Jenis jenis Seni Rupa Kep
Seni Rupa Tradisional, Modern dan Kontemporer
A. Seni Rupa Tradisional
Istilah tradisional berasal dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu
institusi, artefak, kebiasaan atau prilaku yang didasarkan pada tata aturan atau
norma tertentu baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan
secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa karya seni
rupa tradisional adalah karya seni rupa yang bentuk dan cara pembuatannya
nyaris tidak berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bukan hanya itu, nilai dan landasan flosofs yang berada dibalik bentuk karya
seni rupa tradisional tersebut pun umumnya relatif tidak berubah dari masa-ke
masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional ini dibuat dan diciptakan kembali
mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat berdasarkan sistem keyakinan atau
otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di masyarakatnya. Dalam konteks
perkembangan seni rupa di Barat (Eropa), istilah seni rupa tradisional ini
menunjukkan pada otoritas penguasa agama (gereja), raja dan para bangsawan.
Para seniman tradisional menciptakan karya berdasarkan keinginan atau aturan
yang telah ditetapkan sesuai ”selera” institusi-institusi tersebut dan
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, sepanjang kekuasaan institusiinstitusi tersebut.
Berdasarkan pengertian seni tradisional yang telah disebutkan di atas, kita
menjumpai berbagai karya seni rupa di Indonesia khususnya karya-karya seni
kriya dapat dikategorikan sebagai karya seni rupa tradisional. Banyak sekali
benda-benda kriya yang tersebar dikepulauan Nusantara, yang bentuk, bahan
dan cara pembuatannya hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang
berarti sejak pertama kali diciptakannya. Karya-karya seni tradisi ini umumnya
hidup di lingkungan masyarakat yang masih kuat memegang norma atau adat
istiadat yang diwariskan para leluhurnya. Perubahan umumnya terjadi pada
fungsi dari benda-benda kriya tersebut yang semula berfungsi sebagai benda
pakai atau benda-benda pusaka kini menjadi benda hias atau cindera mata.
Perubahan sistem sosial dan budaya masyarakat serta kemajuan teknologi
berperan besar mempengaruhi perubahan fungsi benda-benda tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya dalam konteks seni rupa dunia, istilah seni
rupa tradisional kerap ditujukan kepada karya seni rupa non Barat. Sifatnya
yang mentradisi dan tidak berubah ini menjadi pembeda utama dengan karya
seni rupa Modern yang senantiasa menuntut inovasi dan kebaruan. Ciri lain
dari karya-karya seni rupa tradisional ini adalah latar belakang penciptaan atau
pembuatannya yang senantiasa terikat oleh fungsi atau konteks tertentu. Pada
karya-karya komunal seperti itu, peran ekspresi individu senimannya nyaris
tidak tampak. Hak penciptaan karya seni rupa bukan milik perorangan tetapi
milik masyarakat pendukungnya. Dengan demikian hampir tidak ada karya seni
rupa tradisional yang menggunakan inisial pembuatnya seperti yang umumnya
terdapat pada karya-karya seni Modern.
Karya seni rupa tradisional tersebar luas dari ujung Barat hingga ujung Timur
kepulauan Nusantara (Indonesia). Sejak masuknya kolonialisme barat
(penjajahan bangsa Eropa) ke kepulauan Nusantara dan berkembangnya paham
seni rupa Modern di Eropa, maka karya-karya seni rupa Nusantara di luar
kategori karya yang menggunakan konsep Modern tersebut dikategorikan
sebagai karya seni rupa tradisional. Pengkategorian ini dalam pandangan yang
sempit seringkali digunakan untuk menunjukkan karya seni rupa yang bermutu
tinggi (modern) dengan karya yang bermutu rendah (tradisional). Pengaruh
penjajahan bangsa Barat yang cukup lama di kepulauan Nusantara
menyebabkan pandangan semacam ini terus berkembang yang memandang
karya-karya seni kriya (seni rupa tradisional) lebih rendah dari karya seni lukis
atau patung modern. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan sebagian
masyarakat yang memandang modern identik dengan kemajuan dan
perkembangan sedangkan tradisional identik dengan stagnasi, kuno atau
ketinggalan jaman. Sikap dan cara mengapresiasi yang keliru ini seringkali
menyebabkan karya-karya seni rupa tradisional yang sesungguhnya bernilai
tinggi terabaikan dan terlupakan. Padahal karya-karya seni rupa tradisional
Nusantara ini memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dan
menjadi gagasan dalam berkarya seni rupa. Apresiasi yang tepat diharapkan
dapat menghasilkan inovasi karya-karya seni rupa yang memiliki cirikhas
Indonesia.
B. Karya Seni Rupa Modern
Seni rupa Modern adalah istilah umum yang digunakan untuk kecenderungan
karya seni yang diproduksi sejak akhir abad 19 hingga sekitar tahu 1970 an.
Seni rupa modern menunjuk kepada suatu pendekatan baru dalam seni dimana
tidak lagi mementingkan representasi subjek secara realistik—penemuan
fotograf menyebabkan fungsi penggambaran di dalam seni menjadi absolut,
para seniman modern berksperimen mengeksplorasi cara baru dalam melihat
sesuatu, dengan ide segar tentang alam, material dan fungsi ini, seringkali
bergerak melaju kearah abstraksi.
Istilah Modernisme sendiri menunjukkan ideologi yang mempengaruhi gerakan
budaya, politik dan seni yang menyertai perubahan masyarakat di Barat pada
akhir abad 19 dan awal abad 20. Secara meluas, modernisme dideskripsikan
sebagai satu seri pergerakan budaya progresif dalam seni rupa, arsitektur dan
musik, literatur dan seni pakai yang muncul dalam dekade sebelum 1914.
tercakup di dalam perubahan dan kehadirannya, modernisme menjadi arah
karya seniman, pemikir, penulis dan perancang yang memberikan label baru
tradisi akademi dan sejarah seni pada akhir abad 19 serta mengkonfrontasi
aspek ekonomi, sosial dan politik baru yang dimunculkan dunia modern.
Memahami seni rupa modern dapat juga dengan melakukan analisis terhadap
istilah pembentuknya yaitu ”seni” dan ”modern”. Istilah seni umumnya merujuk
pada segala kegiatan dan hasil karya manusia yang mengutarakan pengalaman
batinnya yang karena disajikan secara unik dan menarik memungkinkan
timbulnya pengalaman atau kegiatan batin pula pada diri orang lain yang
melihat dan menghayatinya. Hasil karya ini lahir bukan karena didorong oleh
hasrat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling pokok, melainkan oleh
kebutuhan spiritualnya, untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat
kemanusiaannya. Dengan batasan seperti ini kita dapat mencoba untuk
menunjukkan benda apa saja yang layak untuk disebut seni dapat masuk ke
dalamnya. Adapun istilah “modern” dalam hal ini tidak selalu harus
dihubungkan dengan waktu. Sarah Newmeyer misalnya, walaupun terasa agak
absurd, menulis dalam bukunya bahwa seni modern itu boleh jadi berupa
gambar bison yang digoreskan 20.000 tahun yang lalu dan boleh jadi juga karya
Picasso yang baru saja diselesaikan pagi ini.‟ Berdasarkan pendapat ini jelaslah
bahwa ia menggunakan istilah modern tidak dalam hubungannya dengan
kronologi melainkan dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kelompok karya
yang memifki sifat-sifat tertentu. Maka sifat-sifat tertentu itulah yang dapat
dipandang sebagal ciri khas seni modem sehingga dengan mudah akan dapat
dikenali mana yang bisa digolongkan dalam seni modern dan mana yang tidak.
Dengan ungkapan itu sesungguhnya artian modern tersebut diperluas tetapi
sekaligus juga dipersempit. Diperluas, karena istilah itu menyangkut juga seni
prasejarah dan dipersempit karena sebaliknya, belum tentu apa yang dilukiskan
sekarang dapat masuk di dalamnya. Apabila kita ingin membenarkan kata-kata
Newmeyer tersebut, dapatlah dikatakan bahwa setidaknya pada saat
diciptakan, seni prasejarah ini memang memifki sifat-sifat modern. Kalaupun
secara kronologis kita akan membatasi daerah seni modern ini dan
menyempitkan pada karya-karya yang diciptakan pada apa yang biasa kita
sebut sebagai jaman modern, kita akan juga mengalami kesukaran, yaitu di
mana menarik garis batasnya; kapan dan di manakah mulainya seni rupa
modern itu. “Modern art begins nowhere because it begins everywhere. It is fed
by a thousand roots, from cave paintings 30,000 years old to the spectacular
novelties in the last week’s exhibitions,” kata Canaday yang kurang lebih
menunjang ungkapan Newmeyer di atas. Semua pencapaian dari masa ke masa
di banyak tempat di dunia ini memberikan andilnya pada pembentukan seni
modern, sehingga susahlah untuk menentukan kapan dan di mana periode seni
rupa modern itu sebenarnya mulai. Maka untuk itu, sekali lagi, kita harus
mempunyai pegangan, kualitas apakah yang paling berharga dalam seni
modern tersebut dan dengan itu mencoba untuk mencari kapan kualitas tadi
mulai ada atau berkembang biak dengan baik (Soedarso, 2000).
Kalau kita mengacu periodisasi sejarah umum di Eropa—dimana sebagian besar
kejadian dalam panggung sejarah seni rupa modern ini berlangsung—maka
babakan sejarah modern Eropa dianggap mulai sejak zaman Renesans pada
abad ke-15 sedangkan sejarah seni rupa modern di Eropa baru pada abad ke19, dengan munculnya tokoh pelukis J.L. David di Perancis yang dianggap
memiliki sesuatu yang dapat disejajarkan dengan kualitas modern tadi. Bahkan
ada pula yang menganggap seni modern Eropa dimulai pada massa yang lebih
akhir lagi.
Seperti telah diuraikan di atas, seni modern pada dasarnya tidak terbatas oleh
hal-hal yang kasatmata seperti objek-objek lukisan tertentu ataupun corak dan
gaya tertentu, melainkan ditentukan oleh sikap batin senimannya. Seni modern
pun, berkat perkembangan komunikasi modern yang menyertai kemajuan
teknologi, tidak kenal lagi akan batas-batas daerah dengan kekhasan tradisinya
masing-masing. Seni modern menjadi universal sifatnya. Walaupun di sana-sini
ada pula terdapat cap-cap daerah atau ada kalanya seni tradisi secara sadar
atau tidak dimunculkan oleh seseorang pelukis modern ke dalam hasil
karyanya, namun kenyataannya kita akan kesulitan untuk dapat menebak dari
mana asal sesuatu lukisan yang dihadapkan kepada kita. “Today the boundaries
are vague Horizons are infnitee the artist is tempted to explore in a hundred
directions at once.” Tulis Canaday pula. Mengenai yang terakhir ini, yaitu
bahwa para seniman modern terangsang untuk menjelajah ke segala arah,
kebenarannya tidak hanya sebatas arah di peta bumi saja, bahwa misalnya
banyak seniman Eropa meninggalkan negerinya untuk mencari objek lukisan
yang lain, tetapi juga karena daerah perhatian mereka itu meluas ke manamana. Bukan hanya pemandangan yang indah dan wanita cantik saja yang ingin
dilukisnya, tetapi juga toilet bekas yang sudah tidak terpakai lagi atau kulit
pokok kayu yang memiliki jenis permukaan atau texture yang unik, atau bahkan
jaringan sel-sel yang hanya dapat diamati melalui mikroskop yang dulu sama
sekali tidak terjamah oleh perhatian seniman, kini menjadi lahan yang subur
bagi objek lukisan para seniman modern. Dengan ini jelaslah bahwa bagi
mereka itu seni modern tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, bahkan di sanasini juga tidak terikat oleh tatabahasa maupun kaidah-kaidah seni yang sudah
mapan. Mereka sanggup menerima segala macam bentuk seni hampir dengan
tiada bersyarat. Batasan-batasan yang dulu ada seperti ikatan tradisi (spirit of
the race) atau ikatan zaman (spirit of the age), demikian juga ketentuanketentuan tentang isi ataupun tema telah disisihkan semuanya.
Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri
khasnya, ialah “kreativitas”. Dan sebuah perkataan ini tercantumlah beberapa
sifat yang merupakan gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan
istilah „modern‟ yang bermuka banyak itu ada pula yang menamai seni modern
tersebut dengan istilah “seni kreatif”. Seorang seniman modern akan melihat
dunia atau bagian daripadanya yang sedang dihadapi sebagai objek dari
lukisannya seolah-olah seperti baru saja objek itu diciptakan. Artinya, seakanakan baru sekali itu saja ia menghayatinya dan baru kali itu pula mencoba
untuk melukisnya, walaupun kenyataannya sudah berkalikali Ia melukiskan
objek tersebut, dan entah telah berapa kali ia melihatnya. Kita tidak tahu sudah
berapa kali pelukis kita yang terkenal, Afandi, melukis potret diriya. Namun
setiap kali kita menatapnya, sekian kali pula kita menemukan sesuatu yang baru
pada karya-karya itu, karena sang pelukis setiap kali selalu menghayati kembali
dan mendapatkan pengalaman baru dalam objeknya, walaupun objek itu adalah
dirinya sendiri. Seorang pelukis lain harus melupakan kuda atau gambar kuda
yang telah seribu kali dilihatnya apabila ia akan melukis seekor kuda. Ia harus
melihat kuda itu dengan mata kepalanya sendiri— atau mata hatinya—dan
memperoleh impresi pertama dari pengalaman tersebut. Sebagaimana kita
ketahui, hasil pengamatan itu amat dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan
serta kesan si pengamat atas objek pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya
yang tentunya berbeda dari tiap pengamat yang lain, dan kiranya juga
dipengaruhi oleh suasana hati Si pengamat itu sendiri ketika Ia sedang
mengamatinya. Yang teràkhir inilah yang menuntut pengamatan itu harus
selalu dilakukan setiap saat seseorang akan berkarya. Dalam hubungannya
dengan keadaan tersebut, kira-kira 100 tahun yang lalu Gustave Courbet, Si
pelopor realisme dari Perancis itu, pernah berharap agar museum-museum
ditutup saja sekurang-kurangnya 20 tahun lamanya agar para seniman muda
tidak sempat berdialog dengan karya-karya yang ada di dalamnya yang
semuanya merupakan hasil pengamatan orang lain. Ia berkeinginan agar apa
yang pernah diciptakan orang tidak mempengaruhi pengamatan pelukis
berikutnya. Mungkinkah itu dan perlukah itu, adalah soal-soal lain yang harus
dijawab lewat ilmu pendidikan seni rupa.
Sikap batin yang demikian itulah yang membedakan seniman modern dan
golongan tradisional ataupun akademik—yang sekarang juqa sudah menjadi
tradisional. Sikap batin yang tidak stereotip, yang selalu ingin akan yang baru
dan yang lain dari pada yang lain. Kreativitas :sangat penting dalam seni
modern, dan dalam kretivitas ini berkembanglah sifat-sifat orijinalitas,
kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Dengan bayaran apapun (yang
kadangkala sangat tinggi, dengan mengorbankan nilai-nilai yang sesungguhnya
masih baik dan masih diperlukan oleh seni yang manapun juga), para seniman
modern amat menghargai dan mengejar-ngejar nilai-nilai tersebut yang singkat
kata dapat disebut sebagai nilai kebaruan atau novelty.
Apabila seorang anak menunjukkan coreng moreng dan mengatakan bahwa itu
adalah gambar anjing atau kucing, maka kiranya itulah konsepnya atas hewanhewan tersebut yang belum sempat “diperbaiki” oleh hubungan anak itu
dengan tradisi dan masyarakat disekitarnya. Karya-karya itu adalah ekspresi
anak tersebut yang masih murni. Seorang-seniman dewasa tidak mungkin
berada dalam keadaan semurni itu karena ia tidak dapat melepaskan diri dari
ikatan sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern
dengan sadar berusaha untuk membebaskan dirinya dari ikatan tersebut dalam
hubungannya dengan tanggapannya terhadap objeknya. Berhasil atau tidaknya
usaha ini tidak selalu identik dengan keberhasilan karya seninya. Maka usaha
dan sikap batin itulah yang harus menjadi ukuran, bukan sematamata hasil
usahanya. Sekalipun tidak sedikit yang mendiskreditkan seni lukis yang
realistik dan lingkungan seni modern, namun bertolak dari pendapat di atas
tentunya ada juga lukisan yang bergaya realistik itu yang dapat digolongkan
dalam seni modern, yaitu apabila sikap batin si seniman dalam melukisnya
dapat dikembalikan kepada watak seni modern di atas; yaitu apabila si seniman
tidak bertindak stereotip dan selalu mengadakan pengamatan dahulu sebelum
melahirkan karya realistiknya. Perlu ditekankan bahwa bagaimanapun juga
lukisan atau hasil seni yang lain itu selalu merupakan interpretasi si seniman
dalam menanggapi objeknya. Baik hasil seni itu merupakan suatu taferil yang
secara perspektip dapat dipertanggungjawabkan ataukah bercorak dekoratif ala
Mesir kuna, keduanya adalah interpretasi juga. Pada suatu saat seorang
sehiman menggunakan imajinasi atau visinya untuk menangkap objek
lukisannya sehingga terjadilah “perspektif susun timbun” seperti yang ada di
Mesir kuna itu, tetapi pada saat lain ia menggunakan ketajaman matanya yang
kemudian ternyata menjadi pendorong diketemukannya perspektif di zaman
Renesans. Namun keduanya jelas tidak berhasil dalam memberikan kepada kita
“realitas” objeknya secara total; yang satu mengikuti ide atau pengertiannya
tentang objek itu dan dengan demikian terjadilah karya yang ideoplastik yang
secara visual tampak tidak wajar, dan yang lain menganakemaskan matanya
membentuk suatu lukisan yang lebih “enak” dipandang mata (visioplastik)
walaupun masih belum terhindar dart “kesalahan”. Dapat disaksikan misalnya,
meja yang bujur sangkar menjadi tidak sama lagi panjang sisi-sisinya, sudutsudutnya tidak 90° tetapi ada yang tumpul dan ada yang runcing, dan kakinya
yang empat seningkali hanya kelihatan tiga. Dalam sebuah gambar
pemandangan sering terlihat tiang-tiang listrik yang sama tingginya tergambar
tidak sama tinggi; makin jauh jaraknya dan taferil ukurannya menjadi makin
pendek. Akibat luasnya daerah seni modern itu maka variasi yang terdapat di
dalamnya pun tak terhingga pula jumlahnya, sehingga tidak mungkin untuk
memasukkannya ke dalam suatu difnisi yang formal.
Pada saat semua objek yang kasatmata ini mulai mengering dan makin susah
menawarkan hal-hal baru yang menarik, kreatif, dan lain dan pada yang lain,
maka perkembangan ilmu jiwa dalam ala Freud (Sigmund Freud) menampilkan
lahan baru yang tidak kering-keringnya, yaitu dunia imajinasi manusia. Dunia
baru ini tidak ada batasnya, kecuali batas kemampuan manusia untuk
mengedarinya atau batas kneativitas seniman untuk menemukan inovasinya.
Sementara itu, penemuan teknik fotograf dalam satu hal telah mengurangi
daerah gerak seni lukis, karena fotograf yang dengan cepat dan tepat mampu
merekam objek itu menggantikan sebagian fungsi seni lukis yaitu fungsi
dokumentatif dan fungsi menyajikan presentasi realistik bagi objek-objeknya.
Sejak berkembangnya fotograf tersebut seni lukis tidak lagi dibebani dengan
fungsi sosial berupa penggambaran secara visual ataupun pembuatan gambargambar ilustratif untuk bermacam tujuan. Namun perlu juga diingat bahwa di
lain pihak fotograf telah sempat pula memperluas daerah jelajah seni lukis.
Banyak teknik-teknik melukis di zaman teknologi tinggi ini yang menggunakan
pertolongan fotograf. ilustrasi – ilustrasi tertentu sekarang ini memang masih
ada yang dikerjakan dengan tangan, tetapi itupun sudah disenimodernkan,
artinya, kekreatifan diperlukan juga di dalamnya, sedangkan yang betul-betul
memerlukan ketepatan presentasi objek lebih baik disajikan saja dengan
menggunakan kamera. Maka oleh karena itu timbullah kemudian perbedaan
antara “representasi” dengan “interpretasi”, antara citra dan lambang, yang
merupakan fondasi yang kuat untuk menelaah perkembangan seni modern.
Dari masa lampau kita mengenal adanya patronage (patron) dalam seni, yaitu
perlindungan terhadap seni yang diberikan oleh tokoh-tokoh penguasa atau
gereja demi kelangsungan perkembangannya. Pasang surutnya kemampuan
pelindung atau penunjang seni ini dalam melakukan fungsinya besar sekali
pengaruhnya dalam perkembangan seni modern. Misalnya, apabila pada masa
kejayaannya patron-patron seni tersebut adalah diktator-diktator seni yang bisa
memaksakan arah perkembangan seni karena merekalah yang membiayainya,
maka kini sebaliknyalah yang terjadi; mereka itu yang harus tunduk pada
kemauan para seniman. Pada zaman modern ini seniman tidak lagi menunggu
uluran tangan mereka yang memiliki uang untuk menciptakan karyanya.
Mereka mampu membiayai sendiri ciptaan-ciptaannya. Hal ini dimungkinkan
pula antara lain oleh makmn populernya seni-seni kecil semacam lukisan
ukuran esel (easel-painting) atau patung dada ukuran sebenarnya (life size),
yang biayanya relatif murah dan dapat diusahakan sendiri oleh para seniman
penciptanya, sehingga karenanya mereka dapat melepaskan diri dari
ketergantungannya pada seorang pelindung. Sebagaimana diketahui di masa
lampau, pada saat keemasan agama atau di waktu kejayaan kekaisaran yang
absolut, yang berkembang sangat menonjol adalah jenis kesenian kolosal,
lukisan dinding yang besar-besar, arsitektur istana dan gereja, maupun patungpatung besar yang disejajarkan dengan kebesaran para pendukungnya yang
tidak mungkin di usahakan sendiri oleh senimannya. Dengan demikian si
sponsor ini menjadi penentu kemana seniman atau karya seni akan di arahkan.
Pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 merupakan titik akhir dan
kekuasaan feodalisme di Perancis yang pengaruhnya terasa juga pada bagianbagian dunia lainnya. Demikian pula revolusi ini ternyata tidak hanya
merupakan perubahan tata politik dan tata sosial saja, tetapi juga menyangkut
kehidupan seni, karena dengan ini berarti berakhir pulalah pengaruh raja atas
kehidupan dan perkembangan seni. Jauh sebelum itu antara gereja dan seniman
telah pufa terjadi keretakan hubungan yang di satu fhak disebabkan oleh
kemunduran fungsi dan daya tarik gereja di masyarakat sejak zaman Renesans
dan di lain fhak karena dunia seni telah menemukan tuannya yang baru, yaltu
raja dan para bangsawan yang merupakan penguasa-penguasa dan pemilik
harta sejak kemerosotan fungsi gereja. tersebut. Oleh karena itu kini para
seniman menjadi tokoh-tokoh yang bebas, melayang-layang tanpa tambatan.
Mereka tidak punya lagi fungsi yang terang dalam tatà sosial yang baru itu.
Maka lambat laun terbentuklah kelompok baru dalam masyarakat, ialah
kelompok seniman. Sedikit demi sedikit mereka mulai mencipta semata-mata
memperturutkan panggilan hati masing-masing, melukis bukan karena ada yang
meminta atau memberi tugas, melainkan semata-mata karena ingin melukis
saja. Maka dengan demikian mulailah riwayat seni lukis modern dalam sejarah
yang ditandai dengan individualisasi dan isolasi diri ini.
C. Karya Seni Rupa Kontemporer
Selain berdasarkan medianya, kesenian juga dapat digolongkan berdasarkan
sifatnya, yakni dengan seni kontemporer dan klasik. Seni klasik yang dimaksud
adalah kesenian yang diasosiasikan pada puncak penciptaan seni tertinggi pada
suatu masyarakat. Sedangkan dalam seni kontemporer, sifat kesenian
dihubungkan dengan penciptaan kekinian dan tengah mengalami proses
perkembangan.
Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti apaapa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000).
Walaupun demikian istilah “seni rupa kontemporer” ternyata tidak dapat begitu
saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat kekinian seperti dijelaskan di atas.
Istilah seni rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya masih menimbulkan
perdebatan, terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk untuk
menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian
kontemporer semakin menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut
digunakan untuk menunjuk pada praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai
perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya secara leksikal menerangkan
kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer yang
dipengaruhi wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya
era modernisme dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini
memunculkan terminologi baru yang kemudian dipakai dalam praktek seni rupa
di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post modernisme). Penggunaan
istilah posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena kompleksitas dan
keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga lebih banyak digunakan
istilah seni rupa kontemporer (contemporary art). Walaupun demikian, istilah
ini masih mendatangkan masalah karena tidak mengarah pada pengertian seni
rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah dengan pengertian contemporary yang
secara leksikal sama dengan pengertian modern yang berarti juga ”masa kini”
(A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek
seni rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada
kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam
praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu
paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak
modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat
universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi,
individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta penolakan (pelecehan) non-Barat. Sifatsifat modern ini pada perkembangannya seolah-olah mengesampingkan
berbagai produksi kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah dari seni
modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh penganut
seni rupa posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak mengakui karya seni
rupa tradisonal yang dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya seni rupa
yang sejajar dengan karya seni rupa modern.
Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan
semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan
batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa
selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotakkotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafs” nyaris
diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan
karya-karya dengan media-media inkonvensional serta lebih berani
menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik (Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer seperti
telah disebutkan di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan konteks kekinian
tidak dapat diabaikan begitu saja. Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa
kontemporer dapat dipandang sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya
dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefeksi kondisi yang mewarnai
keadaan zaman ini tempat “budaya global” menyeruak, yang menebarkan
banyak pengaruh yang menjadi penyebab berbagai perubahan dan
perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam tulisan
ini dapat dipakai untuk menunjukkan wacana seni anti modernisme yang
mengagung-agungkan universalisme, menggunakan medium inkonvensional,
berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi yang baku,
meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan sosial,
ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini diwarnai dengan
keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan pengaruh terhadap
perubahan dan perkembangan yang bersifat kultural.
A. Seni Rupa Tradisional
Istilah tradisional berasal dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu
institusi, artefak, kebiasaan atau prilaku yang didasarkan pada tata aturan atau
norma tertentu baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan
secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa karya seni
rupa tradisional adalah karya seni rupa yang bentuk dan cara pembuatannya
nyaris tidak berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bukan hanya itu, nilai dan landasan flosofs yang berada dibalik bentuk karya
seni rupa tradisional tersebut pun umumnya relatif tidak berubah dari masa-ke
masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional ini dibuat dan diciptakan kembali
mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat berdasarkan sistem keyakinan atau
otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di masyarakatnya. Dalam konteks
perkembangan seni rupa di Barat (Eropa), istilah seni rupa tradisional ini
menunjukkan pada otoritas penguasa agama (gereja), raja dan para bangsawan.
Para seniman tradisional menciptakan karya berdasarkan keinginan atau aturan
yang telah ditetapkan sesuai ”selera” institusi-institusi tersebut dan
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, sepanjang kekuasaan institusiinstitusi tersebut.
Berdasarkan pengertian seni tradisional yang telah disebutkan di atas, kita
menjumpai berbagai karya seni rupa di Indonesia khususnya karya-karya seni
kriya dapat dikategorikan sebagai karya seni rupa tradisional. Banyak sekali
benda-benda kriya yang tersebar dikepulauan Nusantara, yang bentuk, bahan
dan cara pembuatannya hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang
berarti sejak pertama kali diciptakannya. Karya-karya seni tradisi ini umumnya
hidup di lingkungan masyarakat yang masih kuat memegang norma atau adat
istiadat yang diwariskan para leluhurnya. Perubahan umumnya terjadi pada
fungsi dari benda-benda kriya tersebut yang semula berfungsi sebagai benda
pakai atau benda-benda pusaka kini menjadi benda hias atau cindera mata.
Perubahan sistem sosial dan budaya masyarakat serta kemajuan teknologi
berperan besar mempengaruhi perubahan fungsi benda-benda tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya dalam konteks seni rupa dunia, istilah seni
rupa tradisional kerap ditujukan kepada karya seni rupa non Barat. Sifatnya
yang mentradisi dan tidak berubah ini menjadi pembeda utama dengan karya
seni rupa Modern yang senantiasa menuntut inovasi dan kebaruan. Ciri lain
dari karya-karya seni rupa tradisional ini adalah latar belakang penciptaan atau
pembuatannya yang senantiasa terikat oleh fungsi atau konteks tertentu. Pada
karya-karya komunal seperti itu, peran ekspresi individu senimannya nyaris
tidak tampak. Hak penciptaan karya seni rupa bukan milik perorangan tetapi
milik masyarakat pendukungnya. Dengan demikian hampir tidak ada karya seni
rupa tradisional yang menggunakan inisial pembuatnya seperti yang umumnya
terdapat pada karya-karya seni Modern.
Karya seni rupa tradisional tersebar luas dari ujung Barat hingga ujung Timur
kepulauan Nusantara (Indonesia). Sejak masuknya kolonialisme barat
(penjajahan bangsa Eropa) ke kepulauan Nusantara dan berkembangnya paham
seni rupa Modern di Eropa, maka karya-karya seni rupa Nusantara di luar
kategori karya yang menggunakan konsep Modern tersebut dikategorikan
sebagai karya seni rupa tradisional. Pengkategorian ini dalam pandangan yang
sempit seringkali digunakan untuk menunjukkan karya seni rupa yang bermutu
tinggi (modern) dengan karya yang bermutu rendah (tradisional). Pengaruh
penjajahan bangsa Barat yang cukup lama di kepulauan Nusantara
menyebabkan pandangan semacam ini terus berkembang yang memandang
karya-karya seni kriya (seni rupa tradisional) lebih rendah dari karya seni lukis
atau patung modern. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan sebagian
masyarakat yang memandang modern identik dengan kemajuan dan
perkembangan sedangkan tradisional identik dengan stagnasi, kuno atau
ketinggalan jaman. Sikap dan cara mengapresiasi yang keliru ini seringkali
menyebabkan karya-karya seni rupa tradisional yang sesungguhnya bernilai
tinggi terabaikan dan terlupakan. Padahal karya-karya seni rupa tradisional
Nusantara ini memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dan
menjadi gagasan dalam berkarya seni rupa. Apresiasi yang tepat diharapkan
dapat menghasilkan inovasi karya-karya seni rupa yang memiliki cirikhas
Indonesia.
B. Karya Seni Rupa Modern
Seni rupa Modern adalah istilah umum yang digunakan untuk kecenderungan
karya seni yang diproduksi sejak akhir abad 19 hingga sekitar tahu 1970 an.
Seni rupa modern menunjuk kepada suatu pendekatan baru dalam seni dimana
tidak lagi mementingkan representasi subjek secara realistik—penemuan
fotograf menyebabkan fungsi penggambaran di dalam seni menjadi absolut,
para seniman modern berksperimen mengeksplorasi cara baru dalam melihat
sesuatu, dengan ide segar tentang alam, material dan fungsi ini, seringkali
bergerak melaju kearah abstraksi.
Istilah Modernisme sendiri menunjukkan ideologi yang mempengaruhi gerakan
budaya, politik dan seni yang menyertai perubahan masyarakat di Barat pada
akhir abad 19 dan awal abad 20. Secara meluas, modernisme dideskripsikan
sebagai satu seri pergerakan budaya progresif dalam seni rupa, arsitektur dan
musik, literatur dan seni pakai yang muncul dalam dekade sebelum 1914.
tercakup di dalam perubahan dan kehadirannya, modernisme menjadi arah
karya seniman, pemikir, penulis dan perancang yang memberikan label baru
tradisi akademi dan sejarah seni pada akhir abad 19 serta mengkonfrontasi
aspek ekonomi, sosial dan politik baru yang dimunculkan dunia modern.
Memahami seni rupa modern dapat juga dengan melakukan analisis terhadap
istilah pembentuknya yaitu ”seni” dan ”modern”. Istilah seni umumnya merujuk
pada segala kegiatan dan hasil karya manusia yang mengutarakan pengalaman
batinnya yang karena disajikan secara unik dan menarik memungkinkan
timbulnya pengalaman atau kegiatan batin pula pada diri orang lain yang
melihat dan menghayatinya. Hasil karya ini lahir bukan karena didorong oleh
hasrat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling pokok, melainkan oleh
kebutuhan spiritualnya, untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat
kemanusiaannya. Dengan batasan seperti ini kita dapat mencoba untuk
menunjukkan benda apa saja yang layak untuk disebut seni dapat masuk ke
dalamnya. Adapun istilah “modern” dalam hal ini tidak selalu harus
dihubungkan dengan waktu. Sarah Newmeyer misalnya, walaupun terasa agak
absurd, menulis dalam bukunya bahwa seni modern itu boleh jadi berupa
gambar bison yang digoreskan 20.000 tahun yang lalu dan boleh jadi juga karya
Picasso yang baru saja diselesaikan pagi ini.‟ Berdasarkan pendapat ini jelaslah
bahwa ia menggunakan istilah modern tidak dalam hubungannya dengan
kronologi melainkan dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kelompok karya
yang memifki sifat-sifat tertentu. Maka sifat-sifat tertentu itulah yang dapat
dipandang sebagal ciri khas seni modem sehingga dengan mudah akan dapat
dikenali mana yang bisa digolongkan dalam seni modern dan mana yang tidak.
Dengan ungkapan itu sesungguhnya artian modern tersebut diperluas tetapi
sekaligus juga dipersempit. Diperluas, karena istilah itu menyangkut juga seni
prasejarah dan dipersempit karena sebaliknya, belum tentu apa yang dilukiskan
sekarang dapat masuk di dalamnya. Apabila kita ingin membenarkan kata-kata
Newmeyer tersebut, dapatlah dikatakan bahwa setidaknya pada saat
diciptakan, seni prasejarah ini memang memifki sifat-sifat modern. Kalaupun
secara kronologis kita akan membatasi daerah seni modern ini dan
menyempitkan pada karya-karya yang diciptakan pada apa yang biasa kita
sebut sebagai jaman modern, kita akan juga mengalami kesukaran, yaitu di
mana menarik garis batasnya; kapan dan di manakah mulainya seni rupa
modern itu. “Modern art begins nowhere because it begins everywhere. It is fed
by a thousand roots, from cave paintings 30,000 years old to the spectacular
novelties in the last week’s exhibitions,” kata Canaday yang kurang lebih
menunjang ungkapan Newmeyer di atas. Semua pencapaian dari masa ke masa
di banyak tempat di dunia ini memberikan andilnya pada pembentukan seni
modern, sehingga susahlah untuk menentukan kapan dan di mana periode seni
rupa modern itu sebenarnya mulai. Maka untuk itu, sekali lagi, kita harus
mempunyai pegangan, kualitas apakah yang paling berharga dalam seni
modern tersebut dan dengan itu mencoba untuk mencari kapan kualitas tadi
mulai ada atau berkembang biak dengan baik (Soedarso, 2000).
Kalau kita mengacu periodisasi sejarah umum di Eropa—dimana sebagian besar
kejadian dalam panggung sejarah seni rupa modern ini berlangsung—maka
babakan sejarah modern Eropa dianggap mulai sejak zaman Renesans pada
abad ke-15 sedangkan sejarah seni rupa modern di Eropa baru pada abad ke19, dengan munculnya tokoh pelukis J.L. David di Perancis yang dianggap
memiliki sesuatu yang dapat disejajarkan dengan kualitas modern tadi. Bahkan
ada pula yang menganggap seni modern Eropa dimulai pada massa yang lebih
akhir lagi.
Seperti telah diuraikan di atas, seni modern pada dasarnya tidak terbatas oleh
hal-hal yang kasatmata seperti objek-objek lukisan tertentu ataupun corak dan
gaya tertentu, melainkan ditentukan oleh sikap batin senimannya. Seni modern
pun, berkat perkembangan komunikasi modern yang menyertai kemajuan
teknologi, tidak kenal lagi akan batas-batas daerah dengan kekhasan tradisinya
masing-masing. Seni modern menjadi universal sifatnya. Walaupun di sana-sini
ada pula terdapat cap-cap daerah atau ada kalanya seni tradisi secara sadar
atau tidak dimunculkan oleh seseorang pelukis modern ke dalam hasil
karyanya, namun kenyataannya kita akan kesulitan untuk dapat menebak dari
mana asal sesuatu lukisan yang dihadapkan kepada kita. “Today the boundaries
are vague Horizons are infnitee the artist is tempted to explore in a hundred
directions at once.” Tulis Canaday pula. Mengenai yang terakhir ini, yaitu
bahwa para seniman modern terangsang untuk menjelajah ke segala arah,
kebenarannya tidak hanya sebatas arah di peta bumi saja, bahwa misalnya
banyak seniman Eropa meninggalkan negerinya untuk mencari objek lukisan
yang lain, tetapi juga karena daerah perhatian mereka itu meluas ke manamana. Bukan hanya pemandangan yang indah dan wanita cantik saja yang ingin
dilukisnya, tetapi juga toilet bekas yang sudah tidak terpakai lagi atau kulit
pokok kayu yang memiliki jenis permukaan atau texture yang unik, atau bahkan
jaringan sel-sel yang hanya dapat diamati melalui mikroskop yang dulu sama
sekali tidak terjamah oleh perhatian seniman, kini menjadi lahan yang subur
bagi objek lukisan para seniman modern. Dengan ini jelaslah bahwa bagi
mereka itu seni modern tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, bahkan di sanasini juga tidak terikat oleh tatabahasa maupun kaidah-kaidah seni yang sudah
mapan. Mereka sanggup menerima segala macam bentuk seni hampir dengan
tiada bersyarat. Batasan-batasan yang dulu ada seperti ikatan tradisi (spirit of
the race) atau ikatan zaman (spirit of the age), demikian juga ketentuanketentuan tentang isi ataupun tema telah disisihkan semuanya.
Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri
khasnya, ialah “kreativitas”. Dan sebuah perkataan ini tercantumlah beberapa
sifat yang merupakan gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan
istilah „modern‟ yang bermuka banyak itu ada pula yang menamai seni modern
tersebut dengan istilah “seni kreatif”. Seorang seniman modern akan melihat
dunia atau bagian daripadanya yang sedang dihadapi sebagai objek dari
lukisannya seolah-olah seperti baru saja objek itu diciptakan. Artinya, seakanakan baru sekali itu saja ia menghayatinya dan baru kali itu pula mencoba
untuk melukisnya, walaupun kenyataannya sudah berkalikali Ia melukiskan
objek tersebut, dan entah telah berapa kali ia melihatnya. Kita tidak tahu sudah
berapa kali pelukis kita yang terkenal, Afandi, melukis potret diriya. Namun
setiap kali kita menatapnya, sekian kali pula kita menemukan sesuatu yang baru
pada karya-karya itu, karena sang pelukis setiap kali selalu menghayati kembali
dan mendapatkan pengalaman baru dalam objeknya, walaupun objek itu adalah
dirinya sendiri. Seorang pelukis lain harus melupakan kuda atau gambar kuda
yang telah seribu kali dilihatnya apabila ia akan melukis seekor kuda. Ia harus
melihat kuda itu dengan mata kepalanya sendiri— atau mata hatinya—dan
memperoleh impresi pertama dari pengalaman tersebut. Sebagaimana kita
ketahui, hasil pengamatan itu amat dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan
serta kesan si pengamat atas objek pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya
yang tentunya berbeda dari tiap pengamat yang lain, dan kiranya juga
dipengaruhi oleh suasana hati Si pengamat itu sendiri ketika Ia sedang
mengamatinya. Yang teràkhir inilah yang menuntut pengamatan itu harus
selalu dilakukan setiap saat seseorang akan berkarya. Dalam hubungannya
dengan keadaan tersebut, kira-kira 100 tahun yang lalu Gustave Courbet, Si
pelopor realisme dari Perancis itu, pernah berharap agar museum-museum
ditutup saja sekurang-kurangnya 20 tahun lamanya agar para seniman muda
tidak sempat berdialog dengan karya-karya yang ada di dalamnya yang
semuanya merupakan hasil pengamatan orang lain. Ia berkeinginan agar apa
yang pernah diciptakan orang tidak mempengaruhi pengamatan pelukis
berikutnya. Mungkinkah itu dan perlukah itu, adalah soal-soal lain yang harus
dijawab lewat ilmu pendidikan seni rupa.
Sikap batin yang demikian itulah yang membedakan seniman modern dan
golongan tradisional ataupun akademik—yang sekarang juqa sudah menjadi
tradisional. Sikap batin yang tidak stereotip, yang selalu ingin akan yang baru
dan yang lain dari pada yang lain. Kreativitas :sangat penting dalam seni
modern, dan dalam kretivitas ini berkembanglah sifat-sifat orijinalitas,
kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Dengan bayaran apapun (yang
kadangkala sangat tinggi, dengan mengorbankan nilai-nilai yang sesungguhnya
masih baik dan masih diperlukan oleh seni yang manapun juga), para seniman
modern amat menghargai dan mengejar-ngejar nilai-nilai tersebut yang singkat
kata dapat disebut sebagai nilai kebaruan atau novelty.
Apabila seorang anak menunjukkan coreng moreng dan mengatakan bahwa itu
adalah gambar anjing atau kucing, maka kiranya itulah konsepnya atas hewanhewan tersebut yang belum sempat “diperbaiki” oleh hubungan anak itu
dengan tradisi dan masyarakat disekitarnya. Karya-karya itu adalah ekspresi
anak tersebut yang masih murni. Seorang-seniman dewasa tidak mungkin
berada dalam keadaan semurni itu karena ia tidak dapat melepaskan diri dari
ikatan sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern
dengan sadar berusaha untuk membebaskan dirinya dari ikatan tersebut dalam
hubungannya dengan tanggapannya terhadap objeknya. Berhasil atau tidaknya
usaha ini tidak selalu identik dengan keberhasilan karya seninya. Maka usaha
dan sikap batin itulah yang harus menjadi ukuran, bukan sematamata hasil
usahanya. Sekalipun tidak sedikit yang mendiskreditkan seni lukis yang
realistik dan lingkungan seni modern, namun bertolak dari pendapat di atas
tentunya ada juga lukisan yang bergaya realistik itu yang dapat digolongkan
dalam seni modern, yaitu apabila sikap batin si seniman dalam melukisnya
dapat dikembalikan kepada watak seni modern di atas; yaitu apabila si seniman
tidak bertindak stereotip dan selalu mengadakan pengamatan dahulu sebelum
melahirkan karya realistiknya. Perlu ditekankan bahwa bagaimanapun juga
lukisan atau hasil seni yang lain itu selalu merupakan interpretasi si seniman
dalam menanggapi objeknya. Baik hasil seni itu merupakan suatu taferil yang
secara perspektip dapat dipertanggungjawabkan ataukah bercorak dekoratif ala
Mesir kuna, keduanya adalah interpretasi juga. Pada suatu saat seorang
sehiman menggunakan imajinasi atau visinya untuk menangkap objek
lukisannya sehingga terjadilah “perspektif susun timbun” seperti yang ada di
Mesir kuna itu, tetapi pada saat lain ia menggunakan ketajaman matanya yang
kemudian ternyata menjadi pendorong diketemukannya perspektif di zaman
Renesans. Namun keduanya jelas tidak berhasil dalam memberikan kepada kita
“realitas” objeknya secara total; yang satu mengikuti ide atau pengertiannya
tentang objek itu dan dengan demikian terjadilah karya yang ideoplastik yang
secara visual tampak tidak wajar, dan yang lain menganakemaskan matanya
membentuk suatu lukisan yang lebih “enak” dipandang mata (visioplastik)
walaupun masih belum terhindar dart “kesalahan”. Dapat disaksikan misalnya,
meja yang bujur sangkar menjadi tidak sama lagi panjang sisi-sisinya, sudutsudutnya tidak 90° tetapi ada yang tumpul dan ada yang runcing, dan kakinya
yang empat seningkali hanya kelihatan tiga. Dalam sebuah gambar
pemandangan sering terlihat tiang-tiang listrik yang sama tingginya tergambar
tidak sama tinggi; makin jauh jaraknya dan taferil ukurannya menjadi makin
pendek. Akibat luasnya daerah seni modern itu maka variasi yang terdapat di
dalamnya pun tak terhingga pula jumlahnya, sehingga tidak mungkin untuk
memasukkannya ke dalam suatu difnisi yang formal.
Pada saat semua objek yang kasatmata ini mulai mengering dan makin susah
menawarkan hal-hal baru yang menarik, kreatif, dan lain dan pada yang lain,
maka perkembangan ilmu jiwa dalam ala Freud (Sigmund Freud) menampilkan
lahan baru yang tidak kering-keringnya, yaitu dunia imajinasi manusia. Dunia
baru ini tidak ada batasnya, kecuali batas kemampuan manusia untuk
mengedarinya atau batas kneativitas seniman untuk menemukan inovasinya.
Sementara itu, penemuan teknik fotograf dalam satu hal telah mengurangi
daerah gerak seni lukis, karena fotograf yang dengan cepat dan tepat mampu
merekam objek itu menggantikan sebagian fungsi seni lukis yaitu fungsi
dokumentatif dan fungsi menyajikan presentasi realistik bagi objek-objeknya.
Sejak berkembangnya fotograf tersebut seni lukis tidak lagi dibebani dengan
fungsi sosial berupa penggambaran secara visual ataupun pembuatan gambargambar ilustratif untuk bermacam tujuan. Namun perlu juga diingat bahwa di
lain pihak fotograf telah sempat pula memperluas daerah jelajah seni lukis.
Banyak teknik-teknik melukis di zaman teknologi tinggi ini yang menggunakan
pertolongan fotograf. ilustrasi – ilustrasi tertentu sekarang ini memang masih
ada yang dikerjakan dengan tangan, tetapi itupun sudah disenimodernkan,
artinya, kekreatifan diperlukan juga di dalamnya, sedangkan yang betul-betul
memerlukan ketepatan presentasi objek lebih baik disajikan saja dengan
menggunakan kamera. Maka oleh karena itu timbullah kemudian perbedaan
antara “representasi” dengan “interpretasi”, antara citra dan lambang, yang
merupakan fondasi yang kuat untuk menelaah perkembangan seni modern.
Dari masa lampau kita mengenal adanya patronage (patron) dalam seni, yaitu
perlindungan terhadap seni yang diberikan oleh tokoh-tokoh penguasa atau
gereja demi kelangsungan perkembangannya. Pasang surutnya kemampuan
pelindung atau penunjang seni ini dalam melakukan fungsinya besar sekali
pengaruhnya dalam perkembangan seni modern. Misalnya, apabila pada masa
kejayaannya patron-patron seni tersebut adalah diktator-diktator seni yang bisa
memaksakan arah perkembangan seni karena merekalah yang membiayainya,
maka kini sebaliknyalah yang terjadi; mereka itu yang harus tunduk pada
kemauan para seniman. Pada zaman modern ini seniman tidak lagi menunggu
uluran tangan mereka yang memiliki uang untuk menciptakan karyanya.
Mereka mampu membiayai sendiri ciptaan-ciptaannya. Hal ini dimungkinkan
pula antara lain oleh makmn populernya seni-seni kecil semacam lukisan
ukuran esel (easel-painting) atau patung dada ukuran sebenarnya (life size),
yang biayanya relatif murah dan dapat diusahakan sendiri oleh para seniman
penciptanya, sehingga karenanya mereka dapat melepaskan diri dari
ketergantungannya pada seorang pelindung. Sebagaimana diketahui di masa
lampau, pada saat keemasan agama atau di waktu kejayaan kekaisaran yang
absolut, yang berkembang sangat menonjol adalah jenis kesenian kolosal,
lukisan dinding yang besar-besar, arsitektur istana dan gereja, maupun patungpatung besar yang disejajarkan dengan kebesaran para pendukungnya yang
tidak mungkin di usahakan sendiri oleh senimannya. Dengan demikian si
sponsor ini menjadi penentu kemana seniman atau karya seni akan di arahkan.
Pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 merupakan titik akhir dan
kekuasaan feodalisme di Perancis yang pengaruhnya terasa juga pada bagianbagian dunia lainnya. Demikian pula revolusi ini ternyata tidak hanya
merupakan perubahan tata politik dan tata sosial saja, tetapi juga menyangkut
kehidupan seni, karena dengan ini berarti berakhir pulalah pengaruh raja atas
kehidupan dan perkembangan seni. Jauh sebelum itu antara gereja dan seniman
telah pufa terjadi keretakan hubungan yang di satu fhak disebabkan oleh
kemunduran fungsi dan daya tarik gereja di masyarakat sejak zaman Renesans
dan di lain fhak karena dunia seni telah menemukan tuannya yang baru, yaltu
raja dan para bangsawan yang merupakan penguasa-penguasa dan pemilik
harta sejak kemerosotan fungsi gereja. tersebut. Oleh karena itu kini para
seniman menjadi tokoh-tokoh yang bebas, melayang-layang tanpa tambatan.
Mereka tidak punya lagi fungsi yang terang dalam tatà sosial yang baru itu.
Maka lambat laun terbentuklah kelompok baru dalam masyarakat, ialah
kelompok seniman. Sedikit demi sedikit mereka mulai mencipta semata-mata
memperturutkan panggilan hati masing-masing, melukis bukan karena ada yang
meminta atau memberi tugas, melainkan semata-mata karena ingin melukis
saja. Maka dengan demikian mulailah riwayat seni lukis modern dalam sejarah
yang ditandai dengan individualisasi dan isolasi diri ini.
C. Karya Seni Rupa Kontemporer
Selain berdasarkan medianya, kesenian juga dapat digolongkan berdasarkan
sifatnya, yakni dengan seni kontemporer dan klasik. Seni klasik yang dimaksud
adalah kesenian yang diasosiasikan pada puncak penciptaan seni tertinggi pada
suatu masyarakat. Sedangkan dalam seni kontemporer, sifat kesenian
dihubungkan dengan penciptaan kekinian dan tengah mengalami proses
perkembangan.
Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti apaapa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000).
Walaupun demikian istilah “seni rupa kontemporer” ternyata tidak dapat begitu
saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat kekinian seperti dijelaskan di atas.
Istilah seni rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya masih menimbulkan
perdebatan, terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk untuk
menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian
kontemporer semakin menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut
digunakan untuk menunjuk pada praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai
perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya secara leksikal menerangkan
kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer yang
dipengaruhi wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya
era modernisme dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini
memunculkan terminologi baru yang kemudian dipakai dalam praktek seni rupa
di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post modernisme). Penggunaan
istilah posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena kompleksitas dan
keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga lebih banyak digunakan
istilah seni rupa kontemporer (contemporary art). Walaupun demikian, istilah
ini masih mendatangkan masalah karena tidak mengarah pada pengertian seni
rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah dengan pengertian contemporary yang
secara leksikal sama dengan pengertian modern yang berarti juga ”masa kini”
(A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek
seni rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada
kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam
praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu
paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak
modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat
universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi,
individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta penolakan (pelecehan) non-Barat. Sifatsifat modern ini pada perkembangannya seolah-olah mengesampingkan
berbagai produksi kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah dari seni
modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh penganut
seni rupa posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak mengakui karya seni
rupa tradisonal yang dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya seni rupa
yang sejajar dengan karya seni rupa modern.
Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan
semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan
batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa
selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotakkotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafs” nyaris
diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan
karya-karya dengan media-media inkonvensional serta lebih berani
menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik (Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer seperti
telah disebutkan di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan konteks kekinian
tidak dapat diabaikan begitu saja. Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa
kontemporer dapat dipandang sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya
dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefeksi kondisi yang mewarnai
keadaan zaman ini tempat “budaya global” menyeruak, yang menebarkan
banyak pengaruh yang menjadi penyebab berbagai perubahan dan
perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam tulisan
ini dapat dipakai untuk menunjukkan wacana seni anti modernisme yang
mengagung-agungkan universalisme, menggunakan medium inkonvensional,
berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi yang baku,
meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan sosial,
ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini diwarnai dengan
keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan pengaruh terhadap
perubahan dan perkembangan yang bersifat kultural.