ANALISIS KETEPATAN PREDIKSI POTENSI KEBA

ANALISIS KETEPATAN PREDIKSI POTENSI KEBANGKRUTAN MELALUI ALTMAN Z-SCORE DAN HUBUNGANNYA DENGAN HARGA SAHAM

PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG LISTING

DI BURSA EFEK JAKARTA SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh APRILIA NUGRAHENI NIM 3351401110 FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN EKONOMI 2005

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada :

Hari : Selasa Tanggal

: 27 Desember 2005

Penguji Skripsi

Drs Sukirman, Msi NIP. 131967646

Anggota I Anggota II

Drs. Subowo, MSi

Drs. Agus Wahyudin, MSi

NIP.131658236 NIP. 131404311

Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Drs Sunardi, MM NIP.

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi pada : Hari

: Tanggal :

Pembimbing

I Pembimbing II

Drs. Subowo, MSi

Drs. Agus Wahyudin, MSi

NIP.131658236 NIP. 131404311

Mengetahui, Ketua Jurusan Ekonomi

Drs Kusmuryanto, MSi NIP. 131404309

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 27 Oktober 2005

Aprilia Nugraheni NIM. 3351401110

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

◊ Hidup adalah sebuah pilihan, konsekuensi dan risiko harus diterima, maka bijaksanalah dalam membuat pilihan hidup. (Olive, 2005) ◊ Kesalahan terbesar yang kita perbuat dalam hidup adalah takut membuat

kesalahan (Resonansi, Suara Merdeka) ◊ Me against the world, i’ll prove it that they’re wrong jugde me (Simple

Plan)

Karya ini saya persembahkan Untuk Allah SWT yang senantiasa melimpahkan karuniaNya Untuk ayah ibu bertiga atas doa yang tidak putus-putusnya Untuk calon suamiku tercinta yang selalu memberiku kebahagiaan Untuk sahabat-sahabatku yang telah memberiku semangat dan dukungan Julia, Umi, Warti, Intan, Mei Istianah, Dewi dan semua sahabatku di Akuntansi A dan Akuntansi B Untuk anak-anak KOST VIOLLETA tercinta, terima kasih atas segala keceriaan yang kita alami Untuk semuanya SELAMAT BERJUANG, SEMANGAT !!

PRAKATA

Puji Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Ketepatan Prediksi Potensi Kebangkrutan Melalui Altman Z-Score dan Hubungannya Dengan Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Listing Di Bursa Efek Jakarta” .

Penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi strata satu pada Jurusan Ekonomi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Tidak sedikit hambatan yang dihadapi baik dalam penelitian maupun penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Drs H Ari Tri Sugito SH, MM, Rektor Universitas Negeri Semarang

2. Drs. Sunardi MM, Dekan Fakultas Ilmu Sosial

3. Drs. Kusmuryanto M.Si, Ketua Jurusan Ekonomi

4. Drs. Subowo M.Si, Kaprodi Akuntansi sekaligus Dosen Pembimbing I atas bimbingan yang telah diberikan.

5. Drs. Agus Wayudin M.Si, Dosen Pembimbing II atas bimbingan yang diberikan.

6. Drs. Sukirman M.Si, yang telah menguji dan membimbing demi kesempurnaan hasil penelitian ini.

7. Ayah ibu bertiga atas doa yang tidak putus-putusnya.

Semoga segala kebaikan yang diperbuat mendapat balasan dari Allah SWT dengan seluruh rahmat dan hidayah yang tiada terbatas dan terduga. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Semarang, 27 Oktober 2005

Penulis

SARI

Aprilia Nugraheni. 2005. Analisis Ketepatan Prediksi Potensi Kebangkrutan Melalui Altman Z-Score dan Hubungannya Dengan Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Listing Di Bursa Efek Jakarta . Jurusan Ekonomi. Program Studi Akuntansi . Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

95 h.

Kata Kunci : Altman Z-Score, Kebangkrutan, Harga Saham

Perbankan adalah salah satu sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Perkembangan baru dunia perbankan Indonesia dimulai pada tahun 1997 dimana terjadi krisis ekonomi yang parah yang berdampak negatif pada perusahaan perbankan yang bahkan beberapa perusahaan harus mengalami kebangkrutan. Indikator kebangkrutan dapat dilihat melalui informasi keuangan yang terdapat dalam laporan keuangan. Dan prediksi mengenai potensi kebangkrutan yang mungkin dialami perusahaan dapat menggunakan model Altman Z-Score.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana metode Altaman Z–Score digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan bank ? (2) Bagaimana hubungan antara potensi kebangkrutan bank dengan harga saham di perusaaan-perusahaan perbankan tersebut ?. Penelitian ini bertujuan (1) Untuk membuktikan bahwa metode Altman Z-Score dapat digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan bank (2) Untuk mengetahui hubungan antara potensi kebangkrutan bank dengan harga saham di perusahaan-perusahaan tersebut.

Sampel dalam penelitian ini adalah 17 perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1999-2003. Dua variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah Altman Z-Score dan harga saham. Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode dokumentasi yang diambil dari laporan keuangan perbankan dan buku-buku yang menunjang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Altman Z-Score dan Korelasi Product Moment dari Pearson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama lima tahun berturut-turut nilai Z-Score yang dimiliki oleh semua perusahaan perbankan masih dibawah 1,2 sehingga berada di wilayah ketiga yaitu yang diprediksi mengalami kebangkrutan.Namun pelaksanaan di Indonesia banyak kebijakan dari pemerintah dan banyak faktor yang mempengaruhinya sehingga bank yang diprediksi bangkrut kenyataanya masih menjalankan kegiatan operasi perbankan. Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa potensi kebangkrutan Altman Z-Score berhubungan dengan harga saham dengan adanya korelasi sebesar 22,6 % dengan taraf kepercayaaan 95 %.

Simpulan hasil penelitian ini bahwa Altman Z-Score bisa diterapkan untuk memprediksi potensi kebangkrutan di Indonesia walaupun banyak perusahaan yang masih aktif yang dikarenakan oleh kebijakan pemerintah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi mahasiswa dan peneliti lanjutan agar dapat menyempurnakan penelitian selanjutnya.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perbankan merupakan lembaga yang dapat dipergunakan sebagai tempat sumber dana, penyimpanan dana dan mitra bagi perusahaan yang go public (Indriyo,2002:4). Menurut Undang-Undang Perbankan No 10 Tahun 1998, perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Masih dalam UU No 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.

Babak baru perkembangan kondisi perbankan di Indonesia diawali dengan adanya krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Krisis moneter di Indonesia diawali dengan adanya krisis nilai tukar bath di Thailand pada tanggal 2 Juli 1998. Faktor yang mempercepat terjadinya krisis antara lain adalah hilangnya kepercayaan masyarakat, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo dan perdagangan internasional yang kurang menguntungkan. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850 per dollar US pada tahun 1997 meluncur dengan cepat ke level Rp 17.000 per dollar US pada

22 Januari 1998.

Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah menyebabkan pasar uang dan pasar modal rontok, bank-bank nasional dan internasional mengalami kesulitan besar bahkan surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah. Puluhan bahkan ratusan perusahaan mulai dari skala kecil hingga konglomerat bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau notabene bangkrut.

Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur dan perbankan. Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Serifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 % dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) mrnjadi 60 % pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 % dan 14,75 % pada awal krisis) menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.

Krisis moneter tahun 1997 telah mengakibatkan collapsnya sejumlah bank di Indonesia karena tidak mampu mempertahankan going concern nya. Ketidakmampuan atau kegagalan bank-bank tersebut disebabkan oleh dua hal utama yaitu kegagalan ekonomi dan kegagalan keuangan. Kegagalan ekonomi berkaitan dengan ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran atau bisa disebabkan oleh biaya modal perusahaan yang lebih besar dari tingkat laba atas biaya histories investasi. Sedang kegagalan keuangan berarti jika perusahaan tersebut gagal Krisis moneter tahun 1997 telah mengakibatkan collapsnya sejumlah bank di Indonesia karena tidak mampu mempertahankan going concern nya. Ketidakmampuan atau kegagalan bank-bank tersebut disebabkan oleh dua hal utama yaitu kegagalan ekonomi dan kegagalan keuangan. Kegagalan ekonomi berkaitan dengan ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran atau bisa disebabkan oleh biaya modal perusahaan yang lebih besar dari tingkat laba atas biaya histories investasi. Sedang kegagalan keuangan berarti jika perusahaan tersebut gagal

Kondisi yang membuat khawatir para investor dan kreditor adalah jika perusahaan mengalami penurunan kinerja. Menurut Basri (2003 : 1) Penurunan atau kemerosotan kinerja suatu perusahaan tidak serta merta terjadi dalam hitungan “sekejap” kecuali akibat suatu suatu peristiwa yang sangat fatal dan dramatis, yang sepenuhnya diluar kemampuan perusahaan untuk mengendalikannya. Penurunan kinerja bank secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya financial distress yaitu keadaan yang sangat sulit bahkan dapat dikatakan mendekati kebangkrutan yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak pada bank-bank tersebut dengan hilangnya kepercayaan dari para nasabah (Murtanto,2002 :45)

Indikasi kebangkrutan suatu bank dapat dilihat melalui informasi yang terdapat dalam laporan keuangannya. Untuk dapat menginterpetasikan informasi keuangan suatu perusahaan maka diperlukan suatu teknik analisa laporan keuangan. Analisa keuangan merupakan alat yang penting untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan serta hasil- hasil yang dicapai sehubungan dengan pemilihan strategi perusahaan yang telah dilaksanakan. Bersumber dari laporan keuangan maka dapat dijadikan dasar untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank. Kesehatan suatu bank mencerminkan kemampuan bank dalam menjalankan usahanya atau distribusi aktivanya, keefektifan penggunaan aktivanya, hasil usaha pendapatan yang telah dicapai, beban-beban tetap yang harus dibayar serta Indikasi kebangkrutan suatu bank dapat dilihat melalui informasi yang terdapat dalam laporan keuangannya. Untuk dapat menginterpetasikan informasi keuangan suatu perusahaan maka diperlukan suatu teknik analisa laporan keuangan. Analisa keuangan merupakan alat yang penting untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan serta hasil- hasil yang dicapai sehubungan dengan pemilihan strategi perusahaan yang telah dilaksanakan. Bersumber dari laporan keuangan maka dapat dijadikan dasar untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank. Kesehatan suatu bank mencerminkan kemampuan bank dalam menjalankan usahanya atau distribusi aktivanya, keefektifan penggunaan aktivanya, hasil usaha pendapatan yang telah dicapai, beban-beban tetap yang harus dibayar serta

Kondisi keuangan perbankan sampai saat ini masih belum menunjukkan adanya peningkatan yang cukup baik setelah empat tahun rekapitalisasi dari pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan lampiran 6 dan

7. Lampiran 6 menunjukkan banyaknya current asset yang dimiliki oleh perusahaan perbankan dan lampiran 7 menunjukkan banyaknya current liabilities yang dimiliki oleh perusahaan perbankan. Dan pada lampiran 8 menunjukkan working capital yang dimiliki oleh perusahaan perbankan tersebut. Dapat kita lihat bahwa working capital yang dimiliki perusahaan- perusahaan tersebut bernilai negative. Hal tersebut berarti current liabilities lebih besar dari current assetnya. Ini berarti bahwa perusahaan- perusahaan tersebut tidak mampu menutup utang jangka pendeknya dengan asset lancar yang dimiliki. Karena working capital berhubungan dengan likuiditas maka hal ini mengindikasikan bahwa tingkat likuiditas perusahaan bermasalah. Jika dikaitkan dengan indikator kebangkrutan maka perusahaan-perusahaan tersebut mengalami pembengkakan utang dan ketidakcukupan kas dalam membayar utang-utang jangka pendeknya.

Pada lampiran 2 terlihat banyaknya retained earning yang dimiliki perusahaan-perusahaan perbankan. Retained earning yang dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut mayoritas masih bernilai negative. Hal ini Pada lampiran 2 terlihat banyaknya retained earning yang dimiliki perusahaan-perusahaan perbankan. Retained earning yang dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut mayoritas masih bernilai negative. Hal ini

Pada lampiran 3 terlihat banyaknya jumlah earning before interest and tax yang dimiliki sangat berfluktuatif dari tahun ke tahun. Ada perusahaan yang mengalami peningkatan namun pada tahun berikutnya mengalami penurunan dan tahun berikutnya mengalami peningkatan kembali. Hal ini berarti kemampuan perolehan laba perusahaan- perusahaan tersebut juga kurang menentu masih berfluktuatif.

Mengingat pentingnya sektor perbankan dalam naik turunnya perekonomian kita, informasi mengenai kejadian atau peristiwa ekonomi yang berkaitan dengan kondisi sektor perbankan di Indonesia sangat perlu diketahui, khususnya mengenai informasi potensi kebangkrutan. Dengan adanya informasi tersebut akan membantu banyak pihak yang berkepentingan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja perusahaan perbankan tersebut serta mengambil tindakan yang perlu dilakukan berkaitan dengan hal tersebut.

Salah satu cara untuk mengetahui informasi seberapa besar potensi kebangkrutan yang mungkin akan dialami oleh suatu perusahaan perbankan adalah dengan penggunaan Altman Z-Score. Di dalam Altman Z-Score terkandung beberapa rasio. Rasio-rasio tersebut merupakan rasio yang mendeteksi kondisi keuangan perusahaan yang berkaitan dengan likuiditas, profitabilitas dan aktivitas perusahaan (Akhyar,2001:189).

Dengan adanya kombinasi rasio-rasio tersebut dalam Altman Z-Score akan sangat membantu manajemen dalam memprediksi potensi kebangkrutan yang mungkin akan dialami oleh perusahaan.

Bagi manajemen, memprediksi mengenai potensi kebangkrutan sangat penting sebagai bahan evaluasi kinerja perusahaan yang selama ini terjadi. Sehingga dapat diambil suatu kebijakan untuk memperbaiki kondisi dan kinerja perusahaannya. Sedang bagi pihak pemerintah sangat penting untuk dapat mengetahui informasi potensi kebangkrutan mengingat pemegang saham terbesar adalah pemerintah. Dan juga sebagai pembuat kebijakan ekonomi termasuk perbankan pemerintah melalui Bank Indonesia selalu mengawasi kinerja perusahaan-perusahaan perbankan.

Untuk para investor saham, sangat berkepentingan untuk mengetahui seberapa besar potensi kebangkrutan yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan. Para investor akan memiliki pandangan bahwa jika potensi kebangkrutan besar maka laba yang diperoleh perusahaan akan menurun dan berakibat pada turunnya laba saham investor. Bagi calon pembeli saham potensi kebangkrutan mengindikasikan kinerja perusahaan memburuk yang berimbas pada turunnya kemampuan perolehan laba sehingga calon pembeli saham kurang tertarik untuk mengadakan pembelian saham perusahaan tersebut. Oleh karena harga saham ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran pasar maka jika hal tersebut diatas terjadi maka permintaan terhadap saham akan menurun dan berakibat pada turunnya harga saham.

Mengingat fungsi strategis dunia perbankan di era sekarang ini maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan menggunakan model Altman Z-Score untuk memprediksi potensi kebangkrutan pada perusahaan-perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan judul “Analisis Ketepatan Prediksi Potensi Kebangkrutan

Melalui Altman Z-Score Dan Hubungannya Dengan Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Listing Di Bursa Efek Jakarta”

1.2 Identifikasi Dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka permasalahan pada penelitian ini adalah :

1.2.1 Bagaimana metode Altman Z Score digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan bank ?

1.2.2 Bagaimana hubungan antara potensi kebangkrutan bank dengan harga saham di perusahaan-perusahaan perbankan tersebut ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

1.3.1 Untuk membuktikan bahwa metode Altman Z Score dapat digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan bank.

1.3.2 Untuk mengetahui hubungan antara potensi kebangkrutan bank dengan harga saham di perusahaan-perusahaan perbankan tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berikut ini :

1.4.1 Manfaat praktis penelitian ini adalah : Bagi pihak pengguna laporan keuangan yaitu stakeholder adalah sebagai bahan informasi untuk mengetahui posisi perusahaan sehingga dapat mengambil suatu kebijakan sehubungan dengan hal tersebut.

1.4.2 Manfaat teoritis penelitian ini adalah : Bagi peneliti adalah sebagai bahan pengetahuan dalam membandingkan antara teori yang ada dan aplikasinya di lapangan, dan bagi peneliti selanjutnya yang mengambil tema yang sama dengan penelitian ini diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kebangkrutan

Manajemen cukup sering mengalami kegagalan dalam membesarkan perusahaan, akibatnya prospek perusahaan tidak terlihat jelas. Perusahaan menjadi tidak sehat bahkan berkelanjutan mengalami krisis yang berkepanjangan akhirnya akan mengarah pada kebangkrutan. Kebangkrutan (bankruptcy) biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. (Supardi,2003:79). Menurut Martin pada tahun 1995, (dalam Supardi,2003:79) kebangkrutan sebagai suatu kegagalan yang terjadi pada sebuah perusahaan didefinisikan dalam beberapa pengertian yaitu • Kegagalan Ekonomi (Economic Distressed)

Kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan, perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban.(Adnan, 2000 dalam Murtanto,2002:48). Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh dibawah arus kas yang diharapkan. Bahkan kegagalan juga dapat berarti bahwa tingkat pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan yang dikeluarkan untuk sebuah investasi tersebut.

• Kegagalan Keuangan (Financial Distressed) Pengertian financial distressed adalah kesulitan dana baik dalam arti dana dalam pengertian kas atau dalam pengertian modal kerja. Sebagian asset liability management sangat berperan dalam pengaturan untuk menjaga agar tidak terkena financial distressed. Sedangkan menurut Adnan (2000) kegagalan keuangan biasa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk yaitu :

a. Insolvensi teknis (Technical Insolvency), terjadi apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo walaupun total aktivanya sudah melebihi total hutangnya.

b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan, dimana didefinisikan sebagai kekayaan bersih negative dalam neraca konvensional atas nilai sekarang dan arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban. (Murtanto,2002:48)

Dan menurut Hermosillo tahun 1996 (Herliansyah,2002:20) konsep kegagalan bank terbagi menjadi dua yaitu :

a. Kegagalan ekonomi, suatu situasi dimana kekayaan bank menjadi negative atau jika bank tersebut melanjutkan kegiatan operasinya maka akan menimbulkan kerugian dan akan segera menghasilkan kekayaan negative.

b. Kegagalan ofisial, tipe kegagalan bank ini disebabkan oleh ditetapkannya bank tersebut gagal kepada publik oleh badan yang b. Kegagalan ofisial, tipe kegagalan bank ini disebabkan oleh ditetapkannya bank tersebut gagal kepada publik oleh badan yang

Analisis kebangkrutan usaha sangat membantu pembuatan keputusan untuk menentukan sikap terhadap perusahaan yang mengalami kebangkrutan usaha tersebut (Payamta, 1998 dalam Ahmad,2003:59) Hasil penelitian Dun dan Bradstreet tahun 2000 (Ahmad,2003:59) mengungkapkan faktor-faktor penyebab kebangkrutan adalah adanya faktor ekonomi, keuangan, pengalaman, kelalaian, bencana dan kecurangan. Sedangkan menurut Adnan (Murtanto,2002:48) faktor-faktor penyebab kebangkrutan dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

• Faktor Umum

a. Sektor ekonomi, berasal dari gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, suku bunga dan devaluasi atau revaluasi dengan mata uang asing.

b. Sektor sosial, dimana yang sangat berpengaruh adalah adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap produk atau jasa ataupun yang berhubungan dengan karyawan.

c. Sektor teknologi, dimana penggunaan teknologi memerlukan biaya yang ditanggung perusahaan terutama untuk pemeliharaan dan implementasi c. Sektor teknologi, dimana penggunaan teknologi memerlukan biaya yang ditanggung perusahaan terutama untuk pemeliharaan dan implementasi

• Faktor Eksternal

a. Sektor pelanggan/nasabah, dimana untuk menghindari kehilangan nasabah, bank harus melakukan identifikasi terhadap sifat konsumen atau nasabah juga menciptakan peluang untuk mendapatkan nasabah baru.

b. Sektor kreditor, dimana kekuatannya terletak pada pemberian pinjaman dan menetapkan jangka waktu pengembalian hutang piutang yang tergantung pada kepercayaan kreditor terhadap kelikuiditan suatu bank.

c. Sektor pesaing/bank lain, dimana merupakan hal yang harus diperhatikan karena menyangkut perbedaan pemberian pelayanan kepada nasabah.

• Faktor Internal Perusahaan

a. Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada nasabah sehingga menyebabkan adanya penunggakan dalam pembayarannya sampai akhirnya tidak dapat membayar.

b. Manajemen yang tidak efisien, yang disebabkan karena kurang adanya kemampuan, pengalaman, ketrampilan, sikap adaptif dan inisiatif dari manajemen.

c. Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan-kecurangan, dimana sering dilakukan oleh karyawan, bahkan manajer puncak sekalipun sangat merugikan apalagi yang berhubungan dengan keuangan perusahaan.

Menurut Suwarsono tahun 1996 (Adnan dan Taufiq, 2001:187) ada beberapa tanda atau indikator manajerial dan operasional yang muncul ketika perusahaan akan mengalami kebangkrutan yaitu :

a. Indikator dari lingkungan bisnis Pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi pembentuknya

memberikan indikasi bagi manajemen dalam melakukan pengambilan keputusan ekspansi usaha. Pertumbuhan ekonomi yang rendah menjadi indikator yang cukup penting pada lemahnya peluang bisnis. Tersedianya kredit dan aktivitas pasar modal dapat digunakan sebagai indikator mudah atau sulitnya, mahal atau murahnya dana yang diperlukan. Meningkatnya populasi bisnis dapat digunakan sebagai indikator meningkatnya persaingan dan semakin berkurangnya laba potensi yang dijanjikan karena adanya perubahan struktur pasar.

b. Indikator internal Sinyal kegagalan yang dapat ditemukan pada variable internal dapat dijumpai pada setiap tahapan daur kehidupan organisasi, awal pertumbuhan, pertengahan dan kedewasaan. Untuk disebut sebagai perusahaan yang sakit, manajemen tidak perlu menunggu munculnya semua indikator. Adanya beberapa indikator sudah cukup menjadi b. Indikator internal Sinyal kegagalan yang dapat ditemukan pada variable internal dapat dijumpai pada setiap tahapan daur kehidupan organisasi, awal pertumbuhan, pertengahan dan kedewasaan. Untuk disebut sebagai perusahaan yang sakit, manajemen tidak perlu menunggu munculnya semua indikator. Adanya beberapa indikator sudah cukup menjadi

c. Indikator kombinasi Seringkali perusahaan yang sakit disebabkan oleh interaksi atau kombinasi antara ancaman yang datang dari lingkungan bisnis dan kelemahan yang berasal dari variable internal yang mengakibatkan perusahan berkemungkinan mengalami kebangkrutan.

Menurut Hanafi (2003:261) informasi mengenai kebangkrutan sangat bermanfaat bagi beberapa pihak antara lain :

a. Pemberi pinjaman (seperti pihak bank). Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman dan kemudian bermanfaat untuk memonitor pinjaman yang ada.

b. Investor. Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut. Investor yang menganut strategi aktif akan mengembangkan model prediksi kebangkrutan untuk melihat tanda- tanda kebangkrutan seawal mungkin dan kemudian mengantisipasi kemungkinan tersebut.

c. Pihak pemerintah. Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut

(misalnya sektor perbankan). Juga pemerintah mempunyai badan- badan usaha (BUMN) yang harus selalu diawasi. Lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal.

d. Akuntan. Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan.

e. Manajemen. Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai 11-17% dari nilai perusahaan. Contoh biaya kebangkrutan yang langsung adalah biaya akuntan dan penasihat hukum. Sedang contoh biaya kebangkrutan tidak langsung adalah hilangnya kesempatan penjualan dan keuntungan karena beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin diberlakukan oleh pengadilan. Apabila manajemen bisa mendeteksi kebangkrutan ini lebih awal, maka tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan, misalnya dengan melakukan merger atau restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari.

2.2 Prediksi Potensi Kebangkrutan Dengan Metode Altman Z-Score

Analisis Z-Score, penerapan analisis rasio masih terbatas karena dilakukan secara terpisah, artinya setiap rasio diuji secara terpisah. Untuk mengatasi keterbatasan analisa rasio tersebut Altman telah mengkombinasikan beberapa rasio menjadi model prediksi kebangkrutan Analisis Z-Score, penerapan analisis rasio masih terbatas karena dilakukan secara terpisah, artinya setiap rasio diuji secara terpisah. Untuk mengatasi keterbatasan analisa rasio tersebut Altman telah mengkombinasikan beberapa rasio menjadi model prediksi kebangkrutan

Z-Score = 0,717X 1 + 0,847X 2 + 3,10X 3 +0,420X 4 + 0,998X 5

Rasio-rasio tersebut terdiri dari :

1) Working Capital Assets/Total Assets (X1) Merupakan rasio yang mendeteksi likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dari total aktiva dan posisi modal kerja. Dimana modal kerja (working capital) diperoleh dari selisih antara aktiva lancar dengan utang lancar. Jika dikaitkan dengan indikator-indikator kebangkrutan seperti yang disebutkan diatas, maka indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah pada tingkat likuiditas perusahaan adalah indikator-indikator internal seperti ketidakcukupan kas, utang dagang membengkak, utilisasi modal (harta kekayaan) menurun, penambahan utang yang tidak terkendali dan beberapa indikator lainnya.

2) Retained Earning/Total Assets (X2) Rasio ini merupakan rasio profitabilitas yang mendeteksi atau mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dalam periode tertentu. Ditinjau dari kemampuan perusahaan yang bersangkutan dalam memproleh laba dibandingkan dengan kecepatan perputaran operating assets sebagai ukuran efisiensi usaha. Manajemen bank sangat berkepentingan untuk dapat melihat rasio ini, karena sekaligus akan terlihat tingkat efisiensi usaha dan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dari hasil penjualannya.

3) Earning Before Interest and Taxes/Total Assets (X3) Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dari aktiva yang digunakan atau untuk mengukur kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk memperoleh keuntungan bagi semua investor termasuk pemegang saham dan obligasi. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan profitabilitas perusahaan diantaranya adalah piutang dagang meningkat, rugi terus menerus dalam beberapa kwartal, persediaan meningkat, penjualan menurun, terlambatnya hasil penagihan piutang, kredibilitas perusahaan berkurang serta kesediaan memberi kredit pada konsumen yang tak dapat membayar pada waktu yang ditetapkan.

4) Market Value Of Equity/Book Value Of Total Debt (X4) Rasio ini merupakan rasio yang mengukur aktivitas perusahaan. Sering juga digunakan dalam bentuk Net Worth/Total Debt . Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap utangnya melalui modalnya sendiri.

5) Sales/Total Assets (X5) Rasio ini merupakan rasio yang mengukur aktivitas perusahaan. Rasio ini mendeteksi kemampuan dana perusahaan yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam satu peiode tertentu. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai rasio yang mengukur modal yang diinvestasikan oleh perusahaan untuk menghasilkan revenue.

Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah pada aktivitas perusahaan yang kemudian akan berpengaruh terhadap rasio-rasio tersebut di atas adalah pangsa pasar produk kunci menurun, berpindahnya penguasaan pangsa pasar pada pesaing, modal kerja menurun drastis, perputaran persediaan menurun drastis, kepercayaan konsumen berkurang dan beberapa indikator lainnya.

Model Altman (1984) tersebut dapat diterapkan pada masing- masing kelompok perusahaan secara individual ataupun sekelompok perusahaan. Penerapan pada kelompok perusahaan digambarkan oleh Altman dengan mengelompokkan perusahaan menjadi dua kategori yaitu bangkrut dan tidak bangkrut.

Berdasarkan penelitiannya tersebut Altman menemukan lima rasio untuk perusahaan bangkrut dan tidak bangkrut dan menghitung nilai Z untuk kedua kelompok tersebut. Dalam model tersebut skor 2,90 merupakan ambang batas untuk perusahaan sehat.Jadi, perusahaan yang mempunyai skor di atas 2,90 dapat dikatakan sebagai perusahaan sehat. Sedangkan perusahaan yang mempunyai skor dibawah 1,20 akan diklasifikasikan sebagai perusahaan yang potensial bangkrut. Kemudian diantara 1,20 dan 2,90 diklasifikasikan sebagai perusahaan pada grey area (daerah kelabu).

Analisis diskriminan Altman diterapkan dengan menggunakan data dua sampai lima tahun sebelum perusahaan tersebut bangkrut. Analisis trend ini menunjukkan bahwa semua rasio yang diamati mempunyai X1 sampai X5 yang condong memperburuk dengan semakin mendekati kebangkrutan dengan perubahan yang paling buruk pada rasio tersebut terjadi antara tahun ketiga dan tahun kedua sebelum kebangkrutan terjadi.

2.3 Harga Saham

2.3.1 Pengertian Saham

Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, saham merupakan surat berharga sebagai bukti pemilikan individu/institusi dalam suatu perusahaan (biasa dipegang peorangan/lembaga pada suatu perusahaan). Apabila seorang membeli saham, maka ia akan menjadi pemilik dan disebut sebagai pemegang saham perusahaan tersebut. Indriyo (2002:26) Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, saham merupakan surat berharga sebagai bukti pemilikan individu/institusi dalam suatu perusahaan (biasa dipegang peorangan/lembaga pada suatu perusahaan). Apabila seorang membeli saham, maka ia akan menjadi pemilik dan disebut sebagai pemegang saham perusahaan tersebut. Indriyo (2002:26)

Menurut Baridwan (1992:394), apabila perusahaan menyertakan satu macam saham maka saham itu disebut saham biasa (common stock). Apabila saham yang dikeluarkan itu dua macam yang satu adalah saham biasa dan yang lain adalah saham prioritas (preferred stock).

2.3.2 Harga Saham

Harga saham menurut UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal pada hakekatnya merupakan penerimaan besarnya pengorbanan yang harus dilakukan oleh setiap investor untuk penyertaan dalam perusahaan. Berdasarkan fungsinya, nilai suatu saham dibagi menjadi tiga jenis (Anoraga, 2001 :58) yaitu :

1. Par Value (Nilai Nominal)/ Stated Value/Face Value Yaitu nilai yang tercantum pada saham untuk tujuan akuntansi. Jumlah saham yang dikeluarkan perseroan dikalikan dengan nilai nominalnya merupakan modal disetor penuh bagi suatu perseroan dan dalam pencatatan akuntansi nilai nominal dicatat sebagai modal ekuitas perseroan dalam neraca.

2. Base Price (Harga Dasar) Harga perdana dipergunakan dalam perhitungan indeks harga saham. Untuk saham baru harga dasar merupakan harga 2. Base Price (Harga Dasar) Harga perdana dipergunakan dalam perhitungan indeks harga saham. Untuk saham baru harga dasar merupakan harga

3. Market Price (Nilai Pasar) Merupakan harga suatu saham pada pasar yang sedang berlangsung atau jika pasar sudah tutup maka harga pasar adalah harga penutupannya (closing price). Harga pasar inilah yang menyatakan naik turunnya suatu saham dan setiap hari diumumkan di surat kabar/media lainnya. Untuk menghitung nilai pasar (kapitalisasi pasar) yaitu harga dasar dikalikan dengan total saham yang beredar.

2.3.3 Penilaian Harga Saham

Pada hakikatnya harga saham di pasar ditentukan oleh kekuatan pasar atau tergantung dari permintaan dan penawaran pasar. Menurut Anoraga (2001 :61) ada dua jenis pendekatan yang digunakan untuk menilai investasi dalam bentuk saham yaitu :

1. The Firm Foundation Theory Teori ini mengatakan bahwa setiap instrumen investasi apakah itu saham atau yang lain mempunyai landasan yang kuat yang disebut dengan nilai instrinsik yang dapat ditentukan melalui suatu analisis yang hati-hati terhadap kondisi pada saat sekarang dan prospeknya di masa yang akan datang. Pada saat harga turun atau naik diatas nilai instrinsiknya yang bersifat pasti, maka kesempatan menjual 1. The Firm Foundation Theory Teori ini mengatakan bahwa setiap instrumen investasi apakah itu saham atau yang lain mempunyai landasan yang kuat yang disebut dengan nilai instrinsik yang dapat ditentukan melalui suatu analisis yang hati-hati terhadap kondisi pada saat sekarang dan prospeknya di masa yang akan datang. Pada saat harga turun atau naik diatas nilai instrinsiknya yang bersifat pasti, maka kesempatan menjual

Dalam konteks ini nilai instrinsik adalah sama dengan nilai sekarang (present value) dari seluruh aliran penerimaan deviden yang akan diterima dalam periode-periode yang akan datang. Ini berarti para pemilik saham atau investor mendiskontokan nilai uang yang akan diterima, kemudian dengan suatu discount factor tertentu mencerminkan tingkat return alternatif investasi yang diinginkan setelah memperhatikan unsur risiko dan waktu. Teori ini berdasarkan pada pendekatan penerimaan deviden dimana semakin besar penerimaan saat ini dan prospek pertumbuhannya di masa yang akan datang maka akan semakin besar nilai sahamnya. Sehingga perbedaan tingkat pertumbuhan adalah faktor utama dalam penilaian saham.

a. Deviden Approach

1. Deviden Yield Approach Pendekatan ini didasarkan pada perkiraan deviden yang akan dibayarkan untuk satu tahun dan hasilnya 1. Deviden Yield Approach Pendekatan ini didasarkan pada perkiraan deviden yang akan dibayarkan untuk satu tahun dan hasilnya

Deviden − Per − Share Deviden − Yield =

Share − Pr ice

2. Discounting Model

i Deviden diasumsikan tetap dari tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-n. Untuk asumsi ini rumusnya :

Vo = ∑

dt

Vn

i = 1 ( i + k )( i + k )

Vo = harga saham pada tahun ke-0 dt = deviden yang diberikan pada akhir tahun

ke-t Vn = harga saham setela tahun ke-n k

= ekspektasi tingkat investasi yang diharapkan (risiko rate ditambah risk premium)

= jumlah deviden dari tahun ke-1 samapi

dengan tahun ke-n yang didiskontokan

i = tingkat bunga i = tingkat bunga

do ( i = g ) t dt

Vo = ∑

g = tingkat pertumbuhan

d o = deviden pada tahun ke-0

b. Earning Approach Pendekatan ini didasarkan pada perkiraan laba per saham di masa yang akan datang sehingga dapat diketahui berapa lama investasi suatu saham akan kembali. Model pendekatan ini adalah :

Share . Pr ice PER = Earning . Per . Share

c. Net Tangible Assets Approach (NTA Approach) Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui sampai seberapa jauh setiap saham didukung oleh Net Tangible Assets perusahaan. Dalam pendekatan ini perlu diperhitungkan juga downside risk. Formula yang digunakan dalam pendekatan ini adalah :

Total . Assets − ( In tan gible . Assets − Total . Debt )

NTA . Share = Number . of . Share

Asumsi-asumsi yang dipakai dalam pendekatan The Firm Foundation Theory yaitu sebagai berikut :

a. Investor yang rasional harus mau membayar harga yang lebih tinggi untuk suatu saham yang memiliki tingkat pertumbuhan deviden yang lebih besar. Juga untuk tingkat pertumbuhan yang berlaku dalam jangka waktu yang lebih panjang.

b. Investor yang rasional harus mau membayar harga yang lebih tinggi atas suatu saham yang memiliki kebijakan Deviden Pay Out yang lebih tinggi.

c. Investor yang rasional harus mau membayar harga yang lebih tinggi atas suatu saham yang memiliki risiko yang kecil.

d. Investor yang rasional harus mau membayar harga yang lebih tinggi atas suatu saham jika suku bunga turun atau lebih rendah. Hasil penelitian teori ini juga mengandung kelemahan yaitu

a. Informasi dan analisis yang digunakan mempunyai kemungkinan yang tidak tepat.

b. Estimasi nilai bisa salah karena harapan atau ekspektasi yang akan datang tidak dapat dibuktikan pada saat sekarang b. Estimasi nilai bisa salah karena harapan atau ekspektasi yang akan datang tidak dapat dibuktikan pada saat sekarang

c. Pasar mempunyai kemungkinan tidak dapat memperbaiki kesalahan akibatnya tidak mencapai nilai yang ditaksirkan.

d. Pertumbuhan tidak memberikan arti yang sama setiap saat.

2. The Castle In the Air Theory Teori kedua menurut Pandji Anoraga (2001 :67) adalah The Castle In The Air Theory. Teori ini memusatkan perhatian pada nilai psikologis. Pengikut teori ini lebih menekankan pendekatan tingkah laku investor di masa yang akan datang berdasarkan kebiasaan di masa lalu dan bukannya pada nilai instrinsik saham itu sendiri. Teori ini kurang setuju dengan pendekatan The Firm Fondation Theory yang memerlukan banyak kerja dan diragukan kebenarannya atau kewajaran dari penilaian untuk mencapai nilai instrinsiknya, karena tidak seorangpun dapat mengetahui dengan pasti faktor- faktor yang akan mempengaruhi proses pendapatan dan pembayaran deviden di masa mendatang.

The Castle In The Air Theory mempunyai banyak pendukung baik dari masyarakat keuangan maupun masyarakat akademis. Dari pihak akademis berpendapat bahwa nilai intrinsik saham adalah suatu impian. Dalam ekonomi pertukaran nilai setiap asset tergantung pada transaksi riil atau The Castle In The Air Theory mempunyai banyak pendukung baik dari masyarakat keuangan maupun masyarakat akademis. Dari pihak akademis berpendapat bahwa nilai intrinsik saham adalah suatu impian. Dalam ekonomi pertukaran nilai setiap asset tergantung pada transaksi riil atau

2.4 Kerangka Berfikir

Informasi tentang kinerja perusahaan yang tercermin dari laporan posisi keuangan, laporan rugi laba, dan aliran kas perusahaan serta informasi lain yang terkait dengan laporan keuangan dapat diperoleh dari laporan keuangan perusahaan.

Dalam penelitian sebelumnya dilakukan oleh Beaver tahun 1966 telah membuktikan bahwa secara empiris rasio keuangan dapat digunakan sebagai alat prediksi kegagalan pada sebuah perusahaan, meskipun tidak semua rasio dapat memprediksi dengan sama baiknya dan tidak dapat memprediksi dengan tingkat keberhasilan yang sama. Beaver menggunakan Univariate Analysis. Beaver mempertemukan sampel perusahaan yang gagal dengan yang tidak gagal kemudian meneliti rasio keuangan selama lima tahun sebelum perusahaan gagal dan menemukan bahwa ternyata rasio keuangan perusahaan yang tidak gagal berbeda dengan perusahaan yang gagal (Adnan dan Taufiq,2001:183)

Studi lain dilakukan oleh Altman (1984) telah menemukan ada lima rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mendeteksi Studi lain dilakukan oleh Altman (1984) telah menemukan ada lima rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mendeteksi

72 % untuk periode dua tahun sebelum bangkrut, 48 % untuk periode tiga tahun sebelum perusahaan bangkrut, 29 % untuk periode empat tahun sebelum bangkrut dan 36 % untuk periode lima tahun sebelum bangkrut. Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan kekuatan prediksi rasio keuangan untuk periode waktu yang lebih lama (Adnan dan Taufiq,2001:184)

Model untuk memprediksi potensi kebangkrutan perusahaan perbankan yang digunakan oleh Altman yaitu Rasio Modal Kerja Terhadap Total Aktiva, Rasio Laba Ditahan Terhadap Total Aktiva, Rasio Pendapatan Sebelum Bunga Dan Pajak Terhadap Total Aktiva, Rasio Harga Pasar Modal Sendiri Terhadap Nilai Buku Total Kewajiban dan Rasio Penjualan Terhadap Total Aktiva. Dari kombinasi rasio tersebut dimasukkan dalam model prediksi Altman dengan persamaan sebagai berikut :

Z-Score = 0,717X 1 + 0,847X 2 + 3,10X 3 +0,420X 4 + 0,998X 5 Z-Score = 0,717X 1 + 0,847X 2 + 3,10X 3 +0,420X 4 + 0,998X 5

b. Apabila nilai Z-Score antara 1,20 sampai 2,90 (1,20 < Z-Score < 2,90) perusahaan berada dalam daerah kelabu (grey area).

c. Apabila nilai Z-Score dibawah 1,20 (Z-Score < 1,20) diklasifikasikan sebagai perusahaan yang berpotensi bangkrut.

Setyarini dan Abdul Halim (1999) melakukan studi potensi kebangkrutan perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta dengan menggunakan analisis Z-Score Altman sebagai indikator tingkat kesehatan atau potensi kebangkrutan perusahaan. Indikator Z-Score untuk seluruh sample 38 perusahaan, apabila dikelompokkan dalam kategori sehat (skor > 2,9), grey area (skor antara 1,2 dan 2,9) dan bangkrut (skor <1,20. Dengan kesimpulan adanya perbedaan potensi kebangkrutan secara signifikan antara sebelum dan pada masa krisis dan analisis Z-Score yang digunakan merefer pada Altman lebih ditujukan pada sektor perbankan. (Supardi dan Masuti,2003:75)

Liby (1975) memperluas penelitian Altman dan Beaver menemukan bahwa rasio-rasio profitability, activity, liquidity dan indebtness dapat memprediksi kebangkrutan bank. Hal ini juga sesuai dengan Robertson (1985) yang menyatakan kebangkrutan dipengaruhi oleh rasio-rasio likuiditas, solvabitas, produktifitas dan profitabilitas. Studi yang dilakukan Zmijewski (1983) menambah validitas rasio keuangan Liby (1975) memperluas penelitian Altman dan Beaver menemukan bahwa rasio-rasio profitability, activity, liquidity dan indebtness dapat memprediksi kebangkrutan bank. Hal ini juga sesuai dengan Robertson (1985) yang menyatakan kebangkrutan dipengaruhi oleh rasio-rasio likuiditas, solvabitas, produktifitas dan profitabilitas. Studi yang dilakukan Zmijewski (1983) menambah validitas rasio keuangan

Berdasarkan teori-teori dan penelitian-penelitian diatas peneliti menegaskan bahwa rasio-rasio keuangan dapat digunakan dalam memprediksi tingkat kegagalan suatu usaha. Hal ini dapat dijelaskan bahwa hasil analisis rasio dapat digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam mengelola perusahaannya. Sebagai contohnya rasio leverage yang terdiri dari selisih antara total aktiva dan total kewajiban, apabila total aktiva lebih banyak daripada total kewajibannya maka dapat diketahui bahwa perusahaan tersebut dapat memenuhi kewajibannya dan potensi kegagalan usahanya atau potensi kebangkrutannya kecil begitupun sebaliknya jika total kewajibannya lebih besar dari total aktivanya maka perusahaan dapat mengalami kegagalan usaha atau potensi kebangkrutan besar karena perusahaan tidak mampu membayar kewajiban- kewajibannya.

Analisis rasio menggunakan analisis Altman Z-Score sudah terbukti dapat digunakan untuik memprediksi potensi kebangkrutan perusahaan. Hal ini dapat dijelaskan karena dalam formula Altman tersebut mengkombinasikan beberapa rasio yang mengukur tingkat likuiditas, aktivitas, profitabilitas suatu perusahaan.

Rasio-rasio tersebut antara lain working capital/total assets yang mengukur tingkat likuiditas suatu perusahaan. Apakah perusahaan dapat membayar semua kewajibannya dari total aktiva . Retained earning/total Rasio-rasio tersebut antara lain working capital/total assets yang mengukur tingkat likuiditas suatu perusahaan. Apakah perusahaan dapat membayar semua kewajibannya dari total aktiva . Retained earning/total

Berdasarkan pemahaman di atas maka analisis Altman Z-Score dapat digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan perbankan. Salah satu pihak yang berkepentingan mengetahui seberapa besar potensi kebangkrutan yang dimiliki perusahaan adalah para calon investor saham. Para calon investor saham akan tertarik untuk membeli saham jika saham yang ditanamkannya dalam perusahaan tersebut menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi investor. Tingkat keuntungan yang tinggi yang diharapkan oleh investor akan terpenuhi jika perusahaan mampu menghasilkan profit yang tinggi pula dalam perusahaan. Profit yang tinggi akan mencerminkan kinerja yang baik dari manajemen perusahaan dan akan mampu mempertahankan going concern nya. Jika potensi kebangkrutan perusahaan bernilai besar maka dapat dimungkinkan bahwa calon investor kurang tertarik untuk menanamkan sahamnya di perusahaan itu karena investor tidak mau dibebani kerugian karena colapsnya perusahaan. Oleh karena harga saham tergantung dari kekuatan permintaan dan penawaran pasar maka jika permintaan saham berkurang harga saham akan turun pula. Sehingga dapat dirumuskan bahwa jika potensi kebangrutan yang diperoleh dengan model

Altman Z-Score semakin besar maka harga saham di pasar bursa akan turun.

Laporan Keuangan

Working Capital

Sales to Total To Total Assets

Value of

Assets

To Total

Interest and

Equity to

Assets

Taxes To

Book Value

Total Assets

of Total Debt

Perhitungan Model Altman Z-Score

Analisis Prediksi Potensi Kebangkrutan

BANGKRUT

TERMASUK

SEHAT (TIDAK

GREY AREA

BANGKRUT)

Harga Saham

Gambar 1 Kerangka Berfikir

2.5 Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah asumsi atau dugaan mengenai sesuatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu yang sering dituntut untuk melakukan pengecekannya. (Sudjana, 2002 : 219) Masih menurut Sudjana, jika asumsi atau dugaan itu dikhususkan mengenai populasi umumnya mengenai nilai parameter populasi maka hipotesis itu disebut sebagai hipotesis statistik.

Berdasarkan kerangka berfikir diatas maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian yaitu bahwa nilai potensi kebangkrutan yang diperoleh dengan menggunakan Altman Z-Score berhubungan dengan harga saham di perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Dan Subjek Penelitian

3.1.1 Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah potensi kebangkrutan dan harga saham dari perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta

3.1.2 Subjek Penelitian

Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (Arikunto,1998:115). Subjek penelitian ini adalah laporan keuangan perusahaan-perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 1999, 2000, 2001, 2002, 2003. Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu (Sudjana,2002:161).

Kriteria pengambilan sample dalam penelitian ini adalah :

1) Mengeluarkan annual report.

2) First issue mulai tahun 1999 atau sebelumnya.

3) Saham terus diperdagangkan selama tahun penelitian,

4) Data lengkap. Perusahaan-perusahaan yang menjadi sampelnya adalah :

1) PT Bank Bali Tbk

2) PT Bank CIC International Tbk

3) PT Bank Danamon Tbk

5) PT Bank Global Internasional Tbk

6) PT Bank Internasional Indonesia Tbk

7) PT Bank Inter-Pasific Tbk

8) PT Bank Lippo Tbk

9) PT Bank Mayapada Internasional Tbk

10) PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk

11) PT Bank Niaga Tbk

12) PT Bank NISP Tbk

13) PT Bank Panin Indonesia Tbk

14) PT Bank Permata Tbk

15) PT Bank Pikko Tbk

16) PT Bank Victoria International Tbk

17) PT Bank Universal Tbk

18) PT Bank Unibank Tbk Sumber : Indonesian Capital Market Directory 2001 dan 2004

3.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto,1998:99) Penelitian ini menggunakan variabel-variabel sebagai berikut :

3.2.1 Z-Score Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangan yang akan menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan bank. Dengan sub variabel :