BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong

  kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra

  ordinary crime sehingga harus diberantas.

  Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak serta sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency

  International menggunakan defenisi korupsi sebagai: “menyalahgunakan kekuasaan

  dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi”. Dalam defenisi korupsi tersebut, terdapat tiga unsur: Menyalahgunakan kekuasaan: kekuasaan yang di percayakan (baik di sektor publik maupun swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi dan keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).

  Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “coruptio” atau “corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi mempergunakan bahan kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin “corruption” yang berarti perbuatan yang tindak baik, buruk, curang, dapat disuap, tindak normal, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum.

  Pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat sederhana, tentang tindak pidana korupsi disebut “dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para

  1

  2

  pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-bats hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela”. Jadi pandangan tentang korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa

  2 tindak dan sebagai perbuatan tercela.

  Masalah penanggulangan tindak pidana korupsi di indonesia sepertinya akhir- akhir ini semakin marak, bahkan dengan mencuatnya pemberitaan beberapa oknum penegak hukum yang diduga melakukan perbuatan tercela terkait dengan tugas dan wewenangnya menambah ramainya pemberitaan di media cetak maupun eletronik.

  Tidak berlebihan apabila oleh sebagian kalangan dianggap tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime karena telah dilakukan secara sistematis dan meluas (widespread) serta telah merasuki keseluruh lini kehidupan (deep-rooted). Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana bagi kehidupan perekonomian dan pembangunan nasional. Oleh karena itu pendekatan pemberantasan korupsi kedepan, jangan hanya semata-mata menerapkan instrumen hukum pidana, mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi dengan mengandalkan instrumen hukum pidana akhir-akhir ini oleh masyarakat dipandangan masih belum memenuhi harapan karena belum menujukkan trend menurunnya perilaku yang koruptif tersebut.

  Berdasarkan fenomena ini, maka pemberantasan tindak pidana korupsi melalui tindakan hukum berdasarkan instrumen pidana yang merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) harus dilakukan secara integral dan komprehensif, yaitu harus dipadukan dengan upaya yang “non penal”, terutama melalui instrumen pencegahan, yaitu dengan cara menyeimbangkan tindakan represif 2 dengan tindakan yang bersifat preventif, meningkatkan keberhasilan penanggulangan

  IGM. Nurdjana, Drs. SH., M.Hum, dkk, Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 20-21

  3

  tindak pidana korupsi itu bukan terletak pada banyaknya perkara yang diajukan ke pengadilan, tetapi terletak pada keberhasilan menggugah kesadaran untuk tindak

  3 melakukan korupsi.

  Dalam pasal 1 Undang-Undang no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan tentang Pengertian korupsi, bahwa:

  a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

  b. Barang siapa dengan tujuan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tindak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

  c. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 435 KUHP.

  d. Barang siapa memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.

  e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib f. Barang siapa yang melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan

  4 3 tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.

  Marwan Effendy, DR. S.H, M.Hum, Pemberantasan Korupsi Dan Good Governance, Penerbit Timpani Tublishin, Jakarta, 2010, hal 1

  4

  Kemudian pengertian korupsi dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi yang mencabut Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 di atas, disebutkan bahwa:

  a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pasal 2 ayat 1).

  b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntukan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pasal 3).

  Unsur korupsi menurut Kurniawan adalah: tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan, merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung, dilakukan oleh pejabat publik atau penyelenggaraan negara maupun masyarakat. Berdasarkan beberapa pengertian tetang korupsi, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara yang dari segi materil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai

  5 keadilan masyarakat.

  Berdasarkan dari pengertian maupun penjelasan tentang tindak pidana korupsi, Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Selain itu Indonesia masih sangat sulit mengatasi kasus tindak pidana korupsi. Dikarenakan belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas korupsi. Para penegak hukum 4 khususnya jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas dan wewenang mereka

  IGM. Nurdjana, Drs, SH., M.Hum, Korupsi & Illegal Loging Dalam Sistem Desentralisasi, Penerbit 5 Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 23 Ibid, hal 24

  5

  sesuai bunyi undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak

  6 pidana korupsi huruf b.

  Seperti halnya tindak pidana korupsi sekarang di Indonesia beberapa tahun kebelakang ini sudah mengalami kerusakan atau sistem yang salah dalam penegakkan hukumnya, dimana sekarang ini para penegak hukum di Indonesia pencampuradukkan antara hukum dengan dengan politik, dimana sebenarnya kedua sistem ini sangat berbeda dan tidak bisa di satukan. Apabila kedua sistem ini di satukan maka hukum pun akhirnya dapat di goyangkan. Tetapi karena adanya para hakim dan anggotanya maka setiap kasus yang di ajukan olek jaksa ke pengadilan maka hakimlah yang menimbah dan mengadili seadil-adilnya setiap kasus yang di jalankan.

  Kasus ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dimana si terdakwa di politisir oleh orang-orang yang tidak senang dengannya, dimana jaksa melakukan pentuntutan kepada terdakwa karena menurut bukti dan kesaksiannya terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, yang pada dasarnya sebenarnya ia tidak sama sekali melakukan tindak pidana korupsi, karena tindak terpenuhnya unsur-unsur korupsi.

  Salah satu kasus yang terjadi di kota Jantho Kabupaten Aceh Besar dimana seorang selaku Kepala Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong (PD. BPRM Loong) yang bernama Ismail AF, SE Bin Affan berumur 41 Tahun yang bertempat tinggal di Desa Mon Mata, Kecamatan Loong, Kabupaten Aceh Besar mengingat pasal 191 ayat (1) dan pasal 97 KUHAP serta

  7

  peraturan hukum lain yang bersangkutan mengadili:

  6 Himpunan peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Fokus 7 Media, tahun 2008., hal 1.

  Berdasarkan putusan nomor :82/2008/PN.JTH.

  6

  Menyatakan Terdakwa ISMAIL AF, SE BIN AFFAN tidak terbukti secara sah - dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut. - Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum segera membebaskan Terdakwa dari - tahanan Kota. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta - martabatnya. Menetapkan barang bukti berupa: -

  1. Perjanjian kerja sama (Memorandum Of Understanding) antara pemerintah Kabupaten Aceh dengan PD Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong dalam rangka penyaluran Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) Kabupaten Aceh Besar tahun 2004 Nomor 412.5/415/BPM-AB/2004 tanggal 5 Mei 2004.

  2. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 61 Tahun 2004 Tanggal 1 april 2004 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaa Kegiatan Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) tahun 2004 dalam Kabupaten Aceh Besar.

  3. Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor : 50/133/2005 tanggal 31 Mei 2005 tentang pengangkatan/penunjukan Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan (PD. BPR) Mustaqim Provinsi NAD.

  4. Surat bupati Aceh Besar Nomor 412.5/9502 tanggal 4 November 2004 tentang Rekomendasi Pencairan DPD/K Tahun 2004.

  5. Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Nomor 412.6/956 Tanggal 20 Oktober 2004 tentang Pencairan DPD/K tahun 2004.

  6. Laporan Realisasi dana pembangunan Desa/Keluahan (DPD/K) Kabupaten Aceh Besar bulan September 2005 tanggal 6 Oktober 2005.

  7. Tanda terima transfer dana pembangunan Desa ke rekening Nomor : 010.02.02.000785-3 pada Bank BPD atas nama ISMAIL. AF.

  8. Tanda Penerimaan dari kepada BPM Aceh Besar kepada Ismail AF.

  9. Daftar Belanja Bagi Hasil dan Bantuan keuangan bulan Juni 2004.

  7

  10. Surat Perintah membayar Nomor : 632/PK/2004 tanggal 2 September 2004.

  11. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor : KU.920/193/2004 tentang otorisasi anggaran belanja daerah.

  12. Surat perintah Pembayaran Pengisian Kas tahun anggaran 2004 bulan Mei 2004 tanggal 29 September 2006.

  13. Daftar nasabah kredit PD BPR Lhoong Realisasi Bulan September 2004 tanggal 29 September 2006.

  Dan seluruh bukti-bukti tambahan,berupa : 1. Surat Pernyataan dari Terdakwa Ismail AF, SE. Tanggal 15 Januari 2006.

  2. Surat Camat Kecamatan Lhoong tanggal 31 Mei 2005 tentang pencairan dana pembangunan Desa tahun 2004.

  3. List saldo tabungan di PD BPRM Lhoong, per tanggal 31 Mei 2008.

  4. Foto copy buku rekening 28 Kades dan 28 Ketua Tim Penggerak PKK Desa- desa di Kecamatan Lhoong,per tanggal 31 Mei 2008.

  5. Daftar rekap rekening Kades dan PKK Kecamatan Lhoong di PD BPRM Suka Makmur Cabang Lhoong per 31 Juni 2008. Tetap terlampir dalam berkas perkara ini.

  Membebankan biaya perkara kepada Negara. - Dengan adanya kasus di atas telah ada bukti bahwasannya kinerja Kejaksaan masi belum bisa di percayai sepenuhnya, walaupun tetap ada beberapa kasus tindak pidana korupsi yang belum terungkap. Masih banyak lagi kasus korupsi yang akan dibahas. Yang khususnya akan di bahas yang terjadi di kota Jantho Kecamatan Lhoong Aceh Besar. Alasan mengapa saya membahas masalah tindak pidana korupsi di Kota Jantho adalah ingin memberikan sedikit atau banyaknya gambaran bahwasannya di Kota Jantho banyak sekali kasus korupsi yang terjadi. Dimana sebagian telah terungkap dan sebagiannya belum terungkap.

  8

  Kasus tindak pidana korupsi yang ada saat ini di kota Jantho sudah di campuradukkan dengan politik, tetapi dengan ada pertimbangan hakim maka si terdakwa bebas dari tuntutan jaksa penutut umum di kota Jantho. Salah satunya contoh kasus korupsi yang dapat dibebaskan dari tindak pidana korupsi yang di lakukan oleh seorang Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong di kota Jantho. Dimana ia sudah dapat di bebsakan dari tuntutan hukum atau pun jaksa penuntut umum. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meninjau serta membahas lebih luas lagi mengenai masalah kasus korupsi yang dapat di bebaskan dari sanksi hukum dalam skripsi yang berjudul “PELAKU TINDAK PIDANA YANG DAPAT DI BEBASKAN DARI SANKSI HUKUM.”

  B. RUMUSAN MASALAH

  Dari uraian latar belakanag diatas Penulisan mengangkat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:

  1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi

  2. Bagaimana pelaku tindak pidana korupsi yang dapat dibebaskan dari ancaman pidana

  C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan penulisan

   Berdasarkan membahasan permasalahan diatas, maka penulis memiliki tujuan

  yang antara lain bertujuan untuk:

  1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku di Negara Indonesia.

  2. Untuk mengetahui bagimana seorang pelaku yang di dakwa melakukan tindak pidana korupsi yang dapat di bebaskan dari sanksi hukum.

  9

2. Manfaat

  Penulisan skripsi ini diharapkan dapat dapat memberikan manfaat berupa gambaran atau bahan pemikiran yang berguna untuk semua pihak.

  1. Diharapkan agar skripsi ini mampu menjadi bahan informasi dan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Dan penulis juga dapat menjadi bahan bacaan dan menambah ilmu pengetahuan tentang hukum khususnya hukum pidana tentang tindak pidana korupsi.

  2. Diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi semua pihak, khususnya bagi para penegak hukum yang memiliki cita-cita luhur dalam memajukan perkembangan hukum di Indonesia.

  D. KEASLIAN PENULISAN

  Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukum” ini adalah merupakan penulisan yang berdasarkan pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Judul skripsi ini diambil atas tinjauan putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH. ini di susun dengan cara membaca, mempelajari, mengaji data-data yang ada. Penelitian judul ini juga berdasarkan pada surat pengesahkan dari perpustakaan Hukum Universitas Sumatra Utara sama sekali belum ada mengangkat judul ini. Dengan kata lain penulisan ini merupakan hasil karya penulisan sendiri.

  E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pelaku Tindak Pidana

  Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tentang tindak pidana. Pembentuk undang-undang kita memang menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.

  10

  Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentukan kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkara feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagain dari kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat hukum”, sehingga secara harifah perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah tentu tidak dapat. Oleh karena itu, kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagian pribadi bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan. Pengertian dari perkataan straafbaarfeit.

  1. Simons Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “ tindakan melawam hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tindakan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakkannya dan oleh undang- undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.

  Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena : a. Untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;

  c. Setiap straafbaarfeit sebagian pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.

  8 Jadi, setiap melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan

  manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sehingga pada 8 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. 2006, hal 5

  11

  dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.

  Menurut E.utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang seiring juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang di timbulkan karena perbuatan atau melalaiktan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum dan adanya seorang pembuat dalam arti

  9 kata bertanggung jawab.

  Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu: a.

  Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 9 b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.

  Ibid, hal 6

  12 c.

  Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

  10

  2. Korupsi

  Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:

  corruptio= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-

  badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfah dari korupsi dapat berupa: a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, kamus lengkap

  Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit: Hasta, Bandung).

  b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka, 1976).

  c) 1. Korup (busuk; suka menerima uang suap/sogok; memakai kekuasaan untuk kepeningan sendiri dan sebagainya); a. Korupsi (perbuatan busuk perti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya); b. Koruptor (prang yang korupsi).

  11 Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika

  membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, 10

  www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses tanggal 5 mei 2013 11 Evi hartanti, Op.Cit, hal 8

  13

  secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

  1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

  2. Korupsi: busuk, rusak. Suka memakai uang yang di percayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaanya untuk kepentingan pribadi).

  Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus Hukum, yang dimaksud curruple adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.

  12

3. Sanksi Hukum

  Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang- undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

  Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

  1. Pidana Penjara

  1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

  200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1) 12 Ibid, hal 9

  14

  2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)

  3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)

  4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang tidak benar.(pasal 22)

  2. Pidana Mati Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut

  15

  dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat Negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).

  3. Pidana Tambahan

  1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

  3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

  5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

  6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20

  16

  tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana

  13 tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

  4. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

  1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

  2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

  3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.

  4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.

  5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus

  14 13 berkantor. 14 Ibid, hal 12-14 Ibid, hal 15

  17

F. METODE PENULISAN

  Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat dipertanggungjawabkan maka digunakan metode penulisan, lalu melakukan penelitian dengan cara-cara yang telah di tentukan.

  1. Jenis Penulisan Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian yuridis normative yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan dan peraturan atau undang-undang yang ada di lengkapi dengan studi putusan. Dimana metode ini penulis memokuskan kepada penelitian studi kepustakaan. Dimana penulis memokuskan kepada undang-undang tindak pidana korupsi.

  2 . Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data

  a. Sumber Sumber penelitian ini diambil penulis skripsi melalui data sekunder. Data sekunder ini adalah bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan. Terutama dari buku-buku dan literature yang sudah ada yang terdiri dari:

  1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan hukum yang mengikat dan mengatur berdasarkan peraturan perundangan-undangan.

  2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku dan literature lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini.

  3. Bahan hukum tertier, yaitu berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum.

  18

  b. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang di lakukan oleh penulis ini adalah dengan pengumpulan data melalui studi pustaka, dimana penulis memperoleh data atau bahan-bahan yang ada dengan cara mengumpulkan dan membahasnya melalui bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

  Dalam suatu karya ilmiah atau pun penulisan skripsi sistematika penulisan sangat di perlukan. Ini bertujuan untuk mempermudah para membaca dan memahami isi dari dalam karya ilmiah. Sistematika ini sendiri memberikan gambaran singkat mengenai karya ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini akan di bagi menjadi 4 (Empat) bab, yaitu:

  19

  BAB I Bab 1 berisi tentang pendahuluan dan latar belakang bagaimana penulis mengambil

  topik atau judul yang akan dibahas di bab berikutnya oleh penulis. Bab ini terdiri dari rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

  BAB II Dalam bab ini menguraikan tentang pengaturan hukum bagi tindak pidana korupsi

  baik dilihat dari segi pasif maupun aktif, rumusan delik dan pertanggungjawaban tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi tersebut.

  BAB III Dalam bab ini membahas tentang bagaimana pelaku tindak pidana korupsi dapat di bebaskan dari ancaman pidana dalam putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH. BAB IV Ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran atas permasalahan yang

  telah dikemukakan. Dalam hal ini penulis skripsi memberikan jawaban terhadap tindak pidana korupsi yang di bebaskan dari sanksi hukum.

Dokumen yang terkait

Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman

0 36 99

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sanksi Pidana Denda bagi Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat: Studi Kasus Putusan Nomor 04/P

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

0 0 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Syarat Pemberian Remisi kepada Narapidana Tindak Pidana Korupsi (Koruptor)

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

0 1 38

BAB II PENGATURAN HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia - Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman

0 0 23