Kemampuan Empati Orang Tua dan Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)

(1)

KEMAMPUAN EMPATI ORANG TUA

DAN PERILAKU ANAK AUTIS

(Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan

Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi

Diajukan oleh : YULIA SYAHRINA. R

060904037

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Empati adalah sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak penderita autis. Sedangkan autisme adalah preokupasian terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi antar pribadi, Psikologi Komunikasi, Autisme, Empati, Sikap, Perilaku dan Teori S-O-R. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Temuan dan analisis data disajikan berupa kata-kata atau narasi.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel kemampuan empati orang tua dengan variabel perilaku anak autis.

Temuan menunjukkan bahwa kemampuan empati orang tua terhadap anak autis di sekolah terapi YAKARI berperan besar dalam membentuk perilaku anak autis. Hal ini terjadi karena adanya kemampuan empati yang besar dari dalam diri seorang ibu terhadap anak kandungnya, serta adanya situasi yang dekat dan akrab dalam berkomunikasi. Temuan menunjukkan bahwa keempat kasus memberikan jawaban positif dan terlihat para orang tua menerima anak mereka apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Para orang tua menyadari akan keadaan anaknya, tetapi keadaan anak tersebut tidak melemahkan semangat orang tua. Kemampuan empati orang tua akan sendirinya membentuk perilaku anak autis tersebut seperti stimulasi diri anak tersebut, suasana, pikiran, perilaku dan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain.


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya yang berlimpah kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan dengan baik skripsi ini yang berjudul “Kemampuan Empati Orang Tua dan Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)”. Skripsi ini merupakan tugas akhir perkuliahan peneliti dan sebagai salah satu pemenuhan syarat kelulusan dan perolehan gelar pendidikan sarjana (S-1) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Sumatera Utara.

Untaian kata yang paling tulus peneliti mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada orangtua peneliti yakni, Ayahanda Syahrul Rambe atas doa dan dukungannya serta Ibunda Eka Yuliani yang selalu sabar membimbing dan memberikan semangat, cinta dan kasih sayangnya disepanjang dua puluh dua tahun perjalanan hidup peneliti. Untuk adik yang paling peneliti sayangi dan cintai Sofyan Indra Rambe, terima kasih atas doa, dukungan, canda tawanya dan selalu berharap bahwa peneliti nantinya akan menjadi manusia yang berguna di masa yang akan datang.

Dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini peneliti tidak hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Begitu banyak pihak yang memberi kontribusi, baik berupa materi, pikiran, nasehat, maupun dorongan semangat dan


(4)

motivasi. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu

Komunikasi FISIP USU.

4. Bapak Drs. Humaizi, M.A selaku Pembantu Dekan I Departemen Ilmu

Komunikasi FISIP USU.

5. Ibu Emilia Ramadhani S.Sos selaku dosen pembimbing peneliti yang telah

banyak membantu, membimbing, memberikan masukan-masukan dan memiliki kesabaran, serta begitu baik memperlakukan peneliti selama proses penulisan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A selaku dosen pembimbing awal peneliti

yang telah banyak membantu dan membimbing.

7. Para dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang selalu memberikan contoh

yang patut untuk ditiru oleh peneliti.

8. Kak Ross, kak Icut, kak Maya dan Tante Izat yang selalu setia membantu

peneliti dan semua dukungan serta pengertiannya.

9. Orang yang peneliti sayangi Tri Nugroho terima kasih untuk kasih sayangnya, doa, kesabaran, dukungan, suka duka, bantuan baik moril maupun materil, canda tawa, inspirasinya dan tumpahan curhat peneliti.


(5)

10.Sahabat terbaik peneliti : Olin, Wulan (Tiwol), Gesy, Topik terimakasih untuk doa dan dukungannya. Takkan terlupakan semua kenangan dan takkan mampu peneliti membalas bantuan baik moril maupun materil serta semua kebahagiaan yang selama kita mengarungi persahabatan.

11.Sahabat peneliti : Wita, Emir, Bang Novan, Riri, Pakde, Aghi, Soya, Tika, Adis, Mira, Abi, Teguh, Wya, Dina, Imeh, Wulan, Icha, Mandha, Nurul. Terima kasih atas dukungan dan kerja samanya.

12.Teman seperjuangan peneliti Rara, terima kasih atas doa, motivasi, dukungan, masukan-masukan, suka duka, canda tawa, yang selalu menemani dan membantu peneliti.

13.Pak Fahri dan seluruh guru terapis di sekolah autis YAKARI yang selalu

membimbing dan memberi masukan-masukan kepada peneliti.

14.Seluruh Para orang tua dan adik-adikku, khususnya bagi para informan di

sekolah terapi autis YAKARI yang telah banyak memberikan waktu dan kesempatan bagi peneliti untuk melakukan wawancara mendalam.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, peneliti dengan rendah hati meminta saran dan masukan yang bisa membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak dan dapat membuka khazanah berpikir kita.

Medan, Maret 2010 Peneliti,


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I : PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 3

I.3. Pembatasan Masalah ... 4

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

I.4.1. Tujuan Penelitian ... 4

I.4.2. Manfaat Penelitian ... 5

I.5. Kerangka Teori ... 5

I.5.1. Komunikasi Antar Pribadi ... 6

I.5.2. Psikologi Komunikasi ... 7

I.5.3. Autisme ... 9

I.5.4. Empati ... 10

I.5.5. Teori S-O-R ... 11

I.6. Kerangka Konsep ... 13

I.7. Model Teoritis ... 14


(7)

BAB II : URAIAN TEORITIS

II.1. Komunikasi Antar Pribadi ... 16

II.1.1. Pengertian Komunikasi Antar Pribadi ... 16

II.1.2. Ciri-Ciri Komunikasi Antar Pribadi ... 17

II.1.3. Sifat Komunikasi Antar Pribadi ... 18

II.1.4. Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi ... 20

II.2. Psikologi Komunikasi ... 21

II.2.1. Pengertian Psikologi Komunikasi ... 21

II.2.2. Proses Psikologi Komunikasi ... 22

II.2.3. Ciri-ciri Pendekatan Psikologi Komunikasi ... 23

II.3. Autisme ... 23

II.3.1. Pengertian Autisme ... 23

II.3.2. Karakteristik Autisme ... 25

II.3.3. Kriteria Autisme ... 26

II.3.4. Penyebab Autisme ... 31

II.3.5. Teknik Penanganan Autisme ... 33

II.4. Empati ... 39

II.5. Sikap Dan Perilaku ... 41

II.5.1. Pengertian Sikap dan Perilaku ... 41

II.5.2. Pembentukan Sikap ... 43

II.5.3. Fungsi Sikap ... 44

II.6. Teori S-O-R ... 45

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47

III.1.1. Sejarah YAKARI ... 47

III.1.2. Profil YAKARI ... 52

III.1.3. Struktur Organisasi YAKARI ... 57

III.1.4. Program Kerja dan Kegiatan YAKARI ... 58

III.2. Metodologi Penelitian ... 60


(8)

III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 62

III.5. Teknik Analisa Data ... 62

BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1. Informan I ... 64

IV.1.1. Identitas Informan ... 64

IV.1.2. Interpretasi Data ... 65

IV.1.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati Orang Tua ... 66

IV.1.4. Analisis Variabel Perilaku Anak Autis ... 69

IV.1.5. Analisis Data (Matriks) ... 71

IV.1.6. Pembahasan ... 72

IV.2. Informan II ... 74

IV.2.1. Identitas Informan ... 74

IV.2.2. Interpretasi Data ... 75

IV.2.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati Orang Tua ... 77

IV.2.4. Analisis Variabel Perilaku Anak Autis ... 80

IV.2.5. Analisis Data (Matriks) ... 82

IV.2.6. Pembahasan ... 83

IV.3. Informan III ... 85

IV.3.1. Identitas Informan ... 85

IV.3.2. Interpretasi Data ... 86

IV.3.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati Orang Tua ... 88

IV.3.4. Analisis Variabel Perilaku Anak Autis ... 91

IV.3.5. Analisis Data (Matriks) ... 93

IV.3.6. Pembahasan ... 94

IV.4. Informan IV ... 96

IV.4.1. Identitas Informan ... 96


(9)

IV.4.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati

Orang Tua ... 98

IV.4.4. Analisis Variabel Perilaku Anak Autis ... 100

IV.4.5. Analisis Data (Matriks) ... 102

IV.4.6. Pembahasan ... 103

IV.5. Pembahasan ... 104

BAB V : PENUTUP V.1. Kesimpulan ... 112

V.2. Saran ... 115 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

DAFTAR TABEL ... viii

Daftar Tabel Tabel 1 Rangkuman Temuan Penelitian Informan I ... 71

Tabel 2 Rangkuman Temuan Penelitian Informan II ... 82

Tabel 3 Rangkuman Temuan Penelitian Informan III ... 93


(11)

DAFTAR BAGAN No. Bagan

Bagan 1 Teori S-O-R ... 12

Bagan 2 Model Teoritis ... 14

Bagan 3 Teori S-O-R ... 46


(12)

DAFTAR LAMPIRAN - Pedoman Wawancara

- Lembar Catatan Bimbingan Skripsi

- Surat Izin Penelitian Ke Kasubag Pendidikan FISIP USU - Surat Izin Penelitian Ke Sekolah Terapi Autis YAKARI - Biodata


(13)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Empati adalah sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak penderita autis. Sedangkan autisme adalah preokupasian terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi antar pribadi, Psikologi Komunikasi, Autisme, Empati, Sikap, Perilaku dan Teori S-O-R. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Temuan dan analisis data disajikan berupa kata-kata atau narasi.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel kemampuan empati orang tua dengan variabel perilaku anak autis.

Temuan menunjukkan bahwa kemampuan empati orang tua terhadap anak autis di sekolah terapi YAKARI berperan besar dalam membentuk perilaku anak autis. Hal ini terjadi karena adanya kemampuan empati yang besar dari dalam diri seorang ibu terhadap anak kandungnya, serta adanya situasi yang dekat dan akrab dalam berkomunikasi. Temuan menunjukkan bahwa keempat kasus memberikan jawaban positif dan terlihat para orang tua menerima anak mereka apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Para orang tua menyadari akan keadaan anaknya, tetapi keadaan anak tersebut tidak melemahkan semangat orang tua. Kemampuan empati orang tua akan sendirinya membentuk perilaku anak autis tersebut seperti stimulasi diri anak tersebut, suasana, pikiran, perilaku dan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan manusia banyak didukung dari beberapa faktor, diantaranya adalah faktor kesehatan, gizi, dan mental atau psikologis, dimana faktor-faktor tersebut saling mendukung satu sama lainnya dalam kehidupan. Setiap manusia sesungguhnya adalah citra tuhan yang mempesona. Pesona itu dijumpai dalam diri semua bayi yang baru lahir ke dunia. Memiliki buah hati yang sehat, aktif, dan cerdas, adalah impian setiap orang tua. Sayangnya, karena beberapa faktor, impian ini tidak bisa diwujudkan. Sang buah hati lahir dengan kelainan yang mengakibatkan gangguan pada kemampuan motorik maupun sensorik.

Seperti halnya terhadap anak penderita autis. Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.

Autisme atau autisme infantile (Early Infantile Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 (Budiman, 1998) seorang psikiatris Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis


(15)

pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.

Reaksi pertama orangtua yang paling mungkin adalah kekecewaan dan kesedihan mendalam, yang kemudian disusul rasa malu. Perasaan malu ini pula yang membuat para orangtua memilih untuk bersembunyi dan menutup-nutupi keadaan buah hatinya dari lingkungan sekitar ketimbang mencari informasi yang benar mengenai kelainan buah hatinya.

Meski sudah banyak sekolah-sekolah khusus atau pusat konsultasi yang menangani anak dengan kelainan mental, tidak banyak orangtua yang meresponnya secara positif.Akan tetapi, ada juga orangtua yang sudah memeriksakan kondisi sang buah hati kepada dokter dengan spesialisasi di bidang ini. Namun, pergi ke dokter anak saja tidak cukup. Para orangtua perlu berkonsultasi lebih lanjut dengan lembaga yang khusus menangani perkembangan anak dengan kelainan mental. Di situ lah orangtua bisa mengikuti perkembangan dan pertumbuhan sang buah hati. Mulai dari hal yang paling kecil hingga hal yang paling kompleks. Ketika ada salah satu kelainan pada perkembangan sang buah hati pun, orangtua tidak perlu panik dan dapat memberikan penanganan dini agar memperkecil berbagai kemungkinan terburuk.

Oleh karena itu peranan orang tua sangat dibutuhkan dalam membantu persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus sangat menentukan dalam pembentukan dan pertumbuhan serta kemampuan seorang anak menuju masa


(16)

depannya. Sehingga tidak melebihi kenyataan jika dikatakan bahwa peranan orang tua turut mewarnai perkembangan perilaku anaknya dalam keluarga.

Untuk mempersingkat waktu penelitian, mempermudah peneliti dan tidak memperbanyak biaya dan keterbatasan peneliti untuk meneliti semua orang tua yang mempunyai anak penderita autis khususnya yang mengikuti sekolah terapi YAKARI yang berlokasi di Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Maka peneliti memfokuskan penelitian kepada orang tua dan anak penderita autis yang mengikuti sekolah terapi di YAKARI.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai kemampuan empati orang tua dan perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI. Peneliti memilih lokasi penelitian di sekolah terapi YAKARI karena peneliti melihat bahwa kemampuan empati orang tua terhadap perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI tersebut berdampak positif. Berdasarkan pengamatan sementara, peneliti melihat bahwa kemampuan empati orang tua dan perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI dapat berdampak positif bagi orang tua.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis di Sekolah Terapi YAKARI Medan?”


(17)

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti menetapkan batasan masalah yang lebih jelas dan spesifik mengenai hal - hal yang diteliti.

Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

a. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara mendalam terhadap subjek penelitian tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.

b. Subjek penelitian adalah Orang tua dari anak penderita autis yang

bersekolah terapi di YAKARI.

c. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari 2010.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kemampuan

empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis.

b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon atau tanggapan orang tua

dalam membentuk perilaku anak autis.

c. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang pada


(18)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Secara akademis, penelitian diharapkan dapat memperkaya khasanah

penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di Departemen Ilmu Komunikasi.

b. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan

memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi khususnya tentang Psikologi Komunikasi sebagai bagian dari ilmu komunikasi.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dan masukan yang positif bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini.

1.5 Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti tentu menyusun suatu kerangka teori. Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti (Nawawi, 1995:39).

Menurut kerlinger menyatakan teori merupakan himpunan konstruk (konsep), definisi dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6). Dengan adanya kerangka teori peneliti akan memiliki landasan dalam menemukan tujuan arah penelitiannya.


(19)

1.5.1 Komunikasi Antar Pribadi

Secara etimologi istilah komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2003:30).

Salah satu tujuan komunikasi adalah mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang sebagaimana yang dikehendaki komunikator, agar isi pesan yang disampaikan dapat dimengerti, diyakini serta pada tahap selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Carl I Hovland (Effendy, 1996:8) mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana informasi seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam menyampaikan informasi sehingga tercapai komunikasi yang efektif.

Komunikasi juga dapat diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang saling berpengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi (Hafied Cangara, 2002:20).

Menurut Mulyana (2002:73), komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka, yang memungkinkan adanya reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal.


(20)

Sedangkan menurut Rogers dalam Depari (1988) mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi (Liliweri, 1991:12).

Lebih jauh lagi, De Vito (1976) mengemukakan beberapa ciri komunikasi antar pribadi (Liliweri, 1991:13) yaitu :

1. Keterbukaan

2. Empati

3. Dukungan

4. Rasa Positif

5. Kesamaan

1.5.2 Psikologi Komunikasi

Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.

Sedangkan, komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2003:30).

Psikologi terutama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya


(21)

perilaku manusia itu. Psikologi juga memandang komunikasi dengan makna yang lebih luas yang meliputi penyampaian energi alat indera ke otak, proses saling pengaruh di antara berbagai sistem organisme dan diantara organisme. Menurut

Carl I Hovland & Janis bila komunikasi didefinisikan melalui

pendekatan/prespektif psikologi maka psikologi adalah proses individu menyampaikan stimulus untuk merubah/mempengaruhi perilaku individu lain .

Namun, menurut pendapat George A.Miller membuat definisi psikologi yang mencakup semuanya : Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan persistiwa mental dan behavioral dalam komunikasi (Miller, 1974:4).

Akan tetapi, sebenarnya psikologi sosial adalah psikologi komunikasi. Dimana dari salah satu defenisi mutakhir menyebutkan psikologi sosial adalah usaha untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan bagaimana pikiran, perasaan dan tindakan individu dipengaruhi oleh apa yang dianggapnya sebagai pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain yang kehadirannya boleh jadi sebenarnya, dibayangkan, atau disiratkan (Kaufmann, 1973:6).

Didalam penelitian ini, peneliti menggunakan psikologi komunikasi sebagai dasar hubungan terhadap kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis.


(22)

1.5.3 Autisme

Istilah Autisme berasal dari kata "Autos" yang berarti diri sendiri "Isme" yang berarti suatu aliran. Berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya sudah ada sejak lahir. Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini mempunyai retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (Chaplin, 1997:15).

Anak penyandang autistik mempunyai masalah/gangguan dalam bidang (Handojo, 2003:18-20) yaitu :

1. Komunikasi

2. Interaksi sosial

3. Gangguan sensoris

4. Pola bermain

5. Perilaku

6. Emosi

1.5.4 Empati

Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan fisik”. Sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk


(23)

mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain

.

Taylor menyatakan bahwa empati merupakan faktor esensial untuk membangun hubungan yang saling memercayai. Ia memandang empati sebagai usaha menyelam ke dalam perasaan orang lain untuk merasakan dan menangkap makna perasaan itu. Empati memberikan sumbangan guna terciptanya hubungan yang saling memercayai karena empati mengkomunikasikan sikap penerimaan

dan pengertian terhadap perasaan orang lain secara tepat .

Tubesing memandang empati merupakan identifikasi sementara terhadap sebagian atau sekurang-kurangnya satu segi dari pengalaman orang lain. Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan tertentu dan mendengarkan bukan sekedar perkataannya melainkan tentang hidup pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya

.

1.5.5 TEORI S-O-R

Dalam penelitian ini, model komunikasi yang digunakan adalah model S-O-R (Stimulus-Organisern-Respon). Model ini mengemukakan bahwa tingkah


(24)

laku social dapat dimengerti melalui suatu analisis dan stimulus yang diberikan dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik dan didukung oleh hukuman maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi. Dengan kata lain, menurut Effendy (2003: 254) efek yang ditimbulkan sesuai dengan teori S-O-R yang merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan.

Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, dimana efek merupakan reaksi tethadap stimulus tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan yang erat antara pesan-pesan media dan reaksi audiens. Dalam proses perubahan sikap, maka sikap komunikasi hanya dapat berubah apabila stimulus yang menerpanya melebihi apa yang pernah dialaminya.

Prof. Dr. Mar’at (Effendy, 2003:255) dalam bukunya “Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya” mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelly yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap baru, ada tiga variabel penting yaitu :

a. Perhatian,

b. Pengertian,

c. Penerimaan

Berdasarkan uraian di atas, maka proses komunikasi dalam teori S-O-R ini dapat digambarkan sebagai berikut :


(25)

Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung pada proses yang terjadi pada individu. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan berlangsung apabila ada perhatian komunikan.

Setelah komunikan mengelolanya dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, teori S-O-R dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Stimulasi : Kemampuan empati orang tua.

2. Organism : Orang tua yang mempunyai anak penderita autis yang

bersekolah terapi di YAKARI.

3. Response : Peningkatan perilaku anak autis.

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifät kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai serta

Stimulus Organism

Perhatian Pengertian

Penerimaan


(26)

perumusan kerangka konsep merupakan bahan yang akan menuntun dalam merumuskan hipotesis penelitian (Nawawi, 1995:40).

Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:11). Adapun variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian yaitu :

1. Kemampuan empati orang tua adalah sikap penerimaan dan pengertian akan

perasaan dan mendengarkan sekedar perkataan seorang anak tentang hidup pribadinya, siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya.

2. Perilaku anak autis adalah Perilaku seorang anak penderita autis yang

tertarik hanya pada dunianya sendiri.

1.7 Model Teoritis

Variabel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut :


(27)

Bagan II Model Teoritis

1.8 Variabel Operasional

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas, maka dibuat operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian yaitu empati, keterbukaan, dukungan, rasa positif, perilaku, stimulasi diri, suasana dan pikiran :

1. Empati

Sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak penderita autis.

2. Keterbukaan

Sikap keterbukaan orang tua yang dimulai dengan kesabaran dan tanggung jawab yang penuh terhadap anak penderita autis.

3. Dukungan

Stimulus Kemampuan Empati oRang Tua

Organism Perhatian Pengertian

Penerimaan

Response Perilaku Anak Autis


(28)

Perhatian orang tua serta memahami perasaan anak penderita autis dengan memberikan pendidikan atau memberikan sekolah khusus terapi pada anak autis.

4. Rasa Positif

Perasaan dan pikiran yang positif serta optimis akan masa depan anak penderita autis.

5. Perilaku

Berperilaku berlebihan (Hiperaktif) dan berperilaku kekurangan (Hipoaktif).

6. Stimulasi Diri

Adanya suatu perilaku stimulasi diri untuk melakukan gerakan yang diulang-ulang, seperti berjalan bolak-balik, geleng-geleng kepala, dan berputar-putar.

7. Suasana

Tidak suka pada perubahan yang akan cenderung membuat anak penderita autis emosi.

8. Pikiran

Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola pikiran, seperti duduk termangu dengan tatapan kosong.


(29)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. Komunikasi Antar Pribadi

II.1.1. Pengertian Komunikasi Antar Pribadi

Secara etimologi istilah komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2003:30).

Salah satu tujuan komunikasi adalah mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang sebagaimana yang dikehendaki komunikator, agar isi pesan yang disampaikan dapat dimengerti, diyakini serta pada tahap selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Carl I Hovland (Effendy, 1996:8) mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana informasi seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam menyampaikan informasi sehingga tercapai komunikasi yang efektif.

Menurut Mulyana (2002:73), komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka, yang memungkinkan adanya reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal.


(30)

Sedangkan menurut Rogers dalam Depari (1988) mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi (Liliweri, 1991:12).

II.1.2 Ciri-ciri Komunikasi Antar Pribadi

Menurut De Vito (1976) ada beberapa ciri komunikasi antar pribadi (Liliweri, 1991:13) yaitu :

1. Keterbukaan

Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan ide atau gagasan bahkan permasalahan secara bebas (tidak ditutup-tutupi) dan terbuka tanpa rasa takut atau malu. Keduanya saling mengerti dan saling memahami.

2. Empati

Segala kepentingan yang dikomunikasikan ditanggapi dan diterima dengan penuh perhatian oleh kedua belah pihak.

3. Dukungan

Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan akan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang diinginkan.

4. Rasa Positif

Rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga atau berprasangka buruk yang dapat mengganggu jalinan komunikasi.


(31)

5. Kesamaan

Komunikasi akan menjadi lebih akrab dan jalinan pribadi akan menjadi kuat apabila memiliki kesamaan tertentu, seperti kesamaan pandangan, sikap, usia dan kesamaan idiologi, dan sebagainya.

II.1.3. Sifat Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaannya, maupun menanggapi tingkah laku, seorang-seorang yang sudah saling mengenal secara mendalam lebih baik ketimbang yang belum mengenal. Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang lebih bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban (Liliweri, 1991:30).

Adapun tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi antar pribadi dan bukan komunikasi lainnya, yang terangkum dari pendapat-pendapat Reardon (1987), Effendy (1986), Porter dan Samovar (1982) menyebutkan sifat-sifat yang membedakan (Liliweri, 1991:31) yaitu :

1. Komunikasi antar pribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal maupun

nonverbal. Perilaku verbal maupun nonverbal masing-masing dapat menunjukkan seberapa jauh hubungan antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya.


(32)

2. Komunikasi antar pribadi melibatkan perilaku yang spontan, scripted dan contrived. Suatu perilaku spontan timbul karena kekuasaan emosi yang bebas dari campur tangan kognisi. Perilaku scripted merupakan hasil belajar seseorang secara terus menerus. Terakhir perilaku yang contrived karena dikuasai sebagian besar oleh keputusan-keputusan yang rasional.

3. Komunikasi antar pribadi sebagai suatu proses yang berkembang. Proses

yang berkembang menandakan adanya kedinamisan yang pada gilirannya meningkatkan mutu studi komunikasi antar pribadi.

4. Komunikasi antar pribadi harus menghasilkan umpan balik, mempunyai

interaksi dan koherensi. Suatu komunikasi antar pribadi harus ditandai dengan adanya umpan balik dan interaksi yang terjadi mengandalkan suatu perubahan dalam sikap, pendapat dan pikiran, perasaan dan minat ataupun tindakan tertentu. Koherensi menandakan adanya suatu benang merah yang terjalin antara pesan-pesan yang terungkap sebelumnya dengan yang baru saja yang diungkapkan.

5. Komunikasi antar pribadi biasanya diatur dengan tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Pengertian intrinsik adalah suatu standard dari perilaku yang dikembangkan oleh seseorang sebagai panduan bagaimana mereka melaksanakan komunikasi. Sedangkan ekstrinsik adalah adanya aturan lain yang ditimbulkan karena adanya pengaruh pihak ketiga atau pengaruh situasi dan kondisi sehingga komunikasi antar manusia harus diperbaiki atau malah dihentikan.


(33)

6. Komunikasi antar pribadi menunjukkan adanya suatu tindakan. Sifat yang dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya tindakan bersama-sama sehingga menghasilkan proses komunikasi yang baik.

7. Komunikasi antar pribadi merupakan persuasi antar manusia. Dimana untuk

mencapai kesuksesan harus dikenal latar belakang psikologis dan sosiologis seseorang.

II.1.4 Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi

Dikatakan efektif bila dalam waktu tertentu tujuan dapat tercapai dengan baik. Semakin sedikit waktu yang dipakai semakin efektif kegiatannya. Ini berarti komunikasi antar pribadi efektif jika dalam waktu tertentu komunikan memahami pesan yang disampaikan komunikator dengan baik dan melaksanakannya. Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Komunikasi antar pribadi dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan (Rakhmat, 2001:133).

Steward L. Tubs dan Sylvia Moss (dalam Rakhmat, 1996:16) juga menambahkan bahwa tanda-tanda komunikasi yang efektif memiliki tanda-tanda atau setidaknya menimbulkan, yaitu:

1. Saling pengertian

2. Memberikan kesenangan


(34)

4. Hubungan sosial yang semakin baik

5. Adanya tindakan

Selain itu ada beberapa faktor-faktor pembentuk komunikasi antar pribadi dengan orang lain menurut pendapat Cassagrande (1986) bahwa orang berkomunikasi dengan orang lain karena (Liliweri, 1991:48) :

1. Setiap orang memerlukan orang lain untuk saling mengisi kekurangan dan

membagi kelebihan.

2. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif tetap.

3. Interaksi hari ini merupakan spektrum pengalaman masa lalu, dan membuat

orang mengantisipasi masa depan.

4. Hubungan yang diciptakan kalau berhasil merupakan pengalaman yang

baru.

II.2. Psikologi Komunikasi

II.2.1. Pengertian Psikologi Komunikasi

Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.

Sedangkan, komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi


(35)

komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2003:30).

Namun, menurut pendapat George A.Miller membuat definisi psikologi yang mencakup semuanya : Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan persistiwa mental dan behavioral dalam komunikasi (Miller, 1974:4).

II.2.2. Proses Psikologi Komunikasi

Dance (1967) mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai usaha “menimbulkan respons melalui lambang-lambang verbal”, ketika lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli (Rakhmat, 1989:3).

Psikologi juga menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari alat-alat indra ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada proses saling pengaruh diantara berbagai sistem dalam diri organisme dan diantara organisme.


(36)

II.2.3. Ciri Pendekatan Psikologi Komunikasi

Menurut Fisher ada empat ciri pendekatan psikologi pada komunikasi (Rakhmat, 1989:9) yaitu :

1. Penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli).

2. Proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli). 3. Prediksi respons (prediction of response)

4. Peneguhan respons (reinforcement of responses)

II.3. Autisme

II.3.1. Pengertian Autisme

Dalam beberapa tahun terakhir ini para psikolog perkembangan semakin banyak mendapat rujukan dari dokter anak untuk mengkonsultasikan anak-anak usia 2-4 tahun dengan gejala-gejala autisme. Autisme, merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Jumlah penderita autisme meningkat prevalensinya dari 1 : 5000 anak pada tahun 1943 saat Leo Kanner memperkenalkan istilah autisme menjadi 1 : 100 ditahun 2001 Nakita, 2002 (Veskarisyanti, 2008:17). Kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme (Chaplin, 1997: 5).

Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih


(37)

banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri (Chaplin, 1997:17).

Pada awalnya istilah “autisme” diambilnya dari gangguan schizophrenia, dimana Bleuer memakai autisme ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. Namun ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada penderita skizofrenia dengan penyandang autisme infantile. Pada skizofrenia, autisme disebabkan dampak area gangguan jiwa yang didalamnya terkandung halusinasi dan delusi yang berlangsung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada anak-anak dengan autisme infantile terdapat kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan autistik yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi (Lainhart-DSM IV, 1995).

Autisme atau autisme infantile (Early Infantile Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 (Budiman, 1998) seorang psikiatris Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini mempunyai retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (Chaplin, 1997:15).


(38)

II.3.2. Karakteristik Autisme

Ada beberapa karakter atau ciri-ciri yang bisa terlihat pada diri anak penderita autisme (Handojo, 2003:50-51) yaitu :

1. Biasanya merupakan bayi yang manis dan baik, namun sangat pasif dan

sangat pendiam seperti tidak mempunyai bayi di rumah.

2. Sebagian kecil justru sebaliknya menjerit sepanjang waktu tanpa henti, tanpa dapat ditenangkan / dibujuk, tanpa orang tua tahu sebabnya.

3. Tidak menunjuk saat usia 12 bulan.

4. Usia 12 bulan tidak mengoceh.

5. Usia 16 bulan tidak keluar satu katapun.

6. Usia 24 bulan belum bisa merangkai 2 kata.

7. Hilangnya kemampuan bahasa.

8. Tidak bisa bermain pura-pura (Pretend Play).

9. Kurang tertarik untuk berteman.

10. Sangat sulit untuk memusatkan perhatian.

11. Tidak adanya respon bila dipanggil namanya, cuek terhadap orang lain /

Lingkungan.

12. Kontak mata sangat minim / Tidak ada.

13. Gerakan tubuh yang repetiti / Misal Hand Flapping, Rocking.

14. Tantrum yang hebat.

15. Tertarik berlebihan terhadap sebuah objek misal kipas angin yang berputar 16. Menolak perubahan terhadap hal-hal rutin.


(39)

II.3.3. Kriteria Autisme

Pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan perkembangan pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan perkembangan pervasive ( Pervasive Developmental Disorder) menurut DSM IV (1995). Namun dalam kenyataannya hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif disebut oleh para orangtua atau masyarakat sebagai Autisme. Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasive meski sama-sama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan seperti, gangguan Autistik Infantile (Infantile Autism), Sindrom Rett (Rett’s Syndrome), Gangguan Disintegrasi Masa Kanak (Childhoad Disintegrative Disorder), Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome) (Veskarisyanti, 2008: 15-16).

1. Autistik Infantile

Ciri yang menonjol pada autistik ini antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. Gangguan Autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 : 1. Gangguan autistik abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran.


(40)

Kriteria Autistik Infantile, yaitu :

1. Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial.

2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi.

3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas dan berulang.

4. Cara bermain yang simbolik dan imajinatif.

5. Hiperaktif dan Hipoaktif

2. Sindrom Rett

Sindrom Rett adalah gangguan Neurologis (Syaraf). Awalnya perkembangan anak normal. Tetapi setelah 5 bulan sampai 30 bulan perkembangannya menurun. Kemampuan untuk melaksanakan kegiatan berkurang. Ciri Autisme muncul, komunikasi, sosialisasi dan perilaku stereotipi kadang disertai gangguan motorik.

Kriteria Sindrom Rett, yaitu :

1. Regresi yang menyeluruh dan berat pada anak perempuan ( Jarang sekali

pada anak laki-laki)

2. Menimbulkan retardasi mental yang berat.

3. Gangguan berbahasa, bahkan sama sekali tidak dapat berbahasa.

4. Gangguan pada fungsi tangan (timbul gerakan-gerakan tangan didepan

seperti memeras / bertepuk tangan yang terus menerus).


(41)

3. Gangguan Disintegrasi Anak

Merupakan gangguan yang melibatkan hilangnya keterampilan yang telah dikuasai anak setelah satu periode perkembangan normal pada tahun pertama. Gangguan ini biasa muncul pada anak laki-laki. Perkembangan normal anak terjadi hanya pada tahun pertama, setelah itu secara signifikan keterampilan yang telah dimiliki seperti pemahaman, penggunaan bahasa dan yang lainnya menghilang. Selain itu juga terjadi keabnormalan fungsi yang tampak pada gangguan komunikasi, serta minat dan aktivitas yang sempit.

Kriteria Gangguan Disintegrasi Anak :

1. Perkembangan awal biasanya normal, termasuk bicaranya.

2. Terjadi regresi yang berat antara usia 2 -10 tahun yang meliputi : - Fungsi Bahasa

- Sosialisasi - Kognitif

- Kemampuannya dalam ketrampilan sehari-hari.

4. Sindrom Asperger

Gangguan Asperger (Asperger’s Disorder) adalah bentuk yang lebih ringan dari gangguan perkembangan pervasif. Ditunjukkan dengan penarikan diri dari interaksi sosial serta perilaku yang stereotip, namun tanpa disertai keterlambatan yang signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Asperger mirip dengan autisme infantil dalam hal interaksi sosial yang kurang.


(42)

Kriteria Sindrom Asperger yaitu :

1. Biasanya didiagnosis saat usia ≥ 6 tahun. 2. Sulit berteman, interaksi sosial sangat kurang.

3. Sulit membaca / berkomunikasi dengan cara non verbal / isyarat misal

ekspresi wajah.

4. Sulit memahami bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran atau perasaan

yang berbeda dari dirinya.

5. Perilaku yang “kaku” dengan minat yang terbatas.

Pada umumnya anak penderita autisme bisa juga dilihat dari perilaku, stimulasi diri, suasana, dan pikiran (Handojo, 2003:17) :

1. Perilaku : Berperilaku berlebihan (Hiperaktif) dan berperilaku kekurangan (Hipoaktif).

2. Stimulasi Diri : Adanya suatu perilaku stimulasi diri untuk melakukan

gerakan yang diulang-ulang, seperti berjalan bolak-balik, geleng-geleng kepala, dan berputar-putar.

3. Suasana : Tidak suka pada perubahan yang akan cenderung membuat anak

penderita autis emosi.

4. Pikiran : Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola

pikiran, seperti duduk termangu dengan tatapan kosong.

Anak penyandang autistik mempunyai masalah/gangguan dalam bidang (Handojo, 2003:18-20) yaitu :

1. Komunikasi


(43)

a. kemampuan wicara tidak berkembang atau mengalami keterlambatan

b. pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan

sekitar.

c. anak tidak imanijatif dalam hal permainan atau cenderung monoton d. Bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik. 2. Interaksi sosial

Timbulnya gangguan kualitas interaksi sosial yaitu :

a. Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah

yang tidak berekspresi.

b. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi

kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.

c. Ketidakmampuan anak untuk berempati, dan mencoba membaca emosi

yang dimunculkan oleh orang lain. 3. Perilaku

Aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas. Banyak pengulangan terus-menerus dan stereotipik seperti :

1. Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna,

misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu

2. Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk di pojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.

3. Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti


(44)

4. Gangguan sensoris

1. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk. 2. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

3. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.

4. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut. 5. Pola bermain

1. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.

2. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.

3. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda di balik lalu

rodanya diputar-putar.

4. Menyenangi benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda. 6. Emosi

1. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan.

2. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.

3. Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri, serta tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.

II.3.4. Penyebab Autisme

Dalam catatan pakar autis Nakita, 2002 (Veskarisyanti, 2008:17) jumlah penyandang autisme dibandingkan dengan jumlah kelahiran normal dari tahun ketahun meningkat tajam sehingga ditahun 2001 lalu sudah mencapai 1 dari 100


(45)

kelahiran. Peningkatan yang tajam ini tentunya menimbulkan pertanyaan, ada perubahan apa dalam rentang waktu tersebut sehingga kasus terjadinya autisme bisa meningkat tajam tidak saja di Indonesia tetapi juga di berbagai negara.

Sekitar 20 tahun lalu, penyebab autisme masih merupakan misteri. Sekarang, berkat alat kedokteran yang semakin canggih, diperkuat dengan autopsi, ditemukan penyebabnya antara lain gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusat (otak). Biasanya gangguan ini terjadi dalam tiga bulan pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat tidak sempurna (Veskarisyanti, 2008:17).

Faktor Penyebab :

• Gangguan pada Susunan Syaraf Pusat, disebabkan oleh :

1. Faktor Genetik

2. Gangguan pertumbuhan sel otak janin, inveksi virus janin, perdarahan, keracunan selama hamil muda

3. Gangguan pencernaan

4. Keracunan Logam Berat (Pg, Hg, Cad)

5. Gangguan auto imunity

Penyebabnya bisa karena (toxoplasmosis, cytomegalo, rubela dan herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu ke janin. Bisa juga selama hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat yang sangat polutif, yang meracuni janin. Ada pendapat seorang ahli yang menyatakan bahwa lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun bisa menimbulkan kerusakan usus besar dan memunculkan masalah dalam tingkah laku dan fisik.


(46)

Faktor Genetika :

1. Mutasi Genetika : penyebab multifaktor

2. Telah ditemukan lebih dari 7 gen yang berhubungan dengan autisme. Perlu

beberapa gen untuk menimbulkan gejala autisme.

Penyebab multifaktorial dengan ditemukannya kelainan pada tubuh penderita, munculnya gangguan biokimia, dan ada pula ahli yang berpendapat autisme disebabkan oleh gangguan jiwal psikiatri. Menurut para peneliti, faktor genetik juga memegang peranan kuat, dan mi terus diteliti. Pasalnya, manusia banyak mengalami mutasi genetik, yang bisa karena cara hidup yang semakin “modern” (penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, faktor udara yang semakin terpolusi).

II.3.5. Teknik Penanganan Autisme

Penanganan / intervensi terapi pada penyandang autisme harus dilakukan dengan intensif dan terpadu. Terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara 4–8 jam sehari. Selain itu seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak. Penanganan penyandang autisme memerlukan kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik.

Terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik. Terapi juga harus rutin dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak dapat terpenuhi secara bertahap. Bagi orangtua anak dengan kelainan ini disarankan oleh para ahli untuk menggunakan metode ABA dengan rutin dan disiplin tinggi.


(47)

Perlu diingat bahwa terapi harus diberikan sedini mungkin sebelum anak berusia 5 rahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun, tepatnya puncak pada usia 2-3 tahun.

Ada beberapa terapi autis yang paling efektif untuk anak penderita autisme (Veskarisyanti, 2008:41-55) yaitu :

1. Terap Biomedik

Terapi biomedik fokus pada pembersihan fungsi-fungsi abnormal pada otak. Anak-anak akan diperiksa secara intensif. Dengan terapi ini diharapkan fungsi susunan saraf pusat bisa bekerja dengan lebih baik sehingga gejala autisme berkurang atau bahkan menghilang.

2. Terapi Okupasi

Terapi okupasi berguna untuk melatih otot-otot halus anak. Hampir semua kasus anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya sangat kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang benda dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan ke mulutnya, sulit bermain bola selaiknya anak normal, sulit bersalaman, atau memetik gitar. Dengan terapi ini anak akan dilatih untuk membuat semua otot dalam tubuhnya berfungsi dengan tepat.

3. Terapi Integrasi Sensoris

Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respons yang terarah.


(48)

Terapi ini berguna meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar.

4. Terapi Bermain

Terapi Bermain sebagai penggunaan secara sistematik dan model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal. Pada terapi ini, terapis bermain menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan, perkembangan yang optimal.

Terapi bermain adalah pemanfaatan pola permainan sebagai media yang efektif dan terapis, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri. Bermain merupakan bagian integral dari masa kanak-kanak, salah satu media yang unik dan penting untuk memfasilitasi perkembangan :

- Ekspresi bahasa,

- Ketrampilan komunikasi,

- Perkembangan emosi, ketrampilan sosial, - Ketrampilan pengambilan keputusan, dan - Perkembangan kognitif pada anak-anak. 5. Terapi Perilaku

Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan.


(49)

Terapi ini memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi mi, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/ tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.

Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Dan terapi ini hasil yang didapatkan signifikan bila mampu diterapkan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.

6. Terap Fisik

Penyandang autisme memiliki gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya juga kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-otot dan memperbaiki keseimbangan tubuh anak.

7. Terapi Wicara

Autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, materi speech therapy sebaiknya dilakukan berkolaborasi dengan metode ABA. Selain itu mereka juga harus memahami langkah-langkah dalam metode Lovaas sebagai dasar bagi materi yang akan diberikan.


(50)

Terapis wicara adalah profesi yang bekerja pada prinsip-prinsip di mana timbul kesulitan berkomunikasi atau gangguan pada berbahasa dan berbicara bagi orang dewasa maupun anak.

8. Terapi Musik

Terapi musik adalah suatu terapi yang menggunakan musik untuk membantu seseorang dalam fungsi kognitif, psikologis, fisik, perilaku, dan sosial yang mengalami hambatan maupun kecacatan.

Terapi musik ini memiliki manfaat :

1. Memperbaiki self-awarences.

2. Meningkatkan hubungan sosial, penyesuaian diri, lebih mandiri, dan peduli

dengan orang lain.

3. Mengakomodasi dan membangun daya komunikasi.

4. Membangun identifikasi dan ekspresi emosi yang sesuai

Meningkatkan kesadaran akan dirinya, memusatkan perhatian, mengurangi perilaku yang negatif yang tidak diharapkan, membuka komunikasi, menciptakan hubungan sosial yang berpengaruh positif pada pertumbuhan dan perkembangan positif.

9. Terapi Perkembangan

Terapi ini didasari oleh adanya keadaan bahwa anak dengan autis melewatkan atau kurang sedikit bahkan banyak sekali kemampuan bersosialisasi. Yang termasuk terapi perkembangan misalnya Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention). Floortime dilakukan oleh orang tua untuk membantu melakukan interaksi dan kemampuan bicara.


(51)

Sementara RDI (Relationship Developmental Intervention) mencoba untuk membantu anak menjalin interaksi positif dengan orang lain, meskipun tanpa menggunakan bahasa.

10. Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar kornunikasi melalui gambar-gambar. Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi. 11. Terapi Medikaméntosa

Disebut juga dengan terapi obat-obatan (Drug Therapy). Terapi ini dilakukan dengan dengan pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang. 12. Terapi Melalui Makanan

Terapi melalui makanan (Diet Therapy) diberikan untuk anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu. Pada jenis terapi ini biasanya ditemukan anak penderita autis terkadang susah makan atau mengalami alergi ketika mengkonsumsi makanan tertentu, oleh sebab itu dalam terapi ini diberikan solusi tepat bagi para orangtua untuk menyiasati menu yang cocok dan sesuai bagi putra-putrinya sesuai dengan petunjuk ahli mengenai gizi makanan.


(52)

II.4. Empati

Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan fisik”. Sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain

.

Tubesing memandang empati merupakan identifikasi sementara terhadap sebagian atau sekurang-kurangnya satu segi dari pengalaman orang lain. Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan tertentu dan mendengarkan bukan sekedar perkataannya melainkan tentang hidup pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya

.

Empati merupakan respons yang kompleks, meliputi komponen afektif dan kognitif. Dengan komponen afektif, berarti seseorang dapat merasakan apa yang orang lain rasakan dan dengan komponen kognitif seseorang mampu memahami apa yang orang lain rasakan beserta alasannya. Daniel Batson (1995, 2008) menjelaskan adanya hubungan antara empati dengan tingkah laku menolong serta menjelaskan bahwa empati adalah sumber dari motivasi altruistik.


(53)

Ada tiga teori empati (Sarwono, 2009:128-129) :

1. Hipotesis empati altruisme

Menurut Batson, 1995-2008 (Sarwono, 2009:128-129) dalam hipotesis empati altruisme dikatakan bahwa perhatian yang empatik yang dirasakan seseorang terhadap penderitaan orang lain akan menghasilkan motivasi untuk mengurangi penderitaan orang tersebut. Motivasi menolong ini bisa sangat kuat sehingga seseorang bersedia terlibat dalam aktivitas menolong yang tidak menyenangkan, berbahaya, bahkan mengancam jiwanya.

2. Model mengurangi perasaan negatif

Baron, Byrne, dan Branscombe, 2006 (Sarwono, 2009:128-129) menyatakan bahwa model mengurangi perasaan negatif. Mereka menjelaskan bahwa orang menolong untuk mengurangi perasaan negatif akibat melihat penderitaan orang lain. Dengan demikian, tingkah laku menolong dapat berperan sebagai self-help agar seseorang terbebas dari suasana hati yang tidak menyenangkan.

3. Hipotesis kesenangan empatik

Dalam hipotesis ini, dikatakan bahwa seseorang akan menolong bila ia memperkirakan dapat ikut merasakan kebahagian orang yang akan ditolong atas pertolongan yang akan diberikannya. Satu hal yang paling penting disini adalah seseorang yang menolong perlu untuk mengetahui bahwa tindakannya akan memberikan pengaruh positif bagi orang yang ditolong.


(54)

Dari tiga teori empati yang telah dijelaskan, terlihat bahwa kondisi afektif seseorang merupakan element yang penting. Seseorang menolong karena tindakannya akan meningkatkan perasaan positf dan mengurangi perasaan negativ atas dirinya.

II.5. Sikap dan Perilaku

II.5.1. Pengertian Sikap dan Perilaku

Sikap dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan setiap definisi itu berbeda satu sama lain. Trow mendefinisikan sikap sebagai suatu kesiapan mental atau emosional dalam beberapa jenis tindakan pada situasi yang tepat. Di sini Trow lebih menekankan pada kesiapan mental atau emosional seseorang terhadap sesuatu objek. Sementara itu Allport seperti dikutip oleh Gable mengemukakan bahwa sikap adalah sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu.

Defenisi sikap menurut Allport ini menunjukkan bahwa sikap itu tidak muncul seketika atau dibawa lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui pengalaman serta memberikan pengaruh langsung kepada respons seseorang. Harlen mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu (Sarwono, 2009: 81).

Menurut Mueller (1986) sikap adalah merupakan suatu konstruk psikologi yang digambarkan sebagai kepercayaan, pendapat, minat, nilai, prilaku yg perlu dipahami. Begitu juga berkowitz (1972) menarik suatu kesimpulan


(55)

bahwa sikap adalah suatu respons yang evaluatif, yang dinamis dan terbuka terhadap kemungikinan perubahan dikarenakan interaksi seseorang dengan lingkungannya. Dan sikap hannya akan berarti jika tampak dalam bentuk kenyataan yaitu prilaku yang lisan maupun yang dibuat (Liliweri, 1991:128-129).

Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa dan orang lain. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak sukanya (positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Sedangkan perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang paling dirasakan sampai yang paling tidak dirasakan (Faturochman, 2009:43).

Sikap dikembangkan dalam tiga model, yaitu :

1. Afeksi

Respon afektif adalah respon fisiologis yang mengekspresikan kesukaan individu pada sesuatu.

2. Kecenderungan perilaku

Kecenderungan perilaku adalah indikasi verbal dari maksud seorang individu.

3. Kognisi

Respon kognitif adalah pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu objek sikap. Kebanyakan sikap individu adalah hasil belajar sosial dari


(56)

II.5.2. Pembentukan Sikap

Sikap dibentuk melalui proses belajar sosial, yaitu proses dimana individu memperoleh informasih, tingkah laku, atau sikap baru dari orang lain. Sikap dibentuk melalui empat macam (Sarwono, 2009:84-85) yaitu :

1. Pengondisian klasik

Proses pembelajaran dapat terjadi ketika suatu stimulus selalu diikuti oleh stimulus yang lain, sehingga stimulus yang pertama menjadi suatu isyarat bagi stimulus yang kedua.

2. Pengondisian instrumental

Proses pembelajaran terjadi ketika suatu perilaku mendatangkan hasil yang menyenangkan bagi seseorang, maka prilaku tersebut akan diulang kembali.

3. Belajar melalui pengamatan

Proses pembelajaran dengan cara mengamati perilaku orang lain, kemudian dijadikan sebagai contoh untuk berperilaku serupa.

4. Perbandingan sosial

Proses pembelajaran dengan membandingkan orang lain untuk mengecek apakah pandangan kita mengenai sesuatu hal adalah benar atau salah.


(57)

II.5.3. Fungsi Sikap

Menurut Baron, Byrne, dan Branscombe, 2006 (Sarwono, 2009:86-87) terdapat lima fungsi sikap yaitu :

1. Fungsi pengetahuan

Sikap membantu kita untuk menginterpretasi stimulus baru dan menanpilkan respon yang sesuai

2. Fungsi identitas

Sikap terhadap kebangsaan indonesia yang kita nilai tinggi dengan mengekspresikan nilai dan keyakinan serta mengkomunikasikan “siapa kita”

3. Fungsi harga diri

Sikap yang kita miliki mampu menjaga atau meningkatkan harga diri.

4. Fungsi pertahanan diri

Sikap berfungsi melindungi diri dari penilaian negatif tentang diri kita

5. Fungsi memotifasi kesan

Sikap berfungsi mengarahkan orang lain untuk memberikan penilaian atau kesan yang positif tentang diri kita.

Dari pengertian sikap diatas dapat kita simpulkan bahwa perilaku akan muncul dipengaruhi oleh sikap dalam diri kita. Perilaku yang berada dalam kendali individu secara sadar dan rasional akan mempengaruhi terhadap sikap dan perbuatan kita.


(58)

II.6. Model SOR

Dalam penelitian ini, model komunikasi yang digunakan adalah model S-O-R (Stimulus-Organisern-Respon). Model ini mengemukakan bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti melalui suatu analisis dan stimulus yang diberikan dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik dan didukung oleh hukuman maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi.

Dengan kata lain, menurut Effendy (2003: 254) efek yang ditimbulkan sesuai dengan teori S-O-R yang merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan.

Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, dimana efek merupakan reaksi tethadap stimulus tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan yang erat antara pesan-pesan media dan reaksi audiens. Dalam proses perubahan sikap, maka sikap komunikasi hanya dapat berubah apabila stimulus yang menerpanya melebihi apa yang pernah dialaminya.

Prof. Dr. Mar’at (Effendy, 2003:255) dalam bukunya “Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya” mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelly yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap baru, ada tiga variable penting yaitu :

a. Perhatian, b. Pengertian,


(59)

c. Penerimaan

Berdasarkan uraian di atas, maka proses komunikasi dalam teori S-O-R ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Bagan III Teori S-O-R

Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung pada proses yang terjadi pada individu. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan berlangsung apabila ada perhatian komunikan.

Setelah komunikan mengelolanya dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, teori S-O-R dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Stimulasi : Kemampuan empati orang tua.

2. Organism : Orang tua yang mempunyai anak penderita autis yang

bersekolah terapi di YAKARI.

3. Response : Peningkatan perilaku anak autis.

Stimulus Organism

Perhatian Pengertian

Penerimaan


(60)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

III.1.1 Sejarah Singkat Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI)

Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) dibentuk untuk mewadahi pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi anak-anak Autis di Kota Medan. Pada Awalnya Keluarga Drs. Ahmad Rusly yang tinggal dan bekerja di Medan, mendapatkan anak pertama mereka Ahmad Dzaky Yusran yang lahir pada tanggal 30 mei 1996 memiliki sikap dan perilaku yang menurut mereka sebagai orangtua muda agak aneh dan berbeda dengan anak-anak lain yang pernah mereka lihat.

Ketika Anak mereka berusia 18 bulan, semuanya kelihatan berjalan normal dan sesuai perkembangannya dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) yang mereka dapatkan pada klinik anak di Medan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Dzaky yang pada saat berusian dua Tahun, mulai menunjukkan gejala-gejala aneh dan tidak seperti anak-anak lain, antara lain tidak merespon teguran atau sapaan, tidak mau bergabung dengan anak-anak lain, senang menyendiri, menangis dan tertawa tanpa ada sebab, berlari-lari tanpa tujuan dan bertepuk-tepuk tangan. Hal ini segera dikonsultasikan kepada Dokter anak, namun mereka merasa “Tenang dan Bahagia” karena menurut dokter hal itu biasa terjadi pada anak pertama, nanti lama-lama juga akan seperti anak lainnya.

Ketika Dzaky berusia 30 bulan, ketenangan Rusly dan Istrinya kembali terusik, ketika melihat apa yang diharapkan dan sesuai analisa dokter bahwa


(61)

Dzaky akan kembali normal tidak menjadi kenyataan bahkan makin menjadi-jadi. Saat itu Dzaky mulai menunjukkan sikap agresif baik terhadap diri sendiri (Self Abuse) maupun terhadap sekelilingnya.

Rusly dan istrinya menduga adanya kelainan pada Syaraf Dzaky, karena mereka sebagai orang awam berpikir kalau ada hal-hal aneh pada anak tentu berasal dari “sentral” atau pusatnya yaitu otak. Merekapun bergegas menuju Ahli Syaraf Anak yang ada di Medan, namun kali inipun mereka berusaha di “tenang”kan oleh sang Neurolog yang menyatakan hal itu adalah biasa.

Namun Rusly dan Istrinya tidak dapat ditenangkan lagi melihat kenyataan anak mereka yang terlihat sangat berbeda dengan anak-anak lain di play groupnya, merekapun mulai berburu informasi kemana saja termasuk melalaui Internet, dan akhirnya mereka menemukannya.

Dari hasil kirim-mengirim email dengan para netter dari berbagai negara, akhirnya mereka mengetahui bahwa gejala-gejala yang dialami Dzaky mereka sebut sebagai “AUTIS” dan sekaligus memberitahu situs-situs yang menyediakan layanan bagi orangtua anak-anak Autis sedunia.

Bagaikan disambar gledek, Rusly dan Istrinya seperti kehilangan nyawa, ketika mereka akhirnya mengerti anak mereka menderita Autis, yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebabnya dan belum ditemukan obatnya! Dari situs itu juga mereka mendapatkan informasi bahwa saat itu telah ada ahli autis di Indonesia yaitu Dr. Melly Budhiman SP.Kj dan dr. Rudy Sutady, Sp.A.

Bebekal informasi tersebut, Rusly dan Istrinya berangkat ke Jakarta membawa anaknya yang kala itu sudah berusia 40 bulan mendatangi dr. Rudy


(62)

Sutady yang telah dihubungi sebelumnya. Setelah melewati berbagai test dan observasi, Dzaky dinyatakan positif autis.

Setelah beberapa saat berkonsultasi termasuk mengkonsumsi obat-obatan, berikutnya adalah melakukan terapi bagi Dzaky antara lain terapi Tingkah Laku yang dikenal dengan DTT (Discrete Trial Training) dengan pola ABA (Applied Behaviour Analysis) Temuan Prof. Ivaar Lovaas dan Speech Therapy, sambil menunggu perkembangan dan analisa lain yang mengharuskannya mengikuti terapi lain.

Masalahnya adalah Tidaklah Mudah mencari tempat terapi bagi anak Autis Di Jakarta, walaupun tempat yang direkomendasikan cukup banyak, namun hampir seluruhnya menyatakan Full House. Jadilah Rusly dan Istri Menunggu urut kacang, Dzaky bisa masuk bila ada anak lain keluar.

Didasari pengalaman dan pemikiran itu, Rusly berpikir tentu banyak anak-anak lain yang memiliki nasib sama dengan anaknya di Kota Tempat Tinggalnya Medan. Akhirnya Rusly memutuskan, Istrinya tinggal di Jakarta untuk menunggu giliran Terapi bagi Dzaky - yang sebulan kemudian di terima, sedangkan Rusly Kembali ke Medan untuk menghimpun masyarakat warga Medan yang senasib dengannya.

Dengan bantuan beberapa wartawan kerabatnya, Rusly mulai menceritakan pengalamannya serta mengekspose gejala-gejala autis yang dialami anaknya di berbagai media massa di Medan. Pada akhirnya terkumpul belasan orangtua yang menyatakan senasib dengannya dan tidak tahu harus berbuat apa terhadap anaknya. Dengan di motori oleh Rusly, mereka berusaha menghubungi


(63)

Dinas Kesehatan Kodya Medan untuk mencari Solusi, namun saat itu, Dinas yang Paling Kompeten tersebutpun tidak mengetahui apa itu Autisme. Namun beruntung upaya-upaya Rusly mendapat perhatian dari seorang Psikiater Anak dr. Joesoef Simbolon SP.KJ yang kebetulan telah mendapat pelatihan Autisme di Universitas Indonesia Jakarta. Akhirnya wadah disiapkan, yang saat itu masih berupa kelompok informal. Namun masalahnya kini adalah siapa yang akan menjadi Terapis bagi anak-anak mereka.

Namun Tuhan mendengar doa mereka, istri Rusly yang saat itu masih di Jakarta dalam proses terapi anaknya, mendapat tawaran dari beberapa Terapis di Jakarta yang kebetulan warga asal Sumatera Utara untuk mengembangkan pusat terapi sejenis di Medan, klop sudah. Tepat tanggal 12 September 2000, Yayasan Ananda Karsa Mandiri memulai operasionalnya dengan empat kelas terapi yang di asuh oleh para terapis dari Jakarta serta beberapa co. terapis yang diambil dari Medan serta dibawah pengawasan Medis Dr. Joesoef Simbolon. Didasari pengalaman dan kesulitan-kesulitan yang di alami oleh Rusly dan Istrinya, mereka bertekad mengembangkan Yayasan YAKARI sebagai lembaga pendidikan/terapi serta pusat informasi Autisme di Medan sehingga orangtua-orangtua lainnya tidak mengalami kesulitan seperti yang pernah di alaminya.

Yakari kini memiliki sepuluh kelas terapi yang bergabung dalam Bendera Sekolah Khusus Autis Yakari serta Klinik Autis Yakari yang fokus bidang Medis, telah sering melakukan kegiatan-kegiatan bagi penyebaran informasi serta pengembangan pelayanan serta penerimaan masyarakat terhadap anak Autis. Beberapa Seminar, Diskusi, Ceramah Umum, serta publikasi telah


(64)

menunjukkan hasilnya, Yakari kini telah sering didatangi serta mendapat kunjungan baik para orangtua yang mencari Informasi, maupun Dinas Kesehatan bagi kepentingan Pendataan serta Para Mahasiswa yang melakukan penelitian terhadap Anak Autis.

Terakhir, juni 2003 Yakari dengan menggandeng LSM-LSM antara lain Pusaka Indonesia, LBH, IDAI, PPAI, Galatea, JKM telah berhasil melaksanakan semiloka yang bertajuk menyiapkan Anak Autis memasuki sekolah Umum bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kodya Medan, dan hasilnya Pada Tahun Ajaran 2003/2004 Anak Autis boleh bersekolah di Sekolah Umum.

Masih banyak program-program yang harus dilaksanakan oleh yayasan ini, antara lain mensosialisasikan fenomena ini kepada masyarakat luas agar masyarakat mengerti serta sedini mungkin dicarikan solusinya, sebab makin dini penanganan terhadap anak ini makin maksimal hasil yang akan dicapai. Memang saat ini fenomena ini masih awam bagi masyarakat, walaupun penderitanya makin hari makin banyak, banyak masyarakat salah mempersepsikan anak-anak autis sebagai anak cacat mental atau bisu, sehingga Rusly banyak menemui anak-anak ini di SLB-SLB di sekitar kota Medan. Hal ini tentu saja mengakibatkan penanganan anak tersebut tidak mengenai sasaran. Dan lebih parah lagi, sebagian masyarakat mendiamkan begitu saja anaknya karena mereka sudah tidak punya harapan terhadap masa depan anak tersebut. Yayasan ini berupaya secara maksimal mensosialisasikan serta memberikan berbagai informasi kepada masyarakat, namun karena keterbatasan kemampuan terutama pembiayaan upaya-upaya tersebut tidak dapat maksimal.


(65)

Demikian pula, penanganan terhadap anak-anak autis masih belum optimal, karena jumlah yang dapat ditangani sangat sedikit dibanding jumlah yang ada pada data maupun anak-anak yang telah datang keyayasan, hal ini disebabkan karena keterbatasan tenaga, fasilitas dan keuangan yayasan. Sedangkan menurut beberapa penelitian, jumlah anak penderita autis ini meningkat tajam dari 1 : 5.000 pada tahun 90-an menjadi 1 : 150 pada tahun 2001, artinya bila Kota Medan Berpenduduk 2 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,6% dan disinyalir 1 dari 150 yang lahir adalah anak autis, maka setiap tahun anak autis yang lahir di Medan berjumlah 265 orang atau setiap 3 hari lahir 2 anak autis.

III.1.2 Profil Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) A. Identitas

DEWAN PEMBINA

1. Ketua : Walikota Medan

2. Pelaksana Harian : Letkol Adm Drs. A. Rusly Purba

3. Anggota : Kadis Pendidikan Kota Medan

Kadis Kesehatan Kota Medan

Alexander Ketaren, SH


(66)

DEWAN PENGURUS

1. Ketua : Ny. Juniwati Rusly

2. Pelaksana Harian : Fahri Wandika

3. Bendahara : Salmah Henny Purba

4. Kepala Klinik : Prof.dr.H.M.Joesoef Simbolon Sp.KJ (K)

5. Kepala Sekolah : Maringan Binton Sihotang

6. Konsultan Penddkn : Arif Budhi Santoso

7. Guru/Terapist : Deliati Zebua

Junaidi

Friska Magdalena Sitanggang

Sri Widiastuti

Naudur Sianipar Rosnawati Situmorang

Janiah M Tarigan

Gusti Rayani Purba

Ronauli Simbolon

Lenny Tampubolon

Megawati Sitorus

Siti N Gultom

Julianti Sigalingging Andi Sidabutar Siti Wahyuni Meilani Putri

7. Staf : M. Boy Swendy


(67)

B. Keadaan Personalia

1. Ketua Yayasan : Sebagai penanggung jawab dari seluruh kegiatan

Yayasan yang dalam pelaksanaan sehari-harinya diserahkan kepada Pelaksana Harian dikarenakan tidak berdomisili di Medan.

2. Pelaksana Harian : Sebagai Pelaksana Tugas Ketua Yayasan baik ditingkat formal maupun informal. Mensosialisasikan dan memberikan informasi kegiatan Yayasan pada Masyarakat Umum. Membantu pelaksanaan riset dan pengambilan data bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Membuat Laporan rutin tentang kegiatan dan kondisi Yayasan kepada Ketua Yayasan. Mengadakan marketing research tentang perkembangan Autisme untuk kepentingan promosi.

3. Bendahara : Sebagai pelaksana kegiatan keuangan Yayasan. Membuat

laporan keuangan Yayasan secara Periodik. Mengatur arus kas keluar masuk aliran dana untuk kepentingan Yayasan.

4. Kepala Sekolah : Mengatur pembagian tugas terapis terhadap anak

didiknya. Membantu terapis dalam penyusunan program individual anak didik. Memberikan informasi dan pelatihan bagi para terapis baru. Membimbing terapis menyelesaikan permasalahan yang timbul pada proses belajar mengajar. Membuat laporan perkembangan anak didik secara periodic.

5. Kepala Klinik : Memeriksa secara rutin kesehatan anak didik secara


(1)

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis, Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Lainhart JE, Piven J. 1995. “Diagnosis, Treatment, and Neurobology of Autism in Children”. Curr Opin Pediatr Vol. 7(4), August.

Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Citra Aditya Bakti: Bandung ____________. 1997. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung:PT.Citra Aditya Bakti Miller, G.A. 1974. Psychology and Communication, Washington, D.C: Voice of

America, USA

Mulyana, Dedy. 2003. Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosda karya.

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: UGM Press Rakhmat, Jalaluddin. 1989. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung:

Remadja Karya Cv

____________. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Rosdakarya. Bandung Sarwono, Sarlito W. 2009. Psikologi Sosial. Salemba Humanika. Jakarta

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. PT Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta

Veskarisyanti, Galih A. 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif & Hemat. Yogyakarta: Pustaka Anggrek

Sumber lain

diak ses t anggal 12 Januar i 2010, t im e 17: 15 wib


(2)

PEDOMAN WAWANCARA

(Dilaksanakan dengan teknik wawancara mendalam)

KEMAMPUAN EMPATI ORANG TUA DAN PERILAKU

ANAK AUTIS

(Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)

Oleh : Yulia Syahrina Rambe (060904037)

Bagan I : DATA UMUM MURID 1. Nama

2. Nama panggilan 3. Umur

4. Jenis kelamin

5. Anak ke ... dari ... bersaudara 6. Agama

7. Suku bangsa 8. Kriteria Autisme 9. Asal daerah 10. Pekerjaan Ayah 11. Pekerjaan Ibu 12. Pendidikan Ayah 13. Pendidikan Ibu


(3)

Bagan II : KEMAMPUAN EMPATI ORANG TUA

1. Bagaimana kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak penderita autis, yang meliputi beberapa hal berikut :

a. Apakah orang tua mampu menerima anak penderita autis apa adanya. b. Seberapa mampukah orang tua menerima anak penderita autis.

2. Bagaimana hubungan orang tua terhadap anak penderita autis, yang meliputi faktor-faktor berikut :

a. Bagaimana sikap keterbukaan orang tua terhadap anak penderita autis, apakah kaku, terbuka, bersahabat, penuh kesabaran dan lain sebagainya.

b. Bagaimana bentuk tanggung jawab orang tua dalam membentuk perilaku anak penderita autis.

3. Bagaimana rasa positif orang tua dalam membentuk perilaku anak penderita autis.

a. Bagaimana perasaan orang tua dalam membentuk perilaku anak penderita autis.

b. Bagaimana pikiran dan harapan orang tua dalam membentuk perilaku anak penderita autis.

4. Bagaimana respon atau tanggapan orang tua dalam membentuk perilaku anak autis yang ditandai dengan :

a. Apakah orang tua bersungguh-sungguh dalam membentuk perilaku anak penderita autis.


(4)

b. Apakah orang tua merasa nyaman dan senang dalam membentuk perilaku anak penderita autis.

5. Bagaimana bentuk dukungan yang diberikan orang tua terhadap anak penderita autis.

6. Masalah apa saja yang biasanya menjadi fokus orang tua dalam membentuk perilaku anak penderita autis.

Bagan III : PERILAKU ANAK AUTIS

1. Bagaimana perilaku anak penderita autis terhadap orang-orang dibawah ini a. Orang tua

b. Saudara kandung c. Guru terapis

d. Teman sekolah terapi e. Lingkungan sosial

2. Bagaimana stimulasi diri anak penederita autis terhadap lingkungan sosial. 3. Bagaimana suasana dalam diri anak penderita autis pada kesehariannya. 4. Bagaimana pola pikir diri anak penderita autis terhadap suatu tatapannya.


(5)

BIODATA

A. PENELITI

Nama : Yulia Syahrina Rambe

NIM : 060904037

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan / 10 Desember 1987 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Komplek Taman Setia Budi Indah (TASBIH) Blok HH No. 49 Medan 20122

Telepon : 061- 8213279

Pendidikan : SD Swasta Yayasan Pendidikan Harapan 2 Medan (1993-1999)

SLTP Swasta Yayasan Pendidikan Harapan 1 Medan (1999-2002)

SMU Swasta Yayasan Pendidikan Harapan 1 Medan (2002-2005)

Sunway University Collage (Mufy) Malaysia (2005-2006)

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU (Angkatan 2006)


(6)

B. ORANG TUA

Nama Ayah : Drs. Syahrul Rambe SE. Ak, MM. Pekerjaan Ayah : Dosen FE USU

Nama Ibu : Eka Yuliani SE Pekerjaan Ibu : Pegawai FE USU Saudara Kandung : Sofyan Indra Rambe Pekerjaan : Pelajar

Alamat Ayah/Ibu : Komplek Taman Setia Budi Indah (TASBIH) Blok HH No. 49 Medan 20122