Translasi Subskala Identity dari Skala E

Translasi Subskala Identity dari Skala Erikson Psychosocial Stage Inventory
(EPSI): Validasi Awal dengan Menggunakan Analisis Faktor Konfirmatori1

Handy Pratama
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
handy.pratama-12@psikologi.unair.ac.id

Abstrak
Penelitian mengenai perkembangan identitas telah menghasilkan temuan
yang mengubah paradigma berfikir masyarakat. Salah satunya adalah kenakalan
remaja yang dulu dianggap sebagai suatu tindak kriminal sekarang dipahami
sebagai bentuk dari krisis identitas. Perubahan tersebut berawal dari teori Erikson
mengenai perkembangan psikososial manusia utamanya pada masa remaja yang
melewati periode identity vs role confusion. Penelitian-penelitian di bidang
perkembangan identitas menggunakan alat ukur yang sudah baku yaitu subskala
identity dari skala Erikson Psychosocial Stage Inventory (Rosenthal, Gurney, &
Moore, 1981). Sayangnya hingga saat ini belum ada penelitian yang menggunakan
alat ukur tersebut untuk disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia
sehingga aplikasinya dalam penelitian perkembangan identitas belum berkembang
di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi awal terhadap
translasi subskala identity. Penelitian ini melibatkan 103 partisipan (77,7%

perempuan) dengan rerata usia 20,5 tahun (minimum = 18 tahun, maximum = 23
tahun). Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisoner yang
disebar melalui media internet dengan menggunakan google form. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa alat ukur yang ditranslasi memiliki satu faktor tunggal
seperti yang diklaim oleh pembuat (SBS- χ2 (20) = 30,162; RMSEA = 0,075 [90%
CI = 0,000 – 0,127]; CFI = 0,919; TLI = 0,887). Saran dan implikasi dari hasil
penelitian didiskusikan lebih lanjut.
Kata kunci: translasi alat ukur, perkembangan identitas, analisis faktor
konfirmatori
Abstract
Research concerning identity development had resulted paradigm
changing result in society. One of the result is that juvinile delinquency that was
viewed as criminal act now could be understood as a form of identity crisis. This
change was initiated by Erikson theory concerning human psychosocial
development, mainly in adolescent that experienced identity vs. role confusion
1 Rekomendasi kutipan: Pratama, H. (2017). Translasi subskala identity dari skala Erikson
Psychosocial Stage Inventory (EPSI): Validasi awal dengan menggunakan analisis faktor
konfirmatori. In Temu Ilmiah Nasional Psikologi Kemaritiman. Surabaya.

period. Researches in this area had used standardized instrument that is identity

subscale from Erikson Psychosocial Stage Inventory (Rosenthal, Gurney, &
Moore, 1981). Unfortunately, there is no research in Indonesia that used the
instrument to be adapted into Indonesian context and that makes it’s application
limited. This research aims to do preliminary validation using translated version of
identity subscale. This research involves 103 participant (77,7% female) with
average age 20,5 years (minimum = 18, maximum = 23). Data was collected using
questionnaire that was spreaded using internet and google form as media. Result
shows that the translated version of the subscale show evidence of
unidimansionality as was postulated by the developer (SBS-χ2 (20) = 30,162;
RMSEA = 0,075 [90% CI = 0,000 – 0,127]; CFI = 0,919; TLI = 0,887).
Recommendation and implication of this study will be further discussed.
Keyword: scale translation, identity development, confirmatory factor analysis
Pengantar
Salah satu kaidah dalam penelitian ilmiah adalah generalisasi atau
kesimpulan umum untuk menjelaskan fenomena yang telah dikaji. Dalam ilmu
psikologi, fenomena yang dimaksud adalah fenomena psikologis yang dijabarkan
sebagai proses mental dan perilaku (Weiten, 2011). Kaidah generalisasi ini
menuntut suatu bidang ilmu untuk menggunakan pengukuran yang valid dan
reliabel sehingga hasil penelitian dapat dipercaya. Hasil penelitian-penelitian
tersebut, yang menggunakan alat ukur yang valid dan reliabel, kemudian secara

kolektif dapat digeneralisir untuk membangun suatu teori.
Pada hakikatnya, validitas dan reliabilitas untuk pengukuran atribut
psikologis tidak mungkin dapat dicapai secara sempurna (Azwar, 2013, 2015).
Kenyataan tersebut dikarenakan sifat laten dari atribut psikologis yang
eksistensinya ada secara konseptual dan teramati secara tidak langsung (Azwar,
2013) namun berbeda dengan pengukuran atribut fisik seperti panjang, berat, dan
lain-lain yang dapat teramati secara langsung. Meskipun demikian, upaya-upaya

untuk menegakkan validitas dan reliabilitas alat ukur harus dilakukan sebelum
suatu penelitian dilakukan.
Berdasar pendapat Azwar (2013) tersebut, perlu kiranya diadakan
penelitian validasi instrumen ukur terlebih dahulu sebelum penelitian-penelitian
lebih lanjut dilakukan. Umumnya penelitian validasi instrumen alat ukur adalah
tahap pertama dalam suatu proses penelitian. Terlebih lagi pada penelitian yang
melibatkan konstruk psikologis yang relatif baru dan belum ada alat ukurnya.
Menemukan dan membuat alat ukur baru bukanlah sesuatu yang mudah
dilakukan lantaran literatur psikologi telah dipenuhi oleh banyak konstruk
psikologis yang mampu menjelaskan beragam fenomena psikologis dalam
masyarakat. Oleh karenanya peneliti-peneliti sepakat untuk menggunakan alat
ukur baku agar digunakan dalam beragam konteks penelitian. Dengan penggunaan

alat ukur baku ini, hasil penelitian dalam beragam konteks berbeda dalam
disentesa menjadi satu pengetahuan yang menyeluruh.
Perkembangan Psikososial
Salah satu bidang penelitian yang menarik untuk dikaji adalah persoalan
krisis identitas di kalangan remaja. Penelitian mengenai krisis identitas di
kalangan remaja diinisiasi oleh Erikson (1977). Erikson (1977) mempostulatkan
teori perkembangan psikososial manusia yang terdiri dari 8 tahapan. Masingmasing tahapan mewakili suatu krisis hidup spesifik yang menjadi ciri khas dari
periode usia tersebut. Delapan tahapan tersebut adalah (1) trust vs. mistrust; (2)
autonomy vs. shame and doubt; (3) initiative vs. guilt; (4) industry vs. inferiority;

(5) identity vs. role confusion; (6) intimacy vs. isolation; (7) generativity vs.
stagnation; (8) ego integrity vs. despair.
Dari 8 tahap perkembangan psikososial tersebut, tahap identity vs. role
confusion adalah tahap perkembangan yang paling banyak mendapat perhatian
dari peneliti-peneliti lain. Tahap-tahap perkembangan psikososial lain yang
digagas Erikson tidak begitu banyak dikaji. Salah satu penyebabnya mungkin
dikarenakan adanya model teoritik lain yang lebih dapat menjelaskan fenomena
yang hendak dikaji seperti teori attachment yang serupa dengan trust vs. mistrust.
Dalam teori Erikson tersebut, manusia dipandang sebagai makhluk yang
berkembang dari tahap awal hingga akhir dengan melalui serangkaian krisis. Pada

masing-masing tahapan, individu dinilai berhasil atau gagal dalam tahap yang
bersangkutan. Individu yang berhasil dalam suatu tahap perkembangan akan
menginternalisasi

nilai-nilai

yang

didapat

selama

menyelesaikan

krisis

perkembangan yang dihadapi disertai dengan luaran-luaran positif. Sementara
individu yang gagal dalam suatu tahap perkembangan akan disertai dengan luaranluaran negatif.
Dalam tahap identity vs. role confusion, individu yang berhasil
menyelesaikan tahap perkembangan ini, menurut Erikson (1977) memiliki sense

of continuity and sameness sebagai landasan untuk menentukan arah hidup.
Dalam bahasa yang sederhana, individu yang bersangkutan telah menemukan jati
diri yang dijadikan sebagai pedoman dia dalam bertindak. Memiliki sense of self
yang tinggi (sukses dalam tahap identity) juga berkaitan dengan kualitas hubungan

interpersonal individu (Montgomery, 2005). Sementara individu yang gagal dalam
tahap perkembangan ini mengalami kebingungan peran yang dicirikan dengan
kesulitan beradaptasi dengan tuntutan peran dari masyarakat dan seringkali
mewujud dalam bentuk maladaptif (Schwartz, Zamboanga, Weisskirch, &
Rodriguez, 2009) seperti kenakalan remaja, kesulitan menentukan karir, dll.

Erikson Psychosocial Stage Inventory (EPSI)
Teori Erikson mengenai perkembangan psikososial diterjemahkan oleh
peneliti-peneliti yang berbeda ke dalam model teori perkembangan identitas.
Salah satunya adalah melalui alat ukur Erikson Psychosocial Stage Inventory
(EPSI) yang digagas oleh Rosenthal, Gurney, & Moore (1981). Rosenthal,
Gurney, & Moore (1981) menyusun alat ukur EPSI dengan mengacu pada enam
tahap perkembangan psikososial Erikson yakni dari tahap trust vs. mistrust hingga
tahap intimacy vs. isolation. Mereka menyusun alat ukur ke dalam enam subskala.
Masing-masing subskala adalah kontinuum bipolar yang merepresentasikan enam

tahap perkembangan psikososial Erikson. Karena sifatnya kontinuum bipolar,
individu tidak dinilai berhasil atau tidak dalam tahap perkembangan tertentu
melainkan individu berada pada rentang gagal – berhasil. Artinya, individu yang
memiliki skor tinggi pada suatu subskala berarti menunjukkan tingkat
keberhasilannya tinggi, sementara skor yang rendah menunjukkan tingkat
keberhasilan yang rendah. Meskipun terdiri dari enam subskala, yang paling
banyak digunakan adalah subskala identity vs. role confusion.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan translasi subskala identity vs. role
confusion dari alat ukur EPSI sebagai proses validasi awal. Hal tersebut perlu
sebelum dilakukan penelitian validasi yang lebih luas dilakukan. Yang menjadi
persoalan untuk dikaji adalah apakah alat ukur tersebut sesuai untuk konteks
masyarakat Indonesia ataukah perlu dimodifikasi lantaran sudah lama (dibuat di
tahun 1987)?

Metode
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini sejumlah 103 orang. 77,7% adalah
perempuan dengan rerata usia 20,5 tahun (minimum = 18 tahun, maximum = 23
tahun). Partisipan direkrut melalui secara daring melalui media sosial dengan

menggunakan google form.
Alat ukur
alat ukur yang digunakan adalah subskala identity vs. role confusion dari
alat ukur EPSI. Skala tersebut berjumlah 12 aitem yang terdiri dari 6 aitem
favorabel dan 6 aitem unfavorabel. Aitem-aitem diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia melalui prosedur direct translation. Berikut blueprint dari skala:
Favorable/
unfavorable
Favorable

Aitem Original

Aitem terjemahan

4. The important things in life Hal-hal penting dalam
are clear to me.
hidup jelas bagi saya
2. I’ve got a clear idea of what Saya memiliki gambaran
I want to be.
yang jelas akan apa yang

saya inginkan

5. I’ve got it together.

Saya mampu mengelola
hidup saya

6. I know what kind of person Saya tahu tipikal orang
I am.
seperti apa saya
8. I have a strong sense of
what it means to be
female/male.

Saya memiliki perasaan
yang kuat akan apa
maknanya menjadi
perempuan/laki-laki

Saya menyukai diri saya

9. I like myself and am proud
dan bangga akan apa yang
of what I stand for.
saya perjuangkan

Unfavorable

7. I can’t decide what I want
to do with my life.

Saya tak dapat memutuskan
apa yang saya ingin
lakukan dengan hidup saya

1. I change my opinion of
myself a lot.

Saya sering mengubah
pendapat mengenai diri
saya


3. I feel mixed up.

Saya merasa campur aduk

10. I don’t really know what
I’m on about.

Saya tidak benar-benar
mengetahui apa yang saya
minati

11. I find I have to keep up a
front when I’m with people.

Saya merasa perlu untuk
tampak tegar saat saya
bersama orang lain

12. I don’t really feel
involved.

Saya tidak merasa benarbenar terlibat

Tabel 1: Blueprint Alat Ukur

Prosedur Analisis
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori
menggunakan software lavaan (Rosseel, 2012; R Core Team, 2017). Sebelum
analisis dilakukan, peneliti melakukan uji asumsi berupa uji asumsi normalitas
multivariat dengan menggunakan software MVN (Korkmaz, Goksuluk, &

Sararsiz, 2014). Uji asumsi dilakukan dengan menggunakan tes normalitas
multivariat Henze-Zirkler's. Hasilnya menunjukkan bahwa data tidak normal
multivariat (HZ = 1.078, p-value = 0). Karena data tidak normal, analisis faktor
konfirmatori dilakukan dengan metode estimasi robust maximum likelihood
(MLR) dengan menggunakan koreksi Satorra-Bentler (Satorra & Bentler, 1994).
Hasil Penelitian
Hasil analisis CFA awal menunjukkan bahwa dua belas aitem yang diuji
memiliki indeks kesesuaian yang tidak fit. Hal tersebut dinilai dari nilai patokan
yang harus dimiliki suatu model dilihat dari beberapa indeks fit. Rekomendasi
nilai patokan yang diberikan oleh para ahli adalah minimal nilai RMSEA < 0,08;
CFI dan TLI > 0,9 yang menunjukkan bahwa model yang diuji memiliki
kesesuaian yang dapat diterima. Nilai rekomendasi yang lebih ketat adalah
RMSEA < 0,05; CFI dan TLI > 0,95.

Model

SBS- χ2

df

RMSEA

CFI

TLI

Satu faktor

110,356

54

0,107 [90% CI =
0,078 – 0,135]

0,716

0,652

Satu faktor
(11)

95,589

44

0,116 [90% CI =
0,084 – 0,147]

0,729

0,661

Satu faktor
(11, 8)

69,517

35

0,108 [90% CI =
0,070 – 0,145]

0,787

0,726

Satu faktor
(11, 8, 12)

56,209

27

0,110 [90% CI =
0,069 – 0,150]

0,811

0,748

Satu faktor
(11, 8, 12, 1)

30,162

20

0.075 [90% CI =
0,000 – 0,127]

0,919

0,887

Tabel 2: Indeks Kesesuaian Model

Tabel 2 menunjukkan indeks fit dari dua belas aitem yang diuji. Baris
pertama adalah hasil analisis faktor konfirmatori pada 12 aitem hasil translasi.
Indeks kesesuaian menunjukkan bahwa model yang diukur tidak fit. Hal tersebut
dikarenakan aitem-aitem yang menyusun alat ukur ada yang memiliki nilai
muatan faktor dibawah 0,4 yang membuat model secara keseluruhan menjadi
tidak fit. Untuk membuat model menjadi fit, aitem-aitem yang bermasalah perlu
diseleksi dari analisis satu per satu. Hal tersebut bertujuan agar tidak keliru dalam
menyeleksi aitem. Aitem-aitem yang diseleksi adalah aitem 11, 8, 12, dan 1.
Setelah aitem-aitem tersebut dikeluarkan indeks kesesuaian model menunjukkan
bahwa model yang diuji memiliki fit yang dapat diterima.
Setelah dilakukan uji analisis faktor konfirmatori, penulis melakukan
analisis reliabilitas dengan menggunakan jenis reliabilitas konsistensi internal
Cronbach’s Alpha dengan menggunakan package psych (Revelle, 2017; R Core
Team, 2017). Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa skala yang ditranslasi
memiliki reliabilitas yang baik (α = 0,76).
Diskusi
Dalam penelitian ini, penulis menguji translasi subskala identity vs. role
confusion dari alat ukur EPSI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat ukur
dengan 12 aitem tidak memiliki fit yang sesuai. Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa aitem yang tidak berfungsi seperti yang seharusnya (memiliki muatan
faktor < 0,4).

Muatan faktor sendiri adalah suatu nilai yang menunjukkan

kekuatan hubungan antara faktor (konstruk yang hendak diukur) dengan aitem-

aitem yang menyusunnya. Semakin tinggi muatan faktor suatu aitem, berarti aitem
tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan faktor yang hendak diukur dan
memang mencerminkan apa yang seharusnya diukur. Sementara aitem yang
memiliki muatan faktor yang rendah bisa jadi dikarenakan karena translasi yang
tidak sesuai (tidak mudah dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia) atau
bisa jadi aitem tersebut mencerminkan faktor lain yang tidak berkaitan dengan
tujuan pengukuran (social desirability atau faking good).
Empat aitem yang dihapus adalah diduga memiliki translasi yang tidak
mudah dipahami atau mencerminkan atribut psikologis lain. Contohnya adalah
aitem 1 yang berbunyi “saya sering mengubah pendapat mengenai diri saya”.
Aitem tersebut menurut hemat penulis tidak mudah dipahami oleh orang-orang
Indonesia karena latar belakang budaya kolektivis membuat masyarakat Indonesia
menilai dirinya berdasarkan pendapat orang lain berbeda dengan masyarakat Barat
yang lebih individualistik. Sementara itu pada aitem 11 yang berbunyi “saya
merasa perlu untuk tampak tegar saat saya bersama orang lain”, penulis menduga
kalau aitem tersebut memiliki social desirability yang memicu orang untuk
memberikan jawaban positif lantaran konten aitem merujuk pada perilaku umum
yang dinilai tinggi oleh masyarakat Indonesia.
Selain itu, penelitian ini menggunakan subyek mahasiswa yang tergolong
dalam kelompok emerging adult. Emerging adult adalah teori perkembangan yang
baru yang mempostulatkan adanya periode perkembangan antara masa remaja dan
dewasa awal yang memiliki ciri khas tertentu, membedakannya dengan masa

remaja dan masa dewasa awal (Arnett, 2000). Salah satu karakteristik dari periode
usia ini adalah berlanjutnya pencarian identitas pada individu. Hal tersebut
berbeda dengan pandangan terdahulu yang melihat perkembangan identitas hanya
terjadi pada masa remaja saja.
Jika ditinjau dari teori perkembangan emerging adult ini, alat ukur yang
ditranslasi menunjukkan bukti validitas untuk kelompok populasi ini. Namun,
sebenarnya hasil penelitian juga dapat digeneralisasi pada kelompok remaja
karena proses perkembangan identitas sendiri secara teori merentang dari masa
remaja hingga berakhirnya masa emerging adulthood.
Kesimpulan dan Implikasi
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa subskala yang ditranslasi
memiliki bukti-bukti validitas yang cukup. Beberapa aitem yang diseleksi diduga
disebabkan oleh proses translasi dan juga aspek lain yang tidak berkaitan dengan
tujuan alat ukur sehingga prosedur penelitian yang lebih baku perlu dilakukan
untuk memastikan hasil yang didapat (back translation).
Penelitian ini merupakan studi preliminary sehingga hasil penelitian yang
didapat bukanlah hasil yang mutlak benar. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
untuk memvalidasi hasil yang penulis dapat. Selain itu, penulis menyarankan
untuk memodifikasi alat ukur tersebut dan menyesuaikannya dengan konteks
masyarakat Indonesia.
Saran

Peneliti

yang

berminat

untuk

melakukan

penelitian

mengenai

perkembangan identitas dapat menggunakan skala ini dengan terlebih dahulu
membenahi aitem-aitem yang gugur. Selain itu, dapat pula dilakukan modifikasi
terhadap aitem-aitem yang diseleksi ataupun kepada skala secara keseluruhan.
Prosedur tersebut tentunya juga harus disertai dengan rekomendasi dan diskusi
dari ahli agar hasil modifikasi alat ukur benar-benar mencerminkan konstruk yang
hendak diukur.

Daftar Acuan
Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late
teens through the twenties. American Psychologist, 55(5), 469–480.
https://doi.org/10.1037//0003-066X.55.5.469
Azwar, S. (2013). Penyusunan Skala Psikologi (2nd ed.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azwar, S. (2015). Reliabilitas dan Validitas (4th ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Erikson, E. H. (1977). Childhood And Society. Frogmore, St. Albans: Triad
Paladin.
Montgomery, M. J. (2005). Psychosocial Intimacy and Identity: From Early
Adolescence to Emerging Adulthood. Journal of Adolescent Research, 20(3),
346–374. https://doi.org/10.1177/0743558404273118
Rosenthal, D. a., Gurney, R. M., & Moore, S. M. (1981). From trust on intimacy:
A new inventory for examining erikson’s stages of psychosocial
development. Journal of Youth and Adolescence, 10(6), 525–537.
https://doi.org/10.1007/BF02087944
Rosseel, Y. (2012). lavaan: An R package for structural equation. Journal of
Statistical Software, 48(2), 1–36.
Satorra, A., & Bentler, P. M. (1994). Corrections to test Statistics and standard
Errors in covariance structure analysis. In A. von Eye & C. C. Clogg (Eds.),

Latent Variables Analysis: Applications for Development Research.
Thousand Oaks.
Schwartz, S. J., Zamboanga, B. L., Weisskirch, R. S., & Rodriguez, L. (2009). The
relationships of personal and ethnic identity exploration to indices of
adaptive and maladaptive psychosocial functioning. International Journal of
Behavioral Development, 33(2), 131–144.
https://doi.org/10.1177/0165025408098018
Weiten, W. (2011). Psychology Themes and Variations (8th ed.). Belmont:
Wadsworth.