PENGARUH ANOMALI CURAH HUJAN TERHADAP PR

PENGARUH ANOMALI CURAH HUJAN TERHADAP PRODUKSI PADI DI
KABUPATEN JEMBER
Miqdad Anwarie
Dep. Geografi, FMIPA Universitas Indonesia
Tel : +6281574000348 Email : miqdad90@ymail.com
ABSTRAK
Akibat pemanasan global secara langsung maupun tidak langsung akan
berdampak terhadap perubahan iklim yang pada akhirnya mengancam produktivitas
tanaman pertanian diantaranya produktivitas tanaman padi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dampak perubahan iklim (curah hujan) terhadap produksi padi,
terutama ketika terjadi El Nino, La Nina, dan dalam keadaan normal di Kabupaten
Jember. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif yaitu penelitian yang didasarkan pada pemecahan masalah faktual. Data
yang digunakan adalah data iklim (curah hujan) dan produksi padi pada kondisi
normal, El Nino, dan La Nina selama periode 2000 - 2010. Untuk mengetahui
hubungan antara perubahan iklim dengan produksi padi dianalisis berdasarkan
keterkaitan antara keduanya secara kualitatif. Intensitas hujan yang tinggi ketika
terjadi La Nina (2010) cenderung lebih mempengaruhi produksi padi, khususnya
pada masa tanam sedangkan pada kondisi El Nino (2009) tidak terlalu berpengaruh
karena sistem pengairan pertanian sudah berupa irigasi.


Kata Kunci : Perubahan Iklim, Padi, Produksi

Pendahuluan
Variabilitas iklim dan perubahan iklim merupakan dua fenomena anomaly
iklim yang kini menjadi isu strategis dan perhatian serius karena diyakini mempunyai
dampak besar bagi kehidupan di berbagai sektor. Variabilitas iklim merupakan
fluktuasi unsur-unsur iklim yang terjadi pada rentang waktu tertentu seperti variasi
musiman atau tahunan (musim hujan dan kemarau yang bergeser waktunya atau
durasinya) serta kejadian iklim ekstrim sedangkan perubahan iklim merupakan
fenomena perubahan komposisi atmosfer secara gradual yang akan memperbesar
variabilitas iklim yang teramati pada periode cukup panjang (Trenberth et al. 1995).

Variabilitas iklim Indonesia sangat berkaitan erat dengan El Niño Southern
Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik (Naylor et al. 2002) dan Indian Ocean

Dipole (IOD) di Samudera Hindia (Ashok et al. 2001; Mulyana 2001). Pada suatu
saat terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan dan
pada saat yang lain mengakibatkan tingginya curah hujan sehingga dapat
menimbulkan banjir (Allan, 2000). Munculnya fenomena El Niño kuat sebanyak
tujuh kali sepanjang dua puluh tahun terakhir disertai dengan terjadinya fenomena

IOD positif yang hampir terjadi bersamaan mengakibatkan deraan kekeringan yang
cukup serius. Berdasarkan peristiwa kekeringan yang terjadi sebanyak 43 kali sejak
tahun 1844 – 1998, hanya enam peristiwa kekeringan yang tidak berkaitan dengan
fenomena El Niño (Boer and Subbiah 2005). Seperti halnya kekeringan yang terjadi
antara tahun 1990 – 1997, dalam kurun waktu tersebut terjadi tiga kali kekeringan
yang hebat yaitu tahun 1991, 1994 dan 1997. Demikian pula secara hampir
bersamaan Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) menyatakan bahwa pada tahun
1997 ketika terjadi El Niño kuat, secara bersamaan terjadi pula IOD positif kuat di
Samudera Hindia.
Pada kenyataannya indikator anomali iklim ENSO dan IOD mempunyai
dampak yang kuat terhadap curah hujan daerah tropis termasuk variabilitas curah
hujan di Indonesia (Naylor et al. 2007). Kedua fenomena tersebut semakin sering
terjadi dengan kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin
panjang sehingga secara signifikan dapat menyebabkan penurunan curah hujan
terutama di musim peralihan saat memasuki musim hujan (IPCC 2007; Koesmaryono
2009). Kondisi tersebut menimbulkan dampak yang signifikan terhadap strategi
budaya dan produksi pertanian (IPCC 2001; Porter and Semenov 2005; Betts 2005;
Osborne 2005). Terutama di daerah tropis yang mempunyai variasi curah hujan
cukup besar (Slingo et al. 2005). Dampak relative dari perubahan iklim terhadap
ketahanan pangan berbeda antar daerah (Gutman et al. 2005; FAO 2005) baik di

daerah tropis maupun subtropis. Namun dampak di daerah tropis lebih besar karena
mempunyai variasi curah hujan yang cukup besar (Slingo et al. 2005) yang pada

gilirannya

mengakibatkan

gangguan

terhadap

stabilitas

sistem

pertanian

(Koesmaryono et al. 2008).
Variabilitas iklim di satu sisi dapat menjadi potensi namun di sisi lain dapat
pula menjadi ancaman bagi kemandirian pangan. Peningkatan fluktuasi, frekuensi dan

intensitas anomali iklim dalam dasawarsa terakhir yang disebabkan oleh fenomena
ENSO dan IOD berdampak pada perubahan pola distribusi, intensitas dan periode
musim hujan sehingga awal musim hujan maupun musim kering menjadi terlambat
(Las 2000; Boer 2006; Naylor et al. 2007; D’Arrigo 2007). Akibatnya terjadi
pergeseran musim dari kondisi normal rata-ratanya yang akhirnya dapat berimplikasi
serius pada tanaman pangan (Hamada et al. 2002; Haylock and McBride 2001)
karena umur tanaman pangan lebih pendek dibandingkan dengan tanaman tahunan
seperti perkebunan.
Stabilitas pangan khususnya ketersediaan pangan fluktuasinya sangat
dipengaruhi oleh variasi iklim dan cuaca (Pendleton & Lawson 1988). Hasil kajian
FAO (2005) menunjukkan bahwa dampak variabilitas dan perubahan iklim dapat
menurunkan produksi tanaman pangan (serealia) di kawasan Asia Tenggara antara
2,5 % sampai 7,8 % (Fischer et al. 2002). Variabilitas dan perubahan iklim dengan
segala dampaknya yang terjadi berpotensi menyebabkan kehilangan produksi
tanaman pangan utama sebesar (20,6%) untuk padi, (13,6%) jagung dan (12,4%)
untuk kedelai (Handoko et al. 2008). Sementara itu kebutuhan pangan terutama beras
terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Diperkirakan pada tahun
2020 jumlah penduduk akan mencapai 262 juta jiwa dengan konsumsi beras 134 kg
per kapita, dengan demikian kebutuhan beras nasional mencapai 35,1 juta ton atau
65,9 juta ton GKG (Budianto 2002).

Munculnya anomali iklim El Niño dan IOD positif secara bersamaan sangat
jelas implikasinya terhadap waktu tanam. Misalnya pada tahun 1997/98 akibat kedua
fenomena tersebut telah menggeser waktu tanam pada musim hujan 1997/98 hingga
2-3 bulan (6-9 dasarian) yang secara runut juga berpengaruh terhadap waktu tanam
pada musim tanam berikutnya (Las 2000). Sehingga produksi padi turun sebesar 6,5
% yang berdampak pada peningkatan impor beras menjadi sebesar 3 juta ton pada

tahun 1998 (BPS 1998). Demikian pula terhadap masa tanam (growing season)
menunjukkan bahwa terjadi pergeseran sekitar 10 hingga 20 hari dari lama masa
tanam normal pada satu abad terakhir ini (Linderholm 2006).
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh fenomena perubahan iklim
terhadap produksi maupun produktivitas padi di daerah Kabupaten Jember, penelitian
ini dilakukan dengan mengkaitkan anomali curah hujan dasa harian pada tiga
wilayah, yaitu wilayah hulu, tengah, dan pesisir dimana pada masing-masing wilayah
diwakilkan oleh satu sampel, yaitu Arjasa (Hulu), Curahmalang (Tengah), dan Puger
(Pesisir). Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui wilayah mana yang paling
terpengaruh oleh adanya perubahan iklim berdasarkan distribusi dan variabilitas
hujan yang dipengaruhi jarak dari laut pada kondisi normal (2008), El Nino (2009),
dan La Nina (2010). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat
analisis deskriptif yang menjelaskan keterkaitan secara kualitatif untuk menjelaskan

bagaimana pengaruh perubahan iklim berupa anomali curah hujan terhadap produksi
padi di wilayah hulu, tengah, dan pesisir Kabupaten Jember berdasarkan pola
distribusi hujan dasa harian pada masing-masing wilayah (alur pikir pada gambar 1).
Jember

Wilayah Hulu

Wilayah Tengah

Wilayah Pesisir

Produksi & Produktivitas Padi

Anomali Curah Hujan

Periode 2008 - 2010

Keterkaitan?
Gambar 1. Alur pikir penelitian pengaruh perubahan iklim terhadap produksi padi


Kondisi Iklim Kabupaten Jember
Menurut BMG Stasiun Karangploso Malang, iklim di Kabupaten Jember
dikiasifikasi kedalam 8 kategori menurut lama musim hujan dan musim kering (Tabel
1).
Tabel 1. Kategori Iklim di Kabupaten Jember

Sumber : Bappenas, 2007

Lama musim adalah suatu periode yang setara dengan 2/3 bulan (hampir 10
hari). Berarti jumlah total lama musim hujan dan musim kering sama dengan 36 (12
bulan x 3). Area ZPI= 100 dalam Tabel 1 mempunyai periode musim hujan terlama
yaitu 28 (280 han pada musim hujan selaina satu tahun). Di Kabupaten Jember,
jumlah total curah hujan pada saat musim hujan bervariasi antara 3.935 mm sampai
5.323 mm. Sedangkan jumlah curah hujan pada musim kering (lama musim = 8)
hanya berkisar antara 258 mm sampai 348 mm.
Berdasarkan pengolahan data curah hujan dasa harian pada kondisi normal
(2008), El Nino (2009), dan La Nina (2010) didapat grafik curah hujan berikut.

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2008
Bagian Hulu (St. Arjasa)

Curah Hujan (mm)

250.00
200.00
150.00
100.00
50.00
Curah Hujan
0.00
D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Dasa Harian

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2008
Bagian Tengah (St. Curahmalang)
Curah Hujan (mm)

300.00
250.00


200.00
150.00
100.00
Curah Hujan

50.00
0.00
D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Dasa Harian

Curah Hujan (mm)

250.00

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2008
Bagian Pesisir (St. Puger)

200.00
150.00

100.00

Curah Hujan

50.00
0.00
D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Dasa Harian

Gambar 2. Pola curah hujan bagian hulu, tengah, dan pesisir pada tahun 2008

Curah Hujan (mm)

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2009
Bagian Hulu (St. Arjasa)
180.00
160.00
140.00
120.00

100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00

Curah Hujan

D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Dasa Harian

Curah Hujan (mm)

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2009
Bagian Tengah (St. Curahmalang)
160.00
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00

Curah Hujan

D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Curah Hujan (mm)

Dasa Harian

350.00
300.00
250.00
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2009
Bagian Pesisir (St. Puger)

Curah Hujan

D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Dasa Harian

Gambar 3. Pola curah hujan bagian hulu, tengah, dan pesisir pada tahun 2009

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2010
Bagian Hulu (St. Arjasa)
Curah Hujan (mm)

300.00
250.00
200.00
150.00
100.00
Curah Hujan

50.00
0.00
D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Dasa Harian

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2010
Bagian Tengah (St. Curahmalang)
Curah Hujan (mm)

250.00
200.00
150.00
100.00
Curah Hujan

50.00
0.00
D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Dasa Harian

Curah Hujan (mm)

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2010
Bagian Pesisir (St. Puger)
180.00
160.00
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00

Curah Hujan
D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2 D1 D3 D2
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Dasa Harian

Gambar 4. Pola curah hujan bagian hulu, tengah, dan pesisir pada tahun 2010

Pola hujan tahunan Kabupaten Jember secara umum memiliki awal musim
hujan pada bulan Oktober akhir dan awal musim kemarau pada bulan April dalam
keadaan normal seperti pada tahun 2008 (gambar 2). Pada tahun 2009, di bagian hulu
dan tengah musim kemarau terjadi di bulan maret akhir, sedangkan di bagian pesisir
terjadi secara normal, yaitu di bulan april tetapi lebih panjang hingga bulan Desember
(gambar 3). Pada tahun 2010, baik di bagian hulu, tengah, maupun pesisir mengalami
pergeseran musim, yaitu awal musim kemarau yang baru terjadi pada bulan Mei akhir
serta kejadian hujan di setiap bulannya merata.

Pertanian Padi di Kabupaten Jember
Pertanian padi di Kabupaten Jember mayoritas berupa pertanian padi irigasi
dimana pengaruh musim kemarau tidak terlalu signifikan terhadap produtivitas padi.
Secara umum, padi ditanam dua kali dalam setahun, baik di bagian hulu, tengah,
maupun pesisir. Musim tanam padi dilakukan pada bulan Januari dan April akhir
dengan rentang antara musim tanam dan musim panen adalah empat bulan.

Berikut merupakan jumlah produksi dan produktivitas padi di bagian hulu,
tengah, dan pesisir, serta peta penggunaan tanah sawah dan non sawah di Kabupaten
Jember.

Tabel 2. Produksi dan Produktivitas Padi Bagian Hulu, Tengah, dan Pesisir

2008
2009
2010

Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)

Pesisir (Puger)
Tengah (Curahmalang)
37965
33925
68.21
59.27
37824
33825
68.12
54.65
32408
37669
56.38
66.92

Hulu (Arjasa)
16591
52.79
13672
51.99
14487
48.61

Peta 1. Sawah dan Non Sawah di Kabupaten Jember

Persebaran sawah di Kabupaten Jember terarah secara diagonal dari Barat
Daya ke Timur Laut dengan konsentrasi lebih banyak di bagian selatan. Sawah yang

dominan terdapat di kabupaten Jember adalah sawah irigasi yang hampir di semua
wilayah ada, baik di hulu, tengah, maupun pesisir karena melimpahnya sumberdaya
air di daerah tersebut.

Dampak Perubahan Iklim (Anomali Curah Hujan) Terhadap Pertanian Padi
Perubahan iklim adalah berubahnya variabel iklim, khususnya suhu udara dan
curah hujan yang terjadi secara berangsurangsur dalam jangka waktu yang panjang
antara 50 (multi decadal) sampai 100 tahun (inter centenial) (KLH 2004). Perubahan
iklim juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia yang
diakibatkan oleh berbagai kegiatan manusia di bumi. Perubahan iklim mengakibatkan
kondisi cuaca yang tidak stabil sebagai contoh curah hujan yang tidak menentu,
sering terjadi badai, suhu udara yang ekstrim, arah angin yang berubah drastis, dan
sebagainya (Ratnaningayu 2009).

(Sumber: Naylor 2007 dalam UNDP Indonesia 2007)

Gambar 5. Perubahan curah hujan.

Adanya pemanasan global akan menghasilkan pengaruh nyata terhadap
perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan karakteristik musim (musim hujan
dan musim kemarau). Perubahan iklim pada sektor pertanian akan berpengaruh

terhadap penurunan produktivitas tanaman pangan, penurunan produksi tanaman
pangan, penurunan areal yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan
hara serta penyebaran hama dan penyakit (Prihantoro 2008). Stabilisasi produksi
pangan pada kondisi iklim yang berubah akan memakan biaya yang sangat tinggi,
misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi, pemberian input (bibit, pupuk,
insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia dengan skenario konsentrasi CO2 dua
kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat hingga 2,3 persen jika irigasi
dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem irigasi tidak mengalami perbaikan produksi
padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen (Prihantoro 2008).
Dampak fenomena perubahan iklim sangat terasa pada perubahan pola tanam
baik di lahan sawah irigasi maupun tadah hujan. Saat ini, sebagian besar areal tanam
padi menggunakan pola tanam padi-padi dimana pada musim tanam kedua sangat
tergantung pada ketersediaan air irigasi (Las et al. 2007). Kekeringan yang terjadi
pada musim tanam kedua akan mengubah pola tanam dari padi-padi menjadi padinon padi sehingga akan mengakibatkan penurunan produksi beras, yang pada
gilirannya akan mengganggu kesinambungan stok pangan nasional. Kesinambungan
produksi beras dalam beberapa tahun terakhir sering terganggu akibat berkurangnya
area tanam padi karena dampak ENSO dan IOD (Gambar 6).

Gambar 6. Pengaruh ENSO dan Dipole Mode terhadap areal tanam padi (Amien et
al. 2007).

Penetapan awal musim tanam padi merupakan salah satu strategi penting
dalam budidaya pertanian di Indonesia (Naylor et al. 2001, 2007) khususnya tanaman
pangan yang sangat berkaitan dengan anomali iklim. Penetapan awal musim tanam
merupakan bagian dari kalender tanam secara tradisional telah lama dikembangkan
oleh petani secara turun temurun dengan berbagai istilah yang berbeda di setiap
daerah. Namun demikian berbagai kearifan lokal tersebut tidak dapat sepenuhnya
dijadikan acuan dalam menetapkan awal musim tanam karena perubahan iklim dan
semakin sulitnya menemukan indikator penanda musim. Fluktuasi curah hujan yang
sangat dinamis akibat munculnya anomali iklim menyebabkan terjadinya pergeseran
awal musim hujan dan musim kemarau. Dampak perubahan pola hujan dan
pergeseran awal musim mengakibatkan perubahan waktu tanam yang dapat
mempengaruhi maju mundurnya waktu tanam sehingga sangat menyulitkan petani
yang telah terbiasa dengan kalender tanam yang dilakukan.
Penyusunan kalender tanam sangat diperlukan untuk mendukung budidaya
tanaman pangan. Dengan kalender tanam dapat diketahui waktu dan pola tanam di
daerah tertentu selama setahun. Disamping itu kalender tanam tersebut memberikan
informasi komoditas yang biasa ditanam pada suatu wilayah dari mulai persiapan
lahan sampai dengan panen selama setahun. Mencermati sangat signifikannya
dampak variabilitas iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia serta untuk
memperkuat daya tahan sektor pertanian terhadap ancaman variabilitas iklim, maka
diperlukan suatu upaya strategis dalam mengantisipasi dampak variabilitas iklim
dengan melakukan adaptasi budidaya pertanian agar dampak anomali yang cenderung
meningkat tersebut dapat diminimalisasi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang
sangat besar bagi kesinambungan ketahanan pangan. Fenomena ENSO mempunyai
dampak yang sangat luas dan dampak yang paling serius terhadap tanaman pangan
terutama padi. Oleh karena itu upaya yang sangat penting dilakukan adalah dengan
memahami karakteristik iklim wilayah dengan baik. Salah satu upaya adalah melalui
kajian dampak kedua fenomena tersebut terhadap kalender tanam di sentra-sentra
produksi padi di wilayah Indonesia, baik pada wilayah monsunal maupun equatorial.

Di kabupaten Jember, meningkatnya intensitas curah hujan dan bergesernya
musim hujan sangat mempengaruhi besarnya produksi padi yang dihasilkan setiap
tahunnya. Berdasarkan kondisi Oceanic Nino Index (ONI) (Climate Prediction Center
NOAA) pada gambar 7, pada tahun 2008 merupakan kondisi normal, 2009
merupakan kondisi el nino, dan pada tahun 2010 merupakan kondisi la nina.

Gambar 7. Oceanic Nino Index Tahun 1950 – 2012
Keterkaitan antara fenomena perubahan iklim dan produksi padi di Kabupaten
Jember, baik di wilayah hulu, tengah, maupun pesisir, terlihat ketika dilakukan
perbandingan antara keduanya pada tahun-tahun terjadinya penyimpangan, yaitu
2009 (El Nino) dan 2010 (La Nina), dengan tahun 2008 dalam kondisi normal
sebagai pembanding (grafik pada gambar 8, 9, dan 10).

Perbandingan Curah Hujan Tahunan dan Produksi Padi
di Wilayah Hulu (Arjasa)
2500

Curah Hujan

2000

2352

2308

1914
1659.10
1367.20

1500

1448.70
Curah Hujan (mm)

1000

Produksi (x10 ton)

500
0
2008

2009
Tahun

2010

Gambar 8. Grafik perbandingan antara curah hujan tahunan dan produksi padi di
wilayah hulu

Perbandingan Curah Hujan Tahunan dan Produksi Padi
di Wilayah Tengah (Curahmalang)
2834

3000

Curah Hujan

2500

2340

2000
1578.55
1500

1593.10

1674.85

Curah Hujan (mm)
Produksi (x20 ton)

1121

1000
500
0
2008

2009
Tahun

2010

Gambar 9. Grafik perbandingan antara curah hujan tahunan dan produksi padi di
wilayah tengah

Curah Hujan

Perbandingan Curah Hujan Tahunan dan Produksi Padi
di Wilayah Pesisir (Puger)
2000.00
1800.00
1600.00
1400.00
1200.00
1000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00

1898.25

1891.2

1883.45

1644.00

1316.00
Curah Hujan (mm)
Produksi (x20 ton)

699.00

2008

2009
Tahun

2010

Gambar 10. Grafik perbandingan antara curah hujan tahunan dan produksi padi di
wilayah pesisir
Di wilayah hulu, anomali curah hujan tahunan mempengaruhi besarnya
produksi padi. Dari keadaan ONI normal (2008) hingga La Nina (2010), produksi
padi terus menurun. Hal tersebut terjadi karena terus meningkatnya intensitas hujan
pada bulan tanam (januari dan april) setiap tahunnya sehingga jumlah padi yang
dipanen menjadi lebih kecil dibanding pada keadaan normal. Berdasarkan data dinas
pertanian, luas panen bersih pada tahun 2008, 2009, dan 2010 adalah 3.143 ha, 2.630
ha, dan 2.980 ha dengan luas tanam awal adalah 3.209 ha, 3.298 ha, dan 3.036 ha
sehingga peningkatan intensitas curah hujan pada musim tanam mempengaruhi nilai
produksi maupun produktivitas padi di wilayah hulu.
Di wilayah tengah, anomali curah hujan tahunan tidak terlalu berpengaruh
terhadap besarnya produksi padi. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 9 bahwa
adanya penurunan curah hujan tahunan dari tahun 2008 ke 2009 dan meningkat
kembali di tahun 2010 sedangkan untuk nilai produksi terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Berdasarkan pola curah hujan pada gambar 2, 3, dan 4,
peningkatan produksi padi terjadi karena meratanya hujan ketika musim tanam

dengan fluktuasi yang rendah sehingga padi tidak mengalami kegagalan pada musim
panen. Selain itu, sawah di wilayah tengah merupakan sawah yang terus terendam air
(basah) (gambar 11) sehingga tingginya curah hujan berpengaruh terhadap
peningkatan produksi. Adapun luas panen bersih di wilayah tengah berdasarkan dinas
pertanian di tahun 2008, 2009, dan 2010 adalah 5.724 ha, 6.189 ha, dan 5.748 ha
dengan luas tanam sebesar 6.035 ha, 6.296 ha, dan 5.736 ha. Hal tersebut
menunjukkan bahwa curah hujan berbanding terbalik dengan luas panen maupun luas
tanam.

Gambar 11. Sawah di wilayah tengah (Curahmalang) (sumber: dok. Miqdad Anwarie
2012)
Di wilayah pesisir, anomali curah hujan tahunan akibat fenomena perubahan
iklim sangat berpengaruh terhadap perubahan nilai produksi padi. Pada gambar 10
tampak bahwa ketika ketika terjadinya El Nino tahun 2009 produksi padi menurun
tetapi fenomena La Nina pada tahun 2010 lebih menurunkan nilai produksi padi. Hal

tersebut terjadi karena pola curah hujan pada tahun La Nina lebih fluktuatif dan
intensitas curah hujan ketika musim tanam lebih tinggi, seperti ditunjukkan pada
gambar 2, 3, dan 4, sehingga sawah di bagian pesisir yang dominan kering tanpa
terendam air (gambar 12) menjadi banjir dan benih padi yang ditanam menjadi rusak.
Berdasarkan data dinas pertanian, luas lahan tanam bersih padi di tahun 2008, 2009,
dan 2010 di wilayah pesisir adalah 5.566 ha, 5.553 ha, dan 5.629 ha dengan luas
tanam sebesar 7.260 ha, 5.751 ha, dan 5.759 ha. Hal terebut menunjukkan bahwa luas
panen ketika terjadi El Nino lebih kecil daripada luas panen ketika terjadi La Nina
tetapi produksi yang dihasilkan lebih banyak ketika terjadi El Nino sehingga
intensitas curah hujan yang tinggi di wilayah pesisir cenderung lebih menurunkan
produksi daripada musim kemarau berkepanjangan.

Gambar 12. Sawah di wilayah pesisir (Puger) (sumber: dok. Miqdad Anwarie 2012)

Berikut merupakan peta perbandingan antara curah hujan dan produksi padi di
wilayah hulu, tengah, dan pesisir tahun 2008, 2009, dan 2010 yang menunjukkan
bahwa di setiap wilayah memiliki perbedaan respon terhadap fenomena perubahan
iklim, baik ketika terjadi El Nino maupun La Nina.

Peta 2. Perbandingan curah hujan dan produksi padi tahun 2008

Peta 3. Perbandingan curah hujan dan produksi padi tahun 2009

Peta 4. Perbandingan curah hujan dan produksi padi tahun 2010

Kesimpulan
Fenomena perubahan iklim berupa anomali curah hujan yang berkaitan
terhadap pergeseran musim hujan dan musim kemarau merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap besarnya nilai produksi padi di Kabupaten Jember. Perbedaan
respon terhadap fenomena perubahan iklim di wilayah hulu, tengah, dan pesisir
terjadi karena perbedaan karakteristik fisik yang berbeda pada masing-masing
wilayah serta perbedaan faktor penentu iklim yang mempengaruhi curah hujan.
Pengaruh ENSO di masing-masing wilayah memiliki respon yang lebih tinggi
di bagian pesisir dibanding dengan wilayah tengah dan hulu karena jarak yang lebih
dekat dengan laut sehingga lebih terpengaruh oleh fluktuasi suhu permukaan laut
sedangkan pada bagian tengah cenderung lemah pengaruhnya terhadap produksi padi
karena jika terjadi kemarau panjang, cadangan air dari sungai dan irigasi melimpah
sedangkan jika terjadi musim hujan yang panjang tanahnya semakin subur sehingga
lebih meningkatkan produksi. Untuk bagian hulu, fenomena anomali curah hujan
terpengaruh oleh ENSO karena dengan meningkat maupun melemahnya suhu
permukaan laut akan berpengaruh terhadap pembentukan hujan lokal yang
berpengaruh juga terhadap produksi padi di wilayah tersebut.

Referensi
Alfyanti, Rika. 2011. Pemanfaatan luaran Regcm3 untuk kajian dampak perubahan
iklim terhadap perubahan waktu dan pola tanam padi di Jawa Barat. IPB: Bogor
Ariyanto, Shodiq Eko. 2010. Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Produktivitas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.)di Lahan Kering. Sains dan
Teknologi, 3 (2). ISSN 1979-6870
BPS Jember. 2010. Jember Dalam Angka 2010
JICA dan Satlak PB Kabupaten Jember. Rencana Penanggulangan Bencana
Kabupaten Jember Tahun 2007