MANUSIA DAN PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA

MANUSIA DAN PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA TERKAIT
MAKANAN DAN KESEHATAN
1. Tinjauan sosial budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya ialah segala hal
yang dibuat oleh
manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta,
rasa dan karsa.
Dapat berupa kesenian, moral, pengetahuan, hukum, kepercayaan, adat
istiadat, & ilmu
(Koentjaraningrat, 2002).
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal
dari
kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur"
dalam bahasa Indonesia

Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau
kemasyarakatan atau
dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum (kata sifat).
Sosial Budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan
pemikiran dan
budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism (Koentjaraningrat,
2002).
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun
dari satu

generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai
superorganic
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan

pengertian nilai
sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik
yang menjadi ciri
khas suatu masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Secara sederhana kebuadayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta,
karsa, dan
rasa. Sebenarnya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa

Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan
(Prasetyawati, 2012).
Koentjaraningrat (2002) mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh
kelakuan dan
hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus
didapatkannya dengan
belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Asalkan sesuatu yang
dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa
dikategorikan sebagai
budaya (Koentjaraningrat, 2002).
Taylor dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi kebudayaan
sebagai

keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan,
dan kemampuan kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
kemampuan lain serta

kebiasaankebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Herskovits, Budaya sebagai hasil karya manusia sebagai
bagian dari
lingkungannya (culture is the human-made part of the environment).
Artinya segala
sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu
abstrak maupun
nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya,
baik lingkungan
fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak (Koentjaraningrat, 2002).
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan bendabenda yang bersifat

nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni,
dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Prasetyawati, 2012).
2. Jenis-jenis budaya di Indonesia
a. Kebudayaan Modern
Kebudayaan modern biasanya berasal dari manca negara datang di
Indonesia
merupakan budaya/kesenian import. Budaya modern akting,
penampilan, dan
kemampuan meragakan diri didasari sifat komersial. Budaya
modern lebih

mengesampingkan norma, gaya menjadi idola masyarakat dan
merupakan target
sasaran. Contoh : film, musik jazz.
b. Kebudayaan Tradisional
Bersumber dan berkembang dari daerah setempat. Penampilan
mengutamakan

norma dengan mengedepankan intuisi bahkan bersifat bimbingan
dan petunjuk
tentang kehidupan manusia. Kebudayaan tradisional kurang
mengutamakan komersial
dan sering dilandasi sifat kekeluargaan. Contoh : Ketoprak, wayang orang,
keroncong,
ludruk.
c. Budaya Campuran
Budaya campuran pada hakekatnya merupakan campuran budaya
modern dengan
budaya tradisional yang berkembang dengan cara asimilasi
ataupun defusi.
Kebudayaan campuran sudah memperhitungkan komersil tapi masih
mengindahkan
norma dan adat setempat. Contoh : Musik dangdut, orkes
gambus, campur sari
(Koentjaraningrat, 2002).
3. Aspek sosial yang mempengaruhi status dan perilaku kesehatan
Koentjaraningrat (2002), mengemukakan bahwa ada beberapa
aspek sosial yang

mempengaruhi status kesehatan antara lain adalah :
a. Umur
Jika dilihat dari golongan umur maka ada perbedaan pola
penyakit
berdasarkan golongan umur. Misalnya balita lebih banyak
menderita penyakit
infeksi, sedangkan golongan usila lebih banyak menderita penyakit kronis
seperti
hipertensi, penyakit jantung koroner, kanker, dan lain-lain.
b. Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin akan menghasilkan penyakit yang
berbeda pula.
Misalnya dikalangan wanita lebih banyak menderita kanker payudara,
sedangkan
laki-laki banyak menderita kanker prostat.
c. Pekerjaan
Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit.
Misalnya
dikalangan petani banyak yang menderita penyakit cacing akibat kerja

yang banyak
dilakukan disawah dengan lingkungan yang banyak cacing. Sebaliknya
buruh yang
bekerja diindustri , misal dipabrik tekstil banyak yang menderita penyakit
saluran
pernapasan karena banyak terpapar dengan debu.
d. Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi juga berpengaruh pada pola penyakit.
Misalnya
penderita obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat
yang berstatus
ekonomi tinggi, dan sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan
dikalangan
masyarakat yang status ekonominya rendah. Menurut H. Ray Elling (1970)
ada 2
faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku kesehatan :
 Self concept
Self concept kita ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau
ketidakpuasan yang kita rasakan terhadap diri kita sendiri, terutama
bagaimana

kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain. Apabila orang
lainmelihat kita positip dan menerima apa yang kita lakukan, kita akan
meneruska
perilaku kita, begitu pula sebaliknya.
 Image kelompok
Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok.
Sebagai contoh, anak seorang dokter akan terpapar oleh organisasi
kedokteran

dan orang-orang dengan pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau
petani
tidak terpapar dengan lingkungan medis, dan besar kemungkinan juga
tidak
bercita-cita untuk menjadi dokter.
Menurut G.M. Foster (1973), aspek budaya dapat mempengaruhi
kesehatan
adalah:
 Pengaruh tradisi
Ada beberapa tradisi dalam masyarakat yang dapat berpengaruh
negatif terhadap kesehatan masyarakat, misalnya di New Guinea,

pernah
terjadi wabah penyakit kuru.penyakit ini menyerang susunan saraf otak
dan
penyebabnya adalah virus.penderita hamya terbatas pada anakanak dan
wanita. Setelah dilakukan penelitaian ternyata penyakit ini menyebar
karena
adanya tadisi kanibalisme.
 Sikap fatalistis
Hal lain adalah sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku
kesehatan. Contoh: Beberapa anggota masyarakat dikalangan
kelompok
tertentu (fanatik) yang beragama islam percaya bahwa anak adalah
titipan
Tuhan, dan sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat
kurang
berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya
yang
sakit pengobatan bagi anaknya yang sakit,atau menyelamatkan
seseorang dari
kematian.

 Sikap ethnosentris
Sikap ethnosentrime adalah sikap yang memandang bahwa
kebudayaan sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan
kebudayaan

pihak lain.misalnya orang-orang barat merasa bangga terhadap kemajuan
ilmu
dan teknologi yang dimilikinya, dan selalu beranggapan bahwa
kebudayaannya paling maju, sehingga merasa superior terhadap budaya
dari
masyarakat yang sedang berkembang. Tetapi dari sisi lain, semua
anggota dari
budaya lainnya menganggap bahwa yang dilakukan secar alamiah adalah
yang
terbaik. Oleh karena itu, sebagai petugas kesehatan kita harus
menghindari
sikap yang menganggap bahwa petugas adalah orang yang paling pandai,
paling mengetahui tentang masalah kesehatan karena pendidikan
petugas lebih
tinggi dari pendidikan masyarakat setempat sehingga tidak perlu
mengikut
sertakan masyarakat tersebut dalam masalah kesehatan masyarakat.
Dalam hal
ini memang petugas lebih menguasai tentang masalah
kesehatan, tetapi
masyarakat dimana mereka bekerja lebih mengetahui keadaan di
masyarakatnya sendiri.
 Pengaruh perasaan bangga pada statusnya
Contoh: dalam upaya perbaikan gizi, disuatu daerah pedesaan tertentu,
menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka tahu
kandungan
vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat bernaggapan
daun
singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan mereka menolaknya
karena status mereka tidak dapat disamakan dengan kambing.
 Pengaruh norma
Seperti halnya dengan rasa bangga terhadap statusnya,norma
dimasyarakat sangat mempengaruhi perilaku kesehatan dari
anggota
masyarakatnya yang mendukung norma tersebut. sebagai
contoh,untuk

menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami
hambatan
karena adanya norma yang melarang hubungan antara dokter sebagai
pemberi
layanan dengan ibu hamil sebagai pengguna layanan.
Contoh: upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak
mengalami hambatan karena ada norma yang melarang
hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan dengan
bumil sebagai pengguna
pelayanan.
 Pengaruh nilai
Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku
kesehatan. Contoh: masyarakat memandang lebih bergengsi beras
putih
daipada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1
lebih
tinggi diberas merah daripada diberas putih. Meskipun masyarakat
mengetahiu
bahwa beras merah lebih banyak mengandung vitamin B1 jika
dibandingkan
dengan beras putih,masyarakat ini memberikan nilai bahwa beras putih
lebih
enak dan lebih bersih.
Contoh lain adalah masih banyak petugas kesehatan yang merokok
meskipun mereka mengetahui bagaimana bahaya merokok
terhadap
kesehatan.
 Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari
proses
sosialisasi terhadap perilaku kesehatan.
Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap
kebiasaan pada seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang
biasa
makan nasi sejak kecil, akan sulit diubah kebiasaan makannya setelah
dewasa
(Notoatmodjo, 2007).

Pada tingkat awal proses sosialisasi,seorang anak diajakan antara lain
bagaimana cara makan,bahan makanan apa yang dimakan,cara buang air
kecil
dan besar,dan lain-lain. kebiasaan tersebut terus dilakukan
sampai anak
tersebut dewasa dan bahkan menjadi tua.kebiasaan tersebut
sangat
mempngaruhi perilaku kesehatan yang sangat sulit untuk diubah
(Koentjaraningrat, 2002).
 Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan
Apabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan
perilaku kesehatan masyarakat, maka yang harus dipikirkan
adalah
konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan,
menganalisis
faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha
untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan
perubahan tersebut (Koentjaraningrat, 2002).
Tidak ada perubahan yang terjadi dalam isolasi,atau dengan perkataan
lain,suatu perubahan akan menghasilkan perubahan yang kedua dan
perubahan
yang ketiga.apabila seorang pendidik kesehatan ingin melakukan
perubahan
perilaku kesehatan masyarakat,maka yang harus dipikirkan adalah
konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan
perubahan,menganalisis
faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh terhadap perubahan,dan
berusaha
untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan
perubahan
tersebutapabila ia tahu budaya masyarakat setempat dan
apabila ia tahu
tentang proses perubahan kebudayaan,maka ia harus dapat
mengantisipasi
reaksi yang muncul yang mempengaruhi outcome dari perubahan yang
telah
direncanakan (Notoatmodjo, 2007).

4. Aspek sosial yang mempengaruhi status dan perilaku gizi
Jika kita berbicara tentang gizi, maka yang terpikir oleh kita adalah semua
makanan
yang kita makan. Ditinjau dari aspek sosial budaya, Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa
makanan yang kita makan dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu
nutrimen dan
makanan. Nutrimen adalah suatu konsep biokimia yang berarti zat-zat
dalam makanan
yang menyebabkan bahwa individu yang memakannya dapat hidup dan
berada dalam
kondisi kesehatan yang baik. Makanan dikatakan sebagai suatu konsep
kebudayaan, yaitu
merupakan bahan-bahan yang telah diterima dan diolah secara budaya
untuk dimakan,
sesudah melalui proses penyiapan dan penyuguhan yang juga secara
budaya, agar dapat
hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik (Simatupang,
2008).
Kesukaan makan seseorang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan
makannya sejak
kanak-kanak. Keluarga dalam hal ini sangat menentukan kesukaan anak
terhadap makanan
tertentu. Makanan sebagai salah satu aspek kebudayaan sering
ditentukan oleh keadaan
lingkungan, misalnya wilayah yang sebagian besar memiliki pohon kelapa,
maka jenis
makanan yang dimakan banyak yang menggunakan santan atau kelapa,
sedangkan wilayah
yang sebagian besar terdiri dari perkebunan, jenis dan komposisi
makanan banyak yang
terbuat dari sayur-sayuran atau dikenal dengan lalapan. (Prasetyawati,
2012).
Rasa makanan yang disukai oleh suatu masyarakat umumnya
bervariasi. Ada
sekelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya pedas,
manis, asin, dan
sebagainya. Kelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya
manis dapat

ditemukan di daerah-daerah di Pulau Jawa, sedangkan makanan yang
rasanya pedas dapat
ditemukan di daerah-daerah Sumatera dan Sulawesi. Sehingga sering kali
masyarakat
tertentu yang datang ke suatu wilayah yang berbeda dengan jenis
makanan yang biasa ia
makan, ia perlu mengadakan penyesuaian terhadap makanan tersebut.
Perlu diperhatikan
bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti makanan yang biasa
ia makan dengan
jenis makanan yang baru ia kenal (Cahyani, 2012).
Distribusi makanan dalam keluarga tidaklah sama dengan keluarga lain.
Ada aturanaturan tertentu yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga. Seorang ayah
yang dianggap
sebagai pencari nafkah keluarga, harus diberikan makanan yang ‘lebih’
dibandingkan
dengan anggota keluarga lainnya. Kata lebih yang dimaksud meliputi
kualitas, kuantitas,
dan frekuensi makan. Ibu hamil tidak bisa makan dengan sebebasnya,
tapi mempunyai
keterbatasan tertentu, ada makanan-makanan tertentu yang tidak boleh
dimakan oleh ibu
hamil. Tamu dianggap sebagai raja, sehingga diberikan makanan yang
tidak biasanya.
Anak mempunyai makanan khusus seperti bubur nasi dan
sebagainya. Sedangkan
pembantu rumah tangga bisasnya diberikan makanan yang
rendah kualitasnya
(Notoatmodjo, 2007).
Masalah kekurangan gizi bukan saja disebabkan oleh faktor
sosial-ekonomi
masyarakat, namun berkaitan pula dengan faktor sosial-budaya
masyarakat setempat.
Seperti misalnya persepsi masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan
masih belum sesuai.
Menurut mereka, yang disebut dengan makan adalah makan
sampai kenyang, tanpa

memperhatikan jenis, komposisi, dan mutu makanan, pendistribusian
makanan dalam
keluarga tidak berdasarkan debutuhan untuk pertumbuhan dan
perkembangan anggota
keluarga, namun berdasarkan pantangan-pantangan yang harus diikuti
oleh kelompok
khusus, misalnya ibu hamil, bayi, balita, dan sebagianya (Maryunani,
2011).
Di samping hal tersebut, pengetahuan keluarga khususnya ibu memegang
peranan
yang cukup penting dalam pemenuhan gizi keluarga. Kurangnya
pengetahuan ibu tentang
makanan yang mengandung nilai gizi tinggi, cara pengolahan, cara
penyajian makanan,
dan variasi makanan yang dapat menimbulkan selera makan anggota
keluarganya, sangat
berpengaruh dalam status gizi keluarga. Oleh karena itu, ibu lah sasaran
utama dalam
usaha-usaha perbaikan gizi keluarga (Prasetyawati, 2012).
Masalah kelebihan gizi, umumnya diderita oleh sekelomppok
masyarakat yang
mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup, disamping faktor pola
makan terhadap
jenis makanan tertentu, juga ditentukan oleh faktor herediter
(Simatupang, 2008).
Dalam kaitannya dalam kesehatan ibu dan anak serta kesehatan
masyarakat, masalah
gizi mempunyai pengaruh terhadap timbulnya penyakit-penyakit,
misalnya anemia, preeklampsia, diabetes melitus, perdarahan, infeksi, dan sebagianya
(Notoatmodjo, 2007).
Pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat. Tantangan berat
yang masih
dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah sebagai
berikut:
a. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang
cukup tinggi serta
penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah.

b. Tingkat pengetahuan masyarakat yang belum memadai terutama pada
golongan
wanita.
c. Kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, dan
perilaku yang
kurangmenunjang dalam bidang kesehatan.
d. Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang
kesehatan.
Aspek sosial budaya yang berhubungan dengan kesehatan antara lain
adalah faktor
kemiskinan, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup,
pelacuran dan
homoseksual (Prasetyawati, 2012).
Kemiskinan membahayakan kesehatan, baik secara fisik dan
mental. Penyakit
umumyang sering terjadi berkaitan dengan faktor kemiskinan
adalah kekurang
vitamin,penyakit cacing, gusi berdarah, beri-beri, penyakit mata, Kurang
Kalori Protein
(KKP), busung lapar, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2007).
Miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan makanan yang
cukup sehat dan
akancukup kandungan gizinya.Fakta saat ini derajat kesehatan penduduk
miskin masih
rendah, hal ini ditandai dengan
a. Kematian penduduk miskin tiga kali lebih tinggi daripada penduduk
yangtidak
miskin.
b. Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan pendidikan belum
mendukung.
c. Perilaku hidup bersih di masyarakat belum membudaya.
d. Angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak, serta angka
kematian ibu
(AKA/AKI) pada penduduk miskin jauh lebih tinggi dari yang
tidak miskin
(Notoatmodjo, 2007)

DAFTAR PUSTAKA
Cahyani. 2012. Sosial Budaya Kesehatan. Diakses melalui
http://ellyaniabadi.blogspot.co.id/2014/10/peran-sosial-budaya-terhadapupaya.html pada 20
Mei 2016.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Anthropologi.Nuha Medika.Yogyakarta.
Diakses melalui
http://ellyaniabadi.blogspot.co.id/2014/10/peran-sosial-budaya-terhadapupaya.html pada 20
Mei 2016.
Maryunani, A. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Penerbit
Trans Info, Jakarta.
Diakses melalui http://ellyaniabadi.blogspot.co.id/2014/10/peran-sosialbudaya-terhadapupaya.html pada 20 Mei 2016.
Notoatmodjo, 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Karya Medika.
Jakarta. Diakses
melalui http://ellyaniabadi.blogspot.co.id/2014/10/peran-sosial-budayaterhadap-upaya.html
pada 20 Mei 2016.