MAKALAH UTS DAN FILSAFAT ILMU.docx

TUGAS FALSAFAH SAINS (UTS)
ANALISIS PERUBAHAN PARADIGMA
PERTANIAN AGRIBISNIS
MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN
SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA

OLEH
IDAWATI (I 361160031)

PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

I

1.1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang


Filsafat Ilmu menyatakan bahwa perubahan pola hidup manusia dari waktu
ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan
ilmu. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa kemasa adalah ibarat mata rantai
yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang yang ditemukan pada suatu
masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa
berikutnya.
Kuhn dalam Rizal Mustansyir menyatakan bahwa perkembangan ilmu dan
kemajuan

ilmiah

bersifat

revolusioner,

bukan

kumulatif.


Kuhn

lebih

mementingkan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya. Revolusi ilmiah
atau ilmu disini pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang
terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah. Dalam struktur
perkembangan atau revolusi keilmuan Kuhn dalam Syafaruddin memperjelas dan
mendefinisikan paradigma sebagai apa yang dibagi anggota masyarakat keilmuan
dan sebaliknya masyarakat ilmiah berisikan orang-orang yang membagi
paradigmanya. Paradigma keilmuan inilah yang kemudian terjun ke realisme
ilmiah dengan memahami hakikat ada, sumber pengetahuan dan nilai yang ada
dalam pengetahuan.
Seiring perkembangan dan kemajuan ilmu dalam pembangunan pertanian
mengalami beberapa proses kemajuan. Filsafat ilmu dalam pertanian adalah ilmu
yang mempelajari bagaimana mengelola tanaman, hewan, dan ikan serta
lingkungannya

agar


memberikan

hasil

secara

maksimal.

Berdasarkan

spesifikasinya ilmu pertanian dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar
yaitu ilmu tanaman yang mempelajari khusus tanaman, ilmu peternakan yang
mempelajari khusus ternak, dan ilmu perikanan yang mempelajari khusus ikan
dan hewan air. Pertanian dimulai pada saat manusia mulai mengamati perilaku

tanaman, hewan, dan ikan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangannya.
Paradigma pertanian subsisten yang awalnya hanya merupakan pertanian yang
dilaksanakan dengan pendekatan komoditas (Kasrino dan Suryana, 1992).
Pendekatan


ini

dicirikan oleh

pelaksanaan

pembangunan

berdasarkan

pengembangan komoditas secara sendiri-sendiri (parsial ) dan berorentasi pada
peningkatan produksi. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pembangunan sektor
pertanian selama ini memberikan hasil yang sangat menakjubkan, terutama dalam
memacu pertumbuhan produksi yang dibuktikan dengan tercapainya swasembada
beras. Keberhasilan

program

peningkatan


produksi

pertanian

terutama

beras, kelapa sawit, kakao,udang, ayam buras dan pedaging serta telur antara lain
disebabkan oleh: keadaan pasar berbagai komoditas tersebut dalam situasi exees
demond, dukungan paket teknologi maju, sumber daya alam yang tersedia, sumber
dana tersedia dengantingkat bunga disubsidi dan dana untuk investasi prasarana
dan sarana ekonomi oleh pemerintah dan komitmen pemerintah.
Namun pendekatan komodite untuk masa yang akan datang kurang memadai lagi,
karena adanya indikasi: kejenuhan atau keterbatasan pengembangan pasar
(permintaan), keterbatasan ketersediaan sumber pertanian, dan investasi dan
mulaimelandainya kenaikan produktivitas. Oleh karena itu diperlukan reorentasi
pembangunan

pertanian


dimasa

mendatang.

Hal

ini

diperkuat

lagi

dengan pelaksanaan desentralisasi dan pemerataan pembangunan berkelanjutan
yang lebih dimatangkan.
Berdasarkan uraian di atas, komoditas sudah tidak lagi cocok diterapkan
dalam pembangunan pertanian selama ini, hal ini merupakan konskwensi logis
masuknya globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan international
yang sangat ketat dan bebas. Perekonomian nasional akan semakin diregulasi
melalui pengurangan subsidi, dukungan hargadan berbagai prestasi lainnya.
Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisienmerupakan pijakan

utana bagi kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan itupartisipasi dan
kemampuan

wirausaha

petani merupakan

kunci

keberhasilan

pembangunanpertanian. Disamping itu usahatani dan petani semakin tergantung

dengan usaha lainnyamaupun dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Dengan
kata lain

persaingan

dengan


berbagai

komoditas

terhadap

penggunaan

sumberdaya pertanian akan semakin tinggi.
Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk
menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur
adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di
Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian
harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh,
tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius
dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur
nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem
pertanian.
Paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang

berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran
umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk
di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi,
sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan.
Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian
yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan
ideologis dan normatif. Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral
terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya
ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya
digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian,
yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat
melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing,
berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.

1.2.

Rumusan Masalah
Melihat paradigma pertanian kita dari pertanian berpindah-pindah,

pertanian subsisten hingga pertanian agribisnis terdapat beberapa masalahmasalah yang muncul baik dari pelaku utama dengan kondisi usaha taninya

maupun berkaitan dengan pengambil kebijakan sehingga merasa perlu untuk
dilakukan analisa sejauh mana paradigma tersebut berfungsi sesuai tujuan ilmunya
ataupun melahirkan masalah-masalah baru, sehingga perlu dilakukan kajian
kebenaran atas paradigma agribisnis dengan rumusan :
1. Bagaimana teori, konsep dan aplikasi paradigma lama pertanian agribisnis
secara filsafat ilmu.
2. Bagaimana perubahan teori, konsep dan aplikasi paradigma lama yang
mampu mengatasi dan melengkapi permasalahan paradigma pertanian
agribisnis sesuai kebutuhan globalisasi secara filsafat ilmu.
1.3.

Tujuan Penelitian
1. Menganalisis teori, konsep dan aplikasi paradigma lama pertanian
agribisnis secara filsafat ilmu
2. Menganalisis perubahan teori, konsep dan aplikasi paradigma lama yang
mampu mengatasi dan melengkapi permasalahan paradigma pertanian
agribisnis sesuai kebutuhan globalisasi secara filsafat ilmu.

II TINJAUAN PUSTAKA


2.1.

Sejarah Perkembangan Pertanian
Berdasarkan sejarah perkembangannya pertanian dapat diklasifikasikan

menjadi 4 golongan yaitu :
1.

Pemburu dan pengumpul. Manusia pertama hidup di daerah hutan tropik di
sekitar laut Cina Selatan yaitu bangsa Alitik (prapaleolitik) yang merupakan
kelompok manusia pengumpul makanan dan berburu serta menangkap ikan.
Sebagai contohnya adalah suku Semang, suku Kubu dan Sakad di
Semenanjung Malaya, Sukum Andaman dan Aeta di Filiphina, suku Toala di
Sulawesi, suku Punan di Kalimantan dan suku Tasadai di Mindanau Selatan.
Manusia pengumpul dan pemburu bersifat nomadik (berpindah-pindah) tetapi
tidaklah mengembara tanpa tujuan di dalam hutan. Setiap kelompok
mempunyai wilayah tertentu antara 20-25 Km2 . Mereka bertempat tinggal di
goa-goa atau tebing batu. Mereka juga telah banyak mengetahui jenis-jenis
tanaman

dan

habitatnya

serta

kegunaannya.

Pengetahuan

untuk

menghilangkan racun dari bahan makanan dan cara mengawetkannya juga
sudah mereka kuasai. Sebagai contoh biji sebelum dimakan direndam dalam
air kemudian dimasukkan ke dalam bambu dan dibenamkan ke dlaam tanah
selama sebulan lebih.
2.

Pertanian Primitif .Ketika manusia pengumpul dan berburu mulai berusaha
menjaga bahan makanan maka mulai terjadi suatu mata rantai antara periode
pengumpul dan berburu dengan pertanian primitif. Orang-orang Semang yang
suka makan buah durian akan tinggal di dekat pohon durian untuk mencegah
monyet dan binatang-binatang lain menghabiskan buah durian. Mereka juga
menanam kembali batang dan sulur umbi liar yang umbinya telah mereka
ambil, sehingga dapat tumbuh kembali. Tindakan ini adalah satu langkah
menuju

pertanian

primitif.

Setelah

berabad-abad

lamanya

wanita

mendapatkan pengetahuan yang baik tentang kehidupan tumbuh-tumbuhan.
Edward Han dan beberapa sarjana lainnya menganggap wanita adalah

penemu cara penanaman dan penghasil bahan makanan yang pertama. Han
menamai pertanian primitif sebagai Hackbau (Hoe Culture atau Hoe Tillage
= pertanian pacul atau pertanian bajak). Dia menganggap pacul adalah alat
kerja wanita, sedangkan bajak alat kerja pria. Teori Han yang pertama
menyatakan wanita adalah yang pertama memulai penanaman mungkin dapat
diterima tetapi pendapatnya tentang perbedaan antara pertanian primitif dan
pertanian yang lebih maju berdasarkan alat kerja yang digunakan apalagi
dihubungkan dengan jenis kelamin tidaklah dapat diterima meskipun di
beberapa daerah atau negara banyak wanita yang bekerja sebagai petani.
Perbedaan yang fundamental antara pertanian primtif dengan pertanian yang
lebih maju adalah dalam hal penggunaan lahan. Petani-petani primitif, bertani
secara berpindah-pindah. Sebidang tanah ditanami sekali sampai 2 kali
kemudian ditinggalkan dan mereka mencari tanah baru untuk ditanami dan
seterusnya. Sehingga sistem pertanian ini disebut huma atau ladang
berpindah.
3.

PertanianTradisional
Pada pertanian tradisional orang menerima keadaan tanah, curah hujan, dan
varietas tanaman sebagaimana adanya dan sebagaimana yang diberikan alam.
Bantuan terhadap pertumbuhan tanaman hanya sekedarnya sampai tingkat
tertentu seperti pengairan, penyiangan, dan melindungi tanaman dari
gangguan binatang liar dengan cara yang diturunkan oleh nenek moyangnya.
Peternakan merupakan penjinakan hewan-hewan liar untuk digunakan tenaga
dan hasilnya. Sedangkan perikanan merupakan hasil penangkapan dan
pemeliharaan secara sederhana serta tergantung pada kondisi alam.

4.

Pertanian Progresif (Modern). Manusia mengguanakan otaknya untuk
meningkatkan

penguasaannya

terhadap

semua

yang

mempengaruhi

pertumbuhan tanaman dan hewan. Usaha pertanian merupakan usaha yang
efisien, masalah-masalah pertanian dihadapi secara ilmiah melalui penelitianpenelitian, fasilitas-fasilitas irigasi dan drainase dibangun dan dimanfaatkan
untuk mendapatkan hasil yang maksimum, pemuliaan tanaman dilakukan
untuk mendapatkan varietas unggul yang berproduksi tinggi, respon terhadap

pemupukan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta masak lebih
cepat. Susunan makanan ternak disiapkan secara ilmiah dan dikembangkan
metode berbagai macam input dilakukan secara ilmiah dan didorong motivasi
ekonomi untuk mendapatkan hasil dan pendapatan yang lebih besar. Hasil
pertanian dalam bentuk bulk (lumbung) diolah untuk mendapatkan harga
yang lebih tinggi. Cara pengawetan hasil pertanian dikembangkan untuk
menghindarkan kerusakan dan mendapatkan nilai yang tinggi.
2.2.

Paradigma Pertanian Agribisnis
Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah

menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan
semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga
utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani)
dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan
UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan
program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliahkuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade
terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati “agama” baru bahwa
“farming is business”. Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap
lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya
pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi
agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari
keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk
pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun
adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja
keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk
mencapai efisiensi tertinggi.
Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan
kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih
mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang

menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah paradigma semestinya lahir dari
akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu.
Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan
paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?.
Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam,
yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di
wilayah mereka?. Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma
agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai
dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya
mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya
untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan
bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri
sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah
anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat,
yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau
peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.

III

METODE DAN BAHAN

Menganalisis perubahan peradigma lama secara teori, konsep dan aplikasi
secara filsafat ilmu dan kemajuan ilmiah baik secara ontologi, epistemologi dan
aksiologi dalam perkembangan pembangunan pertanian dengan melihat kelebihan
dan kekurangannya dengan pengujian aplikasi lapangan disertai dengan pendapatpendapat para ahli pertanian dari paradigma teori pertanian agribisnis dengan
mencari paradigma baru yang dapat melengkapi kekurangan dari paradigma lama
tersebut.
Menganalisis sejarah perkembangan pertanian dari awal hingga lahirnya
kebutuhan globalisasi dengan mereviev jurnal-jurnal pertanian, teks book, ebook,
artikel-artikel, aplikasi lapangan dan pengetahuan dasar penulis.

IV. ANALISIS PERUBAHAN PARADIGMA LAMA SECARA
FILSAFAT ILMU

4.1.

Identifikasi Pertanian Agribisnis secara Filsafat Ilmu

4.1.1. Paradigma ilmu lama kita :
-

Ontologi (Teori Lama/Paradigma Lama Kita) :
Davis dan Goldberg (1957) mendefinisikan agribisnis sebagai berikut:

Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and
distribution off-farm supplies, production activities on the farm, and storage,
processing and distribution off-farm, commodities and items from them.
Definisi di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud agribisnis mencakup
keseluruhan kegiatan mulai dari memproduksi dan distribusi input sampai dengan
distribusi hasil pertanian. Perhatikan bahwa on farm, atau usahatani, sebagai
kegiatan yang sering disebut secara umum sebagai pertanian, hanya merupakan
salah satu bagian dari agribisnis. Jika halnya demikian, agribisnis harus melihat
pertanian secara menyeluruh, bukan hanya melihat kegiatan menghasilkan
produk-produk pertanian di tingkat usahatani.
Pembangunan agribisnis yang dimaksud adalah pembangunan agribisnis
sebagai satu

kcsatuan sistcm secara sirnultan

Pembangunan

agribisnis

dcngan

demikian

subsistem agribisnis hulu, yaitu kegiatan
sarana produksi

dan

mencakup

harmonis.
pembangunan

ckonomi yang menghasilkan

pertanian seperti industri bcnih atau bibit, industri

agrokimia,

dan

agribisnis

usahatani

industri

agrootomotif:

subsistem

atau primer (on-farm), yaitu kegiatan

yang menggunakan

sarana

komoditas

primer; subsektor

pertanian

pembangunan

produksi

pertanian
agribisnis

ekonomi yang mengolah komoditas pertanian

untuk

ekonomi

menghasilkan

hilir yaitu kegiatan

primer menjadi

produk

produk olahannya,
beserta

kegiatan

agribisnis

pemasaran

pendukung,

menyediakan
agribisnis

baik sebagai produk antara

jasa

lainnya,

pengembangan,

yaitu
yang

perdagangannya:

kegiatan

yang

dibutuhkan

misalnya

kebijakan

atau

perbankan,

pemerintah,

maupun produk akhir,

oleh

menghasilkan

atau

subsistem-subsistem

transportasi,
maupun

subsektor

penelitian

penyuluhan

dan

dan jasa

konsultan.
Pembangunan

agribisnis

baru untuk memandang

sebagai suatu sistem merupakan

pembangunan pertanian

cara

maupun pembangunan

perekonomian nasional secara keseluruhan. Berbagai masalah pembangunan.
Seperti peningkatan pendapatan, pembukaan kesempatan kerja, pemerataan
pembangunan dan pendapatan, penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan,
stabilitas ekonomi, masalah kelestarian lingkungan dan lain-lainnya dapat
dipecahkan melalui pembangunan sistem agribisnis. Dengan demikian strategi
industrialisasi melalui pembangunan sistem agribisnis akan sesuai jiwa trilogi
pembangunan.
-

Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)
Adanya backward

linkages dan forward

linkages sektor

pertanian

menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dari sektor-sektor
lainya. Peranan sektor pertanian menjadi lebih besar jika dinilai dalam konteks
adanya keterkaitan ke belakang dan ke depan tersebut. Jika sektor pertanian tidak
berkembang dengan baik, maka tidak akan ada kebutuhan terhadap pupuk, obatobatan, dan peralatan pertanian. Hubungan ini yang disebut keterkaitan ke
belakang (backward lingkages) dari sektor pertanian. Keterkaitan antara pertanian
dengan pengolahan hasil, disebut sebagai keterkaitan ke depan (forward linkages).
Agribisnis memandang sektor pertanian secara utuh, bukan hanya sektor primer
tetapi mulai dari kegiatan pertanian yang menyediakan input sampai dengan
kegiatan pertanian dalam pengolahan hasil pertanian, pemasaran, dan jasa
penunjang pertanian (agriservices). Dengan cara pandang seperti ini maka

kontribusi sektor pertanian dalam pengertian agribisnis menjadi sangat besar. Di
waktu yang akan datang, peran sektor pertanian dalam pengertian agribisnis
menjadi semakin besar. Perubahan cara pandang di atas mempunyai konsekuensi
bahwa pertanian bukan sebagai way of life atau gaya hidup. Pertanian merupakan
bagian dari kegiatan bisnis besar yang mempunyai prospek yang baik. Pertanian
merupakan kegiatan produktif menghasilkan produk pangan dan serat dengan
memanfaatkan sumber daya pertanian seperti tanah, air, hara tanah, sinar
matahari, dan lain-lain.
-

Aksiologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)
Pengertian agribisnis yang paling banyak dijadikan acuan selama ini

adalah pengertian agribisnis yang dikemukakan oleh John Davis dan Ray
Goldberg (Davis and Goldberg, 1957). Menurut Davis dan Golberg (1957),
agribisnis dipandang bukan hanya kegiatan produksi di usahatani (on-farm), tetapi
termasuk kegiatan yang di luar usahatani (off-farm) yang terkait. Pemahaman
yang sama juga dikemukakan oleh Downey and Erickson (1989), Downey and
Trocke (1981), bahwa agribisnis meliputi kegiatan di usahatani dan di luar
usahatani yang terkait dalam pengadaan input pertanian, pengolahan hasil dan
pemasaran hasil.
4.1.2. Ketidakpuasan Dengan Paradigma Lama
Paradigma Agribisnis yang Keliru
Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas
pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak
petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi
pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas
tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa
pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar
dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap

kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan
orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong
(sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan
saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan
nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal. Sehingga perencanaan terhadap
perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak
perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang
tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai
moral,

degradasi

lingkungan,

berkembangnya

paham

kapitalisme

dan

individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh.
Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan
paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam
skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani
(perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem
nilai/budaya

berbeda

yang

lain

sekali

dengan

Petanikita.

Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika
usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50%
dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank rata-rata hanya
sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah
semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang
dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian
terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian)
Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan
lebih menguntungkan ketimbang agriculture. Itulah yang terjadi dengan PT
QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk
menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT
QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homoekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima
keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih
besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga
seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang

Amerika

sama

saja”,

mereka

sama-sama

“makhluk

ekonomi”.

Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu
kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya
petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu
pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya
kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem
nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya
untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat
sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka
sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian.
Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi
peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi
kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan
struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi,
produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat
kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita
lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald
dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha
tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor
yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun
1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah
yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik,
gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.
Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan
pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut?
Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness
dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika
departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan
Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Ameri ka
tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming
(bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di

Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti
usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap
merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia
menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.
Dari

sudut

Indonesia untuk
Struktur

pandang

kelembagaan,

hampir

semua

yang tersekat-sekat

pembangunan agribisnis
tersekat-sekat
Pertama,

pertanian) dan
pertanian

bergerak

tersekat·sekat.
agribisnis

hal

sebagai

pada

hanya

yang

berikut :

kartel.

dikuasai

petani. Petani

(pengoIahan

oleh pengusaha
hanya

subsistem agribisnis penghasil produk primer.

Kedua,

ada hubungan

oleh hubungan

yang

organisasi

pasar

sepenuhnya kompetitif.

pengusaha

hilir

sepenuhnya

diikat

tidak

agribisnis

dan perdagangannya)

antar subsistem agribisnis tidak
juga

Struktur

beberapa

subsistem

menengah dan besar yang bukan

dan

masih

di

menjadi penghambat utama

di Indonesia.
oleh

agribisnis

subsistem agribisnis hulu (produksi dan perdagangan sarana

produksi
hasil

kornoditas

ini tentunya

ini dicirikan

struktur

produk
Ketiga,

fungsional

antara

yang

adanya

asosiasi

bersifat horizontal dan cenderung berfungsi sebagai

Berbagai asosiasi pengusaha ini dapat ditemui pada subsistem

agribisnis

hulu

agribisnis

maupun subsistem

dilayani

(Pertanian,

oleh

Kehutanan,
memiliki

berbagai

kebijakan

integratif

dan

selaras

paling sedikit
Koperasi

hilir.

lima

Perindustrian dan

Kerja dan Transmigrasi,
ini tentunya

agribisnis

Keempat,

departcmen

teknis

Perdagangan,

dan PPK).

Berbagai

Tenaga
departemen

visi ataupun mandat yang berlainan, sehingga
yang

ditujukan pada

satu

dengan

agribisnis

belum

tentu

dari

sudut

lainnya dipandang

agribisnis sebagai suatu sistem.
Struktur
menyulitkan upaya
dimaksudkan

agribisnis

yang

tersekat-sekat

pembangunan
untuk meningkatkan

ekonomi petani yang terbatas pada

tersebut

pertanian
pendapatan

subsistent

akan
yang

petani.

agribisnis

Porsi
usahatani

rnenjadikan

peluang

untuk meningkatkan

pendapatannya

keeil. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan
(a)

Dalam

subsistem

sistem

agribisnis, nilai tambah

agribisnis

hulu dan subsistem

berada

di an tara

pasar

sarana

menghadapi
Keadaan

kedua pasar

yang demikian

produktivitas

agribisnis

Manfaat

infrastruktur

pedesaan,

pcrkreditan

yang

usahatani

ekonomi,

selalu dalam

yang

kalah.

peningkatan

berarti
baru,

subsidi harga produksi,

pada

Petani dalarn

posisi

pengernbangan teknologi

struktural

pada

agribisnis yang

yaitu

peningkatan
pengembangan

dan

subsidi

mcningkatkan

melalui

produktivitas

sedikit manfaatnya pada petani.

Permasalahan
juga berakibat

(b) Petani

ini me nyebabkan upaynupava

ditujukan untuk

relatif

berada pada

petani monopsonistik.

tersebut

itu, yaitu:

hilir.

ditingkat petani tidak secara otomatis

pendapatan.

transrnisi

yang terbesar

dua kekuatan eksploitasi
produksi

untuk

relatif

yang

lernahnya

daya

tersekatsekat

dan masalah

marjin

dihadapi

agribisnis

saing

dapat

agribisnis,

sepcrti

tidak

sirnetris. informasi

perubahan

dapat

sampai dengan

Struktur

menciptakan

ganda. Masalah

dalarn berbagai bentuk,

tersebut

rnisalnya

transmisi

transmisi

preferensi

baik ke arah subsistem

masalah
ini terjadi
harga

konsumen
hulunya,

yang

yang tidak
serta

adanya

inkonsistensi mutu produk sejak dari hulu sampai ke hilir dalam sistem
agribisnis. Lebih jauh
inovasi berjalan

lagi, struktur

lambat

marjin ganda di agribisnis
yang jauh di atas
subsistem
ganda

disetiap

subsistem

terjadi

melalui

pada

kondisi

harga

yang tersekat·sekat

ini adalah harga

yang tersekat-sekat

pokok

menjadi

relatif tinggi, sehingga

Masalah

transmisi

dan masalah

daya

agribisnis. Sedangkan

praktek

penetapan

kompetitifnya

tersebut. Dampak
penjualan

menjadikan

nyata

produk

saingnya

harga

di setiap
dari

akhir

agribisnis

menjadi

marjin ganda juga berdampak

bagi investasi

dibidang agribisnis,

menyebabkan

naiknya resiko usaha.

karena

masalah

marjin

tersebut

rendah,
buruk
dapat

Penataan

dan

perlu diarahkan

pengembangan

pada

mengembangkan struktur
mengikuti
secara

dua

vertikal

ini memungkinkan

subsistem
memudahkan

daya

mengembangkan
nilai tambah

saing

Secara

Pertama,

secara

dan

yang

saling

bisnis pctani
petani

hulu
satu

vertikal

akan

ditujukan

pada

yang

kualitas. Kedua,

agar

mampu

ada di subsistcm hulu maupun
individu

dari

mendukung

lainnya. Intcrgrasi
manajemen

vertikal

terintegrasi

agribisnis

dan peningkatan

organisasi
yang

yaitu:

agribisnis

efisien

penerapan sistem

peningkatan

nasional

terintegrasi

subsistem

dengan subsistem

agribisnis

pokok,

yang

Struktur

sampai hilir dikelola dengs"

ngribisnis.

sasaran

agribisnis

aliran produk,

struktur

mcmperoleh

hilir dari sistem

akan sulit merebut

nilai tambah

tcrsebut.
Keberhasilan
juga oleh arah

pembangunan

kebijakan

ekonomi

diarahkan pada industriahsasi
yang kuat, seperti

makro.

subst.itusi

kebijakan kebijakan

mnkro

agribisnis. Berbagai

kebijakan

sering

makro

harga

melahirkan
perkembangan

diarahkan

kem ud ian secara

distorsi

yang

basis sumbcrdaya

mengharnbat

ekonomi

ditentukan

Pembangunan

impor,

yang

yang

langsung menyebabkan

di Indonesia

yang t.iriak memiliki

md ustri

menopang industrtalisasi

agribisnis

langsung
yang

untuk
atau

tak

menghambat

perkernbangan agribisnis.
Kebijakan

nilai tukar Rupiah yang secara artifisial

yaitu sebelum

Indonesia

satu contoh

bagaimana

menghambat agribisnis.

mengalarni

kebijakan
Nilai tukar

menguntungkan industri-industri
irnpor untuk dipasarkan
atau
untuk

menyebabkan

kuatnya

daya saingnya

merupakan

salah

makro

dapat

ekonomi

Rupiah yang dibuat

yang menggunakan

di pasar domestik.

sektor yang menggunakan
pasar ekspor,

krisis moneter,

dibuat kuat,

bahan
nilai
melemah,

bahan

Sebaliknya

baku domestik
tukar

mata

Agribisnis

kuat akan
baku dari

bagi industri
dan diarahkan
uang
pada

dapat
dasarnya

menggunakan
banyak

bahan baku

produknya

internasional,
dibuat

yang

yang dimaksudkan

sehingga nilai tukar

kuat

tarn

industri yang bersifat

substitusi

proteksi menjadi
industri yang

ke

memberikan
yang

usaha.

yang

kesulitan memperoleh

modal

Kebijakan industrialisasi

industrialisasi

insentif

agribisnis

dan pertanian pe nghasil produk primer.
ckonomi

menopang industrralisasi
negatif bagi

pedcsaan. Berbagai
untuk menopang
substitusi impor.

makro

sumberdaya

kemudian

basis

strategi

investasi

ataupun

luas

ataupun

dan memporrnudah

juga

dibangun
yang

telekomunikasi
jalannya

untuk
berd ampak

perkotaan

perkotaan.

dan

Akibatnya, perkembangan fasilitas

pernbangunan

lcbih

diarahkan
untuk

bcrlokasi

di

Hp.J'bagai

sarana

dibangun

untuk

bisnis

publik di perkotaan

dan

ditujukan

ini um um nya

sekitar

menimbulkan

tidak saja herdampak

melainkan

industr-ialisnsi

ludustri-industri

prasarana transportasi

tcrnyata

yang

sebaliknya

diarahkan

pembangunan

infrastruktur

proteksi

kuat

merugikan

yang

agribisnis,

ketimpangan

atau daerah

memperlancar

yang

yang dilakukan

porkembangan

pad a menguatnya

dan

dianggap

substitusi irnpor yang selarna ini diterapkan

Kebijakan

kurang

agribisnis

untuk

struktur

perkotaan

dianggap

berspektrum

yang diskrim inasi

sedangkan

yang memperoleh

memiliki

yang

memperoleh

investor,

di bidang

lebih banyak mengahr ke industri-industri

dampak

menyebabkan

yang

di mata

pada

berlebihan

agribisnis

berusaha

proteksi

dapat

resiko yang lebih tinggi. Akibatnya,

mengalami

pasar
artifisial

memberikan

tertentu

dalam

usaha agribisnis

dan

agribisnis,

lebih menarik

termasuk

bidang

secara

sumberdaya. Industri-industri

tampak

negeri

melayani

yang

agribisnis. Proteksi

menguntungkan, dan juga

dan

dalam

impor ternyata

industri-industri

dalam alokasi

memiliki

Rupiah

yang tinggi untuk

juga pada perkembangan
diberikan pada

dari

juga untuk

merugikan pembangunan

Kebijakan

distorsi

berasal

industri
jauh

ini.

melarnpaui

ya ng dibangun

untuk daerah pedcsaan.

Kebijakan

industrialisasi

maupun industri
tenaga

substitusi

kerja yang

dikaitkan
upah

impor

murah.

bersifat

umumnya

Upah

dengan kebutuhan

dapat

yang

tcnaga

maka

yang dilakukan

mendiskriminasi

ini

sering

Dengan demikian agar
berbagai

Keadaan

semakin

luas

pada upah

kerja

harga-harga

pokok (pangan) harus dijaga tetap rendah.
pembangunan

bertumpu

hid up minimum.

tetap rendah,

spektrum

bias

kebutuhan

ini tentu membuat
ke perkotaan

dan

pedesaan dan agribisnis.

4.1.3. Perubahan Paradigma Lama
Petani

di

Indonesia

karakteristiknya. Ada petani
kornersial,

homogen

yang dapat

digolongkan

di mana ia menghasilk:m

ke pasar. Pada
petani

tidaklah

yang

seluruh

sisi yang

lain, ada petani

subsisten ataupun

produk

ke pasar

produk untuk

petani

sepenuhnya

dijual

yang digolongkan

yang dihasilkannya

untuk

untuk

dari

sebagai

serni-subsistcn,

melainkan sebagiannya

ditinjau

sebagai

dimana

tidak

keperluan

dijual

keperluan

konsumsi

sendiri.

Perilaku pengambilan keputusan kcdua golongan petani ini diperkirakan
dapat saja berbeda, sehinugn
pcmerintah
yang

keputusannya
analisis

Bagi petani

apapun

keputusan petani

suatu

sebagai

Tanpa adanva

petani di Indonesia. Ini
yang

ditujukan
agribisnis

yang

tidak

produscn.
petani

akan

di Indonesia

kebijakan
karakteristik

semisubsistcn.
dapat

dipisahkau

Dougan

demikian

di Indonesia, perlu terus

pengetahuan

bagi petani

lebih kompleks

ataupun

muugkin

sosial-ekonomi rumah tangga

Pembangunan
tantangan

subsisten

sebagai rumahtangga

dikernbangkan.
perilaku

terhadap

mungkin saja borbcda di antara pctani dengan

berbcda.

dengan

reaksi pctani

yang tepat

terhadap

sulit

diharapkan

kebijakan

dapat

mencapai

tujuannya,

di masa mcndatang

menghadapi

dibandingkan

rnasa lalu.

Proses

globalisasi

dalam

demokrasi
praktek

yang

perekonornian,
meningkat,

pembangunan

peningkatan

yang

menjadikan

dikumandangkan

membawa

pada

disertai

dengan

konsep-konsep
masa

lalu
yang

langsung

skala

maupun

usaha

mempraktekkan

petani

perlu

maupun

lebih

agribisnis
umumnya
kecil,

pada

aspek

4.2.

akan
telah

diperbaharui.
bersentuhan

perlu

agribisnis

mempertajam
agar

di masa

kelembagaan

govermance dan responsibility dari pihak-pihak
petani, perusahaan,

yang

terus

dalam

pemerataan

Oleh sebab itu, pengembangan

konsep pembangunan

menekankan

Tuntutan

tuntutan

perlu

kesadaran

berbeda

{food corporate govermsnce

sustain dalam jangka panjang.
agribisnis

dengan

konsekuensi

Perusahaan-perusahaan agribisnis,
dengan

disertai

maupun dalam praktek bisnis.

efisiensi

keadilan

yang

dan

dapat
konsep
datang
aspek

yang ada di dalamnya.

dan pemerintah.

Menganalisis Peradigma Baru Pertanian Berkelanjutan Secara
Filsafat Ilmu
-

Ontologi (Teori/ Paradigma Baru)
Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan

pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi
penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian
yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I kebijakan dan strateginya
dengan

mudah

dilanggar,

dan

program-program

“industrialisasi”

lebih

didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat
meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai
pemerataan dan keadilan sosial. Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari
Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan
sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah

tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad
memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanja kan” oleh
bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang
melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa
membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri
promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing,
khususnya dari Jepang.
Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara
industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model
pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan
sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah
suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis)
yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan
pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau
kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat
agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah
pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika
konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen
Agribisnis atau Institut Pertanian (INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis.
Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas
Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi
menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School
of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement
saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan.
Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di
Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai
dan budaya petani dan pertanian kita.

-

Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)
Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan

oleh angenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat dari
paian keempat dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga akan terlihat
nerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya
rkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak
gkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian,
rena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih
sar dari manfaat ekonomi yang diperoleh. Begitu pula dengan pembangunan
ng

mengabaikan

pembangunan

kelembagaan

sehingga

memunculkan

senjangan ekonomi dan sosial. Kesenjangan sering kali menjadi alasan
jadinya konflik bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme.
onflik seperti ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di
asa yang akan datang.
Fenomena kesenjangan pendapatan dan kerusakan lingkungan akan lebih
pantau bila ukuran pembangunan yang dipergunakan juga sensitif terhadap
uran

kesenjangan

dan

kualitas

lingkungan.

Indikator

pembangunan

rkelanjutan yang berkembang selama ini di Indonesia belum mencakup empat
mensi pembangunan berkelanjutan secara utuh. Penghitungan Produk Domestik
uto (PDB) hijau hanya melibatkan dimensi ekonomi dan lingkungan. Penelitian
ntang genuine saving hanya menyentuh dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
kuran pembangunan berkelanjutan berupa indeks komposit pernah pula digagas
eh beberapa institusi dan peneliti. Namun indeks komposit ini juga masih
elibatkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimensi kelembagaan tidak
munculkan sebagai dimensi tersendiri, namun secara implisit tergabung pada
mensi sosial. Karena indikator kelembagaan hanya bagian kecil dari dimensi
sial, maka bobot kelembagaan dalam indeks komposit menjadi sangat kecil,
dahal

permasalahan

kesenjangan

yang

lembagaan cukup menonjol di Indonesia.

menjadi

salah

satu

indikator

Pembangunan berkelanjutan, yang memunculkan dimensi kelembagaan
bagai dimensi tersendiri, dipandang sangat tepat untuk kondisi Indonesia.
ondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya perhatian pada dimensi
lembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain. Sebagai dimensi tersendiri
lembagaan akan memiliki bobot yang lebih besar dalam mengukur capaian
mbangunan. Untuk itu, penyusunan indeks komposit yang memasukkan empat
mensi

pembangunan

berkelanjutan

(ekonomi,

sosial,

lingkungan

dan

lembagaan) akan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan pada
mumnya, dan khususnya untuk pembangunan kelembagaan.
Selain menjabarkan pembangunan berkelanjutan ke dalam empat
dimensi, angenberg juga mengidentifikasi empat modal pembangunan. Keempat
modal mbangunan

tersebut

adalah

man-made

capital,

human

capital,

natural pitaldansocial capital. Keseimbangan penggunaan keempat modal
tersebut akan mendorong terciptanya pembangunan berkelanjutan. Hingga
saat ini, rhatian terhadap tiga modal yang pertama lebih dominan dibandingkan
dengan odal yang terakhir. Padahal di sisi lain, modal sosial diduga dapat
mereduksi rmasalahan pembangunan yang telah disebutkan sebelumnya.
Modal

sosial harapkan akan mampu mengurangi terjadinya kesenjangan

pendapatan dengan norma saling membantu.

Modal

sosial juga

diduga

mampu mencegah lingkungan dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial
juga menjadi ama untuk dapat mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai
salah satu dalam

pembangunan,

sudah

sepatutnya

modal

sosial

mendapatkan n yang seimbang dengan modal yang lain.
-

Akseologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)
Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi

Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya
pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian
berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun
pedoman-pedoman

moralistik,

manusiawi,

nasionalisme,

dan

demokrasi/

’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian
berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih
tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian
rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian
yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang
mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di
pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Misalnya dalam kasus distribusi
raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak
mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti
menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan
pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi
ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara
petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah
seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis
(pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual
oleh petani tebu rakyat.
Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan
sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin
berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada
pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian
tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari
pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya
meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus
yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada
petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap,
petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah
mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih
banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang
membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar
pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih
memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-

ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan
moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan
pertanian

yang

menyumbang

pada

upaya

mengatasi

kemiskinan

atau

meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
4.2.1. Tokoh-Tokoh Paradigma Baru
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer
dan menjadi fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada
KTT mi (United Nation Conference on Environmental Development, UNCED)
di Rio de Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus
mengalami perkembangan. Serageldin melihat pembangunan berkelanjutan
dari sebuah dimensi (a triangular framework), yaitu ekonomi, sosial dan
ekologi/lingkungan (Rustiadi dkk, 2009). Pandangan ini menjadi konsep
yang lingkungan sering dijadikan acuan dalam berbagai tulisan.
Pembangunan berkelanjutan saat ini sudah menjadi isu dan perhatian
masyarakat dunia, bagitu juga halnya di bidang pertanian. Masalah pembangunan
berkelanjutan pertama kali muncul tahun 1987 dalam sidang WCED, pada waktu
itu Mrs. G.H. Bruntland (Perdana Menteri Swedia) menyampaikan laporan
dengan judul Our Common Future (hari depan kita bersama). Dalam laporan
inilah

disebutkan

pentingnya

pembangunan

berkelanjutan

(sustainable

development), yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi
masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang.
Di bidang pertanian diterapkan dengan pendektan pembangunan pertanian
berkelanjutan atau berwawasan lingkungan, yang dalam penerapannya sudah
termasuk aspek pertanian organik.
Masalah pembangunan berkelanjutan telah diterima sebagai agenda politik oleh
semua negara di dunia (sebagaimana dikemukakan dalam Agenda 21, Rio de
Jeneiro, 1992). Ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangka panjang dapat
dilakukan bila dikaitkan dengan masalah perlindungan lingkungan, dan masalah
ini hanya akan didapat bila terbangun kemitraan yang baik dengan

mengikutsertakan pemerintah, masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat. Disaming
itu perlu keseimbangan dalam menangani atau melaksanakan pembangunan
dengan memperhatikan kepentingan lingkungan.
Pertemuan Johanesberg, Afrika Selatan (2-4 September 2002) yang dikenal
sebagai Pertemuan Puncak Pembangunan Berkelanjutan (World Summit On
Sustainable Development), telah menghasilkan Deklarasi Johanensberg, antara
lain menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan pandangan
dan penanganan jangka panjang dengan partisipasi penuh semua pihak.
Kelimpahan keanekaragaman yang dimiliki dapat dikembangkan sebagai kegiatan
kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dalam pembangunan berkelanjutan.
Masyarakat global telah diberkati dengan berbagai sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan dan pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah penting untuk
menjamin keberlanjutan dan ketersediaan sumberdaya alam tersebut.
4.2.2. Proses Pengujian Terhadap Paradigma Baru
Konsep Dasar dan Penjabaran Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Keterbatasan Pertumbuhan (Limit to Growth)
Ada

dua kelompok besar yang menaruh perhatian pada masalah

pembangunan ekonomi (economic development) yaitu kelompok pesimistis dan
optimistis. Kelompok yang pesimistis mendasarkan

pemikiran pada hukum

Entropy yang menghasilkan pandangan limit to growth, sedangkan kelompok
yang kedua bersandar pada paradigma dissipative structure dari Ilya Progogeni
yang menganggap bahwa pertumbuhan tidak terbatas. Kelompok yang pertama
menyarankan perlunya dilakukan perubahan paradigma ekonomi yang lama
sebagai suatu sistem berdiri sendiri, digantikan dengan pandangan bahwa sistem
ekonomi merupakan bagian dari subsistem biofisik dan menyarankan perlunya
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi
dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor
pertanian. Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir
tahun 1980’an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang
terfokus

pada

tujuan

pertumbuhan

ekonomi tinggi yang terbukti telah

menimbulkan degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup.
Konsep pertama dirumuskan dalam Bruntland Report yang merupakan hasil
kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan PBB:
“Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan
saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudk