ELASTISITAS ENERGI DAN EFISIENSI TEKNIS
Economics Journal of Airlangga University
ELASTISITAS ENERGI DAN EFISIENSI TEKNIS PADA INDUSTRI INTENSIF ENERGI :
STUDI KASUS INDUSTRI HULU BAJA
Dewi Fitria M.S
(NIM : 040911112, Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga. Email : dewi.fitria313@gmail.com)
Dosen Pembimbing : Bambang Eko Afiatno
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai elastisitas energi, efisiensi
teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta perubahan efisiensi teknis
yang terjadi ketika dilakukan penghematan energi pada industri hulu baja.
Industri hulu baja terbagi atas industri pengolahan baja dasar, industri
penggilingan baja serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja. Melalui
stochastic frontier analysis, diperoleh beberapa hasil. Pertama, nilai elastisitas
energi listrik dan non listrik industri hulu baja lebih dari satu sehingga pertumbuhan
energi yang dibutuhkan lebih besar daripada pertumbuhan output yang
dihasilkan. Kedua, nilai efisiensi teknis rata-rata industri pengolahan baja dasar
adalah 0,6 dan industri penggilingan baja adalah 0,8 sedangkan industri pipa
dan sambungan pipa dari baja adalah 0,5. Variabel ukuran perusahaan dan
share output secara signifikan berpengaruh negatif pada inefisiensi sedangkan
intensitas energi secara signifikan berpengaruh positif. Variabel rasio kapital
tenaga kerja berpengaruh negatif pada inefisiensi namun tidak signifikan. Ketiga,
penghematan listrik 10% meningkatkan efisiensi teknis industri pengolahan baja
dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja, penghematan energi
non listrik 10% meningkatkan efisiensi teknis pada industri penggilingan baja serta
industri pipa dan sambungan pipa dari baja. Selanjutnya penghematan dua jenis
energi masing-masing 5% hanya meningkatkan efisiensi teknis pada industri
pengolahan baja dasar.
Kata kunci: industri hulu baja, elastisitas energi, efisiensi teknis
1. Pendahuluan
Sektor industri di Indonesia merupakan sektor yang memberikan kontribusi
paling besar pada pembetukan Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan proses
pembangunan ekonomi yang dicetuskan oleh Rostow, industri menjadi leading
sector yang memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainnya
seperti sektor pertanian dan sektor jasa. Hal ini akan mendukung laju
pertumbuhan ekonomi sehingga tercipta proses pembangunan ekonomi.
1
Economics Journal of Airlangga University
Peranan energi sangat penting bagi akselerasi sektor industri karena energi
berfungsi sebagai bahan bakar untuk proses produksi. Selama ini sektor industri
merupakan sektor yang mengkonsumsi energi akhir paling besar setiap tahunnya
bila dibandingkan dengan sektor lain. Tabel 1 menunjukkan bahwa kebutuhan
energi pada sektor industri mendominasi permintaan energi akhir, yakni berkisar
antara 39-43 persen.
Tabel 1 Share Konsumsi Energi Final Menurut Sektor Pengguna (persen)
Sumber : Kementerian ESDM, 2012
Dalam sektor industri sendiri terdapat beberapa industri yang dinilai paling
padat menggunakan energi, baik sebagai bahan bakar ataupun sebagai
bahan baku. Industri yang tergolong padat energi adalah industri baja, industri
semen, industri pupuk, industri keramik, industri pulp dan kertas, industri tekstil dan
industri pengolahan kelapa sawit. Jika dibandingkan dengan faktor input yang
lain, biaya energi pada tujuh industri tersebut lebih besar dari biaya tenaga kerja
(Kementerian Perindustrian, 2012). Industri baja, tekstil, semen, pupuk, dan
keramik
merupakan
prioritas
dalam
pengembangan
industri
nasional
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang
Kebijakan
Industri
Nasional,
dan
merupakan
fokus
Dokumen
Akselerasi
Industrialisasi Tahun 2012-2014 yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.
Dari beberapa industri padat energi tersebut, industri baja khususnya
industri hulu baja merupakan salah satu pilar penting dari upaya pemerintah
untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Perkembangan industri hulu
baja menentukan masa depan pembangunan Indonesia. Berbagai produk
2
Economics Journal of Airlangga University
industri banyak yang memanfaatkan prasarana berbahan baku baja sebagai
material dasarnya, seperti mesin-mesin pabrik, alat angkut, dan konstruksi pabrik.
Tumbuh kembang industri hulu baja seringkali dijadikan tolok ukur tingkat
keberhasilan industrialisasi. Suatu negara dengan tingkat pengembangan industri
baja yang sangat maju dapat dikatakan sebagai negara yang maju
industrialisasinya (Kementerian Perindustrian, 2012).
Peningkatan penggunaan energi di sektor industri bukan hanya terjadi
karena proses transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektor
industri, namun bisa terjadi karena pemborosan penggunaan energi di sektor
industri. Ketidakefisienan pemakaian energi akan merugikan sektor industri karena
terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta keuntungan agregat industri
tersebut. Dampak yang lebih besar lagi adalah inefisiensi energi dalam skala
masif dan berkepanjangan dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi melalui
alokasi sumber daya yang tidak optimal (Kementerian Perindustrian, 2012).
Selain menyebabkan cost production yang tinggi, penggunaan energi
yang tidak efisien memperbesar kemungkinan peningkatan pencemaran
lingkungan. Pada tahun 2005, data dari Kementrian Energi dan Sumberdaya
Mineral (Kemen ESDM) dalam Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan
bahwa selama periode 1990-2004 emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh
sektor industri rata-rata sebanyak 64,76 juta ton. Jumlah ini jauh melebihi sektor
pembangkit listrik dan transportasi yang masing-masing sebesar 47,45 dan 45,97
juta ton. Pemantauan penurunan emisi pada sektor energi dapat dilihat dari
efisiensi energi yang digunakan oleh industri. Jika energi yang diperlukan untuk
menghasilkan output semakin kecil, maka rasio emisi terhadap output juga
semakin kecil.
Sebagai industri yang tergolong padat energi dan memiliki peran yang
penting dalam proses pembangunan, efisiensi energi dan alokasi input pada
industri hulu baja menjadi penting untuk dipantau. Indikator yang paling umum
digunakan untuk melihat efisiensi energi adalah nilai elastisitas energi. Semakin
kecil nilai elastisitas energi, maka semakin efisien sektor tersebut menggunakan
energi. Begitu juga sebaliknya, semakin besar nilai elastisitas maka semakin tidak
efisien pula sektor tersebut dalam menggunakan energi (Yusgiantoro, 2000).
3
Economics Journal of Airlangga University
Efisiensi energi dalam industri sangat diperlukan untuk meningkatkan daya
saing industri tersebut. Semakin tinggi tingkat daya saing industri, maka posisi
industri tersebut semakin kompetitif di pasar global (Bappenas, 2011). Konsumsi
energi pada industri hulu baja juga berpengaruh pada tingkat efisiensi teknis
perusahaan untuk mencapai output maksimum dengan kombinasi input tertentu.
Perubahan atau pengurangan konsumsi energi pada industri hulu baja harus
mempertimbangkan faktor efisiensi teknis agar tujuan dari penghematan energi
menjadi tepat sasaran. Pengurangan konsumsi energi yang tidak tepat sasaran
justru akan menjauhkan perusahaan pada industri baja dari tingkat efisiensi teknis
yang maksimum.
Berdasarkan penjelasan tersebut penelitian ini memiliki beberapa tujuan.
Pertama, mengetahui perkembangan output industri hulu baja beserta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Kedua, mengetahui nilai elastisitas energi yang
digunakan sebagai indikator efisiensi energi pada industri hulu baja baik energi
listrik maupun non listrik. Ketiga, mengetahui tingkat efisiensi teknis pada masingmasing jenis industri pada kelompok industri hulu baja. Keempat, menentukan
hal-hal yang yang mempengaruhi efisiensi teknis pada industri hulu baja. Kelima,
mensimulasikan pengaruh pengurangan konsumsi energi terhadap tingkat
efisiensi teknis pada industri hulu baja.
2. Tinjauan Pustaka
Kementerian Perindustrian (2012) telah menetapkan beberapa jenis
industri baja yang termasuk industri padat energi berdasarkan kode Klasifikasi
Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI) 2005. Klasifikasi industri hulu baja yang
tergolong padat energi dijelaskan dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2 Klasifikasi Industri Baja Padat Energi Menurut Kode KBLI 2005
Kode
KBLI 05
27101
Keterangan
Industri Besi dan Baja Dasar (Iron and Steel Making)
Mencakup pembuatan besi dan baja dalam bentuk dasar,
seperti pellet bijih besi, besi spons, besi kasar (pig iron), dan
dalam bentuk baja kasar (ingot baja, billet baja, baja bloom,
dan baja slab). Termasuk pembuatan besi dan baja paduan.
4
Economics Journal of Airlangga University
Kode
Keterangan
KBLI 05
27102
Industri Penggilingan Baja (Steel Rolling)
Mencakup usaha penggilingan baja, baik penggilingan panas
maupun
dingin,
yang
membuat
produk-produk
gilingan
batang kawat baja, baja tulangan, baja profil, baja strip, baja
rel, pelat baja, baja lembaran hasil gilingan panas (hot rolled
sheet) dan baja lembaran hasil gilingan dingin (cold rolled
sheet) dilapisi atau tidak dilapisi dengan logam atau non logam
lainnya termasuk penggilingan
baja scrap.
27103
Industri Pipa dan Sambungan Pipa dari Baja dan Besi.
Mencakup usaha pembuatan tabung, pipa dan sambungan
pipa dari besi dan baja.
Sumber : BPS, 2005
Suatu industri disebut padat energi karena energi yang dibutuhkan dalam
proses produksi sangat besar. Pertumbuhan energi yang dibutuhkan bisa lebih
besar daripada pertumbuhan output yang dihasilkan. Hal ini menyiratkan bahwa
nilai elastisitas energi untuk industri padat energi tergolong besar. Elastisitas energi
adalah perbandingan antara laju pertumbuhan konsumsi energi dengan laju
pertumbuhan output. Semakin kecil angka elastisitas, maka semakin efisien
penggunaan energi di suatu negara (Yusgiantoro, 2000). Elastisitas energi
tersebut diformulasikan sebagai berikut:
EE = (DEC/EC)/(DO/O)
EE
: Elastisitas energi
EC
: Pemakaian energi pada waktu tertentu
O
: Output pada waktu tertentu
DEC
: Incremental pemakaian energi selang waktu tertentu (EC2-EC1)
DO
: Incremental PDB selang waktu tertentu (PDB2-PDB1)
Elastisitas energi yang semakin kecil menggambarkan struktur produksi
semakin efisien dan energi memiliki nilai tambah yang besar terhadap produksi
nasional.
Namun
elastisitas
yang
kecil
ini
kadang-kadang
juga
dapat
menggambarkan informasi yang menyesatkan. Angka elastisitas seperti itu
5
Economics Journal of Airlangga University
biasanya ditemui di negara-negara yang masih berbasis pertanian (Yusgiantoro,
2000). Sebaliknya elastisitas yang besar juga belum tentu mengindikasikan hal
yang buruk karena biasanya dijumpai di negara industri maju. Pihak pengambil
keputusan harus sangat berhati-hati dalam menafsirkan informasi elastisitas
energi yang ada. Indikator-indikator lainnya harus turut diperhatikan (Yusgiantoro,
2000).
Salah
satu
penghematan
faktor
energi
yang
selain
harus
elastisitas
dipertimbangkan
dalam
upaya
energi
efisiensi.
Untuk
adalah
mengidentifikasi besaran efisiensi dalam industri hulu baja beserta faktor-faktor
yang mempengaruhinya, maka digunakan fungsi produksi frontier stokastik
dalam penelitian ini. Fungsi produksi ini membagi residual model menjadi dua
komponen
yaitu
komponen
efek
random
dan
komponen
yang
merepresentasikan efek inefisiensi teknis. Model tersebut dapat diekspresikan
sebagai berikut:
Yi = βxi + (vi - ui) ................................................................... (1)
i
: perusahaan ke-1,...,n
Yi
: output/produksi dari perusahaan ke-i
: vektor parameter yang akan diduga
Xi
: vektor (k´1) yang menyatakan kuantitas dari input perusahaan ke-i
vi
: variabel random yang diasumsikan iidN(0,ߪ௩ଶ ), yakni tidak terpengaruh
dengan variabel ui, memiliki distribusi normal dengan rata-rata dan
varian yang bernilai 0
ui
: variabel random non negatif yang merepresentasikan efek inefisiensi
teknis dan diasumsikan iidN+(0, ߪ௩ଶ ), yakni bersifat independen dan
terdistribusi setengah normal.
Dalam fungsi produksi frontier, efek inefisiensi teknis dinyatakan dalam
persamaan berikut :
ui = δ0 + δ1 z1i +............ + δn zni + wi .................... (2)
Variabel z menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi suatu
perusahaan. Coelli et al (2005) menyatakan bahwa variabel v i dan ui memiliki
efek yang berbeda bagi setiap perusahaan dalam menghasilkan output.
Perusahaan akan menghasilkan output yang sama dengan output frontiernya
6
Economics Journal of Airlangga University
ketika tidak ada faktor gangguan atau faktor inefisiensi yang mempengaruhi
produksi.
Efisiensi
teknis
(Technical
Efficiency-TE)
yakni
kemampuan
suatu
perusahaan untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan suatu set
input tertentu. Secara matematis, efisiensi teknis dituliskan dalam persamaan
berikut.
TEi =
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ሻ
=
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ ି௨ )
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ )
= exp (-ui) ............................. (3)
Efisiensi teknis ini mencakup hubungan antara input dan output. Suatu
perusahaan efisien secara teknis jika mampu memproduksi dengan output
maksimum menggunakan kombinasi input tertentu.
Sumber inefisiensi atau faktor inefisiensi merupakan faktor mempengaruhi
tingkat efisiensi perusahaan, dalam penelitian ini adalah efisiensi teknis. Faktor
inefisiensi dapat mempengaruhi efisiensi teknis baik secara positif atau negatif.
Jika faktor tersebut mempengaruhi inefisiensi secara positif, maka faktor tersebut
memicu
ketidakefisienan
perusahaan.
Sebaliknya
jika
faktor
tersebut
mempengaruhi inefisiensi secara negatif, maka faktor itu mendukung efisiensi
perusahaan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang efisiensi teknis perusahaan,
ada beberapa faktor yang menjadi sumber inefisiensi perusahaan. Pertama,
ukuran perusahaan yang diklasifikasikan berdasarkan jumlah tenaga kerjanya
(Wu, 1995). Kedua, rasio kapital labor yang menggambarkan industri tersebut
tergolong padat modal atau padat karya (Piesse dan Thirtle, 2000). Ketiga, share
output perusahaan tertentu terhadap output total pada industri yang sama (Kim
et al, 2007). Keempat, konsumsi energi yang ditunjukkan dengan menghitung
rasio antara konsumsi energi dengan output yang dihasilkan (Kounetas dan
Tsekouras, 2009). Rasio ini juga disebut dengan istilah intensitas energi.
3. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang menitikberatkan
pada pengujian hipotesis secara statistik sehingga diperoleh nilai parameter yang
signifikan dan menjabarkan fenomena dalam bentuk data, tabel maupun grafik.
Adapun dasar metode yang digunakan adalah
stochastic frontier analysis
7
Economics Journal of Airlangga University
dengan bantuan software Frontier 4.1 dan Microsoft Excel untuk melakukan
perhitungan secara matematis.
Teknik analisis dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap.
Tahap pertama yaitu melakukan estimasi parameter dari persamaan fungsi
produksi frontier stokastik dan fungsi inefisiensi sekaligus menentukan tingkat
efisiensi teknis setiap perusahaan dengan software Frontier 4.1. Tahap kedua,
setelah nilai parameter dari variabel fungsi produksi diketahui maka dapat
dihitung nilai elastisitas energi listrik dan non listrik pada tiap-tiap cross section
dengan bantuan Microsoft Excel. Tahap ketiga yaitu melihat pengaruh variabelvariabel
inefisiensi
terhadap
efisiensi
teknis
perusahaan.
Tahap
terakhir,
mengidentifikasi perubahan efisiensi teknis ketika konsumsi energi dikurangi.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi
empat bagian. Pertama, model translog capital, labor, energy, material (KLEM)
untuk mengestimasi parameter input produksi dengan mengadopsi fungsi
produksi frontier stokastik. Dalam hal ini, variabel energi dipisah menjadi variabel
energi listrik (EL) dan non listrik (EN). Bentuk matematis yang menggambarkan
hubungkan output dengan input ditunjukkan oleh persamaan 4 berikut ini.
ln Q = α0 + α1 (lnK) + α2 (lnL) + α3 (lnEL) + α4 (lnEN) + α5 (lnM) + α6 (lnK) (lnL) + α7
(lnK) (lnEL) + α8 (lnK) (lnEN) + α9 (lnK) (lnM) + α10 (lnL) (lnEL) + α11 (lnL) (lnEN)
+ α12 (lnL) (lnM) + α13 (lnEL) (lnEN) + α14 (lnEL) (lnM) + α15 (lnEN) (lnM) +
(lnK)2 +
ଵ
ଶ
α17 (lnL)2 +
ଵ
ଶ
α18 (lnEL)2 +
ଵ
ଶ
α19 (lnEN)2 +
............................................................... (4)
ଵ
ଶ
ଵ
ଶ
α16
α20 (lnM)2 + vit - uit
Keterangan :
Q
: nilai output berdasarkan harga konstan tahun 2005
K
: nilai kapital berdasarkan harga konstan tahun 2005
EL
: nilai energi listrik berdasarkan harga konstan tahun 2005
EN
: gabungan dari nilai energi non listrik berdasarkan harga konstan tahun
2005, meliputi bensin, solar, batubara, dan liquified petroleum gas (LPG)
M
: nilai material untuk produksi berdasarkan harga konstan tahun 2005
vit
: error term, i adalah cross section ke-i dan t adalah periode ke-t
uit
: faktor inefisiensi, i adalah cross section ke-i dan t adalah periode ke-t
Model kedua yaitu model tentang elastisitas energi terhadap output baik
untuk energi listrik (EL) dan energi non listrik (EN). Model elastisitas energi
8
Economics Journal of Airlangga University
merupakan diferensial dari persamaan 4. Bentuk model elastisitas energi
dijelaskan dalam persamaan 5 dan 6.
βELi =
βENi =
డொ
డா
= α3 + α7 (lnK) + α10 (lnL) + α13 (lnEN) + α14 (lnM) + α18 (lnEL) ........ (5)
డொ
డாே
= α4 + α8 (lnK) + α11 (lnL) + α13 (lnEL) + α15 (lnM) + α19 (lnEN) ........ (6)
Model
ketiga
adalah
model
efisiensi
teknis
perusahaan
yang
menggambarkan rasio antara output aktual dan output frontiernya. Bentuk
model efisiensi teknis perusahaan yaitu :
TEi =
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ሻ
=
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ ି௨ )
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ )
..................... (7)
Ketika output aktual perusahaan makin mendekati output frontiernya, maka
semakin efisien perusahaan tersebut secara teknis. Oleh karena itu, nilai
maksimum dari efisiensi teknis yaitu 1.
Model keempat yaitu model inefisiensi teknis perusahaan (uit). Model ini
menggambarkan pengaruh ukuran perusahaan (X1), rasio kapital labor (X2),
share output perusahaan terhadap total output pada industri yang sama (X 3)
dan intensitas energi (X4) terhadap inefisiensi secara teknis bagi perusahaan
tertentu. Model inefisiensi yaitu:
uit = δ0 + δ1 X1 + δ2 X2 +δ3 X3 + δ4 X4 + wit ............................ (8)
Variabel w mencerminkan faktor gangguan dari model inefisiensi teknis
perusahaan.
4. Pembahasan
4.1 Gambaran Umum Industri Hulu Baja Nasional
Kapasitas produksi baja mentah di Indonesia masih rendah. Padahal baja
mentah merupakan bahan baku bagi industri pengolahan baja berikutnya.
Gambar 1 menunjukkan perbandingan produksi baja mentah dan impor baja
mentah dalam memenuhi kebutuhan nasional. Indonesia hanya mampu
mencukupi 24,8% bahan baku baja mentah sehingga jumlah impor bahan baku
baja mentah sebesar 75,2%. Impor bahan baku tersebut terdiri dari impor bijih
besi sebesar 56.34% dan impor besi bekas sebesar 43,66%.
9
Economics Journal of Airlangga University
Konsumsi Baja Mentah
5.47 3.73
3.67
2005
5.7
3.76 3.81
Produksi Baja Mentah
6.19
4.16
4.16
2006
Import Baja Mentah
7.09
3.92
2007
5.5
3.92
2008
3.5 3.5
2009
Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), 2012
Gambar 1 Perbandingan Konsumsi, Produksi dan Impor Baja Mentah (juta
metrik ton)
Porsi impor bahan baku baja dan baja mentah yang cukup besar
membuat harga baja di Indonesia berfluktuatif mengikuti harga baja di pasar
internasional. Ketergantungan terhadap bahan baku impor merupakan salah
satu penyebab menurunnya output industri ini. Untuk mendapatkan bahan baku
impor, Indonesia harus bersaing dengan negara lain yang mengkonsumsi baja
lebih banyak seperti China dan Rusia (BKPM, 2012).
Penurunan output industri hulu baja juga disebabkan oleh persaingan
industri yang semakin ketat. Industri lokal harus bersaing dengan produsen asing
yang mengimpor baja mereka ke Indonesia. China adalah salah satu negara
penghasil baja terbesar di dunia yang sangat berperan dalam memenuhi
kebutuhan impor baja Indonesia. Berdasarkan harga konstan tahun 2005, output
industri hulu baja berjumlah 22,45 miliar pada tahun 2005 menjadi 17,89 miliar
pada tahun 2009. Sebaliknya, impor baja dalam bentuk logam dasar memiliki
tren yang meningkat. Gambar 2 menunjukkan perkembangan output industri
hulu baja.
Impor Logam Dasar Baja
24.25 22.45
2005
Produksi Logam Dasar Baja
29.34
19.58
2006
21.30 20.01
2007
33.19
27.28
15.61
2008
17.89
2009
Sumber : BPS (2005-2009) dan Kementerian Perindustrian (2012), diolah
Gambar 2 Perbandingan Produksi dan Impor untuk Produk Industri Hulu Baja
(miliar rupiah berdasarkan harga konstan 2005)
10
Economics Journal of Airlangga University
Pada industri padat energi seperti industri hulu baja, biaya untuk
memenuhi energi yang dibutuhkan pada proses produksi sangat besar. Biaya
energi lebih besar daripada biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan. Rasio
antara biaya energi dan tenaga kerja mulai tahun 2005 sampai tahun 2009
ditunjukkan oleh gambar 3 berikut ini.
6.00
5.00
4.81
4.00
2.00
3.66
3.36
3.00
2.82
1.69
1.48
1.00
0.00
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS (2005-2010), diolah
Gambar 3 Grafik Rasio Biaya Energi dan Tenaga Kerja
Energi yang dibutuhkan oleh industri hulu baja didominasi oleh listrik dan
energi fosil seperti gas, batubara, solar dan bensin. Komposisi kebutuhan energi
pada industri hulu baja terdiri dari 65% energi listrik dan 35% energi non
listrikberupabensin, solar, batubara dan gas (Kementerian Perindustrian, 2012).
Gambar 4 menunjukkan kebutuhan energi pada industri hulu baja yang semakin
menurun mengikuti penurunan outputnya. Penurunan konsumsi energi tidak
hanya disebabkan semata-mata oleh penurunan output. Harga energi yang
cenderung naik akan mendorong perusahaan untuk menggunakan energi
dengan efisien.
600.00
500.00
512.44
400.00
300.00
504.49
LISTRIK
502.56
409.99
363.24
272.04
291.12
175.05
200.00
NON
LISTRIK
160.02
160.26
100.00
131.59
122.11
0.00
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS (2005-2010), diolah
Gambar 4 Konsumsi Energi Industri Hulu Baja (setara barel minyak dalam
ribuan)
11
Economics Journal of Airlangga University
Meskipun energi yang dibutuhkan industri ini cukup besar, namun terjadi
indikasi penghematan energi selama tahun 2005-2010. Hal ini terlihat intensitas
energi yang mengecil. Perubahan nilai intensitas energi pada industri hulu baja
selama tahun 2005-2009 ditunjukkan dalam gambar 5 di bawah ini.Intensitas
energi pada tahun 2008 sempat mengalami kenaikan karena kenaikan harga
energi di pasar internasional (Kementerian ESDM, 2012).
0.80
0.60
0.64
0.53
0.44
0.40
0.41
0.40
0.33
0.20
0.00
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS (2005-2009), diolah
Gambar 5 Grafik Perubahan Intensitas Energi Industri Hulu Baja
4.2 Elastisitas Energi Industri Baja
Elastisitas energi terhadap output memberikan informasi yang tepat untuk
mengetahui jumlah pertumbuhan energi yang dibutuhkan agar tercapai
pertumbuhan output dalam jumlah tertentu. Dalam penelitian ini, elastisitas
energi dibagi menjadi elastisitas energi listrik dan elastisitas energi non listrik.
Elastisitas energi listrik pada industri hulu baja ditunjukkan oleh tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3 Elastisitas Listrik Industri Hulu Baja
Tahun
Elastisitas Listrik Terhadap Output
Industri 27101
Industri 27102
Industri 27103
2005
1.088
6.047
1.939
2006
1.161
5.954
1.897
2007
0.913
5.968
1.932
2008
0.962
5.460
1.880
2009
0.999
5.728
1.895
2010
1.078
4.299
1.602
1.033
5.576
1.858
Rata-rata
Sumber : Hasil pengolahan
12
Economics Journal of Airlangga University
Berdasarkan nilai elastisitasnya, industri pengolahan baja dasar (27101)
adalah industri yang paling efisien dalam menggunakan listrik karena nilai
elastisitasnya paling kecil. Adapun nilai elastisitas listrik industri penggilingan baja
(27102), cukup besar yaitu 5,57 sehingga untuk mencapai pertumbuhan output
1% diperlukan pertumbuhan tenaga listrik 5,57%. Industri pipa dan sambungan
pipa baja (27103) juga belum efisien dalam menggunakan tenga listrik.
Elastisitas listrik ketiga jenis industri tersebut berlawanan dengan nilai
elastisitas energi non listriknya. Tabel 4 menjelaskan nilai elastisitas energi non listrik
industri hulu baja. Penggunaan energi non listrik paling efisien terjadi pada industri
penggilingan baja (27102) karena nilai elastisitasnya paling rendah.
Tabel 4 Elastisitas Energi Non Listrik Industri Hulu Baja
Tahun
Elastisitas Energi Non Listrik Terhadap Output
Industri 27101
Industri 27102
Industri 27103
2005
2.220
1.254
2.109
2006
2.510
1.330
2.194
2007
1.296
1.239
2.158
2008
1.754
1.311
2.205
2009
1.723
1.264
2.183
2010
3.155
1.561
2.454
Rata-rata
2.110
1.327
2.217
Sumber : Hasil pengolahan
Setelah membandingkan nilai elastisitas energi listrik dan non listrik, dapat
diketahui jenis energi yang dominan digunakan dalam proses produksi pada
masing-masing industri hulu baja. Pada industri baja dasar, energi yang dominan
adalah energi non listrik. Hal ini sesuai dengan proses produksi yang terjadi pada
industri tersebut. Untuk membuat baja dalam bentuk dasar dibutuhkan bijih besi
yang dicampur dengan kokas sehingga membutuhkan banyak energi berupa
batubara. Jenis batubara yang banyak digunakan adalah coking cole.
Selanjutnya, jenis energi yang dominan pada industri penggilingan baja
adalah listrik. Pada industri ini diterapkan kinerja dapur listrik untuk mengolah baja
dasar menjadi logam cair yang mudah dibentuk. Pada industri pipa dan
sambungan pipa dari baja, energi yang dominan digunakan adalah energi non
listrik.
13
Economics Journal of Airlangga University
4.3
Efisiensi Teknis dan Sumber Inefisiensi
Efisiensi teknis menerapkan pendekatan output dan merupakan indikator
yang
tepat
untuk
melihat
seberapa
efisien
penggunaan
input
dalam
menghasilkan output. Pada kenyataannya, setiap perusahaan memiliki faktorfaktor inefisiensi yang menyebabkan perusahaan tersebut tidak bisa mencapai
efisiensi teknis yang optimal. Indikasi terjadinya inefisiensi teknis dapat diketahui
dengan membandingkan nilai LR test of the one-sided error dengan nilai χ2 pada
tabel Kodde dan Palm (1986). Jika nilai LR test lebih besar daripada nilai χ2 , maka
hipotesis H0 ditolak sehingga terdapat indikasi inefisiensi pada perusahaan. Nilai
LR test hasil estimasi Frontier 4.1 dan implikasinya ditunjukkan oleh tabel 5 berikut
ini.
Tabel 5 Nilai LR test dan dan Implikasinya Pada Industri Hulu Baja
Kode
LR test of the
Number of
χ2Kodde
Industri
one-sided error
restrictions
and Palm
27101
18.6
6 (α : 0.05)
11.911
Ada indikasi inefisiensi
27102
21.4
6 (α : 0.05)
11.911
Ada indikasi inefisiensi
27103
14.8
6 (α : 0.05)
11.911
Ada indikasi inefisiensi
Keputusan
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Dengan tingkat signifikasi 95%, diketahui bahwa produksi pada industri hulu
baja dipengaruhi oleh faktor inefisiensi. Adapun nilai dari efisiensi teknis masingmasing jenis industri pada industri hulu baja tidak sama. Nilai rata-rata efisiensi
teknis pada industri hulu baja ditampilkan dalam tabel 6.
Tabel 6 Efisiensi Teknis Pada Industri Hulu Baja Periode 2005-2010
Kode
Efisiensi Teknis
Nilai
Nilai
Standar
Industri
Rata-Rata
Maksimum
Minimum
Deviasi
27101
0.66040
0.99022
0.13448
0.246
27102
0.80356
0.98728
0.56974
0.137
27103
0.54371
0.99983
0.10172
0.217
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Industri penggilingan baja (27102) tergolong industri yang paling efisien
secara
teknis
karena
nilai
efisiensi
teknis
rata-ratanya
mendekati
satu.
Ketimpangan efisiensi antar perusahaan juga tidak terlalu jauh sehingga nilai
14
Economics Journal of Airlangga University
rata-rata efisiensi teknis dapat menggambarkan efisiensi pada masing-masing
perusahaan di industri tersebut. Industri pengolahan baja dasar (27101)
merupakan industri paling efisien secara teknis dengan nomor urut dua.
Selanjutnya industri pipa dan sambungan pipa dari baja (27103) tergolong
industri paling tidak efisien secara teknis pada kelompok industri hulu baja.
Ketimpangan efisiensi pada industri 27101 dan 27103 sangat besar sehingga nilai
rata-rata dari efisiensi teknis tidak bisa menggambarkan efisiensi teknis masingmasing perusahaan.
Nilai efisiensi teknis maksimum dimiliki oleh perusahaan dengan share
output yang tinggi, sedangkan nilai output minimum dimiliki oleh perusahaan
dengan share output yang rendah. Perusahaan yang memiliki pasar lebih luas
dan kapasitas produksi lebih besar terbukti mampu mencapai efisiensi teknis yang
lebih tinggi daripada perusahaan sedang dengan kapasitas produksi yang kecil.
Dengan kata lain, skala produksi ikut menentukan efisiensi teknis perusahaan.
Porsi efisiensi teknis yang mendekati nilai optimum (lebih dari 0,90) pada
industri pengolahan baja dasar selama periode observasi mencapai 18,5%. Porsi
efisiensi teknis yang mendekati optimum pada industri penggilingan baja
mencapai 34,44% sedangkan industri pipa dan sambungan pipa dari baja hanya
mencapai 8,33%. Porsi efisiensi teknis yang rendah (kurang dari 0,6) selama
periode observasi pada industri pengolahan baja dasar yaitu 33,33%, industri
penggilingan baja sebesar 5,55% serta industri pipa dan sambungan pipa dari
baja sebesar 64,8%. Nilai dari standar deviasi dari ketiga jenis industri hulu baja
lebih kecil daripada nilai rata-ratanya sehingga data tergolong smooth dan tidak
banyak terdapat data outlier.
Pada fungsi inefisiensi teknis, ukuran perusahaan (X1), share output
perusahaan terhadap total output pada industri yang sama (X 3) dan intensitas
energi (X4) berpengaruh secara signifikan, sedangkan rasio kapital labor (X2) tidak
berpengaruh secara signifikan. Variabel ukuran perusahaan bernilai negatif
menunjukkan bahwa perusahan dengan dummy 1 (perusahaan besar) memiliki
tingkat efisiensi teknis lebih besar daripada perusahaan dengan dummy 0
(perusahaan sedang). Rasio kapital labor juga bernilai negatif pada fungsi
inefisiensi teknis meskipun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa rasio kapital
15
Economics Journal of Airlangga University
labor yang besar akan memicu peningkatan efisiensi perusahaan. Dengan kata
lain, kapital yang besar memicu peningkatan efisiensi teknis.
Variabel share output bernilai negatif pada fungsi inefisiensi sehingga nilai
share output perusahaan yang besar akan mengakibatkan efisiensi teknis yang
lebih tinggi. Pada umumnya, perusahaan dengan share output yang besar
mampu menguasai pasar yang lebih luas. Variabel intensitas energi bernilai positif
pada fungsi inefisiensi sehingga intensitas energi yang besar memicu terjadinya
inefisiensi. Nilai intensitas energi yang besar mengindikasikan konsumsi energi
yang banyak untuk menghasilkan satu satuan output.
4.4 Perubahan Efisiensi Teknis Akibat Penghematan Energi
Sasaran penghematan energi adalah meningkatkan efisiensi sehingga
daya saing perusahaan meningkat. Tepat atau tidaknya sasaran ini bisa dilihat
dari perubahan efisiensi teknis perusahaan setelah dilakukan pengurangan
konsumsi energi. Ketika efisiensi teknis meningkat setelah penghematan energi
dilaksanakan, maka penghematan energi menjadi tepat sasaran karena mampu
mendorong efisiensi faktor-faktor produksi secara keseluruhan. Simulasi efek
penghematan energi pada efisiensi teknis dilakukan dalam tiga sekenario
Skenario
pertama
yaitu
penghematan
energi
listrik
10%.
Tabel
7
menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada masing-masing jenis industri hulu
baja ketika dilakukan penghematan energi listrik. Pengurangan konsumsi listrik
membuat efisiensi teknis industri penggilingan baja (27102) justru menurun. Hal ini
disebabkan kebutuhan energi listrik pada industri tersebut lebih dominan. Selain
itu, ketergantungan industri penggilingan baja terhadap listrik tergolong tinggi
karena nilai elastisitas listriknya besar.
Tabel 7 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Listrik 10%
Industri
Efisiensi Teknis
Nilai
Nilai
Perubahan
(ET) Rata-Rata
Maksimum
Minimum
ETRata-Rata
27101
0.66340
0.99453
0.05988
0.00299
27102
0.80319
0.98731
0.56979
-0.00037
27103
0.54641
0.99955
0.09919
0.00271
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
16
Economics Journal of Airlangga University
Dengan mengurangi konsumsi listrik, efisiensi teknis industri 27101 dan 27103
meningkat dengan nilai yang berbeda. Hal ini disebabkan ketergantungan
mereka terhadap listrik lebih rendah daripada energi non listrik. Alasan ini juga
dapat dideteksi dari nilai elastisitas listrik mereka yang lebih rendah daripada
elastisitas energi non listrik. Berdasarkan perubahan efisiensi teknis tersebut
diketahui bahwa penggunaan energi listrik pada industri pengolahan baja dasar
serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja masih boros. Terbukti ketika
konsumsi listrik dikurangi dan variabel lain konstan, efisiensi teknis meningkat.
Skenario kedua yaitu penghematan energi non listrik 10%. Tabel 8
menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada masing-masing jenis industri hulu
baja
ketika
dilakukan
penghematan
energi
nonlistrik
sebesar
10%
dari
penggunaan energi awal. Penghematan ini direspon negatif oleh industri
pengolahan baja dasar (27101). Hal ini disebabkan elastisitas energi non listrik
pada industri pengolahan baja dasar tergolong tinggi sehingga ketergantungan
industri ini terhadap energi non listrik lebih dominan.
Tabel 8 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Energi Non
Listrik 10%
Industri
Efisiensi Teknis
Nilai
Nilai
Perubahan
(ET) Rata-Rata
Maksimum
Minimum
ET Rata-Rata
27101
0.65662
0.99277
0.14263
-0.00378
27102
0.80362
0.98731
0.57022
0.00006
27103
0.63312
0.99970
0.07007
0.08942
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Industri penggilingan baja (27102) merespon penghematan energi non
listrik dengan positif. Jenis energi yang dikonsumsi secara dominan pada industri
penggilingan baja adalah listrik sehingga penghematan energi non listrik tidak
menurunkan efisiensi teknisnya. Industri pipa dan sambungan pipa dari baja
(27103) merespon penghematan energi non listrik secara positif meskipun
elastisitas energi non listriknya lebih besar daripada elastisitas listriknya. Hal ini
menunjukkan konsumsi industri ini terhadap energi non listrik yang besar
disebabkan karena pemborosan, bukan karena kebutuhan seperti industri
pengolahan baja dasar.
17
Economics Journal of Airlangga University
Skenario ketiga yaitu penghematan energi listrik dan energi non listrik.
Tabel 9 menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada industri hulu baja ketika
dilakukan penghematan listrik dan energi non listrik masing-masing sebesar 5%.
Industri pengolahan baja dasar merespon penghematan ini dengan positif.
Efisiensi teknis industri pengolahan baja dasar meningkat setelah dilakukan
penghematan listrik dan energi non listrik.
Tabel 9 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Listrik
dan Energi Non Listrik 10%
Industri
Efisiensi Teknis (ET)
Nilai
Nilai
Perubahan
Rata-Rata
Maksimum
Minimum
ET Rata-Rata
27101
0.66759
0.98240
0.15097
0.00719
27102
0.80340
0.98731
0.56997
-0.00017
27103
0.53029
0.99982
0.09701
-0.01342
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Hal berbeda dialami oleh industri penggilingan baja (27102) serta industri
pipa dan sambungan pipa dari baja (27103). Dua industri tersebut merespon
penghematan listrik dan energi non listrik secara negatif. Pada industri
penggilingan
baja,
penurunan
efisiensi
teknis
lebih
diakibatkan
oleh
pengurangan konsumsi listrik. Kemudian untuk industri pipa dan sambungan pipa
dari baja, penurunan efisiensi teknis disebabkan oleh pengurangan konsumsi listrik
dan non listrik secara bersamaan.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang telah diuraikan, dapat
disimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Industri hulu baja merupakan industri strategis yang menentukan proses
pembangunan ekonomi dan pertumbuhan industri lainnya. Karena kesulitan
bahan baku dan persaingan industri yang semakin ketat, pertumbuhan output
industri ini mengalami tren yang menurun selama tahun 2005-2010.
2. Elastisitas energi listrik maupun non listrik pada industri hulu baja lebih besar dari
satu sehingga pertumbuhan energi yang dibutuhkan lebih besar daripada
pertumbuhan
output.
Energi
yang
dominan
digunakan pada
industri
pengolahan baja dasar adalah energi non listrik karena nilai elastisitas energi
18
Economics Journal of Airlangga University
non listrik (2,11) lebih besar daripada elastisitas listriknya (1.033). Pada industri
penggilingan baja (27102), energi yang dominan adalah energi listrik karena
nilai elastisitas listriknya 5,576 melebihi elastisitas energi non listriknya (1,327).
Konsumsi industri pipa dan sambungan pipa dari baja terhadap energi non
listrik lebih besar daripada energi listrik. Elastisitas listriknya (1,858) lebih rendah
daripada elastisitas energi non listriknya (2,217).
3. Berdasarkan uji LR test of the one sided error, ada indikasi inefisiensi teknis pada
industri hulu baja. Industri penggilingan baja (27102) memiliki nilai rata-rata
efisiensi teknis (0,8) dengan kesenjangan yang rendah antara nilai maksimum
dan minimumnya sehingga nilai ini dapat menggambarkan kondisi seluruh
perusahaan pada industri tersebut. Nilai rata-rata efisiensi teknis industri
pengolahan baja dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja
berturut-turut adalah 0,6 dan 0,5. Kesenjangan nilai maksimum dan minimum
pada dua industri tersebut besar sehingga nilai rata-rata efisiensi teknis tidak
bisa menggambarkan kondisi seluruh perusahaan dalam industri tersebut.
Skala produksi sangat menentukan tingkat efisiensi teknis perusahaan.
4. Faktor-faktor yang signifikan menjadi sumber inefisiensi secara teknis yaitu
ukuran perusahaan, share output, dan intensitas energi. Perusahaan besar
memiliki nilai efisiensi teknis yang lebih baik daripada perusahaan sedang.
Rasio output perusahaan berpengaruh negatif pada inefisiensi. Sebaliknya,
intensitas energi berpengaruh positif pada inefisiensi.
5. Penghematan
energi
listrik
10%
meningkatkan
efisiensi
teknis
industri
pengolahan baja dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja,
namun
menurunkan
efisiensi
teknis
industri
penggilingan
baja
karena
ketergantungan industri ini pada listrik sangat tinggi. Sebaliknya, penghematan
energi non listrik 10% menurunkan efisiensi teknis industri pengolahan baja
dasar karena ketergantungan industri tersbut pada energi non listrik sangat
tinggi. Industri penggilingan baja serta industri pipa dan sambungan pipa dari
baja mengalami peningkatan efisiensi teknis dalam kasus ini. Ketika energi listrik
dan non listrik dihemat masing-masing 5%, hanya industri penggilingan baja
dasar yang mengalami peningkatan efisiensi teknis. Efisiensi dari dua industri
lain justru menurun. Perubahan efisiensi ini terjadi dengan asumsi faktor
produksi lain konstan.
19
Economics Journal of Airlangga University
DAFTAR PUSTAKA
Afiatno, Bambang Eko. 2004. Kajian terhadap Kelistrikan di Indonesia : Tarif Dasar
Listrik (TDL), Struktur Pasar, dan Industri Kelistrikan Mendatang. Majalah
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Edisi Juni 2004.
----------------------------. 2010. Kajian Peranan Infrastruktur Listrik terhadap
Perkonomian Jawa Timur di Masa yang Akan Datang. Surabaya :
Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga.
Aigner, D.J. , C.A.K Lovell dan P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of
Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics, 6,
21-37.
Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). 2012. Pengembangan
Investasi Industri Logam Dasar. Diunduh dari www.bkpm.go.id tanggal 20
Mei 2013.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2000. Bab XII : Industri.
Diunduh dari www.bappenas.go.id tanggal 10 April 2013.
----------------------------. 2011. Peringkat Daya Saing Indonesia 2011. Diunduh dari
http://www.bappenas.go.id/blog tanggal 4 April 2013.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Produk Domestik Regional Bruto 2004-2011 Atas
Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi. Diunduh dari www.bps.go.id
tanggal 4 April 2013.
------------------------. 2012. PDRB Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2007-2011. Diunduh dari http://www.bps.go.id/publications/publikasi
tanggal 4 April 2013.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2012. Perencanaan Efisiensi
dan Elastisitas Energi 2012. Jakarta : Penerbit BPPT, ISBN 978 – 979 – 3733 – 57
– 9.
Christensen, L.R., D.W. Jorgenson dan L.J. Lau. 1973. Transcedental Logarithmic
Production Frontiers. Review of Economic and Statistics, 5(1) : 82-86.
Coelli, Timothy J, D.S PrasadaRao, Christopher J. O’Donnell, George E. Battese.
2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis 2nd Edition. New
York : Springer Science and Business Media Inc.
20
Economics Journal of Airlangga University
Costanza, Robert. 1980. Embodied Energi and Economic Valuation. Science, New
Series, Vol. 210 No. 4475 Desember 1980 (1219-1224), diunduh dari
http://links.jstor.org tanggal 10 April 2013.
Deliarnov. 2010. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi Ketiga. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Departemen Keuangan. 2013. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Diunduh dari www.anggaran.depkeu.go.id tanggal 4 April
2013.
Griffin, James M. dan Paul R. Gregory. 1976. An Intercountry Translog Model of
Energy Substitution Responses. The American Economic Review Vol. 66 No. 5
halm 845-857.
Hasibuan. Malayu S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi
Aksara.
Hoppe, Hans Herman. 1992. The Misesian Case Against Keynes. London : Institut
Ludwig von Mises.
International Energy Agency (IEA). 2005. Energy Statistics Manual. Diunduh dari
www.iea.org tanggal 11 Mei 2013.
Ikhsan, A. 2005. Kebutuhan Bahan Baku Baja Masih Terus Meningkat. BEI NEWS
Edisi 28 Thn V
Jhingan, 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : Rajawali
Press.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2006. Blueprint
Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Diunduh dari www.esdm.go.id
tanggal 3 Mei 2013.
----------------. 2011. Pengembangan Prototype Plant Kokas dengan Bahan Bakar
Batubara. Diunduh dari http://www.litbang.esdm.go.id tanggal 24 Juli 2013.
----------------. 2012. Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia.
Diunduh dari http://www.esdm.go.id/publikasi/handbook tanggal 4 April
2013.
-----------------. 2013. Indikator Energi. Hak cipta pada Direktorat Jenderal Energi
Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber
Daya
Mineral,
diunduh
tanggal
10
April
2013
dari
http://www.konservasienergi indonesia.info/energy/indicator.
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2005. Statistik Lingkungan Hidup 2005.
Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup.
21
Economics Journal of Airlangga University
--------------. 2011. National Summit
www.menlh.go.id 16 Juni 2012.
Perubahan
Iklim
2011.
Diunduh
dari
Kementerian Perindustrian. 2012. Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri
Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi. Jakarta : Biro Perencanaan
Sekretariat Jenderal Kementerian Perindustrian.
-----------------.2013. Siaran Pers Pembangunan Industri Berdaya Saing Tinggi.
Diunduh dari www.kemenperin.go.id/artikel/5835 tanggal 10 April 2013
Kim, Jung Woo, Jeong Yeon Lee, Jae Yong Kim, Hoe Kyung Lee. 2007. Source of
Productive Efficiency : Inernational Comparison of Iron and Steel Firms.
Journal of Resources Policy 31 (239-246).
Klacek, Jan et al. 2008. Total Factor Productivity in Czech Manufacturing Industry –
KLEM Framework. Statistika (414-428).
Kodde, David A dan Franz C. Palm. 1986. Wald Criteria for Jointly Testing Equality
and Inequality Restriction. Econometrica Journal Vol. 54 Issue 5halm.12431248.
Kounetas, Kostas dan Kostas Tsekouras. 2009. Are the Energy Efficiency
Technologies Efficient? Journal of Economic Modelling 27 (274-283).
Koutsoyiannis, Anna. 2008. Modern Microeconomics 2nd Edition. London :
Macmillan Press.
Djojohadikusumo, Sumitro. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi I.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mallick, Oliver Basu. 2005. Rostow’s Five Stage Model of Development and Its
Relevance in Globalization. Essay in School of Social Science, University of
Newcastle.
McEachern, William. 2001. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta : PT Salemba Empat.
Miller, Rogeer LR, Meiners. 2000. Teori Ekonomi Intermediate Edisi 3. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediet dan Aplikasinya, Edisi
Kedelapan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Nugroho, Hanan. 2004. Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih
dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia. Jakarta : KORPRI Unit
Bappenas.
22
Economics Journal of Airlangga University
Piesse, Jenifer dan Thirtle Colin. 2000. A Stochastic Frontier Approach to Firm Level
Efficiency, Technological Change, and Productivity during the Early
Transition in Hungary. Journal of Comparative Economics 28 (473-501).
Rochman, N.T. 2003. Baja dan Baja Super, Pilar Masyarakat Berbasis Industri.
Diunduh dari www.nano.lipi.go.id/utama.artikel bulan April 2013.
Stern, David I. 1999. Is Energy Cost an Accurate Indicator of Natural Resource
Quality? Ecological Economics, 31: 381-394.
Stern, David I. dan Cutler J. Cleveland, 2004. Energy and Economic Growth.
Rensselaer Working Papers in Economics 0410, Rensselaer Polytechnic
Institute, Department of Economics. Diunduh dari http://www.economics.rpi.
edu/workingpapers/rpi0410.pdf tanggal 1 April 2013.
Sudjito, dkk. 2000. Diktat Termodinamika Dasar. Malang : Fakultas Teknik Jurusan
Mesin Universitas Brawijaya.
Todaro, Michael P dan Stephen C Smith.2004. Pembangunan Ekonomi di
DuniaKetiga. Erlangga : Jakarta.
Wang, H-J., and P. Schmidt. 2002. One-Step and Two-Step Estimation of the
Effects of Exogenous Variables on Technical Efficiency Levels. Journal of
Productivity Analysis Vol. 18(129-44).
Wolde-Rufael, Yemane. 2008. Energy Consumption and Economic Growth.
Kumpulan Jurnal Elsevier, diunduh dari www.sciencedirect.com tanggal 10
April 2013.
Wu, Yanrui. 1995. The Productive Efficiency of Chinese Iron and Steel Firms.
Resources Policy Journal Vol. 21 No.3 (215-222).
Yusgiantoro, Purnomo. 2000. Ekonomi Energi Teori dan Praktik. Jakarta : Pustaka
LP3ES Indonesia.
23
ELASTISITAS ENERGI DAN EFISIENSI TEKNIS PADA INDUSTRI INTENSIF ENERGI :
STUDI KASUS INDUSTRI HULU BAJA
Dewi Fitria M.S
(NIM : 040911112, Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga. Email : dewi.fitria313@gmail.com)
Dosen Pembimbing : Bambang Eko Afiatno
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai elastisitas energi, efisiensi
teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta perubahan efisiensi teknis
yang terjadi ketika dilakukan penghematan energi pada industri hulu baja.
Industri hulu baja terbagi atas industri pengolahan baja dasar, industri
penggilingan baja serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja. Melalui
stochastic frontier analysis, diperoleh beberapa hasil. Pertama, nilai elastisitas
energi listrik dan non listrik industri hulu baja lebih dari satu sehingga pertumbuhan
energi yang dibutuhkan lebih besar daripada pertumbuhan output yang
dihasilkan. Kedua, nilai efisiensi teknis rata-rata industri pengolahan baja dasar
adalah 0,6 dan industri penggilingan baja adalah 0,8 sedangkan industri pipa
dan sambungan pipa dari baja adalah 0,5. Variabel ukuran perusahaan dan
share output secara signifikan berpengaruh negatif pada inefisiensi sedangkan
intensitas energi secara signifikan berpengaruh positif. Variabel rasio kapital
tenaga kerja berpengaruh negatif pada inefisiensi namun tidak signifikan. Ketiga,
penghematan listrik 10% meningkatkan efisiensi teknis industri pengolahan baja
dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja, penghematan energi
non listrik 10% meningkatkan efisiensi teknis pada industri penggilingan baja serta
industri pipa dan sambungan pipa dari baja. Selanjutnya penghematan dua jenis
energi masing-masing 5% hanya meningkatkan efisiensi teknis pada industri
pengolahan baja dasar.
Kata kunci: industri hulu baja, elastisitas energi, efisiensi teknis
1. Pendahuluan
Sektor industri di Indonesia merupakan sektor yang memberikan kontribusi
paling besar pada pembetukan Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan proses
pembangunan ekonomi yang dicetuskan oleh Rostow, industri menjadi leading
sector yang memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainnya
seperti sektor pertanian dan sektor jasa. Hal ini akan mendukung laju
pertumbuhan ekonomi sehingga tercipta proses pembangunan ekonomi.
1
Economics Journal of Airlangga University
Peranan energi sangat penting bagi akselerasi sektor industri karena energi
berfungsi sebagai bahan bakar untuk proses produksi. Selama ini sektor industri
merupakan sektor yang mengkonsumsi energi akhir paling besar setiap tahunnya
bila dibandingkan dengan sektor lain. Tabel 1 menunjukkan bahwa kebutuhan
energi pada sektor industri mendominasi permintaan energi akhir, yakni berkisar
antara 39-43 persen.
Tabel 1 Share Konsumsi Energi Final Menurut Sektor Pengguna (persen)
Sumber : Kementerian ESDM, 2012
Dalam sektor industri sendiri terdapat beberapa industri yang dinilai paling
padat menggunakan energi, baik sebagai bahan bakar ataupun sebagai
bahan baku. Industri yang tergolong padat energi adalah industri baja, industri
semen, industri pupuk, industri keramik, industri pulp dan kertas, industri tekstil dan
industri pengolahan kelapa sawit. Jika dibandingkan dengan faktor input yang
lain, biaya energi pada tujuh industri tersebut lebih besar dari biaya tenaga kerja
(Kementerian Perindustrian, 2012). Industri baja, tekstil, semen, pupuk, dan
keramik
merupakan
prioritas
dalam
pengembangan
industri
nasional
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang
Kebijakan
Industri
Nasional,
dan
merupakan
fokus
Dokumen
Akselerasi
Industrialisasi Tahun 2012-2014 yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.
Dari beberapa industri padat energi tersebut, industri baja khususnya
industri hulu baja merupakan salah satu pilar penting dari upaya pemerintah
untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Perkembangan industri hulu
baja menentukan masa depan pembangunan Indonesia. Berbagai produk
2
Economics Journal of Airlangga University
industri banyak yang memanfaatkan prasarana berbahan baku baja sebagai
material dasarnya, seperti mesin-mesin pabrik, alat angkut, dan konstruksi pabrik.
Tumbuh kembang industri hulu baja seringkali dijadikan tolok ukur tingkat
keberhasilan industrialisasi. Suatu negara dengan tingkat pengembangan industri
baja yang sangat maju dapat dikatakan sebagai negara yang maju
industrialisasinya (Kementerian Perindustrian, 2012).
Peningkatan penggunaan energi di sektor industri bukan hanya terjadi
karena proses transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektor
industri, namun bisa terjadi karena pemborosan penggunaan energi di sektor
industri. Ketidakefisienan pemakaian energi akan merugikan sektor industri karena
terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta keuntungan agregat industri
tersebut. Dampak yang lebih besar lagi adalah inefisiensi energi dalam skala
masif dan berkepanjangan dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi melalui
alokasi sumber daya yang tidak optimal (Kementerian Perindustrian, 2012).
Selain menyebabkan cost production yang tinggi, penggunaan energi
yang tidak efisien memperbesar kemungkinan peningkatan pencemaran
lingkungan. Pada tahun 2005, data dari Kementrian Energi dan Sumberdaya
Mineral (Kemen ESDM) dalam Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan
bahwa selama periode 1990-2004 emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh
sektor industri rata-rata sebanyak 64,76 juta ton. Jumlah ini jauh melebihi sektor
pembangkit listrik dan transportasi yang masing-masing sebesar 47,45 dan 45,97
juta ton. Pemantauan penurunan emisi pada sektor energi dapat dilihat dari
efisiensi energi yang digunakan oleh industri. Jika energi yang diperlukan untuk
menghasilkan output semakin kecil, maka rasio emisi terhadap output juga
semakin kecil.
Sebagai industri yang tergolong padat energi dan memiliki peran yang
penting dalam proses pembangunan, efisiensi energi dan alokasi input pada
industri hulu baja menjadi penting untuk dipantau. Indikator yang paling umum
digunakan untuk melihat efisiensi energi adalah nilai elastisitas energi. Semakin
kecil nilai elastisitas energi, maka semakin efisien sektor tersebut menggunakan
energi. Begitu juga sebaliknya, semakin besar nilai elastisitas maka semakin tidak
efisien pula sektor tersebut dalam menggunakan energi (Yusgiantoro, 2000).
3
Economics Journal of Airlangga University
Efisiensi energi dalam industri sangat diperlukan untuk meningkatkan daya
saing industri tersebut. Semakin tinggi tingkat daya saing industri, maka posisi
industri tersebut semakin kompetitif di pasar global (Bappenas, 2011). Konsumsi
energi pada industri hulu baja juga berpengaruh pada tingkat efisiensi teknis
perusahaan untuk mencapai output maksimum dengan kombinasi input tertentu.
Perubahan atau pengurangan konsumsi energi pada industri hulu baja harus
mempertimbangkan faktor efisiensi teknis agar tujuan dari penghematan energi
menjadi tepat sasaran. Pengurangan konsumsi energi yang tidak tepat sasaran
justru akan menjauhkan perusahaan pada industri baja dari tingkat efisiensi teknis
yang maksimum.
Berdasarkan penjelasan tersebut penelitian ini memiliki beberapa tujuan.
Pertama, mengetahui perkembangan output industri hulu baja beserta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Kedua, mengetahui nilai elastisitas energi yang
digunakan sebagai indikator efisiensi energi pada industri hulu baja baik energi
listrik maupun non listrik. Ketiga, mengetahui tingkat efisiensi teknis pada masingmasing jenis industri pada kelompok industri hulu baja. Keempat, menentukan
hal-hal yang yang mempengaruhi efisiensi teknis pada industri hulu baja. Kelima,
mensimulasikan pengaruh pengurangan konsumsi energi terhadap tingkat
efisiensi teknis pada industri hulu baja.
2. Tinjauan Pustaka
Kementerian Perindustrian (2012) telah menetapkan beberapa jenis
industri baja yang termasuk industri padat energi berdasarkan kode Klasifikasi
Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI) 2005. Klasifikasi industri hulu baja yang
tergolong padat energi dijelaskan dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2 Klasifikasi Industri Baja Padat Energi Menurut Kode KBLI 2005
Kode
KBLI 05
27101
Keterangan
Industri Besi dan Baja Dasar (Iron and Steel Making)
Mencakup pembuatan besi dan baja dalam bentuk dasar,
seperti pellet bijih besi, besi spons, besi kasar (pig iron), dan
dalam bentuk baja kasar (ingot baja, billet baja, baja bloom,
dan baja slab). Termasuk pembuatan besi dan baja paduan.
4
Economics Journal of Airlangga University
Kode
Keterangan
KBLI 05
27102
Industri Penggilingan Baja (Steel Rolling)
Mencakup usaha penggilingan baja, baik penggilingan panas
maupun
dingin,
yang
membuat
produk-produk
gilingan
batang kawat baja, baja tulangan, baja profil, baja strip, baja
rel, pelat baja, baja lembaran hasil gilingan panas (hot rolled
sheet) dan baja lembaran hasil gilingan dingin (cold rolled
sheet) dilapisi atau tidak dilapisi dengan logam atau non logam
lainnya termasuk penggilingan
baja scrap.
27103
Industri Pipa dan Sambungan Pipa dari Baja dan Besi.
Mencakup usaha pembuatan tabung, pipa dan sambungan
pipa dari besi dan baja.
Sumber : BPS, 2005
Suatu industri disebut padat energi karena energi yang dibutuhkan dalam
proses produksi sangat besar. Pertumbuhan energi yang dibutuhkan bisa lebih
besar daripada pertumbuhan output yang dihasilkan. Hal ini menyiratkan bahwa
nilai elastisitas energi untuk industri padat energi tergolong besar. Elastisitas energi
adalah perbandingan antara laju pertumbuhan konsumsi energi dengan laju
pertumbuhan output. Semakin kecil angka elastisitas, maka semakin efisien
penggunaan energi di suatu negara (Yusgiantoro, 2000). Elastisitas energi
tersebut diformulasikan sebagai berikut:
EE = (DEC/EC)/(DO/O)
EE
: Elastisitas energi
EC
: Pemakaian energi pada waktu tertentu
O
: Output pada waktu tertentu
DEC
: Incremental pemakaian energi selang waktu tertentu (EC2-EC1)
DO
: Incremental PDB selang waktu tertentu (PDB2-PDB1)
Elastisitas energi yang semakin kecil menggambarkan struktur produksi
semakin efisien dan energi memiliki nilai tambah yang besar terhadap produksi
nasional.
Namun
elastisitas
yang
kecil
ini
kadang-kadang
juga
dapat
menggambarkan informasi yang menyesatkan. Angka elastisitas seperti itu
5
Economics Journal of Airlangga University
biasanya ditemui di negara-negara yang masih berbasis pertanian (Yusgiantoro,
2000). Sebaliknya elastisitas yang besar juga belum tentu mengindikasikan hal
yang buruk karena biasanya dijumpai di negara industri maju. Pihak pengambil
keputusan harus sangat berhati-hati dalam menafsirkan informasi elastisitas
energi yang ada. Indikator-indikator lainnya harus turut diperhatikan (Yusgiantoro,
2000).
Salah
satu
penghematan
faktor
energi
yang
selain
harus
elastisitas
dipertimbangkan
dalam
upaya
energi
efisiensi.
Untuk
adalah
mengidentifikasi besaran efisiensi dalam industri hulu baja beserta faktor-faktor
yang mempengaruhinya, maka digunakan fungsi produksi frontier stokastik
dalam penelitian ini. Fungsi produksi ini membagi residual model menjadi dua
komponen
yaitu
komponen
efek
random
dan
komponen
yang
merepresentasikan efek inefisiensi teknis. Model tersebut dapat diekspresikan
sebagai berikut:
Yi = βxi + (vi - ui) ................................................................... (1)
i
: perusahaan ke-1,...,n
Yi
: output/produksi dari perusahaan ke-i
: vektor parameter yang akan diduga
Xi
: vektor (k´1) yang menyatakan kuantitas dari input perusahaan ke-i
vi
: variabel random yang diasumsikan iidN(0,ߪ௩ଶ ), yakni tidak terpengaruh
dengan variabel ui, memiliki distribusi normal dengan rata-rata dan
varian yang bernilai 0
ui
: variabel random non negatif yang merepresentasikan efek inefisiensi
teknis dan diasumsikan iidN+(0, ߪ௩ଶ ), yakni bersifat independen dan
terdistribusi setengah normal.
Dalam fungsi produksi frontier, efek inefisiensi teknis dinyatakan dalam
persamaan berikut :
ui = δ0 + δ1 z1i +............ + δn zni + wi .................... (2)
Variabel z menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi suatu
perusahaan. Coelli et al (2005) menyatakan bahwa variabel v i dan ui memiliki
efek yang berbeda bagi setiap perusahaan dalam menghasilkan output.
Perusahaan akan menghasilkan output yang sama dengan output frontiernya
6
Economics Journal of Airlangga University
ketika tidak ada faktor gangguan atau faktor inefisiensi yang mempengaruhi
produksi.
Efisiensi
teknis
(Technical
Efficiency-TE)
yakni
kemampuan
suatu
perusahaan untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan suatu set
input tertentu. Secara matematis, efisiensi teknis dituliskan dalam persamaan
berikut.
TEi =
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ሻ
=
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ ି௨ )
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ )
= exp (-ui) ............................. (3)
Efisiensi teknis ini mencakup hubungan antara input dan output. Suatu
perusahaan efisien secara teknis jika mampu memproduksi dengan output
maksimum menggunakan kombinasi input tertentu.
Sumber inefisiensi atau faktor inefisiensi merupakan faktor mempengaruhi
tingkat efisiensi perusahaan, dalam penelitian ini adalah efisiensi teknis. Faktor
inefisiensi dapat mempengaruhi efisiensi teknis baik secara positif atau negatif.
Jika faktor tersebut mempengaruhi inefisiensi secara positif, maka faktor tersebut
memicu
ketidakefisienan
perusahaan.
Sebaliknya
jika
faktor
tersebut
mempengaruhi inefisiensi secara negatif, maka faktor itu mendukung efisiensi
perusahaan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang efisiensi teknis perusahaan,
ada beberapa faktor yang menjadi sumber inefisiensi perusahaan. Pertama,
ukuran perusahaan yang diklasifikasikan berdasarkan jumlah tenaga kerjanya
(Wu, 1995). Kedua, rasio kapital labor yang menggambarkan industri tersebut
tergolong padat modal atau padat karya (Piesse dan Thirtle, 2000). Ketiga, share
output perusahaan tertentu terhadap output total pada industri yang sama (Kim
et al, 2007). Keempat, konsumsi energi yang ditunjukkan dengan menghitung
rasio antara konsumsi energi dengan output yang dihasilkan (Kounetas dan
Tsekouras, 2009). Rasio ini juga disebut dengan istilah intensitas energi.
3. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang menitikberatkan
pada pengujian hipotesis secara statistik sehingga diperoleh nilai parameter yang
signifikan dan menjabarkan fenomena dalam bentuk data, tabel maupun grafik.
Adapun dasar metode yang digunakan adalah
stochastic frontier analysis
7
Economics Journal of Airlangga University
dengan bantuan software Frontier 4.1 dan Microsoft Excel untuk melakukan
perhitungan secara matematis.
Teknik analisis dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap.
Tahap pertama yaitu melakukan estimasi parameter dari persamaan fungsi
produksi frontier stokastik dan fungsi inefisiensi sekaligus menentukan tingkat
efisiensi teknis setiap perusahaan dengan software Frontier 4.1. Tahap kedua,
setelah nilai parameter dari variabel fungsi produksi diketahui maka dapat
dihitung nilai elastisitas energi listrik dan non listrik pada tiap-tiap cross section
dengan bantuan Microsoft Excel. Tahap ketiga yaitu melihat pengaruh variabelvariabel
inefisiensi
terhadap
efisiensi
teknis
perusahaan.
Tahap
terakhir,
mengidentifikasi perubahan efisiensi teknis ketika konsumsi energi dikurangi.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi
empat bagian. Pertama, model translog capital, labor, energy, material (KLEM)
untuk mengestimasi parameter input produksi dengan mengadopsi fungsi
produksi frontier stokastik. Dalam hal ini, variabel energi dipisah menjadi variabel
energi listrik (EL) dan non listrik (EN). Bentuk matematis yang menggambarkan
hubungkan output dengan input ditunjukkan oleh persamaan 4 berikut ini.
ln Q = α0 + α1 (lnK) + α2 (lnL) + α3 (lnEL) + α4 (lnEN) + α5 (lnM) + α6 (lnK) (lnL) + α7
(lnK) (lnEL) + α8 (lnK) (lnEN) + α9 (lnK) (lnM) + α10 (lnL) (lnEL) + α11 (lnL) (lnEN)
+ α12 (lnL) (lnM) + α13 (lnEL) (lnEN) + α14 (lnEL) (lnM) + α15 (lnEN) (lnM) +
(lnK)2 +
ଵ
ଶ
α17 (lnL)2 +
ଵ
ଶ
α18 (lnEL)2 +
ଵ
ଶ
α19 (lnEN)2 +
............................................................... (4)
ଵ
ଶ
ଵ
ଶ
α16
α20 (lnM)2 + vit - uit
Keterangan :
Q
: nilai output berdasarkan harga konstan tahun 2005
K
: nilai kapital berdasarkan harga konstan tahun 2005
EL
: nilai energi listrik berdasarkan harga konstan tahun 2005
EN
: gabungan dari nilai energi non listrik berdasarkan harga konstan tahun
2005, meliputi bensin, solar, batubara, dan liquified petroleum gas (LPG)
M
: nilai material untuk produksi berdasarkan harga konstan tahun 2005
vit
: error term, i adalah cross section ke-i dan t adalah periode ke-t
uit
: faktor inefisiensi, i adalah cross section ke-i dan t adalah periode ke-t
Model kedua yaitu model tentang elastisitas energi terhadap output baik
untuk energi listrik (EL) dan energi non listrik (EN). Model elastisitas energi
8
Economics Journal of Airlangga University
merupakan diferensial dari persamaan 4. Bentuk model elastisitas energi
dijelaskan dalam persamaan 5 dan 6.
βELi =
βENi =
డொ
డா
= α3 + α7 (lnK) + α10 (lnL) + α13 (lnEN) + α14 (lnM) + α18 (lnEL) ........ (5)
డொ
డாே
= α4 + α8 (lnK) + α11 (lnL) + α13 (lnEL) + α15 (lnM) + α19 (lnEN) ........ (6)
Model
ketiga
adalah
model
efisiensi
teknis
perusahaan
yang
menggambarkan rasio antara output aktual dan output frontiernya. Bentuk
model efisiensi teknis perusahaan yaitu :
TEi =
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ሻ
=
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ ି௨ )
ୣ୶୮ሺ௫′ ఉା௩ )
..................... (7)
Ketika output aktual perusahaan makin mendekati output frontiernya, maka
semakin efisien perusahaan tersebut secara teknis. Oleh karena itu, nilai
maksimum dari efisiensi teknis yaitu 1.
Model keempat yaitu model inefisiensi teknis perusahaan (uit). Model ini
menggambarkan pengaruh ukuran perusahaan (X1), rasio kapital labor (X2),
share output perusahaan terhadap total output pada industri yang sama (X 3)
dan intensitas energi (X4) terhadap inefisiensi secara teknis bagi perusahaan
tertentu. Model inefisiensi yaitu:
uit = δ0 + δ1 X1 + δ2 X2 +δ3 X3 + δ4 X4 + wit ............................ (8)
Variabel w mencerminkan faktor gangguan dari model inefisiensi teknis
perusahaan.
4. Pembahasan
4.1 Gambaran Umum Industri Hulu Baja Nasional
Kapasitas produksi baja mentah di Indonesia masih rendah. Padahal baja
mentah merupakan bahan baku bagi industri pengolahan baja berikutnya.
Gambar 1 menunjukkan perbandingan produksi baja mentah dan impor baja
mentah dalam memenuhi kebutuhan nasional. Indonesia hanya mampu
mencukupi 24,8% bahan baku baja mentah sehingga jumlah impor bahan baku
baja mentah sebesar 75,2%. Impor bahan baku tersebut terdiri dari impor bijih
besi sebesar 56.34% dan impor besi bekas sebesar 43,66%.
9
Economics Journal of Airlangga University
Konsumsi Baja Mentah
5.47 3.73
3.67
2005
5.7
3.76 3.81
Produksi Baja Mentah
6.19
4.16
4.16
2006
Import Baja Mentah
7.09
3.92
2007
5.5
3.92
2008
3.5 3.5
2009
Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), 2012
Gambar 1 Perbandingan Konsumsi, Produksi dan Impor Baja Mentah (juta
metrik ton)
Porsi impor bahan baku baja dan baja mentah yang cukup besar
membuat harga baja di Indonesia berfluktuatif mengikuti harga baja di pasar
internasional. Ketergantungan terhadap bahan baku impor merupakan salah
satu penyebab menurunnya output industri ini. Untuk mendapatkan bahan baku
impor, Indonesia harus bersaing dengan negara lain yang mengkonsumsi baja
lebih banyak seperti China dan Rusia (BKPM, 2012).
Penurunan output industri hulu baja juga disebabkan oleh persaingan
industri yang semakin ketat. Industri lokal harus bersaing dengan produsen asing
yang mengimpor baja mereka ke Indonesia. China adalah salah satu negara
penghasil baja terbesar di dunia yang sangat berperan dalam memenuhi
kebutuhan impor baja Indonesia. Berdasarkan harga konstan tahun 2005, output
industri hulu baja berjumlah 22,45 miliar pada tahun 2005 menjadi 17,89 miliar
pada tahun 2009. Sebaliknya, impor baja dalam bentuk logam dasar memiliki
tren yang meningkat. Gambar 2 menunjukkan perkembangan output industri
hulu baja.
Impor Logam Dasar Baja
24.25 22.45
2005
Produksi Logam Dasar Baja
29.34
19.58
2006
21.30 20.01
2007
33.19
27.28
15.61
2008
17.89
2009
Sumber : BPS (2005-2009) dan Kementerian Perindustrian (2012), diolah
Gambar 2 Perbandingan Produksi dan Impor untuk Produk Industri Hulu Baja
(miliar rupiah berdasarkan harga konstan 2005)
10
Economics Journal of Airlangga University
Pada industri padat energi seperti industri hulu baja, biaya untuk
memenuhi energi yang dibutuhkan pada proses produksi sangat besar. Biaya
energi lebih besar daripada biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan. Rasio
antara biaya energi dan tenaga kerja mulai tahun 2005 sampai tahun 2009
ditunjukkan oleh gambar 3 berikut ini.
6.00
5.00
4.81
4.00
2.00
3.66
3.36
3.00
2.82
1.69
1.48
1.00
0.00
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS (2005-2010), diolah
Gambar 3 Grafik Rasio Biaya Energi dan Tenaga Kerja
Energi yang dibutuhkan oleh industri hulu baja didominasi oleh listrik dan
energi fosil seperti gas, batubara, solar dan bensin. Komposisi kebutuhan energi
pada industri hulu baja terdiri dari 65% energi listrik dan 35% energi non
listrikberupabensin, solar, batubara dan gas (Kementerian Perindustrian, 2012).
Gambar 4 menunjukkan kebutuhan energi pada industri hulu baja yang semakin
menurun mengikuti penurunan outputnya. Penurunan konsumsi energi tidak
hanya disebabkan semata-mata oleh penurunan output. Harga energi yang
cenderung naik akan mendorong perusahaan untuk menggunakan energi
dengan efisien.
600.00
500.00
512.44
400.00
300.00
504.49
LISTRIK
502.56
409.99
363.24
272.04
291.12
175.05
200.00
NON
LISTRIK
160.02
160.26
100.00
131.59
122.11
0.00
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS (2005-2010), diolah
Gambar 4 Konsumsi Energi Industri Hulu Baja (setara barel minyak dalam
ribuan)
11
Economics Journal of Airlangga University
Meskipun energi yang dibutuhkan industri ini cukup besar, namun terjadi
indikasi penghematan energi selama tahun 2005-2010. Hal ini terlihat intensitas
energi yang mengecil. Perubahan nilai intensitas energi pada industri hulu baja
selama tahun 2005-2009 ditunjukkan dalam gambar 5 di bawah ini.Intensitas
energi pada tahun 2008 sempat mengalami kenaikan karena kenaikan harga
energi di pasar internasional (Kementerian ESDM, 2012).
0.80
0.60
0.64
0.53
0.44
0.40
0.41
0.40
0.33
0.20
0.00
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS (2005-2009), diolah
Gambar 5 Grafik Perubahan Intensitas Energi Industri Hulu Baja
4.2 Elastisitas Energi Industri Baja
Elastisitas energi terhadap output memberikan informasi yang tepat untuk
mengetahui jumlah pertumbuhan energi yang dibutuhkan agar tercapai
pertumbuhan output dalam jumlah tertentu. Dalam penelitian ini, elastisitas
energi dibagi menjadi elastisitas energi listrik dan elastisitas energi non listrik.
Elastisitas energi listrik pada industri hulu baja ditunjukkan oleh tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3 Elastisitas Listrik Industri Hulu Baja
Tahun
Elastisitas Listrik Terhadap Output
Industri 27101
Industri 27102
Industri 27103
2005
1.088
6.047
1.939
2006
1.161
5.954
1.897
2007
0.913
5.968
1.932
2008
0.962
5.460
1.880
2009
0.999
5.728
1.895
2010
1.078
4.299
1.602
1.033
5.576
1.858
Rata-rata
Sumber : Hasil pengolahan
12
Economics Journal of Airlangga University
Berdasarkan nilai elastisitasnya, industri pengolahan baja dasar (27101)
adalah industri yang paling efisien dalam menggunakan listrik karena nilai
elastisitasnya paling kecil. Adapun nilai elastisitas listrik industri penggilingan baja
(27102), cukup besar yaitu 5,57 sehingga untuk mencapai pertumbuhan output
1% diperlukan pertumbuhan tenaga listrik 5,57%. Industri pipa dan sambungan
pipa baja (27103) juga belum efisien dalam menggunakan tenga listrik.
Elastisitas listrik ketiga jenis industri tersebut berlawanan dengan nilai
elastisitas energi non listriknya. Tabel 4 menjelaskan nilai elastisitas energi non listrik
industri hulu baja. Penggunaan energi non listrik paling efisien terjadi pada industri
penggilingan baja (27102) karena nilai elastisitasnya paling rendah.
Tabel 4 Elastisitas Energi Non Listrik Industri Hulu Baja
Tahun
Elastisitas Energi Non Listrik Terhadap Output
Industri 27101
Industri 27102
Industri 27103
2005
2.220
1.254
2.109
2006
2.510
1.330
2.194
2007
1.296
1.239
2.158
2008
1.754
1.311
2.205
2009
1.723
1.264
2.183
2010
3.155
1.561
2.454
Rata-rata
2.110
1.327
2.217
Sumber : Hasil pengolahan
Setelah membandingkan nilai elastisitas energi listrik dan non listrik, dapat
diketahui jenis energi yang dominan digunakan dalam proses produksi pada
masing-masing industri hulu baja. Pada industri baja dasar, energi yang dominan
adalah energi non listrik. Hal ini sesuai dengan proses produksi yang terjadi pada
industri tersebut. Untuk membuat baja dalam bentuk dasar dibutuhkan bijih besi
yang dicampur dengan kokas sehingga membutuhkan banyak energi berupa
batubara. Jenis batubara yang banyak digunakan adalah coking cole.
Selanjutnya, jenis energi yang dominan pada industri penggilingan baja
adalah listrik. Pada industri ini diterapkan kinerja dapur listrik untuk mengolah baja
dasar menjadi logam cair yang mudah dibentuk. Pada industri pipa dan
sambungan pipa dari baja, energi yang dominan digunakan adalah energi non
listrik.
13
Economics Journal of Airlangga University
4.3
Efisiensi Teknis dan Sumber Inefisiensi
Efisiensi teknis menerapkan pendekatan output dan merupakan indikator
yang
tepat
untuk
melihat
seberapa
efisien
penggunaan
input
dalam
menghasilkan output. Pada kenyataannya, setiap perusahaan memiliki faktorfaktor inefisiensi yang menyebabkan perusahaan tersebut tidak bisa mencapai
efisiensi teknis yang optimal. Indikasi terjadinya inefisiensi teknis dapat diketahui
dengan membandingkan nilai LR test of the one-sided error dengan nilai χ2 pada
tabel Kodde dan Palm (1986). Jika nilai LR test lebih besar daripada nilai χ2 , maka
hipotesis H0 ditolak sehingga terdapat indikasi inefisiensi pada perusahaan. Nilai
LR test hasil estimasi Frontier 4.1 dan implikasinya ditunjukkan oleh tabel 5 berikut
ini.
Tabel 5 Nilai LR test dan dan Implikasinya Pada Industri Hulu Baja
Kode
LR test of the
Number of
χ2Kodde
Industri
one-sided error
restrictions
and Palm
27101
18.6
6 (α : 0.05)
11.911
Ada indikasi inefisiensi
27102
21.4
6 (α : 0.05)
11.911
Ada indikasi inefisiensi
27103
14.8
6 (α : 0.05)
11.911
Ada indikasi inefisiensi
Keputusan
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Dengan tingkat signifikasi 95%, diketahui bahwa produksi pada industri hulu
baja dipengaruhi oleh faktor inefisiensi. Adapun nilai dari efisiensi teknis masingmasing jenis industri pada industri hulu baja tidak sama. Nilai rata-rata efisiensi
teknis pada industri hulu baja ditampilkan dalam tabel 6.
Tabel 6 Efisiensi Teknis Pada Industri Hulu Baja Periode 2005-2010
Kode
Efisiensi Teknis
Nilai
Nilai
Standar
Industri
Rata-Rata
Maksimum
Minimum
Deviasi
27101
0.66040
0.99022
0.13448
0.246
27102
0.80356
0.98728
0.56974
0.137
27103
0.54371
0.99983
0.10172
0.217
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Industri penggilingan baja (27102) tergolong industri yang paling efisien
secara
teknis
karena
nilai
efisiensi
teknis
rata-ratanya
mendekati
satu.
Ketimpangan efisiensi antar perusahaan juga tidak terlalu jauh sehingga nilai
14
Economics Journal of Airlangga University
rata-rata efisiensi teknis dapat menggambarkan efisiensi pada masing-masing
perusahaan di industri tersebut. Industri pengolahan baja dasar (27101)
merupakan industri paling efisien secara teknis dengan nomor urut dua.
Selanjutnya industri pipa dan sambungan pipa dari baja (27103) tergolong
industri paling tidak efisien secara teknis pada kelompok industri hulu baja.
Ketimpangan efisiensi pada industri 27101 dan 27103 sangat besar sehingga nilai
rata-rata dari efisiensi teknis tidak bisa menggambarkan efisiensi teknis masingmasing perusahaan.
Nilai efisiensi teknis maksimum dimiliki oleh perusahaan dengan share
output yang tinggi, sedangkan nilai output minimum dimiliki oleh perusahaan
dengan share output yang rendah. Perusahaan yang memiliki pasar lebih luas
dan kapasitas produksi lebih besar terbukti mampu mencapai efisiensi teknis yang
lebih tinggi daripada perusahaan sedang dengan kapasitas produksi yang kecil.
Dengan kata lain, skala produksi ikut menentukan efisiensi teknis perusahaan.
Porsi efisiensi teknis yang mendekati nilai optimum (lebih dari 0,90) pada
industri pengolahan baja dasar selama periode observasi mencapai 18,5%. Porsi
efisiensi teknis yang mendekati optimum pada industri penggilingan baja
mencapai 34,44% sedangkan industri pipa dan sambungan pipa dari baja hanya
mencapai 8,33%. Porsi efisiensi teknis yang rendah (kurang dari 0,6) selama
periode observasi pada industri pengolahan baja dasar yaitu 33,33%, industri
penggilingan baja sebesar 5,55% serta industri pipa dan sambungan pipa dari
baja sebesar 64,8%. Nilai dari standar deviasi dari ketiga jenis industri hulu baja
lebih kecil daripada nilai rata-ratanya sehingga data tergolong smooth dan tidak
banyak terdapat data outlier.
Pada fungsi inefisiensi teknis, ukuran perusahaan (X1), share output
perusahaan terhadap total output pada industri yang sama (X 3) dan intensitas
energi (X4) berpengaruh secara signifikan, sedangkan rasio kapital labor (X2) tidak
berpengaruh secara signifikan. Variabel ukuran perusahaan bernilai negatif
menunjukkan bahwa perusahan dengan dummy 1 (perusahaan besar) memiliki
tingkat efisiensi teknis lebih besar daripada perusahaan dengan dummy 0
(perusahaan sedang). Rasio kapital labor juga bernilai negatif pada fungsi
inefisiensi teknis meskipun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa rasio kapital
15
Economics Journal of Airlangga University
labor yang besar akan memicu peningkatan efisiensi perusahaan. Dengan kata
lain, kapital yang besar memicu peningkatan efisiensi teknis.
Variabel share output bernilai negatif pada fungsi inefisiensi sehingga nilai
share output perusahaan yang besar akan mengakibatkan efisiensi teknis yang
lebih tinggi. Pada umumnya, perusahaan dengan share output yang besar
mampu menguasai pasar yang lebih luas. Variabel intensitas energi bernilai positif
pada fungsi inefisiensi sehingga intensitas energi yang besar memicu terjadinya
inefisiensi. Nilai intensitas energi yang besar mengindikasikan konsumsi energi
yang banyak untuk menghasilkan satu satuan output.
4.4 Perubahan Efisiensi Teknis Akibat Penghematan Energi
Sasaran penghematan energi adalah meningkatkan efisiensi sehingga
daya saing perusahaan meningkat. Tepat atau tidaknya sasaran ini bisa dilihat
dari perubahan efisiensi teknis perusahaan setelah dilakukan pengurangan
konsumsi energi. Ketika efisiensi teknis meningkat setelah penghematan energi
dilaksanakan, maka penghematan energi menjadi tepat sasaran karena mampu
mendorong efisiensi faktor-faktor produksi secara keseluruhan. Simulasi efek
penghematan energi pada efisiensi teknis dilakukan dalam tiga sekenario
Skenario
pertama
yaitu
penghematan
energi
listrik
10%.
Tabel
7
menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada masing-masing jenis industri hulu
baja ketika dilakukan penghematan energi listrik. Pengurangan konsumsi listrik
membuat efisiensi teknis industri penggilingan baja (27102) justru menurun. Hal ini
disebabkan kebutuhan energi listrik pada industri tersebut lebih dominan. Selain
itu, ketergantungan industri penggilingan baja terhadap listrik tergolong tinggi
karena nilai elastisitas listriknya besar.
Tabel 7 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Listrik 10%
Industri
Efisiensi Teknis
Nilai
Nilai
Perubahan
(ET) Rata-Rata
Maksimum
Minimum
ETRata-Rata
27101
0.66340
0.99453
0.05988
0.00299
27102
0.80319
0.98731
0.56979
-0.00037
27103
0.54641
0.99955
0.09919
0.00271
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
16
Economics Journal of Airlangga University
Dengan mengurangi konsumsi listrik, efisiensi teknis industri 27101 dan 27103
meningkat dengan nilai yang berbeda. Hal ini disebabkan ketergantungan
mereka terhadap listrik lebih rendah daripada energi non listrik. Alasan ini juga
dapat dideteksi dari nilai elastisitas listrik mereka yang lebih rendah daripada
elastisitas energi non listrik. Berdasarkan perubahan efisiensi teknis tersebut
diketahui bahwa penggunaan energi listrik pada industri pengolahan baja dasar
serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja masih boros. Terbukti ketika
konsumsi listrik dikurangi dan variabel lain konstan, efisiensi teknis meningkat.
Skenario kedua yaitu penghematan energi non listrik 10%. Tabel 8
menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada masing-masing jenis industri hulu
baja
ketika
dilakukan
penghematan
energi
nonlistrik
sebesar
10%
dari
penggunaan energi awal. Penghematan ini direspon negatif oleh industri
pengolahan baja dasar (27101). Hal ini disebabkan elastisitas energi non listrik
pada industri pengolahan baja dasar tergolong tinggi sehingga ketergantungan
industri ini terhadap energi non listrik lebih dominan.
Tabel 8 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Energi Non
Listrik 10%
Industri
Efisiensi Teknis
Nilai
Nilai
Perubahan
(ET) Rata-Rata
Maksimum
Minimum
ET Rata-Rata
27101
0.65662
0.99277
0.14263
-0.00378
27102
0.80362
0.98731
0.57022
0.00006
27103
0.63312
0.99970
0.07007
0.08942
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Industri penggilingan baja (27102) merespon penghematan energi non
listrik dengan positif. Jenis energi yang dikonsumsi secara dominan pada industri
penggilingan baja adalah listrik sehingga penghematan energi non listrik tidak
menurunkan efisiensi teknisnya. Industri pipa dan sambungan pipa dari baja
(27103) merespon penghematan energi non listrik secara positif meskipun
elastisitas energi non listriknya lebih besar daripada elastisitas listriknya. Hal ini
menunjukkan konsumsi industri ini terhadap energi non listrik yang besar
disebabkan karena pemborosan, bukan karena kebutuhan seperti industri
pengolahan baja dasar.
17
Economics Journal of Airlangga University
Skenario ketiga yaitu penghematan energi listrik dan energi non listrik.
Tabel 9 menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada industri hulu baja ketika
dilakukan penghematan listrik dan energi non listrik masing-masing sebesar 5%.
Industri pengolahan baja dasar merespon penghematan ini dengan positif.
Efisiensi teknis industri pengolahan baja dasar meningkat setelah dilakukan
penghematan listrik dan energi non listrik.
Tabel 9 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Listrik
dan Energi Non Listrik 10%
Industri
Efisiensi Teknis (ET)
Nilai
Nilai
Perubahan
Rata-Rata
Maksimum
Minimum
ET Rata-Rata
27101
0.66759
0.98240
0.15097
0.00719
27102
0.80340
0.98731
0.56997
-0.00017
27103
0.53029
0.99982
0.09701
-0.01342
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Hal berbeda dialami oleh industri penggilingan baja (27102) serta industri
pipa dan sambungan pipa dari baja (27103). Dua industri tersebut merespon
penghematan listrik dan energi non listrik secara negatif. Pada industri
penggilingan
baja,
penurunan
efisiensi
teknis
lebih
diakibatkan
oleh
pengurangan konsumsi listrik. Kemudian untuk industri pipa dan sambungan pipa
dari baja, penurunan efisiensi teknis disebabkan oleh pengurangan konsumsi listrik
dan non listrik secara bersamaan.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang telah diuraikan, dapat
disimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Industri hulu baja merupakan industri strategis yang menentukan proses
pembangunan ekonomi dan pertumbuhan industri lainnya. Karena kesulitan
bahan baku dan persaingan industri yang semakin ketat, pertumbuhan output
industri ini mengalami tren yang menurun selama tahun 2005-2010.
2. Elastisitas energi listrik maupun non listrik pada industri hulu baja lebih besar dari
satu sehingga pertumbuhan energi yang dibutuhkan lebih besar daripada
pertumbuhan
output.
Energi
yang
dominan
digunakan pada
industri
pengolahan baja dasar adalah energi non listrik karena nilai elastisitas energi
18
Economics Journal of Airlangga University
non listrik (2,11) lebih besar daripada elastisitas listriknya (1.033). Pada industri
penggilingan baja (27102), energi yang dominan adalah energi listrik karena
nilai elastisitas listriknya 5,576 melebihi elastisitas energi non listriknya (1,327).
Konsumsi industri pipa dan sambungan pipa dari baja terhadap energi non
listrik lebih besar daripada energi listrik. Elastisitas listriknya (1,858) lebih rendah
daripada elastisitas energi non listriknya (2,217).
3. Berdasarkan uji LR test of the one sided error, ada indikasi inefisiensi teknis pada
industri hulu baja. Industri penggilingan baja (27102) memiliki nilai rata-rata
efisiensi teknis (0,8) dengan kesenjangan yang rendah antara nilai maksimum
dan minimumnya sehingga nilai ini dapat menggambarkan kondisi seluruh
perusahaan pada industri tersebut. Nilai rata-rata efisiensi teknis industri
pengolahan baja dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja
berturut-turut adalah 0,6 dan 0,5. Kesenjangan nilai maksimum dan minimum
pada dua industri tersebut besar sehingga nilai rata-rata efisiensi teknis tidak
bisa menggambarkan kondisi seluruh perusahaan dalam industri tersebut.
Skala produksi sangat menentukan tingkat efisiensi teknis perusahaan.
4. Faktor-faktor yang signifikan menjadi sumber inefisiensi secara teknis yaitu
ukuran perusahaan, share output, dan intensitas energi. Perusahaan besar
memiliki nilai efisiensi teknis yang lebih baik daripada perusahaan sedang.
Rasio output perusahaan berpengaruh negatif pada inefisiensi. Sebaliknya,
intensitas energi berpengaruh positif pada inefisiensi.
5. Penghematan
energi
listrik
10%
meningkatkan
efisiensi
teknis
industri
pengolahan baja dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja,
namun
menurunkan
efisiensi
teknis
industri
penggilingan
baja
karena
ketergantungan industri ini pada listrik sangat tinggi. Sebaliknya, penghematan
energi non listrik 10% menurunkan efisiensi teknis industri pengolahan baja
dasar karena ketergantungan industri tersbut pada energi non listrik sangat
tinggi. Industri penggilingan baja serta industri pipa dan sambungan pipa dari
baja mengalami peningkatan efisiensi teknis dalam kasus ini. Ketika energi listrik
dan non listrik dihemat masing-masing 5%, hanya industri penggilingan baja
dasar yang mengalami peningkatan efisiensi teknis. Efisiensi dari dua industri
lain justru menurun. Perubahan efisiensi ini terjadi dengan asumsi faktor
produksi lain konstan.
19
Economics Journal of Airlangga University
DAFTAR PUSTAKA
Afiatno, Bambang Eko. 2004. Kajian terhadap Kelistrikan di Indonesia : Tarif Dasar
Listrik (TDL), Struktur Pasar, dan Industri Kelistrikan Mendatang. Majalah
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Edisi Juni 2004.
----------------------------. 2010. Kajian Peranan Infrastruktur Listrik terhadap
Perkonomian Jawa Timur di Masa yang Akan Datang. Surabaya :
Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga.
Aigner, D.J. , C.A.K Lovell dan P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of
Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics, 6,
21-37.
Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). 2012. Pengembangan
Investasi Industri Logam Dasar. Diunduh dari www.bkpm.go.id tanggal 20
Mei 2013.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2000. Bab XII : Industri.
Diunduh dari www.bappenas.go.id tanggal 10 April 2013.
----------------------------. 2011. Peringkat Daya Saing Indonesia 2011. Diunduh dari
http://www.bappenas.go.id/blog tanggal 4 April 2013.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Produk Domestik Regional Bruto 2004-2011 Atas
Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi. Diunduh dari www.bps.go.id
tanggal 4 April 2013.
------------------------. 2012. PDRB Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2007-2011. Diunduh dari http://www.bps.go.id/publications/publikasi
tanggal 4 April 2013.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2012. Perencanaan Efisiensi
dan Elastisitas Energi 2012. Jakarta : Penerbit BPPT, ISBN 978 – 979 – 3733 – 57
– 9.
Christensen, L.R., D.W. Jorgenson dan L.J. Lau. 1973. Transcedental Logarithmic
Production Frontiers. Review of Economic and Statistics, 5(1) : 82-86.
Coelli, Timothy J, D.S PrasadaRao, Christopher J. O’Donnell, George E. Battese.
2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis 2nd Edition. New
York : Springer Science and Business Media Inc.
20
Economics Journal of Airlangga University
Costanza, Robert. 1980. Embodied Energi and Economic Valuation. Science, New
Series, Vol. 210 No. 4475 Desember 1980 (1219-1224), diunduh dari
http://links.jstor.org tanggal 10 April 2013.
Deliarnov. 2010. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi Ketiga. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Departemen Keuangan. 2013. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Diunduh dari www.anggaran.depkeu.go.id tanggal 4 April
2013.
Griffin, James M. dan Paul R. Gregory. 1976. An Intercountry Translog Model of
Energy Substitution Responses. The American Economic Review Vol. 66 No. 5
halm 845-857.
Hasibuan. Malayu S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi
Aksara.
Hoppe, Hans Herman. 1992. The Misesian Case Against Keynes. London : Institut
Ludwig von Mises.
International Energy Agency (IEA). 2005. Energy Statistics Manual. Diunduh dari
www.iea.org tanggal 11 Mei 2013.
Ikhsan, A. 2005. Kebutuhan Bahan Baku Baja Masih Terus Meningkat. BEI NEWS
Edisi 28 Thn V
Jhingan, 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : Rajawali
Press.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2006. Blueprint
Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Diunduh dari www.esdm.go.id
tanggal 3 Mei 2013.
----------------. 2011. Pengembangan Prototype Plant Kokas dengan Bahan Bakar
Batubara. Diunduh dari http://www.litbang.esdm.go.id tanggal 24 Juli 2013.
----------------. 2012. Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia.
Diunduh dari http://www.esdm.go.id/publikasi/handbook tanggal 4 April
2013.
-----------------. 2013. Indikator Energi. Hak cipta pada Direktorat Jenderal Energi
Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber
Daya
Mineral,
diunduh
tanggal
10
April
2013
dari
http://www.konservasienergi indonesia.info/energy/indicator.
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2005. Statistik Lingkungan Hidup 2005.
Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup.
21
Economics Journal of Airlangga University
--------------. 2011. National Summit
www.menlh.go.id 16 Juni 2012.
Perubahan
Iklim
2011.
Diunduh
dari
Kementerian Perindustrian. 2012. Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri
Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi. Jakarta : Biro Perencanaan
Sekretariat Jenderal Kementerian Perindustrian.
-----------------.2013. Siaran Pers Pembangunan Industri Berdaya Saing Tinggi.
Diunduh dari www.kemenperin.go.id/artikel/5835 tanggal 10 April 2013
Kim, Jung Woo, Jeong Yeon Lee, Jae Yong Kim, Hoe Kyung Lee. 2007. Source of
Productive Efficiency : Inernational Comparison of Iron and Steel Firms.
Journal of Resources Policy 31 (239-246).
Klacek, Jan et al. 2008. Total Factor Productivity in Czech Manufacturing Industry –
KLEM Framework. Statistika (414-428).
Kodde, David A dan Franz C. Palm. 1986. Wald Criteria for Jointly Testing Equality
and Inequality Restriction. Econometrica Journal Vol. 54 Issue 5halm.12431248.
Kounetas, Kostas dan Kostas Tsekouras. 2009. Are the Energy Efficiency
Technologies Efficient? Journal of Economic Modelling 27 (274-283).
Koutsoyiannis, Anna. 2008. Modern Microeconomics 2nd Edition. London :
Macmillan Press.
Djojohadikusumo, Sumitro. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi I.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mallick, Oliver Basu. 2005. Rostow’s Five Stage Model of Development and Its
Relevance in Globalization. Essay in School of Social Science, University of
Newcastle.
McEachern, William. 2001. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta : PT Salemba Empat.
Miller, Rogeer LR, Meiners. 2000. Teori Ekonomi Intermediate Edisi 3. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediet dan Aplikasinya, Edisi
Kedelapan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Nugroho, Hanan. 2004. Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih
dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia. Jakarta : KORPRI Unit
Bappenas.
22
Economics Journal of Airlangga University
Piesse, Jenifer dan Thirtle Colin. 2000. A Stochastic Frontier Approach to Firm Level
Efficiency, Technological Change, and Productivity during the Early
Transition in Hungary. Journal of Comparative Economics 28 (473-501).
Rochman, N.T. 2003. Baja dan Baja Super, Pilar Masyarakat Berbasis Industri.
Diunduh dari www.nano.lipi.go.id/utama.artikel bulan April 2013.
Stern, David I. 1999. Is Energy Cost an Accurate Indicator of Natural Resource
Quality? Ecological Economics, 31: 381-394.
Stern, David I. dan Cutler J. Cleveland, 2004. Energy and Economic Growth.
Rensselaer Working Papers in Economics 0410, Rensselaer Polytechnic
Institute, Department of Economics. Diunduh dari http://www.economics.rpi.
edu/workingpapers/rpi0410.pdf tanggal 1 April 2013.
Sudjito, dkk. 2000. Diktat Termodinamika Dasar. Malang : Fakultas Teknik Jurusan
Mesin Universitas Brawijaya.
Todaro, Michael P dan Stephen C Smith.2004. Pembangunan Ekonomi di
DuniaKetiga. Erlangga : Jakarta.
Wang, H-J., and P. Schmidt. 2002. One-Step and Two-Step Estimation of the
Effects of Exogenous Variables on Technical Efficiency Levels. Journal of
Productivity Analysis Vol. 18(129-44).
Wolde-Rufael, Yemane. 2008. Energy Consumption and Economic Growth.
Kumpulan Jurnal Elsevier, diunduh dari www.sciencedirect.com tanggal 10
April 2013.
Wu, Yanrui. 1995. The Productive Efficiency of Chinese Iron and Steel Firms.
Resources Policy Journal Vol. 21 No.3 (215-222).
Yusgiantoro, Purnomo. 2000. Ekonomi Energi Teori dan Praktik. Jakarta : Pustaka
LP3ES Indonesia.
23