SYARAT DAN ETIKA ORANG YANG MENATAFSIRKA

SYARAT DAN ETIKA TAFSIR BI AL-RA’YI
Makalah
Diajukan dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Ulumul Qur'an

Oleh :
Mahyunatul Mahfudloh (14210587)
Maria Ulfah (14210589)

Dosen Pengampu :
Ali Mursyid, MA

Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
2016 M / 1437 H.

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Betapa sangat menyakitkan, saat kita melihat banyak manusia mencoba – coba
menafsirkan Al-Qur’an tanpa didasari ilmu. Mereka tidak merasa sama, sehingga
lidah mereka tidak berhenti, hati mereka tidak terguncang, bahkan mereka seakan
merasa telah mengusai Al-Qur’an beserta ilmunya, Al-Qur’an menjadi bagian dari
kecerdasan dan pengetahuan mereka.
Ada yang bertanya kenapa para ulama membuat persyaratan-persayaratan?
Bukankah Al-Qur’an untuk seluruh umat manusia? Bukankah membahasnya adalah
wajib untuk kita semua?
Memang benar, sesungguhnya membaca Al-Qur’an merupakan hak bahkan
kewajiban bagi setiap muslim. Akan tetapi, menafsirkan dan menjeaskan Al-Qur’an
untuk manusia bukanlah hak setiap orang, sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Ilmu
pengobatan adalah hak setiap orang untuk mempelajarinya, namun untuk memeriksa
dan merawat manusia bukanlah hak setiap manusia, kecuali apabila belajar ilmu
pengobatan pandai dalam hal itu. Untuk itu makalah ini akan membahas lebih lanjut
tentang syarat-syarat, ilmu yang harus dikuasai serta apa-apa yang harus dihindari
oleh mufasir bi al-Ra’yi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah syarat-syarat menjadi ahli tafsir bi al-ra’yi?
2. Apakah etika menjadi ahli tafsir bi al-ra’yi?
3. Bagaimanakah manhaj yang digunakan oleh mufassir bi al-ra’yi?

4. Bagaimanakah langkah-langkah menafsirkan Al-Qur'an secara ra’yu?

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat Menjadi Ahli Tafsir bi al-Ra’yi
Secara umum, beberapa syarat ahli tafsir sebagaimana dikemukakan para ulama adalah:1
1. Pandai dalam ilmu Riwâyah dan Dîrayah Hadîts. Mengingat bahwa hadis-hadis rasul
merupakan penjelas Al-Qur’an. Imam syafi’i berkata “setiap keputusan rasulullah saw
adalah hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an”(Taimiyah, 1391:34) Imam Ahmad
juga berkata: “As-sunnah adalah tafsir dan tabyin (penjelas) bagi Al-Qur’an” (Qurthubi,
I, 1965:39).
2. Mufassir mengetahui dasar-dasar agama (Ushûluddîn). Yang dimaksud dengan dasardasar agama adalah ilmu tauhid sehingga dalam menafsirkan ayat-ayat asmâ (nama)
Allah dan sifat-sifat-Nya tidak akan terjadi penyerupaan, perumpamaan dan
pengingkaran.
3. Seorang mufassir harus mengetahui Bahasa arab (lughah). Dengan ilmu ini, seorang
mufasir dapat menjelaskan makna dan maksud sebuah kata sesuai kata dengan
konteksnya.2
4. Seorang mufassir harus mengetahui Gramatika (nahwu). Makna setiap kata dalam

bahasa arab selalu berubah ubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan I’robnya.
Oleh karena itu, ilmu nahwu harus dikuasai oleh seorang mufasir. Abu “ubaid
meriwayatkan dari Al-Hasan bahwa dia pernah ditanya tentang seseorang yang
mempelajari bahasa arab untuk memperbagus pembicaraannya dan untuk memperbaiki
bacaan Al-Qur’annya, dia berkata, “bagus, pelajarilah bahasa arab, sebab seseorang
yang membaca ayat Al-Qur’an, tetapi tidak tahu dengan apa yang dibacanya, ia bisa
celaka karenanya (karena kesalahan membaca).
5. Seorang mufassir harus mengetahui Morfologi bahasa arab (sharaf). Sharaf merupakan
alat untuk mengetahui bentuk-bentuk kata (shigat) dan proses pembentukannya.
Fadh bin Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an : Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Yogyakarta : Titian
Ilahi Pers, 1997) cet. I hal. 218
2
Tarmana Abdul Qosim, Samudra Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bandung : PT Mizan Pustaka,2003) cet.I hal. 282
1

3

6. Seorang mufassir harus mengetahui Turunan kata atau akar kata (isytiqaq). Setiap kata
benda atau kata nama (isim) yang diturunkan dari akar kata yang berbeda. Misalnya almasih, untuk memahami kata tersebut, harus diketahui apakah kata tersebut diturunkan
dari kata al-siyabah ataukah dari kata al-mash.

7. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu ma’ani (semantik arab). Dengan ilmu ini
seorang mufasir akan mengetahui karakteristik susunan kalimat dari aspek pemenuhan
makna.
8. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu bayan (termasuk semantic arab). Dengan ilmu
ini, seorang mufasir dapat mengetahui karakteristik kalimat dari aspek kejelasan
maksud dan kesamaannya.
9. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu badi’ (bagian ilmu sastra) dengan ilmu ini
dapat mengetahui karakteristik kalimat dari aspek keindahannya.
10. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu qiro’ah (teori membaca). Dengan ilmu ini,
seorang mufasir dapat mengetahui cara membaca Al-Qur’an. disamping itu, ia juga
dapat mengetahui berbagai macam qiraat, dari yang kuat sampai yang lemah sehingga ia
dapat membedakan pemaknaan dan penafsiran dari satu qira'at dengan qira'at yang lain
yang ada
11. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu Ushul Fiqh. Dengan ini seorang mufasir dapat
mengetahui metodologi penarikan kesimpulan hukum (istidlal dan istinbath).
12. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu tentang sebab turunnya ayat dan kisah-kisah
dalam Al-Qur’an (asbab al-nuzul dan qishash). Dengan ini seorang mufasir dapat
mengetahui makna ayat sesuai dengan konteks kejadiannya.
13. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu Nasikh dan Mansukh. Dengan ilmu ini,
mufasir dapat memahami mana ayat yang jelas (muhkamah) dan mana yang tidak jelas

(ghair muhkamah).
14. Seorang mufassir harus mengamalkan apa yang dia ketahui ini akan melahirkan darinya
ilmu mauhibah dan ilmu ini diwariskan oleh Allah kepada orang yang mengamalkan
apa yang dia ketahui. 3

3

Ansori, Tafsir bi Al-Ra'yi Memahami Al-Qur'an dengan Ijtihad, (Jakarta : Gaung Persada Press) cet. 1

hal.14

4

Ilmu-ilmu tersebut adalah media untuk mengetahui pengertian dan kekhususan
susunan kalimat serta mengetahui bentuk-bentuk kemu’jizatan Al-Qur’an. Syarat-syarat
tersebut sebagaimana telah diketahui adalah sasaran yang bagus, oleh karenanya, sebagian
besar ulama salaf merasa berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal
semacam itu merupakan suatu apresiasi kuatnya iman di hati mereka dalam menyatakan
takut mereka kepada Allah.
B. Etika Menjadi Ahli Tafsir bi al-Ra’yi.4

Diantara etika menjadi ahli tafsir bi al-rayi adalah sebagai berikut :
1. Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat.
Orang yang mempunyai ilmu-ilmu syari’at hendaknya mempunyai tujuan dan tekad
membangun kebaikan umum, berbuat baik kepada islam dan membersihkan diri dari
tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan memanfaatkan
ilmunya sebagai sebuah keikhlasannya.
2. Berakhlak baik, karena mufassir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak
akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal
akhlak dan perbuatan mulia. Kata-kata yang kurang baik terkadang menyebabkan
siswa enggan memetik manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan
terkadang dapat mematahkan jalan pikirannya.
3. Ikhlas, hendaknya hanya brniat karena Allah, mengharap ridha-Nya tidak
mengharapkan kemuliaan dan kehormatan.5
4. Akidahnya bersih. orang yang akidahnya telah berubah dan meyakini rasio.
Kemudian ia membawa lafal-lafal Al-Qur’an dengan rasionya. Mereka tidak
mengikuti para sahabat dan para tabi’in. apabila orang ini menafsirkan Al-Qur’an ia
menakwilkan ayat-ayat yang berbeda dengan fahamnya yang salah. Lalu ia
selewengkan sampai sesuai dengan madzhab (faham) nya. Hal seperti ini tidak bisa
dipakai sandaran dalam mencari kebenaran, bagaimana bisa orang menemukan
sesuatu darinya.

4

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2011) cet. 14 hal.

465

Fadh bin Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an : Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Yogyakarta : Titian
Ilahi Pers, 1997) cet. I hal. 220
5

5

5. Tidak mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu membawa pemiliknya kepada faham
subjektifnya, sekalipun salah dan menolak yang lain, sekalipun yang ditolak itu
benar.
6. Melakukan paling awal, jika seorang mengajak kearah kebaikan maka ia harus
melaksanakannya terlebih dahulu sehingga diterima orang lain. Jika melarang
sesuatu wajib bagi yang melarang menjauhinya terlebih dahulu sebelum orang lain,
karena jika manusia melihat seseorang memerintah sesuatu padahal dia sendiri tidak
melakukannya atau ia melarang sesuatu sedangkan ia sendiri tidak menghindari

larangan tersebut maka mereka akan lari darinya dan dari perkataannya, sekalipun
yang dikatakan adalah benar.
7. Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima oleh khalayak melalui orang yang
mengamalkanya ketimbang dari mereka yang hanya memiliki ketinggian
pengetahuan dan kecermatan kajiannya. Dan prilaku mulia akan menjadikan mufassir
sebagai panutan yang baik bagi pelaksana masalah-masalah agama yang
ditetapkannya. Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari orang yang
luas pengetahuannya hanya karena orang tersebut berprilaku buruk dan tidak
mengamalkan ilmunya.
8. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufassir tidak berbicara atau
menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini ia
akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
9. Tawadu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh
yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
10. Berjiwa mulia. Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh
serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta
yang buta.
11. Berpenampilan baik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat
dalam semua penempilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan
berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.

12. Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara
tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata.

6

13. Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya. Seorang mufassir
hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai pada
waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka
wafat. Tetapi hendaknya ia menganjurkan belajar dari mereka dan membaca kitabkitabnya.
14. Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, seperti
memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, menerangkan susunan
kalimat, menjelaskan segi-segi balagah dan i’rab yang padanya bergantung penentu
makna. Kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan
kehidupan umum yang sedang dialami umat manusia pada masa itu dan kemudian
mengambil kesimpulan dan hukum.6
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ra'yi para ulama’ berbeda pendapat,
ada

sekelompok ulama’ yang mengharamkan, dengan alasan karena tafsir harus mauquf


(didasarkan) pada pendengaran. Ada pula yang memperbolehkan, seperti pendapat jumhur
ulama bahwa tafsir bi al-ra'yi itu diperbolehkan dengan syarat-syarat terdahulu.7 Sebenarnya
perbedaan itu karena mufassir menafsirkan berdasarkan pendapat (ra’yu) memastikan “yang
dimaksud Allah begini dan begitu” tanpa disertai dalil dan hujjah atau orang-orang berusaha
menafsirkan Al-qur’an atas dasar pendapat dan akal.
Dalam buku ini diterangkan bahwa, As-suyuthi mengutip pendapat zarkasyi dalam alburhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia boleh
menafsirkan Al-qur’an berdasarkan ra’yu (pendapat atau akal). Syarat-syarat pokok itu berkisar
di sekitar empat so’al:
1. Berpegang pada hadits-hadits berasal dari Rasulullah Saw dengan ketentuan ia harus
waspada terhadap riwayat yang dha’if (lemah) dan maudlu’ (palsu).
2. Berpegang pada ucapan sahabat Nabi, karena apa yang mereka katakan, menurut
peristilahan hadis hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang
berkaitan dengan asbabun-nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat
(ra’yu).
6

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2011) cet. 14 hal.

466


Syekh Muhammad Ali As-shobuni, Muhammad Qodirun Nur (Alih bahasa), Ikhtishar Ulumul Qur’an,
(Jakatra: Pustaka Amani) hal. 228
7

7

3. Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus tetap berhati-hati jangan
sampai menafsirkan ayat-ayat, menyimpang dari makna lafadz yang semestinya,
sebagaimana banyak terdapat didalam pembicaraan orang-orang Arab.
4. Berpegang teguh pada maksud ayat, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan
hukum syara’.8
Sedangkan Etika yang berkenaan dengan moral untuk para mufassir yang menafsirkan
dengan ra’yu tidak berbeda dengan mufassir umumnya seperti yang telah di terangkan
sebelumnya.

C. Manhaj Yang Digunakan Oleh Mufassir bi al-Ra'yi
Manhaj atau metode yang digunakan oleh mufassir bi al-rayi antara lain :
1. Menyingkap dan menampakkan makna-makna yang logis yang terkandung dalam AlQur'an.
2. Mengungkap rahasia yang terkandung dalam Al-Qur'an sesuai kemampuan manusia
3. Mengungkapkan maksud-maksud ayat dan orientasinya
4. Menjelaskan dimana saja ibarat-ibarat yang ada dalam kisah Al-Qur'an dan menjelaskan
kandungan nasehat-nasehatnya.
5. Menampakkan kebesaran Al-Qur'an dalam dan kebesaran Balaghahnya.
D. Sedangkan langkah-langkah seorang mufassir bi al-ra'yi ketika menafsirkan Al-Qur'an
adalah sebagai berikut :9
a. Tafsir dilakukan sesuai dengan apa yang ditafsirkannya tanpa pengurangan dalam
menjelaskan makna, tanpa tambahan yang tidak perlu dengan berhati-hati agar tidak
salah dalam menafsirkan.
b. Teliti dan jeli dalam melihat makna hakiki dan makna majazi.
c. Teliti dalam melihat apa yang tertulis dengan tema atau maksud yang diangkat, yang
sesuai dengan konteks ayat yang sedang ditafsirkan. Juga termasuk teliti dalam
membaca kedekatan-kedekatan antar kata.
8

Dr. Subhi As-Shalih, Mabahis Fi Ulumil-Qur’an, (Lebanon: Darul- Ilm Lil-Malayin 1985) cet. 16 hal.

9

Ansori, Tafsir bi Al-Ra'yi Memahami Al-Qur'an dengan Ijtihad, (Jakarta : Gaung Persada Press) cet. 1 hal.

386-387
19-20

8

d. Teliti dalam melihat persesuaian (munasabah) menjelaskan persesuaian satu ayat
dengan ayat sebelum dan sesudahnya sehingga jelas sekali tergambar bahwa ayat-ayat
Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang terpisah satu dengan yang lainnya, melainkan ayatayat yang memiliki kesesuaian antara satu dengan yang lainnya.
e. Menyenyebutkan Asbȃb al-nuzȗl ayat. Ini dilakukan setelah menyebutkan munasabah
ayat, dan sebelum menjelaskan makna ayat yang ditafsirkan. Ini merujuk pada
kebiasaan mufassir dalam menjelaskan ayat Al-Qur'an, dengan menyebut munasabah
f. bila memungkinan melakukan istinbath hukum (penetapan hukum) syar'iy dari ayat
yang ditafsirkan tersebut. Dalam menafsirkan terlebih dahulu kemudian asbab al-nuzul
g. Selanjutnya mufassir menganalisis dan menjelaskan mufradat (lafadz-lafadz), baik dari
sisi bahasanya, sharafnya serta asal katanya. Kemudian setelah itu mufassir mengulas
susunan kata dalam kalimat (tarkib), menjelaskan i'rab al-kalimah juga menjelaskan
sisi balaghahnya (bayan, badi', ma'ani). Setelah itu baru mufassir menjelaskan makna
yang terkandung suatu atau beberapa ayat, kemudianatas dasar ra'yu mufassir
hendaknya sebisa mungkin menghindari penjelasan panjang bagi pengulanganpengulangan didalam Al-Qur'an. Dalam hal ini mufassir juga hendaknya menghindari
penjelasan-penjelasan yang tidak dibutuhkan. Seperti penyebutan 'illat-'illat dalam
analisa nahwu, menyebutkan berbagai dalil fiqih dan ushul fiqh serta dalil-dalil
ushuluddin, tidak menyebutkan asbab al-nuzul yang tidak benar dan juga hadis-hadis
fadha'il al a'mal yang tidak shahih.
h. Dalam menafsirkan atas dasar ra'yu, setelah melakukan 7 langkah diatas maka
selanjutnya mufassir bisa melakukan tarjih (pengunggulan satu atas yang lain) jika
memang dalam satu ayat mengandung banyak sisi (wujuh) dalam pemaknaannya.10
Mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an secaran ra’yi juga harus menghindari enam hal
yang kurang lebih sama dengan hal-hal yang harus dihindari oleh para mufassir umumnya,
yakni:
1) Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat
sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.

10

Ansori, Tafsir bi Al-Ra'yi Memahami Al-Qur'an dengan Ijtihad, (Jakarta : Gaung Persada Press) cet. 1

hal. 19-20

9

2) Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas
Allah semata).
3) Menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai
sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4) Menafsirkan suatu ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara
menjadikan faham madzhab sebagai dasar sedangkan penafsirannya mengikuti
faham madzhab tersebut.
5) Mufasir harus menghindari menyelami ayat yang Allah pilih untuk diketahui-Nya
sendiri, yaitu masalah-masalah ghaib dan mutasyabihat.
6) Mufasir harus menghindari sumber-sumber palsu, israilliyat, hadis-hadis maudhu,
dan semua yang dapat menutupi semua cahaya hidayah Al-Qur’an dari hati atau
memalingkan umat manusia dari melakukan perenungan.11
7) Menafsirkan Al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki
Allah adalah demikian tanpa didukung dalil.12

Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Tafsir Al-Qur’an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Ciputat
: Gaya Media Pratama, 2007) cet. I hal. 97
12
Rosihan Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009) cet. I hal. 192
11

10

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syarat-syarat menjadi ahli tafsir bir-ra’yi antara lain, Pandai dalam ilmu Riwâyah dan Dîrayah
Hadîts, mengetahui dasar-dasar agama (Ushûluddîn), menguasai bahasa arab, mengetahui
gramatik nahwu, menguasai sharaf, menguasai turunan kata atau akar kata (isytiqaq), menguasai
ilmu balaghah termasuk didalamnya (ma’ani, bayan dan ba’di), menguasai ilmu Qiro’at,
menguasai ilmu Ushul Fiqh, mengetahui ilmu asbȃb an-nuzȗl, menguasai ilmu nasikh dan
mansukh, mempunyai ilmu mauhibah.
Sedangkan etika menjadi ahli tafsir bi al-rayi tidak berbeda seperti etika pada tafsir umunya,
antara lain yaitu, berniat baik, berakhlak baik, ikhlas, melakukan apa yang diperintahkan Allah
paling awal sebelum ia menyeru kepada orang lain, taat dan beramal, berlaku jujur dan teliti
dalam penukilan, tawadu’ dan lemah lembut, berjiwa mulia, berpenampilan baik, bersikap
tenang dan mantap, mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya, mempersiapkan dan
menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, vokal dalam menyampaikan kebenaran baik.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ra'yi para ulama’ berbeda pendapat,
ada

sekelompok ulama’ yang mengharamkan, dengan alasan karena tafsir harus mauquf

(didasarkan) pada pendengaran. Ada pula yang memperbolehkan, seperti pendapat jumhur ulama
bahwa tafsir bi al-ra'yi itu diperbolehkan dengan syarat-syarat terdahulu. Sebenarnya perbedaan
itu karena mufassir menafsirkan berdasarkan pendapat (ra’yu) memastikan “yang dimaksud
Allah begini dan begitu” tanpa disertai dalil dan hujjah atau orang-orang berusaha menafsirkan
Al-qur’an atas dasar pendapat dan akal.

11

DAFTAR PUSTAKA
ar-Rumi, Fadh bin Abdirrahman, Ulumul Qur’an : Studi Kompleksitas Al-Qur’an,
(Yogyakarta : Titian Ilahi Pers, 1997)
al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa,
2011)
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, Ensiklopedia Tafsir Jilid I, ( Jakarta : Kalam Mulia,
2010)
Qosim, Tarmana Abdul, Samudra Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bandung : PT Mizan
Pustaka,2003)
As-shobuni, Muhammad Ali, Nur, Muhammad Qodirun (Alih bahasa), Ikhtishar Ulumul
Qur’an, (Jakatra: Pustaka Amani)
Ansori, Tafsir bi Al-Ra'yi Memahami Al-Qur'an dengan Ijtihad, (Jakarta : Gaung Persada
Press, 2010)
As-Shalih, Subhi, Mabahis Fi Ulumil-Qur’an, (Lebanon: Darul- Ilm Lil-Malayin 1985
Nur, Qadirun, Musyafiq, Ahmad, Tafsir Al-Qur’an Sejarah Tafsir dan Metode Para
Mufasir, (Ciputat : Gaya Media Pratama, 2007)
Anwar, Rosihan, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009)
As-shobuni, Muhammad Ali, Aminuddin (Penerjemah), Studi Ilmu Al-Qur’an,
(Bandung:CV Pustaka Setia:1999)

12