PARIWISATA KESEMPATAN KERJA DAN PELUANG

PARIWISATA, KESEMPATAN KERJA, DAN PELUANG INDUSTRI KREATIF: APLIKASI
ANALISIS TABEL I-O JAWA BARAT 2010 ORIGINAL DAN NERACA SATELIT
PARIWISATA DAERAH JAWA BARAT 2010
Oleh: Kodrat Wibowo, Ph.D1
Abstract
Tourism has become one of the most growing rapidly economic sectors in many countries
because it is seen as one of the most dynamic sectors in the economy. Tourism sector's
contribution to economic growth can be traced by analyzing the impact of tourism on job
creation and its multiplier effect. Tourism proved to be closely related to the creative
industries in which the business forms of industry creative is closely related to the tourism
sector, so that there are two possible ways of employment creation in the tourism sector:
(i) absorption of Labor directly from tourism (L) and (ii) Labor absorption of Creative
Industries (LK) of the process of its creation, production, marketing and distribution. By
using the 2010 I-O Table of West Java, this study conducted a simulation analysis of how
tourist spending, investment and tourism promotion could encourage the creation of more
jobs on the assumption that the original West Java’s I-O Table had accommodated the
development of creative industries in its calculation.
This study proves that job creation as a result of the activities of the tourism sector will be
greater if it involves the creative industry with an integrated and structured way. To get
the results of the economic analysis of tourism sector therefore needs the data are valid
and are updated correctly.

Keywords: Tourism Economics, I-O analysis, employment, creative industries
A. LATAR BELAKANG
Pariwisata telah menjadi salah satu sektor ekonomi yang paling berkembang dengan
pesat di banyak Negara karena dipandang sebagai salah satu sektor yang paling dinamis
dalam perekonomian. Sumbangan sektor pariwisata kepada pertumbuhan ekonomi
sudah banyak menjadi topic dalam studi dan penelitian di bidang ekonomi. Penelitian
Antonakakis, Dragouni, dan Fillis (2014) menemukan adanya hubungan yang dinamis
antara pertumbuhan sektor pariwisata dan pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan
penghitungan indeks spillover; sektor pariwisata terbukti memberikan dorongan pada
sektor-sektor lain dalam perekonomian sebuah Negara/wilayah bila dibarengi dengan
pembangunan infrastruktur. Dinamika sektor pariwisata ini juga terbukti memiliki
dampak positif terhadap pembangunan ekonomi sebuah Negara melalui multiplier Efek
yang diciptakan (Pierce, 1982). Balageur dan Cantavella-Jorda (2002) dalam studinya di
Spanyol menunjukkan bahwa sepanjang 30 tahun sektor pariwisata internasional di
Negara tersebut secara persistent didorong oleh pembangunan sektor di pariwisata.
1 Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan banyak terima kasih pada sdr. Zaelani dari Dinas
Pariwisata Kabupaten Sukabumi untuk updating dengan metode RAS untuk Tabel I-O Jawa Barat 2012 dan Dr.
Bagdja Muljarijadi atas bantuannya menghitung koefisien dan indeks-indeks yang diperlukan dalam analisis.

Dinamika pembangunan sektor pariwisata secara global memang menjanjikan. United

Nation World Tourism Organization (UNWTO) mencatat bahwa pada tahun 2014 sektor
pariwisata telah menyumbang 9,5% terhadap PDB global dan 5% terhadap ekspor
dunia. UNWTO mencatat pula bahwa jumlah wisatawan mancanegara pada tahun 2014
tercatat 1,138 juta orang, meningkat signifikan dibandingkan 940 juta orang di tahun
2010. Angka wisatawan mancanegara ini diprediksi oleh UNWTO dengan asumsi bila
perekonomian global berada pada kondisi normal menjadi 1,6 milyar orang pada tahun
2020 dimana dari angka prediksi tersebut diperkirakan 428 juta diantaranya akan
berkunjung ke Negara-negara Asia-Pasifik termasuk Indonesia. Secara historis, data
jumlah pengunjung mancanegara di Indonesia memang menunjukan trend yang
meningkat sepanjang tahun 2001 s.d. 2014 dengan pengecualian adanya penurunan
pada tahun 2003, 2005, dan 2006 seperti ditunjukkan oleh gambar 1.
A.1. Pariwisata dan Perekonomian
Bagaimana sektor pariwisata berpengaruh terhadap perekonomian disebabkan pula
karena pariwisata memiliki banyak keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya. Weaver
dan Oppermann (2000) menyatakan bahwa perjalanan wisata akan berpengaruh
terhadap ekonomi Negara tujuan melaui 3 (tiga) saluran: saluran pengaruh langsung,
tidak langsung, dan dorongan. Lindberg (2001) menegaskan bahwa pengaruh langsung
timbul dari pengeluaran wisatawan di Negara tujuan sepertiu belanja wisatawan di
restoran. Pengaruh tidak langsung diperoleh dari restoran yang membeli barang-barang
kebutuhan dan jasa dari bisnis lainnya (daging, sayur, transportasi, dll. Sementara

pengaruh dorongan terjadi jika para tenaga kerja di restoran tersebut membelanjakan
upah mereka untuk berbagai macam barang dan jasa lainnya.
9435.41

10000
9000

8044.46
7649.73 8802.12
7002.94

8000
7000
6000
5153.62
5033.4
5000
4000

6234.49

5321.16

4871.35

6323.73
5505.75

4467.02
5002.1

3000
2000
1000
0
20012002200320042005200620072008200920102011201220132014

Sumber: Pusdatin Kemnetrian Pariwisata RI, diolah kembali
Gambar 1. Jumlah Wisatawan Mancanegara ke Indonesia, 2001 s.d. 2014 (dalam
000 orang)
Ditenggarai pula bahwa sektor pariwisata dapat mendorong peningkatan jumlah

cadangan devisa sebuah Negara. Cohen (1984) menyatakan bahwa satu dari delapan
dampak utama sektor pariwisata terhadap kondisi social ekonomi masyarakat negara

tujuan wisata adalah penerimaan devisa Negara. Pendapat serupa dinyatakan pula oleh
Dritsakis dan Athanasiadis (2000) serta Payne dan Mervar (2002) dimana kedua studi
tersebut membuktikan bahwa sektor pariwisata di Negara berkembang adalah sektor
potensial dalam menarik dana valuta asing. Di Indonesia sumbangan sektor pariwisata
terhadap cadangan devisa Negara memang masih kalah jauh dibandingkan sumbangan
sektor migas dan SDA lainnya seperti minyak, batubara, sawit dan pulp, demikian juga
sektor non migas seperti industry mesin dan kendaraan bermotor. Namun berdasarkan
data historis terbukti sumbangan sektor pariwisata cukup menjanjikan kedepannya
karena secara meyakinkan terus naik sumbangannya terhadap total cadangan devisa
Negara dengan rata-rata sumbangan 8,8% sepanjang 2009 s.d. 2013 (lihat gambar 2).
140
120
100
80
60
40


96.2

110.12

112.78

99.4

Devisa Total
Devisa pariwisata

66.1

20
0

6.4

7.6


8.6

9.1

10.69

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber: Berita berbagai Media, diolah kembali.
Gambar 2. Jumlah Cadangan Devisa Nasional dan Pariwisata, 2009-2013 (dalam
Milyar USD)
A.2. Pariwisata dan Ketenagakerjaan

Bahasan yang ingin ditekankan dalam makalah ini namun lebih diarahkan pada
pengaruh sektor pariwisata terhadap kesempatan kerja. Secara meyakinkan terlihat
bahwa sumbangan dari jumlah tenaga kerja sektor pariwisata terhadap total
penyerapan tenaga kerja makin meningkat seiring juga trend adanya peningkatan
jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pariwisata (lihat gambar 3). Sebagai catatan
penting jumlah tenaga kerja pariwisata yang tercatat oleh BPS adalah tenaga kerja di
bidang akomodasi hotel berbintang/non bintang, restoran dan jasa biro perjalanan.

10.00%
9.00%
8.00%
7.00%
6.00%
5.00%
4.00%
3.00%
2.00%
1.00%
0.00%


7.76%
6.85%

6.68%

8.37%

8.89%

10

6.88%

8

5.22%

5.22

2007


7.02

6.98

12

7.44

8.53

9.27

10.13

6
4
2

2008


2009

T.K. Pariwisata

2010

2011

2012

2013

0

% T.K. Pariwisata

Sumber: BPS, diolah kembali.
Gambar 3. Jumlah Tenaga Kerja Pariwisata dan Kontribusinya di Indonesia, 20072013 (dalam Juta orang dan persen)
Cohen (1984) juga menyatakan bahwa satu dari delapan dampak utama sektor
pariwisata terhadap kondisi social ekonomi masyarakat negara tujuan wisata adalah
peningkatan jumlah lapangan kerja. Pendapat yang sama diutarakan oleh Horvarth dan
Frechtling (1999) dengan pernyataan bahwa pariwisata bermanfaat bagi perekonomian
wilayah melaui peningkatan output, pendapatan tenaga kerja, dan lapangan kerja,
dimana peningkatan yang terjadi dianalisa dengan Inter-regional I-O (IRIO) melalui
hubungan intra-industry sebagai akibat dari pengeluaran wisata. Smith (1989) di sisi
lain menyatakan bahwa pariwisata sebagai fenomena geografis memiliki sifat khusus
karena menyerap tenaga kerja.
Potret masalah ketenagakerjaan Indonesia sebenarnya tidak hanya mengenai jumlah
pengangguran yang makin turun setiap tahunnya, namun lebih pada kualitas status
pekerjaan yang disandang oleh para tenaga kerja produktif. Terlihat pada table 1 bahwa
dari total tenaga kerja yang tercatat sebenarnya hanya sebagian saja yang menyandang
status bekerja penuh karena masih banyak tenaga kerja yang satusnya tidaklah penuh
bekerja (setengah menganggur dan pekerja paruh waktu). BPS mencatat bahwa pada
akhir Agustus 2014 masih terdapat sebanyak 31,2% pekerja tidak penuh.
Tabel 1. Jumlah Pekerja berdasarkan Status Pekerjaan (dalam Juta orang)

Sumber: BPS, Diolah dari Sakernas 2013, 2014.
Selain masalah tenaga kerja yang bekerja tidak penuh, masih terdapat juga masalah lain
yaitu cenderung stagnannya jiwa entrepreunership di masyarakat Indonesia. Dalam dua
tahun terakhir, data BPS menunjukkan bahwa satus pekerjaan utama penduduk bekerja
lebih banyak merupakan buruh bahkan bekerja dalam keluarga yang tidak dibayar (lihat
table 2). Pada akhir Agustus 2014 terlihat bahwa dari total pekerja di Indonesia kurang
lebih 43.3% masuk dalam kategori bekerja sendiri dan hanya 20.45% saja yang usaha
mandirinya menyerap tenaga kerja (baik buruh tetap maupun tidak tetap).
Tabel 2. Status Pekerjaan Utama Penduduk Bekerja (Juta orang)

Sumber: BPS, Diolah dari Sakernas 2013, 2014.
Dengan demikian terlihat kedua masalah ini menunjukkan masalah status pekerjaan
yang layak dimana aspek lain seperti produktifitas, hak pekerja di tempat bekerja,
perlindungan social akan sangat terkait. Terlebih kedepannya bonus demografi bagi
Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka demografi karena makin dominannya kelompok masyarakat dalam usia produktif yang berdasarkan proyeksi BPS di table
3 akan bertambah menjadi 181,354,922 orang pada tahun 2019 yang berarti pula
67,7% dari total populasi membutuhkan lapangan pekerjaan.

Tabel 3. Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia 2015-2019

Sumber: BPS, 2014
A.3. Ekonomi Kreatif
Di sisi lain, pariwisata terbukti pula sangat terkait dengan industry kreatif yang saat ini
dianggap sebagai sektor generasi ke 4 setelah sektor primer, sekunder, dan tersier.
Definisi ekonomi kreatif hinggga saat ini masih sedang dirumuskan secara pasti.
Kreatifitas, yang menjadi unsur vital dalam ekonomi kreatif sendiri masih sulit untuk
dibedakan apakah sebagai proses atau karakter bawaan manusia. Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia (2008) merumuskan ekonomi kreatif sebagai upaya
pembangunan ekonomi secara berkelanjutan melalui kreativitas dengan iklim
perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang
terbarukan. Definisi yang lebih jelas disampaikan oleh UNDP (2008) yang merumuskan
bahwa ekonomi kreatif merupakan bagian integratif dari pengetahuan yang bersifat
inovatif, pemanfaatan teknologi secara kreatif, dan budaya seperti dijelaskan pada
Gambar 4 berikut:

Gambar 3: Rumusan ekonomi kreatif menurut UNDP (2008)
Lingkup kegiatan dari ekonomi kreatif dapat mencakup banyak aspek. Kementrian
Perdagangan (2008) mengidentifikasi setidaknya 14 sektor yang termasuk dalam
ekonomi kreatif, yaitu:
1. Periklanan
2. Arsitektur
3. Pasar barang seni
4. Kerajinan (handicraft)
5. Desain
6. Fashion
7. Film, video, dan fotografi
8. Permainan interaktif
9. Musik
10. Seni pertunjukan
11. Penerbitan dan percetakan
12. Layanan komputer dan piranti lunak
13. Radio dan televisi
14. Riset dan pengembangan
Bila dilihat luasan cakupan ekonomi kreatif tersebut, sebagian besar merupakan sektor
ekonomi yang bertumpu pada kualitas sumber daya manusia. Secara mengejutkan
industri kreatif di Indonesia mampu memberikan kontribusi positif yang cukup
signifikan terhadap perekonomian nasional. Depertemen Perdagangan (2008) mencatat
bahwa kontribusi industri kreatif terhadap PDB di tahun 2002 hingga 2006 rata-rata
mencapai 6,3% atau setara dengan Rp.152,5 trilyun.
Beberapa bentuk bisnis industry kreatif pada operasionalisasinya sangat terkait dengan
sektor pariwisata. Setidaknya 11 dari 14 sektor yang termasuk industry kreatif adalah

sektor yang bila dikait-kaitkan, minimal secara nomenclature terkait langsung pada
sektor pariwisata. Sebagai contoh yang cukup berhasil menerapkan strategi ini adalah
Jember dengan acara fashion tahunan Jember Fashion Carnival yang terbukti mampu
menarik sejumlah turis local dan mancanegara untuk berkunjung dan menikmati obyekobyek wisata lainnya di Jember. Contoh fashion lainnya, adalah industri kreatif berupa
distro di Kota Bandung yang sengaja memproduksi desain produk dalam jumlah kecil
sehingga memunculkan kesan eksklusifitas bagi konsumen khususnya wisatawan;
dengan hasil akhir dimana produk distro tersebut menjadi layak untuk dibeli dan
bahkan dikoleksi. Hal yang sama juga berlaku untuk desain produk garmen kreatif
lainnya, seperti Dagadu dari Jogjakarta atau Joger dari Bali yang seakan-akan tidak
henti-hentinya setiap hari dikunjungi oleh para wisatawan di dua Kota tersebut.
Dikaitkan pariwisata seni pertunjukan budaya maka contoh yang dapat diambil adalah
saung angklung Udjo di kota Bandung yang sekarang merupakan menu utama bagi para
wisatawan baik local dan mancanegara yang berkunjung ke Kota Bandung.
Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan
dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi, 2006 dalam Suparwoko, 2010).
Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada
something to see, something to do, dan something to buy (Yoeti, 1985 dalam Suparwoko,
2010)). Something to see terkait dengan atraksi di daerah tujuan wisata, something to do
terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara something to buy terkait
dengan souvenir khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia pribadi
wisatawan. Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif utamanya dapat masuk
melalui something to buy dengan menciptakan produk-produk inovatif khas daerah yang
secara bersamaan sebenarnya diiringi juga oleh peningkatan lapangan kerja. Namun
sesunggunya dua factor lainnya: something to see dan something to do juga turut
menyokong upaya penyerapan tenaga kerja. Saung angklung Udjo sebagai contoh
menyajikan atraksi bermain dan sekaligus menonton pertunjukan music angklung. Pada
saat pertunjukkan angklung tersebut sudah dipastikan akan ada kebutuhan terhadap
tenaga asisten pertunjukkan dan pemain music pendukung.
A.4. Ekonomi Kreatif dan Penyerapan Tenaga Kerja
Konektivitas atau linkage antara ekonomi kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet
penjualan yang terletak di daerah wisata. Dengan kata lain, wisata menjadi venue bagi
ekonomi kreatif untuk proses produksi, distribusi, sekaligus pemasaran. Dalam konteks
kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif bagi para pengrajin untuk dapat
menghasilkan produk khas daerah wisata yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah
satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa menghasilkan karya
adalah bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif harus
dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas.
Konektivitas tersebut diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009).

(X, Y)

venue

WISATAWAN

OUTLETS
memorabilia

(K,Lk)

(Xk, Yk)

PRODUSEN
JASA
PARIWISATA

(K,L)

INDUSTRI
KREATIF

Gambar 4. Linkage Antara Industri Kreatif dan Pariwisata dalam Penyerapan
Tenaga Kerja
Dari bagan di atas terlihat bahwa dari kegiatan sektor pariwisata terdapat dua
kemungkinan jalur penyerapan tenaga kerja, yaitu: (a) penyerapan Tenaga Kerja
langsung dari Pariwisata (L) dan (b) penyerapan Tenaga Kerja dari Industri Kreatif (L K)
dari proses kreasi, produksi, pemasaran dan distribusi.
A.5. Pariwisata, Ketenagakerjaan, dan Industri Kreatif di Jawa Barat
Dengan kepemilikan sumber daya alam dan infrastruktur yang relatif di atas rata-rata
propinsi lain, Jawa Barat melihat hal ini sebagai prospek yang utama dalam hal
mengembangkan sektor pariwisata. Terlebih dengan makin rendahnya sumbangan
sektor primer dan sekunder dalam perekonomian Jawa Barat. 2 Pengembangan sektor
pariwisata Jawa Barat telah tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Daerah (RIPPDA) Propinsi Jawa Barat tahun 2006. Jawa Barat saat ini tidak kurang
memiliki 442 obyek wisata eksisting yang dikelola baik oleh pemerintah daerah
maupun swasta. Dari angka ini terpetakan bahwa jenis obyek wisata yang ada adalah:
280 obyek wisata alam, 89 obyek wisata budaya, dan 73 obyek wisata minat khusus. 3
Kondisi ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 ditandai dengan
adanya peningkatan jumlah angkatan kerja, jumlah penduduk bekerja dan jumlah
pencari kerja (pengangguran) di akhir Triwulan I. Pada bulan Februari 2015 jumlah
angkatan kerja tercatat sebanyak 22.332.813 orang, yang berarti peningkatan sebesar
1.045.439 jiwa dibandingkan Februari tahun sebelumnya (2014) yang mencapai
21.287.374 orang. Jumlah Penduduk yang bekerja meningkat sebesar 1.013.106 orang,
dari 19.443.783 orang (Februari 2014) menjadi 20.456.889 orang (Februari 2015).
Namun di sisi lain, jumlah pencari kerja/penganggur juga terus mengalami peningkatan
selama dua tahun terakhir. Pada bulan Februari 2013 tercatat jumlahnya 1.833.643
orang sebagai penganggur, meningkat menjadi 1.843.591 orang pada Februari 2014,
dan terakhir menjadi 1.875.924 orang pada Februari 2015.
2 Bahkan dalam 5 tahun terakhir santer didiskusikan tentang fenomena deindustrialisasi di Jawa Barat.
3 Sumber BPS, Jabar dalam Angka 2013.

Jika dilihat menurut status dalam pekerjaan utama dapat dilihat bahwa pada bulan
Februari 2014 sebagian pekerja di Jawa Barat adalah buruh/karyawan, yaitu sebanyak
9.145.241 orang ( 44.70 %), diikuti oleh yang berusaha sendiri sebanyak 41.33% yang
bila dibandingkan dengan capaian di tingkat nasional pada periode yang sama (43,3%)
mengartikan bahwa secara pilihan, minat berwirausaha di Jawa Barat masih lebih
rendah dibandingkan rata-rata nasional.
Hasil studi Nesparda dari BPS Jawa Barat tahun 2011 (dengan data tahun 2010)
menunjukkan bahwa terdapat 672 ribu tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan
pariwisata, paling banyak terserap di sektor industri pengolahan dan sektor pertanian,
yakni masing-masing sebanyak 92,48 dan 91,66 ribu orang, diikuti sektor konstruksi
dan sektor restoran dengan penyerapan tenaga kerja masing-masing sebesar 74,85 ribu
dan 60,42 ribu orang. Sementara sektor yang terkena dampak penyerapan tenaga kerja
dari kegiatan kepariwisataan yang juga tampak cukup tinggi adalah Angkutan darat,
hotel dan perdagangan dengan penyerapan tenaga kerja masing-masing sebanyak 56,86
ribu; 56,03 ribu dan 54,36 ribu orang. Hasil studi Ini menunjukkan bahwa walaupun
produk industri terkesan tidak terkait secara langsung dengan pariwisata, tetapi
sesungguhnya mempunyai keterkaitan tidak langsung yang sangat besar. Melihat
motodologi penghitungan studi tersebut diketahui bahwa Tabel I-O yang dijadikan dasar
adalah Tabel I-O Jawa barat Tahun 2010 hasil update Tabel I-O 2003. Dari hasil
Nesparda terlihat bahwa terdapat kemungkinan belum terakomodasinya besaran
jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata hasil multiplikasi dan sebaran akibat dorongan
adanya perkembangan industry kreatif yang mungkin lebih terperinci dihitung oleh
Tabel I-O 2010 Jawa Barat yang original atau bukan hasil update, patut pula dicatat
bahwa Kementrian Perdagangan baru melakukan identifikasi 14 sub subsektor
termasuk industry kreatif pada tahun 2008.
Terlebih lagi, hasil studi yang dilakukan Tim Inisiasi (taskforce) Ekonomi Kreatif
Propinsi Jawa Barat tahun 2011 menunjukkan bahwa potensi pengembangan ekonomi
kreatif di Jawa Barat sangat menggembirakan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa
terdapat tujuh kelompok industri kreatif di Jawa Barat yaitu bidang advertising, seni &
pasar antik, kerajinan, desain, seni pertunjukan, seni rupa, dan lainnya (termasuk
kuliner). Industri kreatif Jawa Barat memiliki keunggulan yaitu jangkauan pemasaran
produknya tidak hanya di pasar lokal tetapi di pasar nasional dan internasional (Kota
Bandung (30%), Jawa Barat (29%), nasional (21%), via internet (14%), sisanya pasar
internasional). Keunggulan lainnya adalah sumber pasokan bahan baku dan material
berasal dari lokal (38%), Jawa Barat (40%), nasional (16%), via internet (5%) dan
sisanya dari pemasok internasional. Hal yang paling menggembirakan adalah 95%
pelaku usaha optimisme untuk melakukan perluasan bisnis kedepan. Industri kreatif
Jawa Barat, selain memiliki keunggulan, namun memiliki pula permasalahan, yaitu
mayoritas pelaku usaha belum berbadan hukum dengan kata lain informal (71%) dan
merk hasil produksinya belum terdaftar (81%). Profil pelaku usaha industri
kreatif Jawa Barat berdasarkan modal usaha yang digunakan, yaitu sebesar kurang lebih

Rp.10 juta (28%), Rp.20-40 juta (41%), Rp.40-50 juta (6%), Rp.60-70 juta (6%), Rp.90100 juta (5%) dan sisanya diatas lebih Rp.100 juta (12%). Sedangkan untuk
sumbermodal usaha berasal dari tabungan pribadi/pinjaman keluarga (44%), patungan
bersama teman (26%), pinjaman bank (20%) dan sumber lainnya (10%). Berdasarkan
ukuran jumlah karyawan untuk suatu usaha rata-rata sebanyak 1-5 orang (54%),
sebanyak 5-10 orang (22%) dan sebanyak 10-25 orang (17%).

B. Permasalahan dan Tujuan
Dari paparan dan penjelasan singkat mengenai potret kinerja sektor pariwisata dalam
sebuah perekonomian, khususnya melalui penyerapan tenaga kerja dan penyediaan
lapangan kerja, serta bagaimana sektor pariwisata berkaitan langsung dengan
pengembangan industry kreatif maka makalah ini mencoba mengestimasi pengaruh
kinerja sektor pariwisata terhadap penyerapan dan penyediaan lapangan kerja dengan
kaitan bagaimana industry kreatif dapat dimasukkan kedalam analisis pembahasan.
Penulis berusaha menjawab permasalahan yang diajukan dengan menggunakan kasus
sektor pariwisata dan industry kreatif di Jawa Barat dan metode analisa gabungan
antara Table I-O Jawa Barat 2010 original serta Neraca Satelit Pariwisata Daerah 20114
sebagai alternative dari metode penghitungan yang digunakan Kementrian Perdagangan
RI atau BPS. Dengan cara ini studi ini berharap dapat menghitung dampak terhadap
kesempatan kerja sektor pariwisata dengan lebih akurat (melibatkan kemungkinan
kaitan pariwisata dengan perkembangan industry kreatif pada periode setelah tahun
2008) sesuai dengan dinamika perubahan situasi perekonomian yang sesuai dengan
kekinian.
C. Metode Penelitian
Berdasarkan metode yang dilakukan Kementrian Perdagangan RI tahun 2009,5
metodologi penentuan criteria pekerja industry kreatif ialah dengan menggunakan
klasifikasi satus pekerjaan utama (SPU). Angka jumlah tenaga kerja ini dipetakan
melalui penentuan 14 sektor di industry kreatif pada klasifikasi lapangan usaha tingkat
5 digit KBLI 2005: periklanan; arsitektur; pasar dan barang seni; kerajinan; desain;
fesyen; film, video dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan;
penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio;
serta riset dan pengembangan. Dengan metode ini Kementrian Perdagangan RI
memodifikasi sektoral perekonomian yang umumnya secara universal dikenal dengan
perekonomian 9 sektor berdasarkan System of National Account (SNA) yaitu: (1)
Pertanian, Kehutanan, Perburuan, Perikanan, (2) Pertambangan (3) Industri
Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air, (5) Bangunan, (6) Perdagangan Besar, Eceran,
Rumah Makan dan Hotel, (7) Angkutan, Pergudangan, Komunikasi, (8) Keuangan,
Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan, (9) Jasa
Kemasyarakatan / Public Services menjadi 10 sektor ekonomi: (1) Pertambangan dan
penggalian (2) Keuangan, real estate, dan Jasa Perusahaan, (3) Listrik, Gas dan Air, (4)
Industri Pengolahan, , (5) Bangunan, (6) Angkutan dan Komunikasi (7) Industri Kreatif
4 Untuk metode cara menghitung data-data Nesparda lihat Nesparda Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 hlmn 11.
5 Kemendag RI (2010), Studi Industri Kreatif Indonesia 2009. Jakarta

(8) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (9) Jasa Kemasyarakatan, dan (10) Pertanian,
Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan.
Modifikasi ini menurut penulis sah-sah saja selama digunakan untuk keperluan
pemetaan dan pemuktahiran data-data dan informasi tentang industry kreatif di
Indonesia dan kaitannya dengan perekonomian. Namun harus diperhatikan pula tingkat
akurasi dan kemudahan penerapan dalam kacamata standard analisa ekonomi yang
umum dengan modifikasi ini akan terganggu oleh ketersediaan data yang terbatas serta
kateogrisasi KBLI dan HS Code sektor Industri Kreatif yang belum difinalkan dan
disepakati bersama sebagai bagian dari Industri Kreatif, apalagi bila analisis industry
kreatif dilakukan di tingkat daerah. Kementrian Perdagangan RI tahun 2009 juga
menggunakan analisis Table I-O namun hanya untuk menghitung peranan sektor dan
subsektor industry kreatif terhadap data nilai tambah sektor lainnya yang terkait.
Itupun hanya sekedar menghitung angka multiplier/pengganda dan keterkaitan antar
sektor: forward dan backward linkage.
Studi ini menyadari bahwa klasifikasi SNA tidak secara eksplisit melaporkan kegiatan
ekonomi yang tergolongkan sebagai sektor/subsektor endustri kreatif. Sama halnya
dengan metode yang dilakukan Kementrian Perdagangan RI, studi ini melakukan pula
pengklasifikasian berdasarkan Tabel I-O yang dalam hal ini adalah Tabel I-O Propinsi
Jawa Barat tahun 2010 original atas dasar harga produsen dengan komposisi 86 sektor
yang diagregasi menjadi 35 sektor ala Nesparda.6 dengan proses agregasi menjadi 35
sektor sesuai dengan klasifikasi Nesparda Jawa Barat tahun 2011 melalui penjumlahan
sektor-sektor yang lebih rinci (lihat lampiran 1). Memang akan muncul pertanyaan
umum bagaimana sektor pariwisata dapat berkaitan dengan sektor lain seperti industry
pengolahan yang rasanya jauh dari kegiatan pariwisata, namun secara konseptual kita
dapat menjawab pertanyaan tersebut bahwa dalam kehidupan nyata analisa model
general equilibrium menerangkan bahwa dalam kaitan apapun akan selalu
menunjukkan keterkaitan antar sektor sektor ekonomi karena secara mekanisme pasar
setiap sektor akan menggunakan input produksi yang hamper serupa yang dapat
diagregasikan menjadi Kapital (K) dan tenaga kerja/labor (L).
Perbedaan utama antara metode yang digunakan studi ini dibandingkan dengan metode
yang dikembangkan Kementrian Perdagangan RI adalah bahwa studi ini akan
menggunakan shock dari ketersediaan data Nesparda tentang struktur pengeluaran
wisatawan dan besaran investasi pemerintah dan swasta di Jawa Barat termasuk
pengeluaran promosi dalam sektor pariwisata di dalamnya dengan menggunakan Tabel
I-O Jawa Barat tahun 2010 original. Disamping forward dan backward linkage akan
dihitung pula indeks daya penyebaran yaitu ukuran untuk melihat keterkaitan
kebelakang (backward linkage) sektor-sektor ekonomi di suatu wilayah terhadap ratarata seluruh dampak sektor (i). Rumus yang digunakan adalah:

6 Thesis Zaelani (2015), Analisa Peran Sektor Pariwisata dalam Perekonomian Provinsi Jawa Barat dengan
pendekatan Input Output, Program Studi Magister Ekonomi Terapan, FEB Unpad.

dimana bq adalah elemen matriks inverse leontief dan n adalah jumlah sektor dengan
ketentuan:


αj = 1 daya penyebaran sektor j sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh
sektor ekonomi.



αj > 1 daya penyebaran sektor j diatas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor
ekonomi.



αj < 1 daya penyebaran sektor j dibawah rata-rata daya penyebaran seluruh
sektor ekonomi.

Dengan pendekatan yang sama studi ini menghitung pula indeks derajat kepekaan yang
merupakan perbandingan forward linkage terhadap rata-rata seluruh dampak sektor.
Rumus yang digunakan adalah:

Dimana βi adalah elemen matriks invers Leontied dan n adalah jumlah sektor dengan
ketentuan:


βi = 1 derajat kepekaan sektor j sama dengan rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor
ekonomi.



βi > 1 derajat kepekaan sektor j diatas rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor
ekonomi.



βi < 1 derajat kepekaan sektor j dibawah rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor
ekonomi.

Terakhir untuk menghitung dampak pengeluaran wisatawan, investasi dan biaya
promosi terhadap penyediaan lapangan/kesempatan kerja studi ini mengadopsi
pemikiran bawa dalam setiap aktivitas ekonomi dan produksi akan selalu
membutuhkan sejumlah factor produksi, dalam hal ini jumlah tenaga kerja. Setiap unit
produk yang dihasilkan akan membutuhkan input tenaga kerja. Dengan demikian
pengeluaran wisatawan terhadap barang dan jasa akan dapat pula dihitung dampaknya
pada kesempatan kerja. Formulasi dari dampak terhadap tenaga kerja ini adalah:
Li = l (I-Ad)-1 . C

Dimana Li adalah jumlah tenaga kerja yang diciptakan oleh pengeluaran di sektor
pariwisata, l adalah matriks diagonal koefisien tenaga kerja, yaitu rasio antara jumlah
tenaga kerja sektor tertentu terhadap outputnya, dan i terdiri dari pengeluaran:
1. Wislok: Wisatawan Jawa Barat yang berwisata di wilayah Jawa Barat
2. Wisnus: Wisatawan luar Jawa Barat yang berwisata di wilayah Jawa Barat
3. Wisnus keluar : Wisatawan Jawa Barat yang berwisata di luar wilayah Jawa Barat
4. Wisnas : Wisatawan Jawa Barat yang berwisata ke luar negeri
5. Wisman: Wisatawan mancanegara yang berwisata di wilayah Jawa Barat
6. Investasi
7. Promosi
D. Hasil dan Pembahasan
Pengeluaran wisatawan dalam 35 sektor terdiri dari pengeluaran wisata Jawa Barat
(berwisata di jawa barat maupun yang keluar), pengeluaran wisatawan nusantara dari
luar dan ke Jawa Barat, pengeluaran wisatawan mancanegara yang berkunjung di Jawa
Barat, investasi pemerintah dan swasta di sektor pariwisata, dan biaya promosi oleh
pemerintah daerah (data pengeluaran promosi pihak swasta tidak tersedia). Secara
lengkap table 4 menampilkan detilasi dari jenis pengeluaran-pengeluaran tersebut.
Data pada table 4 menunjukkan bahwa konsumsi wisatawan yang diperoleh melalui
Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) secara total berkontribusi terhadap total
konsumsi masyarakat sebesar Rp.34,917 milyar.
Hasil penghitungan analisa I-O untuk backward linkage pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa sektor yang paling terkait langsung secara backward dalam perekonomian
nasional adalah Industri Makanan dan Minuman yaitu sebesar 0.732, yang berarti
bahwa setiap kenaikan 1 unit ouput sektor Industri makanan dan minuman akan
menaikkan kebutuhan langsung dari input-input sektor lain sebesar 0.731 unit. Secara
simultan peningkatan 1 unit input dari Industri Makanan dan miniman akan memicu
peningkatan penggunaan output sektor-sektor lain secara tidak langsung sebagai input
di Industri Makanan dan minuman sebesar 1,2998 unit. Secara total peningkatan 1 unit
output industry makan dan minuman di Jawa barat akan mengakibatkan peningkatan
penggunaan output seluruh sektor perekonomian sebesar 2,003 unit. Sementara itu
sektor bahan makanan lainnya memiliki indeks backward linkage yang paling rendah
diantara 35 sektor ini sebesar 1,10. Diantara sektor yang terkait langsung dengan sektor
pariwisata adalah hotel dimana peningkatan per unit output di sektor hotel secara
langsung dan tidak langsung akan meningkatkan penggunaan output seluruh sektor
perekonomian sebesar 1,609 unit. Sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke depan
(forward) adalah sektor industry barang dari logam, dimana peningkatan 1 unit sektor

industry barang dari logam akan meningkatkan mendorong output sektor lain yang
menggunakan output sektor industry barang dari logam sebesar 2,4289.
Tabel 4. Pengeluaran Wisatawan, Investasi dan Promosi Pariwisata Jawa Barat
Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2010 (dalam Juta Rupiah)

Catatan:

1. Wislok: Wisatawan Jawa Barat yang berwisata di wilayah Jawa Barat
2.
3.
4.
5.
6.

Wisnus: Wisatawan luar Jawa Barat yang berwisata di wilayah Jawa Barat
Wisnus keluar : Wisatawan Jawa Barat yang berwisata di luar wilayah Jawa Barat
Wisnas : Wisatawan Jawa Barat yang berwisata ke luar negeri
Wisman: Wisatawan mancanegara yang berwisata di wilayah Jawa Barat
Khusus Wisnus keluar dan wisnas (outbound) konsumsi yang dicatat hanya konsumsi pre-post Trip

Hasil perhitungan analisis indeks derajat kepekaan dan Indeks daya penyebaran
menunjukkan bahwa sektor yang paling menyebar adalah industry kertas dan barang

dari kertas sebesar 1,3124 yang berarti bahwa industry ini akan sektor ini dapat
mendorong distribusi manfaat pada sektor ekonomi lainnya melalui mekanisme
transaksi pasar input dengan predikat diatas rata-rata penyebaran keseluruhan sektor,
namun dari sisi kepekaan hanya 1,0632 yang berarti bahwa industry ini mendorong
distribusi manfaat pada sektor ekonomi lainnya melalui transaksi pasar output .
Sedangkan sektor yang memiliki daya kepekaan paling tinggi adalah Industri barang
dari Logam sebesar 2,440 dan penyebaran sebesar 1,312. Sektor terkait parisiwata
seperti sektor hotel walaupun memiliki daya penyebaran yang tinggi (1,015) namun
secara kepekaan memiliki indeks yang rendah (0.6887) demikian juga restoran
(kepekaan 0,724; penyebaran 1,0317), Jasa angkutan udara (kepekaan 0,6916;
penyebaran, 1,063). Hal ini menunjang argumentasi penulis bahwa sektor pariwisata
memiliki daya multiplikasi dalam hal dorongan melalui transaski input. Berbicara input
secara otomatis kita akan tahu bahwa salah satu input produksi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini adalah Tenaga Kerja (L).
Khusus kepada analisas dampak pariwisata terhadap jumlah ketenagakerjaan Jawa
barat pada tahun 2010 dengan menggunakan table I-O Jawa barat tahun 2010, studi ini
menemukan angka penyediaan lapangan kerja sebanyak 16,942,444 yang membuktikan
bahwa menggunakan Tabel I-O tahun 2010 original memang akurat karena angka ini
tepat sama jumlah penduduk Jawa Barat yang bekerja di tahun 2010 (Agustus 2010)
berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jawa Barat dan
Nasperda Jawa Barat 2011. Namun angka Nilai ekonomi sektor pariwisata menunjukkan
perbedaan cukup signifikan dimana angka serapan tenaga kerja yang dihasilkan adalah
794, 874 orang, lebih tinggi dibandingkan angka Nasperda yang hanya 672,487 orang
(lihat table 5), demikian juga dampak per jenis pengeluaran wisatawan besaran tenaga
kerja yang dihasilkan adalah lebih besar kecuali untuk kesempatan kerja yang tercipta
akibat pengeluaran promosi pemerintah untuk pariwisata (angka yang dihasilkan studi
ini 599 orang tenaga kerja lebih sedikit dibandingkan hasil perhitungan resmi) .
Dalam model Input-Output besaran tenaga kerja yang terserap di setiap sektor secara
linear mengikuti besaran output yang dihasilkan sektor tersebut. Dengan demikian
output yang dihasilkan akibat permintaan di sektor pariwisata akan juga memberikan
dampak terhadap penciptaan kesempatan kerja di sektor-sektor terkait. Lebih lanjut,
penulis melakukan agregasi kembali dari 35 sektor menjadi bentuk yang lebih umum
dilakukan yaitu pendekatan SNA 9 sektor. Analisa lebih lanjut adalah menghitung
distribusi dampak pengeluaran konsumsi wisatawan, investasi dan promosi pariwisata
terhadap tenaga kerja per sector secara detail.
Tabel 5. Dampak Pengeluaran Wisatawan terhadap Kesempatan kerja Jawa Barat
2010
Uraian
A. Nilai Ekonomi Jawa Barat

Kesempatan
Kerja
Nasperda
16,942,444

Kesempata
Kerja
Hasil Studi
16,942,444

Perbedaan
-

B. Nilai Ekonomi Pariwisata
1. Wisnus
2. Wisnus Keluar
3. Wislok
4 Wisnas
5. Wisman
6. Investasi
7. Promosi
C. Peranan Pariwisata (%)
1. Wisnus
2. Wisnus Keluar
3. Wislok
4 Wisnas
5. Wisman
6. Investasi
7. Promosi

672,487
256,436
8,573
186,369
8,926
60,024
144,563
7,596
3.97
1.51
0.05
1.1
0.05
0.35
0.85
0.04

794,874
301,740
10,535
223,399
11,281
70,613
170,310
6,997
4.69
1.78
0.06
1.32
0.07
0.42
1.01
0.04

122,387
45,304
1,962
37,030
2,355
10,589
25,747
(599.00)
0.72
0.27
0.01
0.22
0.02
0.07
0.16
-

Sumber: Hasil Analisis Data.
Tabel 6. Distribusi Dampak Pengeluaran Wisatawan, Investasi, dan Promosi
terhadap tenaga Kerja 2010 berdasarkan Sektor.
Jumlah
(orang)

%

Pertanian

111,851

14.07%

Pertambangan dan Penggalian

10,510

1.32%

Industri Pengolahan

107,541

13.53%

767

0.10%

Bangunan

90,567

11.39%

Perdagangan, Hotel dan Restoran

182,572

22.97%

Pengangkutan dan Komunikasi

97,063

12.21%

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

30,832

3.88%

Jasa-jasa

163,171

20.53%

794,874

100%

Sektor

Listrik, Gas dan Air Bersih

Sumber: Hasil Olahan Data

Jumlah tenaga kerja sector pariwisata terbesar tentu berada pada sector Perdagangan,
Hotel dan Restoran (22,97%) serta Jasa-jasa (20.53%) karena kedua sector tersebut
secara spesifik langsung terkait dengan kegiatan di sector pariwisata. Namun dengan
pendekatan analisa I-O, sector-sektor lain yang secara tidak langsung terkait seperti

industry pengolahan dan pertanian juga memperoleh manfaat dari adanya pengeluaran
wisatawan di sector pariwisata. Dikaitkan dengan industry kreatif yang sedang
berkembang saat ini terlihat bahwa multiplikasi penciptaan tenaga kerja di sector lain
dapat lebih dikembangkan ke depan mengingat dalam industry pengolahan terdapat
sub sector industry pengolahan makanan dan minuman yang dapat disuntikkan
kedalamnya unsure kreatif. Demikian juga dengan sector pertanian dimana beberapa
subsector seperti perkebunan, kehutanan dan peternakan dapat pula disuntikkan
unsure wisata alam atau wisata pedesaan.
E. Kesimpulan dan Saran
1. Dampak sector pariwisata terhadap penciptaan lapangan kerja dalam studi ini
mengasumsikan bahwa Tabel I-O Jawa barat tahun 2010 yang bukan versi update
secara perhitungan telah mengakomodasi pula semangat dan program
pengembangan industry kreatif sehingga angka simulasi dampak pengeluaran
wisatawan dalam hal ini kegiatan ekonomi sector pariwisata yang dihasilkan
terbukti akan lebih besar dampaknya terhadap penciptaan tenaga kerja.
2. Pariwisata dengan strategi pengembangan melalui keterlibatan industry kreatif akan
lebih menambah daya dorong sector ini terhadap perekonomian karena salah
satunya adalah mendorong pula peningkatan penciptaan lapangan kerja dari
kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata.
3. Analisa dampak pariwisata terhadap perekonomian melalui penciptaan tenaga kerja
yang menggunakan analisis I-O adalah pendekatan dari sisi permintaan. Analisa
Komprehensif dapat pula dilakukan dengan mengumpulkan data sisi penawaran
khususnya input produksi jumlah modal dan tenaga kerja yang digunakan dalam
kegiatan ekonomi sector pariwisata.
4. Guna mengakomodasi perkembangan perekonomian yang dinamis dan penuh
dengan inovasi pemikiran dan teknologi seyogyanya Tabel I-O Nasional maupun
daerah harus selalu ter-update dan sebisa mungkin dilakukan updatenya dengan
melihat langsung pada fenomena perekonomian yang terjadi di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, Jawa Barat, 2011, Tabel Input-Output Jawa Barat Tahun 2010,
Bandung
Bagdja Muljarijadi (2007) Perencanaan Regional, Jakarta, Universitas Terbuka Press
Balageur, J. dan M. Cantavella-Jorda (2002), Tourism as a long Term Growth factors: The
Spanish Case, “ Applied Economics, 34, No. 7: 877-884
Dinas pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa barat (2011), Neraca Satelit Pariwisata
Daerah (NESPARDA ) Jawa Barat, Tahun 2010, Bandung.
Dritsakis, N and S. Athanasiadis (2000). An econometric model of tourist demand: The
case of Greece. Journal of hospitality & leisure marketing, Vol. 2, pp. 39 9 49

Endre Horvarth and Douglas C. Frechtling (1999) Estiamting the multiplier effects of
tourism expenditures on a local economy through a Regional I-O Model, Journal of
Traveo Research. Vol. 7 No. 4: 324-332.
Payne, James and Andrea Mervar, 2002, "A Note on Modelling Tourism Revenues in
Croatia", Tourism Economics, 8(1), March, pp. 103-109.
Weaver dan Oppermann (2000), Tourism Geographies: An International Journal of
Tourism Space, Place and Environment, Vol. 4 (4): 457-462, Routlidge