Proposal Skripsi Hukum A. PERKEMBANGAN M
Proposal Skripsi Hukum
A.
PERKEMBANGAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PASCA TERBITNYA UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.
B.
Latar
Belakang
Masalah
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan lembaga
baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Dengan kewenangan khusus yang
merupakan salah satu bentuk judicial control dalam kerangka sistem checks and balances
diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 mengatakan
bahwa: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. [1]
Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang
merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan, Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari
Mahkamah Agung dalam makna perkaitan struktur unity of jurisdiction, seperti halnya dalam
sistem hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara
duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung.
Keduanya
adalah
penyelenggara
tertinggi
dari
kekuasaan
kehakiman.
Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi kemudian dipertegas kembali dengan
lahirnya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang disahkan oleh presiden pada tanggal 25
Agustus Tahun 2003 yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang kemudian dalam perkembangannya diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
berfungsi menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga ( to
guard ) konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat
dan
cita-cita
demokrasi.
Dalam menjalankan fungsinya Mahkamah Konstitusi digariskan kewenanganya oleh Undangundang Dasar 1945, Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) :
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusanya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh
Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil Pemilu.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undangundang Dasar.
Dari perspektif demokrasi, keempat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional tersebut
memiliki peran strategis dalam pengembangan dan penguatan demokrasi di Indonesia.
Mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan upaya paling absah untuk
menjamin dan memastikan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi
penuntun penyelenggaraan negara selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Judicial
review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik secara materiil maupun formil yang diberikan
kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk
hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di hadapan peraturan
perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Dengan begitu, judicial review bekerja
atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis. Pengujian biasanya
dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut
judicial preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan
Konstitusi) di Prancis. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK menguji undangundang terhadap UUD, artinya yang diuji bukan rancangan undang-undang melainkan undangundang yang sudah berlaku karena secara formil sudah diundangkan (promulgated).[2]
Walaupun lembaga ini masih bisa dibilang baru, Mahkamah Konstitusi mampu memberikan
kontribusi yang cukup signifikan dalam memberikan warna bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya menjaga kemurnian konstitusi. Banyak putusan Mahkamah Konstitusi
sering mengagetkan banyak orang. Keputusan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan sangat
berani dan menimbulkan perdebatan bagi kalangan ahli hukum serta politisi. Beberapa
putusannya yang menimbulkan perdebatan pro dan kontra antara lain mengenai surat Ketua
Mahkamah Konstitusi kepada Presiden yang berisi “mengingatkan” Presiden bahwa dalam
penerbitan Kepres 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam
Negeri, seharusnya memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 21 Desember 2004
(Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1 tahun 2005 tanggal 4 Januari 2005), yang
telah menyatakan beberapa pasal undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.[3]
Perkembangan terakhir ini telah menimbulkan perdebatan tentang posisi MK dalam format
ketatanegaraan RI. Bagaimana mungkin sembilan hakim konstitusi dapat menggugurkan putusan
berupa produk undang-undang yang telah diputuskan oleh 550 orang anggota DPR bersama
Presiden. Persoalan yang lebih jauh lagi, dengan suratnya kepada Presiden tersebut, MK seakanakan hendak mengawasi dan “mengeksekusi” sendiri pelaksanaan putusannya agar dihormati.
Mahfud MD, menjelaskan dalam makalahnya bahwa alasan terbesar yang mendasari
diakomodirnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ialah hukum atau
peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik meskipun
dibentuk secara demokratis, berpotensi menyimpan muatan kepentingan yang tidak
sejalan dengan ketentuan konstitusi. Alasannya sederhana. sebagai produk dari lembaga
politik boleh dipastikan di dalamnya bukan lain merupakan manifestasi dari kepentingankepentingan politik. Hal demikian wajar, namun masalahnya adalah ketika kepentingankepentingan dalam peraturan perundang-undangan itu bertentangan dengan prinsipprinsip
dalam
konstitusi.[4]
Seiring dengan terus berkembangnya kebutuhan akan hukum dalam masyarakat Indonesia, maka
terbitlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 20 Juli 2011 di
Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia sebulan menjelang ulang tahun Mahkamah Konstitusi
yang Ke-8. Perubahan ini paling tidak menurut UU Nomor 8 Tahun 2011 dalam pertimbangan
huruf b dikarenakan UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan kehidupan ketatanegaraan.
Dr. Maruarar Siahaan juga menambahkan bahwa pengaturan hukum acara dalam Undangundang Mahkamah Konstitusi sangat sumir, sehingga terdapat begitu banyak kekosongan. Akan
tetapi, sejak awal pembuat undang-undang telah menyadari hal tersebut, baik karena
keterbatasan waktu maupun kurangnya sumber acuan yang dapat digunakan sebagai bahan
dalam menyusun hukum acara di Mahkamah Konstitusi, sehingga pengembangan lebih lanjut
aturan hukum acara yang dibutuhkan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengatur
hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangya (Pasal 86 UU
Nomor
24
Tahun
2003
Tentang
Mahkamah
Konstitusi).[5]
Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Mahfud MD, memperkirakan pasca terbitnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tugas Mahkamah Konstitusi akan semakin sulit dan kompleks
permasalahan yang harus dihadapi MK dalam mengawal konstitusi kedepan, ditambah lagi
dengan upaya pihak-pihak yang ingin menghancurkan kredibilitas Mahkamah Konstitusi melalui
cara mengintervensi hakim konstitusi membuat rintangan semakin keras dan pelik.[6]
Para akademisi menilai bahwa terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
sejumlah pasal yang dirubah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena
berpotensi merusak dan melemahkan Mahkamah Konstitusi.sehingga mereka pada akhirnya
berbondong-bondong menuju Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Uji Materil dengan
Perkara Sidang Nomor 49/PHPU.D-IX/2011 Perihal Permohonan Pengujian Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah
Konstitusi.[7]
Sampai saat ini, terbitnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi masih menjadi
perdebatan disana-sini. Dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk mengambil judul
mengenai PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PASCA TERBITNYA UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
NOMOR
24
TAHUN
2004
TENTANG
MAHKAMAH
KONSTITUSI.
C.
Identifikasi
Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, penulis akan mengemukakan beberapa masalah, antara lain :
1. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sudah senafas dengan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945 ?
2. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi berpotensi merusak dan
melemahkan Mahkamah Konstitusi ?
3. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi akan memberikan pengaruh
signifikan terhadap perkembangan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia ?
D.
Maksud
dan
Adapun tujuan penulisan ilmiah ini yaitu :
Tujuan
Penelitian
1. Sebagai sumbang pikir bagi Mahkamah Konstitusi dalam menganalisa Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi.
2. Memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi agar lebih progresif dimasa yang akan datang.
E.
Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teoritis
Fenomena keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam dunia ketatanegaraan dewasa
ini, secara umum memang dapat dikatakan merupakan sesuatu yang baru. Diseluruh negara
didunia ini, Mahkamah Konstitusi dikenal di 78 negara. Sebagian besar Negara-negara
demokrasi yang sudah mapan, kecuali Jerman, tidak mengenal Mahkamah Konstitusi yang
berdiri sendiri. Fungsinya bisa dicakup dalam fungsi supreme court yang ada disetiap Negara.
Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai
fungsi Mahkamah Konstitusi seoerti judicial review dalam rangka menguji konstitusionalitas
materi suatu undang-undang dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung (supreme court).
[8]
Paham Konstitusionalisme memberi dasar atas susunan ketatanegaraan Negara hukum.
Didalam konstitusi ditentukan lembaga-lembaga Negara serta kewenanganya, baik wewenang
antar lembaga Negara secara horizontal, maupun secara vertical, yaitu yang berkaitan dengan
penggunaan wewenang tersebut kepada rakyat. Sesuai dengan asas Negara hukum, maka setiap
penggunaan
wewenang
harus
mempunyai
dasar
legalitasnya.[9]
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada tanggal 9 Nopember 2001. Ide Pembentukan Mahkamah
Konstitusi merupakan perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di
abad
ke-20.[10]
Ketentuan yang mengindikasikan adanya lembaga baru Mahkamah Konstitusi disinggung
oleh perubahan UUD 1945, yaitu Pasal 7B yang berhubungan dengan proses impeachment
terhadap presiden dan wakil presiden, sedangkan ketentuan tentang kelembagaanya diatur dalam
Pasal 24C yang merupakan hasil perubahan yang bersifat tambahan dari ketentuan Pasal 24
lama. Pola yang ditempuh oleh UUD 1945 dalam menempatkan pengaturan kelembagaan Negara
baru dapat dibedakan dalam beberapa cara. Pertama, dengan tetap mempertahankan bab dalam
UUd 1945 sebelum perubahan dan kemudian dalam bab yang bersangkutan dimasukan aturan
tentang
kekuasaan
kehakiman
yang
tertuang
dalam
Bab
IX.[11]
Banyak kalangan berpendapat meunculnya wacana pentingnya pembentukan Mahkamah
Konstitusi berawal dari menghangatnya permasalahan diatas, yaitu sengketa antara lembaga
Negara (antara presiden dan DPR terutama). Sejatinya permasalahan diatas ada implikasi dari
sebuah kondisi yang tidak lengkap dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, kekosongan atau
ketidaklengkapan kewenangan lembaga yudikatif dalam struktur kelembagaan Negara Indonesia.
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai legitimasi sebuah Mahkamah
Konstitusi. Paling tidak ada 2 (dua) kelompok paham yang berkembang. Pertama, Negara-negara
yang menganut ultra vires dan Negara-negara yang mengatur paham konstitusi sebagai dasar
hukum pokok Negara. Paham pertama dianut oleh Negara-negara seperti Inggris, Swedia, dan
Prancis, sedangkan paham kedua dianut oleh Negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan
Australia.
Negara-negara penganut paham kedua, legitimasi Mahkamah Konstitusi beranjak dari asumsi
perlunya jaminan perlindungan pembagian kekuasaan yang demokratis (baik secara vertical
maupun horizontal). Hal ini mensyaratkan sebuah konstitusi yang tertulis sebagai hukum dasar
(hukum tertinggi) Negara dan pembagian kekuasaan klasik antara legislatif, eksekutif, dan
yudikatif.
Legitimasi Mahkamah Konstitusi terletak pada kesesuaian antara undang-undang yang
dihasilkan parlemen dengan konstirusi Negara dan pada keseimbangan kekuasaan antar organ
tinggi Negara lainya. Maka Mahkamah Konstitusi bertujuan menjamin perlindungan hak-hak
dasar rakyat yang ditetapkan konstitusi serta hubungan harmonis antar lembaga Negara dalam
kerangka Negara demokratis.[12]
1. Kerangka Konseptual
Dalam Kerangka Konseptual penulis memberikan beberapa definisi operasional sebagai berikut :
1. Perkembangan merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat
dari proses kematangan dan pengalaman dan terdiri atas serangkaian perubahan yang
bersifat kualitatif dan kuantitatif ( E.B. Harlock ).
2. Konstitusi adalah konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara
yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur/memerintah dalam
pemerintahan suatu negara.( K. C. Wheare )
3. Mahkamah Konstutusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[13]
4. Sistem ketatanegaraan adalah seperangkat prinsip dasar yg mencakupi peraturan susunan
pemerintah, bentuk negara, dan sebagainya yg menjadi dasar pengaturan suatu negara.
[14]
5. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.[15]
F.
Metode
Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1.
Sifat
Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, artinya menggambarkan fakta-fakta yang diteliti
kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori dan pendapat ahli
hukm.
2.
Metode
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif ( penelitian normatif ), yaitu menguji dan
engkaji data penelitian yang diperoleh dengan bertitik tolak pada aspek hukum ( yuridis ).
3.
Metode
Pengumpulan
Data
Penelitian Kepustakaan ( Library Research ) dipilih oleh penulis untu memperoleh data sekunder
yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer meliputi : peraturan perundang-undangan yang terkait.
2. Bahan hukum sekunder meliputi : buku-buku literatur, karya-karya ilmiah, artikel-artikel,
dan dokumen-dokumen tertulis lainya.
4. Metode AnalisisData-data penelitian yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif,
yang berarti menjabarkan dengan kata-kata sehingga menjadi kalimat yang mudah dimengerti,
sistematis,
dan
dapat
dipertanggung-jawabkan.
G.
Sistematika
Penulisan
Dalam penulisan hukum ini, penulis membagi pembahasan masalah kedalam 5 (lima) bab.
Adapun
sistematika
penulisan
hukum
ini
adalah
sebagai
berikut:
BAB
I
PENDAHULUAN
Merupakan bagian pendahuluan yang berisikan pemaparan latar belakang, perumusan pokok
permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teoritis, dan kerangka kenseptual, metode penelitian,
dan
sestematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN
INDONESIA
Dalam bab ini memaparkan tinjauan tentang Negara hukum, fungsi dan asas kekuasaan
kehakiman di Indonesia, Lembaga-lembaga pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, dan
independensi
peradilan
dan
independensi
hakim.
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI
Didalamnya akan diulas mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam system
ketatanegaraan Indonesia, sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi, kedudukan, fungsi, dan
kewenangan
Mahkamah
Konstitusi.
BAB IV ANALISIS PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PASCA TERBITNYA UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
Pembahasan dalam bab ini berisikan analisa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
kemudian mendeskripsikan pengaruh perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang
Mahkamah
Konstitusi.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN
SARAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan sekaligus memberikan
jawaban atas identifikasi masalah. Selanjutnya penulis akan mengetengahkan saran-saran yang
kiranya dapat memberikan masukan dan pemikiran sebagai solusi terhadap kelemahankelemahan
yang
ditemukan.
Daftar Pustaka
A.
PERKEMBANGAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PASCA TERBITNYA UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.
B.
Latar
Belakang
Masalah
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan lembaga
baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Dengan kewenangan khusus yang
merupakan salah satu bentuk judicial control dalam kerangka sistem checks and balances
diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 mengatakan
bahwa: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. [1]
Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang
merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan, Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari
Mahkamah Agung dalam makna perkaitan struktur unity of jurisdiction, seperti halnya dalam
sistem hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara
duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung.
Keduanya
adalah
penyelenggara
tertinggi
dari
kekuasaan
kehakiman.
Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi kemudian dipertegas kembali dengan
lahirnya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang disahkan oleh presiden pada tanggal 25
Agustus Tahun 2003 yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang kemudian dalam perkembangannya diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
berfungsi menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga ( to
guard ) konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat
dan
cita-cita
demokrasi.
Dalam menjalankan fungsinya Mahkamah Konstitusi digariskan kewenanganya oleh Undangundang Dasar 1945, Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) :
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusanya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh
Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil Pemilu.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undangundang Dasar.
Dari perspektif demokrasi, keempat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional tersebut
memiliki peran strategis dalam pengembangan dan penguatan demokrasi di Indonesia.
Mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan upaya paling absah untuk
menjamin dan memastikan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi
penuntun penyelenggaraan negara selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Judicial
review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik secara materiil maupun formil yang diberikan
kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk
hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di hadapan peraturan
perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Dengan begitu, judicial review bekerja
atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis. Pengujian biasanya
dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut
judicial preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan
Konstitusi) di Prancis. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK menguji undangundang terhadap UUD, artinya yang diuji bukan rancangan undang-undang melainkan undangundang yang sudah berlaku karena secara formil sudah diundangkan (promulgated).[2]
Walaupun lembaga ini masih bisa dibilang baru, Mahkamah Konstitusi mampu memberikan
kontribusi yang cukup signifikan dalam memberikan warna bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya menjaga kemurnian konstitusi. Banyak putusan Mahkamah Konstitusi
sering mengagetkan banyak orang. Keputusan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan sangat
berani dan menimbulkan perdebatan bagi kalangan ahli hukum serta politisi. Beberapa
putusannya yang menimbulkan perdebatan pro dan kontra antara lain mengenai surat Ketua
Mahkamah Konstitusi kepada Presiden yang berisi “mengingatkan” Presiden bahwa dalam
penerbitan Kepres 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam
Negeri, seharusnya memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 21 Desember 2004
(Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1 tahun 2005 tanggal 4 Januari 2005), yang
telah menyatakan beberapa pasal undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.[3]
Perkembangan terakhir ini telah menimbulkan perdebatan tentang posisi MK dalam format
ketatanegaraan RI. Bagaimana mungkin sembilan hakim konstitusi dapat menggugurkan putusan
berupa produk undang-undang yang telah diputuskan oleh 550 orang anggota DPR bersama
Presiden. Persoalan yang lebih jauh lagi, dengan suratnya kepada Presiden tersebut, MK seakanakan hendak mengawasi dan “mengeksekusi” sendiri pelaksanaan putusannya agar dihormati.
Mahfud MD, menjelaskan dalam makalahnya bahwa alasan terbesar yang mendasari
diakomodirnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ialah hukum atau
peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik meskipun
dibentuk secara demokratis, berpotensi menyimpan muatan kepentingan yang tidak
sejalan dengan ketentuan konstitusi. Alasannya sederhana. sebagai produk dari lembaga
politik boleh dipastikan di dalamnya bukan lain merupakan manifestasi dari kepentingankepentingan politik. Hal demikian wajar, namun masalahnya adalah ketika kepentingankepentingan dalam peraturan perundang-undangan itu bertentangan dengan prinsipprinsip
dalam
konstitusi.[4]
Seiring dengan terus berkembangnya kebutuhan akan hukum dalam masyarakat Indonesia, maka
terbitlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 20 Juli 2011 di
Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia sebulan menjelang ulang tahun Mahkamah Konstitusi
yang Ke-8. Perubahan ini paling tidak menurut UU Nomor 8 Tahun 2011 dalam pertimbangan
huruf b dikarenakan UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan kehidupan ketatanegaraan.
Dr. Maruarar Siahaan juga menambahkan bahwa pengaturan hukum acara dalam Undangundang Mahkamah Konstitusi sangat sumir, sehingga terdapat begitu banyak kekosongan. Akan
tetapi, sejak awal pembuat undang-undang telah menyadari hal tersebut, baik karena
keterbatasan waktu maupun kurangnya sumber acuan yang dapat digunakan sebagai bahan
dalam menyusun hukum acara di Mahkamah Konstitusi, sehingga pengembangan lebih lanjut
aturan hukum acara yang dibutuhkan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengatur
hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangya (Pasal 86 UU
Nomor
24
Tahun
2003
Tentang
Mahkamah
Konstitusi).[5]
Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Mahfud MD, memperkirakan pasca terbitnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tugas Mahkamah Konstitusi akan semakin sulit dan kompleks
permasalahan yang harus dihadapi MK dalam mengawal konstitusi kedepan, ditambah lagi
dengan upaya pihak-pihak yang ingin menghancurkan kredibilitas Mahkamah Konstitusi melalui
cara mengintervensi hakim konstitusi membuat rintangan semakin keras dan pelik.[6]
Para akademisi menilai bahwa terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
sejumlah pasal yang dirubah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena
berpotensi merusak dan melemahkan Mahkamah Konstitusi.sehingga mereka pada akhirnya
berbondong-bondong menuju Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Uji Materil dengan
Perkara Sidang Nomor 49/PHPU.D-IX/2011 Perihal Permohonan Pengujian Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah
Konstitusi.[7]
Sampai saat ini, terbitnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi masih menjadi
perdebatan disana-sini. Dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk mengambil judul
mengenai PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PASCA TERBITNYA UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
NOMOR
24
TAHUN
2004
TENTANG
MAHKAMAH
KONSTITUSI.
C.
Identifikasi
Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, penulis akan mengemukakan beberapa masalah, antara lain :
1. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sudah senafas dengan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945 ?
2. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi berpotensi merusak dan
melemahkan Mahkamah Konstitusi ?
3. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi akan memberikan pengaruh
signifikan terhadap perkembangan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia ?
D.
Maksud
dan
Adapun tujuan penulisan ilmiah ini yaitu :
Tujuan
Penelitian
1. Sebagai sumbang pikir bagi Mahkamah Konstitusi dalam menganalisa Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi.
2. Memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi agar lebih progresif dimasa yang akan datang.
E.
Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teoritis
Fenomena keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam dunia ketatanegaraan dewasa
ini, secara umum memang dapat dikatakan merupakan sesuatu yang baru. Diseluruh negara
didunia ini, Mahkamah Konstitusi dikenal di 78 negara. Sebagian besar Negara-negara
demokrasi yang sudah mapan, kecuali Jerman, tidak mengenal Mahkamah Konstitusi yang
berdiri sendiri. Fungsinya bisa dicakup dalam fungsi supreme court yang ada disetiap Negara.
Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai
fungsi Mahkamah Konstitusi seoerti judicial review dalam rangka menguji konstitusionalitas
materi suatu undang-undang dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung (supreme court).
[8]
Paham Konstitusionalisme memberi dasar atas susunan ketatanegaraan Negara hukum.
Didalam konstitusi ditentukan lembaga-lembaga Negara serta kewenanganya, baik wewenang
antar lembaga Negara secara horizontal, maupun secara vertical, yaitu yang berkaitan dengan
penggunaan wewenang tersebut kepada rakyat. Sesuai dengan asas Negara hukum, maka setiap
penggunaan
wewenang
harus
mempunyai
dasar
legalitasnya.[9]
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada tanggal 9 Nopember 2001. Ide Pembentukan Mahkamah
Konstitusi merupakan perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di
abad
ke-20.[10]
Ketentuan yang mengindikasikan adanya lembaga baru Mahkamah Konstitusi disinggung
oleh perubahan UUD 1945, yaitu Pasal 7B yang berhubungan dengan proses impeachment
terhadap presiden dan wakil presiden, sedangkan ketentuan tentang kelembagaanya diatur dalam
Pasal 24C yang merupakan hasil perubahan yang bersifat tambahan dari ketentuan Pasal 24
lama. Pola yang ditempuh oleh UUD 1945 dalam menempatkan pengaturan kelembagaan Negara
baru dapat dibedakan dalam beberapa cara. Pertama, dengan tetap mempertahankan bab dalam
UUd 1945 sebelum perubahan dan kemudian dalam bab yang bersangkutan dimasukan aturan
tentang
kekuasaan
kehakiman
yang
tertuang
dalam
Bab
IX.[11]
Banyak kalangan berpendapat meunculnya wacana pentingnya pembentukan Mahkamah
Konstitusi berawal dari menghangatnya permasalahan diatas, yaitu sengketa antara lembaga
Negara (antara presiden dan DPR terutama). Sejatinya permasalahan diatas ada implikasi dari
sebuah kondisi yang tidak lengkap dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, kekosongan atau
ketidaklengkapan kewenangan lembaga yudikatif dalam struktur kelembagaan Negara Indonesia.
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai legitimasi sebuah Mahkamah
Konstitusi. Paling tidak ada 2 (dua) kelompok paham yang berkembang. Pertama, Negara-negara
yang menganut ultra vires dan Negara-negara yang mengatur paham konstitusi sebagai dasar
hukum pokok Negara. Paham pertama dianut oleh Negara-negara seperti Inggris, Swedia, dan
Prancis, sedangkan paham kedua dianut oleh Negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan
Australia.
Negara-negara penganut paham kedua, legitimasi Mahkamah Konstitusi beranjak dari asumsi
perlunya jaminan perlindungan pembagian kekuasaan yang demokratis (baik secara vertical
maupun horizontal). Hal ini mensyaratkan sebuah konstitusi yang tertulis sebagai hukum dasar
(hukum tertinggi) Negara dan pembagian kekuasaan klasik antara legislatif, eksekutif, dan
yudikatif.
Legitimasi Mahkamah Konstitusi terletak pada kesesuaian antara undang-undang yang
dihasilkan parlemen dengan konstirusi Negara dan pada keseimbangan kekuasaan antar organ
tinggi Negara lainya. Maka Mahkamah Konstitusi bertujuan menjamin perlindungan hak-hak
dasar rakyat yang ditetapkan konstitusi serta hubungan harmonis antar lembaga Negara dalam
kerangka Negara demokratis.[12]
1. Kerangka Konseptual
Dalam Kerangka Konseptual penulis memberikan beberapa definisi operasional sebagai berikut :
1. Perkembangan merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat
dari proses kematangan dan pengalaman dan terdiri atas serangkaian perubahan yang
bersifat kualitatif dan kuantitatif ( E.B. Harlock ).
2. Konstitusi adalah konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara
yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur/memerintah dalam
pemerintahan suatu negara.( K. C. Wheare )
3. Mahkamah Konstutusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[13]
4. Sistem ketatanegaraan adalah seperangkat prinsip dasar yg mencakupi peraturan susunan
pemerintah, bentuk negara, dan sebagainya yg menjadi dasar pengaturan suatu negara.
[14]
5. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.[15]
F.
Metode
Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1.
Sifat
Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, artinya menggambarkan fakta-fakta yang diteliti
kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori dan pendapat ahli
hukm.
2.
Metode
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif ( penelitian normatif ), yaitu menguji dan
engkaji data penelitian yang diperoleh dengan bertitik tolak pada aspek hukum ( yuridis ).
3.
Metode
Pengumpulan
Data
Penelitian Kepustakaan ( Library Research ) dipilih oleh penulis untu memperoleh data sekunder
yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer meliputi : peraturan perundang-undangan yang terkait.
2. Bahan hukum sekunder meliputi : buku-buku literatur, karya-karya ilmiah, artikel-artikel,
dan dokumen-dokumen tertulis lainya.
4. Metode AnalisisData-data penelitian yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif,
yang berarti menjabarkan dengan kata-kata sehingga menjadi kalimat yang mudah dimengerti,
sistematis,
dan
dapat
dipertanggung-jawabkan.
G.
Sistematika
Penulisan
Dalam penulisan hukum ini, penulis membagi pembahasan masalah kedalam 5 (lima) bab.
Adapun
sistematika
penulisan
hukum
ini
adalah
sebagai
berikut:
BAB
I
PENDAHULUAN
Merupakan bagian pendahuluan yang berisikan pemaparan latar belakang, perumusan pokok
permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teoritis, dan kerangka kenseptual, metode penelitian,
dan
sestematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN
INDONESIA
Dalam bab ini memaparkan tinjauan tentang Negara hukum, fungsi dan asas kekuasaan
kehakiman di Indonesia, Lembaga-lembaga pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, dan
independensi
peradilan
dan
independensi
hakim.
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI
Didalamnya akan diulas mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam system
ketatanegaraan Indonesia, sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi, kedudukan, fungsi, dan
kewenangan
Mahkamah
Konstitusi.
BAB IV ANALISIS PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PASCA TERBITNYA UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
Pembahasan dalam bab ini berisikan analisa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
kemudian mendeskripsikan pengaruh perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang
Mahkamah
Konstitusi.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN
SARAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan sekaligus memberikan
jawaban atas identifikasi masalah. Selanjutnya penulis akan mengetengahkan saran-saran yang
kiranya dapat memberikan masukan dan pemikiran sebagai solusi terhadap kelemahankelemahan
yang
ditemukan.
Daftar Pustaka