FAKTOR FAKTOR PENYEBAB KEBERAGAMAN DAN B

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEBERAGAMAN DAN BENTUK-BENTUK
PERUBAHAN PADA CANDI-CANDI DAN BANGUNAN SUCI KEAGAMAAN DI JAWA
DAN BALI

1. Pengantar
Candi merupakan salah satu jenis peninggalan arkeologi dari masa Hindu Buddha
di Indonesia. Sebaran candi di Indonesia mencakup wilayah-wilayah yang pada masa lalu
terkena pengaruh Indianisasi yang meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Candi pada hakikatnya difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada dewa-dewi dari
pantheon Hindu ataupun Buddha, namun dalam perkembangannya juga difungsikan
sebagai monumen peringatan untuk tokoh raja ataupun bangsawan yang juga dipercaya
sebagai titisan dewa (Soekmono dalam Rahardjo, 2010: 53).
Candi di Indonesia terdiri dari banyak ragam bentuk dan latar belakang
keagamaan yang berbeda-beda. Adanya keragaman ini sangat mungkin disebabkan
karena faktor-faktor tertentu sehingga bisa berbeda satu sama lain sehingga kemudian
menyebabkan perubahan-perubahan pada bentuk dan karakter candi. Dalam tulisan ini
akan dibahas beberapa faktor yang menyebabkan keragaman candi di wilayah Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang secara luas terpengaruh agama Hindu dan Buddha.
Selain itu akan dibahas pula bentuk-bentuk perubahan yang terjadi secara arsitektural
pada candi-candi serta bangunan suci keagamaan di ketiga wilayah tersebut.
2. Faktor-Faktor Penyebab Keberagaman Bentuk Candi di Jawa Tengah, Jawa Timur,

dan Bali
a. Keberagaman sumberdaya lingkungan dan Adaptasi Lingkungan
Candi-candi peninggalan agama Hindu dan Buddha di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dalam konteks lokalitasnya berada pada satuan geografi dan geomorfologi yang
berbeda. Perbedaan ini berimplikasi pada ketersediaan sumberdaya alam yang berbeda
pula antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pun dalam membangun sebuah candi, tentu
saja seorang silpin harus pula memperhatikan ketersediaan bahan sebagai akibat kondisi
geomorfologinya1.
1 Selain dari bahan baku, topografi dan kondisi geomorfologi juga akan berpengaruh pada ragam bentuk candi.
Sebagai contoh candi Borobudur dibangun dengan bentuk seperti itu karena dibangun di atas tanah berbukit. Candi-

1

Bila kita cermati akan tampak bahwa candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta
pada umumnya dibuat dari bahan batu andesit, candi-candi di Jawa Timur selain
berbahan andesit banyak pula yang berbahan batu bata, serta candi-candi di Bali pada
umumnya dibuat pada tebing dan berbahan dasar batu padas.

Pembangunan candi


dengan ragam bahan dasar tersebut pada hakikatnya adalah salah satu bentuk
pemanfaatan sumberdaya lingkungan.
Wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta terletak pada zona depresi tengah yang
didominasi oleh gunung api kuarter seperti Gunung Slamet, Merapi, Sindoro, Slamet,
Merbabu, Dieng, dan lain sebagainya (Invanni, 2011: 1-3). Keberadaan gunung api di
wilayah tersebut banyak menghasilkan batuan beku yang dihasilkan dari pendinginan
magma dari proses vulkanisme. Batuan andesit merupakan salah satu jenis dari batuan
beku yang bisa didapatkan secara melimpah di wilayah-wilayah tersebut. Oleh karena itu
adalah suatu hal yang wajar apabila candi-candi di wilayah tersebut dibangun dari bahan
dasar batu andesit (Mundardjito, 2002).
Seperti halnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi-candi di Jawa Timur yang
terletak di dataran tinggi dan dekat dengan gunung api seperti candi-candi di wilayah
Blitar, Tulungagung, dan Malang banyak menggunakan bahan dasar batu andesit yang
merupakan produk vulkanisme gunung api Kelud dan Wilis. Adapun di wilayah
Probolinggo, Sidoarjo, dan Mojokerto tempat dimana banyak ditemukan candi-candi
berbahan dasar batu bata merupakan wilayah yang secara geomorfologi berada pada
wilayah kipas alluvial gunung api yang kaya akan endapan sedimen sebagai bahan baku
pembuatan batu bata. Sebagai contoh wilayah Trowulan yang merupakan wilayah kipas
alluvial Gunung Arjuna Welirang dan Penanggungan sangat kaya akan sedimen lempung
sehingga tidaklah mengherankan bila wilayah ini menjadi sentra industri gerabah dan

terakota baik pada masa Majapahit hingga saat ini. Hal inilah kiranya yang mungkin
menyebabkan bangunan candi di wilayah ini terbuat dari bahan dasar batu bata
(Kusumahartono dalam Tanudirdjo, 1995: 73)2.
candi di Jawa Tengah dengan bentuknya yang tambun agaknya juga bisa dihubungkan dengan strategi terhadap
ancaman kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas kegempaan karena bentuk yang demikian kemungkinan besar
lebih stabil. Faktor-faktor ekologi lain juga akan sangat berpengaruh terutama dalam penempatan situs. Pembahasan
mengenai hal ini telah dilakukan oleh Mundardjito (1993) terhadap situs-situs Hindu Buddha di Yogyakarta dan
Srijaya (1996) terhadap situs-situs Hindu Buddha di Gianyar Bali.
2 Hal yang sama terdapat pula pada kasus kompleks percandian Batujaya dan candi-candi peninggalan Sriwijaya.
Karena letak geomorfologinya yang dekat dengan bentanglahan fluvial (sungai), maka bahan dasar berupa lempung
sedimen dapat dengan mudah didapatkan dan dijadikan bahan baku pembuatan batu bata sebagai unsur konstruksi

2

Adapun di Bali, situs berupa candi pada umumnya terbuat dari batu padas. Suatu
hal yang menarik adalah karakter candi-candi di Bali berupa candi tebing. Selain candi
terdapat pula pertapaan-pertapaan yang dipahatkan pula pada tebing. Wilayah yang kaya
akan candi dan pertapaan yang dipahatkan pada tebing terdapat di wilayah Bedulu dan
Pejeng di Gianyar seperti candi Gunung Kawi, Tegalinggah, dan Goa Gajah. Wilayah
Gianyar tempat dimana banyak ditemukan bangunan suci Hindu Buddha bila dilihat dari

satuan geomorfologisnya terletak pada satuan fluvio gunung api Batur Beratan yang
mengendapkan hasil-hasil aktivitas vulkanisme. Satuan fluvial gunung api tersebut
meliputi beberapa daerah aliran sungai seperti Pakerisan dan Petanu. Dinding-dinding
aliran sungai tersebut tersusun atas batuan breksi dan tufa breksian yang kita kenal
dengan batu padas. Dinding-dinding tebing sungai inilah yang kemudian dipakai sebagai
bahan baku pembuatan candi karena jumlah sumberdayanya yang melimpah. Selain itu,
pembangunan candi tebing juga diduga berkaitan erat dengan efisiensi pemanfaatan
sumberdaya alam begitu dipertimbangkan. Dengan hanya memahat dan tidak
menambang batu menjadi balok-balok batu seperti di Jawa tentunya sumberdaya alam
yang tersedia tidak akan tereksploitasi secara dahsyat dan sebagai akibatnya sumberdaya
lingkungan di sekitarnya masih bisa lestari (Srijaya, 1996: 185).

b. Sumberdaya Manusia dan Alam Pikirannya
Beragamnya pengaturan bentuk dan penempatan candi dapat juga ditafsirkan sebagai
gambaran pikiran serta susunan masyarakatnya. Sebagai contoh candi-candi di Jawa
Tengah Utara disusun secara berkelompok namun dengan tidak disertai aturan yang baku
kemudian ditafsirkan sebagai mental template masyarakat yang berada di wilayah kuasa
dinasti Sanjaya bersifat demokratis. Adapun di Jawa Tengah Selatan candi disusun
sedemikian rupa sehingga candi induk terletak di tengah dengan candi perwara yang
teratur rapi berbaris-baris menunjukan mental template masyarakat yang dikuasai oleh

dinasti Sailendra bersifat feodal dengan rajasebagai pusatnya (Soekmono, 1973: 85).
Ukiran-ukiran serta gaya arsitektural yang sangat indah pada candi-candi di Jawa
Tengah mungkin pula menunjukan kemampuan sumberdaya manusia pada masa tersebut
bangunan candi.

3

memang sangat tinggi terlepas apakah si pembangun adalah penduduk lokal Indonesia
atau bukan. Adapun candi-candi Jawa Timur terkesan mengalami penurunan kualitas dan
kerap pula dihubungkan dengan adanya gejala penurunan kualitas sumberdaya manusia
pembuatnya. Namun hal ini kemudian banyak disangkal oleh ahli-ahli arkeologi
Indonesia dengan alasan bahwa hal tersebut tidak serta merta harus dikaitkan dengan
penurunan kualitas melainkan sebagai akibat pengaruh-pengaruh perkembangan sosial
budaya dan kemasyarakatan penduduk Jawa Kuno pada masa tersebut.
Adapun dalam kasus candi dan bangunan keagamaan di Bali tampak bahwa
masyarakat Bali pada zaman dahulu memang telah memiliki kearifan lokal dalam hal seni
bangun. Candi-candi di Bali menampakan karakter yang mandiri sejak awal masa klasik
bila dibanding candi-candi di Jawa. Keberadaan candi-candi pahat pada tebing bisa jadi
mengindikasikan karakter masyarakat yang mementingkan efisiensi tenaga dan
lingkungan—konsep keselarasan lingkungan, manusia, dan Tuhan (tri hita karana) –

karena bila saja bahan dasar bangunan berupa batu padas tersebut dieksploitasi dalam
bentuk balok-balok yang lain tentunya akan merusak lingkungan. Oleh karena itu
masyarakat Bali kuno kemudian membangun bangunan sucinya dengan cara memahati
dinding tanpa mengeksploitasi secara berlebihan sumberdaya alamnya. Selain itu aspek
pemaknaan terhadap tenaga-tenaga Ilahiah tampaknya lebih dipentingkan walau hanya
dengan bangunan yang tidak semonumental di Jawa.
c. Suasana Politik
Suasana politik dapat juga berpengaruh pada karakter pembangunan candi.
Pembangunan candi secara megah dan kaya ornamentasi di Jawa bagian tengah dan
Yogyakarta sepertinya dikarenakan iklim politik yang stabil sehingga tidak
menimbulkan banyak perang dan memungkinkan adanya ‘’waktu leluasa’’ untuk
membangun candi tanpa adanya bayang-bayang ketakutan. Keberadaan dua buah
dinasti pada masa Mataram Kuno tidak memunculkan konflik yang mungkin
menghamabat aktivitas pembangunan. Terlebih apabila pendapat Boechari mengenai
hanya ada satu dinasti di Mataram Kuno memang benar, maka aktivitas pembangunan
bangunan suci secara besar-besaran merupakan suatu hal yang wajar karena iklimnya
yang mendukung.
Pada masa klasik Jawa Timur, aktivitas pembangunan candi menurun secara
drastis dan bila pun ada ukuran dan ornamentasinya tidak semegah di Jawa Tengah.
4


Hipotesis yang mungkin bisa kita ajukan adalah bahwa pada masa tersebut iklim
politiknya tidak sestabil pada masa Mataram Kuno. Seperti kita ketahui pada masa
Kediri dan Singasari banyak terjadi konflik baik dalam lingkungan elite penguasa
lokal seperti perang perebutan kekuasaan dalam keluarga raja maupun dengan
kekuatan asing seperti Cina. Pada masa Singasari, ekspansi politik mulai dilancarkan
oleh Kertanegara untuk menguasai wilayah-wilayah Nusantara. Dengan adanya
ekspansi tersebut secara otomatis konsentrasi negara diarahkan pada hal-hal yang
sifatnya militeristik sehingga konsentrasi terhadap pembangunan bangunan suci
keagamaan tidak menjadi skala prioritas. Begitu pula pada masa Majapahit, ekspansi
politik yang dilancarkan Patih Gajah Mada lebih terkonsentrasi pada perluasan
wilayah kekuasaan dibanding dengan pembangunan infrastruktur keagamaan.
Di Bali hal yang sama mungkin juga terjadi. Pada masa pemerintahan Udayana
dan Anak Wungsu upaya pembangunan candi terlihat mencapai masa puncaknya
dengan didirikannya kompleks candi tebing dan pertapaan di sepanjang aliran sungai
Pakerisan. Pada masa-masa selanjutnya, ketika pengaruh Singasari dan Majapahit
mulai muncul aktivitas pembangunan bangunan suci kemungkinan besar mengalami
penurunan atau mungkin pula mengalami corak yang berbeda terutama mungkin bila
dikaitkan dengan adanya pembangunan candi dengan bahan-bahan organik sehingga
sisa-sisanya secara nyata tidak bisa kita saksikan saat ini.

d. Perubahan Latar Belakang Keagamaan
Latar belakang keagamaan memegang peranan yang penting dalam pembangunan
suatu bangunan suci semisal candi. Di Indonesia, khususnya di Jawa, corak latar
belakang keagamaan yang tercermin dalam karya arsitektur pada awalnya hanya
mewakili satu latar belakang keagamaan saja. Sebagai contoh candi-candi dari
periode klasik awal memang menunjukan corak Hindu dan Buddha secara terpisah
satu sama lain. Namun dalam perkembangannya candi-candi yang berasal dari masa
klasik muda seperti beberapa candi di Jawa Timur kemudian menunjukan latar
belakang keagamaan yang berbeda sehingga berpengaruh pula pada gaya dan
morfologi candinya. Perubahan latar belakang keagamaan yang sangat terlihat pada
masa klasik muda adalah terjadinya perpaduan agama Hindu dan Buddha yang lebih
dikenal dengan aliran Siwa-Buddha dan Tantrayana. Fenomena ini dalam wujudnya

5

yang real terlihat dalam bangunan candi. Termasuk dalam kategori ini misalnya candi
Jawi (Kinney, 2003: 127).
Pada masa-masa akhir Hindu Buddha di Jawa latar belakang keagamaan yang
murni Hindu atau Buddha semakin melemah. Kultus-kultus keagamaan dari Hindu,
Buddha, Siwa-Buddha, kemudian berkembang menjadi aliran yang lain seperti

tercermin dari adanya pengkultusan terhadap tokoh Bima dan Panji di Candi Cetho
dan Sukuh serta kepurbakalaan Penanggungan (Kinney, 2003: 259-78, Munandar,
1990: 187). Morfologi candi pun terlihat semakin bergaya lokal seperti bentuk
piramid dan punden berundak yang juga mengindikasikan menguatnya kembali
kepercayaan lokal (Kinney, 2003: 259).
Di Bali, pengaruh faktor latar belakang keagamaan juga terlihat jelas secara
mandiri pada candi stupa Pegulingan dan Kalibukbuk yang berkarakter Buddha.
Adapun candi-candi tebing di sepanjang DAS Pakerisan juga tampaknya
berhubungan dengan latar belakang agama Hindu Tirtha yang sangat menghormati air
sebagai

sumber

kehidupan

dan

kesuburan

(Kinney,


2003:

26). Adapun

pascakolonisasi Bali oleh Majapahit latar belakang keagamaan itu kiranya ikut juga
berubah sehingga membentuk agama Hindu yang sekarang.
e. Kearifan Lokal (Local Genius)
Kendati pengaruh asing tidak dipungkiri datang secara bertubi-tubi dari berbagai
penjuru namun rupa-rupanya masyarakat baik Jawa Kuno maupun Bali Kuno masih
memegang kearifan-kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Dalam seni
arsitektur terlihat bahwa candi-candi dan bangunan suci keagamaan dari periode Hindu
dan Buddha tidak bergaya India secara utuh kendati agama yang melatarinya berasal dari
India. Candi Borobudur sebagai contoh menunjukan kearifan lokal berupa susunan
candinya yang berbentuk stupa berundak. Kearifan lokal makin terlihat pada masa-masa
klasik akhir dengan dibangunnya candi-candi dan bangunan keagamaan yang khas
Indonesia. Bahkan pada akhir masa klasik, kearifan lokalnya makin kuat dengan
keberadaan situs-situs punden berundak yang merupakan warisan asli nenek moyang
masyarakat Indonesia.
f. Peran serta Bangsa Asing


6

Candi-candi baik Hindu maupun Buddha pada dasarnya merupakan produk
budaya yang awalnya berasal dari India. Begitu pula pada candi-candi di Indonesia
terlihat sejumlah candi yang menunjukan corak India terutama pada candi-candi di
Jawa Tengah dan Yogyakarta yang berasal dari periode klasik awal. Sebagai contoh
candi Bima memiliki gaya yang mirip dengan candi-candi di Bhuwaneswara, Sirpur,
Mammalapuram, dan Orrisa. Candi Prambanan memiliki gaya candi Buddha di
Paharpur, Benggala. Begitu pula arca-arca di dalam candi-candi di Jawa Tengah
menunjukan gaya seni arca ‘’ke-Guptaan’’ seperti misalnya yang terdapat di
Borobudur dan Plaosan (Fontein dalam Rahardjo, 2010: 34). Fenomena ini
kemungkinan besar berkaitan dengan banyaknya jumlah orang-orang India pada masa
periode awal klasik baik sebagai penyebar agama maupun para arsitek mengingat
pada awal masa klasik tentulah penduduk Jawa tidak serta merta menguasai teknologi
seni bangun/pahat serta pemahaman keagamaan yang tinggi. Hal ini semakin
dikuatkan misalnya dengan pemberitaan Cina yang menyatakan bahwa penyebar
agama Buddha di Jawa adalah Gunadharma yang berasal dari Kashmir. Tokoh ini
dalam perkembangan selanjutnya juga disebut-sebut sebagai perancang pembangunan
Borobudur (Damais dalam Rahardjo, 2010: 34).
Pada masa-masa selanjutnya jumlah orang-orang India kemungkinan besar
menurun secara drastis. Hal ini mungkin terjadi karena dalam pandangan para
penyebar agama Hindu dan Buddha maupun silpin penduduk Jawa telah secara cukup
mampu secara mandiri membangun bangunan keagamaan maupun melakukan ritual
secara mandiri setelah sekian lama mereka belajar. Hal ini terlihat dari bangunanbangunan candi yang semakin jauh dari gaya-gaya India dan bercorak lokal seperti
yang terlihat pada candi-candi periode klasik muda (Rahardjo, 2010: 34).
Adapun di Bali gejala ‘’terpengaruh’’ gaya seni India pada bangunan suci tidak
terlihat secara nyata karena sejak awal candi-candi di Bali telah menunjukan
karakternya tersendiri. Gejala yang terlihat secara signifikan mengalami pengaruh
budaya India barangkali dapat dilihat dari langgam seni arca seperti misalnya arca
Buddha di Goa Gajah yang bergaya Gupta dan arca Wisnu dari Candi Mas, Tabanan
yang bergaya Pali seperti halnya arca-arca Cibuaya (Tim Peneliti Balar Denpasar).
Fenomena ini menarik untuk dicermati terutama dalam tataran ‘’adaptasi budaya’’
7

dan akulturasi. Kendati gejala kontak dengan India di Bali sudah terlihat terjadi sejak
paro pertama abad Masehi dengan temuan gerabah Arikamedu di Sembiran, namun
pengaruh dalam hal arsitektural yang ‘’sangat India’’ tidak terlihat sekuat di Jawa
(Ardika,). Malahan berdasarkan data epigrafi kendati nampaknya sudah mengenal
dan menganut agama Hindu, kultus awal di Bali masih menampakan penyembahan
terhadap gramadevata (dewa lokal) bukannya terhadap dewa-dewa dari pantheon
Hindu seperti yang tercermin dari prasasti Trunyan A1.
3. Bentuk-Bentuk Perubahan pada Bangunan Candi di Jawa dan Bali dari Masa ke
Masa
Pengamatan terhadap aspek arsitektural dan gaya seni pada candi-candi di Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali menunjukan adanya bentuk-bentuk
perubahan seiring waktu. Bentuk-bentuk perubahan tersebut dapat diringkas dalam
tabel sebagai berikut:
a. Perubahan Bahan Baku
Perubahan bahan baku pada bangunan suci keagamaan dari fase klasik muda
di Jawa Tengah menuju fase klasik tua di Jawa Timur antara lain terlihat dari
penggunaan batu bata secara dominan pada candi-candi di Jawa Timur walaupun
sejumlah candi Jawa Timur dibangun dari bahan batu andesit pula. Penggunaan
bahan-bahan organik juga digunakan seperti pada candi induk Penataran. Di Bali
bahan baku bangunan suci keagamaan terbuat dari batu padas baik berupa candi
yang secara mandiri berdiri maupun candi dan pertapaan tebing. Pada
perkembangan selanjutnya bangunan suci keagamaan Bali tidak menampakkan
corak seperti masa sesudahnya. Sepertinya bangunan suci keagamaan pada masa
selanjutnya dibuat dari bahan-bahan organik atau kemungkinan besar merupakan
prototipe pura pada saat ini.
b. Morfologi
Bila candi-candi di Jawa Tengah secara morfologi berbentuk tambun maka
pada candi-candi di Jawa Timur candi-candinya berbentuk ramping dengan tipe
menara yang mendominasi. Selain itu pada periode Jawa Timur tampak pula
perpaduan unsur-unsur arsitektur Hindu dan Buddha seperti nampak pada candi
8

Jawi dan Jabung. Candi-candi dengan arsitektur lokal seperti punden berundak
(Penanggungan), batur tunggal (Kotes), dan tipe piramida (Sukuh dan Cetho) juga
berkembang pada masa akhir Majapahit (Munandar, 2011: 20-25).
Adapun di Bali, bentuk perubahan yang terlihat adalah dari candi tiga dimensi
seperti pada kasus candi Pegulingan yang kemudian berubah menjadi candi
tebing. Pada masa-masa selanjutnya kemungkinan besar bangunan keagamaan di
Bali dibuat dari bahan organik atau perpaduan batuan dan organik. Yang menarik
perhatian adalah bagaimana candi di Bali tidak bisa bertahan hingga sekarang
padahal latar keagamaannya kontinyu dari dulu hingga saat ini. Beberapa ahli
berpendapat bahwa transformasi candi ke dalam bentuk pura disebabkan oleh
kesinambungan perkembangan agama, Hindu, sejak masa Bali Kuno hingga
sekarang. Candi sebagai tempat pemujaan atau beribadah digunakan terus
menerus dan sedikit demi sedikit diperbaiki dari masa ke masa dalam bentuk
pura. Bukti-bukti mengenai hal tersebut antara lain terlihat dari bekas-bekas sisa
bangunan pada pura-pura tua semisal pura Pegulingan dan candi Mangening (Tim
Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2010: 340). Selain hal tersebut semangat
keagamaan di Bali juga tampaknya lebih mengedepankan aspek penghayatan
ketimbang aspek fisik bangunan keagamaan sehingga bentuk rumah ibadah candi
berubah menjadi pura.
c. Ornamentasi
Dari segi ornamentasi terlihat bahwa candi-candi di Jawa Tengah sangat kaya
akan ornamentasi dengan sifatnya yang naturalistik. Sejumlah relief yang dapat
kita saksikan di candi Borobudur dan Prambanan diadopsi dari sumber-sumber
kesusateraan India. Efek reliefnya menampakan kesamaan proporsi antara satu
objek satu sama lain. Adapun di Jawa Timur ornamentasinya tidak terlalu raya
bahkan terkesan sederhana. Relief-relief yang dipahatkan pada candi-candi dari
periode Klasik muda selain bersumber dari kesusateraan India juga bersumber
dari karya sastra lokal seperti kisah Sri Tanjung dan Bhubuksah Gagangaking.
Efek relief menunjukan adanya efek perspektif sehingga ukuran objek dalam

9

relief

merupakan

proporsi

dengan

perbandingan-perbandingan

tertentu

(Munandar, 2011: 175-85).
Satu hal yang juga sering dijadikan untuk membedakan gaya seni candi dari
periode klasik tua dan klasik muda adalah perbedaan penggambaran kala makara.
Pada candi-candi dari masa klasik tua, kala makara digambarkan tanpa rahang
bawah sedangkan pada masa klasik muda kala makara-nya digambarkan lengkap
dengan rahang bawah bahkan dengan kedua tangannya. Hal ini kemungkinan
besar disebabkan oleh kreatifitas lokal silpin, penanda gaya, atau perbedaan acuan
karya sastra mengenai penggambaran sosok Kala (Paramadhayaksha, 2010: 1701). Selain itu, hiasan-hiasan seperti motif ikal lemah dan makara yang umum
ditemukan pada depan dan tangga candi dari periode Klasik tua pada sejumlah
candi dari periode klasik muda juga tidak ditemukan.
d. Fungsi
Bila pada masa klasik tua di Jawa candi-candi difungsikan sebagai tempat
untuk pemujaan dewa-dewi baik itu dari pantheon Hindu atau Buddha, pada masa
klasik muda terjadi perluasan fungsi menjadi tempat pen-dharmaan raja
(commemorative temples). Hal ini terjadi karena pada masa klasik muda terdapat
kecenderungan terhadap kepercayaan bahwa raja adalah titisan dewa (devaraja).
Setelah ia meninggal maka ia diarcakan sebagai sosok dewa dan kemudian
dicandikan. Sebagai contoh candi-candi pada masa Jawa Timur yang dijadikan
sebagai candi pedharmaan antara lain adalah candi Jawi sebagai pedharmaan
Raja Kertanegara , candi Simping sebagai pedharmaan Raden Wijaya, candi
Tegawangi sebagai pedharmaan Gayatri dan lain sebagainya (Munandar, 2011:
138-9). dan Begitu pula pada candi-candi di Bali, beberapa diantaranya ditujukan
sebagai pedharmaan raja. Candi Mangening dan Gunung Kawi diduga merupakan
tempat pedharmaan raja Udayana, beberapa buah candi di Gunung Kawi juga
dipercaya sebagai pedharmaan Anak Wungsu menurut penafsiran dari sejumlah
prasasti seperti prasasti Tengkulak A yang menyebutkan bahwa Udayana
dicandikan di Banyuwka yang kemudian diinterpretasikan sebagai candi
Mangening (Ardana, Ardika, dan Setiawan, 2012: 85-93).
10

DAFTAR PUSTAKA
Ardana, I Gusti Gde, I Wayan Ardika, dan I Ketut Setiawan. 2012. Raja Udayana
di Bali (989-1011). Denpasar: Udayana University Press dan Pusat Kajian Bali
Invanni, Muhammad. 2011. Geomorfologi Jawa: Modul Mata

Kuliah

Geomorfologi. Surabaya: Insitut Teknologi Sepuluh November (tidak diterbitkan)
Kinney, Ann R. 2003. Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java.
Honolulu: University of Hawai’i Press
Munandar, Agus Aris. 1990. ‘’Arca dan Relief Pada Kepurbakalaan Gunung
Penanggungan: Pembicaraan Aspek Ringkas Keagamaan’’ dalam Monumen: Karya
Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia
-----------------------------. 2011. Catuspatha: Arkeologi Majapahit. Jakarta:
Wedatama Widyasastra

11

Paramadhyaksa, I Nyoman Widya. 2010. ‘’Tafsiran Kesetaraan Makna Ornamen
Karang Bhoma pada Bangunan Suci Tradisional Bali dengan Ornamen Kala pada
Arsitektur Candi’’ dalam Mutiara Warisan Budaya Sebuah Bunga Rampai Arkeologis.
Denpasar: Jurusan Arkeologi dan Program Kajian Budaya Universitas Udayana, hal. 163178
Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa dari Mataram Kuno Sampai
Majapahit Akhir. Depok: Komunitas Bambu
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta:
Kanisius
Srijaya, I Wayan. 1996. Pola Persebaran Situs Keagamaan Masa Hindu-Buda di
Kabupaten Gianyar, Bali: Suatu Kajian Ekologi. Tesis Pascasarjana Arkeologi
Universitas Indonesia
Tanudirdjo, Daud Aris. 1995. ‘’Theoretical Trends in Indonesian Archaeology’’
dalam Peter J Ucko (ed) Theory in Archaeology: A World Perspective. London:
Routledge, hal. 62-76
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II:
Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka

12