distribusi uang beredar dan pada
gilirannya berpengaruh negative terhadap kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Mengakarnya system bunga dalam konteks itu, semakin memperkokoh posisi pemilik modal.
Mereka dimungkinkan selalu berada di atas angin. Melemahnya nilai tukar mata uang rupiah
misalnya, dapat diantisipasi dengan menginvestasikan modalnya pada mata uang Dolar. Ketika Dolar

semakin menguat, mereka pun dapat mengeruk keuntungan. Sebaliknya mereka yang membutuhkan
modal harus dihadapkan dengan fluktuasi nilai mata uang yang sangat berpengaruh terhadap
tingginya biaya-biaya produksi sehingga berpengaruh kepada melemahnya daya beli masyarakat.
Uang dalam system moneter Islam secara tegas tidak boleh menjadi komoditas. Uang
sebagaimana fungsinya harus menjadi alat tukar. Fungsi uang sebagai alat tukar secara luas
dimaksudkan untuk menghapuskan ketidakadilan dan kezaliman dalam ekonomi tukar menukar atau
barter yang banyak mengandung riba.(Habib Nazir,2004: 563) Demikian pula pada perekonomian

saat ini, tukar menukar antar mata uang dapat mengarah kepada adanya unsur riba disamping
menimbulkan ketidakseimbangan moneter.
Uang dikembangkan menjadi standar ukuran nilai dan alat tukar. Nabi Muhammad
menyetujui uang sebagai alat tukar dan tidak menganjurkan model ekonomi barter karena dapat
mengarahkan pada munculnya bentuk-bentuk kezaliman. Karena itulah, penegasan al-Quran dalam
surat al-Muthaffifin,83: 1-3 dan al-Isra,17: 35 dapat bermakna bahwa standar nilai ukuran harus
dilakukan tanpa adanya pengurangan dan penambahan. Demikian pula, uang dapat merupakan factor
produksi yang mempunyai potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai lebih dengan cara
diinvestasikan ke dalam praktek ekonomi sector riil. Chapra dan Adiwaran Karim, menggunakan QS
al-Baqarah,2: 261 tentang pahala infak dalam pandangan Allah, sebagai dalil bahwa uang dapat
melahirkan manfaat yang berkembang secara terus menerus ketika diinvestasikan.
Uang difungsikan hanya sebagai sarana penukar atau penyimpan nilai dan bukan sebagai

barang dagangan. Uang tidak dapat dijual-belikan baik secara tunai maupun kredit. Larangan ini
dimaksudkan untuk mencegah agar para pelaku ekonomi tidak masuk ke dalam suatu sistem yang
mekanismenya tidak diketahui. Karena itu, dalam sistem ekonomi Islam uang bukan modal,
melainkan public goods yang mengalir seperti air dan tidak dapat dimonopoli oleh seseorang atau
kelompok. Apabila air tergenang maka akan menyebabkan bau membusuk. Sama halnya dengan
uang, apabila ditahan, akan menyebabkan macetnya roda perekonomian sehingga mengakibatkan
munculnya penyakit-penyakit ekonomi. Dengan demikian uang harus tetap mengalir terus dalam
pengertian digunakan dalam investasi pada sektor-sektor riil.
Karena sebagai milik umum, maka uang harus dapat digunakan masyarakat tanpa ada
hambatan dari orang lain. Pada kontek inilah kita dapat memahami kenapa para pemikir seperti alGhazali (w. 1111 M), Ibnu Taymiah (1263-1328 M), Ibnu Khaldun (w. 1406M) dan al-Maqrizi
(1364-1442 M), sangat melarang perilaku menumpuk uang atau menimbun komoditas kebutuhan
masyarakat. Hal ini disebabkan bahwa perilaku demikian akan menggangu orang lain dalam
menggunakannya dan juga menjadikan perekonomian tidak stabil.
Atas dasar hal itu, maka kebijakan moneter dalam ekonomi Islam harus mendukung terhadap
fungsi uang sebagai alat tukar dan menghindarkan dari terjadinya penumpukan uang. Kebijakan
moneter pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan ekonomi makro suatu negara. Kebijakan
Moneter adalah usaha mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan secara baik
melalui pengaturan jumlah uang beredar beredar. Pengaturan ini dimaksudkan agar terjadi kestabilan
harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Dalam sistem ekonomi pengaturan jumlah uang beredar diatur dengan cara menambah atau

mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
Pertama, kebijakan Moneter Ekspansif (Monetary Expansive Policy) yaitu suatu kebijakan yang
bertujuan menambah jumlah uang yang edar. Kedua, kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary
Contractive Policy) atau kebijakan uang ketat (tight money policy) yaitu kebijakan yang bertujuan
mengurangi jumlah uang yang beredar. Dalam sistem moneter konvensioanl, rumus yang berlaku
adalah: MV = PQ
M = adalah jumlah uang beredar dalam satuan waktu tertentu
V = Kecepatan perputaran uang rata rata atau berapa kali rata-rata setiap uang berpindah
tangan dalam satu tahun
P Q = Nilai uang pembelanjaan di suatu wilayah negara
P = Tingkat harga yang berlaku di suatu Negara pada tahun tersebut
Q = Tingkat output riil dari parang dan jasa
Konsekuensi rumus ini jika sisi kiri naik maka sisi kanan akan naik juga. Dengan demikian,
akan menimbulkan masalah pada negara yang menggunakan uang kertas, yaitu uang yang nilai
intrinsiknya lebih kecil dari nilai ekstrinsik. Dalam suatu kondisi ketika volume uang ditambah
dengan cara pemerintah mencetak uang kertas dan uang itu hanya beredar di sektor finansial, yaitu
menjadi tabungan, pinjaman antar lembaga keuangan, sertifikat bank sentral dan sejenisnya maka Q
pada posisi yang tetap. Sebaliknya P atau harga-harga akan terus naik.
Apabila kita telusuri pada sistem ekonomi pada masa Madinah, kiranya kita mendapatkan
fakta bahwa perekonomian riil lebih dahulu maju daripada posisi mata uang. Dengan fakta ini maka

perekonomian diarahkan pada mekanisme pasar alamiyah. Negara melakukan pengawasan dalam
konteks untuk menjaga agar tidak terjadi penyelewengan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku

ekonomi. Inilah tugas utama yang diusung oleh Diwan al-Hisba yang pada masa kemudian
berkembang menjadi Dewan as-Syurthah. Dewan ini mempunyai kewenangan yang luas sehigga
pelaku ekonomi yang menyimpang dapat langsung diberi sanksi dan tindakan.
Karena itulah, dalam sistem moneter Islam, posisi dan fungsi bank mempunyai perbedaan
yang mendasar. Lembaga perbankan syari’ah mempunyai sifat universal dan multi guna serta tidak
semata-mata merupakan bank komersil. Ia merupakan perpaduan antara bank komersial, bank
investasi, investasi kepercayaan dan institusi pengelola investasi (invesment-management
institutions), yang berorientasi pada investasi modal. Dengan pola ini maka perbankan syariah akan
jauh dari perlilaku borrowing short dan lending long. Karena itu ia kokoh terhadap ancaman krisis
dibanding perbankan konvensional.
Berdasar fakta itu pula, maka kedudukan bank sentral dalam konteks ekonomi Islam harus
dapat melakukan suatu kebijakan yang dapat melancarkan perekonomian riil secara seimbang. Pada
masa kini, tampaknya, perekonomian tidak dapat dilepaskan dari berbagai lembaga keuangan.
Sertifikat wadiah, sebagai upaya “islamisasi” Sertifikat Bank Indonesia mempunyai banyak
kelemahan ditintau dari aspek syariah pada satu sisi dan aspek konsekuensinya pada perekonomian.
Kesimpulan
Dalam perspektif itu, sangat logis mengapa Islam sangat melarang aktivitas spekulasi dalam

berbagai transaksi ekonomi. Munculnya perkembangan instrument keuangan syariah dengan skim
investmet keuangan etis dan keuangan syariah di berbagai belahan dunia seperti yang dilakukan oleh
MNC, Citibank, StandardChartered, HSBC, Suis Boston Bank dan lain-lain merupakan solusi atas
permasalahan kerentanan system moneter Kapitalisme.
Karakteristik spekulasi pada hakikatnya, pertama, spekulasi hakikatnya bukan merupakan
kegiatan investasi. Kedua, spekulasi menyebabkan peningkatan pendapatan bagi sekelompok
masyarakat tanpa memberikan konstribusi apapun baik yang bersifat positif maupun produktif.
Ketiga, spekulasi merupakan sumber penyebab krisis keuangan. Keempat, margin merupakan tujuan
utama Dan kelima, spekulasi datang dari mental “ingin cepat kaya”.
Ekonomi Islam tidak mengenal money demand for speculation. Uang pada hakikatnya adalah milik
Allah yang diamanahkan kepada pemilik sementara untuk dipergunakan demi kemaslahatan. Dalam
pandangan Islam, uang adalah flow concept, karenanya harus selalu ber-putar dalam perekonomian.
Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan
masyarakat, dan akan semakin baik perekonomian. Karena itu model-model investasi dalam investasi
syariah bukanlah investasi jangka pendek melainkan investasi jangka panjang, dengan tujuan
memaksimalkan sumber daya yang ada termasuk dana untuk keberlangsungan usaha secara mikro dan
keberlangsungan kinerja ekonomi secara makro. Wallahu a’lam

Daftar Pustaka
Chapra, Umar. Sistem Moneter Islam Jakarta: Gema Insani Press, 2000

Harahap, Sofyan Syafri, Sistem Moneter dalam Perspektif Islam, Bahan Kuliah Sistem Moneter dan
Keuangan Islam Program Pascasarjana UNAIR Surabaya
Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: Karim Business
Consulting, 2001
Nadzir Habib dan Muhammad Hasanuddin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah, Bandung:
Kaki Langit, 2004.