PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul: Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Hitung Limfosit Tikus Putih Sepsis Induksi Cecal Inoculum

PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP HITUNG LIMFOSIT TIKUS PUTIH SEPSIS INDUKSI CECAL INOCULUM SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran KUSNI KURNIA PUTRI

G.0008119

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Hitung Limfosit Tikus Putih Sepsis Induksi Cecal Inoculum

Kusni Kurnia Putri, NIM: G.0008119, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Sabtu, Tanggal 10 Januari 2012

Pembimbing Utama

Nama : Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si. NIP

Pembimbing Pendamping

Nama : Sri Hartati H., Dra., Apt., S.U. NIP

Penguji Utama

Nama : R.P. Andri Putranto, dr., M.Si. NIP

Anggota Penguji

Nama : Sarsono, Drs., M.Si. NIP

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 10 Januari 2012

Kusni Kurnia Putri NIM. G.0008119

ABSTRAK

Kusni Kurnia Putri, G.0008119, 2012. Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Hitung Limfosit Tikus Putih Sepsis Induksi Cecal Inoculum. Skripsi. Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap hitung limfosit tikus putih sepsis induksi cecal inoculum.

Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan post test only control group design . Sampel berupa tikus putih jantan, berumur 4-6 minggu dengan berat badan ± 200 gram. Sampel diambil dengan teknik purposive random sampling sebanyak 40 ekor, dibagi dalam 5 kelompok, 8 tikus putih dalam tiap kelompok. Kelompok K1 sebagai kontrol, K2 adalah model sepsis, K3 adalah model sepsis dengan pemberian propolis 100 mg/kgBB/oral, K4 adalah model sepsis dengan pemberian propolis 200 mg/kgBB/oral, dan K5 adalah model sepsis dengan pemberian antibiotik cefepime 80 mg/kgBB/intraperitoneal. Pada model sepsis digunakan cecal inoculum dengan dosis 40 mg intraperitoneal. Perlakuan dimulai hari ke-1 sampai hari ke-7 dan hari ke-8 tikus putih diambil darahnya melalui sinus orbitalis untuk dilakukan hitung limfosit secara komputerisasi. Data dianalisis secara statistik dengan uji One Way Anova dan dilanjutkan dengan Post Hoc Test Least Significant Difference/Fisher (LSD) menggunakan program SPSS for Windows release 19.0.

Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan rata-rata hitung limfosit K1 4.023 ± 882, K2 2.117 ± 727, K3 3.175 ± 546, K4 2.813 ± 323, dan K5 5.745 ± 307. Hasil uji Post Hoc Test dengan LSD menunjukkan perbedaan yang signifikan antara K1-K2, K1-K3, K1-K4, K1-K5, K2-K3, K2-K5, K3-K5, dan K4-K5.

Sedangkan K2-K4 dan K3-K4 menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan.

Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa ekstrak etanol propolis menghambat penurunan limfosit tikus sepsis induksi cecal inoculum.

Kata kunci : propolis, limfosit, cecal inoculum

ABSTRACT

Kusni Kurnia Putri, G.0008119, 2012. The Effect of Ethanol Extract of Propolis with Lymphocyte Count Sepsis White Mouse Induction Cecal Inoculum. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objectives : The purpose of this research is to know the Effect of Ethanol Extracts of Propolis with Lymphocyte Count Sepsis White Mouse Induction Cecal Inoculum.

Methods : This research was a laboratorial experiment with the post test only control group design. Samples for this research were white mouse, 4-6 weeks old age with ± 200 grams of weight each. The samples with purposive random sampling technique which divided 40 males into 5 groups, 8 white mice in each group. K1 group was a control, K2 was a sepsis model, K3 was sepsis model given propolis 100 mg/kgBW/oral, K4 was sepsis model given propolis 200 mg/kgBW/oral, K5 was sepsis model given antibiotic cefepime 80 mg/kgBW/intraperitoneal. On sepsis model received 40 mg dose of cecal inoculum intraperitoneally. The treatment started 1 st day to 7 th day and on the 8 th day blood samples of white mouse were taken from sinus orbitalis for lymphocyte counting with computerized method. The data were statistically analyzed with One Way Anova test and continued by Post Hoc Test Least Significant Difference/Fisher (LSD) using SPSS for Windows release 19.0 program.

Results : The result showed an average count of lymphocytes K1 4.023 ± 882, K2 2.117 ± 727, K3 3.175 ± 546, K4 2.813 ± 323, and K5 5.745 ± 307. The test result with LSD Post Hoc Test showed a significant difference between K1-K2, K1-K3, K1-K4, K1-K5, K2-K3, K2-K5, K3-K5, and K4-K5. While K2-K4 and K3-K4 showed no significant differences.

Conclusion : From the research result concluded that ethanol extract of propolis inhibit the reduction of white mouse sepsis lymphocyte induction cecal inoculum.

Key words : propolis, lymphocytes, cecal inoculum

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya dalam menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Hitung Limfosit Tikus Putih Sepsis Induksi Cecal Inoculum ”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si, selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, arahan, dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

4. Sri Hartati, Dra., Apt., SU, selaku pembimbing pendamping atas segala

bimbingan, arahan, dan waktu yang telah beliau luangkan bagi penulis.

5. R.P. Andri Putranto, dr., M.Si, selaku penguji utama yang telah berkenan

menguji serta memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Sarsono, Drs., M.Si, selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan nasihat dalam perbaikan penulisan skripsi ini.

7. Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Univesitas Sebelas Maret, para dosen beserta segenap staf.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Surakarta, Januari 2011

Penulis

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Senyawa Utama dari Propolis ...............................................................6

Tabel 4.1. Karakteristik Hitung Limfosit Masing-Masing Kelompok .................40

Tabel 4.2. Ringkasan Hasil Uji Post Hoc Antar Kelompok.................................43

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur Molekul Kuersetin .............................................................. 8

Gambar 2.2. Struktur Molekul CAPE ................................................................. 10

Gambar 2.3. Gambaran Histologis Limfosit, Pulasan Wright, Imersi Minyak ... 12 Gambar 2.4. Skema Kerangka Pemikiran ........................................................... 26 Gambar 3.1. Gambaran Histologis Limfosit, Pulasan Wright, Imersi Minyak ... 34 Gambar 3.2. Bagan Rancangan Penelitian .......................................................... 35 Gambar 3.3. Diagram Alur Penelitian ................................................................. 38 Gambar 4.1. Nilai Rata-Rata Hitung Limfosit Darah Tikus Putih Setelah

Perlakuan ........................................................................................ 41

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Penelitian

Lampiran 2. Konversi Dosis Manusia dan Hewan Lampiran 3. Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang Dapat

Diberikan pada Berbagai Hewan

Lampiran 4. Hasil Hitung limfosit Lampiran 5. Hasil Analisis Data Lampiran 6. Foto Alat dan Bahan Penelitian Lampiran 7. Foto Kegiatan Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepsis merupakan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan parasit (Edwin et al., 2003; James et al., 2005). Overproduksi sitokin inflamasi sebagai hasil aktivasi nuclear factor- κB (NF-κB) menyebabkan pelepasan mediator sekunder seperti reactive oxygen species (ROS) yang selanjutnya akan memperkuat inflamasi dan menyebabkan SIRS yang menginduksi terjadinya apoptosis maupun nekrosis jaringan, multi organ failure (MOF), syok septik serta kematian (Elena et al., 2006; Javier et al., 2005; Rittirsch et al., 2008). Morbiditas dan mortalitas sepsis di Indonesia masih sangat tinggi (Guntur, 2008), sehingga sepsis masih merupakan masalah klinis yang penting meskipun telah terjadi kemajuan terapi (Xiao et al., 2006), keadaan ini diperparah oleh meningkatnya kuman yang multiresisten terhadap antibiotik. Hal ini akan mempersulit penanganan sepsis karena perlu kombinasi antibiotik. Selain itu akan membutuhkan waktu rawat di rumah sakit yang lebih lama, terapi yang lebih rumit, biaya pengobatan yang jauh lebih mahal dan angka kematian yang meningkat (Hadi, 2009).

Apoptosis berperan penting dalam terjadinya patofisiologi sepsis dan mekanisme kematian sel pada sepsis (Hotchkiss & Karl, 2003; Chang et al, 2007). Sel-sel imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis Apoptosis berperan penting dalam terjadinya patofisiologi sepsis dan mekanisme kematian sel pada sepsis (Hotchkiss & Karl, 2003; Chang et al, 2007). Sel-sel imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis

Propolis adalah bahan resin yang dihasilkan oleh lebah (Bufalo et al., 2007). Propolis dapat digunakan sebagai “obat” karena memiliki sejumlah aktivitas biologis antara lain antibiotik, antifungal, antivirus, antiinflamasi, antiprotozoa, antiparasit, antiinflamasi, antioksidan dan imunomodulator (Koo et al., 2002; Ahn et al., 2004; Lotfy, 2006; El-Bassuony & Abouzid, 2010), sehingga diharapkan akan menghambat agen-agen infeksius pada sepsis.

Belum adanya bukti-bukti ilmiah penggunaan propolis lebah untuk sepsis, mendorong dilakukannya penelitian ini. Propolis lebah memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi terapi adjuvant dalam penatalaksanaan sepsis. Pada penelitian ini peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian propolis terhadap hitung limfosit tikus putih sepsis induksi cecal inoculum.

Apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak etanol propolis terhadap hitung limfosit tikus putih sepsis induksi cecal inoculum?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap hitung limfosit tikus putih sepsis induksi cecal inoculum.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam ilmu pengetahuan tentang pengembangan propolis sebagai terapi adjuvan pada kasus sepsis.

2. Aspek praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam penelitian tentang memanfaatkan propolis sebagai terapi adjuvan pada kasus sepsis.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Propolis

a. Definisi

Propolis adalah bahan resin yang dikumpulkan oleh lebah dari kuncup dan eksudat tanaman, yang dicampur dengan produk kelenjar ludah dan lilin (Bufalo et al., 2007). Propolis dapat berwarna kuning, hijau atau coklat tergantung pada sumber dan musim pengumpulannya (Chen et al., 2004). Propolis adalah obat tradisional yang digunakan sejak awal 300 SM dan telah dilaporkan mengerahkan spektrum luas dari fungsi biologis, termasuk antikanker, antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, antivirus, antiprotozoa immunomodulator dan aktivitas antijamur (Chen et al., 2004; Kosalec et al., 2004).

Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu pro berarti sebelum, dan polis berarti kota. Sehingga propolis dapat diartikan “sebelum masuk sarang lebah”. Dengan demikian menyiratkan bahwa propolis terlibat dalam pertahanan dari sarang lebah (Salatino et al., 2005).

Lebah menggunakan propolis untuk tujuan yang bermacam- macam, diantaranya untuk menutup sarang yang terbuka. Selain untuk menghindari masuknya penyusup, hal itu dilakukan untuk menjaga Lebah menggunakan propolis untuk tujuan yang bermacam- macam, diantaranya untuk menutup sarang yang terbuka. Selain untuk menghindari masuknya penyusup, hal itu dilakukan untuk menjaga

b. Kandungan

Bahan-bahan yang terkandung dalam propolis sangatlah kompleks, dan lebih dari 300 komponen telah teridentifikasi, terutama terdiri dari senyawa fenolik (misalnya flavonoid, senyawa aromatik), terpen dan minyak esensial (Zhu et al., 2010). Penelitian yang ada mengenai komposisi kandungan yang terdapat dalam propolis juga sangat bervariasi. Namun, secara garis besar hampir sama. Secara umum, popolis mentah (raw propolis) terdiri dari 50% resin yang sebagian besar terdiri dari fraksi polifenol, 30% getah, 10% minyak esensial, 5% pollen, dan 5% zat organik dan anorganik (Bankova, 2000; Kosalec et al., 2004).

Secara farmakologis, senyawa yang paling penting di dalam propolis adalah flavanoid diikuti oleh beraneka macam phenolic dan aromatic . Flavonoid memiliki akivitas biologis yang paling penting dalam propolis. Sekurangnya sudah ada 38 macam flavanoid ditemukan di dalam propolis, antara lain galangin, kaempferol, quercetin, pinocembrin, pinostrobin, dan pinobaksin. Senyawa phenolic terdiri atas cinnamyl alcohol, cinnamic acid, vanillin, benzyl Secara farmakologis, senyawa yang paling penting di dalam propolis adalah flavanoid diikuti oleh beraneka macam phenolic dan aromatic . Flavonoid memiliki akivitas biologis yang paling penting dalam propolis. Sekurangnya sudah ada 38 macam flavanoid ditemukan di dalam propolis, antara lain galangin, kaempferol, quercetin, pinocembrin, pinostrobin, dan pinobaksin. Senyawa phenolic terdiri atas cinnamyl alcohol, cinnamic acid, vanillin, benzyl

Tabel 2.1. Senyawa Utama dari Propolis

Kelas komponen Jumlah Grup komponen

Resin 45-55 % Flavonoid, asam fenolat dan esternya Lilin dan asam

lemak

25-53%

Sebagian besar dari lilin lebah dan beberapa dari tanaman

Minyak esensial

Senyawa volatile

Protein

Protein kemungkinan berasal dari polen dan amino bebas

Senyawa organik dan mineral lainnya

14 macam mineral, yang paling terkenal adalah Fe dan Zn, sisanya seperti Au, Ag, Cs, Hg, La dan Sb. Senyawa lain seperti keton, laktan, kuinon, asam benzoate dan esternya, gula, vitamin B3.

(diambil dari Sivasubramaniam & Seshadri, 2005)

c. Aktivitas biologis

Propolis lebah sebagai bahan alam non-toksik telah digunakan sebagai “obat” secara umum pada sistem kardiovaskular dan darah (anemia), alat pernapasan (untuk berbagai infeksi), perawatan gigi, dermatologi (regenerasi jaringan, ulkus, eksim, penyembuhan luka - terutama luka bakar, mikosis, infeksi selaput lendir dan lesi), pengobatan kanker, perbaikan dan penunjang sistem imunitas, saluran pencernaan (ulkus dan infeksi), hepatoprotektor dan lain sebagainya Propolis lebah sebagai bahan alam non-toksik telah digunakan sebagai “obat” secara umum pada sistem kardiovaskular dan darah (anemia), alat pernapasan (untuk berbagai infeksi), perawatan gigi, dermatologi (regenerasi jaringan, ulkus, eksim, penyembuhan luka - terutama luka bakar, mikosis, infeksi selaput lendir dan lesi), pengobatan kanker, perbaikan dan penunjang sistem imunitas, saluran pencernaan (ulkus dan infeksi), hepatoprotektor dan lain sebagainya

1) Anti agen biologis

a) Antibiotik

Propolis menunjukkan aktivitas antibakteri baik gram positip maupun negatip. Penghambatan terhadap strain gram positip sangat luas, namun untuk gram negatip penghambatannya terbatas. Daya hambat propolis terhadap Streptococcus spp, Staphylococcus spp, Shigella sonnei, Salmonella typhi dan Pseudomonas aeruginosa mirip atau bahkan lebih tinggi dibandingkan antibiotik standar (Koo et al., 2002).

Ekstrak etanol propolis efektif untuk bakteri anaerob. Ekstrak etanol propolis dosis 125-500 mg/ml mampu menghambat pertumbuhan Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus . Tetapi untuk Escherichia coli dan P. aeruginosa, serta Candida albicans diperlukan dosis sampai 1.000 mg/ml. Sedangkan konsentrasi 9.960 mg/ml mampu menghambat Mycobacterium sp. Strain-strain yang resisten terhadap penisilin, tetrasiklin dan eritromisin masih sensitif terhadap Ekstrak etanol propolis efektif untuk bakteri anaerob. Ekstrak etanol propolis dosis 125-500 mg/ml mampu menghambat pertumbuhan Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus . Tetapi untuk Escherichia coli dan P. aeruginosa, serta Candida albicans diperlukan dosis sampai 1.000 mg/ml. Sedangkan konsentrasi 9.960 mg/ml mampu menghambat Mycobacterium sp. Strain-strain yang resisten terhadap penisilin, tetrasiklin dan eritromisin masih sensitif terhadap

b) Antifungal

Hasil penelitian memperlihatkan strain-strain Candida sp. masih sensitif terhadap propolis, dengan kekuatan sensitivitas C. albicans > C.tropicalis > C. krusei > C. guilliermondii (Ota et al., 2001).

Mekanisme antifungal dari propolis melibatkan zat-zat polifenol seperti flavonoid dengan penggumpalan protein DNA jamur sehingga kemampuan pertumbuhan jamur dihambat. Pinocembrin pada propolis menghambat pertumbuhan jamur melalui aktivitas pembungkusan konidia jamur yang selanjutnya menghambat pertumbuhan jamur secara keseluruhan (Sforcin et al. , 2001). Senyawa kuersetin menghambat sintesa DNA gyrase sehingga pertumbuhan jamur dihambat (Cushnie & Lamb, 2005).

Gambar 2.1. Struktur Molekul Kuersetin Gambar 2.1. Struktur Molekul Kuersetin

Propolis efektif menurunkan sintesis DNA dan titer virus herpes simpleks, maupun virus HIV. Pada uji in vitro, isopentyl ferulated (yang diisolasi dari propolis) secara bermakna menghambat aktivitas virus influenza A1 (H3N2) (Lotfy, 2006).

d) Antiparasit dan antiprotozoa

Ekstrak etanol dan dimethyl-sulphoxide propolis memiliki aktivitas anti Trypanosoma cruzi dan Trichomonas vaginalis (Lotfy, 2006).

2) Antiinflamasi

Ekstrak etanol propolis (EEP) menunjukkan aktivitas anti- inflamasi baik akut ataupun kronik. EEP dosis 50 mg/kgBB/hari/oral dan 100 mg/kgBB/hari per-oral menunjukkan aktivitas anti-inflamasi kronik, sedangkan dosis 200 mg/kgBB/hari per-oral menunjukkan aktivitas anti-inflamasi akut pada hewan coba model. Efek antiinflamasi ini ditunjukkan oleh kandungan yang ada di propolis lebah yaitu Caffeic acid phenethyl ester (CAPE) (Lotfy, 2006). CAPE menunjukkan aktivitas imunosupresif baik pada tahap awal dan lanjut pada aktivasi yang dimediatori sel limfosit T. Secara spesifik CAPE menghambat transkripsi ataupun sintesis IL-2. CAPE menghambat aktivitas pengikatan DNA dan transkripsi Nf-kB serta faktor transkripsi

B (IkB) yang berada di sitoplasma. Sehingga propolis memiliki aktivitas sebagai imunomodulator dan antiinflamasi (Marquez et al., 2004; Ang et al., 2009).

Gambar 2.2. Struktur Molekul CAPE

(diambil dari Scapagnini et al., 2002)

3) Antioksidan

Propolis bermanfaat sebagai penetral racun karena berbagai kandungannya dapat membersihkan polutan dan racun di dalam tubuh, sehingga metabolisme sel dapat kembali berlangsung optimal. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa propolis juga dapat berfungsi sebagai antioksidan kuat, yang dapat mencegah timbulnya senyawa-senyawa radikal bebas (Kumazawa et al ., 2004). Radikal bebas merupakan penyebab utama munculnya sel-sel kanker atau menimbulkan berbagai gejala penyakit akibat gangguan fisiologi sel tubuh.

4) Imunomodulator

Propolis membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara alami karena propolis kaya akan bioflavanoid yang dapat Propolis membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara alami karena propolis kaya akan bioflavanoid yang dapat

2. Limfosit

a. Definisi

Limfosit merupakan salah satu sel darah putih atau leukosit. Sel ini menyusun kurang lebih 20-30% leukosit (Junqueira & Carneiro, 2005).

Limfosit adalah komponen penting pada respons imun dan berasal dari sel stem hemopoietik. Sel stem limfoid umum mengalami diferensiasi dan proliferasi untuk menjadi sel B, yang memperantarai imunitas humoral atau imunitas yang diperantarai antibodi, dan sel T (diproses dalam timus), yang memperantarai imunitas seluler. Limfosit matur adalah sel mononuklear kecil dengan sitoplasma yang sedikit berwarna biru. Sebagian besar limfosit darah perifer (70%) adalah sel T, yang mungkin memiliki lebih banyak sitoplasma dibandingkan sel B dan dapat mengandung granul (Mehta & Hoffbrand, 2008).

b. Histologi

Morfologi normal limfosit adalah sel yang berbentuk sferis, berukuran 10-12 um, inti relatif besar, kromatin inti padat, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, sitoplasma basofilik yang sedikit serta

2005). Limfosit berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribosom. Limfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12 µm, ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening akan tampak dalam keadaan patologis. Sel limfosit besar ini berinti vaskuler dengan anak inti yang jelas (Effendi, 2003).

Gambar 2.3. Gambaran Histologis Limfosit , Pulasan Wright, Imersi Minyak (Eroschenko, 2003)

c. Jenis Limfosit

Secara umum limfosit dibagi menjadi dua, yaitu limfosit granular besar dan limfosit kecil. Limfosit granular besar lebih dikenal dengan sel natural killer (sel NK) dan limfosit kecil dikenal dengan sel T dan sel B (Baratawidjaja, 2006). Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptor seperti immunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada Secara umum limfosit dibagi menjadi dua, yaitu limfosit granular besar dan limfosit kecil. Limfosit granular besar lebih dikenal dengan sel natural killer (sel NK) dan limfosit kecil dikenal dengan sel T dan sel B (Baratawidjaja, 2006). Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptor seperti immunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada

1) Limfosit T

Limfosit yang bersirkulasi, terutama berasal dari timus dan organ limfoid perifer (limpa, limfonodi, tonsil, dan sebagainya). Namun, beberapa sel progenitor limfosit yang berasal dari sumsum tulang yang tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, kemudian memperbanyak diri. Sel limfosit memperoleh sifat sel T di timus. Lalu dapat masuk kembali ke sirkulasi, ke sumsum tulang atau ke organ limfoid perifer dan hidup beberapa bulan atau tahun. Sel T bertanggung jawab terhadap reaksi imun seluler dan memiliki reseptor permukaan spesifik untuk mengenali antigen asing (Junqueira & Carneiro, 2005).

Limfosit T termasuk CD4 adalah pengatur utama dalam system imun. Fungsi pengatur tersebut tergantung pada molekul permukaan kedua sel tersebut, seperti gp 39 (Paul, 1993; Ronald et al. , 2000). Bila antigen spesifik melakukan kontak dengan limfosit T di jaringan limfoid, maka limfosit T tertentu teraktivasi untuk membentuk sel T teraktivasi. Setelah ditemukan adanya beberapa tipe sel T, sel-sel ini digolongkan dalam tiga kelompok utama:

Berperan sebagai pengatur utama bagi seluruh fungsi imun, melalui serangkaian mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin penting yang disekresikan oleh sel-sel T pembantu antara lain interleukin-2 (IL-2), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, interferon- γ (IFN-γ), dan GM-CSF faktor perangsang koloni monosit-granulosit (Guyton & Hall, 1997). Mengeliminasi agen asing melalui aktivasi sel-sel fagositer seperti makrofag dan menyekresikan mediator inflamasi (Abbas & Litchman, 2005).

b) Sel T Cytotoksik (Tc)

Merupakan sel penyerang langsung yang mampu membunuh mikroorganisme dan, pada suatu saat, bahkan membunuh sel-sel tubuh sendiri melalui sebuah mekanisme sekresi protein pembentuk lubang pada membran sel yang diserang yang disebut perforin. Hal ini menyebabkan gangguan keseimbangan sel disertai pula oleh substansi sitotoksik dari sel T tersebut, sehingga dengan segera sel yang diserang membengkak dan larut (Guyton & Hall, 1997; Abbas & Litchman, 2005).

c) Sel T Supresor (Ts)

Merupakan sel T yang mempunyai kemampuan menekan fungsi sel T sitotoksik dan sel T pembantu. Fungsi supresor ini menyebabkan pengaturan aktivitas sel-sel lain dan menjaganya Merupakan sel T yang mempunyai kemampuan menekan fungsi sel T sitotoksik dan sel T pembantu. Fungsi supresor ini menyebabkan pengaturan aktivitas sel-sel lain dan menjaganya

2) Limfosit B

Limfosit lain tetap diam di sumsum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan berkembang di dalam kompertemennya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibodi humoral yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing terbalut antibodi, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (sel killer atau sel K) dari organisme yang menyerang (Effendi, 2003).

d. Pembuatan Preparat

Darah tikus putih diambil dari sinus orbitalis menggunakan tabung hematokrit, dibuat apusan darah pada obyek glass, kemudian diberi pulasan Wright selama 1-2 menit, diberi buffer menggunakan metilalkohol dan terakhir diberi pulasan Giemsa yang telah diencerkan dengan larutan penyangga selama 3 menit, lalu diperiksa tiap zona hapusan darah di bawah mikroskop. Leukosit terdiri dari basofil, eosinofil, neutrofil, limfosit, dan monosit. Menghitung jumlah sel limfosit menggunakan pengelompokkan tiap 10 sel yang dihitung sampai terdapat 100 sel. Pemeriksaan limfosit menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x (Gandasoebrata, 2001).

a. Definisi

Kata Sepsis berasal dari Yunani yaitu sepein yang berarti membusuk (Chang, 2010). Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multiple (Widodo & Pohan, 2004).

Sepsis adalah respon sistemik terhadap infeksi. Manifestasinya sama dengan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) tetapi selalu dihubungkan dengan adanya proses infeksi (Vincent, 2002). SIRS menunjukkan keadaan hiperinflamasi dari sistem kekebalan tubuh yang diwakili oleh peningkatan kadar mediator proinflamasi yang nantinya menyebabkan sindrom MOD dan MOF (Rittirsch et al., 2007).

Berdasarkan sindroma klinis tersebut sepsis dibedakan menjadi 5 derajat, yaitu (Guntur, 2008):

1) Systemic Inflammatory Responds Syndrome (SIRS), ditandai

dengan ≥2 gejala:

a) Hiperthermia/Hipothermia (>38,3 o C/<35,6 o C) a) Hiperthermia/Hipothermia (>38,3 o C/<35,6 o C)

d) Leukositosis > 12.000/mm atau Leukopenia < 4000/mm

e) Leukosit lebih dari 10% imatur.

2) Sepsis, gejala SIRS disertai infeksi.

3) Sepsis berat, sepsis disertai Multiple Organ Dysfunction (MOD)/Multiple Organ Failure (MOF), hipotensi, oligouri bahkan anuria.

4) Sepsis dengan hipotensi, tekanan sistolik < 90 mmHg atau

penurunan tekanan sistolik > 40 mmHg.

5) Syok sepsis, adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi ciran disertai hipoperfusi jaringan.

b. Etiologi

Penyebab terbesar dari sepsis adalah bakteri gram negatip dengan presentase 60 sampai 70% kasus (Guntur, 2006). Selain itu, sepsis juga dapat disebabkan oleh virus, parasit dan jamur (Edwin et al., 2003; James et al., 2005). Jamur terutama Candida hanya menyebabkan sekitar 5% dari seluruh kasus sepsis berat (Bochud & Chalandra, 2003).

Lipopolisakarida atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada

jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, pneumococci, streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20%-40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang. Eksotoksin, virus, dan parasit berperan sebagai superantigen. Setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Processing Cell, kemudian ditampilkan sebagai Antigen Precenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen ini yang bermuatan peptida MHC kelas I akan berikatan dengan CD4 dengan perantaraan Toll Like Receptor (TLR) (Guntur, 2006).

c. Patofisiologi

Sepsis merupakan SIRS yang disertai infeksi. Infeksi dapat menyebabkan sebuah reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh bawaan (innate immune) dengan aktivasi proinflamasi kaskade (misalnya, sistem komplemen) dan munculnya berbagai mediator [tumor necrosis factor- α (TNF-α), IL-1, IL-6, C5a, dan banyak lagi], mengakibatkan SIRS dan MOF yang progesif. Pada sepsis, faktor antiinflamasi [seperti IL-4, IL-10, IL-1 reseptor antagonis (IL-1ra), dan lain-lain] dihasilkan, mungkin sebagai kompensasi dari respon Sepsis merupakan SIRS yang disertai infeksi. Infeksi dapat menyebabkan sebuah reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh bawaan (innate immune) dengan aktivasi proinflamasi kaskade (misalnya, sistem komplemen) dan munculnya berbagai mediator [tumor necrosis factor- α (TNF-α), IL-1, IL-6, C5a, dan banyak lagi], mengakibatkan SIRS dan MOF yang progesif. Pada sepsis, faktor antiinflamasi [seperti IL-4, IL-10, IL-1 reseptor antagonis (IL-1ra), dan lain-lain] dihasilkan, mungkin sebagai kompensasi dari respon

Patofisiologi sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara proses infeksi bakteri patogen, inflamasi, dan jalur koagulasi (Kristine et al. , 2007; Russell, 2006). Bakteri patogen memicu pelepasan ratusan mediator peradangan, termasuk sitokin, kemokin, molekul adhesi, ROS, dan Reactive Nitrogen Species (Ye et al., 2008). Sepsis dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi [seperti TNF- α, IFN-γ, interleukin-1β (IL-1β), dan IL-6] dengan sitokin antiinflamasi (seperti IL-1ra, IL-4 dan IL-10). Overproduksi sitokin inflamasi menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus, dan organ lainnya yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi jantung dan menginduksi perubahan metabolik menyebabkan nekrosis jaringan, MOF, serta kematian (Elena et al., 2006).

Limfosit pada sepsis merupakan inti dari sel imun spesifik dan secara cepat akan bereaksi terhadap rangsangan sitokin dan stimulasi Limfosit pada sepsis merupakan inti dari sel imun spesifik dan secara cepat akan bereaksi terhadap rangsangan sitokin dan stimulasi

Sepsis dibagi menjadi dua fase yaitu fase awal dan fase lanjut. Sepsis fase awal (fase hiperdinamik) ditandai dengan meningkatnya pompa jantung, meningkatnya perfusi jaringan, dan menurunnya resistensi pembuluh darah. Semua respon ini diperankan oleh mediator proinflamasi. Sepsis fase lanjut (fase hipodinamik) ditandai dengan menurunnya aliran darah vaskuler dan perifer sehingga terjadi kegagalan sistem imun untuk mempresentasikan antigen, kehilangan fungsi fagositosis, dan terutama penurunan jumlah limfosit sebagai pertahanan tubuh yang spesifik (Wesche et al., 2005). Pada sepsis awal (4 jam setelah pemaparan mikroba) apoptosis limfosit pada timus terjadi. Sedangkan setelah 12 jam akan terlihat apoptosis limfosit pada timus, lien, dan GALT (Chung et al., 2000).

d. Diagnosis

Sepsis ditandai dengan (1) temperatur >38 o

C atau <36 o

C, (2) nadi > 90 kali/menit, (3) respirasi >20 kali/menit atau PaCO 2 <32 mmHg (<4.3 kPa), dan (4) leukosit >12.000/mm 3 atau <4000/mm 3 atau jumlah neutrophil >10% bentuk immature band (Vincent, 2002).

Penatalaksanaan sepsis pada umumnya terdiri atas pemberian antibiotika dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya (underlying disease ), serta eliminasi pusat infeksi dan sumber infeksi. Selain memberikan antibiotika, mempertahankan hemodinamika tetap normal,

pengobatan

adjuvant kortikosteroid, intravenous immunoglobulin (IVIG), protein C, serta imunonutrisi juga cukup bermanfaat dan dapat memelihara pasokan oksigen yang adekuat ke seluruh organ dan usus (Jurgen et al., 2006; Guntur, 2008).

4. Hewan Coba Model Sepsis

Untuk menginduksi sepsis pada hewan coba, dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan cecal inoculum, cecal ligation and puncture (CLP), serta lipopolisakarida (LPS).

a. Cecal inoculum

Infeksi intrabdomen merupakan salah satu sumber terjadinya sepsis. Cecal inoculum adalah suatu model yang mampu menggambarkan dengan baik keadaan sepsis mirip dengan keadaan klinis peritonitis yang disebabkan oleh infeksi polimikroba. Infeksi tersebut akan menghasilkan respon inflamasi peritoneum terhadap organisme polimikroba yang berasal dari saluran pencernaan. Peritonitis secara klinis dimulai dari adanya kerusakan dari organ abdomen, seperti perforasi intestinal akut yang akan berkembang Infeksi intrabdomen merupakan salah satu sumber terjadinya sepsis. Cecal inoculum adalah suatu model yang mampu menggambarkan dengan baik keadaan sepsis mirip dengan keadaan klinis peritonitis yang disebabkan oleh infeksi polimikroba. Infeksi tersebut akan menghasilkan respon inflamasi peritoneum terhadap organisme polimikroba yang berasal dari saluran pencernaan. Peritonitis secara klinis dimulai dari adanya kerusakan dari organ abdomen, seperti perforasi intestinal akut yang akan berkembang

Inoculum merupakan bahan yang dipakai dalam inokulasi. Inokulasi (inoculation) adalah pemasukan mikroorganisme, bahan infektif, serum, dan substansi lain ke dalam jaringan organisme hidup atau media biakan; pemasukan agen penyakit ke dalam individu sehat untuk menimbulkan bentuk ringan penyakit tersebut yang menimbulkan imunitas. Cecum adalah bagian pertama dari usus besar, membentuk kantong yang secara distal melebar ke ileum dan proksimal ke arah kolon, serta melepaskan apendiks vermiformis (Dorland, 2002).

Model sepsis ini dibuat dari cecal inoculum diperoleh dari isi cecal tikus putih donor (Ren et al., 2002) yang dimasukan ke dalam kavitas peritoneal (Alejandra et al., 2004). Dari model inoculum ini didapat strain Escheriacia coli (E. coli) yang bercampur dengan material cecal yang lain untuk meniru peritonitis pada manusia (Edwin, 2003).

Cecal inoculum menyebabkan hipoperfusi intestinal berupa gangguan mikrosirkulasi mukosa intestinal, disfungsi barier intestinal dengan peningkatan permeabilitas intestinal, invasi bakteri patogen dan toksinnya ke dalam sirkulasi sistemik dan pelepasan sitokin inflamasi yang merupakan tanda reaksi inflamasi (Jurgen et al., 2006).

b. Cecal Ligation and Puncture (CLP)

Ligation adalah aplikasi pengikat. Puncture merupakan perbuatan menusuk dengan benda atau alat yang tajam, atau dapat diartikan sebagai luka yang ditimbulkan oleh penusukan tersebut (Dorland, 2002).

Cecal Ligation and Puncture (CLP) pada hewan tikus telah menjadi model yang paling banyak digunakan untuk penelitian sepsis dan saat ini dianggap sebagai gold standard untuk penelitian sepsis (Rittirsch et al., 2007; Remick et al., 2000; Deitch, 2005; Buras et al., 2005). Setelah dikembangkan selama lebih dari 30 tahun yang lalu, model CLP dianggap menjadi model yang realistis untuk sepsis induksi polimikrobial dalam penelitian untuk mempelajari mekanisme terjadinya sepsis (Rittirsch et al., 2007; Remick et al., 2000). Secara singkat, CLP menampilkan ligasi di bawah katup ileocecal setelah midline laparotomy , diikuti dengan pungsi jarum pada cecum. Karena cecum merupakan sumber endogen kontaminasi bakteri, maka perforasi pada cecum akan menyebabkan peritonitis bakterial, yang diikuti oleh terjadinya translokasi bakteri enterik ke dalam kompartemen darah. Pada awal sepsis, terjadi bakteremia yang memicu aktivasi respon inflamasi sistemik, syok septik, MOD dan akhirnya, kematian. Ketika CLP digunakan pada hewan tikus, mereka menunjukkan pola penyakit dengan gejala khas sepsis atau syok

c. Lipopolisakarida (LPS)

Lipopolisakarida adalah kompleks lipid dan polisakarida dan merupakan komponen mayor dinding sel bakteri gram negatif. Lipopolisakarida merupakan endotoksin dan antigen grup spesifik yang penting (antigen O). Molekul lipopolisakarida terdiri dari tiga bagian. Lipid A, suatu glikolipid yang bertanggung jawab terhadap aktivitas endotoksik, yang terkait secara kovalen pada rantai heteropolisakarida yang mempunyai dua bagian, inti polisakarida yang konstan dalam strain terkait, dan rantai spesifik-O yang sangat bervariasi. Lipopolisakarida dari Eschericia coli sangat sering menggunakan mitogen sel B (aktivator poliklonal) dalam laboratorium imunologi (Dorland, 2002).

Lipopolisakarida merupakan faktor patogenik utama pada sepsis gram negatif, yang ditandai dengan syok, koagulopati, dan disfungsi multiorgan. Respons terhadap paparan LPS sistemik menyebabkan meningkatnya produksi sitokin proinflamasi seperti TNF- α, NF-кB, IL-1, IL-8 sebagai media pertahanan tubuh terhadap benda asing yang memiliki dampak positif dan negatif. Produksi sitokin proinflamasi dan induksi mediator seluler yang lebih distal, platelet activation factor (PAF), dan prostaglandin menyebabkan hipotensi, perfusi organ inadekuat, dan kematian sel yang berhubungan dengan MODS. Status Lipopolisakarida merupakan faktor patogenik utama pada sepsis gram negatif, yang ditandai dengan syok, koagulopati, dan disfungsi multiorgan. Respons terhadap paparan LPS sistemik menyebabkan meningkatnya produksi sitokin proinflamasi seperti TNF- α, NF-кB, IL-1, IL-8 sebagai media pertahanan tubuh terhadap benda asing yang memiliki dampak positif dan negatif. Produksi sitokin proinflamasi dan induksi mediator seluler yang lebih distal, platelet activation factor (PAF), dan prostaglandin menyebabkan hipotensi, perfusi organ inadekuat, dan kematian sel yang berhubungan dengan MODS. Status

1. Kerangka Pikiran Konseptual

Gambar 2.4. Skema Kerangka Pemikiran

Mediator sekunder (ROS)

SIRS

Penekanan sistem imun

Kerusakan epithelial dan endothelial (barrier dysfunction)

Apoptosis limfosit

Virus Jamur Virus

Sitokin proinflamasi IL- 1β, IL-8, TNF-α, IFN-γ

Sitokin antiinflamasi IL-4, IL-10

IFN- γ IL-10

Agen-agen penginfeksi (virus, parasit, jamur, bakteri) stres akan menginvasi sel tubuh melalui TLR masuk ke makrofag sebagai APC dan akan memicu aktivasi dari NF- κB. Dengan aktivasi NF-κB maka akan mengaktivasi protein-protein (sitokin dan survival agent), sehingga protein-protein agen akan didegradasi di dalam makrofag menjadi peptida untuk selanjutnya dipresentasikan kepada sel T-CD4 + (Th0), kemudian akan berdiferensiasi menjadi CD4 + Th1 dan CD4 + Th2. Th1 akan memproduksi sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL- 1β, IL-8, TNF-α, serta IFN- γ. Sebaliknya, Th2 akan mensekresikan sitokin-sitokin antiinflamasi. Pada sepsis terjadi perubahan keseimbangan dimana Th1 lebih dominan daripada Th2 sehingga sitokin proinflamasi akan lebih dominan.

Tumor necrosis factor- α merupakan sitokin proteolitik yang akan mendegradasi protein-protein sel yang ada dalam tubuh, termasuk sel endotel, sel gastrointestinal, maupun sel imunokompeten lainnya seperti sel limfosit, sehingga sel-sel tersebut akan mengalami lisis. Lisisnya sel- sel dalam tubuh akan menghasilkan debris. Sel-sel ini akan bersifat sebagai oksidan yang akan memicu timbulnya ROS. Banyaknya ROS atau stres oksidatif akan memicu terjadinya inflamasi secara sistemik yang disebut SIRS. Kejadian ini akan memicu banyaknya apoptosis sel, terutama sel limfosit. Sel limfosit sangat berperan dalam sistem imunitas. Banyaknya apoptosis limfosit akan menyebabkan terjadinya

SIRS, MOD, MOF, dan sepsis, yang akan berakhir pada kematian

Propolis memiliki berbagai aktivitas biologis yang bisa dimanfaatkan dalam penatalaksanaan sepsis, antara lain (1) anti agen infeksius, seperti antibakteri, antivirus, antifungal, antiprotozoa, dan anti patogen lainnya. Sebagai antibakteri, propolis mampu menghambat bakteri MRSA, VRE, serta ESBL yang pada saat ini sudah banyak terjadi resistensi antibiotik, sehingga dapat digunakan pada penatalaksanaan sepsis; (2) antioksidan, karena pada sepsis banyak terjadi peningkatan produk radikal bebas (ROS), maka propolis bisa dimanfaatkan sebagai penatalaksanaan sepsis yang akan menurunkan inflamasi (SIRS); (3) antiinflamasi, dimana sepsis merupakan SIRS dengan infeksi , maka popolis dapat dimanfaatkan sebagai penatalaksanaan sepsis; dan (4) immunomodulator, dimana propolis akan menstimulasi fagositosis oleh makrofag serta menurunkan produksi sitokin TNF- α, selain itu propolis juga mampu menghambat komplemen, baik jalur klasik maupun jalur alternatif. Propolis juga meningkatkan efek sitotoksisitas dari NK-cell dan mampu menstimulasi produksi antibodi. Efek ini memperlihatkan bahwa propolis lebih meningkatkan aktivitas sel CD4 + Th2.

Dengan berbagai aktivitas biologis yang dimiliki oleh propolis tersebut diharapkan pemberian EEP mampu mencegah terjadinya apoptosis limfosit sehingga dapat mencegah terjadinya sepsis.

Ekstrak etanol propolis menghambat penurunan hitung limfosit tikus putih sepsis induksi cecal inoculum.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat experimental laboratorium dengan post test only control group design.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah tikus putih jantan dengan berat badan 200 gram dan berumur empat sampai enam minggu. Tikus putih diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan Universitas Setya Budi, Surakarta. Bahan makanan tikus putih yang digunakan adalah BR I.

D. Teknik Sampling

Teknik pengelompokan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan purposive random sampling. Penentuan besar sampel dengan menggunakan rumus Federer (Federer, 1959), yaitu :

(t - 1) (n – 1) > 15 (t - 1) (n – 1) > 15

(t – 1) (n – 1) > 15 (5- 1) (n – 1) > 15

4(n – 1) > 15 4n > 19 n > 5

Minimal sampel tiap kelompok adalah lima ekor tikus putih. Dalam penelitian ini kami menggunakan delapan sampel untuk setiap kelompoknya karena tingkat mortalitas sepsis cukup tinggi.

E. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

: Ekstrak etanol propolis

2. Variabel terikat

: Hitung limfosit

3. Variabel luar

a. Dapat dikendalikan

: Makanan, minuman, genetik, jenis kelamin, umur, berat badan

b. Tidak dapat dikendalikan : Variasi kepekaan tikus putih terhadap suatu

zat

F. Skala Variabel

1. Ekstrak etanol propolis : Skala nominal

2. Hitung limfosit

: Skala rasio

1. Ekstrak etanol propolis Propolis lebah pada penelitian ini diperoleh dari peternak lebah di Daerah Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi dengan alat perkolator. Sekitar 1 gr (akurasi penimbangan sampai 0,0001 gr) bubuk propolis mentah diekstraksi dengan 10 mL cairan penyari etanol 80%. Bubuk propolis diletakkan di tengah bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori kemudian etanol 80% dialirkan dari atas ke bawah melalui bubuk propolis tersebut. Etanol 80% akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai keadaan jenuh. Dari proses tersebut dihasilkan perkolat yang nantinya akan dipekatkan dengan alat evaporator. Perkolat yang sudah kental dibuat hingga 25 mL dengan etanol 80% dan disimpan dalam botol sampai analisis (Fu et al., 2005).

Ekstrak etanol propolis dosis 50 mg/kgBB/hari/oral dan 100 mg/kgBB/hari/oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi kronik, sedangkan dosis 200 mg/kgBB/hari/oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi akut pada hewan coba model (Lotfy, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Sabuncuoglu (2007) menggunakan dosis 100 mg/kgBB/hari untuk setiap tikus putih. Sehingga dalam penelitian ini digunakan dosis 100 mg/kgBB/hari/oral dan 200 mg/kgBB/hari/oral untuk setiap tikus putih.

yang digunakan adalah:

200 gr 1000 gr 땸 200 mg  40 mg/tikus putih/hari/oral

Dosis maksimal pemberian secara oral pada tikus putih dengan berat 200 gram adalah 10,0 mL (Suhardjono, 1995). Pada penelitian ini dalam

25 mL EEP terkandung 1 gram propolis, sehingga dosis pemberian EEP secara oral yang digunakan adalah sebagai berikut:

Sehingga setiap 1 mL EEP mengandung 40 mg propolis. Untuk dosis 200 mg/kgBB/hari/oral setiap tikus putih akan mendapatkan dosis 1 mL EEP/hari/oral. Sedangkan untuk dosis 100 mg/kgBB/hari/oral, maka setiap tikus putih akan mendapatkan dosis 0,5 mL EEP/hari/oral.

2. Hitung limfosit Morfologi normal limfosit adalah sel yang berbentuk sferis, berukuran 10-12 um, inti relatif besar, kromatin inti padat, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, sitoplasma basofilik yang sedikit serta mengandung granula azurofilik (Effendi, 2003; Junqueira & Carneiro, 2005).

Gambar 3.1. Gambaran Histologis Limfosit , Pulasan Wright, Imersi Minyak (Eroschenko, 2003)

Hitung limfosit menggunakan darah tikus putih yang diambil dari sinus orbitalis untuk ditampung pada botol EDTA, kemudian dilakukan hitung jumlah sel limfosit secara komputerisasi di Pusat Diagnostik “Budi Sehat” Surakarta.

H. Induksi Hewan Coba Model Sepsis

Hewan coba model sepsis dalam penelitian ini digunakan cecal inoculum dimana agen penyebab sepsis berasal dari fokus infeksi polimikrobial dalam rongga abdomen diikuti oleh translokasi bakteri ke dalam kompartemen darah yang kemudian memicu respon inflamasi sistemik (SIRS).