ISTISHAB DAN MAZHAB SHAHABY DALAM EKONOM
ISTISHAB DAN MAZHAB SHAHABY DALAM EKONOMI KEUANGN
KOTEMPORER
A. Istishab
1. Pengertian Istishab
Istishab dalam bahasa latin berasal dari kata shuhbah, artinya “menemani
atau menyertai”, dalam arti menuntut kebersamaan atau “terus-menerusnya
bersama”
Sedang menurut istilah, ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang
mendefinisikannya, diantaranya adalah:
a. Imam al-Asnawy:
ُ ِل رّلز رَ م ان الرَ ورّ ل ِل رَ ع درَ م ُِ و جُِ وِْ د رَ م ايرَِصِْ ُِّ ُِِح ِلّلترّ رَرغيّر: ثُِ بُِ وِْ ت ه ف:َ ب نرَ ً ء رَ عّر: ِل رّلز رَ م ان ِللثرّ ان:اب ع برَ رَار ة ٌ عرَ ن ِِْل ُِلح ِْ ك م اي ُِِْلث بلتُِ وِْ انرَ رَ ِْ م ًرُ ف
َرَ رّان ِْالاسِْلتِصِْ رَلح ر
Artinya : “Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan
sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai
ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.”
b. Hasby Ash-Shiddiqy:
ِللح ل
َ ِْ ر: رَ و ِِْل رَلح ضرُ (ايُِ وِْ جبُِ ظرَ رّ ن ثُِ بُِ وِْ ت ه ف: ِِْل رَم ض: رَ م رَك انرَ رَ عّرَيِْ ه ل ِْان رَ د م ِِْلُِم رَرغيِرُ ( علتقرَ ُِ د رَك وِْ ان ِل رّشئ ف:َِْ بقرَ ُِ ء رَ م رَك انرَ رَ عّر
رَ و ِْالاسِْلت ِْق برَ ل
Artinya : “Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada,
karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum
diyakini.”
Dengan demikian, istishab adalah tetap memberlakukan ketetapan hukum
yang telah ditetapkan atau yang telah ada sejak awal, sampai ditemukan ketetapan
hukum lain yang mengubahnya.
2. Klasifikasi Istishab
Para ahli ushul menyatakan bahwa istishab dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa bentuk, di antaranya adalah:
a.
ِللشاي ء:ّاسلتِصلح اب ِللح ك م لص
Al-istishab bagian ini membawa maksud pada asalnya sesuatu itu adalah
harus ketika tiada dalil yang menyalahinya apabila perkara itu memberi
manfaat dan haram apabila sesuatu perkara itu mendatangkan kemudharatan.
Antara dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal itu harus pada perkaraperkara yang membawa manfaat ialah :
Firman Allah Taala:
ّ ِلسم ء فس و ر: الرَارض جمي ً ع ث م اسلت وى إِل:ه و ِلذى خّق ِل ك م رّ م ف
ت وه و ب كل
ٍ ۚ رّىه ن اس بع اسم و
ٍ ء عّي ٌ م :ا
Maksudnya :“Dialah (Allah( yang menjadikan untuk kamu segala yang ada di
bumi”.
Seterusnya firman Allah Taala:
ّ الارض جمي ً ع ِ م ن ۚ ه ر: ِلسم وت و م ف: واس رّخرُِل ك م رّ م ف
ق و م ايلتف كرُ وانرَ
ٍ ذِلك رَالرَاي:إان ف
ٍ ِت ِل
Maksudnya :“Dan ia memudahkan untuk (faedah dan kegunaaan( kamu,
segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai rahmat pemberian(
daripadanya; Sesungguhnya semuanya itu mengandungi tanda-tanda (yang
membuktikan kemurahan dan kekuasaanNya( bagi kaum yang memikirkannya
dengan teliti ”.
Daripada kedua-dua ayat tersebut,dapat dipahami bahwa segala yang ada
di bumi adalah untuk manusia dan ia diharuskan untuk mereka. Sekiranya
perkara tersebut diharamkan ke atas mereka, tentunya Allah tidak
menjadikannya untuk manusia.
Selain itu, antara dalil yang menunjukkan bahawa asal pada perkara yang
memudharatkan dan tidak dijelaskan oleh syara’ hukum yang tertentu
mengenainya adalah haram seperti hadis yang bahawa Rasulullah bersabda:
ل ضرُار ول ضرُ ار
Maksudnya :“ Tidak mudharat dan tidak memudharatkan ”.
Melalui hadis ini, dapat dipahami bahwa hadis ini merupakan larangan
kepada setiap perkara yang membawa kemudharatan samaada jiwa maupun
orang lain kerana setiap yang membawa kemudharatan maka hukumnya
adalah haram.
b.
إاسلتِصلح اب ِل ع د م الصّل أ و ِل برُ ء ة الصّية
Al-Istishab bagian ini membawa maksud berterusan ataupun berkekalan.
Al-Istishab ini juga didefinisikan sebagai pada asalnya seseorang adalah
terlepas daripada bebanan dan kewajipan syara’ sehinggalah terdapat dalil atau
bukti yang menunjukkan untuk memikul tanggungjawab tersebut. Misalnya
ialah lelaki dan wanita tidak ditaklifkan untuk memikul tanggungjawab
sebagai suami isteri selagi mereka belum diakad dengan perkahwinan yang
sah.
Di antara contoh lain juga ialah jika seseorang mendakwa Muhammad
berhutang kepadanya dan tidak mengemukakan bukti sedangkan Muhammad
tidak mengakui dakwaan tersebut, maka tertuduh itu Muhammad terlepas
daripada hutang itu karena asalnya dia terlepas daripada sebarang bebanan
atau tanggungjawab sehingga terdapat dalil menunjukkan sebaliknya.
c. ايلث بت خلش ف ه:إاسلتِصلح اب ِل وصص ِلملث بت ِلّلح ك م ِلشرُ عل حلت
Al-Istishab ini bermaksud hukum itu tetap dengan sifat asalnya, yaitu asal
ketetapan syara’ pada sesuatu hukum sama ada ia harus atau haram sehingga
terdapat dalil yang menunjukkan hukum yang sebaliknya.
Antara contohnya ialah air pada asalnya adalah bersih dan dihukum bersih
dan suci kecuali terdapat tanda-tanda yang menunjukkan air tersebut dikotori
najis seperti berubah bau, warna atau pun rasa. Contoh lain ialah asal semua
makanan di bumi adalah halal tetapi apabila datang ayat al-Quran yang
menegahnya dan mengecualikannya maka terdapat makanan yang halal dan
haram untuk dimakan.
Contoh al-istishab ini juga ialah sifat suci adalah berkekalan kerana sifat
suci apabila thabit, maka diharuskan untuk mengerjakan sembahyang dan
hukum suci tersebut terus kekal sehinggalah thabit sebaliknya iaitu berlaku
salah satu daripada perkara-perkara yang membatalkan wudu’.
3. Kehujjahan Teori Istishab
Dalam menanggapi persoalan boleh dan tidaknya teori istishab dijadikan
hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, para ahli hukum Islam berbeda-beda
dalam memberikan tanggapan:
1( Mayoritas ulama mutakallimin, seperti Hasan al-Bashriy, berpendapat bahwa
Istishab secara mutlak tidak dapat dijadikan hujjah dalam ber-istinbathil hukm
al-syar’iy, sebab menentukan kepastian ada dan tidaknya hukum terdahulu
harus bisa dibuktikan keberadaannya dengan suatu dalil.
2( Mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah, dan
Dzahiriyyah berpendapat bahwa teori istishab secara mutlak dapat dijadikan
hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, selama belum ada dasar lain
yang merubahnya.
3( Sebagian besar ulama mutaakhirin dari sebagian kelompok Hanafiyyah
berpendapat bahwa teori istishab bukan merupakan hujjah dalam menetapkan
sesuatu yang tidak tetap, tetapi hanya melestarikan, sebab istishab hanya
merupakan hujjah dari ketetapan yang sudah ada berdasarkan keadaan semula.
Dari ketiga pandangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa teori istishab
tetap saja dapat dijadikan sebagai hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy,
baik yang berhubungan dengan peribadatan, mu’amalah, adat dan lain-lain yang
ada hubungannya dengan kemanusiaan, sebab dengan diperbolehkannya teori
istishab sebagai hujjah ber-istinbathil hukm al-syar’iy, akan memberikan peluang
yang sangat baik bagi para praktisi hukum dalam mengeluarkan atau menetapkan
fatwa-fatwa mereka secara mudah.
4. Pembagian Istishab
a.
Istishab al-Bara’at al-Ashliyyah yang menurut Ibnu Qayyim disebut Bara’at
‘Adam al-ashilyyah seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif
sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya. Seperti anak kecil sampai
dengan datangnya baligh, tidak ada kewajiban dan hak antara seorang lakilaki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya aqad
nikah.
b.
Istishab yang ditunjukkan oeh syara’ atau akal seperti seseorang harus tetap
bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah
melunasinya.
c.
Istishab hukum seperti sesuatu telah ditetapkan dengan hukum mubah atau
haram maka hukum ini terus berlangsung sampai ada dalil yang
mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram.
Asal dalam sesuatu (mu’amalah( adalah kebolehan. Kebolehan ini didasarkan
kepada firman Allah: al baqarah 29 dan al jatsiyah 13
d.
Istishab Washaf seperti hidupnya seseorang di nishbahkan kepada orang yag
hilang, Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa setiap fuqaha yang
menggunakan istishab dari macam pertama sampai dengan ketiga.
Sedangkan bentuk keempat, mereka berpendapat, ulama-ulama Syafi’iyah
dan Hanbaliyah menggunakan istishab washaf secara mutlak, dalam arti bisa
menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta
bisa pula menetapkan hak-hak yang baru; sedangkan ulama Malikiyah hanya
menggunakan istishab washaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah
ada, sedang untuk hak-hak yang baru mereka tidak mau memakainya.
Sebagai contoh, apabila seseorang dalam keadaan hidup meningalkan
kampung halamannya maka orang ini oleh semua madzhab dianggap tetap
hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ia telah meninggal
dunia. Oleh karena itu tetap istrinya ada dalam tanggung jawabnya dan
pemilikannya terhadap sesuatu tidak berubah. Apabila kemudian orangtua
dari orang yang hilang ini meninggal dunia maka menurut Malikiyyah dan
Hanafiyyah, qayyim yaitu orang tang mengurus harta si mafkud atas dasar
istishab, tetapi bagiannya dipelihara sebagai amanat sehingga jelas ia masih
hidup. Apabila sebaliknya yaitu ahli waris si mafkud minta dibagi harta
warisan si mafkud maka hal ini ditolak berdasarkan istishab, inilah yang
dimaksud istishab yang digunakan ulama-ulama Hanafiyyah, li daf’ al-itsbat
yaitu untuk menolak bukan untuk menetapkan.
5. Penerapan Istishab
Didalam penerapan istishab, para ulama banyak berbeda pendapat, di
antaranya:
a. Apabila seseorang telah berwudhu kemudian ia ragu apakah telah batal atau
belum? Apakah orang ini terus shalat dan syah shalatnya berdasarkan
istishab? Sedangkan menurut Imam Malik dia tidak boleh shalat sebelum
berwudhu lagi, alasannya dalam hal ini ada dua pertentangan pokok:
Pertama, berdasarkan istishab tetap mempunyai wudhu. Sedangkan yang
kedua, tanggung jawab kewajiban untuk melaksanakan shalat yang
berdasarkan istishab pula terus menjadi kewajiban sehinggal dilaksanakan
dengan wudhu yang jelas, yakin dan tidak meragukan, sedangkan wudhu
dalam maslah tersebut diatas diragukan dan kerguan dalam wudhu
menghilangkan syarat shalat. Dalam hal ini Imam Malik jelas mentarjihkan
istishab yang kedua, maka wajib wudhu yang baru. Menurut Abu Zahrah
pendapat Imam Malik lebih pabtas untuk diterima.
b. Contoh lain apabila seseorang mentalak istrinya kemudian ia ragu apakah
talaknya itu satu atau tiga. Jumhur Fuqaha menetapkan jatuh satu, menurut
Imam Malik jatuh talak tiga karena di sini juga ta’arudl di antara dua
pokok/asal, pertama, tetapnya kehalalan sampai ada yang mengubahnya,
sedang telah terjadi kerguan yang mengubahnya adalah talak, makan
berdasarkan istishab dia tetap istrinya (dalam kehalalannya(. Kedua,
apabila talak itu ditetapkan dengan yakin makan yang meragukan adalah
apakah boleh rujuk atau tidak, rujuk tidak bisa ditetapkan dengan syak.
Dalam hal ini pendapat jumhur yang lebih kuat, karena kehalalan di dalam
nikah itu meyakinkan juga yang meyakinkan di sini adalah dia telah
mentalaknya dan talak yang paling sedikit adalah satu.
c. Contoh lain lagi, apabila seseorang menjatuhkan talak tetapi, kemudian dia
ragu kepada istri yang pertama atau kedua, menurut Imam Malik jatuh talak
kepada kedua istri tadi karena mengucapkam talaknya meyakinkan.
Menurut jumhur ulama tidak jatuh talak sama sekali baik kepada istri yang
pertama ataupun kepada istri yang kedua. Sebab yang meyakinkan adalah
adanya pernikahan antara si laki-laki dan si istri yang pertama dan kedua.
Pendapat Imam Malik ini mendapat kritikan dari Ibnu Hazm:
“Mereka telah jatuh kepada kebathilan yang meyakinkan karena telah
mengaharamkan yang yakin halalnya yaitu istri-istri yang belum ditalak
dengan tanpa meragukan lagi. Dan membolehkan yang yakin haramnya
yaitu membolehkan para wanita-wanita bagi manusia yang belum ditalak
oleh suaminya.” Demikian pandangan Ibnu Hazm.
6. Penggunaan Istishab
Penggunaan istishab didasarkan kepada:
1. Penelitian bahwa hokum hokum syra’ menunjukan tetap berlaku
terus sesuai dengan ketetapan dalil, hingga ada dalil lain yang
mengubahnya seperti keharaman minuman yang memabukkan,
terus berlangsung, hokum haram ini sampai berubah sifat
memabukannya
2. Dari segi akal : Bahwa manusia dianggap hidup karena ada tanda tanda kehidupannya (bernafas) sampai ada bukti lain bahwa ia telah
meninggal. Seseorang dianggap suami istri karena sebelumnya
melakukan aqad nikah, sampai ada bukti lain bahwa mereka telah
bercerai misalnya dengan talak.
B. Madzhab (Qaul( Shahabiy
1. Pengertian Aqwal Shahabat/Madzhab Shahabat
Telah dapat diketahui bersama bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, orang yang
memiliki hak untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum-hukum Islam untuk
kepentingan umat Islam adalah para sahabat yang benar-benar ahli dalam bidang
hukum dan seluk-beluknya.
Yang perlu diingat adalah bahwa semua produk hukum Islam pada dasarnya hanya
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits dan tidak ada peluang sedikitpun bagi
seseorang untuk menetapkan status hukum syari’ah, hanya saja dalam memastikan
validalitas nash, tetap membutuhkan adanya periwayatan dari generasi ke-generasi,
sebab dalam realitasnya suatu bacaan ayat-ayat al-Qur’an bisa dipastikan statusnya
sebagai al-Qur’an jika diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah kepada sahabat,
lalu ke generasi sahabat selanjutnya. Begitu juga hadis memiliki kekuatan hukum jika
diriwayatkan secara benar dan shahih dari Rasulullah kepada sahabat, lalu ke generasi
sahabat selanjutnya.
Dengan demikian, aqwal sahabat adalah semua perkataan, tindakan, dan ketetapan
sahabat dalam meriwayatkan dan memutuskan suatu persoalan. Karena itu semua
aqwal sahabat dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan awal karena legalitasnya
sebagai sumber hukum Islam tersendiri. Oleh sebab itu, para imam mujtahid
bersepakat untuk mengadopsi fatwa-fatwa atau aqwal sahabat dalam persoalan
ijtihadiyyah, sebab fatwa-fatwa atau aqwal tersebut sebagai bagian dari khabar
taufiqiy (riwayat dogmatik( yang bersumber langsung dari Nabi SAW.
2. Kehujjahan Aqwal Sahabat
Apakah pendapat sahabat itu bisa dijadikan sebagai hujjah atas tabi’in dan tabi’ittabi’in, padahal perbedaan ini terjadi hanya pada persoalan ijtihad yang mereka pakai?
Sedang untuk menanggapi persoalan ini, para ahli berbeda pandangan, diantaranya
adalah:
a. Imam Malik, Abu Bakar al-Raziy, Abu Sa’id (pengikut Abu Hanifah(, Imam
Syafi’iy (dalam qaul qadim-nya(. Dan Imam Ahmad bin Hanbal (dalam satu
riwayat( berpendapat bahwa aqwal shahabat atau mazhab shahabat dapat
dijadikan sebagai hujjah oleh generasi penerusnya. Dasarnya adalah:
Al-Qur’an, Qs. Ali Imran: 110:
ِْ ُِك ِْ نلتُِ ِْ م خرَ ي رَِْرُ أُِ رّ م ٍة أُِ ِْخرُ رَ ج
ُت ِلّ نرّ س ترَأِْ ُِ مرُُِ وانرَ ب ِِْل رَم ِْ عرُُِ وف رَ و ترَ ِْ نهرَ وِْ انرَ عرَ ن ِِْل ُِم ِْ ن رَ كرُ رَ و تُِ ِْؤ م نُِ وانرَ ب رّل رَ وِلرَ وِْ آرَ رَ م نرَ أرَ ِْه ُِل ِِْل كلترَ اب ِلرَ رَ ك انرَ خرَ ِْي ًر
َِلرَهُِ ِْ م م ِْ نهُِ ُِ م ِِْل ُِم ِْؤ م نُِ وانرَ رَ و أرَ ِْكلثرَ ُِرُهُِ ُِ م ِِْلفرَ اسقُِ وانر
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orangorang yang fasik.”
Hadis riwayat ‘Abd bin Humaidi:
أرَصِْ رَلح ب ِْل رَك ِل نّجُِ وِْ م فرَ بأرَايِه ِْ م ِْقلترَ رَ د ِْايلتُِ ِْ م ِْهلترَ رَ د ِْايلتُِ ِْ م
“Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang (di langit(, maka
dengan siapapun dari mereka yang kalian mengikutinya, niscaya kalian
akan memperoleh petunjuk (kebenaran(.”
b. Jumhur Asy’ariyyah dan Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Syafi’iy (dalam qaul jadidnya(, Abu Hasan al-Kharkhiy (dari kelompok Hanafiyyah(, dan Malikiyyah
berpendapat bahwa aqwal shahabat tidak bisa dijadikan hujjah atas sahabat
lain, dengan alasan:
Ayat al-Qur’an surat al-Hasyr: 2:
ِص ار
َ فرَ ِْ علترَ برُُِ و ايرَ أُِ وِلل ِْالرَ ِْ ب ر
"Maka ambillah (kejadian itu( untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai wawasan."
Dalam ayat ini terdapat kata i’tibar (mengambil pelajaran(, yang
maksudnya adalah qiyas. Dan bentuk kalimatnya adalah amr (perintah(,
yang berarti berijtihad. Sedang bersamanya qiyas dan ijtihad dalam kata ini
memberikan pemahaman bahwa setiap mujtahid tidak boleh bertaqlid
kepada mujtahid yang lain, baik mujtahid itu shahabat atau bukan.
Adanya kenyataan bahwa hasil ijtihad shahabat satu dengan shahabat
yang lain tidak sama, seperti yang terjadi antara sahabat ‘Umar dan Ali
Bin Abi Thalib dalam kasus sebagai berikut:
“ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang masih dalam
keadaan iddah dari suami pertama, lalu dipisahkan atau diceraikan lantaran
pernikahannya dianggap tidak sah.”
Dalam menanggapi kasus ini, para sahabat berbeda pendapat:
Sahabat Umar bin Khathab dengan menggunakan teori qiyas, dengan
mengatakan bahwa laki-laki tersebut haram mengulangi nikahnya
kembali. Hal ini diqiyaskan dengan terhalangnya hak waris bagi ahli
waris yang membunuh pewarisnya. Dimana illatnya adalah tergesa-gesa
melakukan sesuatu sebelum sampai saatnya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib menggunakan teori istishab bara’ah alashliyyah, yaitu berpegang pada keadaan asal yang dekat, dengan
mengatakan bahwa laki-laki tersebut boleh menikahi kembali wanita
tersebut setelah diceraikan suaminya dan setelah habis masa iddah
dengan suami pertamanya, sebab asalnya wanita tersebut telah
diceraikan dan telah berlangsung habis masa iddahnya.
Imam Ibnu Qayyi di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in menyatakan 43 alasan
(juz 4:148( yang mewajibkan mengikuti madzhab al-shahaby yang akhirnya beliau
berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
1. Fatwa yang didengar sabahabat dari Nabi.
2. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi.
3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap al-Qur’an yang agak kabur
pemahaman ayatnya bagi kita.
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah
seorang sahabat.
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun
tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksudmaksudnya. Kelima hal ini adalah hujjah yang wajib diikuti.
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dari salah
pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujjah.
Prof. Hasbi Ash. Shiddieqy di dalam bukunya Pengantar Hukum Islam
menyebutkan beberapa teknis lain di dalam turuqul istinbath (162-168( yang juga
tidak di sepakati oleh para ulama diantaranya:
1. Didalam menentukan ukuran /kabar diambil paling sedikit apabila ada perbedaan
pendapat karena yang palig sedikit itulah yang diannggap yang disepakati oleh
semua
2. Memegang yang nyata atau yang lebih nyata, hal ini dilakukan ketika tidak
diperoleh dalil yang menyamainya.
3. Mengambil hokum dengan ihtiyath
Dasarnya hadist Nabi:
“tingkalkanlah apa yang meragukanmu dan ambilah yang tidak meragukanmu”.
Hadist riwayat al-Tirmidzi dan al-Nasa’I dari Ali Bin Abi Thalib.
Ihtiyath sering diartikan sebagai melakukan tindakan untuk memelihara diri dan
menurut al-Khadimi, ihtiyath berarti memegang yang lebih kuat.
4. Menetapkan tak ada hokum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang
menunjukan sesuatu hokum sesudah dijalankan pembahasan yang luas.
5. Menetapkan hokum dengan dasar undian, al-qur’ah ini didasarkan kepada hadist
atau umumnya ayat:
“Dari ‘Aisya berkata Rasulullah SAW apabila hendak pergi mengundi istriistrinya yang akan dibawa”.
Penerapan kaidah-kaidah diatas harus dilakukan denga sangat hati-hati. Ruang
lingku dan kekecualiaan dari kaidah-kaidah tersebut harus diperhatikan. Hal ini di
dasarkan pada alasan bahwa tidak semua masalah dapat di selesaikan dengan
menggunakan satu kaidah., dan penerapan kaidah ada satu kasus tidak selau tepat.
KOTEMPORER
A. Istishab
1. Pengertian Istishab
Istishab dalam bahasa latin berasal dari kata shuhbah, artinya “menemani
atau menyertai”, dalam arti menuntut kebersamaan atau “terus-menerusnya
bersama”
Sedang menurut istilah, ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang
mendefinisikannya, diantaranya adalah:
a. Imam al-Asnawy:
ُ ِل رّلز رَ م ان الرَ ورّ ل ِل رَ ع درَ م ُِ و جُِ وِْ د رَ م ايرَِصِْ ُِّ ُِِح ِلّلترّ رَرغيّر: ثُِ بُِ وِْ ت ه ف:َ ب نرَ ً ء رَ عّر: ِل رّلز رَ م ان ِللثرّ ان:اب ع برَ رَار ة ٌ عرَ ن ِِْل ُِلح ِْ ك م اي ُِِْلث بلتُِ وِْ انرَ رَ ِْ م ًرُ ف
َرَ رّان ِْالاسِْلتِصِْ رَلح ر
Artinya : “Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan
sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai
ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.”
b. Hasby Ash-Shiddiqy:
ِللح ل
َ ِْ ر: رَ و ِِْل رَلح ضرُ (ايُِ وِْ جبُِ ظرَ رّ ن ثُِ بُِ وِْ ت ه ف: ِِْل رَم ض: رَ م رَك انرَ رَ عّرَيِْ ه ل ِْان رَ د م ِِْلُِم رَرغيِرُ ( علتقرَ ُِ د رَك وِْ ان ِل رّشئ ف:َِْ بقرَ ُِ ء رَ م رَك انرَ رَ عّر
رَ و ِْالاسِْلت ِْق برَ ل
Artinya : “Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada,
karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum
diyakini.”
Dengan demikian, istishab adalah tetap memberlakukan ketetapan hukum
yang telah ditetapkan atau yang telah ada sejak awal, sampai ditemukan ketetapan
hukum lain yang mengubahnya.
2. Klasifikasi Istishab
Para ahli ushul menyatakan bahwa istishab dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa bentuk, di antaranya adalah:
a.
ِللشاي ء:ّاسلتِصلح اب ِللح ك م لص
Al-istishab bagian ini membawa maksud pada asalnya sesuatu itu adalah
harus ketika tiada dalil yang menyalahinya apabila perkara itu memberi
manfaat dan haram apabila sesuatu perkara itu mendatangkan kemudharatan.
Antara dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal itu harus pada perkaraperkara yang membawa manfaat ialah :
Firman Allah Taala:
ّ ِلسم ء فس و ر: الرَارض جمي ً ع ث م اسلت وى إِل:ه و ِلذى خّق ِل ك م رّ م ف
ت وه و ب كل
ٍ ۚ رّىه ن اس بع اسم و
ٍ ء عّي ٌ م :ا
Maksudnya :“Dialah (Allah( yang menjadikan untuk kamu segala yang ada di
bumi”.
Seterusnya firman Allah Taala:
ّ الارض جمي ً ع ِ م ن ۚ ه ر: ِلسم وت و م ف: واس رّخرُِل ك م رّ م ف
ق و م ايلتف كرُ وانرَ
ٍ ذِلك رَالرَاي:إان ف
ٍ ِت ِل
Maksudnya :“Dan ia memudahkan untuk (faedah dan kegunaaan( kamu,
segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai rahmat pemberian(
daripadanya; Sesungguhnya semuanya itu mengandungi tanda-tanda (yang
membuktikan kemurahan dan kekuasaanNya( bagi kaum yang memikirkannya
dengan teliti ”.
Daripada kedua-dua ayat tersebut,dapat dipahami bahwa segala yang ada
di bumi adalah untuk manusia dan ia diharuskan untuk mereka. Sekiranya
perkara tersebut diharamkan ke atas mereka, tentunya Allah tidak
menjadikannya untuk manusia.
Selain itu, antara dalil yang menunjukkan bahawa asal pada perkara yang
memudharatkan dan tidak dijelaskan oleh syara’ hukum yang tertentu
mengenainya adalah haram seperti hadis yang bahawa Rasulullah bersabda:
ل ضرُار ول ضرُ ار
Maksudnya :“ Tidak mudharat dan tidak memudharatkan ”.
Melalui hadis ini, dapat dipahami bahwa hadis ini merupakan larangan
kepada setiap perkara yang membawa kemudharatan samaada jiwa maupun
orang lain kerana setiap yang membawa kemudharatan maka hukumnya
adalah haram.
b.
إاسلتِصلح اب ِل ع د م الصّل أ و ِل برُ ء ة الصّية
Al-Istishab bagian ini membawa maksud berterusan ataupun berkekalan.
Al-Istishab ini juga didefinisikan sebagai pada asalnya seseorang adalah
terlepas daripada bebanan dan kewajipan syara’ sehinggalah terdapat dalil atau
bukti yang menunjukkan untuk memikul tanggungjawab tersebut. Misalnya
ialah lelaki dan wanita tidak ditaklifkan untuk memikul tanggungjawab
sebagai suami isteri selagi mereka belum diakad dengan perkahwinan yang
sah.
Di antara contoh lain juga ialah jika seseorang mendakwa Muhammad
berhutang kepadanya dan tidak mengemukakan bukti sedangkan Muhammad
tidak mengakui dakwaan tersebut, maka tertuduh itu Muhammad terlepas
daripada hutang itu karena asalnya dia terlepas daripada sebarang bebanan
atau tanggungjawab sehingga terdapat dalil menunjukkan sebaliknya.
c. ايلث بت خلش ف ه:إاسلتِصلح اب ِل وصص ِلملث بت ِلّلح ك م ِلشرُ عل حلت
Al-Istishab ini bermaksud hukum itu tetap dengan sifat asalnya, yaitu asal
ketetapan syara’ pada sesuatu hukum sama ada ia harus atau haram sehingga
terdapat dalil yang menunjukkan hukum yang sebaliknya.
Antara contohnya ialah air pada asalnya adalah bersih dan dihukum bersih
dan suci kecuali terdapat tanda-tanda yang menunjukkan air tersebut dikotori
najis seperti berubah bau, warna atau pun rasa. Contoh lain ialah asal semua
makanan di bumi adalah halal tetapi apabila datang ayat al-Quran yang
menegahnya dan mengecualikannya maka terdapat makanan yang halal dan
haram untuk dimakan.
Contoh al-istishab ini juga ialah sifat suci adalah berkekalan kerana sifat
suci apabila thabit, maka diharuskan untuk mengerjakan sembahyang dan
hukum suci tersebut terus kekal sehinggalah thabit sebaliknya iaitu berlaku
salah satu daripada perkara-perkara yang membatalkan wudu’.
3. Kehujjahan Teori Istishab
Dalam menanggapi persoalan boleh dan tidaknya teori istishab dijadikan
hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, para ahli hukum Islam berbeda-beda
dalam memberikan tanggapan:
1( Mayoritas ulama mutakallimin, seperti Hasan al-Bashriy, berpendapat bahwa
Istishab secara mutlak tidak dapat dijadikan hujjah dalam ber-istinbathil hukm
al-syar’iy, sebab menentukan kepastian ada dan tidaknya hukum terdahulu
harus bisa dibuktikan keberadaannya dengan suatu dalil.
2( Mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah, dan
Dzahiriyyah berpendapat bahwa teori istishab secara mutlak dapat dijadikan
hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy, selama belum ada dasar lain
yang merubahnya.
3( Sebagian besar ulama mutaakhirin dari sebagian kelompok Hanafiyyah
berpendapat bahwa teori istishab bukan merupakan hujjah dalam menetapkan
sesuatu yang tidak tetap, tetapi hanya melestarikan, sebab istishab hanya
merupakan hujjah dari ketetapan yang sudah ada berdasarkan keadaan semula.
Dari ketiga pandangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa teori istishab
tetap saja dapat dijadikan sebagai hujjah dalam ber-istinbathil hukm al-syar’iy,
baik yang berhubungan dengan peribadatan, mu’amalah, adat dan lain-lain yang
ada hubungannya dengan kemanusiaan, sebab dengan diperbolehkannya teori
istishab sebagai hujjah ber-istinbathil hukm al-syar’iy, akan memberikan peluang
yang sangat baik bagi para praktisi hukum dalam mengeluarkan atau menetapkan
fatwa-fatwa mereka secara mudah.
4. Pembagian Istishab
a.
Istishab al-Bara’at al-Ashliyyah yang menurut Ibnu Qayyim disebut Bara’at
‘Adam al-ashilyyah seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif
sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya. Seperti anak kecil sampai
dengan datangnya baligh, tidak ada kewajiban dan hak antara seorang lakilaki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya aqad
nikah.
b.
Istishab yang ditunjukkan oeh syara’ atau akal seperti seseorang harus tetap
bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah
melunasinya.
c.
Istishab hukum seperti sesuatu telah ditetapkan dengan hukum mubah atau
haram maka hukum ini terus berlangsung sampai ada dalil yang
mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram.
Asal dalam sesuatu (mu’amalah( adalah kebolehan. Kebolehan ini didasarkan
kepada firman Allah: al baqarah 29 dan al jatsiyah 13
d.
Istishab Washaf seperti hidupnya seseorang di nishbahkan kepada orang yag
hilang, Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa setiap fuqaha yang
menggunakan istishab dari macam pertama sampai dengan ketiga.
Sedangkan bentuk keempat, mereka berpendapat, ulama-ulama Syafi’iyah
dan Hanbaliyah menggunakan istishab washaf secara mutlak, dalam arti bisa
menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta
bisa pula menetapkan hak-hak yang baru; sedangkan ulama Malikiyah hanya
menggunakan istishab washaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah
ada, sedang untuk hak-hak yang baru mereka tidak mau memakainya.
Sebagai contoh, apabila seseorang dalam keadaan hidup meningalkan
kampung halamannya maka orang ini oleh semua madzhab dianggap tetap
hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ia telah meninggal
dunia. Oleh karena itu tetap istrinya ada dalam tanggung jawabnya dan
pemilikannya terhadap sesuatu tidak berubah. Apabila kemudian orangtua
dari orang yang hilang ini meninggal dunia maka menurut Malikiyyah dan
Hanafiyyah, qayyim yaitu orang tang mengurus harta si mafkud atas dasar
istishab, tetapi bagiannya dipelihara sebagai amanat sehingga jelas ia masih
hidup. Apabila sebaliknya yaitu ahli waris si mafkud minta dibagi harta
warisan si mafkud maka hal ini ditolak berdasarkan istishab, inilah yang
dimaksud istishab yang digunakan ulama-ulama Hanafiyyah, li daf’ al-itsbat
yaitu untuk menolak bukan untuk menetapkan.
5. Penerapan Istishab
Didalam penerapan istishab, para ulama banyak berbeda pendapat, di
antaranya:
a. Apabila seseorang telah berwudhu kemudian ia ragu apakah telah batal atau
belum? Apakah orang ini terus shalat dan syah shalatnya berdasarkan
istishab? Sedangkan menurut Imam Malik dia tidak boleh shalat sebelum
berwudhu lagi, alasannya dalam hal ini ada dua pertentangan pokok:
Pertama, berdasarkan istishab tetap mempunyai wudhu. Sedangkan yang
kedua, tanggung jawab kewajiban untuk melaksanakan shalat yang
berdasarkan istishab pula terus menjadi kewajiban sehinggal dilaksanakan
dengan wudhu yang jelas, yakin dan tidak meragukan, sedangkan wudhu
dalam maslah tersebut diatas diragukan dan kerguan dalam wudhu
menghilangkan syarat shalat. Dalam hal ini Imam Malik jelas mentarjihkan
istishab yang kedua, maka wajib wudhu yang baru. Menurut Abu Zahrah
pendapat Imam Malik lebih pabtas untuk diterima.
b. Contoh lain apabila seseorang mentalak istrinya kemudian ia ragu apakah
talaknya itu satu atau tiga. Jumhur Fuqaha menetapkan jatuh satu, menurut
Imam Malik jatuh talak tiga karena di sini juga ta’arudl di antara dua
pokok/asal, pertama, tetapnya kehalalan sampai ada yang mengubahnya,
sedang telah terjadi kerguan yang mengubahnya adalah talak, makan
berdasarkan istishab dia tetap istrinya (dalam kehalalannya(. Kedua,
apabila talak itu ditetapkan dengan yakin makan yang meragukan adalah
apakah boleh rujuk atau tidak, rujuk tidak bisa ditetapkan dengan syak.
Dalam hal ini pendapat jumhur yang lebih kuat, karena kehalalan di dalam
nikah itu meyakinkan juga yang meyakinkan di sini adalah dia telah
mentalaknya dan talak yang paling sedikit adalah satu.
c. Contoh lain lagi, apabila seseorang menjatuhkan talak tetapi, kemudian dia
ragu kepada istri yang pertama atau kedua, menurut Imam Malik jatuh talak
kepada kedua istri tadi karena mengucapkam talaknya meyakinkan.
Menurut jumhur ulama tidak jatuh talak sama sekali baik kepada istri yang
pertama ataupun kepada istri yang kedua. Sebab yang meyakinkan adalah
adanya pernikahan antara si laki-laki dan si istri yang pertama dan kedua.
Pendapat Imam Malik ini mendapat kritikan dari Ibnu Hazm:
“Mereka telah jatuh kepada kebathilan yang meyakinkan karena telah
mengaharamkan yang yakin halalnya yaitu istri-istri yang belum ditalak
dengan tanpa meragukan lagi. Dan membolehkan yang yakin haramnya
yaitu membolehkan para wanita-wanita bagi manusia yang belum ditalak
oleh suaminya.” Demikian pandangan Ibnu Hazm.
6. Penggunaan Istishab
Penggunaan istishab didasarkan kepada:
1. Penelitian bahwa hokum hokum syra’ menunjukan tetap berlaku
terus sesuai dengan ketetapan dalil, hingga ada dalil lain yang
mengubahnya seperti keharaman minuman yang memabukkan,
terus berlangsung, hokum haram ini sampai berubah sifat
memabukannya
2. Dari segi akal : Bahwa manusia dianggap hidup karena ada tanda tanda kehidupannya (bernafas) sampai ada bukti lain bahwa ia telah
meninggal. Seseorang dianggap suami istri karena sebelumnya
melakukan aqad nikah, sampai ada bukti lain bahwa mereka telah
bercerai misalnya dengan talak.
B. Madzhab (Qaul( Shahabiy
1. Pengertian Aqwal Shahabat/Madzhab Shahabat
Telah dapat diketahui bersama bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, orang yang
memiliki hak untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum-hukum Islam untuk
kepentingan umat Islam adalah para sahabat yang benar-benar ahli dalam bidang
hukum dan seluk-beluknya.
Yang perlu diingat adalah bahwa semua produk hukum Islam pada dasarnya hanya
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits dan tidak ada peluang sedikitpun bagi
seseorang untuk menetapkan status hukum syari’ah, hanya saja dalam memastikan
validalitas nash, tetap membutuhkan adanya periwayatan dari generasi ke-generasi,
sebab dalam realitasnya suatu bacaan ayat-ayat al-Qur’an bisa dipastikan statusnya
sebagai al-Qur’an jika diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah kepada sahabat,
lalu ke generasi sahabat selanjutnya. Begitu juga hadis memiliki kekuatan hukum jika
diriwayatkan secara benar dan shahih dari Rasulullah kepada sahabat, lalu ke generasi
sahabat selanjutnya.
Dengan demikian, aqwal sahabat adalah semua perkataan, tindakan, dan ketetapan
sahabat dalam meriwayatkan dan memutuskan suatu persoalan. Karena itu semua
aqwal sahabat dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan awal karena legalitasnya
sebagai sumber hukum Islam tersendiri. Oleh sebab itu, para imam mujtahid
bersepakat untuk mengadopsi fatwa-fatwa atau aqwal sahabat dalam persoalan
ijtihadiyyah, sebab fatwa-fatwa atau aqwal tersebut sebagai bagian dari khabar
taufiqiy (riwayat dogmatik( yang bersumber langsung dari Nabi SAW.
2. Kehujjahan Aqwal Sahabat
Apakah pendapat sahabat itu bisa dijadikan sebagai hujjah atas tabi’in dan tabi’ittabi’in, padahal perbedaan ini terjadi hanya pada persoalan ijtihad yang mereka pakai?
Sedang untuk menanggapi persoalan ini, para ahli berbeda pandangan, diantaranya
adalah:
a. Imam Malik, Abu Bakar al-Raziy, Abu Sa’id (pengikut Abu Hanifah(, Imam
Syafi’iy (dalam qaul qadim-nya(. Dan Imam Ahmad bin Hanbal (dalam satu
riwayat( berpendapat bahwa aqwal shahabat atau mazhab shahabat dapat
dijadikan sebagai hujjah oleh generasi penerusnya. Dasarnya adalah:
Al-Qur’an, Qs. Ali Imran: 110:
ِْ ُِك ِْ نلتُِ ِْ م خرَ ي رَِْرُ أُِ رّ م ٍة أُِ ِْخرُ رَ ج
ُت ِلّ نرّ س ترَأِْ ُِ مرُُِ وانرَ ب ِِْل رَم ِْ عرُُِ وف رَ و ترَ ِْ نهرَ وِْ انرَ عرَ ن ِِْل ُِم ِْ ن رَ كرُ رَ و تُِ ِْؤ م نُِ وانرَ ب رّل رَ وِلرَ وِْ آرَ رَ م نرَ أرَ ِْه ُِل ِِْل كلترَ اب ِلرَ رَ ك انرَ خرَ ِْي ًر
َِلرَهُِ ِْ م م ِْ نهُِ ُِ م ِِْل ُِم ِْؤ م نُِ وانرَ رَ و أرَ ِْكلثرَ ُِرُهُِ ُِ م ِِْلفرَ اسقُِ وانر
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orangorang yang fasik.”
Hadis riwayat ‘Abd bin Humaidi:
أرَصِْ رَلح ب ِْل رَك ِل نّجُِ وِْ م فرَ بأرَايِه ِْ م ِْقلترَ رَ د ِْايلتُِ ِْ م ِْهلترَ رَ د ِْايلتُِ ِْ م
“Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang (di langit(, maka
dengan siapapun dari mereka yang kalian mengikutinya, niscaya kalian
akan memperoleh petunjuk (kebenaran(.”
b. Jumhur Asy’ariyyah dan Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Syafi’iy (dalam qaul jadidnya(, Abu Hasan al-Kharkhiy (dari kelompok Hanafiyyah(, dan Malikiyyah
berpendapat bahwa aqwal shahabat tidak bisa dijadikan hujjah atas sahabat
lain, dengan alasan:
Ayat al-Qur’an surat al-Hasyr: 2:
ِص ار
َ فرَ ِْ علترَ برُُِ و ايرَ أُِ وِلل ِْالرَ ِْ ب ر
"Maka ambillah (kejadian itu( untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai wawasan."
Dalam ayat ini terdapat kata i’tibar (mengambil pelajaran(, yang
maksudnya adalah qiyas. Dan bentuk kalimatnya adalah amr (perintah(,
yang berarti berijtihad. Sedang bersamanya qiyas dan ijtihad dalam kata ini
memberikan pemahaman bahwa setiap mujtahid tidak boleh bertaqlid
kepada mujtahid yang lain, baik mujtahid itu shahabat atau bukan.
Adanya kenyataan bahwa hasil ijtihad shahabat satu dengan shahabat
yang lain tidak sama, seperti yang terjadi antara sahabat ‘Umar dan Ali
Bin Abi Thalib dalam kasus sebagai berikut:
“ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang masih dalam
keadaan iddah dari suami pertama, lalu dipisahkan atau diceraikan lantaran
pernikahannya dianggap tidak sah.”
Dalam menanggapi kasus ini, para sahabat berbeda pendapat:
Sahabat Umar bin Khathab dengan menggunakan teori qiyas, dengan
mengatakan bahwa laki-laki tersebut haram mengulangi nikahnya
kembali. Hal ini diqiyaskan dengan terhalangnya hak waris bagi ahli
waris yang membunuh pewarisnya. Dimana illatnya adalah tergesa-gesa
melakukan sesuatu sebelum sampai saatnya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib menggunakan teori istishab bara’ah alashliyyah, yaitu berpegang pada keadaan asal yang dekat, dengan
mengatakan bahwa laki-laki tersebut boleh menikahi kembali wanita
tersebut setelah diceraikan suaminya dan setelah habis masa iddah
dengan suami pertamanya, sebab asalnya wanita tersebut telah
diceraikan dan telah berlangsung habis masa iddahnya.
Imam Ibnu Qayyi di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in menyatakan 43 alasan
(juz 4:148( yang mewajibkan mengikuti madzhab al-shahaby yang akhirnya beliau
berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
1. Fatwa yang didengar sabahabat dari Nabi.
2. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi.
3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap al-Qur’an yang agak kabur
pemahaman ayatnya bagi kita.
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah
seorang sahabat.
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun
tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksudmaksudnya. Kelima hal ini adalah hujjah yang wajib diikuti.
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dari salah
pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujjah.
Prof. Hasbi Ash. Shiddieqy di dalam bukunya Pengantar Hukum Islam
menyebutkan beberapa teknis lain di dalam turuqul istinbath (162-168( yang juga
tidak di sepakati oleh para ulama diantaranya:
1. Didalam menentukan ukuran /kabar diambil paling sedikit apabila ada perbedaan
pendapat karena yang palig sedikit itulah yang diannggap yang disepakati oleh
semua
2. Memegang yang nyata atau yang lebih nyata, hal ini dilakukan ketika tidak
diperoleh dalil yang menyamainya.
3. Mengambil hokum dengan ihtiyath
Dasarnya hadist Nabi:
“tingkalkanlah apa yang meragukanmu dan ambilah yang tidak meragukanmu”.
Hadist riwayat al-Tirmidzi dan al-Nasa’I dari Ali Bin Abi Thalib.
Ihtiyath sering diartikan sebagai melakukan tindakan untuk memelihara diri dan
menurut al-Khadimi, ihtiyath berarti memegang yang lebih kuat.
4. Menetapkan tak ada hokum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang
menunjukan sesuatu hokum sesudah dijalankan pembahasan yang luas.
5. Menetapkan hokum dengan dasar undian, al-qur’ah ini didasarkan kepada hadist
atau umumnya ayat:
“Dari ‘Aisya berkata Rasulullah SAW apabila hendak pergi mengundi istriistrinya yang akan dibawa”.
Penerapan kaidah-kaidah diatas harus dilakukan denga sangat hati-hati. Ruang
lingku dan kekecualiaan dari kaidah-kaidah tersebut harus diperhatikan. Hal ini di
dasarkan pada alasan bahwa tidak semua masalah dapat di selesaikan dengan
menggunakan satu kaidah., dan penerapan kaidah ada satu kasus tidak selau tepat.