EKONOMI SYARIAH KONSEP HARTA DAN KEPEM

EKONOMI SYARIAH
“KONSEP HARTA DAN KEPEMILIKAN DALAM ISLAM”

MAKALAH
diajukan untuk melengkapi tugas Matakuliah Ekonomi Syariah
di Program Studi/Jurusan Manajemen

Oleh
Ronny Ferdika

120810201143

Wahyu Erna Hidayati

120810201295

Catur Firman Nurhuda

120810201296

Noviana Fazrin


120810201312

Nailin Nikmatul Maulidiyah

120810201348

S1 MANAJEMEN / KELAS MGT – D
KELOMPOK 2

PROGRAM STUDI/JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
SEPTEMBER 2014
PRAKATA
Studi Kelayakan
Bisnis

Puji dan rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. serta tidak lupa kepada
junjungan besar Nabi Muhammad SAW, karena atas hidayah-Nya akhirnya penulis dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul “EKONOMI SYARIAH KONSEP HARTA DAN
KEPEMILIKAN DALAM ISLAM”
Pada kesempatan ini juga, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian makalah
ini, terutama kepada:
1. Dr. Deasy Wulandari, S.E, M.Si. selaku dosen pengampu Matakuliah Ekonomi Syariah;
2. orang tua yang selalu memberikan dukungan moral kepada penulis;
3. semua teman-teman di kampus yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, yang telah
banyak memberikan dorongan dan semangatnya, sekali lagi terima kasih untuk semuanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu masih sarat dengan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca yang budiman demi perbaikan makalah ini ke depannya.
Akhir kata semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jember, 28 September 2014

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Studi Kelayakan

Bisnis

Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………............................................

i

KATA PENGANTAR………………………………………….……….............................

ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………….............................

iii

BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………............................………

1

1.1 LATAR BELAKANG………………………………………...............................


1

1.2 RUMUSAN MASALAH……………………………………..............................

2

1.3 TUJUAN………………………………………………………............................

2

1.4 MANFAAT…………………………………………………................................

2

BAB 2 PEMBAHASAN.......................................................................................................

3

2.1 PENGERTIAN KEPEMILIKAN………………………………………………..


3

2.2 JENIS-JENIS KEPEMILIKAN…………………………………………………

4

2.3 SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KEPEMILIKAN DALAM ISLAM……….…

4

2.4 CARA KEPEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM (AL-MILKIYAH)………..

6

2.5 CARA PENGELOLAAN KEPEMILIKAN
(AT-TASHARRUF FI AL MILKIYAH)……………………………………….....

9


2.6 CARA PEMBAGIAN HARTA DALAM ISLAM……………………………

10

2.7 MAQASHID SYARIAH DALAM KEPEMILIKAN HARTA……………..…

15

2.8 KEDUDUKAN HARTA DALAM ISLAM.......................................................

16

BAB 3 PENUTUP........................ ....................................................................................... 18
3.1

SIMPULAN...........................................................................................................

18
3.2 SARAN.................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 19


iii
Studi Kelayakan
Bisnis

Studi Kelayakan
Bisnis

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ekonomi

Islam

yang

merupakan

rahmatan


lil

alamin,

kembali

bangkit

menorehkan Blue Print-nya. Keberadaannya sangat penting untuk memenuhi tuntutan
masyarakat akan kegagalan ekonomi konvensional. Bahkan, ekonomi Islam memiliki prinsip
dan karakteristik yang berbeda dengan sistem sekuler yang menguasai dunia saat ini.
Sebenarnya, ekonomi Islam adalah bagian dari sistem Islam yang bersifat umum yang
berlandaskan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil (tawadzun). Islam,
menyeimbangkan

kehidupan

antara


dunia

dan

akhirat,

antara

individu

dan

masyarakat. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita
dan fakta merupakan keseimbangan yang ada dalam individu. Sedangkan dalam bidang
ekonomi, islam menyeimbangkan antara modal dan aktivitas, antara produksi dan konsumsi,
dan sebagainya.
Adapun nilai pertengahan dan keseimbangan yang terpenting, yang merupakan karya
Islam dalam bidang ekonomi selain masalah harta adalahHak Kepemilikan (Ownership
Rights). Dalam memandang hak milik ini islam sangat moderat. Dan sangat bertolak
belakang dengan sistem kapitalis yang menyewakan hak milik pribadi, sistem sosialis yang

tidak mengakui hak milik individu1.
Meskipun demikian, Masalah hak milik merupakan sebuah kata yang amat peka, dan
bukan sesuatu yang amat khusus bagi seorang manusia. Oleh karena itu, Islam sangat
mengakui adanya kepemilkan pribadi disamping kepemilikan umum. Dan menjadikan hak
milik pribadi sebagai dasar bangunan ekonomi. Dan Itu pun akan terwujud apabila ia
berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT, misalnya adalah memperoleh harta dengan jalan
yang halal. Islam melarang keras kepemilikan atas harta yang digunakan untuk membuat
kezaliman atau kerusakan di muka bumi.
Karena begitu pentingnya aspek kepemilikan dalam bidang ekonomi, maka dalam
makalah ini saya mencoba membahas dan memaparkan tentang “Kepemilikan dan sebabsebabnya” sesuai dengan urgensinya.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1 http://eki-blogger.blogspot.com/2012/09/kepemilikan-dalam-islam.html [diakses pada 26 September 2014]

Studi Kelayakan
Bisnis

Adapun rumusan masalah yang diangkat oleh penulis disini adalah sebagai berikut.
1. Apakah pengertian dari kepemilikan dalam Islam?
2. Apa sajakah jenis-jenis kepemilikan dalam Islam?

3. Apakah sebab-sebab timbulnya kepemilikan dalam Islam?
4. Bagaimanakah cara kepemilikan harta dalam Islam (al-milkiyah)?
5. Bagaimanakah cara pengelolaan kepemilikan dalam Islam itu (at-tasharruf fi al milkiyah)?
6. Bagaimanakah proses pembagian harta dalam Islam itu?
7. Apakah maqashid syariah dalam kepemilikan harta itu?
8. Bagaimanakah kedudukan harta dalam Islam?
1.3 TUJUAN
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui pengertian dari kepemilikan dalam Islam;
2. Mengetahui jenis-jenis kepemilikan dalam Islam;
3. Mengetahui sebab-sebab timbulnya kepemilikan dalam Islam;
4. Mengerti akan cara kepemilikan harta dalam Islam (al-milkiyah);
5. Mengerti akan cara pengelolaan kepemilikan dalam Islam itu (at-tasharruf fi al milkiyah);
6. Mengetahui tentang proses pembagian harta dalam Islam itu;
7. Mengetahui akan maqashid syariah dalam kepemilikan harta;
8. Mengetahui kedudukan harta dalam Islam.
1.4 MANFAAT
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Memperluas wawasan masyarakat tentang seluk beluk Ekonomi Syariah (Islam)
khususnya dalam hal kepemilikan dan harta dalam Islam;
2. Mengajak masyarakat agar mengerti dan tidak simpang siur akan kepemilikan dan
pembagian harta dalam Islam;
3. Memberikan gambaran konsep tentang Ekonomi Syariah (Islam) guna sebagai acuan
referensi.

BAB 2
Studi Kelayakan
Bisnis

PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KEPEMILIKAN
Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT2:
 “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka
Allah mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).
 Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas sesuatu dan
kewenangan

untuk

menggunakannya/memanfaatkannya

sesuai

dengan

keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali
dengan alasan syariah”.
 Ibnu Taimiyah mendefinisikan sebagai “sebuah kekuatan yang didasari atas syariat
untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan
tingkatannya. “ Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik
benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan,
mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali
tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.
"Kepemilikan" berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya
memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang
atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
“MILIK" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang
lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk
memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya3.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang
mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka
terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya.
Yaitu, yang memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya
sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i.
2

3

Rivai, Veitzhal dan Andi Buchari. 2009. Islamic Economics “Ekonomi Syariah bukan Opsi. Tapi
SOLUSI!”. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 366
http://dinilidari.blogspot.com/2011/10/-kepemilikan-dalam-islam.html [diakses pada 26 September
2014]

Studi Kelayakan
Bisnis

Hambatan Syar’i Kepemilikan:
1. gila / sakit ingatan/ hilang akal;
2. masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang (belum balig).
2.2 JENIS-JENIS KEPEMILIKAN
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua, yaitu:
1. Kepemilikan sempurna (tamm): Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan
seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus.
2. Kepemilikan kurang (naaqis): Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya
memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja.
Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam
kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan
susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kedua-dua jenis kepemilikan
ini akan memiliki konsekuensi syara’ yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah
seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.
2.3 SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat
macam yaitu:
1. Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan;
2. Akad;
3. Penggantian;
4. Turunan dari sesuatu yang dimiliki.
Kepemilikan yang sah menurut Islam adalah kepemilikan yang terlahir dari proses
yang disahkan Islam dan menurut pandangan Fiqh Islam terjadi karena:
1. Menjaga hak Umum;
2. Transaksi Pemindahan Hak;
3. Penggantian Posisi Pemilikan.
Menurut Taqyudin an-Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan seseorang
atas suatu barang dapat diperoleh melalui suatu lima sebab, yaitu:
1. Bekerja;
2. Warisan;
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup;
4. Harta pemberian Negara yang diberikan kepada rakyat;
Studi Kelayakan
Bisnis

5. Harta yang diperoleh seseorang tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan. Yang dimaksud dengan
barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau
kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki
seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan
di sungai dan di laut.
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut4:
a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu
barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya;
b) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti
dalam akad.
Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di
bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar’i yaitu:
 Belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk
memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Siapa yang lebih
dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka
barang itu miliknya.”
 Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk
memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini
mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada
niat yang dikandungnya.
Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat
macam yaitu:
a) Kepemilikan karena menghidupkan tanah mati;
b) Kepemilikan karena berburu atau memancing;
c) Rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang
tidak ada pemiliknya;
d) Kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama
antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang
tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada
pada negara karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh
4

http://dinilidari.blogspot.com/2011/10/-kepemilikan-dalam-islam.html [diakses pada 26 September
2014]

Studi Kelayakan
Bisnis

seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif
dari kepemilikan atas tanah.
2.4 CARA KEPEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM (AL-MILKIYAH)
Sistem Ekonomi Islam berbeda sama sekali dengan sistem ekonomi kufur buatan
manusia. Sistem ekonomi Islam adalah sempurna karena berasal dari wahyu, dan dari segi
kepemilikan, ia menerangkan kepada kita bahwa terdapat tiga jenis kepemilikan, yaitu5:
1) Hak Milik Umum, meliputi mineral-mineral dalam bentuk padat, cair dan gas
termasuk petroleum, besi, tembaga, emas dan sebagainya yang didapati sama ada di
dalam perut bumi atau di atasnya, termasuk juga segala bentuk tenaga dan intensif
tenaga serta industri-industri berat. Semua ini merupakan hak milik umum dan wajib
diuruskan (dikelola) oleh Daulah Islamiyah (negara) manakala manfaatnya wajib
dikembalikan kepada rakyat.
Tipe pertama dari hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif).
Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan tidak terdapat
pada masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki makna yang
sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan dimasud oleh sistem
kapitalis, sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe ini memiliki bentuk yang berbeda
beda.
Misalnya: semua harta milik masyarakat yang memberikan pemilikan atau
pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berbeda-beda kepada warganya.
Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di
bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada individu.
Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik individu
secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum.

Contoh lain, tentang pemilikan

harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.
2) Hak Milik Negara, meliputi segala bentuk bayaran yang dipungut oleh negara secara
syar’ie dari warganegara, bersama dengan perolehan dari pertanian, perdagangan dan
aktivitas industri, di luar dari lingkungan pemilikan umum di atas. Negara
membelanjakan perolehan tersebut untuk kemaslahatan negara dan rakyat.
Tipe kedua dari kepemilikan adalah hak milik oleh negara.

Negara

membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber penghasilan dan
5 Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga. Hal. 42

Studi Kelayakan
Bisnis

kekuasaan

untuk

melaksanakan

kewajiban-kewajibannya.

Misal,

untuk

menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral dan tatanan
masyarakat yang terjamin kesejahteraannya. Menurut Ibn taimiyah, sumber utama
kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu,
negara juga meningkatkan sumber pengahsilan dengan mengenakan pajak kepada
warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula,
berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan
denda termasuk sumber kekayaan negara.
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala negara
hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban negara untuk
mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh karena itu, sangat dilarang
penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban
negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi
masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi jurang
pemisah dalam hal distribusi pendapatan.
3) Hak Milik Individu, selain dari kedua jenis pemilikan di atas, harta-harta lain boleh
dimiliki oleh individu secara syar’i dan setiap individu itu perlu membelanjakannya
secara syar’i juga. Proses kepemilikan harus didapatkan melalui cara yang sah
menurut agama Islam.
 Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama
harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut agama islam. Dan Islam tidak
melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram.
Sehingga Imam Al-Ghazali membagi menjadi 6 jenis harta yang dilindungi oleh
Islam (sah menurut agama islam)6:
a. Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal: barang tambang,
menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air
sungai, dll.
b. Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misal: harta
rampasan.
c. Diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan kewajiban,
misal: zakat.
6

http://ricky-diah.blogspot.com/2011/09/-kepemilikan-dan-sebab-sebabnya.html [diakses pada 26
September 2014]

Studi Kelayakan
Bisnis

d. Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misal: jual beli dan ikatan
perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syariat.
e. Diambil tanpa diminta, misal: harta warisan setelah dilunasi hutang-hutangnya.
 Penggunaan benda-benda milik pribadi tidak boleh berdampak negatif/ mudharat
pada orang lain, tapi memperhatikan masalah umat. Islam membenarkan hak milik
pribadi, karena islam memelihara keseimbangan antara pemuasan beragam watak
manusia dan kebaikan umum dimasyarakat. Dalam hubungan ini, ada syarat yang
harus dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu dalam mengakui keberadaan
hak milik pribadi yaitu memperhatikan masalah umat.
Islam

mendorong

pemilik

harta

untuk

menyerahkan

kelebihan

kekayaannya kepada masyarakat/umat setelah mememnuhi kepuasan untuk diri
sendiri dan keluarga (zakat). Tetapi, membatasi hak untuk menggunakan harta itu
menurut kesukaannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk perlindungan kebaikan
umum dan agar hak milik pribadi tidak memberikan dampak negatif pada orang
lain. Inilah paham islam yang moderat dalam mengakui hak pribadi. Ia
mengambil sikap moderat antara mereka yang mendewakan hak miik dan mereka
yang secara mutlak menafikan hak milik.
 Dalam penggunaan hak milik pribadi untuk kepentingan pribadi dibatasi oleh
ketentuan syariat. Setiap individu memiiki kebebasan untuk menikmati hak
miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya, melindunginya
dari penyia-nyiaan harta. Tetapi, haknya itu dibatasi oleh sejumlah limitasi
tertentu yang sesuai syariat, tentunya. Ia tidak boleh menggunakannya semenamena, juga tak boleh menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam
bertransaksi pun tidak boleh melakukan cara-cara yang terlarang.
Karena manusia hanya sebagai pemegang amanah, maka sudah selayaknya
ia harus sanggup menerima batasan-batasan yang dibebankan oleh masyarakat
terhadap penggunaan harta benda tersebut. Batasan tersebut semata-mata untuk
mencegah kecenderungan sebagian pemilik harta benda yang bertindak sewenangwenang (ekspolitasi) dalam masyarakat. Pemilik harta yang baik adalah yang
bertenggang rasa dalam menikmati hak mereka denganbebas tanpa dibatasi dan
dipengaruhi oleh kecenderungan diatas sehingga dapat mencapai keadilan sosial
di dalam masyarakat.
Studi Kelayakan
Bisnis

2.5 CARA PENGELOLAAN KEPEMILIKAN (AT-TASHARRUF FI AL MILKIYAH)
Secara dasarnya, pengelolaan kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki
mencakup dua kegiatan, yaitu7:
a) Pembelanjaan Harta (Infaqul Mal)
Pembelanjaan harta (Infaqul Mal) adalah pemberian harta kekayaan yang
telah dimiliki. Dalam pembelanjaan harta milik individu yang ada, Islam
memberikan tuntunan bahawa harta tersebut haruslah dimanfaatkan untuk
nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infaq fi sabilillah, membayar zakat, dan
lain-lain. Kemudian nafkah sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru
kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah (harus). Dan hendaknya harta
tersebut tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli
barang-barang yang haram seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
b) Pengembangan Harta (Tanmiyatul Mal)
Pengembangan harta (Tanmiyatul Mal) adalah kegiatan memperbanyak
jumlah harta yang telah dimiliki. Seorang muslim yang ingin mengembangkan
harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan
pengembangan harta. Secara umum Islam telah memberikan tuntunan
pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama
syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan.
Selain Islam juga melarang pengembangan harta yang terlarang seperti dengan
jalan aktivitas riba, judi, serta aktivitas terlarang lainnya.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum itu adalah
hak negara (Daulah Islamiyah), kerana negara (Daulah Islamiyah) adalah wakil ummat.
Meskipun menyerahkan kepada negara (Daulah Islamiyah) untuk mengelolanya, namun
Allah SWT telah melarang negara (Daulah Islamiyah) untuk mengelola kepemilikan umum
tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara
mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada
hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara
(Daulah Islamiyah) dan kepemilikan individu, nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal
serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As Syari' juga
7 Rivai, Veitzhal dan Andi Buchari. Op.Cit., hal. 367

Studi Kelayakan
Bisnis

telah memperbolehkan negara (Daulah Islamiyah) dan individu untuk mengelola masingmasing kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau diberikan untuk orang
tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah
dijelaskan oleh syara’.
2.6 CARA PEMBAGIAN HARTA DALAM ISLAM8
1) Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim
Menurut Wahbah Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal al mutaqawwim adalah harta yang
dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara' untuk
memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian, kebun apel, dan lainnya. al-maal gairu al
mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya
harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti
mutiara di dasar laut, minyak di perut bumi, dan lainnya. Atau harta tersebut tidak
diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman
keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali
dalam keadaan darurat.
Namun

demikian,

yang

diperbolehkan

adalah

kadar

minimal

yang

bisa

menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan. Bagi non-muslim, minuman keras dan babi
adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika
terdapat seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka
berkewajiban untuk menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk
dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan
alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal
kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi
non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Dengan

adanya

pembagian

harta

menjadi mutaqawwim dan ghair

mutaqawwim terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan:
 Sah atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi. Al-maal al
mutaqawwim bisa dijadikan obyek transaksi, dan transaksi yang dilakukan sah
adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah, syirkah, dan lainnya.
Untuk ghair mutaqawwim, tidak bisa dijadikan obyek transaksi, maka
8

http://amrianidris.blogspot.com/2014/06/konsep-harta-dan-kepemilikan-dalam-islam.html
pada 27 September 2014

[diakses

Studi Kelayakan
Bisnis

transaksinya rusak atau batal adanya. Al-maal al mutaqawwim sebagai obyek
transaksi, merupakan syarat sahnya sebuah transaksi.
 Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadi kerusakan. Jika
hartamutaqawwim dirusak, maka harus diganti. Jika terdapat padanannya, maka
harus dganti semisalnya, namun tidak bisa diganti sesuai dengan nilainya.
 Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak ada
kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang hidup dalam
daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau minuman kerasnya
dibakar,

maka

ada

kewajiban

untuk

menggantinya,

karena

keduanya

merupakan al-maal al mutaqawwim bagi kehidupan mereka, ini merupakan
pandangan ulama fiqh Hanafiyah.
2) 'Iqar dan Manqul
Menurut Hanafiyah (1989.IV, hal.46), manqul adalah harta yang memungkinkan
untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik bentuk fisiknya (dzat
atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan tersebut. Diantaranya adalah uang,
harta perdagangan, hewan, atau apa pun komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat
lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang
terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau
bersatu dengan tanahnya. Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan
bangunan tersebut merupakan harta 'iqar.
Namun, jika bangunan atau tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka
bangunan tersebut bukan merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya
terfokus pada tanah, sedangkan manqul adalah harta selain tanah. Berbeda dengan Hanafiyah,
ulama madzhab Malikiyah cenderung memper sempit makna harta manqul, dan memperluas
makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan
atau ditransfer dari satu tempat ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik
semula, seperti kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya.
Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara asal tidak mungkin bisa dipindah atau
ditransfer. seperti tanah, atau mungkin dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas
bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.

Studi Kelayakan
Bisnis

Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah menjadi harta 'iqar, dan begitu
juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan harta manqul, akan tetapi setelah
melekat pada bangunan, maka akan berubah menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu
bara, minyak bumi, emas, ataupun barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar,
akan tetapi setelah berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul.
Dengan

adanya

pembagian

harta

menjadi 'iqar dan manqul, akan

terdapat

beberapa implikasi hokum sebagai berikut:
Dalam harta 'iqar terdapat hak syuf'ah, sedangkan harta manqul tidak terdapat di
dalamnya, kecuali hartamanqul tersebut menempel pada harta 'iqar.
Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di -waqaf-kan adalah
harta 'iqar. Harta manqul diperbolehkan jika menempel atau ikut terhadap harta
'iqar, seperti me-waqaf-kan tanah beserta bangunan, perabotan, dan segala sesuatu
yang terdapat di atasnya. Atau harta manqul yang secara umum sudah menjadi
obyek waqaf, seperrti mushaf, kitab-kitab, atau peralatan jenazah. Berbeda
dengam jumhur ulama, menurut mereka. kedua macam harta tersebut dapat
dijadikan sebagai obyek waqaf.
Seorang wali tidak boleh menjual harta 'iqar atas orang yang berada dalam
tanggungannya, kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara', seperti untuk
membayar hutang, memenuhi kebutuhan darurat, atau kemaslahatan lain yang
bersifat urgen. Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih diproritaskan untuk
dijual, karena harta 'iqar diyakini memiliki kemaslahatan lebih besar bagi
pemilikinya, jadi tidak mudah untuk menjualnya.
Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta ;iqar boleh ditransaksikan, walaupun
belum

diserahterimakan.

Berbeda

dengan

harta manqul,

ia

tidak

bisa

ditransaksikan sebelum ada serah-terima, karena kemungkinan terjadinya
kerusakan sangat besar.
3) Mitsli dan Qilmi
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran, tanpa adaya
perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya. Harta mitsli dapat
dikatagorikan menjadi empat bagian:


Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandu, terigu, beras.

Studi Kelayakan
Bisnis

Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi, tembaga.



 Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga
dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru,
perabotan rumah, dan lainnya.
 Al dzira'iyat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagianbagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian),
maka dikatagorikan sebagai harta qimi, seperti tanah;
 Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran, atau
terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti domba,
tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari fisiknya, akan tetapi
stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Juga
termasuk dalam harta qimiadalah durian, semangka yang memilki kualitas dan
bentuk fisik yang berbeda.
Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi atau sebaliknya;
 Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi kelangkaan atau
scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi;
 Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang berbeda,
seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi harta qimi;
 Jika harta qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara otomatis
menjadi harta mitsli.
Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi hukum sebagai
berikut:
 Harta mitsli bisa

menjadi tsaman (harga)

dalam

jual-beli

hanya

dengan

menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisa menjadi tsman.
Jika harta qimi dikaitkan dengan hak-hak finansial, maka harus disebutkan secara
detail, karena hal itu akan mempengaruhi nilai yang dicerminkannya, seperti
domba Australia, tentunya akan berbeda nilainya dengan domba Indonesia,
walaupun mungkin jenis dan sifatnya sama.
 Jika harta mitsli dirusak oleh orang, maka wajib diganti dengan padanannya yang
mendekati nilai ekonomisnya (finansial), atau sama.

Studi Kelayakan
Bisnis

 Tapi jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai dengan keinginanya,
walaupun tanpa izin dari pihak lain. Berbeda dengan harta qimi walaupun
mungkin jenisnya sama, tapi nilainya bisa berbeda, dengan demikian pengambilan
harus atas izin orang-orang yang berserikat.
 Harta mitsli rentan dengan riba fadl. Jika terjadi pertukara diantara harta mitsli,
dan tidak terdaat persamaan dalam kualitas, kuantitas, dankadarnya, maka akan
terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan harta qimiyang relatif resisten terhadap
riba. Jika dipertukarkan dan terdapatperbedaan, maka tidak ada masalah.
Diperbolehkan menjual satu domba dengan dua domba.
4) Istikhlaki dan Isti'mali
Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali
dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman,
kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan makanan dan minuman,
maka kita harus memakan dan meminumnya sampai bentuk fisiknya tidak kita jumpai,
artinya barang tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, kecuali dengan merusaknya.
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakanya. Ketika
uang tersebut keluar dari saku dan genggaman sang pemilik, maka uang tersebut dinyatakan
hilang dan hangus, karena sudah menjadi milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik,
bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa
dikonsumsi sekali saja.
Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus
merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan
lainnya. Berbeda dengan istikhlaki, harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk
beberapa kali.
Harta istikhlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan konsumsi, tidak bisa misalnya kita
meminjamkan dan atau menyewakan makanan. Sebaliknya, harta isti'mali bisa digunakan
sebagai obyek iijarah (sewa). Namun demikian kedua harta tersebut bisa dijadikan
sebagaiobyek jual beli atau titipan.
Disamping itu, Mustafa A. Zarqa juga membagi harta menjadi maal al ashl dan maal
al tsamarah. Yang dimaksud dengan maal al ashl adalah harta benda yang dapat menghasilkan
harta lain. Sedangkan harta maal al tsamarahadalah harta benda yang tumbuh atau dihasilkan

Studi Kelayakan
Bisnis

dari maal al ashl tanpa menyebabkan kerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya sebidang
kebun menghasilkan buah-buahan.
Maka, kebun merupakan maal al ashl, sedang buah-buahan merupakan maal al
tsamarah (Zarqa,III,HAL.217-218).

Pembagian

harta

ini

menimbulkan

beberapa

konsekuensi Implikasi hukum sebagai berikut:
 Pada prinsipnya, harta wakaf tidk dapat dimiliki atau ditasharrufkan menjadi milik
peorangan, namun hal serupa dapat dilakukan terhadap hasil harta wakaf.
 Harta yang dipruntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum, seerti jalan dan
pasar,pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh erseorangan. Sedangkan
penghasilan dari harta umum ini dapat dimiliki (Mas'adi,2002, hal.27-28)
2.7 MAQASHID SYARIAH DALAM KEPEMILIKAN HARTA
Memelihara harta atau kepemilikan harta secara individu, umum dan kepemilikan
Negara merupakan salah satu dari lima unsur kemaslahatan dalam maqashid syariah (tujuan
syariah). Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat9:
1. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara
pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak
sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
2. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli
dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam
eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
3. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang
menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan
etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruhi kepada sah
tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat
adanya peringkat yang kedua dan pertama.
4. Hak milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat Islam
yaitu dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang
lain dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba. Menggunakannya pun harus
sesuai dengan syariat Islam, tidak digunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh
9

http://amrianidris.blogspot.com/2014/06/konsep-harta-dan-kepemilikan-dalam-islam.html
pada 27 September 2014

[diakses

Studi Kelayakan
Bisnis

agama dan tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat mubazir atau pemborosan.
Selain itu, harus mengeluarkan zakat dan infaq guna membersihkan harta sesuai
dengan harta yang dimiliki.
5. Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda-benda ini secara umum
(air, rumput dan api) yang merupakan sumber daya alam manusia yang tidak dapat
dimiliki perorangan kecuali dalam keadaan tertentu, maka cara menjaganya harus
dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena. Misalnya, air sungai
dijaga kejernihanya dengan cara tidak membuang sampah atau limbah ke sungai.
Hutan dijaga kelestarian tumbuhannya, tidak boleh ada penebangan liar.
6. Hak milik Negara, pada dasarnya kekayaan Negara merupakan kekayaan umum,
namun pemerintah diamanahkan untuk mengelolanya dengan baik. Dengan begitu
suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara menjaga dan
mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara jangan sampai
diambil alih oleh Negara lain dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan
pribadi (korupsi). Dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum juga, seperti
penyelenggaraan pendidikan, regenerasi moral, membangun sarana dan prasarana
umum, dan menyejahterakan masyarakat.
2.8 KEDUDUKAN HARTA DALAM ISLAM10
1. Harta Sebagai Amanah Dari Allah SWT
Harta merupakan amanah bagi manusia, karena manusia tidak mampu mengadakan
sesuatu benda dari tiada menjadi ada. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Albert Einstein
(seorang ahli Ilmu Fisika), manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia
lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Jadi pencipta awal
segala energi adalah Allah SWT.
2. Harta Sebagai Perhiasan Hidup Manusia
Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan
menikmati harta, namun demikian manusia harus sadar bahwa harta yang dimilikinya
hanyalah merupakan perhiasan selama ia hidup di dunia. Sebagai perhiasan hidup, harta
seringkali menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri sebagaimana yang
diungkapkan dalam Surah Al ‘Alaq ayat 6-7.
10

http://digopriyanto6.blogspot.com/2013/07/seperti-apakah-pandangan-islam-mengenai.html [diakses
pada 27 September 2014]

Studi Kelayakan
Bisnis

3. Harta Sebagai Ujian Keimanan
Dalam memperoleh dan memanfaatka harta, harus kita perhatikan apakah telah sesuai
atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Surah An Anfaal ayat 28 dikemukakan bahwa
sesungguhnya harta dan anak-anak adalah suatu cobaan dari Allah SWT.
4. Harta Sebagai Bekal Ibadah
Dengan memiliki harta maka kita dapat melaksanakan perintah Allah SWT dan
melaksanakan muamalah di antara sesama manusia melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah
sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah At Taubah Ayat 41 & 60 serta Al Imran Ayat
133-134.

Studi Kelayakan
Bisnis

BAB 3
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Islam mengakui adanya hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkan usahausaha serta inisiatif individu di dalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya. Islam
juga telah memberikan batasan-batasan tertentu yang sesuai syariat sehingga seseorang dapat
menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum. Sebenarnya kerangka
sistem Islam secara keseluruhan ini dibentuk berdasarkan kebebasan individu di dalam
mencari dan memiliki harta benda dan campur tangan pemerintah (intervensi) yang sangat
terbatas hanya terhadap harta yang sangat diperlukan oleh masyarakat, selain itu tidak.
Namun, ada beberapa kepentingan umum yang tidak bisa di kelola dan dimiliki secara
perorangan (KA, pos, listrik, air, dsb), tapi semua itu menjadi milik dan dikelola oleh negara
untuk kepentingan umum. Kemudian terdapat perbedaan sifat hak milik, baik itu pribadi
maupun umum, yang terdapat dalam Islam dengan kapitalis dan komunis. Di dalam kapitalis,
hak milik individu adalah mutlak tak terbatas. Dalam komunis, hak milik diabaikan sama
sekali. Sedangkan di dalam Islam, hak individu itu berada dalam keadaan norma, bukan tak
terbatas seperti yang terdapat dalam kapitalis, ataupun ditekan sama sekali seperti yang
terdapat dalam komunis. Inilah sisi kemoderatan Islam dalam memandang hak milik.
3.2 SARAN
Ekonomi Syariah Islam telah terbukti dalam membangun ekonomi nasional jadi
pemerintah harus segera mempergunakan sistem ekonomi Islam untuk mencapai keadilan dan
kemakmuran bagi rakyat. Pemerintah jangan menghilangkan sistem ekonomi Islam pada era
sekarang ini melainkan harus terus menjaga ekonomi Syariah Islam.
Mengenai pembelanjaan harta, Islam mengajarkan agar membelanjakn hartanya mulamula untuk mencukupkan kebutuhan dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan
keluarga yang menjadi tanggungannya, barulah memenuhi kebutuhan masyarakat.

Studi Kelayakan
Bisnis

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga

Rivai, Veitzhal dan Andi Buchari. 2009. Islamic Economics “Ekonomi Syariah bukan Opsi.
Tapi SOLUSI!”. Jakarta: Bumi Aksara

Situs Internet
http://eki-blogger.blogspot.com/2012/09/kepemilikan-dalam-islam.html
http://dinilidari.blogspot.com/2011/10/-kepemilikan-dalam-islam.html
http://ricky-diah.blogspot.com/2011/09/-kepemilikan-dan-sebab-sebabnya.html
http://amrianidris.blogspot.com/2014/06/konsep-harta-dan-kepemilikan-dalam-islam.html
http://digopriyanto6.blogspot.com/2013/07/seperti-apakah-pandangan-islam-mengenai.html

Studi Kelayakan
Bisnis