AGAMA DAN KEHIDUPAN MANUSIA MODERN

AGAMA DAN KEHIDUPAN MANUSIA MODERN

1. Dalam mengisi acara pengajian tarawih ini, Panitia Ramadhan Masjid Diponegoro
meminta kepada saya untuk membicarakan masalah “agama dan kehidupan manusia
modern”. Sebenarnya agama tidak mem-persoalkan atau membedakan antara
kehidupan manusia itu modern atau tradisional (tidak modern), karena pada
hakikatnya agama (yang diturunkan Allah lewat Nabi) diperuntukkan sebagai
pedoman/tuntunan bagi manusia dalam segala bentuk kehidupannya, baik dalam
kehidupan modern maupun tidak modern. Jadi secara dogmatis seolah-olah memang
dapat dikatakan, bahwa agama (tuntunan Allah/dari “atas”) yang diturunkan lewat
nabi terakhir, diperuntukkan bagi kehidupan manusia segala zaman. Namun demikian
kehidupan manusia yang selalu tumbuh berkembang dan berubah-ubah memang
dapat menimbulkan permasalahan dalam “membumikan dan mengapli-kasikan”
ajaran-ajaran agama. Oleh karena itu saya dapat memaklumi permintaan panitia
untuk dalam kesempatan ini membicarakan masalah “agama dalam kehidupan
manusia modern”; walaupun dengan catatan bahwa masalah ini sebenarnya bukan
masalah baru. Saya katakan demikian, karena makna dari istilah “kehidupan modern”
itu sendiri sebenarnya sangat relatif. Kalau kehidupan masa kini dikatakan sebagai
“kehidupan modern”, itu karena dibandingkan dengan kehidupan masa lalu
(beberapa puluh/ ratus tahun yang lalu). Dalam beberapa puluh/ratus tahun yang
akan datang, mungkin kehidupan sekarang yang dikatakan “modern” ini tidak lagi

dinyatakan sebagai “modern” karena sudah ketinggalan zaman sehingga dinyatakan
sebagai “kehidupan yang tertinggal”. Dengan demikian, kalau makna atau kriteria
kehidupan modern hanya dikaitkan/diorientasikan pada adanya perubahan dan
perkembangan kehidupan masyarakat secara lahiriah, maka sebenarnya pada setiap
perubahan zaman dapat dikatakan ada “kehidupan modern”. Tetapi apabila makna
dan kriteria “modern” diorientasikan pada ada/tidaknya perubahan pandangan dan
sikap hidup, maka belum tentu kehidupan masa kini dikatakan sebagai “kehidupan
modern”. Banyak hal dalam kehidupan masyarakat modern saat ini yang sebenarnya
merupakan pandangan dan sikap hidup yang bersifat “jahiliyah”.

1. Apabila makna dan kriteria “kehidupan modern” diidentikkan dengan adanya
“perubahan dan pembaharuan konsep/pemikiran” , maka kedatangan Islam (dengan
Al Qur’an nya) sejak awalnya telah membawa konsep/polapandang modern
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya (yang sering disebut masa “jahiliyah”).
Pembaharuan konsep/pola-pikir/ pola-pandang yang dibawa Islam (Al Qur’an) itu
antara lain :
1. Konsep KeTuhanan :
Konsep ketuhanan di dalam Islam (yaitu konsep tauhid/mengesakan Tuhan) jelas merupakan
konsep pembaharuan, karena sebelumnya berpandangan bahwa tuhan itu banyak atau bisa
lebih dari satu dan yang dijadikan tuhan itu bukannya Allah sebagai “chaliq” (pencipta) tetapi

“machluq” (ciptaan Allah) yang dijadikan tuhan.
1. Konsep Dosa/Kesalahan :
Islam mengajarkan, bahwa manusia dilahirkan suci dan tidak mengenal “dosa warisan”. Hal
ini terlihat di dalam tuntunan sbb. :
1. Al Qur’an :
1. Q.S.. An-Najm : 38 (Q.S.. Al-Isro’ : 15) :
“bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain”.
1. Q.S.. An-Najm : 39 :
“bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.
1. Q.S. Al-Mudatsir : 38 :
“tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.
1. Hadits :
1. “Sesungguhnya anak yang lahir itu tidak dilahirkan kecuali dalam kesucian,
maka kedua orang tuanyalah yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi”.
2. “Seseorang tidak dihukum (bertanggung jawab) atas perbuatan ayahnya atau
saudaranya”.
3. “Setiap orang adalah pemimpin, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas
apa yang dipimpin”.

1. Konsep Persamaan Hak :
Islam mengajarkan, semua orang berkedudukan sama; tidak membedakan jenis kelaminnya
(laki-laki/wanita), bangsa, suku/ras, warna kulit, asal keturunan, pangkat maupun
kedudukannya. Yang membedakan tinggi rendahnya kedudukan manusia di mata Allah
hanyalah taqwanya (lihat Q.S. Al-Hujurat ayat 13). Di dalam hadits pun dinyatakan, bahwa
tidak berbeda antara orang Ajam (budak belian yang hitam) dengan orang Arab.

1. Konsep Keilmuan dan Kebebasan Berpikir (Rasio-nalitas):
Terlalu banyak ajaran Islam yang memberi tempat sangat tinggi pada kedudukan ilmu/akal.
Hal ini jelas sangat sesuai dengan salah satu karak-teristik kehidupan modern yang antara
lain meng-utamakan akal/rasionalitas.
Beberapa catatan :
Wahyu pertama saja dimulai dengan “Iqro’” (bacalah); yang berarti mengutamakan
budaya “membaca” sebagai ciri dari budaya keilmuan;
-

Al Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah (Q.S. Hud : 14) :

“Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka
ketahuilah,sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya

tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? “.
Al Qur’an ini disebut sendiri oleh Allah sebagai “Al Qur’anul Karim” (“bacaan yang
mulia”/ dapat diartikan sebagai “ilmu/bacaan yang tinggi”); lihat Al-Waqiah : 77 :
“Innahuu laquraanul kariim“
(sesungguhnya Al Qur’an itu adalah “bacaan yang sangat mulia”).
Dalam Al-Qur’an disebutkan kata “Afala Ta’qilun” (apakah kamu tidak menggunakan
akalmu?) sebanyak 24 kali; kata “Afala Ya’qilun” (apakah mereka tidak menggunakan
akalnya?) sebanyak 22 kali; kata “Afala Ta’lamun” (apakah engkau tidak mengetahui?)
sebanyak 36 kali; kata “Afala Ya’lamun” (apakah mereka tidak mengetahui?) sebanyak 91
kali; kata “Afala Tatafakkarun” (apakah engkau tidak berpikir?) sebanyak 3 kai; kata “Afala
yatafakkarun” apakah mereka tidak berpikir sebanyak 91 kali; kata “Afala Tadrusun” (apakah
engkau tidak belajar) sebanyak 2. kali. Kata seruan untuk mengerti atau menggunakan akal
dalam Al-Qur’an kurang lebih 189 kali.
Keputusan/kebijakan Allah tidak semata-mata didasarkan pada argumentasi kekuasaan
absolut, tetapi didasarkan pada demokratisasi dan argu-mentasi keilmuan.
Misal :
Sewaktu Allah menciptakan manusia pertama (Adam) sebagai khalifah di bumi terjadi
dialog antara malaikat dengan Allah. Dalam dialog ini ada argumentasi keilmuan. Secara
halus Allah menyatakan kepada para malaikat :
“Innii a’lamu ma laa ta’lamuun“

(Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui). Lihat Al-Baqoroh : 30 s/d
33.
Setelah Allah mengemukakan berbagai kebaikan/ kemuliaan Al-Qur’an (sebagai
petunjuk pembawa kebenaran, sebagai penawar dan rahmat, penuh hikmah dan pelajaran,
sebagai bacaan yang teramat mulia, dan tidak untuk membuat kesusahan manusia),
secara halus Allah berdialog (mengajak berpikir) dengan manusia :
-

“Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Qur’an ini?”

(Al-Waqiah :81).
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah
orang yg. mau mengambil pelajaran”?
(Al-Qomar: 17,22,32,40)
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab yang di dalamnya
terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tidak memahaminya”?
(Al-Anbiya’: 10).
1. Konsep Keadilan :
Terlalu banyak ayat-ayat di dalam Al-Qur’an tentang keadilan. Beberapa di antaranya ialah :
-


An-Nisaa’ : 58

“apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.
-

An-Nisaa’ : 135

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran/keadilan dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
-

Al-Maidah : 8

“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali

kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Memperhatikan tiga ayat di atas saja sudah jelas betapa tingginya konsep Islam mengenai
keadilan, yaitu :
1. Keadilan dan kebenaran harus ditegakkan kepada siapa saja dengan tidak berpihak
dan tanpa pandang bulu, baik terhadap dirinya sendiri mau-pun terhadap keluarganya
(ibu/bapaknya), kerabat-nya maupun kaum/golongannya;.
2. Keadilan dan kebenaran harus ditegakkan secara objektif dengan menghindari hal-hal
yang bersifat subjektif, antara lain : jangan mengikuti hawa nafsu (misal menerima
suap) dan rasa kebencian untuk berlaku tidak adil.
Konsep baru/modern tentang keadilan yang diajarkan Islam hampir 15 abad yang lalu itu,
jelas bersifat universal, dan di abad modern sekarang ini justru terlihat semakin melemah
atau mengalami erosi.
1. Konsep (Orientasi) Masa Depan :

Salah satu ciri “modernisme” adalah sikap mental yang berorientasi ke masa depan. Hal ini
jelas terlihat di dalam ajaran Islam yang menyatakan :
bahwa kehidupan/kesenangan akhir (at) lebih baik dari kehidupan/kesenangan awal (di
dunia); lihat Q.S. Ali Imron : 14, Q.S. Al-Mu’min : 39, Q.S. Adh-dhuha : 4;

-

“jangan menghambur-hamburkan hartamu secara boros” (Q.S. Al-Isro’ : 26);

“janganlah kamu merajalela di bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. Asy-Syu’aro
: 183);
Demikianlah beberapa butir konsep Al-Qur’an yang dapat dikatakan “modern” pada
zamannya, dan saat inipun masih dapat diuji ke-”modern”-annya. Masih banyak lagi
konsep Al-Qur’an yang relevan dengan ciri-ciri sikap mental yang diperlukan dalam
kehidupan modern, seperti menghargai waktu atau dapat memanfaatkan peluang sebaikbaiknya, tekun, rajin dan bersungguh-sungguh (berjihad), sederhana dan tidak boros dsb.
3. Di sisi lain kehidupan modern itu sendiri memang memerlukan agama, walaupun
memang harus diakui pelaksanaan nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama menghadapi
“tantangan” yang cukup berat dalam kehi-dupan modern saat ini.
Telah sama dimaklumi, bahwa kehidupan modern saat ini ditandai oleh semakin
meningkatnya kehidupan yang lebih berorientasi pada nilai-nilai materialistik, individualistik
dan semakin berkembangnya pengaruh globalisasi di bidang informasi, komunikasi dan
teknologi. Tidak jarang persaingan hidup yang sangat materialistik dan individualistik,
menyebabkan orang mengalami “stress”, tekanan kejiwaan yang sangat berat, melakukan
perbuatan-perbuatan nekad atau menempuh jalan-jalan pintas (“budaya menerabas”) untuk
mencapai tujuan. Jelas di sini diperlukan pendekatan/tuntunan agama. Mengenai “tuntunan

agama” ini dapat dikemukakan antara lain hal-hal sbb. :
1. Dalam kehidupan yang serba materialistik dan individualistik mudah sekali
berkembang penyakit “cemburu/irihati/berprasangka buruk”. Dapat diba-yangkan
betapa fatal dan runyamnya akibat yang ditimbulkan oleh sifat iri/cemburu/prasangka
buruk seseorang terhadap “kelebihan” orang lain. Oleh karena itulah agama
memberikan tuntunan, antara lain di dalam Al-Qur’an, surat An-Nisaa’: 32 :
“Dan janganlah kamu irihati terhadap apa yang ditetapkan/ dilebihkan/dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih dari sebagian yang lain, (karena) bagi orang lakilaki/perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.
Dalam ayat di atas digunakan kata-kata “fadhdho-lallaah” (yang ditetapkan/dilebihkan
Allah). Kata “fadhola” atau “afdhol” secara harfiah dapat berarti “ditetapkan” (to remain)
atau “lebih baik” (better than). Apa “yang ditetapkan” atau “dilebihkan” Allah itu dapat
berupa “rizki harta atau kekayaan, derajat/ pangkat/kedudukan,
ilmu/gelar,
kecantikan/ketam-panan dsb.”. Jadi menurut firman Allah di atas, kita janganlah iri hati
terhadap kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain itu.
Dengan memahami tuntunan agama yang demikian itu, diharapkan orang tidak akan
mengalami “stress” dalam menghadapi kehidupan modern saat ini yang cenderung lebih
materialistik dan individualistik.

1. Sebaliknya bagi orang yang mendapat “kelebihan rizki” dari Allah itu, agama juga

memberikan banyak tuntunan agar memberikan/meratakan rizkinya itu kepada orang
lain. Perhatikan beberapa firman Allah sbb. :
-

An-Nahl: 71 :

“Dan Allah “melebihkan” sebagian kamu dari yg. lain dalam hal rizki, tetapi orang-orang
yang dilebihkan (rizkinya) itu tidak mau memberikan kpd. budak-budak yang mereka miliki
agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?”
Banyak firman di dalam Al-Qur’an yang menyuruh kita menyedekahkan sebagian
harta/rizki kepada ibu/bapa, keluarga/kerabat dekat, anak yatim, fakir miskin, musafir (orang
yang membutuhkan perto-longan) dsb. dan menyedekahkan sebagian harta berfungsi
membersihkan harta kita serta itulah harta hakiki yang kita miliki. Lihat a.l. surat AlBaqoroh: 177, 215; Q.S. Ar-Rum: 38, Q.S. Attaubah 103 :
“ambillah sebagian dari hartanya (orang yang mampu) sebagai sedekah yang dapat
membersihkan hartanya dan menyucikan hartanya”.
4. Aspek lain dari “kehidupan modern” saat ini ialah derasnya arus/gelombang informasi
seiring dengan semakin canggihnya sarana komunikasi dan teknologi. Dalam kondisi yang
demikian, nilai-nilai agama dan keimanan seseorang benar-benar mendapat ujian dan
tantangan yang cukup berat/serius. Memang di satu pihak, pesatnya perkembangan informasi,
komunikasi dan teknologi mempunyai pengaruh positif; namun harus diakui pula bahwa

peluang dampak negatifnya juga cukup besar. Dengan semakin canggihnya sarana
informasi/komunikasi dan teknologi saat ini, gelombang informasi yang dapat membawa
pengaruh negatif, merusak dan menyesatkan, dapat merupakan virus berbahaya yang
mengancam kepribadian Islami dan bahkan mengancam kehidupan rumah tangga,
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Betapa tidak, karena informasi yang semula
dianggap tabu dan sangat tercela atau setidak-tidaknya informasi itu “belum saatnya
diketahui” (a.l.: bacaan/ film-film cabul/ porno atau setidak-tidaknya adegan-adegan yang
tidak susila dan merangsang; serta adegan-adegan keke-rasan dan sadis/brutal), sekarang
dengan mudah dapat diperoleh.
Seberapa jauh jumlah dan pengaruh informasi negatif berada di sekitar kita memang perlu
penelitian akurat, misalnya jumlah dan pengaruh adegan-adegan film lewat TV. Pernah pada
tahun 1993, Data Informasi Anak – Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (DIA-YKAI)
bekerja sama dengan Litbang Departemen Penerangan melakukan penelitian terhadap filmfilm yang ditujukan untuk anak-anak, dan yang ditayangkan oleh 4 stasiun televisi (TVRI,
TVRI Program 2, RCTI dan TPI). Hasilnya a.l. :
1. Dari 195 episode film yang diteliti, ternyata jumlah adegan yang bersifat “anti-sosial”
(ada 2063 adegan) lebih banyak daripada yang bersifat “prososial” (ada 1904
adegan);
2. Dari 4 stasiun TV yang diteliti, 3 stasiun (yaitu TVRI Program 2, RCTI dan TPI)
menyajikan film untuk anak yang isinya lebih banyak bersifat antisosial (walaupun
selisihnya tidak begitu banyak, yaitu sekitar 1 % lebih banyak dibandingkan adegan
yang “prososial”).

3. Film-film untuk anak yang paling banyak mengandung adegan “antisosial”nya ialah
film yang berasal dari Amerika Serikat (yaitu 11,37 % bersifat antisosial, dan 9,60 %
bersifat prososial).
Pernah pula seorang Dosen wanita dari Surabaya yang mengambil program S2 di UI Jakarta,
dalam thesisnya (mengenai tindak pidana pornografi) menyajikan data penelitian, bahwa
acara-acara yang disajikan lewat stasiun TV (TVRI, TPI, dan SCTV) sebagian besar (85 %)
dinilai “tidak sopan/tidak susila” menurut pandangan masyarakat tempat lokasi penelitian
dilakukan (Bangkalan, Madura).
Menghadapi era informasi yang demikian itu, jelas diperlukan peningkatan kematangan
kejiwaan/rohaniah, kematangan emosional dan kematangan “pengendalian diri” sebagai
penangkal utamanya. Di sinilah arti pentingnya peranan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan modern, terutama lewat pemusatan pengendalian diri di bulan puasa Ramadhan.
Marilah kita jadikan bulan Ramadhan ini sebagai sarana proses pemadatan dan peningkatan
kembali energi kematangan kejiwaan/ rohani (kematangan iman dan taqwa), di samping
kematangan ilmu dan kematangan sosial/amal, sebagaimana tersimpul dari tuntunan AlQur’an surat Al Fathir: 29.