BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kesejahteraan - Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Di Kecamatan Medan Labuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kesejahteraan

  Tingkat kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat.

  Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya.

  Ada banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau

  

“well-being” . Misalnya, dapat dikatakan kesejahteraan seseorang sebagai

  kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum; seseorang memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya (kekayaan). Selain itu, dapat diukur juga dari kemampuan untuk memperoleh jenis barang-barang konsumsi tertentu (misalnya makanan dan perumahan). Seseorang yang kurang mampu untuk andil (berfungsi) dalam masyarakat mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Sen, 1983) atau lebih rentan (vulnerable) terhadap krisis/gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi dalam konteks ini, kesejahteraan dapat berarti adanya kemampuan memenuhi kebutuhan komoditas secara umum (yakni adanya daya beli terhadap sekelompok pilihan komoditas (Watts, Harrold W 1968) atau jenis konsumsi tertentu (misalnya kecukupan konsumsi makanan) yang dirasa sangat essensial/perlu untuk memenuhi standar hidup dalam masyarakat, maupun dalam arti adanya kemampuan untuk andil/berfungsi dalam masyarakat.

  Tentunya ada konsep lain dari kesejahteraan yang melebihi konsep kemiskinan (poverty), baik diukur melalui dimensi moneter maupun non-moneter.

  Misalnya, ketimpangan. Ketimpangan menitikberatkan pada distribusi dari atribut/variable terukur (misalnya pendapatan dan pengeluaran) terhadap seluruh penduduk. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa posisi relatif dari inidividu rumah tangga dalam masyarakat merupakan aspek penting dari kesejahteraan mereka. Tingkat ketimpangan secara keseluruhan dalam suatu negara, wilayah atau kelompok penduduk, baik dalam bentuk dimensi moneter maupun non- moneter, juga merupakan indikator yang dapat menggambarkan secara ringkas tentang tingkat kesejahteran dalam kelompok tersebut. Hal ini yang perlu dicatat dari bahasan tentang kesejahteraan yaitu kerentanan (vulnerability). Kerentanan miskin pada waktu-waktu mendatang. Kerentanan merupakan dimensi kunci dari kesejahteraan karena kerentanan berakibat pada perilaku individu (dalam bentuk investasi, pola produksi, strategi penanggulangan) dan persepsi dari kondisi mereka sendiri.

  Menurut Bank Dunia (Wolrd Bank 2000), “poverty is pronounced

  

derivation in well being”, dimana kesejahteraan dapat diukur dari kekayaan yang

  dimiliki seseorang, kesehatan, gizi, pendidikan, asset, perumahan, dan hak-hak tertentu dalam masyarakat tertentu seperti kebebasan berbicara. Kemiskinan juga berarti kurangnya kesempatan/peluang, ketidakberdayaan, dan kerentanan.

  Kemiskinan benar-benar masalah multi-dimensi yang memerlukan kebijakan dan program intervensi multi-dimensi pula agar kesejahteraan individu meningkat sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan.

  Dengan kata lain lingkup substansi kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multi-dimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

  Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang batasan tersebut seringkali ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai produksi tingkat kesejahteraan.

  Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita. Output ekonomi perkapita dipandang kurang mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena output ekonomi lebih mencerminkan nilai tambah produksi yang terjadi pada unit observasi, yaitu negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi.

  Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka pendapatan rumah tangga digunakan sebagai produksi kesejahteraan karena dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah. Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga.

  Salah satu kelemahan dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang cenderung berada di bawah angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya.

  Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja.

  Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Atas promosi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat. (Dir. Kewilayahan 1, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah: 5-6).

2.2 Konsep Kemiskinan

  Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembang kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004). Hak-hak dasar antara lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. (Badan Pusat Statistik).

  Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.

  Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi, yaitu:

  1. Dimensi Ekonomi Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara finansial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

  2. Dimensi Sosial dan Budaya Kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.

  Dimensi Sosial dan Politik Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.

  Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan dihadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang (Bayo, 1996).

  Menurut Drs. Edi Suharto, M.Sc, tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat dimensi utama, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relative, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural.

  Pertama , kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan

  oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll. Penentuan kemiski'nan absolut ini biasanya diukur melalui “batas kemiskinan” atau “garis kemiskinan” (poverty line), baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapata, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran, indikator tersebut biasanya dikonversikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan

  Bank Dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi kedalam US$ PPP (Puchasing Power

  

Parity / Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi. Tujuannya adalah untuk

  membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dala memerangi kemiskinan. Angka konversi PPP menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga US$ 1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasaya dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US$ 1 PPP perkapita perhari; b) US$ 2 PPP perkapita perhari. Ukuran tersebut sering direvis menjadi US$ 1,25 PPP dan US$ 2 PPP perkapita perhari.

  Pendapatan perkapita yang Tinggi sama sekali bukan merupakan jaminan tidak adanya kemiskinan absolut dalam jumlah yang besar. Hal ini mengingat besar atau kecilnya porsi atau bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok- kelompok penduduk yang paling miskin tidak sama untuk masing-masing negara, sehingga mungkin saja suatu negara dengan pendapatan perkapita yang Tinggi justru mempunya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan internasional yang lebih besar dibandingkan suatu negara yang pendapatan perkapitanya lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemsikinan tersebut antara lain struktur pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di negara yang prakteknya ikut menentukan pola-pola dstribusi pendapatan nasional. kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu

  Kedua,

  atau kelompok dibandingkan dengan “kondisi umum” suatu masyarakat. Jika batas kemiskinan misalnya Rp. 30.000 per kapita per bulan, seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 75.000 per bulan secara absolut tidak miskin, tetapi jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 100.000, maka relatif orang tersebut dikatakan miskin. kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai,

  Ketiga,

  orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (modernisasi). Sikap malas, tidak memiiki kebutuhan berprestasi (needs for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah bebrapa karakteristik yang menandai kemiskinan kultural. kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh

  Keempat,

  ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktik monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi misalnya, melahirkan mata rantai “pemiskinan” yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktural demikian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para petani tidak memiliki tanah sendiri atau hanya memiliki hanya sedikit tanah,para nelayan yang tidak mempunyai perahu, para pekerja yang kemiskinan struktural.

  Disadari atau tidak kita memang patut berterima kasih pada pemerintah pada komitmen dan kebijakan pemerintah dalam menangani kemiskinan khususnya pada zaman orde baru, secara nasional jumlah kemiskinan absolut di Tanah Air mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika pada tahun 1970, terdapat 70 juta atau 60 persen penduduk Indonesia terhimpit kemiskinan, maka hanya dalam dua dasawarsa jumlah tersebut telah menjadi 27,7 juta atau 15,08 persen saja dari populasi keseluruhan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk yang masih berada di garis kemiskinan menjadi 25,9 juta atau 13,67 persen.

  Akan tetapi, data-data “makro” tersebut belumlah mengungkap dimensi kemiskinan relatif yang berwujud ketimpangan sektoral maupun ketimpangan regional antar wilayah. Belum lagi persoalan indikator kemsikinan yang oleh sebagian ahli masih dipandang sebagai “belum mencerminkan” kebutuhan manusia secara manusiawi.

  Indikator kemiskinan yang ditetapkan menurut Badan Pusat Statistik adalah kemampuan seseorang dalam memenuhi khususnya kebutuhan pangan minimal sebesar 2.100 kalori/hari/orang atau sekitar Rp. 35.000 per kapita per bulan kemudian kemampuan memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar seperti pakaian, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,perumahan, rasa aman, partisipasi sosial politik, dll. Indikator dari BPS ini juga dipandang masih terlalu rendah karena pendapatan sebesar itu tentunya hanya “cukup“ untuk memenuhi kebutuhan “sangat dasar”. Dengan batas kemiskinan yang rendah ini, sangat dimaklumi jika banyak penduduk yang sebenarnya masih dalam kategori miskin, “tidak miskin” atau “agak miskin” (nearly poor).

  Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa di daerah pedesaan tengah terjadi proses penurunan kemakmuran yang tampak dari sempitnya pemilikan lahan. Menurut data statistik dari BPS, dalam kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi penurunan luas tanah yang dimiliki petani dari 18,35 juta hektare menjadi 17,67 juta ha. Sejalan dengan itu, petani gurem yang memiliki lahan dibawah 0,5 ha melonjak dari 9,5 juta menjadi 10,9 juta keluarga. (Suharto, 1997: 74-76)

2.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan

  Strategi kebutuhan dasar (basic needs) sebagaimana dikutip oleh Thee Kian Wie (1981:29), dipromosikan dan dipopulerkan oleh internasional labor organization (ILO) pada tahun 1976 dengan judul “Kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan dasar: suatu masalah bagi satu dunia”. Strategi kebutuhan dasar memang memberi tekanan pada pendekatan langsung dan bukan cara tidak langsung seperti melalui effek menetes kebawah (trickle

  

down effect) dari pertumbuhan ekonomi yang Tinggi. Keseulitan umum dalam

  penentuan indikator kebutuhan dasar adalah standart atau kriteria yang subjektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah, dan kelompok sosial. Disamping itu kesulitan penentuan seara kuantitatif oleh masing-masing komponen kebutuhan dasar yang dimiliki oleh komponen itu sendiri. Misalnya selera konsumen terhadap satu jenis makan atau komoditi lainnya.

  Beberapa kelompok atau ahli telah mencoba merumuskan mengenai konsep kebutuhan dasar ini termasuk alat ukurnya. Konsep kebutuhan dasar yang dicakupa dalah komponen kebutuhan dasar dan karakterisktik kebutuhan dasar serta hubungan keduanya dengan garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen.

  Kembali pada pengukuran kemisinan, menurut Ravallion (1998), ada tiga tahapan yang diambil dalam mengukur kemiskinan. Tiga tahapan ini mencakup: 1)

  Mendefinisikan indikator kesejahteraan

  2) Membangun standart minimum yang dapat diterima dari indikator tersebut untuk membagi penduduk menjadi miskin dan tidak miskin (sering dikenal dengan garis kemiskinan), dan

  3) Membuat ringkasan statistic untuk memberikan informasi secara agregat mengenai distribusi dari indikator kesejahteraan tersebut dan posisi realtifnya terdapat standart minimum yang telah ditentukan.

  Ukuran kemiskinan pada tingkat makro dapat memberikan gambaran kemiskinan rumah tangga menurut wilayah regional, provinsi, dan kota-desa.

  Untuk menetapkan rumah tangga sebagai kelompok sasaran program, seperti intervensi dan mengurangi dampak krisis, kriteria-kriteria infrastruktur pelayanan pemerintah dan fasilitas umum lainnya menurut karakteristik wilayah dan rumah tangga sangat penting untuk diperhatikan. Beberapa indikator untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin dapat dikembangkan berdasarkan karakteristik rumah tangga, termasuk indikator demografi, sosial ekonomi, dan indikator lainnya. Indikator-indikator ini pad aumumnya cocok untuk digunakan. Tetapi beberapa diantaranya hanya sesuai untuk kota atau desa. tangga miskin yaitu ciri-ciri pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan akses terhadap sumber/asset. (Pernia & Quibria, 1991). Untuk wilayah pesisir karakteristik pekerjaan kepala rumah tangga adalah sebagai nelayan. Yang mana kehidupannya bergantung dengan hasil tangkapan laut.

  Berdasarkan hasil penelitian Emil Salim pada tahun 1981 menjelaskan bahwa ciri-ciri orang miskin adalah sebagai berikut:

  1) Mereka tidak memperoleh kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri tanpa bantuan dari luar.

  2) Mereka yang hidup di daerah perkotaan masih berusia muda dan tidak didukung oleh keterampilan yang memadai

  3) Tidak memiliki faktor produksi dan tidak mempunyai keterampilan yang cukup untuk memperoleh pendapatan yang layak

  4) Tingkat pendidikan rendah, karena waktu mereka dihabiskan untuk bekerja dalam upaya untuk memperoleh pendapatan untuk tambahan penghasilan

  5) Sebagian besar mereka tinggal di perdesaan, tidak memiliki tanah dan kalaupun ada sangat sedikit. Pada umumnya dari mereka bekerja sebagai buruh tani atau pekerja kasar yang dibayar rendah di sektor pertanian.

  6) Kesinambungan kerja kurang terjamin karena mereka bekerja dalam usaha apa saja di sektor informal.

  Hasil penelitian World Bank oleh Don Chemichovsky dan Oey Astra Meesok dengan menggunakan data Susenas 1978 (Masfufah, 2000), menyatakan

  1) Jumlah anggota rumah tangga banyak dengan kepala rumah tangga merupakan tulang punggung keluarga

  2) Tingkat pendidikan anggota rumah tangga dan kepala rumah tangga rata- rata rendah

  3) Pekerjaan saring berubah dan sebagian dari mereka mau menerima tambahan pekerjaan lain bila ditawarkan

  4) Sebagian besar pengeluaran untuk mengkonsumsi makanan dengan persentase pengeluaran untuk karbohidrat paling besar

  5) Sebagian besar pendapatan utamanya bersumber dari pertanian dan penguasaan tanahnya masih marginal

  6) Kondisi rumahnya masih sangat memprihatinkan dalam hal penyediaan air bersih dan listrik untuk penerangan.

  Karakteristik rumah tangga lain yang berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan yaitu jumlah anggota rumah tangga. Makin besar jumlah anggota rumah tangga akan makin besar pula risiko untuk menjadi miskin apabila pendapatannya tidak meningkat. Umur kepala rumah tangga juga berkaitan dengan tingkat kemiskinan walaupun hubungannya tidak begitu jelas, akan tetai ada kecenderungan bahwa kepala rumah tangga tidak miskin lebih tua debandingkan rumah tangga miskin (Faturrokhman dan Molo, 1995)

  Dalam Zulfahri (2002), Masri Singarimbun mencirikan kemiskinan sebagai suatu kondisi yang memenuhi ciri-ciri: 1) Pendapatan rendah 3) Tingkat pendidikan rendah 4) Keterampilan rendah 5) Harapan hidup pendek

  Sedangkan Keban (1994) membagi menjadi tiga kelompok faktor penyebab kemiskinan rumah tangga yaitu: 1) Karakteristik individu kepala rumah tangga 2) Karakteristik pekerjaan kepala rumah tangga

  3) Karakteristik lingkungan Dalam buku Dasar-dasar Analisis Kemiskinan (Badan Pusat Statistik,

  2002) diuraikan karakteristik rumah tangga dan individu yang berkaitan dengan kemiskinan yang digolongkan menjadi tiga kelompok.

  1) Karakteristik Demografi

  a. Struktur dan ukuran rumah tangga. Indikator ini penting karena menunjukkan korelasi antara tingkat kemiskinan dan komposisi rumah tangga. Komposisi rmah tangga, dalam bentuk ukuran rumah tangga dan Karakteristik anggota rumah tangga (seperti umur), sering sangat berbeda untuk setiap rumah tangga miskin dan tidak miskin. Makin besar jumlah anggoa rumah tangga makin besar pula resiko untuk menjadi miskin apabila pendapatannya tidak meningkat.

  b. Rasio ketergantungan (Dependency Ratio). Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga yang tidak berada dalam angkatan kerja (apakah muda atau tua) terhadap mereka yang berada pada angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Adapun hubungan antara dimana ketika rasio ketergantungan Tinggi maka tingkat kemiskinan akan semakin meningkat.

  c. Gender kepala rumah tangga, secara umum telah diketahui bahwa jenis kelamin kepala rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan rumah tangga dan sering ditemui bahwa rumah tangga yang dikepalai wanita lebih miskin daripada yang dikepalai laki-laki.

  2) Karakteristik Ekonomi

  Karakteristik ekonomi mencakup pekerjaan, pendapatan, pengeluaran konsumsi dan kepemilikan rumah tangga.

  a. Ketenagakerjaan (Employment) rumah tangga. Ada beberapa indikator untuk menentukan ketenagakerjaan rumah tangga. Berdasarkan banyak indikator yang ditemukan, ekonom menitikberatkan pada partisipasi angakatan kerja, tingkat pengangguran terbuka, tingkat setengah pengangguran, dan perubahan jenis pekerjaan. Ketenagakerjaan berkaitan dengan pendapatan yang dapat diterima oleh penduduk atau rumah tangga.

  Apabila endapatan yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan minimum maka resiko untuk menjadi miskin lebih besar.

  b. Pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting untuk dpertimbhangkan ketika menentukan karakteristik penduduk miskin. Hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah tingkat pendapatan dan juga distribusinya diantara anggota rumah tangga dan diantara berbagai kelompok sosial. Meskipun demikian, dalam prakteknya indikator pendapatan sering mengahdirkan masalah-masalah tertentu. komponen, namun hanya beberapa komponen yang berkaitan dengan monete (misalnya, rumah tangga pertanian mengkonsumsi sebagian besar produksi sendiri)

  c. Struktur pengeluaran dan konsumsi rumah tangga. Struktur pengeluaran konsumsi rumah tangga dapat digunakan untuk mendirikan rumah tangga dengan memberikan gambaran pengeluaran makanan dan non makanan. Hal yang menarik yaitu mengukur penimbang relative dari barang-barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga menurut tingkat kemiskinannya. Pengukuran ini memberikan beberapa indikasi berkaitan dengan dampak yang mungkin terjadi karena variasi harga terhadap daya beli rumah tangga. Kemudian dapat digunakan produk kebutuhan dasar, khususnya makanan, untuk mewakili bagian yang paling sgnifikan dari total pengeluaran penduduk miskin.

  d. Kepemilikan rumah tangga. Kepemilikan rumah tangga mencakup barang

  • –barang yang sangat besar jumlahnya (tanah, peternakan, perlalatan pertanian, bangunan, dan barang-barang tahan lama lainnya) dan asset finansial. Indikator tersebut menarik perhatian karena mencerminkan inventaris kekayaan rumah tangga dan dengan demikianmemperngaruhi arus pendapatan rumah tangga. Lebih lanjut, rumah tangga tertentu khususnya di wilayah perdesaan dapat menjadi miskin dalam hal pendapatan namun kaya ketika kepemilikan mereka dipertimbangkan.

  3) Karakteristik Sosial

  a. Kesehatan dalam rumah tangga. Empat jenis indikator yang umumnya rumah tangga meliputi status gizi, status penyakit, ketersediaan pelayanan kesehatan, dan penggunaan pelayanan-pelayanan kesehatan tersebut oleh rumah tangga miskin dan tidak miskin. b Pendidikan. Tiga jenis indikator pendidikan yang umumnya diguakan dalam menganalisis standart hidup rumah tangga yang mencakup tingkat pendidikan anggta rumah tangga (angka melek huruf yang rendah), ketersediaan pelayanan pendidikan, dan penggunaan pelayanan tersebut oleh anggota dari rumah tangga miskin dan tidak miskin. Adanya diskriminasi pelayanan pendidikan antara penduduk yang mampu dan tidak mampu membuat penduduk yang tidak mampu (miskin) akan semakin tertinggal tingkat pendidikannya.

  c. Tempat tinggal. Kondisi tempat tinggal di evaluasi berdasarkan tiga komponen: perumahan, pelayanan, dan lingkungan. Indikator perumahan mencakup jenis bangunan (ukuran dan jenis bahan bangunan), kepemilikan tempat tinggal (sewa atau milik sendiri), dan perlengkapan rumah tangga. Indikator pelayanan menitikberatkan pada ketersediaan dan penggunaan air minum, jasa komunikasi, listrik, dan sumber energi lain.

  Terakhir, indikator lingkungan menekankan pada level sanitasi, tingkat isolasi (ketersediaan jalan yang dapat digunakan pada setiap saat, lamanya waktunya waktu tempuh dan tersedianya transportasi ke tempat kerja) dan tingkat keamanan personal. Secara umum terbentuk bahwa rumah tangga miskin hidup dalam kondisi yang lebih berbahaya (beresiko), lingkungan yang kurang higienis yang mempunyai kontribusi terhadap tingkat kesehatan yang rendah dan produktifitas anggota rumah tangga yang lebih rendah.

2.4 Potensi Wilayah Pesisir dan Kondisi Ekonomi Masyarakat Pesisir Dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.

  34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daearan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan kea rah laut mencakup bagian laut yang masih dipengarui oleh proses alami terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Batasan diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat garis batas nyata wilayah pesisir. Batas tersebut hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Ditempat yang landau garis batas itu dapat berada jauh dari garis pantai, dan sebaliknnya untuk wilayah pantai yang terjal. Pengertian tersebut mengindikasikan terjadinya interaksi antar ekosistem perairan pesisir sehingga memunculkan kekayaan potensi habitat pesisir yang beragam. Namun demikian, kondisi hidup habitat pesisir seperti ini berpotensi mudah mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab.

  Menurut Dahuri et al. (1998), hingga saat ini masih belum ada definisi yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Kadir et al,. 2009: 2). Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).

  Berdasarkan kedua pengertian diatas dapat adikatakan bahwa wilayah pesisir mempunyai dua karakteristik, yaitu sebagai wlayah pertemuan antara daratan dan lautan sebagai tempat hidup beragam ekosistem yang saling berinteraksi sehingga memungkinkan dapat diakses dengan mudah oleh aktivitas manusia. Masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disebut masyarakat pesisir.

  Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang bertempat tinggal di lingkungan pesisir pantai. Karena masyarakat ini hidup dilingkungan pesisir pantai, maka masyarakat ini menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam yang ada dilaut. Pekerjaan masyarakat pesisir ini secara umum sebagai nelayan. Para nelayan ini ada yang menggunakan teknologi sederhana atau disebut nelayan tradisional namun ada juga nelayan yang menggunakan teknologi yang berbeda yang disebut nelayan modern, hanya saja jumlahnya tidak banyak.

  Pekerjaan lain yang ada di kawasan pesisir adalah sewa-menyewa kapal. Ada juga kalangan masyarakat pembuat garam. Pada umumnya ketergantungan masyarakat pesisir pada sektor kelautan menjadi kendala bagi masyarakat untuk berhasil keluar dari garis kemiskinan. Hal ini karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penghasilan masyarakat pesisir, sehingga pekerjaan ini tidak menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan para keluarga yang tergolong masyarakat pesisir. Inilah sebabnya dikatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki variasi hidup yang kompleks.

  Selain menangkap ikan masyarakat pesisir juga mengolah kebun kelapa. Terutama karena didekat pantai biasanya pohon kelapa mudah tumbuh. Namun, jika memiliki tanah maka tanah tersebut dikelola secara optimal. Pada saat musim padi maka tanah akan berfungsi menjadi sawah dan pada saat yang lain tanah akan dikelola sebagai kebun. Selain itu, kolektifitas masyarakat maritime masih banyak sebagai pelayar dan pedagang antar pulau.

  Cuaca ekstrem semakin memperburuk kehidupan nelayan. Kondisi ini praktis dialami oleh 2,34 juta nelayan perikanan tangkap laut di Indonesia. Data Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebutkan, jumlah nelayan miskin saat ini 7,87 juta orang. Sekitar 25,14 persen dari penduduk miskin nasional.

  Saat musim angin barat, mereka tidak bisa melaut. Mereka juga tidak bisa memaksimalkan jumlah hasil tangkapan karena keterbatasan peralatan. Sejak awal Desember mereka tidak bisa setiap hari melaut karena angin kencang. Dalam setiap harinya ia bahkan bisa hanya membaca pulang Rp. 5.000, padahal untuk makan sekeluarga setidaknya butuh Rp. 50.000 per hari. (Kompas, 9 April 2012:01&15).

  Adapun ciri-ciri yang dipantulkan komunitas atau masyarakat pesisir di Indonesia adalah: 1) Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tergantung pada alam laut.

  Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap alam laut itu dalam bentuk fisik maupun emosional sesuai dengan kondisi alam yang mempengaruhinya.

  Masyarakat pesisir dengan demikian menggantungkan hidupnya dengan cuaca, iklim dan pergantian musim terutama masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan. 2) Masyarakat pesisir sangat tergantung pada sumber daya energi yang murah dan konvensional untuk dapat menggali kekayaan alam laut yang merupakan tempat pencaharian kebutuhan hidup. 3) Masyarakat pesisir sangat tergantung pada modal tunai untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama untuk modal kegiatan pelayanan dan konsumsi. maupun berkelompok dalam sistem jaringan kerja, baik penangkapan ikan, jasa pelelangan ikan maupun terhadap para pemilik modal.

  5) Masyarakat pesisir sangat membutuhkan program-program pemberdayaan yang dapat mengeluarkan masyarakat pesisir dari jerat kehidupan yang sangat tajam dan tidak mengenal kompromi. (Suwardi Lubis, 2010)

  Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati.

  Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata..

  Oleh karena itu sungguh ironi sekali dengan banyaknya potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir namun kondisi ekonomi masyarakat pesisir masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut Kusnadi (2002), perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor- faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup dikalangan masyarakat nelayan, telah ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan tidak mudah untuk diatasi.

  Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat di hasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaha nelayan terhadap teknologi (Kusnadi, 2000).

  Selain itu boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskinan nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi masyarakat miskin semakin lemah.

  Masalah pemasaran hasil tangkapan juga terkadang dapat merepotkan masyarakat pesisir. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.

  Dengan demikian, masalah sosial ekonomi yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah: a. Rendahnya tingkat pendidikan,

  b. Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya,

  c. Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan

  d. Kurangnya daya kreativitas, serta e. Belum adanya perlindungan terhadap nelayan dari jeratan para tengkulak.

  Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai Negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan, bahwa kekakuan aset perikanan rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap

  (fixity and

  tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat asset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut.

  Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.

  Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya

  opportunity cost

  meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

  Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a

  

particular way of life ). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade

  dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

  Sosial ekonomi masyarakat nelayan dilihat dari kehidupan masyarakat terkait dengan penambahan pendapatan hidup mereka untuk peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan. Jika mengkaji dari segi sosial budaya masyarakat istiadat yang mereka miliki dalam kehidupan.

Dokumen yang terkait

Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Di Kecamatan Medan Labuhan

3 52 88

Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan

18 104 88

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kesejahteraan - Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Petani Padi di Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani - Analisis Pengaruh Pendapatan Usahatani Kopi Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus Kabupaten Aceh Tengah Dan Kabupaten Bener Meriah)

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kesejahteraan - Analisis Dampak Keberadaan Kawasan Industri Medan (Kim) Belawan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Kim Belawan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Dan Cara Pengukuran Tingkat Pengangguran - Analisis Tingkat Pengangguran di Kota Medan

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pertambangan - Analisis Dampak Keberadaan PT. Agincourt Resources Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Nias Barat

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi - Evaluasi Pelaksanaan Program Asuransi Kesejahteraan Sosial Oleh Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli

0 0 54

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektifitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun

0 0 37