PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERN (3)

PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP
MANAJEMEN LABA (STUDI PADA PERUSAHAAN
GO PUBLIC SEKTOR MANUFAKTUR DI BEI
TAHUN 2008-2010)
Febryanti Simon
Universitas Multimedia Nusantara

Abstract
The objective of this research is to examine the effect of good corporate governance
which consist of managerial ownership, institutional ownership, board size, proportion of
independent board, and audit committees towards earnings management. Earnings management
measured by discretionary accruals with Modified Jones Model.
The samples in this study are 33 companies that listed in Bursa Efek Indonesia as
manufacturing sector in the year 2008-2010. The sample in this study determined based on
purposive sampling. Data used in this study is a secondary data such as annual reports or
financial reports.
The results from this study are (1) managerial ownership had not negative significant
influence to earnings management (2) institutional ownership had not negative significant
influence to earnings management (3) the size of the board commissioners had not negative
significant influence to earnings management (4) the proportion of independent board had
negative significant to earnings management (5) the existence of audit committees had not

significant to earnings management (6) mechanism of good corporate governance which consist
of managerial ownership, institutional ownership, size of board commissioner, the proportion of
independent board and existence of audit committees had not significant to earnings
management.
Keywords: good corporate governance, earnings management, managerial ownership,
institutional ownership, size of board commissioners, proportion of independent
board, the existence of audit committees.

I. Pendahuluan
Manajer dan pemegang saham merupakan dua partisipan terkait dalam sebuah perusahaan.
Manajer dapat dikatakan sebagai agent dan pemegang saham dapat dikatakan sebagai principal.
Antara agent dan principal pada praktiknya memiliki perbedaan kepentingan. Perbedaan
kepentingan antara agent dan principal ini terkait dengan teori keagenan. Teori ini menyatakan
bahwa setiap individu memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya
secara maksimal (Sulistiawan, 2011). Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi
muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk
memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan
kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Agent
(manajer) selaku pengelola perusahaan akan lebih mengutamakan hal-hal yang dapat
memaksimalkan kesejahteraannya sendiri, seperti gaji dan bonus.


Agent yang berperan sebagai pengelola perusahaan berkewajiban untuk memberikan
informasi selengkapnya terkait dengan keadaan perusahaan kepada principal. Informasi yang
diberikan oleh agent kepada principa l dituangkan dalam laporan keuangan. Akan tetapi,
terkadang informasi dan sinyal mengenai keadaan perusahaan yang diterima oleh principal tidak
sesuai atau tidak menggambarkan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Informasi yang di
ketahui oleh agent berbeda dengan informasi yang diterima oleh principal. Kondisi ini disebut
dengan asimetri informasi (Information asymmetric). Asimetri informasi yang terjadi antara
manajer (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer
untuk melakukan manajemen laba (earnings management).
Manajemen laba (earnings management) adalah tindakan dimana manajer dapat
memodifikasi laporan keuangan baik itu menaikkan ataupun menurunkan laba sesuai dengan
keinginan dan kepentingan manajer (agent). Hal ini terjadi karena manajer (agent) ingin
mendapatkan laba sesuai target dengan tujuan mendapatkan bonus dari perusahaan. Tindakan
dari manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan manajer untuk memenuhi kepentingannya
sendiri (moral hazard) dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Dalam hal ini kepentingan
yang dikorbankan adalah kepentingan principal. Tindakan manajemen laba ini dapat dibatasi
dengan mekanisme good corporate governance. Mekanisme good corporate governance dapat
meningkatkan pengawasan (monitoring) atas kinerja manajer dalam mengelola perusahaan
sehingga diyakini dapat mengurangi terjadinya manajemen laba pada perusahaan (Prasasti,

2010).
Memperbesar kepemilikan saham oleh perusahaan (kepemilikan manajerial) merupakan
mekanisme good corporate governance yang diprediksi dapat membatasi manajemen laba.
Dengan memperbesar kepemilikan saham manajemen (managerial ownership), maka
kepentingan pemilik atau pemegang saham akan dapat disejajarkan dengan kepentingan manajer
dengan tujuan untuk mengurangi perilaku manajer dalam melakukan manajemen laba (Jensen
dan Meckling, 1976 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Selain itu, kepemilikan investor
institusional juga diprediksi dapat membatasi tindakan manajemen laba. Diharapkan dengan
adanya kepemilikan oleh investor institusional dapat memonitor agen dengan kepemilikannya
yang besar sehingga dapat mengurangi prilaku oportunis manajer.
Manajemen laba tidak hanya dapat dibatasi dengan memperbesar struktur kepemilikan
melainkan dapat juga dilihat dari ukuran dewan komisaris dan proporsi dewan komisaris
independen. Komisaris bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi kebijakan dan
tindakan direksi (Effendi, 2009). Namun, dibutuhkan pihak ketiga yang dapat membantu kinerja
dari dewan komisaris, yaitu dewan komisaris independen yang mampu memberikan pengawasan
lebih baik terhadap manajer sehingga dapat memperkecil terjadinya kecurangan yang dilakukan
oleh manajer.
Mekanisme good corporate governance yang juga diprediksi dapat membatasi
manajemen laba adalah keberadaan komite audit. Sesuai dengan keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. Kep-134/BL/2006 mengatakan bahwa

dalam laporan tahunan perusahaan harus menguraikan tata kelola perusahaan yang mencakup
adanya komite audit dan penjelasan terkait anggota komite audit perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, penelitian ini akan menguji pengaruh mekanisme good corporate
governance yang diukur dari kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan
komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit terhadap
manajemen laba yang diukur dengan discretionary accrual Modified Jones Model. Penelitian ini

dilakukan pada seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar d Bursa Efek Indonesia pada tahun
2008-2010 secara berturut-turut.
Perumusan Masalah.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apakah kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
manajemen laba?
Apakah kepemilikan institusional memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap

manajemen laba?
Apakah ukuran dewan komisaris memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
manajemen laba?
Apakah proporsi dewan komisaris independen memiliki pengaruh negatif signifikan
terhadap manajemen laba?
Apakah keberadaan komite audit memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
manajemen laba?
Apakah mekanisme good corporate governance (kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan
keberadaan komite audit) memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba?
II. Tinjauan Literatur dan Hipotesis

Agent dan Principal
Perusahaan adalah suatu organisasi yang didirikan oleh satu orang atau sekelompok orang yang
kegiatannya adalah produksi dan distribusi barang atau jasa. Dilihat dari kepemilikannya,
terdapat 3 (tiga) bentuk perusahaan, yaitu (Syamsudin, 2008): (1) Perusahaan Perseorangan,
yaitu perusahaan yang didirikan oleh satu oarng dan badan kepemilikannya pun dimiliki oleh
satu orang. Pada perusahaan ini, seluruh harta perusahaan adalah merupakan modal pribadi
pendiri perusahaan (2) Perusahaan Persekutuan/Partnership yaitu perusahaan yang didirikan oleh
dua orang atau lebih dengan menggunakan nama bersama (3) Perseroan Terbatas, yaitu bentuk

organisasi yang didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dan memiliki badan hukum. Dalam PT
dikenal business entity concept yang mengatakan bahwa terjadi pemisahan tanggung jawab
antara entitas perusahaan dengan entitas pribadi.
Pemilik modal atau pemegang saham dalam Perseroan Terbatas (PT) tidak harus
memimpin perusahaan. Pemilik modal dapat menunjuk seseorang untuk memimpin dan
menjalankan perusahaan sehingga dapat dikatakan bahwa pemilik modal mempercayakan
perusahaan dijalankan oleh pihak lain dan pemilik modal hanya menantikan keuntungan yang
akan dibagikan dalam bentuk dividen. Pemilik dalam hal ini dapat dikatakan sebagai principal
yang berarti adalah pihak yang mensuplai modal sedangkan pihak yang mengoperasikan
perusahaan dapat dikatakan sebagai agent.
Teori Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa hubungan
keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal). Dalam
kontrak ini dijelaskan bahwa principal memberikan pesan kepada agent untuk mengelola
perusahaan dengan baik agar dapat memberikan return yang baik pula bagi principal. Namun,
antara agent dan principal terjadi perbedaan kepentingan. Manajer atau agent mempunyai
kewajiban untuk memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham atau principal, namun

disisi lain manajer juga cenderung untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya sendiri. Hal ini
yang biasa disebut sebagai konflik kepentingan. Konflik kepentingan semakin tinggi terutama

karena principal tidak dapat sepenuhnya mengawasi aktivitas agent.
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga
asumsi sifat manusia: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2)
manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality),
dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia
tersebut, manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu sikap manajer yang lebih
mengutamakan kepentingan pribadinya.
Menurut Utama (2002) dalam Prasasti (2010) menyatakan bahwa terdapat dua bentuk
asimetri informasi, yaitu: (1) Adverse Selection, adalah jenis asimetri informasi yang dimana
para manajer dan pihak dalam perusahaan lebih banyak mengetahui informasi tentang kondisi
dan prospek ke depan suatu perusahaan dibandingkan dengan investor luar (2) Moral hazard
adalah jenis asimetri informasi dimana kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak
seluruhnya diketahui oleh para investor (pemegang saham, kreditor) sehingga manajer dapat
melakukan tindakan di luar pengetahuan para pemegang saham yang melanggar kontrak.
Manajemen Laba
Terdapat perbedaan antara skandal akuntansi dan manajemen laba dalam pengertian dan
pemahaman. Skandal akuntansi digunakan untuk menyebut praktik akuntansi yang melanggar
aturan (Sulistiawan, 2011) sedangkan manajemen laba dapat dikatakan sebagai tindakan manajer
dalam mengatur laba baik itu menaikkan atau menurunkan laba namun tidak melanggar aturan
akuntansi, seperti mengubah kebijakan atau estimasi akuntansi. Contohnya adalah mengubah

metode penilaian persediaan dari FIFO ke LIFO atau sebaliknya, merubah metode penyusutan
aktiva dari metode garis lurus (straight line) ke metode penyusutan berganda (double declining
balance) (Gumanti, 2000).
Perusahaan akan cenderung memilih metode akuntansi sesuai dengan keadaan yang
diinginkan perusahaan baik itu menurunkan keuntungan maupun meningkatkan keuntungan. Hal
ini erat kaitannya sesuai dengan 3 (tiga) hipotesis yang dijelaskan dalam positive accounting
theory Gumanti (2000):
1. Bonus plan hypothesis
Bonus plan hypothesis menyatakan bahwa manajer akan cenderung untuk meningkatkan
laba pada periode berjalan atau lebih tepatnya pada periode masa kini. Tujuan manajer
melakukan hal ini adalah untuk memaksimumkan bonus karena seringkali tingkat laba
dijadikan dasar dalam penentuan bonus atas kinerja manajer.
2. Debt covenant hypothesis
Dilihat dari rasio debt to equity, jika suatu perusahaan memiliki rasio debt to equity yang
tinggi diindikasikan bahwa manajer perusahaan cenderung menggunakan metode
akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba.
3. Political cost hypothesis
Perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, mendorong manajer untuk memilih
metode akuntansi yang dapat mengurangi laba yang dilaporkan. Tingginya laba yang
dilaporkan akan menarik perhatian dari kalangan konsumen dan media sehingga

menyebabkan timbulnya biaya politis, antara lain dengan pengenaan pajak lebih tinggi
dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politik.

Pihak agent akan melakukan tindakan manajemen laba jika didorong oleh keinginan
dalam diri sendiri maupun didorong oleh berbagai faktor dan motivasi dari luar. Menurut
Sulistiawan (2011) terdapat beberapa hal yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan
tindakan manajemen laba, yaitu:
1. Motivasi Bonus
Pengukuran kinerja manajemen salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha.
Pengukuran kinerja berdasarkan laba dan skema bonus ini memotivasi manajer
memberikan performa terbaiknya sehingga tidak menutup kemungkinan adanya sikap
oportunis manajer.
2. Motivasi Utang
Selain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham, untuk kepentingan ekspansi
perusahaan, manajer seringkali melakukan kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal
ini adalah kreditor. Untuk mendapatkan dana dari kreditor, maka manajer harus
menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya. Dan untuk memperoleh hasil
maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku kreatif dari manajer untuk
menampilkan performa yang baik dari laporan keuangannya pun seringkali muncul.
3. Motivasi Pajak

Perusahaan juga cenderung melakukan tindakan manajemen laba untuk tujuan
perpajakan. Dalam hal ini, perusahaan cenderung menyajikan laporan laba fiskal yang
lebih rendah dari nilai sebenarnya. Kecenderungan ini memotivasi manajer untuk
bertindak kreatif melakukan tindakan manajemen laba agar seolah-olah laba fiskal yang
dilaporkan memang lebih rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntansi
perpajakan.
4. Motivasi Penjualan Saham
Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun sudah go
public. Perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran saham perdananya
ke publik atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public Offerings (IPO) untuk
memperoleh tambahan modal usaha dari calon investor.
5. Motivasi Pergantian Direksi
Praktik manajemen laba biasanya terjadi pada sekitar periode pergantian direksi atau
chief executive officer (CEO). Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi cenderung
melakukan tindakan manajemen laba dengan memaksimalkan laba agar performa
kerjanya tetap terlihat baik pada tahun terakhir masa jabatan.
6. Motivasi Politis
Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya banyak
menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan industri strategis
perminyakan, gas, listrik, dan air. Demi menjaga tetap mendapatkan subsidi, perusahaan

cenderung menjaga posisi keuangannya dalam keadaan tertentu sehingga prestasi atau
kinerjanya tidak terlalu baik.
Manajer dalam mengelola atau mengatur laba dapat menerapkan praktek-praktek yang
akan menguntungkan bagi dirinya sendiri. Menurut Ayres (1994) dalam Gumanti (2000),
terdapat 3 (tiga) faktor yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktek-praktek tersebut:
1. Manajemen Akrual
Faktor yang pertama ini terkait dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran
kas dan memberikan keuntungan secara pribadi kepada para manajer. Salah satu contoh
untuk hal ini adalah mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan,

mengkategorikan pengeluaran sebagai beban atau dianggap sebagai tambahan suatu
investasi (misalnya: biaya perawatan aktiva tidak lancar, kerugian atau keuntungan atas
penjualan aktiva).
2. Penerapan suatu kebijaksanaan akuntansi yang wajib (adoption of mandatory accounting
changes).
Faktor kedua ini terkait dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu
kebijaksanaan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan, yaitu antara
menerapkannya lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat
berlakunya kebijaksanaan tersebut. Manajer dapat memilih kebijaksanaan tersebut
disesuaikan dengan kepentingan dan keuntungan bagi manajer.
3. Perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes)
Hal ini biasanya terkait dengan upaya manajer untuk mengganti atau mengubah suatu
metode akuntansi tertentu di antara sekian banyak metode yang dapat dipilih yang telah
tersedia sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Contoh dari hal ini
adalah mengubah metode persediaan dari FIFO ke Average atau sebaliknya, mengubah
metode penyusutan aktiva, dan atau pengakuan atas biaya produksi antara menggunakan
metode biaya penuh (absorption atau full costing) atau biaya langsung/variable (variable
atau direct costing)
Tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer memiliki berbagai bentuk.
Bentuk-bentuk manajemen laba menurut Scott (1997) dalam Sriwedari (2009), yaitu:
1. Taking a Bath
Biasanya dilakukan oleh manajemen pada saat keadaan perusahaan sedang menurun,
termasuk jika ada pergantian CEO. Manajemen melakukan penghapusan aktiva dan
membebankan perkiraan biaya di masa yang akan datang sehingga laba yang dilaporkan
periode mendatang akan meningkat.
2. Income Minimization
Bentuk ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan tinggi dengan maksud agar tidak
mendapatkan perhatian secara politis. Kebijakan yang dapat dilakukan adalah
mempercepat penghapusan aktiva tetap dan aktiva tak berwujud serta mengakui
pengeluaran seperti biaya iklan, biaya untuk Research and Development (R&D).
3. Income Maximization
Tindakan income maximization biasanya dilakukan pada saat kondisi perusahaan sedang
menurun. Manajemen akan melakukan peningkatan laba pada kondisi tertentu, biasa
dilakukan pada Initial Public Offerings (IPO) agar mendapat perhatian dari investor,
bonus plan untuk memenuhi kebutuhan manajer serta debt covenant, yaitu perjanjian
akan mencapai tingkat laba tertentu agar tetap mendapatkan kepercayaan dari kreditur.
4. Income Smoothing
Income Smoothing adalah tindakan yang dilakukan oleh manajemen untuk meratakan
laba atau membuat laba tidak berfluktuasi dari satu periode ke periode berikutnya.
Biasanya dilakukan dengan cara memindahkan laba pada periode yang tinggi ke periode
yang labanya rendah. Hal ini dilakukan agar mendapat perhatian investor bahwa
perusahaan memiliki laba yang stabil.

Good Corporate Governance
Corporate governance dapat didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegang saham (principal), pegelola (agent) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya terkait hakhak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan (FCGI, 2002) dalam Prasasti (2010). Menurut Kaihatu (2006) dalam Prasasti (2010),
terdapat lima prinsip dasar dari corporate governance:
1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan
relevan mengenai perusahaan.
2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana
secara efektif.
3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang
berlaku.
4. Independency (independen), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara
professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen
yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan prinsipprinsip korporasi yang sehat.
5. Fairness (kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang
berlaku.
Corporate governance diperlukan untuk membatasi tindakan manajemen laba atau
mengendalikan perilaku pengelola perusahaan agar bertindak tidak hanya untuk kepentingannya
sendiri melainkan menyamakan kepentingan antara pemilik perusahaan dan pengelola
perusahaan. Dalam penelitian ini mekanisme good corporate governance, meliputi: (1)
Kepemilikan Manajerial (2) Kepemilikan Institusional (3) Ukuran Dewan Komisaris (4) Proporsi
Dewan Komisaris Independen (5) Keberadaan Komite Audit.
Perumusan Hipotesis
Ha1: Kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba.
Ha2: Kepemilikan institusional memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap manajemen
laba.
Ha3: Ukuran dewan komisaris memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap manajemen
laba.
Ha4: Proporsi dewan komisaris independen memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
manajemen laba.
Ha5: Keberadaan komite audit memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap manajemen
laba.
Ha6: Mekanisme good corporate governance (kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan
keberadaan komite audit) memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

III. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian causal study, yaitu penelitian yang melihat hubungan
sebab akibat (melihat adanya pengaruh signifikan atau tidak) antar variabel-variabel penelitian
(Sekaran, 2010). Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah perusaan go public
sektor manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 208-2010 secara berturut-turut. Dalam pemilihan
sampel ini digunakan teknik purposive sampling, yaitu sampel ditentukan berdasarkan kriteria
tertentu sehingga berdasarkan kriteria pemiihan sampel, ada 33 perusahaan yang menjadi sampel
dalam penelitian ini. Jadi, total data dalam penelitian ini adalah 99 data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari laporan
keuangan tahunan perusahaan untuk tahun 2008-2010. Data yang dibutuhkan dalam penelitian
ini adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen beserta catatan atas
laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan.
Definisi Operasional Variabel
Variabel independen
Variabel independen dalam penelitian ini adalah:
a) Kepemilikan manajerial
Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak
manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola (Gideon, 2005) dalam
(Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Variabel kepemilikan manajerial ini diukur dengan
menggunakan skala ratio. Pada penelitian ini, indikator yang digunakan untuk mengukur
kepemilikan manajerial adalah persentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen
dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar.
b) Kepemilikan institusional
Kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh institusi
atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi
lain) (Tarjo, 2008) dalam (Prasasti, 2010). Variabel kepemilikan institusional dalam
penelitian ini diukur dengan menggunakan skala ratio. Pada penelitian ini variabel ini
diukur dengan menggunakan persentase jumlah saham yang dimiliki institusi dari seluruh
modal saham yang beredar.
c) Ukuran dewan komisaris
Dewan komisaris adalah pihak yang berperan penting dalam menyediakan laporan
keuangan perusahaan yang reliable (Antonia, 2008). Dewan komisaris berfungsi
melakukan pengawasan (Effendi, 2009). Variabel ini akan diukur dengan menggunakan
indikator jumlah anggota dewan komisaris suatu perusahaan. Variabel ini juga diukur
dengan menggunakan skala ratio.
d) Proporsi dewan komisaris independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan
direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas
dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya
untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan
(Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Variabel ini akan diukur dengan menggunakan
persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh
ukuran anggota dewan komisaris perusahaan. Variabel ini juga diukur dengan
menggunakan skala ratio.

e) Keberadaan komite audit
Komite audit merupakan pihak yang bertugas untuk membantu dan memperkuat fungsi
dewan komisaris dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan
efektivitas audit internal dan eksternal (Pamudji) dan (Effendi, 2009). Variabel ini diukur
dengan menggunakan skala nominal. Variabel keberadaan komite audit dalam penelitian
ini merupakan variable dummy, bila perusahaan sampel memiliki komite audit maka
dinilai 1, dan jika sebaliknya maka dinilai 0.
Variabel dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba (earnings management).
Variabel dependen dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala ratio. Manajemen
laba adalah salah satu perilaku atau tindakan manajer dalam memanipulasi laporan keuangan,
baik menaikkan ataupun menurunkan angka dalam laporan keuangan. Pada penelitian ini,
manajemen laba diukur dengan menggunakan discretionary accruals. Penggunaan discretionary
accruals sebagai proksi manajemen laba diukur dengan menggunakan Modified Jones Model
(Dechow et al, 1995) dalam (Ujiyantho dan Pramuka, 2007).
a) Total Accruals
Total Accruals dihitung dari selisih antara laba bersih (net income) dengan arus kas
operasional (operating cash flow) perusahaan sehingga rumusannya adalah:
TA = Nit - OCFit
Keterangan:
TA
: Total accruals
Nit
: Laba bersih perusahaan i pada periode ke t
OCFit : Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode t
b) Nilai total accruals yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS
TAit/Ait-1 = β1 (1/ Ait-1) + β2 (∆ REVit /Ait-1) + β3 (PPEit/Ait-1) + eit
Keterangan :
TAit : Total accruals perusahaan i pada periode ke t
Ait-1 : Total aset perusahaan i pada periode ke t-1
eit
: eror yang terjadi pada perusahaan i pada periode ke t
PPEit : Aset tetap perusahaan i pada periode ke t
∆ REVit: Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke t
Dengan menggunakan koefisien regresi diatas nilai non discretionary accruals
(NDA) dapat dihitung dengan rumus:
c) Non discretionary accruals
NDAit = β1 (1/Ait-1) + β2 (∆ REVit/Ait-1- ∆ RECit/Ait-1) + β3 (PPEit/Ait-1)
Keterangan:
NDAit : Non discretionary accruals perusahaan i pada periode ke t
∆RECit : Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke t
d) Discretionary accruals
DAit = TAit / Ait-1 - NDAit
Keterangan :
DAit : Discretionary accruals perusahaan i pada periode ke t

Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif yang digunakan untuk
mengetahui nilai rata-rata, minimum, maksimum dan standar deviasi dari variabel-variabel yang
diteliti. Dalam penelitian ini alat bantu yang digunakan dalam menganalisis data adalah program
SPSS versi 19.
1. Uji kualitas data
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu
atau residual memiliki distribusi normal. Pada penelitian ini, uji normalitas menggunakan
Kolmogorv-smirnov, dengan dasar pengambilan keputusan adalah Jika nilai probabilitas
signifikansi residual lebih besar dari 0,05, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.
Jika setelah dilakukan uji normalitas diketahui bahwa data tidak terdistribusi secara normal,
maka dapat dilakukan transformasi data.
2. Uji asumsi klasik
Uji asumsi klasik dilakukan untuk memenuhi asumsi dasar sebelum dilakukan pengujian
hipotesis. Uji asumsi klasik yang yang diperlukan adalah uji multikolonieritas, uji
heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi (Ghozali, 2011).
a) Uji multikolonieritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya
korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak
terjadi korelasi di antara variabel independen. Nilai cutoff yang umum dipakai untuk
menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai Tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan
nilai VIF ≥ 10 (Ghozali, 2011).
b) Uji heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model
regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas
(Ghozali, 2011). Dasar pengambilan keputusan yang digunakan adalah (Ghozali, 2011):
(1) Jika terdapat pola tertentu atau titik – titik membentuk pola tertentu yang teratur,
maka mengindikasikan adanya heteroskedastisitas (2) Jika tidak terdapat pola yang jelas
atau titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas.
c) Uji autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara
kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya). Salah satu cara mendeteksi adanya autokorelasi adalah dengan
menggunakan metode Durbin-Watson. Dalam metode Durbin Watson (DW) dikenal batas
atas (du) dan batas bawah (dl). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 33 dengan
tingkat signifikansi yang ditentukan adalah 5% dan jumlah variabel independen dalam
penelitian ini adalah 5. sehingga dilihat dari tabel Durbin Watson maka du bernilai 1,813
dan dl nya bernilai 5-1,813. Jika nilai DW lebih besar dari batas (du) 1,813 dan kurang
dari 5-1,813 (5-du), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi positif atau
negatif atau dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi (Ghozali, 2011).
3. Uji Hipotesis
Persamaan regresi linier berganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
EMit = α0 + α1 Kep.Manajit + α2 Kep.Instit + α3 UDKit + α4 PDKIit + α5 KAit + e

Keterangan:
EMit
= Earnings Management perusahaan i pada periode t
Kep.Instit = Kepemilikan Institusional perusahaan i pada periode t
Kep.Manajit= Kepemilikan Manajerial perusahaan i pada periode t
UDKit = Ukuran Dewan Komisaris perusahaan i pada periode t
PDKIit = Proporsi Dewan Komisaris perusahaan i pada periode
KAit
= Keberadaan Komite Audit perusahaan i pada periode t
α0 – α4 = Konstanta regresi
e
= Error
a) Uji Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodnes-fit dari model regresi. Dalam
mengevaluasi model regresi sebaiknya digunakan nilai adjusted R2, karena setiap adanya
penambahan variabel independen maka nilai adjusted R2 dapat meningkat maupun
menurun sesuai dengan bagaimana pengaruh atas penambahan variabel tersebut
(signifikan atau tidak).
b) Uji Signifikansi Parameter Individual ( Uji Statistik t)
Uji parsial digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas
atau independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen
(Ghozali, 2011). Uji statistik t mempunyai nilai signifikansi α=5 %. Kriteria pengujian
hipotesis dengan menggunakan uji statistik F adalah jika nilai signifikansi t (p – value) <
0,05, maka hipotesis alternatif diterima, yang menyatakan bahwa suatu variabel
independen secara individual mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2011).
c) Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F –F test)
Uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah semua variable independen atau bebas
yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap
variable dependen atau terikat (Ghozali, 2011). Uji ini dapat dilihat pada nilai F test. Uji
statistik F mempunyai tingkat signifikansi α = 5%. Kriteria pengujian hipotesis dengan
menggunakan uji statistik F adalah jika nilai signifikansi F(p – value) < 0,05, maka
hipotesis alternatif diterima, yang menyatakan bahwa semua variabel independen secara
serentak dan signifikan mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2011)
IV. Analisa dan Pembahasan
1. Uji Kualitas Data
Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov adalah:
Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N
Normal Parameters

99
a,b

Mean
Std. Deviation

Most Extreme Differences

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Absolute

.0000000
.19500405
.191

Positive

.191

Negative

-.169
1.903
.001

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 1,903 dan
signifikan pada 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa nilai probabilitas signifikansi residual lebih
kecil dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data residual tidak berdistribusi normal. Karena
data tidak terdistribusi dengan normal, maka dilakukan transformasi data. Dari hasil uji
Kolmogorv-smirnov masing-masing variabel, diketahui bahwa variabel kepemilikan institusional
yang memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. Maka, variabel earnings management,
kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan
komite audit ditransformasi sesuai dengan bentuk grafik histogramnya. Variabel earnings
management, kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris
independen, dan keberadaan komite audit ditransformasi menjadi SQRT. Berikut ini adalah hasil
uji normalitas setelah transformasi data:
Tabel 4.7 Uji Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N

52

Normal Parameters

a,b

Mean

.0000000

Std. Deviation
Most Extreme Differences

.18333158

Absolute

.153

Positive

.153

Negative

-.100

Kolmogorov-Smirnov Z

1.104

Asymp. Sig. (2-tailed)

.175

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa nilai signifikansi residual adalah sebesar 0,175
dan lebih besar dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data residual terdistribusi
normal.
2. Uji Asumsi Klasik
a) Uji Multikolonieritas
Berikut ini adalah tabel hasil uji multikolonieritas:
Tabel 4.8 Hasil Uji Multikolonieritas
a

Coefficients

Collinearity Statistics
Model
1

Tolerance

VIF

(Constant)
Kep.Inst

.584

1.711

SQRKep.Manaj

.556

1.798

SQRUDK

.872

1.147

SQRPDKI

.952

1.050

SQRKA

.961

1.040

Nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolonieritas adalah
nilai Tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10 (Ghozali, 2011). Berdasarkan
tabel 4.8 didapatkan hasil bahwa semua variabel independen memiliki nilai Tolerance di
atas 0,10 dan nilai VIF jauh di bawah angka 10. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat multikolonieritas dalam penelitian ini.
b) Uji Heteroskedastisitas
Berikut ini adalah gambar hasil uji heteroskedastisitas:
Gambar 4.1 Hasil Uji Heteroskedastisitas

Berdasarkan gambar 4.1 dapat dilihat bahwa tidak ada pola tertentu pada
grafik scatterplot atau dapat dilihat bahwa titik-titik pada gambar scatterplot tidak
membentuk pola tertentu dan tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada
sumbu Y, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak terjadi
heteroskedastisitas.
c) Uji Autokorelasi
Berikut ini adalah tabel hasil uji autokorelasi:
Tabel 4.9 Hasil Uji Durbin Watson
Model Summaryb
Model
1

Durbin-Watson
1.838

a. Predictors: (Constant), SQRKA, SQRUDK, SQRPDKI, Kep.Inst, SQRKep.Manaj
b. Dependent Variable: SQREM

Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh nilai hitung Durbin Watson sebesar
1,838. Besarnya nilai dl=1,557 dan nilai du=1,778, maka dapat disimpulkan bahwa hasil
uji terletak pada daerah du