HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN AKNE VULGARIS SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN AKNE VULGARIS SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran AVIONITA RAHMA DEWI PRANITASARI G0008060 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

commit to user ii

commit to user iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 15 Desember 2011

Avionita Rahma Dewi Pranitasari G0008060

commit to user iv

ABSTRAK

Avionita Rahma Dewi Pranitasari, G0008060, 2011. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Akne Vulgaris. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris.

Metode Penelitian : Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2011 di SMAN

1 Prambanan, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Subjek penelitian adalah siswa SMAN 1 Prambanan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan oleh peneliti. Pengambilan sampel dilakukan secara fixed disease sampling dengan jumlah sampel sebanyak 198. Seluruh sampel diperiksa secara klinis untuk menentukan ada tidaknya akne vulgaris dan tingkat keparahan akne vulgaris melalui skor GAGS, dilakukan pengukuran tinggi badan serta berat badan untuk menghitung IMT, kemudian dilakukan pengisian kuesioner untuk memperoleh data tentang identitas diri dan variabel-variabel perancu. Data selanjutnya dianalisis menggunakan uji statistik chi square, dilanjutkan dengan uji Odd Ratio (OR) dan uji regresi logistik ganda.

Hasil Penelitian :

Dari analisis data dengan angka kemaknaan α = 0,05,

diperoleh nilai p = 0,043 yang berarti p < 0,05, sehingga ada hubungan antara

Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris. Siswa dengan IMT kategori

overweight /obesitas berisiko untuk menderita akne vulgaris 2,423 kali lebih besar daripada mahasiswa dengan IMT kategori underweight/normal.

Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) berhubungan secara signifikan dengan akne vulgaris. Semakin besar nilai Indeks Massa Tubuh (IMT), semakin besar risiko terkena akne vulgaris.

Kata kunci : indeks massa tubuh, akne vulgaris

commit to user v

ABSTRACT

Avionita Rahma Dewi Pranitasari, G0008060, 2011. Correlation between Body Mass Index (BMI) with Acne Vulgaris. Falculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective :

To determine an correlation between Body Mass Index (BMI) with acne vulgaris.

Method :

This type of study was an observational analytic study with cross-

sectional study approach. The study was conducted in May 2011 in SMAN 1 Prambanan, Sleman Regency, Yogyakarta Special Territory Province. The subjects in this study were students of SMAN 1 Prambanan with inclusion and exclusion criteria which was made by the writer. The sampling technique that was used was fixed disease sampling with sample size of 198. All samples were examined clinically to determine the absence of acne vulgaris and the severity of acne vulgaris through GAGS score, were measured of body weight and height to calculate BMI, then questionnaire form filling out was done. Then the data were analyzed by using chi square analysis, Odd Ratio (OR) analysis, and multiple logistic regression analysis.

Results :

The data analysis, with α = 0,05, shows p = 0,045 which means p

< 0,05 so that there is a correlation between Body Mass Index (BMI) with acne vulgaris. Student with category of BMI overweight/obesity had a risk to acne vulgaris 2,423 higher than student with category of BMI underweight/normal.

Conclusion : The research can be concluded that Body mass Index (BMI) was significantly correlated with acne vulgaris, the greater value of IMT, the greater risk of acne vulgaris.

Keywords: body mass index, acne vulgaris

commit to user vi

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kepada Allah swt, dengan segala rahmat dan anugerah-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Akne Vulgaris” sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari terselesaikannya penyusunan skripsi ini tidak lain adalah berkat peran serta banyak pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2. Nugrohoaji Dharmawan, dr., Sp.K.K., M.Kes., selaku Pembimbing Utama yang telah memberi bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Hardjono, Drs., M.Si., selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberi bimbingan dan arahan selama penyusunan skripsi ini.

4. M. Eko Irawanto, dr., Sp.K.K., selaku Penguji Utama yang telah memberi kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL., selaku Anggota Penguji yang telah memberi kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

6. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi beserta Staf Bagian Skripsi FK UNS Surakarta.

7. Margono., dr., M.Kes., selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan pengarahannya.

8. Mawardi, Drs., selaku Kepala Sekolah SMAN 1 Prambanan dan siswa SMAN 1 Prambanan atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.

9. Bapak, Windarto dan Ibu, Sri Sayekti atas doa dan dukungannya selama ini. Juga teruntuk kakakku, Armadhani Jati Prasetya, yang telah memberi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat seperjuangan selama kuliah dan selama penyusunan skripsi, Yuannisa, Noniek, dan Wiji.

11. Teman-teman kos “Multazam”, Sukma, Asih, Khodijah, Riri, Mbak Lilik, Mbak Prima, Mbak Oni, Mbak Dilla, Mbak Uti, Sara, Hanif, dan Sasa atas semangat dan kebersamaannya.

12. Teman-teman, saudara seangkatan Pendidikan Dokter 2008, untuk kerjasama dan bantuannya selama ini.

13. Pihak-pihak lain yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu. Dalam penyusunan skripsi ini, tentu masih banyak terdapat kekurangan sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan yang lebih baik di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk banyak pihak.

Surakarta, 15 Desember 201

Avionita Rahma Dewi Pranitasari

commit to user viii

G. Instrumen Penelitian ....................................................................... 36

H. Cara Kerja ........................................................................................ 37

I. Rancangan Penelitian ....................................................................... 39 J. Teknik Analisis Data ......................................................................... 40 BAB IV. HASIL PENELITIAN ........................................................................... 43

A. Karakteristik Sampel ...................................................................... 43

B. Hubungan antara IMT dengan Akne Vulgaris ............................... 47 BAB V. PEMBAHASAN .................................................................................... 61 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 68

A. Simpulan ......................................................................................... 68

B. Saran ............................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69 LAMPIRAN

commit to user ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. The Global Acne Grading System ........................................................ 17

Tabel 2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Asia ............................................ 19

Tabel 3. Klasifikasi IMT Menurut Umur ........................................................... 20

Tabel 4. Bentuk Tabel 2xk Uji Chi-Square ........................................................ 40

Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian Akne Vulgaris .................... 44

Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris .... 45

Tabel 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur .................................................. 46

Tabel 8. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin .................................... 47 Tabel 9. Hasil Analisis Chi Square 4x2 tentang Hubungan antara IMT ............ 49

dengan Akne Vulgaris Tabel 10. Hasil Analisis Chi Square 4x4 tentang Hubungan antara IMT ............ 51 dengan Akne Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Akne Vulgaris

Tabel 11. Hasil Analisis Chi Square 2x2 tentang Hubungan antara IMT ........... 53

dengan Akne Vulgaris Tabel 12. Hasil Analisis Odd Ratio tentang Hubungan antara IMT dengan ........ 54

Akne Vulgaris Tabel 13. Karakteristik Data Umur ...................................................................... 55 Tabel 14. Hasi Analisis Bivariat tentang Hubungan antara Umur dengan .......... 55

Akne Vulgaris Tabel 15. Hasil Analisis Bivariat tentang Hubungan antara Frekuensi Cuci ....... 57

commit to user x

Muka dengan Akne Vulgaris Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda tentang Hubungan antara ....... 58

IMT dengan Akne Vulgaris Tabel 17. Probabilititas Kejadian Akne Vulgaris berdasarkan Bentuk ............... 60

Persamaan Regresi Logistik

commit to user xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Persentase Sampel Berdasarkan Kejadian Akne ............. 44

Vulgaris

Gambar 2. Diagram Persentase Sampel Akne Vulgaris Positif ....................... 45

Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris Gambar 3. Diagram Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur ................. 46

Gambar 4. Grafik Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin .................... 47

Gambar 5. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne Vulgaris ..... 50 Gambar 6. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne Vulgaris .... 51

Berdasarkan Derajat Keparahan Akne Vulgaris Gambar 7. Grafik Persentase Kejadian Akne Vulgaris menurut Umur ........... 56 Gambar 8. Grafik antara Frekuensi Cuci Muka dengan Persentase ................. 57

Kejadian Akne Vulgaris

commit to user xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Lampiran 2. Informed Consent Lampiran 3. Kuesioner Pendahuluan Lampiran 4. Surat Pernyataan

Lampiran 5. Hasil Penelitian

Lampiran 6. Perhitungan Statistik Lampiran 7. Foto Sampel Lampiran 8. Grafik IMT Berdasarkan Umur Menurut CDC Lampiran 9. Surat Izin Penelitian dari SMAN 1 Prambanan

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi; terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofi maupun yang hipertrofi (Wasitaatmadja, 2007). Tempat predileksi akne paling sering adalah wajah (sebesar 99 %) dan di tempat lain seperti leher, bahu, dada, dan punggung sekitar 1 % (Achyar dan Ashadi, 2001).

Di dunia ini diperkirakan terdapat lebih dari 60 juta orang menderita akne (Wolfe, 2007). Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka akne vulgaris sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Pada masa remaja, akne vulgaris menjadi salah satu problem (Wasitaatmaja, 2007). Usia remaja (12 - 24 tahun) sering ditemukan menderita akne sebesar 85 %, usia 25 - 34 tahun sebesar 8 %, dan usia 35 -

44 tahun sebesar 3 % (Leyden, 2003). Dilaporkan sekitar 15 % akne pada usia pubertas dapat menimbulkan efek psikologis berupa rasa malu dan rendah diri akibat bekas akne yang menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut terbentuk karena ada peradangan (Goulden, 2003). Akne disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah peningkatan produksi

commit to user

sebum (Wasitaatmadja, 2007). Produksi sebum yang meningkat ini salah satunya dipengaruhi oleh hormon androgen. Androgen dapat menstimulasi kelenjar sebasea untuk memproduksi sebum (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele., 2001).

Obesitas berhubungan dengan hiperandrogenisme perifer yang berhubungan dengan peningkatan produksi sebum (Huppert et al., 2001). Menurut penelitian di Taiwan, rata-rata IMT pada anak-anak yang tidak akne (18,2 ± 3,4) secara signifikan lebih rendah daripada subjek akne (19,5 ± 3,7), tanpa perbedaan jenis kelamin. Prevalensi penderita akne pada anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT < 18,5 cenderung rendah, terutama lesi inflamatori. Sedangkan prevalensi penderita akne pada anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT menurut umur ≥ 95 % secara signifikan cenderung tinggi. IMT dengan kategori obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian akne pada anak sekolah (Tsai et al., 2006).

Obesitas secara sederhana didefinisikan sebagai suatu keadaan dari akumulasi lemak tubuh yang berlebihan (Rippe et al., 2001). Pada tahun 2009, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta di antaranya mengalami obesitas. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥ 15 tahun adalah 10,3 % (laki-laki 13,9 %, perempuan 23,8 %). Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6 - 14 tahun pada laki-laki 9,5 % dan pada perempuan 6,4 % (Departemen Kesehatan

commit to user

Indonesia, 2009). Peningkatan prevalensi obesitas yang sangat tajam di seluruh dunia ini telah mencapai tingkatan yang membahayakan. Di beberapa negara berkembang obesitas justru telah menjadi masalah kesehatan yang lebih serius (Hadi, 2005).

Metode yang paling berguna dan banyak digunakan untuk mengukur tingkat obesitas dan overweight adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). The World Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The National Institute of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert Committee on Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent Preventive Services telah merekomendasikan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Indeks massa tubuh (IMT) didapat melalui perhitungan berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi

badan (m 2 ) (Sjarif, 2002). Mengingat prevalensi akne vulgaris yang tinggi dan kecenderungan peningkatan overweight maupun obesitas di Indonesia maupun di dunia, perlu penelitian-penelitian tentang hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris. Hal ini tampaknya belum banyak dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan terjadinya akne vulgaris di SMAN 1 Prambanan.

commit to user

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran dan penelitian selanjutnya tentang faktor pencetus akne vulgaris.

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan akne vulgaris.

commit to user

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Akne Vulgaris

a. Definisi

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi ; terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofi maupun yang hipertrofi (Wasitaatmadja, 2007).

b. Epidemiologi Akne Vulgaris

Akne vulgaris biasanya timbul pada usia remaja saat masa pubertas. Umumnya insiden terjadi pada sekitar umur 14 - 17 tahun pada wanita, 16 - 19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang predominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi beradang. Hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka akne vulgaris sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis (Wasitaatmadja, 2007).

Pada remaja putri, akne vulgaris dapat terjadi saat premenarke. Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang. Namun,

commit to user

kadang-kadang, akne vulgaris dapat menetap sampai dekade umur 30- an atau bahkan lebih (Wasitaatmadja, 2007). Usia remaja (12 - 24 tahun) sering ditemukan menderita akne sebesar 85 %, usia 25 - 34 tahun sebesar 8 %, dan usia 35 - 44 tahun sebesar 3 % (Leyden, 2003). Puncak kejadian akne vulgaris terjadi pada usia 16 - 18 tahun (Cordaen et al ., 2002).

Pada beberapa penelitian sebelumnya tentang prevalensi kejadian akne vulgaris, didapat data prevalensi akne vulgaris positif pada penduduk Palembang dengan umur 14 - 21 tahun adalah 68,2 % (Tjekyan, 2008). Di Inggris, didapatkan data prevalensi kejadian akne vulgaris positif pada penduduk dengan umur 12 - 18 tahun sebanyak

80 % (Dreno et.al., 2003). Sedangkan penelitian di Teheran, Iran didapatkan data prevalensi kejadian akne vulgaris positif pada penduduk dengan umur 12 - 20 tahun adalah 93,2 % (Ghodsi et.al., 2009).

c. Etiologi dan Patogenesis Akne Vulgaris

Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris terdiri atas faktor internal, yaitu meningkatnya produksi sebum, hiperkeratinisasi folikuler, hormon androgen, genetik, adanya mediator radang di sekitar folikel sebasea, dan adanya perubahan biokimia susunan lemak di permukaan kulit (Wasitaatmadja, 2007). Faktor eksternal seperti

commit to user

kosmetik, obat, dan kolonisasi Propionibacterum acnes di folikel sebasea dapat memacu ataupun memperburuk akne (Wolfe, 2009).

1) Kenaikan Produksi Sebum

Pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum dibandingkan yang tanpa akne, walaupun kualitas sebum sama pada kedua grup tersebut (Zaenglein et al., 2007). Kelenjar sebasea membutuhkan stimulus dari hormon androgen untuk memproduksi banyaknya sebum secara signifikan (Nelson dan Thiboutot, 2007).

Produksi sebum yang meningkat menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi akne (Wasitaatmadja, 2007). Komedo terbentuk karena terlokalisasinya asam linoleat. Asam linoleat melalui plasma dapat mencairkan sebum sehingga volume sebum meningkat dan membasahi duktus korneosit. Kerusakan lumen folikel akibat abnormalitas deskuamasi sel folikel menyebabkan sebum terjebak di belakang sumbatan yang hiperkeratotik. Hasil akhir dari hiperkeratinisasi ini berkembang menjadi komedo (Tahir, 2010).

Sebum mengandung beberapa jenis lemak seperti trigliserida

56 %, wax ester 26 %, squalene 15 %, kolesterol ester 2 %, dan kolesterol 1 % (Cunliffe dan Gollnick, 2001). Salah satu dari komponen sebum, trigliserida, berperan dalam patogenesis akne. Trigliserida diubah menjadi asam lemak bebas oleh Propionibacterium acnes . Asam lemak bebas ini mendukung

commit to user

kolonisasi dari bakteri Propionibacterium acnes, mendorong inflamasi, dan komedogenik (Zaenglein et al., 2007).

Selain diatur oleh hormon androgen, produksi sebum dan aktivitas sebaseus juga dipengaruhi oleh retinoid, melanokortin, peroxisome proliferator-activated receptors (PPAR), dan fibroblast growth factor receptor (FGFR). Retinoid menghambat sekresi sebum. Sedangkan melanokortin meningkatkan produksi sebum. Yang termasuk melanokortin adalah melanocyte stimulating hormone dan hormon adrenokortikotropik (Nelson dan Thiboutot, 2007). Reseptor PPAR terdapat pada kelenjar sebasea, yaitu PPAR- α. Reseptor PPAR berkaitan dengan proses sintesis lipid. Mekanisme ini diperankan oleh 5 lipoxygenation yang menghasilkan leukotrien B4 yang berfungsi sebagai prekursor; dan arachidonic acid yang memacu sebaseus lipogenesis pada sel sebosit manusia (Zouboulis et al., 2005). Reseptor FGFR diekspresikan lewat epidermis. Reseptor FGFR2 berperan penting pada embriogenesis saat pembentukan kulit. Mutasi pada reseptor FGFR2 ini terbukti berhubungan dengan akne, tetapi bagaimana mutasi ini menyebabkan akne sampai sekarang belum diketahui (Zaenglein et al., 2007).

Produksi sebum mulai meningkat saat masuk usia pubertas (Nelson dan Thiboutot, 2007). Produksi sebum dapat dihambat

commit to user

oleh beberapa obat seperi estrogen, anti androgen dan golongan obat retinoid (Stoll et al., 2001).

2) Perubahan pola keratinisasi dalam folikel

Pada duktus folikuler normal terdapat keratinosit yang tersusun atas selapis sel kolumner yang membentuk lumen sebagai tempat keluarnya sebum. Pada lesi akne terdapat hiperkeratinisasi pada duktus folikuler sehingga terjadi sumbatan lumen yang akan memicu terbentuknya mikrokomedo yang berisi sebum. Hiperkeratinisasi folikuler merupakan faktor untuk terjadinya lesi akne (Gollnick, 2003).

Terjadinya hiperkeratinisasi folikuler belum diketahui dengan pasti, kemungkinan disebabkan oleh suatu respon keratinosit yang berlebihan terhadap hormon androgen, penurunan kadar asam linoleat dan vitamin A pada duktus folikuler (Leyden, 2003), peningkatan kolonisasi Propionibacterium acnes pada duktus folikuler sebasea sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan memicu faktor kemotaksis untuk menghasilkan sitokin lokal seperti IL- 1α dan IL-8 (Gollnick, 2003).

3) Kolonisasi Saluran Pilosebasea dengan Propionibacterium acnes Mikroba yang berperan pada patogenesis akne vulgaris adalah Propionibacterium acnes , Staphylococcus epidermidis, dan Pityrosporum ovale . Bakteri-bakteri tersebut berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta pembentukan enzim lipolitik pengubah

commit to user

10

fraksi lipid sebum (Wasitaatmadja, 2007). Propionibacterium acnes terdapat pada bagian tubuh yang kaya kelenjar sebasea seperti wajah, kulit kepala, jumlah sedang terdapat pada daerah badan dan lengan atas, sedangkan jumlah sedikit terdapat pada daerah ekstremitas bawah (Gollnick, 2003). Propionibacterium acnes menghasilkan bahan-bahan aktif seperti lipase, protease, hialuronidase, fosfatase, dan smoot muscle contracting substances. Bahan-bahan ini akan meningkatkan lipolisis (Hidayah et al., 2003).

Propionibacterium acnes hidup dalam suasana pH 5 - 6,5 sama seperti pH di permukaan kulit dan suhu yang sesuai sekitar 30 -

37 0 C (Cunliffe dan Gollnick, 2001). Propionibacterium acnes melepaskan sitokin inflamasi seperti IL- 1α, IL-8, dan TNF-α akibat fagositosis leukosit terhadap Propionibacterium acnes (Leyden, 2003). Produksi sebum yang meningkat dan adanya sumbatan duktus menjadikan duktus pilosebasea menjadi anaerob sehingga merupakan media pertumbuhan Propionibacterium acnes (Gollnick, 2003).

Mencuci muka dengan sabun pembersih mempunyai efek mengurangi minyak maupun efek daya antibakteri (American Osteopathic College of Dermatology , 2011). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat perbaikan kondisi akne pada kelompok yang mencuci muka 2x/hari dibandingkan

commit to user

11

kelompok yang mencuci muka 1x/hari secara signifikan (Choi et.al ., 2006).

4) Inflamasi

Inflamasi yang terjadi bukan disebabkan oleh bakterinya sendiri melainkan akibat mediator biologik aktif dalam folikel yang dihasilkan oleh Propionibacterium acnes (Hidayah et al., 2003). Propionibacterium acnes akan memacu berbagai sel radang seperti neutrofil, CD14, leukosit, dan limfosit, hal ini dibuktikan dengan penurunan kolonisasi Propionibacterium acnes akan menunjukkan perbaikan lesi akne melalui penurunan sel radang). Metabolisme

neutrofil menghasilkan O 2 dan OH dan leukosit menghasilkan reactive oxygen species (R0S) yang dapat merusak dinding folikel sebaseus pada lokasi inflamasi yang dikenal dengan auto-oxidative damage (Gollnick, 2003).

Sitokin dapat meningkatkan terjadinya komedo, hal ini dibuktikan dengan pemberian IL- 1α pada duktus pilosebaseus dapat memacu terjadinya komedo. Komedo terbentuk oleh sumbatan duktus folikel sebasea yang mengakibatkan terjadinya timbunan sebum dan memacu pertumbuhan Propionibacterium acnes sehingga terbentuk lesi akne. Pemeriksaan secara elektromikroskopik terdapat penebalan korneocyt lamellae pada lesi akne (Cunliffe dan Gollnick, 2001).

commit to user

12

5) Faktor hormon

Produksi sebum dipengaruhi oleh hormon androgen dan perisoma proliferator activated reseptor (PPAR) ligands . Hormon androgen berperan dalam meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan memacu proliferasi sel keratinosit di di duktus sebasea dan di akroinfundubulum (Zouboulis et al., 2005).

Hormon androgen terdiri atas dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA-S) dengan kadar 1300-6800 nmol/L baik pada laki-laki maupun perempuan; testosteron pada laki-laki dengan kadar 10 -

35 nmol/L dan testosteron pada perempuan dengan kadar < 3,5 nmol/L; dehidrotestosteron pada laki-laki dengan kadar 0,87-2,6 nmol/L dan dehidrotestosteron pada perempuan dengan kadar 0,17- 1,0 nmol/L; androstenedion pada laki-laki dengan kadar 3,5 - 5,0 nmol/L dan androstenedion pada perempuan dengan kadar 3,5 - 7,0 nmol/L (Degitz et al., 2007). Yang berperan penting dalam pembentukan akne adalah testosteron dan dehidrotestosteron yaitu untuk proliferasi sel keratinosit dan pembentukan lipid (Murata et al ., 2006).

Timbulnya akne pada wanita dipengaruhi siklus menstruasi dan kehamilan karena adanya perubahan kadar hormon progesteron menyebabkan kelenjar ovarium aktif selanjutnya akan meningkatkan hormon androgen sehingga produksi sebum meningkat (Cunliffe dan Gollnick, 2001).

commit to user

13

6) Faktor Herediter

Pada 60 % pasien, riwayat akne juga didapatkan pada satu atau kedua orang tuanya. Penderita akne yang berat umumnya mempunyai riwayat keluarga yang positif. Diduga faktor genetik berperan dalam gambaran klinik, penyebaran lesi, dan lamanya kemungkinan mendapat akne (Rzany dan Kahl, 2006).

Zouboulis et al. melaporkan bahwa akne derajat berat sering ditemukan pada keluarga kembar homozigot dan heterozigot dengan presentase 54 %. Genetik berhubungan dengan timbulnya akne, hal ini dipengaruhi oleh hormon androgen dan abnormal lipid. Dibuktikan pada akne neonatal ditemukan adanya kelainan familial hiperandrogenisme dan aktivitas steroid 21-hydroxylase yang tidak adekuat. Juga kejadian akne disebabkan oleh mutasi gen CYP21 (Zouboulis et al., 2005).

Individu yang secara genetik mengalami defisiensi reseptor androgen (complete androgen insensitivity) cenderung sedikit memproduksi sebum dan tidak berkembang menjadi akne (Nelson dan Thiboutot, 2007). Predominan alel gen sitokrom p45 terlihat pada pasien dengan akne. Mutasi ini mungkin menyebabkan percepatan degradasi retinoid natural sehingga terjadi obstruksi akibat dari disorder pada diferensiasi keratinosit dan hiperkeratinisasi kanal folikel pilosebasea (Pawin, 2004).

commit to user

14

7) Diet

Makanan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya akne masih diperdebatkan (Wasitaatmadja, 2007). Penyelidikan terakhir membuktikan bahwa diet sedikit atau tidak berpengaruh terhadap akne. Namun, begitu banyak pasien dengan akne percaya bahwa diet merupakan salah satu faktor yang dapat memperburuk penyakitnya (Smith dan Mann, 2007).

8) Psikis

Terjadinya stres psikik dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea sehingga terjadi peningkatan produksi sebum, baik secara langsung atau

melalui

rangsangan terhadap

kelenjar hipofisis

(Wasitaatmadja, 2007).

9) Kosmetika

Pemakaian kosmetika yang mengandung lanolin, petrolatum, minyak tumbuh-tumbuhan, dan bahan-bahan kimia murni (butil stearat, lanuri alkohol, bahan-bahan pewarna merah D dan C dan asam oleik), secara terus-menerus dalam waktu lama, dapat menyebabkan akne (Wolfe, 2009).

10)

Obat-obatan Beberapa obat dapat menyebabkan akne. Obat-obatan tersebut diantaranya anabolik steroid, kortikosteroid, kortikotropin, fenitoin, litium, isoniazid, vitamin B komplek, halogen, dan pengobatan kemoterapi (Zaenglein et al., 2007).

commit to user

15

11) Iklim

Termasuk faktor sinar ultraviolet, kelembaban udara, temperatur, mungkin berpengaruh pada aktivitas kelenjar sebasea (Wasitaatmaja, 2007). Didapatkan 60 % perbaikan akne di daerah tropis pada saat musim panas atau kemarau (Widjaja, 2000).

d. Gejala Klinis dan Diagnosis

Tempat predileksi akne vulgaris adalah yang banyak mengandung kelenjar pilosebasea, diantaranya wajah, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain, misalnya leher, lengan atas, dan glutea kadang-kadang terkena (Wasitaatmadja, 2007). Tempat predileksi akne vulgaris yang paling sering terkena adalah wajah (99 %) (Smith dan Mann, 2007).

Akne dapat berkembang menjadi bentuk yang bervariasi, diantaranya:

1) Papul

: lesi inflamasi kecil berupa tonjolan berwarna

merah muda

2) Pustul

: papula yang diujungnya terdapat nanah berwarna putih atau kuping dan dasarnya merah.

3) Nodul

: luas, nyeri, lesi solid, tertancap pada kulit.

4) Kista

: dalam, nyeri, di dalam lesi terisi nanah yang dapat

menimbulkan skar.

(National Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease, 2006).

commit to user

16

Diagnosis akne vulgaris biasanya ditegakkan berdasarkan pada riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Didapatkannya komedo pada pasien merupakan petunjuk penting dalam diagnosis akne vulgaris (Bershad, 2008). Pada penderita seringkali ditemukan berbagai macam lesi, dengan gejala predominan salah satunya, mulai dari komedo, papul, pustul, nodul, dan kista (Wasitaatmadja, 2007). Beberapa diagnosis banding akne vulgaris adalah folikulitis, dermatitis peri-oral, dan dermatitis seboroik (Roebuck, 2006).

e. Gradasi

Ada banyak sistem gradasi untuk menentukan tingkat keparahan akne vulgaris. Penilaian tingkat keparahan akne terus menjadi tantangan para ahli dermatologi. Ada banyak sistem gradasi akne vulgaris, tetapi sampai sekarang belum ada sistem gradasi akne vulgaris yang diterima secara universal. Doshi, Zaheer dan Stiller pada tahun 1997 memperkenalkan global acne grading system (GAGS). Sistem ini membagi wajah, dada, dan punggung dalam enam area (dahi, tiap pipi, hidung, dagu, dan dada dan punggung) dan menetapkan faktor dari tiap area sebagai dasar ukuran (Adityan et al., 2009).

Berikut adalah cara menilai derajat keparahan akne vulgaris menggunakan Global Acne Grading System (GAGS):

commit to user

17

Tabel 1. The Global Acne Grading System

Lokasi

Faktor

Dahi Pipi kanan Pipi kiri Hidung Dagu Dada dan punggung

Sumber: Adityan et al. (2009) Catatan: Tiap lesi diberi nilai tergantung dari keparahannya. Tidak ada lesi=0,

komedo= 1, papul= 2, pustul= 3 dan nodul= 4. Skor pada tiap area (local score) dihitung menggunakan formula: Local score = Faktor x grade (0-4). Global score adalah jumlah dari local score, dan keparahan akne diklasifikasi menurut global score. Skor 1-18= ringan; 19-30= sedang; 31-38= berat dan > 39= sangat berat

2. Indeks Massa Tubuh (IMT)

a. Definisi

The World Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The National Institute of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert Committee on Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent Preventive Services telah merekomendasikan Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Indeks Massa Tubuh (IMT) didapat melalui perhitungan berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi

badan (m 2 ). Oleh karena komposisi lemak tubuh anak berubah tiap

commit to user

18

tahun mengikuti pertumbuhan, maka konsep penggunaan IMT antara anak dan dewasa berbeda. Pada anak, interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak, karena anak lelaki dan perempuan memiliki komposisi lemak tubuh yang berbeda (Sjarif, 2002) . Untuk anak-anak dan remaja (usia 2 - 20 tahun), hasil perhitungan IMT diplot pada kurva pertumbuhan dari CDC (Center for Chronic Disease ) untuk melihat posisi IMT pada umur (Division of Nutrition and Physical Activity, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion , 2007).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkorelasi tinggi dengan massa lemak tubuh. Untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengganti dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan yang berlebih dan obesitas pada seseorang (Sjarif, 2002). IMT mempunyai keunggulan utama yakni menggambarkan lemak tubuh yang berlebihan, sederhana dan bisa digunakan dalam penelitian populasi berskala besar (Rippe et al., 2001). Pengukurannya hanya membutuhkan 2 hal yakni berat badan dan tinggi badan, yang keduanya dapat dilakukan secara akurat oleh seseorang dengan sedikit latihan. Salah satu keterbatasan IMT adalah tidak bisa membedakan berat yang berasal dari lemak dan berat dari otot atau tulang. Indeks Massa Tubuh (IMT) juga tidak dapat mengidentifikasi distribusi dari lemak tubuh. Sehingga beberapa

commit to user

19

penelitian menyatakan bahwa standar cut off point untuk mendefinisikan obesitas berdasarkan IMT mungkin tidak menggambarkan risiko yang sama untuk konsekuensi kesehatan pada semua ras atau kelompok etnis (National Institutes of Health, 2004).

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan Departemen Kesehatan. Menurut WHO (1997), klasifikasi IMT yang cocok untuk masyarakat Asia dikategorikan sebagai berikut.

Tabel 2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Asia

No

IMT (kg/m 2 )

Obese I

5. > 30

Obese II

Sumber: WHO (1997)

Klasifikasi IMT menurut umur untuk anak-anak dan remaja (2-20 tahun):

commit to user

20

Tabel 3. Klasifikasi IMT menurut umur

No

IMT menurut umur (%)

Sumber: Sjarif (2002)

b. Definisi kelebihan berat badan atau obesitas

Obesitas secara sederhana didefinisikan sebagai suatu keadaan dari akumulasi lemak tubuh yang berlebihan (Rippe et al., 2001). Anak dan remaja (2 - 20 tahun) dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) antara persentil 85 - 95 sesuai umur dan jenis kelamin disebut overweight, sedangkan anak dengan IMT > 95 disebut obesitas. Orang dewasa (>

20 tahun) dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 23 - 24,9 disebut overweight, sedangkan dewasa dengan IMT ≥ 25 disebut obesitas (Hay et al ., 2003).

Menurut hukum termodinamik, obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Sjarif, 2002). Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis makanan (Zainun, 2002).

commit to user

21

Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor (Zainun, 2002) yaitu:

1) Faktor genetik

Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan hidup, yang biasanya mendorong terjadinya obesitas. Bila kedua orangtuanya obesitas, sekitar 80 % anak-anak mereka akan menjadi obesitas. Bila salah satu orang tua obesitas kejadiannya menjadi 40 % dan bila kedua orang tua tidak obesitas maka prevalensi turun menjadi 14 %.

2) Faktor lingkungan

Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku, pola makan, pola olahraga, serta aktivitasnya.

3) Faktor psikis

Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makanan.

4) Faktor Kesehatan Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:

a) Hipotiroidisme

b) Sindrom Cushing

commit to user

22

c) Sindrom prader-willi

d) Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.

5) Obat-obatan

Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti depresi) bisa menyebabkan penambahan berat badan.

6) Faktor perkembangan

Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak atau keduanya menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh.

7) Aktivitas fisik

Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya kejadian obesitas di tengah masyarakat. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan sedikit kalori.

Obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak dan berpotensi mengalami berbagai penyakit kesakitan dan kematian antara lain penyakit kardiovaskuler, dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus, dan sebagainya (Division of Nutritional and Physical Activity, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion , 2007).

commit to user

23

3. Hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan Akne Vulgaris

Obesitas berhubungan dengan hiperandrogenisme perifer yang berhubungan dengan peningkatan produksi sebum. Pada sebuah penelitian, nilai IMT yang tinggi pada obesitas dan overweight ditemukan berhubungan dengan sindrom polikistik ovarium dan hiperandrogenisme yang bermanifestasi klinik sebagai akne, hirsutisme, dan menstruasi yang tidak

teratur (Huppert et al., 2004). Pada perempuan remaja yang obesitas, terjadi resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperandrogenisme, peningkatan aromatisasi perifer serum androgen ke estrogen, sekresi gonadotropin terpengaruh, penurunan growth hormone (GH) dan insulin like growth factor binding proteins (IGFBPs) , peningkatan level leptin, dan neuroregulasi dari hipotalamus-pitutari-aksis gonad terpengaruh (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Mekanisme

overweight dan

obesitas

bisa

menyebabkan hiperandrogenisme adalah sebagai berikut. Pada penelitian sebelumnya, diketahui IMT dengan kadar insulin puasa mempunyai hubungan yang signifikan, dimana makin besar nilai IMT, makin tinggi kadar insulin puasa. Insulin mempunyai fungsi esensial dalam pengambilan, sintesis, dan penggunaan dari glukosa. Penambahan lemak perut berhubungan dengan berkembangnya resistensi insulin. Akumulasi lemak viseral ini membuat kadar asam lemak bebas naik, dimana lemak intra abdominal bergerak lebih mudah daripada yang lain karena lebih sensitif oleh stimulasi dari enzim lipolitik. Pergerakan asam lemak bebas ini menyebabkan hati dan otot rangka

commit to user

24

mengalami oksidasi asam lemak yang berlebih untuk menghasilkan energi. Enzim pada kaskade glikolisis juga dihambat sehingga kapasitas dari jaringan untuk mengabsorbsi dan memetabolisme glukosa menurun dan sel mengakumulasi lebih banyak trigliserida. Untuk menanggung aktivitas glukosa dan enzim yang memetabolisme asam lemak ini, glukosa mempunyai level membran yang rendah terhadap insulin reseptor sehingga terjadi resistensi insulin (Vainio dan Bianchini, 2002).

Hormon seks steroid mempunyai fungsi sebagai pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi dari banyak jaringan di tubuh. Hormon ini terdiri dari androgen (androstenedion, testosteron, DHEA, dan DHEAS), estrogen (estron, estradiol) dan SHBG. Pada perempuan, hormon seks steroid diproduksi oleh ovarium (testosteron, androstenodion) dan kelenjar adrenal (DHEA, DHEAS, androstenedion). Pada pria, hormon seks steroid diproduksi oleh testis dan kelenjar adrenal. Obesitas membuat efek resistensi insulin relatif, hiperinsulinemia kronik, kenaikan dari IGF-I bioaktif, dan menghambat sintesis hepatik dari SHBG (sex hormone binding globulin). SHBG merupakan globulin yang spesifik dengan hormon seks di sirkulasi. Insulin dan IGF-I ini menstimulasi sintesis dan sekresi dari hormon seks steroid (androgen & estrogen) dari gonad dan kelenjar adrenal. Pada kompartemen jaringan lemak, androgen diubah menjadi estrogen oleh enzim aromatase. Kenaikan androgen menyebabkan kenaikan pula dari sintesis estrogen di jaringan lemak (Vainio dan Bianchini, 2002).

commit to user

25

Pada wanita yang obesitas, estrogen tidak hanya berasal dari ovarium tapi juga dari lemak yang berada di bawah kulit. Hal inilah yang menyebabkan keluarnya luitenizing hormone (LH) sebelum waktunya. Luitenizing Hormone yang keluar terlalu cepat akan merangsang keluarnya hormon progesteron dan androgen. Pada siklus normal, hal ini tidak terlalu masalah, karena hormon androgen akan diubah menjadi estradiol. Tetapi pada perempuan obesitas, androgen yang keluar terlalu cepat tidak akan diubah menjadi estradiol (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Pada wanita yang mengalami obesitas, juga terjadi peningkatan yang bermakna dari aktivitas 11b-hidroksisteroid dehidrogenase . 11b- hidroksisteroid dehidrogenase merupakan enzim yang memetabolisme kortisol menjadi kortison. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar clearence kortisol, menurunkan feedback negatif dari sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan secara sekunder meningkatkan sekresi androgen adrenal (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Stimulan utama dari kelenjar sebasea untuk memproduksi sebum adalah androgen. Terjadinya hiperandrogenisme ini menyebabkan peningkatan produksi sebum (Pawin et al., 2004). Peningkatan produksi sebum inilah yang berperan dalam pembentukan akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2007). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara yang paling akurat untuk menghitung dan mengukur obesitas (Tsai et al., 2006).

Beberapa penelitian tentang akne vulgaris berkaitan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) telah dilakukan. Menurut penelitian di Taiwan, rata-rata IMT

commit to user

26

pada anak-anak yang tidak akne (18,2 ± 3,4) secara signifikan lebih rendah daripada pada subjek akne (19,5 ± 3,7), tanpa perbedaan .jenis kelamin. Anak- anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT < 18,5 cenderung mempunyai prevalensi penderita akne yang rendah, terutama lesi inflamatori. Sedangkan, anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT menurut umur ≥ 95% cenderung terdapat prevalensi akne vulgaris yang tinggi secara signifikan (Tsai et al., 2006). Penelitian di Arab Saudi pada wanita berumur 16 - 22 tahun juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara obesitas (IMT > 27) dengan akne (Braz, 2009). Akan tetapi, penelitian pada wanita dengan umur > 17 tahun di Italia, disimpulkan akne tidak berkorelasi positif dengan IMT. Faktor lain selain obesitas, seperti gaya hidup, stress akibat pekerjaan, dan status hormonal, yang lebih sering terjadi pada orang dewasa, diduga lebih dapat menimbulkan akne pada dewasa dibanding anak (Borgia, 2004).

commit to user

27

B. Kerangka Pemikiran

Disertai hiperandrogenisme perifer

Kenaikan produksi sebum

Akne Vulgaris

a. Bakteri

b. Herediter

c. Diet

d. Kondisi Psikis

e. Kosmetika

f. Obat-obatan

g. Iklim

h. Usia

: Variabel yang diteliti

------------- : Variabel perancu

Peningkatan unsur komedogenik

dan inflamatogenik

a. Retinoid

b. Melanokortin

c. PPAR

d. FGFR

Obesitas

Overweight

commit to user

28

C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris, yaitu semakin besar nilai IMT semakin besar risiko terkena akne vulgaris.

commit to user

29

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMAN 1 Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

C. Subjek Penelitian

Populasi target penelitian ini adalah siswa SMA N 1 Prambanan kelas XI dan XII.

1. Kriteria inklusi :

a. Siswa dengan usia 14 - 20 tahun.

b. Bersedia menjadi subjek penelitian.

2. Kriteria eksklusi :

a. Sedang menstruasi atau 1 minggu menjelang menstruasi (satu minggu dari tanggal kebiasaan menstruasi saat penelitian dilakukan).

b. Minum antibiotik atau steroid dalam satu minggu terakhir.

c. Memakai kosmetik dalam satu minggu terakhir.

commit to user

30

d. Sedang dalam pengobatan akne vulgaris.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah fixed disease sampling. Fixed disease sampling merupakan skema pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, yaitu berpenyakit atau tidak berpenyakit yang sedang diteliti, sedang status paparan subjek bervariasi mengikuti status penyakit subjek (Murti, 2006).

Besar sampel dihitung sesuai dengan rumus sebagai berikut (Murti, 2010) :

= 195,92

Keterangan : n

= besar sampel

= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan (untuk α 0,05 nilainya 1,96)

P = nilai proporsi terhadap populasi yang besarnya 0,85

d = presisi yang diinginkan adalah 0,05

commit to user

31

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel yang dibutuhkan minimal 195,92 dibulatkan menjadi 196.

E. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas

: Indeks Massa Tubuh (IMT)

2. Variabel terikat

: Akne vulgaris

3. Variabel perancu

a. Terkendali

1) Usia

2) Obat-obatan steroid dan antibiotik

3) Kosmetik

4) Faktor hormonal (menstruasi)

5) Faktor kebersihan

b. Tidak terkendali

1) Iklim

2) Faktor herediter

3) Kondisi psikis

4) Diet

5) Bakteri penyebab akne vulgaris

F. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Bebas : IMT (Indeks Massa Tubuh)

commit to user

32

a. Definisi :

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah indikator status gizi subjek penelitian untuk mengetahui derajat kegemukan dengan rumus sebagai berikut :

Alat ukur adalah timbangan berat badan merek “Camry RRC” dengan ketelitian 0,1 kg dan alat pengukur tinggi badan merek “Tenso” dengan ketelitian 0,1 cm.

Hasil perhitungan IMT yang didapat dari rumus tersebut diplot pada kurva pertumbuhan dari CDC (Center for Chronic Disease) untuk melihat posisi IMT pada umur.

IMT dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu: Obesitas

: IMT ≥ 95 % Overweight : IMT ≥ 85 % sampai < 95 %

Normal

: IMT ≥ 5 % sampai < 85 %

Underweight : IMT < 5 %

b. Skala : Ordinal

2. Variabel Terikat : Akne vulgaris

a. Definisi :

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat

commit to user

33