Globalisasi Pengantar Ilmu Hubungan Inte

Tugas Ringkasan II Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
NPM

: 1506734670

Kelas

: PIHI B

Globalisasi: Konseptualisasi dan Perdebatan dalam
Ilmu Hubungan Internasional
Studi hubungan internasional memahami konsep globalisasi lebih kompleks daripada
pemahaman populer masyarakat. Kompleksitas konsep tersebut pada akhirnya menghadirkan
perdebatan ilmiah berkelanjutan mengenai apa itu globalisasi dan bagaimana bisa terjadi.
Perdebatan ini berkembang tentu tidak lepas dari paradigma besar seperti Realisme dan
Liberalisme sebagai titik tolak argumen. Sesuai dengan uraian tersebut, tulisan ini akan
memaparkan konsep globalisasi dalam konteks studi hubungan internasional. Organisasi
penulisan dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian pertama menerangkan kerangka konsep
globalisasi, bagian kedua memaparkan perdebatan konsep globalisasi dalam ilmu hubungan
internasional dan bagian terakhir akan membahas kesimpulan dari tulisan ini.


Konseptualisasi Globalisasi
Konsep globalisasi berhasil memecah scholars of international relations dalam
merumuskan definisi yang tepat mengenai fenomena sosial ini. Baylis dan Smith memaparkan
beberapa definisi para akademisi mengenai konsep ini dalam bukunya The Globalization of
World Politics.1 Giddens menyebutkan bahwa globalisasi merupakan intensifikasi hubungan

sosial di seluruh dunia yang menghubungkan daerah-daerah yang jauh sedemikian rupa.
Dengan kata lain, Giddens memahami konsep tersebut dalam sebuah frasa: action at distance.2
Berbeda dengan Gilpin yang menitikberatkan globalisasi pada sebuah integrasi worldeconomy. Pandangan ini didasari dari berkembangnya pasar global semenjak kapitalisme

muncul. Kemudian, Harvey memandang globalisasi sebagai sebuah pemampatan dimensi
ruang dan waktu. Hal ini sejalan dengan adanya globalisasi yang dapat meningkatkan
interconnectedness masyarakat global dalam berinteraksi tanpa perlu mengalami hambatan

dalam jarak dan waktu. Adapun Payne dalam Global Issues merumuskan globalisasi sebagai:

1

John Baylis, Steve Smith, dan Patricia Owens, The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations (Oxford University Press, 2013), hal. 17

2
Phil Williams, Donald M. Goldstein dan Jay M. Shafritz, Classic Readings and Contemporary Debates in
International Relations (Thomson Wadsworth, 2006), hal. 365

1

“...a significant and obvious blurring of distinctions between the internal and external affairs
of countries and the weakening of differences among countries”3 Payne melihat globalisasi

sebagai sebuah fenomena yang dapat melemahkan kebudayaan dan mengaburkan pola
hubungan politik. Terlepas dari keberagaman pendapat tersebut, para akademisi memiliki
kesepakatan bahwa globalisasi bukan merupakan sebuah kondisi tunggal melainkan
serangkaian proses.4
Globalisasi, sebagai sebuah rangkaian proses, dapat diidentifikasi melalui beberapa
karakteristik tertentu. Williams dalam Classic Readings and Contemporary Debates in
International Relations menyebutnya sebagai four spatio-temporal dimension.5 Pertama, aspek

yang dapat diidentifikasi adalah adanya perluasan aktivitas sosial, politik dan ekonomi lintas
negara (the extensity). Segala aktivitas di belahan dunia dapat diketahui secara cepat dengan
adanya globalisasi. Lebih jauh lagi, signifikansi peran individu dan komunitas dalam

memengaruhi proses pengambilan keputusan memiliki porsi peran tersendiri tanpa mengenal
jarak dan waktu. Kedua, globalisasi memiliki ciri bahwa proses ini menjadikan masyarakat
memiliki pola interconnectedness yang tinggi satu sama lain (the intensification). Pola ini
memungkinkan masyarakat antar negara yang awalnya hanya memiliki isu bersama dalam
tingkat domestik atau regional kemudian mengubahnya menjadi isu global, seperti isu
perubahan iklim atau terorisme. Hal tersebut terjadi karena masyarakat merasa terhubung satu
sama lain dan tumbuhnya kesadaran bahwa dunia adalah satu kesatuan. Ketiga, interaksi global
mengalami percepatan baik dari barang, jasa, ide, informasi maupun mobilisasi massa (the
velocity). Komunikasi dan aliran informasi global dapat dengan mudah dan cepat tersebar

melalui media karena adanya globalisasi ini. Terakhir, globalisasi kerap memiliki dampak yang
besar dalam tatanan kehidupan global (the impact). Adanya anggapan batas-batas negara mulai
kabur setelah adanya globalisasi merupakan sebuah dampak besar dalam kehidupan manusia.
Merujuk dari keempat karakteristik tersebut, globalisasi dapat kita pahami sebagai sebuah
proses kompleks yang mencakup extensity of global networks, intensity of interconnectedness,
velocity of global flows dan impact prospensity of global interconnectedness.

Karakteristik konsep globalisasi tersebut muncul karena beberapa faktor penyebab. Hay
berargumen bahwa teknologi, struktur ekonomi dan politik merupakan faktor utama penyebab
terjadinya globalisasi hingga kini terus terjadi.6 Teknologi menyediakan infrastruktur yang

3

Richard J. Payne, Global Issues (Longman, 2010), hal. 9-10
Phil Williams, Donald M. Goldstein dan Jay M. Shafritz, Classic Readings and Contemporary Debates in
International Relations, hal. 565
5
Ibid., hal. 563
6
Colin Hay dan David Marsh, Demystifying Globalization (Springer, 2016), hal. 29

4

2

lebih baik dalam membuat jaringan global. Hal tersebut membantu liberalisasi pasar global
untuk mempertahankan globalisasi. Di sisi lain, apabila teknologi menyentuh tatanan fisik
globalisasi maka politik menyentuh tatanan normatif dari globalisasi.7 Peran pemerintah dalam
mengatur keterlibatan negara di arus globalisasi inilah yang merupakan faktor penyebab
globalisasi.
Merujuk dari paparan sebelumnya, globalisasi merupakan fenomena multidimensional.

Hal ini dikarenakan globalisasi menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia. Seringkali
globalisasi dianggap hanya fenomena dunia ekonomi saja padahal terdapat berbagai macam
proses lain yang sama pentingnya dengan globalisasi ekonomi. Berangkat dari kenyataan
tersebut, Baylis dan Smith kemudian memaparkan bahwa globalisasi memiliki 6 dimensi dalam
rangkaian prosesnya yaitu ekonomi, militer, hukum, ekologi, sosial dan budaya.8 Peningkatan
ekonomi lintas batas negara merupakan manifestasi globalisasi dalam dimensi ekonomi. Di
dalam aspek militer, globalisasi memudahkan perkembangan nuklir sebagai senjata dan
merebaknya isu terorisme sebagai musuh bersama. Dimensi legal pun ikut berkembang
berbanding lurus dengan meluasnya hukum internasional di tatanan global seperti adanya
International Criminal Court. Adapun isu lingkungan, seperti perubahan iklim dan punahnya

suatu spesies, yang menyebabkan respon multilateral dari berbagai negara. Selain itu,
globalisasi sosial dan budaya mencakup difusi budaya global dan peningkatan pola migrasi
dunia.
Namun, perlu diingat bahwa globalisasi bukan merupakan sebuah proses yang cepat
melainkan proses yang berangsur-angsur sepanjang peradaban kehidupan manusia. Terlepas
dari perdebatan mengenai periodisasi ini, Friedman berargumen bahwa globalisasi mengalami
periodisasi sebagai berikut:9
1. Globalization 1.0: Periode awal globalisasi ini terjadi sekitar tahun 1492-1800 yang
ditandai dengan adanya merkantilisme dan kolonialisme Eropa;

2. Globalization 2.0: Periode lanjutan globalisasi pada kurun waktu 1800-1950
merupakan fenomena awal kemunculan Multi National Corporations;
3. Globalization 3.0: Periode globalisasi masa kini yang menyebabkan the flat world
dan batas-batas negara semakin kabur karena interaksi multidimensional yang
meningkat antar negara.

7

John Baylis, Steve Smith, dan Patricia Owens, The Globalization of World Politics , hal. 22
Ibid., hal. 21
9
Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of The Twentieth Century, (New York: Farrar, Straus
& Giroux., 2005), hal. 9-10
8

3

Perdebatan Globalisasi
Globalisasi hingga kini tetap menghasilkan perdebatan baik dalam konteks empirik
maupun normatif. Perdebatan ini membantu untuk memahami dan menjelaskan fenomena

globalisasi secara komprehensif. Secara empirik, terdapat tiga kelompok besar yang
memperdebatkan apakah globalisasi merupakan mitos atau bukan. Kelompok-kelompok
tersebut adalah hyperglobalist, skeptical, dan transformationalist.10 Di sisi lain, tatanan
normatif cenderung memperdebatkan dampak dari globalisasi. Perbedaan perspektif dalam
memandang dampak globalisasi ini kemudian menimbulkan kritik terhadap globalisasi itu
sendiri.
Perdebatan empirik dimulai dari argumentasi Hyperglobalist yang memercayai
globalisasi telah mengubah setiap aspek kehidupan manusia secara esensial. Ohmae, sebagai
hyperglobalist, berargumen bahwa negara-bangsa menjadi kurang relevan dan tidak berdaya

akibat meningkatnya teknologi dan aktivitas ekonomi global.11 Pandangan ini sangat optimistik
karena mengindikasikan adanya babak baru yang mana peran dari aktor selain negara
meningkat dan mulai menyingkirkan negara-bangsa sebagai aktor utama. William pun
menambahkan beberapa tesis dari pandangan ini, yaitu:12 (1) kaum hyperglobalist percaya
bahwa negara-bangsa tradisional telah menjadi unit bisnis yang tidak alami bahkan tidak
mungkin dalam ekonomi global; (2) globalisasi ekonomi menyebabkan denasionalisasi melalui
pembentukan jaringan produksi transnasional baik perdagangan maupun arus finansial lain; (3)
globalisasi ekonomi mengimplikasikan suatu bentuk baru organisasi sosial yang menggantikan
negara-bangsa sebagai unit ekonomi dan politik primer dalam masyarakat dunia; dan (4)
globalisasi menghasilkan arsitektur baru terhadap kekuatan ekonomi dunia, tidak terpatok pada

belahan dunia Utara saja. Poin-poin argumen ini menyiratkan bahwa sikap optimistik
Liberalisme sangat kental dalam merumuskan globalisasi pada konteks hubungan
internasional.
Secara kontras, para sceptical seperti Hirst dan Thompson menegaskan bahwa
globalisasi tidak lebih dari sebuah mitos. Konsep globalisasi dianggap naif karena cenderung
mengerdilkan power dari negara-bangsa selaku aktor utama hubungan internasional. Payne
berpendapat mengenai globalisasi secara skeptis seperti berikut:13
10

Phil Williams, Donald M. Goldstein dan Jay M. Shafritz, Classic Readings and Contemporary Debates in
International Relations, hal. 548
11
Keith L. Shimko, International Relations: Perspectives, Controversies & Readings 4th edition International
edition, (Cengage Learning, 2013), hal. 192
12
Phil Williams, Donald M. Goldstein dan Jay M. Shafritz, Classic Readings and Contemporary Debates in
International Relations, hal. 549
13
Richard J. Payne, Global Issues, hal. 18


4

“..that globalization is largely a myth that disguises the reality of the existence of
powerful sovereign states and major economic divisions in the world. National
governments remain in control of their domestic economies as well as the regulation
of international economic activities.”

Argumen tersebut menyatakan bahwa globalisasi tetap menegaskan power di level state. Hal
ini dapat dilihat pada negara yang memiliki power lebih besar dari negara lain cenderung
‘memenangkan’ kompetisi di globalisasi ini. Kaum skeptical memotong presumsi sebelumnya
bahwa globalisasi menimbulkan tatanan dunia yang kurang state-centric.14 Alih-alih state sulit
melakukan mobilisasi, pemerintahan nasional justru cenderung lebih aktif dalam regulasi dan
promosi aktivitas lintas batas negara. Peran negara menjadi lebih signifikan karena adanya
keharusan untuk mengatur lalu lintas aktivitas transnasional. Berbagai peran dan fungsi akan
tetap dilaksanakan oleh negara meskipun non-state actors berkembang pesat. Globalisasi
bukan mendorong state menjadi korban, melainkan menjadi arsitek utama dalam proses
tersebut.
Berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, para transformationalist cenderung
bersifat menengahi perdebatan tersebut. Globalisasi dipahami oleh Rosenau dan Giddens
sebagai historis yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga pemerintah dan masyarakat

di seluruh dunia harus menyesuaikan diri dengan dunia yang saling berhubungan tapi sangat
tidak pasti.15 Tidak adanya perbedaan yang jelas antara internasional dan domestik, atau yang
dimaksud Rosenau adalah hubungan intermestic16, menjadi inti dari sebuah globalisasi. Berikut
merupakan pemikiran transformationalist terhadap perdebatan globalisasi sebelumnya:17
1. Jika menurut hyperglobalist globalisasi digerakkan oleh teknologi dan menurut
skeptical adalah negara dan pasar, pemikir transformationalist menyatukan keduanya

dengan beranggapan kombinasi faktor-faktor modernitas merupakan aspek penggerak
globalisasi;
2. Pemikir transformationalist tidak membuat klaim mengenai masa depan dari
globalisasi tetapi beranggapan bahwa proses ini telah membuat konfigurasi baru dari

14

Phil Williams, Donald M. Goldstein dan Jay M. Shafritz, Classic Readings and Contemporary Debates in
International Relations, hal. 552
15
Ibid., hal. 549
16
Ibid., hal. 554

17
Ibid., hal. 555

5

stratifikasi global. Hirarki geografis core-periphery kemudian menjadi hirarki ekonomi
dunia;
3. Globalisasi telah melakukan transformasi atau merumuskan kembali konteks power ,
fungsi dan otoritas dari pemerintah nasional. Pendapat ini hanya menekankan bahwa
adanya perubahan state power dan politik dunia dan tidak menjadikan state sebagai
konsep absolut satu-satunya yang memiliki power dalam interaksi internasional.

Dengan kata lain, pemikir transformationalist berargumen bahwa terlepas dari berakhirnya
nation-states, globalisasi membentuk kembali politik dunia dan state power dalam hubungan

internasional.
Argumentasi globalisasi selanjutnya kemudian terjadi dalam konteks normatif yang
memperdebatkan dampak dari fenomena globalisasi. Studi hubungan internasional mengkaji
dampak positif dari globalisasi, selain kontribusi pada Ekonomi Politik Internasional (EPI),
adalah proses ini memudahkan komunikasi satu sama lain untuk berbagi informasi dalam ruang
publik transnasional.18 Hal tersebut meningkatkan kualitas komunikasi. Konsekuensi logis
lainnya adalah cepatnya informasi tersebut memacu proses pengambilan keputusan menjadi
lebih baik karena adanya shared issues secara global, contohnya pendidikan dan kesehatan.19
Produksi obat menjadi lebih efektif karena dapat dengan mudah tersebar ke seluruh dunia.
Uraian tersebut mengindikasikan berbagi informasi telah memungkinkan orang untuk
menanggapi berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang ada di masyarakat. 20 Globalisasi
memudahkan masyarakat untuk merekam tindakan keras militer atau pelanggaran hak asasi
manusia oleh pemerintah, seperti kejadian Arab Spring 2010-2011. Fenomena tersebut
membuktikan bahwa kini telah menjadi lebih mudah untuk mengatur gerakan protes terhadap
rezim. Globalisasi menyebabkan pergeseran state-centric menjadi multi-centric21 akibat peran
teknologi di tingkat aktor internasional selain negara.
Dampak negatif yang muncul akibat globalisasi menurut studi hubungan internasional
merupakan eksploitasi ekonomi dan penggerusan budaya. Globalisasi hanya dianggap sebagai
bentuk baru dari kapitalisme mengingat negara-negara maju hanya memanfaatkan potensipotensi sumber daya negara-negara berkembang.22 Ketika banyak perusahaan multinasional

18

Phil Williams, Donald M. Goldstein dan Jay M. Shafritz, Classic Readings and Contemporary Debates in
International Relations, hal. 561
19
Keith L. Shimko, International Relations, hal. 191
20
Ibid., hal. 192
21
Colin Hay dan David Marsh, Demystifying Globalization , hal. 27
22
Keith L. Shimko, International Relations, hal. 204

6

beroperasi di suatu negara, hak-hak warga negara banyak yang terabaikan. Hal tersebut dapat
terjadi karena perusahaan tersebut mengambil lahan-lahan warga dan adanya kecenderungan
perusahaan untuk tidak mempedulikan permasalahan lingkungan. Lebih jauh lagi, isu
homogenitas budaya yang cenderung menggerus nilai-nilai budaya lokal menjadi dampak
globalisasi bagi kebudayaan.23 Homogenitas tersebut memacu hilangnya sebuah tradisi,
keyakinan, identitas dan sense of belonging dari suatu masyarakat.
Perdebatan-perdebatan di atas pada dasarnya menambah khasanah studi hubungan
internasional. Namun, perdebatan ini menurut Shimko didasari oleh dua pertanyaan umum:
pertama, apakah kita melihat kemunculan suatu masyarakat global yang tunggal dan kedua,
jika ya, apakah pembangunan tersebut menguntungkan atau membahayakan bagi kita. 24 Kaum
Realis cenderung menjawab pertanyaan pertama secara negatif sehingga pertanyaan kedua
menjadi tidak relevan. Berbeda dengan kaum Liberalis dan Marxis yang sepakat setuju pada
pertanyaan pertama namun berbeda pendapat di pertanyaan kedua. Para Liberalis meninjau
globalisasi sebagai positive force. Tetapi, sejalan dengan argumentasi awal mereka yang
menganggap globalisasi merupakan kapitalisme global, kaum Marxis melihat globalisasi
sebagai proses yang sangat tidak menguntungkan.

Kesimpulan
Selama bertahun-tahun, konsep globalisasi dalam konteks hubungan internasional
berkembang karena munculnya berbagai perdebatan dari para scholars. Terlepas dari
kompleksitas penentuan definisi, secara umum globalisasi merujuk pada artian konsep
multifaset yang melingkupi sosial, kebudayaan, ekonomi, teknologi dan proses politik secara
bertahap dalam membentuk masyarakat global. Kompleksitas mengenai globalisasi diuraikan
oleh scholars ke dalam 3 pandangan: kaum Realis yang skeptis terhadap globalisasi, kaum
Liberalis yang optimis terhadap fenomena globalisasi dan kaum Marxis yang memandang
globalisasi sebagai penataulang tatanan kehidupan masyarakat global. Dengan demikian,
kajian studi hubungan internasional mengenai globalisasi menjadi lebih komprehensif
daripada pemahaman populer masyarakat.

23

Martin Griffiths, Terry O'Callaghan, dan Steven C. Roach, INTERNATIONAL RELATIONS: The Key
Concepts Second Edition, (New York: Routledge, 2008), hal. 132
24
Keith L. Shimko, International Relations, hal. 206

7

Daftar Pustaka
Baylis, John, Steve Smith, dan Patricia Owens. 2013. The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations. Oxford University Press.
Friedman, Thomas L. 2005. The World is Flat: A Brief History of The Twentieth Century. New York:
Farrar, Straus & Giroux.
Griffiths, Martin, Terry O'Callaghan, dan Steven C. Roach. 2008. INTERNATIONAL RELATIONS:
The Key Concepts Second Edition. New York: Routledge.
Hay, Colin, dan David Marsh. 2016. Demystifying Globalization. Springer.
Payne, Richard J. 2010. Global Issues. Longman.
Shimko, Keith L. 2013. International Relations: Perspectives, Controversies & Readings 4th edition
(International edition). Cengage Learning.
Williams, Phil, Donald M. Goldstein, dan Jay M. Shafritz. 2006. Classic Readings and Contemporary
Debates in International Relations. Thomson Wadsworth.

8