View of PENGARUH ASAP ROKOK TERHADAP SKOR GEJALA TOTAL PENDERITA RINITIS ALERGI PERSISTEN (The Effect of Cigarette Smoke on Total Symptom Score of Persistent Allergic Rhinitis Patients)
PENGARUH ASAP ROKOK TERHADAP SKOR GEJALA TOTAL PENDERITA RINITIS ALERGI PERSISTEN
(The Effect of Cigarette Smoke on Total Symptom Score of Persistent Allergic 1 Rhinitis Patients )
2
3 4 1 Roy David Sarumpaet , Mohammad Juffrie , Suprihati , Indwiani Astuti 2 Prodi S-3 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Departemen Anak 3 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Departemen THT Fakultas 4 Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, YogyakartaABSTRAK
Pengaruh asap rokok pada penderita Rinitis Alergi Persisten (RAP) yang prevalensinya semakin meningkat di Indonesia belum mendapat perhatian untuk diteliti, meskipun jumlah penduduk yang merokok semakin bertambah. Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan asap rokok “side-stream” (SS) dengan Skor Gejala Total (SGT) dari penderita Rinitis Alergi Persisten (RAP). Metode : Penelitian dilakukan dengan desain kasus kontrol, dimana 63 penderita RAP sedang-berat dibagi menjadi kelompok perlakuan (32) dan kontrol (31) secara acak. 32 penderita RAP dipaparkan dengan asap rokok (SS) dari 5 batang rokok selama 2 jam dalam suatu ruangan. Seluruh responden kemudian ditanyakan 5 (lima) gejala utama yang dirasakan. Hasil penelitian : SGT total kelompok perlakuan dengan kontrol tidak berbeda bermakna. Kesimpulan : Asap rokok ‘side-stream” (SS) yang dipaparkan pada penderita RAP tidak menyebabkan perubahan Skor Gejala Total (SGT).
Kata Kunci : asap rokok, rhinitis alergi persisten (RAP), skor gejala total (SGT) ABSTRACT
The effect of cigarette smoke on Persistent Allergic Rhinitis (PAR) patients that has an increasingly prevalence in Indonesia has not received attention for examination despite the number of smoking people are increasing. The aim of this study is to analyze the relationship between cigarette smoke to the change in total symptom score of allergic rhinitis in patients with PAR. Method : Case-contol design , in which 63 patients with moderate-severe PAR are divided into treatment group ( 32 ) and control ( 31 ) randomly . PAR 32 patients were exposed to the "side stream" ( SS ) of the cigarette smoke from 5 cigarettes for 2 hours in a room. All respondents were asked about 5 major symptoms. Result: Total Symptom Score between treatment group was not significantly different from control . Conclusion : This study suggests that cigarette smoke does not cause changes in quality of life when exposed to patients with PAR.
Keywords : cigarette smoke , rhinitis allergic persistent (PAR), total symptom score.
A. PENDAHULUAN
yang secara genetik predisposisi alergi (atopi) dan terdapat sitokin IL-4, maka
“newly formed” seperti leukotrien (LTB4, LTC4, LTD4), prostaglandin(PGD2), dan faktor aktivasi platelet (PAF) (Volcheck,2009). Reaksi alergi ini disebut RAFC yang berlangsung
“preformed mediator” seperti histamin, heparin, triptase, protease, dan sitokin kemotaksis . Juga dilepaskan mediator
Bila terjadi pacuan ulang dari alergen spesifik maka alergen/antigen akan ditangkap oleh IgE di permukaan kompleks IgE-mastosit akan terjadi aktivasi membran sel mastosit dan timbul penglepasan
Sel -Th2 berbeda dari sel Th1, Th2 melepaskan sitokin-sitokin seperti IL- 3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 (Volcheck,2009; Eisner , 2000). Secara spesifik IL-4 dan IL-13 menstimulasi produksi IgE sedang IL- 5 mengaktifasi eosinofil. (Volcheck,2009; Eisner, 2000). IgE adalah merupakan imunoglobulin utama yang menyebabkan respons alergi , dan akan berikatan dengan mastosit (FcεRI) membentuk kompleks IgE-mastosit. Bila dijumpai kompleks IgE-mastosit maka individu telah tersensitisasi dan siap untuk reaksi hipersensitivitas tipe I Gell & Coomb (Madiadipoera et al., 2002; Volcheck, 2009).
limfosit Th2. (Volcheck,2009; Abbas,2007; Janeway, 2008).
CD4+T-cell berdiferensiasi menjadi
Rinitis Alergi (RA) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I Gell & Comb yang diperantarai oleh Imunoglobulin-E (IgE) dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama. Kondisi ini ditandai dengan gejala seperti serangan bersin terutama pagi hari, discaj hidung encer, hidung tersumbat serta perasaan hidung gatal (Alebuff 1992; Cauwenberge et al., 2000).
Kelompok kerja Allergic Rhinitis
RA merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh fase sensitisasi, dilanjutkan dengan reaksi alergi fase cepat (RAFC) , kemudian berlanjut menjadi reaksi alergi fase lambat (RAFL) (Abbas, 2007). Fase sensitisasi diawali dengan menempelnya alergen pada mukosa hidung (Madiadipoera et al.,2002; Volcheck ,2009). Alergen ditangkap oleh antigen presenting cell (APC) kemudian diproses menjadi molekul kompleks histokompatabilitas mayor (MHC) kelas II di permukaan sel APC. Kompleks MHC kelas II di permukaan sel APC dipresentasikan kepada
angka yang pasti secara nasional, tetapi berdasarkan laporan hasil survei di Semarang dengan menggunakan kuesioner ISAAC fase 3 pada anak usia sekolah 13-14 tahun prevalensi RA sebesar 18,6% (Suprihati, 2005).
et al., 2000). Di Indonesia belum ada
Rinitis alergi merupakan penyakit alergi yang paling banyak dan mempengaruhi sekitar 400-600 juta penduduk di seluruh dunia. Dalam dekade belakangan ini terjadi peningkatan jumlah prevalensi penderita RA di seluruh dunia (Pawankar et al., 2011; Cauwenberge
WHO 2001) melakukan klasifikasi Rinitis Alergi menjadi Rinitis Alergi Intermiten (RAI) dan Rinitis Alergi Persisten (RAP) . RAP terutama dijumpai di negera-negara tropis, hal ini disebabkan keadaan iklim yang lembab serta hangatnya udara sepanjang tahun sehingga merupakan keadaan yang kondusif bagi perkembangan/pertumbuhan tungau debu rumah dan jamur, dua penyebab aero-alergen terbanyak (Bousquet, 2000;Wang et al., 2005).
and Its Impact on Asthma (ARIA-
CD4+helper T-cells dan pada orang sampai 1-2 jam dengan puncak antara 15- 20 menit (Madiadipoera et al. , 2002;Volcheck, 2009; Pawankar et al., 2011).
Pada RAFL, yang dapat berlangsung sampai 24 jam berikutnya, terjadi akumulasi berbagai sel inflamasi ke dalam mukosa hidung, seperti makrofag, limfosit, eosinofil, mastosit dan basofil. Histamin pada RAFL terutama dihasilkan oleh basofil. Selain itu ada penglepasan sitokin pro-inflamasi seperti IL-3, IL- 4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF oleh Th2 (Abbas, 2007;Volcheck, 2009).
- –berair dan merah, rasa gatal di hidung dan langit-langit, serta hidung tersumbat, dengan rentang nilai 0-3. Nilai skor 0 = tidak ada gejala; 1 = ringan/gejala ada tetapi tidak mengganggu/dapat diabaikan; 2 = sedang/gejala kadang mengganggu tetapi tidak mengganggu tidur, aktifitas sehari-hari/olahraga, dan/atau kerja/sekolah; 3= berat/gejala mengganggu sama atau lebih dari 1 gejala yang ada pada 2 (Kirtsreesakul et al., 2010).
Histamin berikatan dengan endotel menyebabkan kontraksi sel sehingga permeabilitas vaskuler meningkat dan bocornya plasma ke jaringan. Selain itu sel endotel juga terstimulasi oleh histamin untuk mensintesis relaksan otot polos vaskuler, sehingga timbul vasodilatasi. Akibatnya terjadi sumbatan pada hidung. Selain sumbatan pada mukosa hidung juga dapat dijumpai warna pucat/lividae pada konka inferior (Abbas, 2007). Histamin dapat merangsang ujung- ujung saraf sensori dari nervus V (trigeminus) sehingga timbul rasa gatal pada hidung dan bersin. Kelenjar mukus juga akan distimulasi histamin sehingga terjadi sekresi mukus (rinore) (Pawankar et al., 2011).
Berdasarkan berat-ringannya gejala RA maka menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on
Asthma-guideline ) rhinitis alergi dapat
dibagi menjadi derajat ringan dan derajat sedang-berat. Derajat ringan bila tidak mengganggu aktifitas, sedangkan derajat sedang-berat sudah mengganggu aktifitas. (Bousquet et al., 2001; Mullol et al., 2005).
Untuk mengukur beratnya gejala RA dapat dilakukan dengan cara obyektif seperti nasal inspiratory peak
flow (NIPF) atau dapat dengan
memakai skor gejala yang dialami oleh penderita. Dalam skor gejala total yang dinilai adalah 5 gejala pokok yaitu bersin, rinore (ingus meleleh), mata gatal
Rinitis Alergi pada dasarnya merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Secara genetik dapat dilihat pada kembar monozigot dijumpai keterkaitan 45- 60%, sementara pada kembar dizigot menurun menjadi 25%. (Davila et al., 2009). Pengaruh lingkungan dapat berupa suhu/iklim, kelembaban udara, alergen serta polusi udara. Salah satu faktor penyebab polusi udara adalah asap rokok (Koppelmann, 2007).
Berdasarkan laporan, Indonesia merupakan negara dengan peningkatan konsumsi rokok paling cepat di dunia dalam dekade 1990, dan pada awal tahun 2000 menempati tempat kelima di dunia. Terjadi peningkatan prevalensi perokok dari 26,9% (tahun 1995) menjadi 31,5% (2001). (Achadi et al ., 2004; de Beyer et al., 2000).
Perokok menghirup 25% asap dari setiap batang rokok, namun selebihnya yaitu 75% dilepaskan ke lingkungan (Castelazzi 2000; Mang et al., 2008). Lingkungan asap rokok (Environmental tobacco smoke) adalah campuran dari asap rokok
Penelitian oleh Sanchez, pada individu penderita alergi didapatkan peningkatan produksi IgE, penanda utama dari penyakit alergi, dimana setelah 4 hari terpapar terjadi peningkatan 16,6 kali lipat. Disamping itu kadar histamin hidung juga meningkat 3,3 kali lipat (Diaz-Sanchez et
29 (termaksud cadangan 10 %) Kriteria Inklusi adalah laki-laki atau perempuan berusia 15
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan Kasus-Kontrol. Subjek penelitian adalah penderita RAP yang datang berobat ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Riau. Kelompok perlakuan adalah individu yang terdiagnosis RAP dari hasil pemeriksaan SPT dengan hasil +++(positif 3) dengan gejala klinis memenuhi kriteria sedang- berat. Pemilihan kontrol dilakukan dengan sistem persesuaian (matching) berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur. Sampel : Pada penelitian ini pengambilan sampel penelitian menggunakan PASS. =
B. METODE PENELITIAN
Berdasarkan penelitian terdahulu dan tulisan ilmiah yang ada maka dapat dibuat suatu hipotesis bahwa : Skor Gejala Total pada penderita RAP yang terpapar asap rokok lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap rokok.
pernah dilaporkan. Menjadi masalah yang perlu diketahui adalah pengaruh asap rokok SS terhadap skor gejala total, apakah terjadi peningkatan SGT atau penurunan. Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh asap rokok SS terhadap gejala perderita RAP.
Persisten (RAP) di Indonesia belum
Penelitian mengenai pengaruh asap rokok pada penderita Rinitis Alergi
al. , 2006).
- – 30 tahun, penderita RAP yang memenuhi kriteria sedang-berat, tes
Bila IFN- γ menurun maka efek inhibisi pada sel Th2 juga menurun, akibatnya Th2 akan mendominasi dan menghasilkan sitokin yang berperan dalam respon imun dan terjadi peningkatan IgE (Janeway, 2008).
sampingan/SS (cigarette sidestream
Akrolein yang terdapat dalam asap rokok menghambat kerja dari NF- κB sehingga terjadi penurunan sitokin IL-12 yang akibatnya Th1 menjadi menurun.
paling rendah 10µg sedangkan ter tinggi sebesar 140µg pada Mainstream . Sedangkan pada Side-stream 100-1700 µg (Rando et al., 1997).
Administration /FDA jumlah akrolein yang
Akrolein dijumpai dalam setiap batang rokok dalam jumlah yang berbeda. Menurut laporan pada Food Drug
Asap rokok merupakan campuran kompleks dari komponen gas dan partikel mengandung sekitar 5000 bahan kimia. Bahan kimia tersebut ada yang dapat menjadi bahan iritan, racun saluran nafas yang poten seperti sulfur- dioksida, ammonia, formaldehida, dan akrolein (Lambert ,2005; Rando ,1997; Eisner,2000; Quyang et al., 2000). Menurut Nazaroff dan Singer , seperti dikutip oleh Jia et al, ada 6 bahan toksik yang menjadi perhatian utama sebagai faktor resiko kesehatan yaitu akrolein, asetaldehida, akrilonitril, benzene, 1,3-butadin dan formaldehida. Diantara bahan tersebut yang lebih toksik (sekitar 10-1000 kali) adalah akrolein, dan dalam cairan saluran nafas perokok dapat mencapai 80µg (Jia et al., 2007).
menyebabkan iritasi dan peningkatan gejala rhinitis (Biagini et al., 2006).
al ., 1997). Pada penelitian Biagini et al . paparan 15 menit asap rokok dapat
ujung rokok (85%) dan asap rokok utama/MS (mainstreamsmoke) yaitu asap yang pertama dihisap perokok aktif dan kemudian dihembuskan ke udara lingkungan (15%) (Witschi et
smoke ) , yaitu asap yang keluar dari
alergi (skin prick test) positif 3 atau lebih, bersedia /setuju mengikuti penelitian Kriteria eksklusi adalah menderita penyakit yang dapat
Borgwaldt smoking machine buatan
Penderita alergi tersebut terdiri dari RA persisten ringan (27 kasus = 28,1%) dan RA persisten sedang-berat (69 kasus = 71,9%). Kasus Rinitis Alergi Persisten (RAP) sedang-berat yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian sebanyak 66 orang (95,6%) dengan rentang usia 15 sampai 25 tahun (lihat tabel 2).
mempengaruhi reaksi alergi mendapatkan terapi simptomatik penyakti alergi (5-7 hari), mengalami infeksi virus atau bakteri dan terpapar sinar radiasi ionisasi dan ultraviolet
Tes Alergi dilakukan dengan menggunakan bahan alergen “Alyostal
Allergen
” produksi STALLERGENES, serta jarum skin prick “Stallerpoint” yang
single use . Skor Gejala Total (SGT):
Pengukuran dari gejala klinis subjek penelitian, berdasarkan wawancara pada saat pemeriksaan, pengukuran menggunakan skala dari Kirtsreesakul V,
et al,
(2010).Cara Pemaparan asap rokok Alat pembakar rokok yang digunakan memakai metode alat pembakar rokok
Pada tes alergi dijumpai 65 orang yang menunjukan hasil +++ atau lebih, 17 laki-laki dan 48 perempuan. Tidak ada satupun kasus yang menjadi perokok aktif. Dari 65 orang tersebut kemudian diundi secara acak sehingga didapat untuk kontrol 33 orang (9 laki- laki, 24 perempuan) dan 32 perlakuan (8 laki-laki, 24 perempuan). Tetapi dari masing-masing kelompok 1 orang dikeluarkan sehingga didapat 32 perlakuan, 31 kontrol. Karakteristik anggota sampel seperti jenis kelamin, sumber paparan alergi, riwayat alergi keluarga, dan paparan asap rokok dapat dilihat dalam tabel 1.
Jerman. Alat pembakar rokok ini didesain menangkap mainstream smoke sedangkan
sidestream smoke dilepaskan. Asap rokok
dari mesin pembakar rokok memiliki kecepatan 55 detik per satu hisapan dengan jeda 5 detik, sehingga dalam 2 jam terbakar 5 batang rokok untuk dipaparkan kepada subyek penelitian dengan jarak 70
- – 100 cm. Pemaparan dilakukan dalam ruangan dengan spesifikasi ukuran panjang 3 m, lebar 2 m dan tinggi 3 m (18 m 3 ) dengan suhu 26
- – 30
- – 93% serta pertukaran udara dengan menggunakan ventilasi 8 kali/jam.
- Laki-laki 8(25,0) 7(22,6) 0,822#
- – 3,651
- perempuan 24(75,0) 24(77,4) Usia - ≤ 18 tahun
3(9,4) 1(3,2) 0,317#
- – 31,580
- > 18 tahun 29(90,6) 30(96,8) Riwayat alergi keluarga
- Ada 23(71,9) 26(83,9) 0,252#
- – 1,679
- Tidak Ada 9(28,1) 5(16,1) Terpapar asap rokok
- Terpapar 9(28,1) 11(35,5) 0,530#
- – 2,065
- Tidak Terpapar 23(71,9) 20(64,5) Pemakaian karpet dalam ruang keluarga
- Ada 24(75,0) 25(80,6) 0,590#
- – 2,385
- Tidak Ada 8(25,0) 6(19,4) Pemakaian karpet dalam kamar tidur
- Ada 7(21,9) 12(38,7) 0,146#
- – 1,341
- Tidak Ada 25(78,1) 19(61,3)
- – 10 uM) dapat menyebabkan toksisitas yang sama. (Lihong Jia et al, 2007) Paparan asap rokok setiap hari, dalam penelitian ini, ternyata tidak menyebabkan perbedaan sitokin yang bermakna antara perlakuan dan kontrol.
- – 500 kali lipat. (Einhorn IN, 1975)
- – Year Book Boston; p 763-73.
- – α- Lipoic Acid. Invest Ophthalmol Vis Sci 48(1) : 339-348
Usulan penelitian ini telah dipresentasikan di Komite Etika Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, dan telah mendapatkan persetujuan tanggal 19 Maret 2013 dengan nomor Ref : KE/FK/259/ECm.
C. HASIL DAN BAHASAN Gambaran Umum
Selama 2 (dua) bulan penelitian didapatkan 96 kasus Rinitis Alergi yang datang di Poliklinik THT-KL RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
C dan kelembaban 65
ETIKA PENELITIAN
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Variabel Perlakuan (%) Kontrol (%) p-value
OR CI
Jenis kelamin
1,143 0,358
3,103 0,305
0,491 0,144
0,711 0,245
0,720 0,217
0,443 0,147
#Tes Chi-Kwadrat Hasil tes chi-kwadrat pada karakteristik subyek penelitian yang meliputi jenis kelamin, riwayat alergi keluarga, terpapar asap rokok, dan sumber paparan alergi menunjukkan nilai p yang dihasilkan lebih besar dari 0,05 (p > 0,05). Hal ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan antara perlakuan dan kontrol berdasarkan karakteristik subyek penelitian.
Tabel 2. Skor Gejala Total (SGT) Berdasarkan Kelompok Perlakuan dan Kontrol Variabel Status Min Mak Mean Nilai p SGT Perlakuan
9 19 14,37 0,455## Kontrol
8 20 14,03 ## Test Mann-Whitney Pada tabel diatas tampak bahwa dengan tes Mann-Whitney variabel skor gejala total diperoleh nilai p > 0,05. Karena nilai p yang diperoleh lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa baik pada skor gejala total tidak terdapat perbedaan kadar antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.
Tabel 3. Skor Gejala Total Berdasarkan Jenis Kelamin, Paparan Alergi, Riwayat
Alergi Keluarga Dan Paparan Asap Rokok
Variabel Mean Nilai p Jenis kelamin Laki-laki 14,73 0,485##
Perempuan 14,04 Karpet didalam Ada 13,89 0,624## kamar tidur Tidak Ada 14,34 Jenis alas tidur Kapuk/Kapas 14,67 0,521###
Busa 15,40 Spring Bed 14,04
Frekuensi 2 kali per minggu 15,89 0,118### Pergantian Sprei 1 kali per minggu 13,54
1 kali per 2 minggu 14,59 1 kali per bulan 13,82 Riwayat Alergi Ada 13,96 0,287## Keluarga
Tidak Ada 15,07 Terpapar Asap Ya 15,75 0,002## Rokok Setiap Hari
Tidak 13,49 ## Test Mann-Whitney; ### Test Kruskal-wallis
Hasil pada tabel 13 menunjukkan bahwa nilai sig yang diperoleh baik menggunakan uji
Mann-Whitney untuk jenis kelamin dan riwayat alergi keluarga serta uji Kruskal-Wallis pada
paparan alergi menghasilkan nilai lebih besar dari 0,05 (p >0,05). Hal ini berarti bahwa tidak terjadi perbedaan skor gejala total berdasarkan jenis kelamin, paparan alergi, dan riwayat alergi keluarga. Sedangkan hasil pada paparan asap rokok setiap hari menunjukkan hasil nilai sig. yang diperoleh kurang dari 0,05 (p <0,05) yang berarti bahwa terjadi perbedaan skor gejala total berdasarkan paparan asap rokok setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa paparan asap rokok setiap hari mempengaruhi skor gejala total yang diperoleh.
D. PEMBAHASAN
3
mencapai 50 uM menyebabkan toksisitas pada sel, sehingga viabilitas sel menurun. Dari penelitian tersebut didapatkan bila paparan yang berlangsung kontinyu 8 sampai 32 hari dengan dosis yang lebih rendah 10 sampai 100 kali lipat (0,1
Gejala yang dialami oleh penderita RAP berkaitan dengan Ig-E yang ada berikatan dipermukaan mastosit. Ig-E akan meningkat pembentukannya bilamana Th2 menjadi dominan, dimana faktor yang menginhibisinya seperti sitokin IFNγ ditekan oleh adanya pengaruh dari akrolein.
Akrolein ternyata bukan hanya dihasilkan dari asap rokok saja. Berdasarkan laporan Concise International Chemical Assessment Document (CICAD 43) yang diterbitkan oleh WHO tahun 2002, akrolein dapat dihasilkan dari sumber alam, seperti proses fermentasi dan kebakaran hutan, serta dari kegiatan manusia seperti insenerator, tungku perapian/pembakaran, pembakaran plastic polietilen, proses memasak makanan. (CICAD 43)
CICAD dan US EPA menyatakan bahwa sumber utama akrolein yang ada di udara adalah emisi dari kendaraan solar dan bensin. Berdasarkan laporan HEI (Health Effects Institute) November 2007, yang mengutip National Air Toxics Assessment (NATA), kendaraan bermotor secara nasional menjadi sumber emisi akrolein sebesar 13,7% dan di daerah perkotaan sebesar 24,4%. (CICAD 43;
Menurut Swarin dan Lipari,1983 seperti dikutip HEI, konsentrasi akrolein dari asap kendaraan bermotor adalah 0,47 mg/m
3
. Berdasarkan penelitian Seizinger dan Dimitriades, 1995 sebagaimana dikutip HEI, dari mesin diesel dapat dihasilkan akrolein dengan konsentrasi 0,05 sampai 0,3 ppm. (HEI, 2007)
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR 2005), seperti dikutip HEI 2007, menyatakan bahwa konsentrasi akrolein per batang rokok dalam MS (main stream) rokok antara 3 sampai 220 ug/m
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa pemaparan asap rokok pada penderita RAP sedang-berat akan mengakibatkan terjadi perubahan Skor Gejala Total. Karakter subyek penelitian seperti jenis kelamin, riwayat alergi keluarga, paparan alergen serta adanya paparan asap rokok setiap hari pada 2 kelompok tidak berbeda bermakna (tabel 1), sehingga antara kedua kelompok dapat dianggap homogen dan dapat diperbandingkan.
dan dalam SS (Side stream) rokok dari 100 sampai 1700 ug/m
3
. (HEI, 2007) Menurut penelitian Lambert C et al, 2005, tidak ada hubungan atau korelasi antara rokok yang dibedakan ringan atau biasa dengan konsentrasi akrolein. (Lambert C et al, 2005)
Berdasarkan penelitian Lihong Jia
et al 2007, paparan akrolein akut
Menurut Lipari et al, seperti dikutip oleh CICAD, sumber akrolein yang lain adalah dari kebakaran hutan atau lahan yaitu sebagai hasil/produk dari pembakaran bahan organik.
US EPA, 2009; HEI, 2007)
Di Indonesia, kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda-motor semakin hari semakin banyak, namun belum ada penelitian tentang kadar akrolein di udara. Sebagian besar responden yang mengikuti penelitian menggunakan sepedamotor setiap hari untuk melakukan aktivitasnya (95%).
2. Dalam penelitian selanjutnya untuk melihat pengaruh akrolein yang berada dalam asap rokok maka perlu dihindarkan adanya paparan asap kebakaran hutan oleh karena
Penelitian Einhorn
Penderita RAP sedang-berat memerlukan adanya paparan alergen yang cukup sehingga dapat terjadi kondisi yang dapat dipacu peningkatan sitokinnya oleh paparan asap rokok yang mengandung akrolein dan pada akhirnya akan meningkatkan gejala atau SGT
SARAN 1.
Dari hasil analisis semua data hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: Tidak terbukti adanya pengaruh akrolein dalam asap rokok terhadap SGT penderita RAP sedang-berat di Pekanbaru, kecuali pada subjek yang terpapar asap rokok setiap hari.
E. SIMPULAN DAN SARAN
Faktor-faktor seperti jenis kelamin, paparan alergen dan riwayat atopi keluarga ternyata tidak memberikan perbedaan SGT yang bermakna, tetapi paparan asap rokok yang dialami sehari-hari ternyata memberikan pengaruh yang bermakna p = 0,002 yaitu 15,75 yang dipapar dan 13,49 yang tidak dipaparkan.
Hipotesis yang menyatakan bahwa SGT dari penderita RAP yang dipaparkan asap rokok lebih tinggi dari yang tidak dipapar asap rokok secara statistik menurut uji Mann-Whitney tidak bermakna p = 0,455, meskipun rerata didapatkan SGT yang dipaparkan asap rokok lebih tinggi ( 14,34 > 14,03).
Berdasarkan sumber akrolein selain asap rokok (SS) seperti proses penggorengan di rumah, asap kendaraan bermotor serta yang terbanyak dari asap kebakaran hutan di Riau, maka jumlah konsentrasi akrolein yang cukup besar telah terpapar pada setiap kasus baik perlakuan dan kontrol sebelum penelitian dilakukan. Paparan akrolein yang besar ini tentunya mempengaruhi proses dalam sel (melalui NFκB), sehingga hal ini dapat dianggap sebagai bias yang tidak diperhitungkan sebelumnya oleh peneliti.Perubahan Skor Gejala Total (SGT)
IN, 1975 menyimpulkan konsentrasi akrolein dalam asap karena terbakarnya kayu adalah sebesar 50 ppm atau 115 mg/m3 (1mg = 1000ug). Dari asap yang dihasilkan 1 batang rokok hanya dihasilkan akrolein sebanyak 100-1700 ug/m3 (dalam SS), atau dengan perkataan lain akrolein dalam asap kebakaran hutan dapat mencapai 30
Kebakaran hutan yang terjadi di Riau adalah kebakaran gambut (“Peat Fire Smoke”). Berdasarkan penelitian Itkonen & Jantunen 1983, seperti dikutip Hinwood, AL 2005, kebakaran hutan gambut menghasilkan beberapa jenis gas seperti karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida, aldehida (akrolein), dan polisiklik aromatik hidrokarbon.(Hinwood AL, 2005)
Berdasarkan laporan dari California Air Resources Board Emergency Response Team December 2003, yang meneliti asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan Wildland di California selatan pada bulan Oktober 2003, konsentrasi akrolein berkisar antara 1 sampai 10 ppm (1 ppm = 2,29 mg/m
IV, no.2 tahun 2013 jumlah hotspot/titik api mengalami peningkatan pada Agustus sampai dengan Oktober 2013.
Pada saat penelitian yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru (Agustus 2013 sampai dengan September 2013) terjadi kebakaran di hutan sekitar Pekanbaru. Menurut Riau Pos 27 Agustus 2013, di Riau jumlah titik api/hotspot berdasarkan pantauan satelit NOAA- 18 dijumpai 264 titik. Berdasarkan laporan dari majalah GEMA BNPD vol
di dekat api tetapi semakin kecil konsentrasinya di daerah pemukiman yaitu 0,5 sampai 0,8 ppb. (CICAD 43)
3
sampai 22,9 mg/m
3
) atau antara 2,29 mg/m
3
konsentrasi akrolein yang dikandungnya jauh lebih tinggi dari yang dikandung asap rokok
Allergy ; 55:116-134.
Mobile-Source Air Toxics : A Critical Review of the Literature on Exposure and Health Effects. HEI special Report
Environmental tobacco smoke and adult asthma. In : Watson RR, Witton M, ed. Environmental Tobacco Smoke. 1 st ed. Florida : CRC Press LLC;p.81-10 HEI Air toxics Review Panel, 2007.
toxicological aspects of smoke produced during the combustion of polymeric materials. Environ Health Perspec; 11:163-89 Eisner MD, Blanc PD 2000.
Clin Immunol ;118:441-6 Einhorn IN, 1975. Physiological and
tobacco smoke exacerbates allergic airway disease in human beings. J All
Diaz-Sanchez D, Rumold R, Gong H 2006. Challenge with environmental
Watching brief, east asia and the pacific region. May, 6: 1-9
Allergol Clin Immunol ; 19 (1) 25-31 De Beyer J, Yurekli AA 2000. Curbing the tobacco epidemic in Indonesia.
aspects of Allergic Rhinitis. J Investig
Davila I, Mullol J, Ferrer M, Bartra J, del Cuvillo A, Montoro J, Jaurergui I, Sastre J, Valero A 2009. Genetic
Acrolein, World Health Organization, Geneva, 2002
Concise International Chemical Assessment Document (CICAD) 43,
and immune functions. In : Watson RR, Witton M, ed. Environmental Tobacco Smoke. 1 st ed. Florida : CRC Press LLC;.p.289-99
Castellazzi AM 2000. Passive smoking
Position Paper; Concensus statement on the treatment of allergic rhinitis.
DAFTAR PUSTAKA Abbas AK, Lichtman AH, Pillai A 2007.
G, Bousquet J, Canonica W, Durham Sl 2000.
C, Passalacqua
Cauwenberge P, Bachert
severity. J. Allergy Clin Immunol ; 108: S 208-20
2001. Diagnosis and assessment of
Allergy Immunol ;17:278-28 Bousquet and ARIA Workshop Group
rhinitis in early infancy. Pediatr
Biagini. JM,LeMaster GK, Ryan PH et al 2006. Environmental risk factors of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery Cumming CW Mosby
Alebuff DJ1992. Allergic rhinitis. In:
The relevance and prospects of advancing tobacco control in Indonesia. Health Pol 72, 333-49
Achadi A, Soerojo W, Barber S 2004.
6 th ed. Elsevier. Philadelphia.
Cellular and Molecular Immunology .
16. Health Effects Institute, Boston, MA.
Parameter Keberhasilan Pengobatan Rintis Alergi. Otolaryngologica
2011. Overview on the pathomechanisms of allergic rhinitis.
Indonesia : XXXII(3); 33-40 Mang Y, Zheng X, Peake J, Joad JP,
Pinkerton KE 2008. Perinatal
environmental tobacco smoke exposure alters the immune response and airway innervations in infant primates. J All Clin Immunol ;122:640.
Mullol J, Bachert C, Bousquet J 2005.
Management of persistent allergic rhinitis: evidence-based treatment with levocetirizine. Therapeutics and
Clinical Risk Management . ; 1 (4) 265-
71 Pawankar R, Mori S, Ozu C, Kimura S
Asia Pac Allergy ; 1: 157-67 Quyang Y, Virasch N, Hao P,Aubrey MT, Mukerjee N, Blerer BE, Freed
Madiadipoera T, Surachman S, Sumarman I, Boesoerie TS 2002.
BM 2000. Supression of human IL-
1β,
IL-2, IFN- γ, and TNF-α production by cigarette smoke extracts. J All Clin
Immunol
;106:280-7 Rando RJ, Simlote P, Salvaggio JE.
Lehrer SB 1997. Environmental
A, Freed BM 2005. Acrolein in
tobacco smoke : Measurement and health effects of involuntary smoking. In : Bardana ED, Montanaro A ed. Indoor Air Polution and Health Clinical Allergy and Immunology.9 th ed. Portland : Informa Healthcare; p.61-8
Acrolein, a Toxicant in Cigarette Smoke, Causes Oxidative Damage and Mitochondrial Dysfunction in RPE Cells : Protection by (R)
Hinwood AL, Rodriguez CM 2005.
mediated Hypersensitivity on Masal Mucociliary Clearance. Arch
Potential health impacts associated with peat smoke : a review. Journal of the Royal Society of Western Australia, 88 :133-8 Janeway CA 2008.
Janeway’s Immuno Biology . 7 th ed. Garland Publishing.
New York-USA
JiaLH, LiuZB, SunLJ, MillerSS, AmesBN, CotmanCW, LiuJK 2007.
Acrolein, a Toxicant in Cigarette Smoke, Causes Oxidative Damage and Mitochondrial Dysfunction in RPE Cells : Protection by (R)-
α-Lipoic acid. Invest Ophthalmol Vis Sci. 48(1) 339-48
Kirtsreesakul V, Somjareonwattana P, Ruttanaphol S 2010. Impact of IgE-
Otolaryngol Head Neck Surg . 136 (8)
Sheldon S. Miller, Bruce N. Ames, Carl W. Cotman, Jiakang Liu.
801-6
Koppelman GH 2007. Gene-environment
interaction in allergic disease : More questions, more answer. J All Clin
Immunol
;120:1266-8
Lambert C, McCue J, Portas M, Quyang Y, Li JM, Rosano TG, Lazis
cigarette smoke inhibits T-cell responses. J Clin Immunol ; 116 :916-
22 Lihong Jia, Zhongbo Liu, Lijuan Sun,
Suprihati 2005. The Prevelence of
Allergic rhinitis and its relation to some risk factors among 13-14 year old students in semarang, Indonesia
Otolaryngologica Indonesiana :
XXXV(2); 37-70
US Environmental Protection Agency (US EPA) 2003. Toxicological review
of Acrolein. (CAS No. 107-02-8), EPA/635/R-03/003.
Volcheck GW 2009. Clinical Allergy Diagnosis and Management.
Rochester MN : Humana press; .p 1-
39 Wang DY 2005. Risk factors of allergic rhinitis : genetic or environmental.
Therapeutics and clinical risk management . 1(2) 115-23
Witschi H, Joad JP, Pinkerton KE 1997. The toxicology of environmental tobacco smoke.
Annual Review of Pharmacology and Toxicology 37:29-52.
Lampiran 1
Penilaian Skor Gejala Total (SGT) 1. 0 1 2 3
Bersin 2. 0 1 2 3
Ingus meleleh (rinore) 3. 0 1 2 3
Rasa gatal pada hidung, langit- Langit dan atau tenggorok
4. 0 1 2 3 Mata gatal, berair dan merah
5. 0 1 2 3 Hidung buntu / tersumbat
Keterangan 0 = tidak ada (gejala tidak ditemukan) 1 = ringan (gejala ada tetapi tidak mengganggu / dapat diabaikan) 2 = sedang (gejala kadang mengganggu tetapi tidak menggangu tidur, aktifitas sehari-hari, dan/ atau kerja/sekolah) 3 = berat (gejala menggangu sama atau lebih dari 1 gejala yang ada pada 2)
Lampiran 2
Gambar “Smoking Machine”