IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KE (1)

3

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
(Kajian terhadap Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perkotaan (PNPM MP) di Desa Kemantren Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto Propinsi Jawa Timur)

Oleh :
ABDUL FATAH FANANI, S.Sos, M.AP
NIDN. 0709087101
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Panglima Sudirman
Surabaya
Abstract
Poverty is multi-dimensional problems that can not be resolved in a
partial, sectoral and pragmatic course. Settlement of the problem of poverty must
be comprehensive so as to break the chain of vicious circle of poverty
"deprivation trap" as stated by Robert Chambers. While the phenomenon in the
field instead of coordination among government agencies in poverty reduction is
still concerned with sectoral ego, so the lack of coordination among government
agencies.

In this thesis research aims to describe, analyze and interpret (1) The
National Program of Urban Community Empowerment (PNPM Mandiri
Perkotaan) in the Urban village Kemantren sub district Gedeg district Mojokerto.
(2) The role and participation of stakeholders (government, community, and
private) in rural poverty reduction through the National Program of Urban
Community Empowerment (PNPM Mandiri Perkotaan) in the Urban village
Kemantren, (3) factors that support and hinder the implementation of the
National Program of Urban Community Empowerment (PNPM Mandiri
Perkotaan) in the Urban Village Kemantren Sub District Gedeg District
Mojokerto.
The results showed that the implementation of the National Program of
Urban Community Empowerment (PNPM Mandiri Perkotaan) prioritize
empowerment and community participation has been running well in the Urban
Village Kemantren Sub District Gedeg district Mojokerto. However, the role of
stakeholders in the implementation of poverty reduction programs is still not
evenly distributed. Mojokerto regency government less involved in the
implementation of
the National Program of Urban Community
Empowerment (PNPM Mandiri Perkotaan). Consolidation among the players at
the government level District Mojokerto is lacking, this is evidenced by the

absence of an agenda regular meeting between the offender and the lack of
synergy between poverty reduction programs of government with community
programs. While the private sector also have a significant role in poverty
reduction through the National Program of Urban Community Empowerment
(PNPM Mandiri Perkotaan), especially in the Urban Village Kemantren.

4

Coordination and consolidation among stakeholders in poverty reduction,
especially between the government and the community is very important to do.
Thus does not happen again, especially the implementation of poverty reduction
policies in the National Program of Urban Community Empowerment (PNPM
Mandiri Perkotaan) partial, sectoral and pragmatic. Given the problems of
poverty are complex and multi dimensional, then consolidation and synergy
among Stakeholders in poverty reduction programs becomes very important.
While the implementation of poverty reduction policies without regard to the
interests of the poor as a target group will exacerbate poverty. So is the
implementation of poverty reduction policies are partial, sectoral and pragmatic
will create a dependency of the poor to help the poverty reduction program itself,
so that it will bring a new, more complex problems.

Keywords: Stakeholders, Poverty, Community Empowerment, Participation.
A. PENDAHULUAN
Di era globalisasi
ini
masalah kemiskinan semakin krusial karena perlindungan terhadap
kelompok rentan ini semakin sulit
dilakukan, sedangkan arus globalisasi terus menyerang dari segala
segi kehidupan. Untuk mengatasi
masalah
kemiskinan
tersebut
terutama
di
negara-negara
berkembang termasuk Indonesia,
lembaga-lembaga donor seperti
Bank Dunia mengusulkan tiga pendekatan terpadu, yaitu:
(1) Peningkatan pertumbuhan disertai dengan strategi untuk
memberi
kesempatan

berusaha
bagi
kelompok
lemah/miskin.
(2) Tersedia pelayanan sosial
dasar bagi kelompok miskin.
(3) Tersedia jaring pengaman
(safety net) bagi mereka yang
rentan terhadap kejutan dengan memberi subsidi kepada
mereka yang membutuhkan.
(Dokumen Laporan Akhir

Program RUAD dalam Mustadjab 2000).
Permasalahan kemiskinan
yang dialami di hampir 200 negara dunia ketiga ini menjadi topik
bahasan di fórum-forum dunia
khususnya
di
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium

di PBB, New York tahun 2000
mengenai Tujuan Pembangunan
Millenium (Millenium Development Goals)" yang harus dicapai
pada tahun 2015. Target Millenium
Development
Goals
(MDG’s) yang harus dicapai negara-negara yang menandatangani deklarasi millennium tersebut
adalah:
1.
Memberantas kemiskinan
dan kelaparan,
2.
Mewujudkan pendidikan
dasar untuk semua,
3.
Mendorong
kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan,

4.


Menurunkan angka kematian
anak,
5.
Meningkatkan kesehatan ibu,
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan
penyakit menular lain,
6.
Menjamin
kelestarian
lingkungan hidup,
7.
Mengembangkan kemitraan
global untuk pembangunan.
Setiap kebijakan pembangunan di negara-negara dunia ketiga
termasuk Indonesia yang
ikut
menandatangani
kesepakatan
MDG’s di forum PBB dan Deklarasi

Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan, selalu mengacu
kepada pencapaian target MDG’s
dan pembangunan berkelanjutan
sampai batas waktu tahun 2015.
Kebijakan
Penanggulangan
Kemiskinan dan Masalah Partisipasi dan Pemberdayaan
Kebijakan pemerintah untuk
menanggulangi masalah kemiskinan
dilakukan dengan mengarahkan
langsung kebijakan tersebut pada
sasaran yaitu masyarakat miskin
dengan cara:
(1) Menentukan target group untuk
menerima
program
dengan
tekanan
pada
penyerapan

tenaga kerja dan peningkatan
pendapatan,
terutama pada
kelompok usaha yang memiliki
potensi untuk berkembang dan
mempunyai daya serap terhadap
tenaga kerja yang tinggi dalam
masyarakat lokal.
(2) Peningkatan
partisipasi
masyarakat, khususnya dalam

penyampaian layanan sosial
dasar.
(3) Program
bantuan
yang
merangsang
proses
kemandirian/

pemberdayaan
melalui keterlibatan LSM atau
Perguruan Tinggi yang khusus
merancang dan melaksanakan
program-program pembangunan
untuk kelompok miskin atau bagi
kelompok-kelompok usaha lokal
dan koperasi yang berpotensi
dan berpengaruh terhadap peran
serta kelompok miskin (Dokumen Laporan Akhir Program
RUAD lihat dalam Mustadjab
2000).
Upaya untuk menanggulangi
kemiskinan melalui beberapa program pemerintah selama ini masih
kurang
melibatkan
masyarakat
khususnya
masyarakat
miskin.

Masyarakat miskin masih diperlakukan hanya sebagai obyek program saja. Masyarakat khususnya
masyarakat miskin lebih memahami
permasalah
kemiskinan
mereka
sendiri, karena merekalah yang mengalami secara langsung. Oleh karena
itu implementasi program penanggulangan kemiskinan tanpa melibatkan
mereka secara langsung adalah suatu keniscayaan.
Di sisi lain program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat memang sangat
tepat secara konseptual. Namun implementasi di masyarakat tidaklah
semudah membalik telapak tangan,
karena pemberdayaan berkaitan
dengan merubah sikap dan perilaku
masyarakat yang keliru dan sudah
membudaya. Begitu juga dengan
partisipasi, memotivasi masyarakat
untuk peduli dan mau berpartisipasi
dalam program penanggulangan
kemiskinan tidaklah mudah. Sifatsifat individualis, egois dan materialistis sudah mengakar di masyarakat.


Nilai-nilai kepedulian, ikhlas membantu sesama, gotong-royong sebagai perekat ikatan sosial yang menjadi kapital sosial di masyarakat sudah luntur. Pengaruh liberalisme dan
budaya global yang berkembang di
masyarakat, yang semuanya diukur
dengan materi ikut berperan membentuk masyarakat yang egois, individualis dan materialistis. Permasalahan-permasalahan
pemberdayaan
dan partisipasi ini merupakan tantangan bagi semua pelaku program
penanggulangan
kemiskinan
di
masyarakat.
Strategi untuk menumbuhkan
kapital sosial melalui pemberdayaan
dan partisipasi masyarakat memang
sudah tepat. Permasalahan utamanya justru pada implementasi program pemberdayaan masyarakat itu
sendiri, sering terjadi di lapangan
bahwa pemberdayaan dan partisipasi
itu sendiri justru menjadi tujuan
pelaksanaan program, bukan sebagai sarana atau strategi untuk
menanggulangi masalah kemiskinan.
Partisipasi masyarakat yang
tinggi secara kuantitas sebenarnya
belum menginterpretasikan bahwa
pemberdayaan masyarakat itu berjalan dengan baik. Tingginya partisipasi dalam setiap tahapan kegiatan
terjadi karena kesadaran pribadi
masyarakat ataukah karena dimobilisasi oleh seorang atau sekelompok
orang dalam masyarakat dengan tujuan tertentu? Hal inilah yang perlu
dikaji lebih mendalam, agar makna
partisipasi
masyarakat
tidak
disamakan
dengan
mobilisasi
masyarakat. Bias dalam memahami
partisipasi dan pemberdayaan inilah
yang menjadi masalah utama dalam
program pemberdayaan masyarakat
khususnya dalam program penanggulangan kemiskinan sebagai manifestasi dari kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Kebijakan
Penanggulangan
Kemiskinan melaui PNPM Mandiri
Perkotaan
Selama ini Indonesia memiliki
banyak sekali program penanganan
kemiskinan yang tersebar di berbagai
Kementerian dan Lembaga, namun
penanganan masalah kemiskinan dimaksud selama ini cenderung parsial, sektoral dan tidak berkelanjutan.
Karena itu diperlukan perubahan
yang bersifat sistemik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan
kemiskinan secara nasional. Pemerintah meluncurkan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri mulai tahun 2007 untuk menanggulangi permasalahan tersebut.
Dengan adanya PNPM Mandiri, diharapkan program-program yang berjalan
di
masing-masing
Kementerian/Lembaga yang selama
ini berjalan sendiri-sendiri dengan
standar operasional yang berbeda diharapkan dapat disatukan dan terintegrasi.
Para Menteri sepakat untuk
mengkonsolidasikan
program-program penanggulangan kemiskinan
yang berbasis pemberdayaan masyarakat ke dalam PNPM Mandiri dan
sekitar 53 program di 22 kementerian/lembaga akan dikonsolidasikan ke
dalam Kerangka PNPM Mandiri (17
program berbasis pemberdayaan
masyarakat). Pelaksanaan Konsolidasi PNPM Mandiri akan efektif mulai
pada Tahun 2009.
PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Mojokerto
Program Nasional Perberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Perkotaan telah berjalan selama
lebih kurang lima tahun di Kabupaten
Mojokerto. Sebagai sebuah program
penanggulangan kemiskinan, tentu
telah banyak upaya yang dilakukan,
tidak saja oleh pemerintah (Pusat
dan Daerah) tetapi juga oleh

masyarakat dan kelompok peduli
lainnya
dalam
menyelesaikan
masalah kemiskinan. Dalam rentang
waktu lebih kurang duabelas tahun
(1999-2011) sejak dari P2KP, telah
diluncurkan BLM sebagai stimulan
sebesar Rp 72,181 miliar untuk
Kabupaten Mojokerto yang terdiri
dari Rp 54,460 miliar APBN dan Rp
17,721 miliar sharing pemerintah
Kabupaten (APBD). BLM tersebut
telah dimanfaatkan untuk berbagai
kegiatan yang berhubungan dengan
penanggulangan kemiskinan, yang
terdiri dari kegiatan fisik/lingkungan,
kegiatan
sosial
dan
kegiatan
ekonomi.
Peneliti akan mengkaji pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan secara lebih spesifik di Desa Kemantren Kecamatan Gedeg Kabupaten
Mojokerto.
Pelaksanaan
PNPM Mandiri Perkotaan di Desa
Kemantren Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto ini baru dimulai
tahun 2009, namun ada beberapa
hal menarik untuk dicermati pada
pelaksanaan program PNPM Mandiri
Perkotaan di Desa Kemantren ini.
Lokasi desa Kemantren yang berada
dipinggiran kota Mojokerto dan dekat
dengan pembangunan jalan tol
Surabaya-Mojokerto.
Kondisi
masyarakat Desa Kemantren yang
semi agraris, permasalahan sampah
sudah menimbulkan konflik, individualisme masyarakatnya mengemuka
seperti halnya masyarakat perkotaan
lainnya. Desa Kemantren memiliki
jumlah KK miskin 156 KK dari total
944 KK atau 16,53% (Sumber: data
PPLS 2008 Badan Pusat Statistik)
dengan kondisi masyarakatnya yang
heterogen
baik
etnis,
budaya
maupun mata pencaharian dan mulai
diterpa arus urbanisasi, sehingga
permasalahan yang terjadi juga semakin kompleks khususnya masalah
kemiskinan.
Kohesi
sosial
masyarakat yang lemah dan kapital

sosial (social capital) mulai luntur,
kepedulian sosial antar warga mulai
berkurang. Desa kemantren juga pernah mendapatkan beberapa program
penanggulangan kemiskinan sebelumnya. Apakah dengan sentuhan
pemberdayaan
melalui
progam
PNPM Mandiri Perkotaan ini mampu
merubah
sikap
dan
perilaku
masyarakat? Apakah permasalahan
kemiskinan yang ada mampu teratasi
atau setidaknya berkurang?
Perumusan Masalah
Beberapa
permasalahan
pokok yang dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut:
(1) Bagaimana Implementasi Program PNPM Mandiri Perkotaan
di Desa Kemantren Kecamatan
Gedeg Kabupaten Mojokerto?
(2) Bagaimana peran dan partisipasi
stakeholders dalam proses pemberdayaan melalui pelaksanaan
PNPM Mandiri Perkotaan di
Desa Kemantren Kecamatan
Gedeg Kabupaten Mojokerto?
(3) Apa yang menjadi faktor pendukung dan faktor penghambat
pelaksanaan program PNPM
Mandiri Perkotaan di Desa Kemantren Kecamatan Gedeg
Kabupaten Mojokerto?
B. TINJAUAN PUSTAKA
Dunn (1999: 51) menjelaskan
bahwa secara etimologis, istilah policy (kebijakan) berasal dari bahasa
Yunani, Sansekerta dan Latin. Akar
kata dalam bahasa Yunani dan
Sansekerta polis (negara-kota) dan
pur (kota) dikembangkan dalam bahasa latin menjadi politia (negara)
dan akhirnya dalam bahasa Inggris
pertengahan policie, yang berarti
menangani masalah-masalah publik
atau administrasi pemerintahan.
Sedangkan Thomas R. Dye berpendapat lebih sederhana yaitu bahwa
“Public Policy is whatever govern-

ments choose to do or not to do”
(Dye, 2008).
Wayne Parsons berpendapat
bahwa “kebijakan publik” berhubungan dengan bidang-bidang tersebut
di atas yang didesain sebagai bidang
“publik”, yang berbeda dengan daftar
yang kita bisa namakan sebagai
bidang “privat”. Ide kebijakan publik
mengandung anggapan bahwa ada
suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau
murni milik individual, tetapi milik
bersama atau milik umum (Parsons,
2008. Hal. 3). Perdebatan masih sering terjadi mengenai mana yang
menjadi ranah publik dan mana yang
menjadi wilayah privat. Banyak sektor privat yang sekarang ini menangani public service yang merupakan
urusan publik. Dalam konsep reinventing
government
dalam
pelayanan publik (public service)
yang dikembangkan paradigma New
Public Management (NPM) telah
memberi ruang yang luas kepada privat untuk terlibat lebih jauh ke dalam
ruang publik melalui pelayanan publik (public service) yang di privatisasi.
Selanjutnya Wayne Parsons berpendapat bahwa Publik sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu
untuk diatur atau diintervensi oleh
pemerintah atau aturan sosial, atau
setidaknya oleh tindakan bersama
(Parsons, 2008. Hal. 3).
James E. Anderson (Abdul
Wahab, 2008a. Hal. 2) merumuskan
kebijaksanaan sebagai perilaku dari
sejumlah aktor (pejabat, kelompok,
instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. Selanjutnya Anderson menjelaskan bahwa “Public policies are those policies developed by
governmental bodies and officials”
(Hill and Hupe, 2002. Hal. 5), yaitu
bahwa kebijakan publik merupakan
kebijakan yang dikembangkan oleh

badan pemerintah atau pejabat pemerintah.
Charles O. Jones (Abdul Wahab, 2008a. Hal. 3) menyatakan
bahwa kebijaksanaan itu ialah “a
standing decision characterized by
behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those
who make it and those who abide by
it”. Policy (kebijaksanaan/kebijakan)
itu sebenarnya adalah suatu tindakan
berpola yang mengarah pada tujuan
tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu (Abdul
Wahab, 2008a. Hal. 3). Berdasarkan
teori yang dikemukakan Bromley
dalam Tachjan (2006:17), kebijakan
publik memiliki tiga tingkatan yang
berbeda berdasarkan hierarki kebijakan, yaitu: policy level, organizational level, operational level. Menurut Charles O. Jones (Abdul Wahab
2008a: 29) sedikitnya ada empat golongan atau tipe aktor (pelaku) yang
terlibat, yakni: golongan rasionalis,
golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis.
Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka terdapat dua pilihan langkah yang bisa diambil, yaitu
langsung
mengimplementasikan
dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivat
atau turunan dari kebijakan publik
tersebut (Nugroho, 2008: 494). Secara umum dua pilihan langkah
tersebut dapat digambarkan berikut:
Gambar 1: Sekuensi Implementasi
Kebijakan
Kebijakan
Publik
Kebijakan
Publik
Penjelas

Program

Proyek
Kegiatan

Pemanfaat
(Beneficiaries)

Sumber:
2008:495

Nugroho,

Ada banyak variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat
individual maupun kelompok atau institusi (Subarsono, 2009: 87). Beberapa teori implementasi kebijakan
yang bisa menjelaskan peran variabel-variabel yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan,
seperti dikemukakan oleh George C.
Edward III, Merilee S. Grindle, Daniel
A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier,
Donald S. Van Meter dan Carl E. Van
Horn.
George C. Edward III berpendapat bahwa implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat variable,
yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur
birokrasi (Subarsono 2009: 90-92).
Seperti digambarkan dalam gambar
berikut:
Gambar 2: Faktor Penentu Implmentasi menurut Edward III
Komunikasi
Sumberdaya
Implementasi
Disposisi
Struktur
Birokrasi

Gambar 3: Implementasi sebagai
Proses Politik dan Administrasi
Tujuan
Kebija
kan

Tujuan
yang
dicapai?

Hasil
Kebijakan:
Dampak pada
masyaraka
t,
individu,
dan
kelompok
Perubahan dan
penerimaa
n
masyaraka
t

Program aksi dan
proyek individu
yang didesain dan
didanai

Program
yang
dilaksanaka
n sesuai
rencana

Mengukur
Keberhasi
lan

Sumber: Grindle, Merilee S, 1980: 11 (Subarsono
2009: 94)

Daniel A. Mazmanian dan
Paul A. Sabatier (Subarsono 2009:
94) menyatakan bahwa ada tiga
kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi,
yakni: (1) karakteristik dari masalah
(tractability of problems), (2) karakteristik
kebijakan/undang-undang
(ability of statute to structure implementation), (3) variabel lingkungan
(nonstatutory variables affecting implementation), seperti dalam gambar
4 berikut:
Gambar 4: Variabel-variabel yang
Mempengaruhi Proses Implementasi
Mudah/tidaknya Masalah dikendalikan
Kesulitan teknis
Keragaman perilaku kelompok sasaran
Prosentase kelompok sasaran disbanding jumlah
populasi
Ruang lingkup perubahan perilaku yang
diinginkan

Sumber: Edward III, 1980: 148 (Subarsono 2009:
91)

Merilee S. Grindle (Subarsono 2009: 93) berpendapat bahwa
keberhasilan implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh dua variable besar,
yakni isi kebijakan (content of policy)
dan lingkungan implementasi (context of implementation), seperti terlihat pada gambar 3 berkut:

Implementasi Kebijakan dipengaruhi oleh:
Isi Kebijakan
Kepentingan Kelompok sasaran
Tipe manfaat
Derajad perubahan yang diinginkan
Letak pengambilan keputusan
Pelaksanaan Program
Sumberdaya yang dilibatkan
Lingkungan Implementasi
Kekuasaan, Kepentingan, dan Strategi
aktor yang terlibat
Karakteristik lembaga dan penguasa
Kepatuhan dan daya tanggap

Kemampuan Kebijaksanaan
menstrukturkan Proses Implementasi
Kejelasan dan Konsistensi Tujuan
Digunakannya teori kausal yang memadai
Ketepatan alokasi sumberdaya
Keterpaduan hierarki dalam dan diantara
lembaga pelaksana
Aturan-aturan keputusan dari badan
pelaksana
Rekruitmen pejabat pelaksana

Variabel di luar Kebijaksanaan yang
Mempengaruhi Proses Implementasi
Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi
Dukungan Publik
Sikap dan sumber-sumber yang
dimiliki kelompok pemilih
Dukungan dari pejabat atasan
Komitmen dan Ketrampilan
Kepemimpinan Pejabat-pejabat
Pelaksana

Akses formal pihak luar

Out put
Kebijakan
dari
Badanbadan
Pelaksana

Mudah/tidaknya Masalah dikendalikan
Keputusan
kelompok
sasaran terhadap
out put
kebijakan

Dampak
nyata out
put
kebijaka
n

Dampak out put
kebijakan
sebagaimana
dipersepsi

Perbaika
n
mendasa
r dalam
undangundang

Sumber: Daniel A.Mazmanian & Paul A.Sabatier
(Subarsono, 2009: 95)

Kemudian Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (Subarsono
2009: 99) berpendapat bahwa ada
lima variable yang mempengaruhi
kinerja implementasi, yakni: (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (4)
karakteristik agen pelaksana; dan (5)
kondisi sosial, ekonomi, dan politik,
seperti terlihat dalam gambar 5:
Gambar 5: Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Van
Horn
Komunikasi
antar organisasi
dan kegiatan
pelaksanaan

Ukuran
dan tujuan
Kebijakan

Kinerja
Implem
entasi

Karakterist
ik Badan
Pelaksana

Dispo
sisi
pelaks
ana

Sumber
daya
Lingkungan
ekonomi,
sosial, dan
politik

Sumber: Van Meter dan Horn,
1975: 463 (Subarsono 2009: 100)
Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan dikenal dua pendekatan yaitu
“Pendekatan top down yang serupa
dengan pendekatan command and
control (Lester Stewart, 2000:108)
dan pendekatan bottom up yang
serupa dengan pendekatan the market approach (Lester Stewart,

2000:108). Dalam implementasi kebijakan publik banyak model dalam
penerapannya, disamping model topdown dan bottom-up seperti yang
telah dikemukakan di atas, ada pula
model gabungan dari keduanya yaitu
model hybrid. Paul A. Sabatier (Lane,
1993) seorang pionir analisis implementasi kebijakan, membuat beberapa pertanyaan fundamental tentang
implementasi kebijakan alamiah, sebagai review atas teori implementasi
yang diterapkan di beberapa negara
saat ini. Meskipun analisis Sabatier
terdiri dari dua model implementasi
kebijakan yang bertolak belakang,
yaitu model implementasi top down
dan bottom up, tetapi dia juga menciptakan model yang ketiga yang
merupakan sebuah bentuk model
gabungan, sebagai sebuah tanggapan sekaligus tantangan atas permasalahan mendasar dalam implementasi kebijakan. Ini mungkin sebagai tanggapan atas permasalahan
mendasar yang berhubungan dengan bentuk alamiah dari implementasi kebijakan publik.
Model hybrid sebagai model
baru diturunkan dari dua sumber
yaitu kerangka jaringan kebijakan
(model kerangka jaringan) yang top
down dan hipotesis bahwa implementasi pada dasarnya sebagai
proses pembelajaran (model pembelajaran) yang bottom up (Lane,
1993). Model kerangka jaringan (network) ini memahami bahwa proses
implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu jaringan
(network) aktor-aktor yang independen. Interaksi di antara para aktor
dalam jaringan tersebutlah yang
akan menentukan bagaimana implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan
yang
harus dikedepankan, dan diskresidiskresi yang diharapkan menjadi

bagian penting di dalamnya. Pada
model ini, semua aktor dalam
jaringan relatif otonom, artinya mempunyai tujuan masing-masing yang
berbeda. Tidak ada aktor sentral,
tidak ada aktor yang menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi
dalam implementasi (advocacy coalitions) atau kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral jaringan
menjadi penentu implementasi kebijakan dan keberhasilannya. Sedangkan Implementasi sebagai proses
pembelajaran tanpa akhir, dimana
pelaksana melalui proses pencarian
yang terus-menerus dengan tujuan
baik dan mencari teknologi untuk
melaksanakan program yang lebih
dapat diandalkan. Tidak ada akhir
dalam
proses
implementasi
kebijakan, karena setiap tahap
berarti sebuah proses peningkatan
dalam kaitannya dengan tahap-tahap
awal di mana dari waktu ke waktu,
tujuan yang sebenarnya terikat dan
terus berubah dengan mengganti
proses pada tahap awal. Teori bahwa
implementasi
sebagai
proses
pembelajaran
dapat
dianggap
sebagai penjelasan yang optimis
mengenai
hipotesis
bahwa
implementasi adalah proses evolusi.
Kebijakan
Penanggulangan
Kemiskinan
Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pemerintah membentuk lembaga yang
khusus
menangani percepatan penanggulangan kemiskinan agar target 2015
sesuai kesepakatan PBB tersebut
bisa tercapai, lembaga tersebut
adalah Komite Percepatan Program
Penanggulangan Kemiskinan Nasional
(KP3N)
yang
langsung
dibawah kendali Wakil Presiden RI.
Kemudian di tingkat daerah juga
dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD)
yang di tingkat propinsi di ketuai

Wakil Gubernur sedangkan di tingkat
Kabupaten di Ketuai Wakil Bupati
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 15
Tahun 2010 tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan Nasional.
Tujuan KP3N maupun TKPKD
tersebut adalah agar ada koordinasi
dan sinkronisasi program pemerintah
dengan program penanggulangan
kemiskinan di wilayah masing-masing. Selain itu juga agar target MDGs
yang disepakati Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara di PBB
bisa tercapai di tahun 2015 melalui
kebijakan-kebijakan pemerintah yang
pro poor.
Strategi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan
kemiskinan
tersebut
adalah pertama melalui strategi pertumbuhan yang berkualitas (quality
growth). Strategi ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin dengan peningkatan daya beli masyarakat miskin
melalui
terciptanya
peningkatan
penghasilan keluarga miskin dan
pengurangan beban pengeluaran
keluarga miskin dan lebih jauh lagi
adalah terciptanya kemandirian keluarga miskin dengan mendorong peningkatan simpanan/aset keluarga
miskin. Dengan strategi pertama ini
diharapkan keluarga miskin dapat
ikut menikmati pertumbuhan ekonomi
yang semakin berkualitas.
Kedua adalah strategi peningkatan akses pelayanan dasar bagi
keluarga miskin. Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin melalui peningkatan akses terhadap pelayanan dasar bagi warga miskin meliputi fasilitas dan pelayanan kesehatan dasar,
pendidikan wajib belajar, konsumsi
pangan dan gizi yang bermutu, serta
kualitas lingkungan permukiman
yang baik.

Ketiga adalah strategi perlindungan sosial (social protection), yang
bertujuan meningkatkan perlindungan sosial kepada keluarga miskin
yang ditandai oleh semakin banyaknya jumlah keluarga miskin yang
terjangkau oleh sistem perlindungan
sosial.
Keempat adalah strategi pemberdayaan masyarakat (community
development). Strategi ini bertujuan
mendorong penduduk miskin secara
kolektif untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan
terutama
yang
menyangkut dirinya termasuk untuk
menanggulangi kemiskinan yang
mereka alami sendiri. Dalam strategi
pemberdayaan
masyarakat
ini,
masyarakat miskin bukan lagi sebagai obyek program tetapi sudah menjadi subyek program penanggulangan kemiskinan bagi mereka sendiri,
karena merekalah yang paling
memahami permasalahan dan kondisi kemiskinan yang mereka alami.
Empat strategi penanggulangan kemiskinan tahun 2007 di atas
selanjutnya dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah 2007 (RKP
2007) dan sekaligus merupakan
bagian dari upaya pencapaian tujuan
dan target Millenium Development
Goals (MDGs). Untuk mencapai
sasaran tersebut, maka diperlukan
kebijakan penanggulangan kemiskinan yang integratif, yang akan dilakukan mulai tahun 2007 dengan
pokok-pokok kelompok program dan
“perkiraan jumlah totalnya” masing
masing meliputi sebagai berikut:
Tabel 1: Nama Kelompok Program
Berdasarkan RKP 2007

dan Perkiraan Total Alokasi
Tahun Anggaran 2007
NO

1

2
3

NAMA KELOMPOK PROGRAM

Perluasan akses Masyarakat
Miskin atas Pelayanan Dasar
(Pendidikan, Kesehatan dan
Infrastruktur Dasar)
Perlindungan Sosial
Penanganan Masalah Kurang

Perkiraan Total
Alokasi(Rp Juta)

43.736.98
3,70
4.732.777,90
643.500,00

4

Gizi dan Kerawanan Pangan
Perluasan Kesempatan
Berusaha
Jumlah Perkiraan Total Alokasi

Sumber:
Pemerintah

3.316.325,20
52.429.58
6,80

Rencana
Tahun

Kerja
Anggaran

2007 (perkiraan)
Pemberdayaan Masyarakat dan
Partisipasi
Istilah pemberdayaan berasal
dari bahasa inggris empowerment.
Secara harfiah empowerment berarti
pemberian kekuasaan atau pemberian kekuatan. Menurut Jim Ife
(Fahrudin, 2004: hal. 16) bahwa empowerment aims to increase the
power of disadvantaged (pemberdayaan bertujuan memberikan kekuatan atau kekuasaan kepada orangorang yang tidak beruntung). Sehingga Ife menyimpulkan bahwa
pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan
kelompok lemah (Suharto, 2010: 59).
Dalam
hubungannya
dengan
kekuasaan Suharto (2010: 58)
berpendapat bahwa proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua
hal:
1. Bahwa kekuasaan dapat berubah.
Jika kekuasaan tidak dapat
berubah, pemberdayaan tidak
mungkin terjadi dengan cara
apapun.
2. Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan
pada pengertian kekuasaan yang
tidak statis, melainkan dinamis.
Selanjutnya Swift dan Levin
(Fahrudin, 2004: hal. 16) cenderung
mengartikan empowerment sebagai
pengalokasian
ulang
mengenai
kekuasaan (realocation of power).
Rappaport (Fahrudin, 2004: hal. 16)
mengartikan empowerment sebagai
suatu cara dimana rakyat, organisasi,
dan komunitas diarahkan agar dapat
berkuasa atas kehidupannya. Kemudian Kiefer (Fahrudin, 2004: hal. 17)
mengemukakan tiga dimensi yang

berkaitan dengan makna empowerment yaitu: kompetensi kerakyatan
(citizenship
competence),
tidak
buta/melek sosiopolitik (sociopolitical
literacy), dan kompetensi partisipasi
(participatory competence).
Ada bermacam-macam pendekatan dalam melakukan proses
pemberdayaan masyarakat. Friedmenn menyatakan bahwa proses
pemberdayaan dilakukan melalui beberapa pentahapan yang dimulai
dengan pemberdayaan individu, dilanjutkan dengan pemberdayaan
ikatan antar individu/kelompok, dan
pemberdayaan politik.
Partisipasi dan pemberdayaan adalah bagaikan dua sisi
mata
uang
yang
tidak
bisa
dilepaskan satu sama lain. Di mana
ada pemberdayaan disitu dibutuhkan
partisipasi, sehingga partisipasi dan
pemberdayaan adalah satu paket
yang tidak bisa dipisahkan. Partisipasi, pengembangan masyarakat
(community development), pemberdayaan masyarakat (empowerment),
dan kelompok merupakan komponen
yang saling melengkapi.
Secara harfiah partisipasi berarti turut berperan serta dalam suatu
kegiatan, keikut sertaan atau peran
serta dalam suatu kegiatan, peran
serta aktif atau proaktif dalam suatu
kegiatan. Moelino mendefinisikan
partisipasi sebagai “bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat
secara aktif dan suka rela, baik
karena alasan-alasan dari dalam
dirinya (intrinsik) maupun dari luar
dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan
proses
kegiatan
yang
bersangkutan” (Fahrudin, 2004, hal.
36).
Adapun yang mendorong
orang untuk ikut berpartisipasi antara
lain karena adanya harapan untuk
memperoleh imbalan seperti yang
disampaikan Mustafa (Fahrudin,
2004: hal. 39) tentang teori per-

tukaran sosial (Social Exchange
Theory) bahwa hubungan pertukaran
dengan orang lain karena daripadanya akan memperolah imbalan.
Dalam hubungan tersebut terdapat
unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan
(provit), sehingga perilaku seseorang
dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya
akan
menguntungkan dirinya.
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perkotaan
Kemiskinan adalah merupakan suatu kondisi sosial yang
umumnya invisible dan belum
sepenuhnya dipahami oleh para
pengambil keputusan, inilah yang
menjadi motif utama pelaksanaan
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat
Mandiri
Perkotaan
(PNPM MP). Berdasarkan Pedoman
Umum PNPM Mandiri Perkotaan
(2007) diuraikan bahwa kemiskinan
merupakan persoalan struktural dan
multi dimensional, mencakup politik,
sosial, ekonomi, asset dan lain-lain.
Karakteristik
kemiskinan
yang
demikian ini telah menyadarkan semua pihak bahwa pendekatan dan
cara yang dipilih dalam pelaksanaan
penanggulangan kemiskinan selama
ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan kelembagaan masyarakat.
Model ini diharapkan mampu memberi kontribusi bagi penyelesaian persoalan kemiskinan yang bersifat multi
dimensional dan struktural, khususnya yang terkait dengan dimensi-dimensi politik, sosial dan ekonomi.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
adalah program yang dicanangkan
pemerintah mulai tahun 2007 yang
terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan,
PNPM Mandiri Perkotaan, serta
PNPM Mandiri wilayah khusus dan
desa tertinggal. PNPM Mandiri
Perkotaan adalah program untuk

mempercepat
penanggulangan
kemiskinan secara terpadu dan
berkelanjutan. PNPM Mandiri perkotaan merupakan pengembangan dari
Program Penanggu- langan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), yang selama ini dinilai berhasil.
PNPM Mandiri Perkotaan dilaksanakan dengan strategi memberdayakan pelaku-pelaku pembangunan strategis dan masyarakat agar
mampu membangun dan menanggulangi kemiskinan secara mandiri
melalui:
(1) Membangun
Kapasitas
Masyarakat Miskin Perkotaan
agar mampu membentuk dan
melembagakan nilai-nilai luhur
kemanusiaan (jujur, adil, ikhlas,
saling membantu dll.) dalam kehidupan bermasyarakat.
(2) Membangun
kelembagaan
masyarakat sebagai wadah bagi
para relawan untuk mendorong
gerakan
penanggulangan
kemiskinan, yang mana orangorang yang duduk dalam lembaga tersebut memiliki sifat-sifat
atau ciri-ciri yang merepresentasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan (nilai universal kemanusiaan).
(3) Menyediakan akses langsung ke
sumber daya kunci yang dibutuhkan masyarakat miskin dalam
bentuk Dana Bantuan langsung
Masyarakat (BLM) yang dikelola
oleh kelembagaan masyarakat
yang telah dibentuk.
(4) Meningkatkan Kapasitas Pemerintah Daerah untuk bermitra dengan
organisasi
masyarakat
dalam penyediaan pelayanan
umum, melalui penyediaan serta
pengembangan
bantuan
penanggulangan kemiskinan terpadu (PAKET).
Namun demikian haruslah dipahami
bahwa
pemberdayaan
masyarakat sebagai suatu proses

penguatan
dan
pemampuan
masyarakat khususnya masyarakat
miskin bukanlah suatu proses yang
mudah, tetapi membutuhan kemauan
baik (political will) dari pemerintah,
partisipasi masyarakat dan kaum
peduli. Ketiga unsur di atas merupakan stakeholder penting dalam
pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan. Sebab belajar dari pengalaman
berbagai program penanggulangan
kemiskinan terdahulu yang bersifat
parsial, sektoral dan charity seringkali menjadi salah sasaran dan
menciptakan benih-benih fragmentasi sosial dan melemahnya kapital
sosial yang ada di masyarakat
seperti gotong-royong, musyawarah,
keswadayaan dan lain-lain yang
pada gilirannya akan menciptakan
pergeseran perilaku masyarakat
yang semakin jauh dari semangat kemandirian,
kebersamaan
dan
kepedulian untuk mengatasi permasalahan
kemiskinan
secara
bersama-sama, karena kemiskinan
sebenarnya adalah masalah kita
bersama.
Kerangka Pemikiran
Pada tahap formulasi, kebijakan Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan ini muncul melalui pendekatan Top Down, yaitu sebagai tindak lanjut dari kesepakatan pemerintah Indonesia di forum PBB dan forum Internasional lainnya seperti
Deklarasi Johannesburg. Selanjutnya
sampai pada tahapan program yaitu
munculnya program PNPM Mandiri
sebagai wadah bagi integrasi semua
program yang berbasis pemberdayaan merupakan kebijakan pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu.
Karena kebijakan ini berasal dari pemerintah pusat, maka sebagai tindak
lanjut pada langkah implementasi
menjadi tanggungjawab pada level
birokrasi di bawah (street level bureaucracy) yaitu departemen, dinas

maupun pemerintah daerah. Pada
tahap implementasi kebijakan percepatan penanggulangan kemiskinan
melalui PNPM Mandiri, proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasinya dilakukan melalui pendekatan
Bottom Up yaitu melalui proses pemberdayaan
dan
partisipasi
masyarakat yang menjadi target
group dari program ini. Sebagai
kerangka pemikiran dapat dijelaskan
secara sistematis dalam gambar
berikut:
Gambar 6: Kerangka Pemikiran
Masalah Kemiskinan di
Negara dunia ke tiga.
Krisis multi dimensional
Kemiskinan di Indonesia

Deklarasi Milenium (Millenium
Development Goals) di forum PBB.
Deklarasi Johannesburg (Pemabangunan
berkelanjutan

UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJP
Nasional

Kebijakan
Pembangun
an berbasis
kemanusiaa
n

Kebijakan
Percepatan
Penanggula
ngan
Kemiskinan

Tim Nasional
Percepatan
Penanggulanga
n Kemiskinan
(TNP2K)

Tim
Koordinasi
Penanggulanga
n Kemiskinan
Provinsi/Kabu
paten
(TKPKProp/K
ab)

Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang
RPJM Nasional 2005-2009
Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang
RPJMN 2010-2014

Perpres No. 13 Tahun 2009 tentang
Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan
Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang
Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
11 Prioritas Pembangunan nasional

SK Menko Kesra No.
28/KEP/Menko/Kesra/XI/2006
Keputusan Menko Kesra No.
23/KEP/Menkokesra/VII/2007
tentang Tim Pengendali PNPM
Mandiri

PNPM Mandiri sebagai instrument
Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan dan Perluasan
Kesempatan Kerja

Target
MDG’s
20015

Prioritas 4: Percepatan
Penanggulangan
Kemiskinan dan
Perluasan Kesempatan
Kerja

4 Cluster Program
Percepatan
Penanggulangan
Kemiskinan

Cluster 2:
Pemberdayaan
masyarakat dan
Partisipasi

Kemiskinan di Kab.
Mojokerto
Kemiskinan di desa
Kemantren

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan maksud agar
dalam proses pencarian makna dibalik
fenomena
dapat
dilakukan
pengkajian secara komprehensif,
mendalam, alamiah, dan apa adanya
serta tanpa banyak campur tangan

dari peneliti. Pertimbangan lainnya
bahwa
pelaksanaan
program
penanggulangan kemiskinan tidak
hanya mengungkapkan peristiwa riil
yang dikuantitatifkan, tetapi lebih dari
itu hasilnya diharapkan dapat mengungkapkan hal-hal tersembunyi dari
implementasi program tersebut. Oleh
sebab itu peneliti menjadi lebih peka
terhadap informasi yang bersifat
deskriptif dengan cara mempertahankan keutuhan dari obyek yang
diteliti.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian kualitatif dimaksudkan untuk membatasi studi
kualitatif,
sekaligus
membatasi
peneliti dalam menentukan data yang
relevan dan mana yang tidak relevan. Berdasarkan konsep tersebut di
atas, maka fokus dalam penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Pelaksanaan Program Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
Mandiri Perkotaan (PNPM MP)
di Desa Kemantren Kecamatan
Gedeg Kabupaten Mojokerto
meliputi: siklus tahun ke-1, siklus
tahun ke-2, siklus tahun ke-3,
siklus tahun ke-4, channeling
program.
(2) Peran dan partisipasi stakeholders (Pemerintah, Masyarakat,
Kaum peduli dan Swasta) dalam
penanggulangan kemiskinan di
desa Kemantren melalui PNPM
Mandiri Perkotaan
(3) Faktor-faktor yang mendukung
dan menghambat pelaksanaan
PNPM Mandiri Perkotaan.
Sumber Data
Teknik pengambilan data
dalam penelitian kualitatif ini dilakukan secara selektif. Sumber data
dalam penelitian kualitatif dapat
diperoleh dari orang atau subyek
yang diteliti sebagai informan atau
partisipan, peristiwa, dan dokumen.
Sedangkan kata-kata dan tindakan
dari informan atau partisipan tersebut

merupakan data utama dalam penelitian kualitatif. Namun demikian datadata tertulis yang berasal dari sumber data tertulis seperti dokumen
resmi, majalah dll. merupakan sumber data yang bisa mendukung data
utama dalam penelitian kualitatif ini.
Oleh karena itu jenis data yang digali
dapat dibedakan sebagai berikut:
(1) Kata-kata dan tindakan
Kata-kata dan tindakan dari
orang-orang yang diwawancara
atau diamati merupakan data
utama. Pencatatan data utama
ini merupakan hasil usaha
gabungan dari kegiatan melihat,
mendengar
dan
bertanya
kepada sumber data. Pernyataan dan pengamatan terhadap
sumber data utama tersebut dicatat melalui catatan tertulis atau
pengambilan foto.
(2) Data tertulis
Data tertulis ini bisa diperoleh
dari sumber data berupa buku
dan majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen
resmi. Meskipun bukan sumber
data utama namun sumber data
tertulis ini tidak bisa diabaikan
begitu saja.
(3) Foto
Foto yang dijadikan data dalam
peneitian ini ada dua kategori
foto, yaitu foto yang dihasilkan
orang dan foto yang dihasikan
oleh peneliti sendiri. Foto menghasilkan data deskriptif yang
sangat berharga dan dapat digunakan untuk menelaah segi-segi
subyektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif.
(4) Data statistik
Yang perlu diperhatikan mengenai data statistik adalah bahwa
data statistik pada umumnya
berlandaskan paradigma positivisme yang mengutamakan
generalisasi sehingga dapat
mengurangi makna subyek se-

cara perorangan yang unik dan
utuh. Oleh karena itu peneliti
tidak terlalu menggantungkan
pada data statistik, tetapi memanfaatkan data statistik sebagai suatu cara untuk mengantar
dan mengarahkan pada kejadian
dan peristiwa yang ditemukan
dalam penelitian. Data statistik
yang telah tersedia merupakan
sumber data tambahan bagi
keperluan penelitian.
Selanjutnya Informasi awal
dalam penelitian kualitatif dipilih secara purposive (purposive sampling)
yang didasarkan atas subyek yang
menguasai permasalahan, memiliki
data dan bersedia memberikan data.
Key informan, sebagai sumber data
utama yang benar-benar mengetahui
dan kompeten dengan masalah
penelitian yang diseleksi melalui
teknik snowball sampling, dengan
maksud agar data yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun
teori.
Instrumen Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti adalah key
instrument atau alat peneliti utama.
Peneliti mengadakan observasi atau
wawancara tak terstruktur dengan
menggunakan buku catatan. Peneliti
sebagai instrument yang mampu
membaca seluruh gejala alam (natural) sebagai obyek penelitian dengan
dibantu seperangkat alat berupa pedoman wawancara, dokumen dan
observasi.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang penting, mengingat validitas data yang digali dilapangan juga ditentukan oleh metode
dalam pengumpulan data ini. Penentuan metode pengumpulan data yang
tepat lebih mempermudah langkah
selanjutnya dalam mengolah dan
menganalisis data. Dalam penelitian
kualitataif ini peneliti menggunakan

alat bantu berupa catatan lapangan
dan pedoman wawancara (interview
guide). Pengumpulan data (Logging
the data)
dilakukan dengan beberapa cara
yaitu wawancara (Interview), observasi (Pengamatan), dan Dokumentasi
Analisa Data
Di dalam penelitian kualitatif
ini, analisa data dilakukan hampir
bersamaan
dengan
proses
pengumpulan data yaitu sejak awal
dan sepanjang proses penelitian
berlangsung. Dalam penelitian kualitatif ini peneliti menggunakan analisa
data dari Miles dan Huberman (1992:
16-19) dengan prosedur sebagai
berikut:
(1) Reduksi Data
Reduksi data dilakukan selama
proses
pengumpulan
data
berlangsung dengan jalan membuat ringkasan, pengkodean,
menelusuri pola, membuat gugus-gugus, dan menulis memorandum teoritis.
(2) Penyajian Data
Penyajian data dimaksudkan
agar memudahkan bagi peneliti
untuk melihat gambaran secara
keseluruhan atau bagian-bagian
tertentu dari penelitian. Untuk itu
data dapat disajikan dalam bentuk matriks, peta, atau uraian
naratif serta jaringan (network).
(3) Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Proses analisis data dilakukan
selama proses pengumpulan
data dengan cara mencari makna
dari data yang dikumpulkan yaitu
mencari pola, tema, hubungan
persamaan, hal-hal yang sering
timbul, hipotesis dan sebagainya
untuk dituangkan dalam suatu
kesimpulan yang sifatnya masih
tentatif. Sedangkan verifikasi data
dilakukan secara terus menerus
selama proses penelitian, sehingga dengan semakin bertam-

bahnya data yang semakin
lengkap barulah dapat ditarik kesimpulan yang bersifat grounded.
Sedangkan analisa data model
interaktif seperti yang digambarkan Miles dan Huberman
(1992) tersebut adalah sebagai
berikut:

Gambar 7 : Analisa Data Model Interaktif

Pengumpulan

data
Sumber: Miles
dan Huberman, Penyajian
Analdata
isa Data Kualitatif, UI-Press, Jakarta.
1992. Hal. 20
Reduksi
data

KesimpulanKeabsahan Data
Penarikan/
Verifikasi
Keabsahan data merupakan
hal yang penting dalam penelitian,
karena data yang kurang valid
berdampak pada hasil penelitian
yang kurang obyektif dan tidak bisa
menggambarkan realitas fenomena
sosial yang diteliti. Penekanan dalam
pengujian keabsahan data dalam
penelitian ini adalah pada uji validitas
dan realibilitas. Kriteria utama hasil
penelitian adalah berkenaan dengan
validitas, reliablilitas dan obyektifitas
hasil penelitian. Validitas merupakan
derajat ketepatan antara data yang
ada pada obyek penelitian dengan
data yang dilaporkan oleh peneliti.
Oleh karena itu data yang valid
adalah “data yang tidak berbeda”
antara data yang ada pada obyek
penelitian
dengan
data
yang
dilaporkan oleh peneliti. Dalam
menentukan keabsahan data perlu

dilakukan
pengecekan
atau
pemeriksaan terhadap temuan data
dalam penelitian kualitatif sehingga
dapat ditarik suatu kesimpulan yang
benar-benar obyektif. Ada empat (4)
tahapan kegiatan atau saringan yang
dapat dilakukan oleh peneliti untuk
mencapai kedalaman (Depth) penelitian dan untuk menguji keabsahan
data dalam penelitian kualitatif yang
dikembangkan oleh Lincoln dan
Guba (1985), yaitu :
(1) Credibility (derajat kepercayaan)
Credibility (derajat kepercayaan)
ini perlu diperhatikan oleh peneliti
agar hasil penelitian mendapat
pengakuan kebenarannya. Teknik
pemeriksaan yang digunakan
peneliti untuk mencapai credibility
tersebut adalah sebagai berikut :
a)Ketekunan/keajegan
pengamatan
b) Triangulasi
c) Pemeriksaan sejawat melalui
diskusi
d) Pengecekan anggota
(2) Transferability (Keteralihan)
Dalam penelitian kualitatif ini, upaya yang digunakan untuk
membangun keteralihan temuan
penelitian ialah dengan cara
“uraian rinci (thick description)”.
Dengan teknik ini peneliti dituntut
untuk melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat
mungkin yang menggambarkan
konteks tempat penelitian diselenggarakan.
(3) Dependability (Kebergantugan)
Dependability (kebergantungan)
dan
kepastian
data
dapat
diperiksa melalui teknik auditing.
Depenability adalah kriteria untuk
menilai apakah proses penelitian
bermutu atau tidak. Penggunaan
teori, teknik snowball sampling
dalam penelitian ini menjadi alat
untuk mendapatkan keabsahan

data, karena dengan teknik itu
diperoleh kejenuhan data.
(4) Confirmability (kepastian)
Confirmability dilakukan melalui
pengumpulan data, rekontruksi
data, menekan sekecil mungkin
bias penelitian, dan melakukan
pengecekan ulang atas hasil
penelitian. Kepastian terutama
dilakukan dengan upaya recheck
terhadap hasil data yang diperoleh
dari informasi di lapangan.
D. Hasi Penelitian dan Pembahasan
Pelaksanaan PNPM Mandiri
Perkotaan di Desa Kemanten
Kecamatan Gedeg Kabupaten
Mojokerto.
PNPM Mandiri Perkotaan
merupakan program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan secara menyeluruh di seluruh Indonesia. Secara konsep pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di
seluruh Indonesia adalah sama. Begitu juga pelaksanaan PNPM Mandiri
Perkotaan di Desa Kemantren Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto
juga mengikuti alur siklus proses
pemberdayaan masyarakat dalam
PNPM Mandiri Perkotaan yang telah
ditetapkan dari pemerintah pusat.
Adapun alur siklus proses pemberdayaan masyarakat dalam PNPM
Mandiri Perkotaan yang telah dilaksanakan di Desa Kemantren Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto
meliputi Siklus Tahun ke-1 dilaksanakan tahun 2009 pada awal masuknya PNPM Mandiri Perkotaan di
desa Kemantren, Siklus Tahun ke-2
pada tahun 2010, dan Siklus Tahun
ke-3 pada Tahun 2011. Sedangkan
Siklus Tahun ke-4 prosesnya seperti
siklus tahun ke-1 dan akan dilaksanakan pada akhir Tahun 2012.
Dari seluruh rangkaian siklus
kegiatan masyarakat tersebut dimak-

sudkan sebagai bentuk intervensi
PNPM Mandiri Perkotaan dalam
rangka memberdayakan masyarakat.
Secara lebih jelas proses intervensi
dalam PNPM Mandiri Perkotaan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 8: Transformasi Sosial
dalam PNPM Mandiri Perkotaan

Sumber: Buku Pedoman Umum
PNPM Mandiri Perkotaan Tahun
2010
Ada tiga fase proses transformasi sosial yang diharapkan melalui
intervensi PNPM Mandiri Perkotaan
yaitu fase pertama adanya perubahan kondisi masyarakat dari kondisi
awal yang tidak berdaya (miskin)
menjadi berdaya. Fase kedua
adalah proses perubahan dari berdaya menjadi mandiri. Fase ketiga
adalah tahapan perubahan dari
mandiri menuju madani.
a) Siklus Tahun ke-1
Siklus tahun ke-1 ini merupakan tahapan awal intervensi program PNPM Mandiri Perkotaan di
Desa Kemantren Kecamatan Gedeg
Kabupaten Mojokerto yang berlangsung pada tahun 2009.
Proses kegiatan dalam siklus
tahun ke-1 dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 9: Alur Siklus
Kegiatan Tahun Ke-1

Sumber: Materi Pelatihan Refresh
Fasilitator 2011

1) Sosialisasi, merupakan proses
pengenalan
konsep
program
PNPM Mandiri Perkotaan kepada
seluruh masyarakat Desa Kemantren. Proses sosialisasi tersebut berlangsung antara tanggal 19
Mei 2009 sampai 5 Juni tahun
2009. Proses sosialisasi dilakukan
sebanyak 24 kali pertemuan baik
ditingkat basis RT/RW/Dusun
maupun tingkat desa. Dari data
rekapitulasi kehadiran tercatat
partisipasi masyarakat sebanyak
1.490 orang.
2) Rembug Kesiapan Masyarakat
(RKM), merupakan proses membangun kontrak sosial dengan
masyarakat. Pada tahap ini program PNPM Mandiri Perkotaan di
tawarkan kepada masyarakat untuk di terima atau di tolak. Apabila
program PNPM Mandiri Perkotaan
tersebut di tolak, maka konsekuensinya pelaksanaan program PNPM Mandiri Perkotaan
berhenti sampai tahap ini. Akan
tetapi apabila program PNPM
Mandiri Perkotaan tersebut di terima, maka konsekuensinya pelaksanaan program PNPM Mandiri
Perkotaan dilanjutkan. Sebagai
bentuk komitmen tersebut maka di
lakukan pendaftaran relawanrelawan warga yang akan membantu
pelaksanaan
program
PNPM Mandiri Perkotaan di
desa/kelurahan. Tahap Rembug
Kesiapan Masyarakat di desa Kemantren Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto dilaksanakan
pada 25 Mei 2009 sampai 13 Juni
2009. Hasil dari proses RKM
tersebut adalah 23 RT menerima
program PNPM Mandiri Perkotaan
dengan jumlah relawan yang
mendaftar/didaftar berjumlah 50
orang. (Sumber: Data SIM PNPM
Mandiri Perkotaan Korkot Mojokerto tahun 2009).

3) Focus Group Discussion (FGD)
Refleksi Kemiskinan merupakan
tahapan proses dalam PNPM
Mandiri Perkotaan untuk menumbuhkan
kesadaran
kritis
masyarakat mengenai permasalaha