BAB 6 UANG DAN INFLASI

  BAB

6 ANG DAN NFLASI U

   I Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu:

  1. Memahami tentang pengertian inflasi dan cara menghitung tingkat inflasi

  2. Menjelaskan tentang jenis-jenis inflasi

  3. Menjelaskan tentang efek inflasi terhadap perekonomian

  4. Menjelaskan tentang berbagi teori tentang inflasi

  Deskripsi Singkat:

  Paba bab 6: Inflasi, menguraikan tentang pengertian dasar inflasi dan cara-cara menghitung tingkat inflasiantara lain menggunakan tingkat harga umum, GNP deflator, Tingkat harga konsumen, dan lain-lain, jenis-jenis inflasi berdasarkan berbagai macam kriteria seperti sifat, sebab timbulnya inflasi, dan asal inflasi, efek pendapatan, efek efisisensi, dan efek output inflasi terhadap perekonomian, serta berbagai teori dasar yang membahas tentang inflasi, antara lain teori kuantitas, teori Keynes, dan teori strukturalis.

6.1. Pengertian Inflasi

  Inflasi merupakan kecenderungan kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga satu atau beberapa barang pada suatu saat tertentu dan hanya sementara belum tentu menimbulkan inflasi. Ada beberapa cara untuk menghitung inflasi, antara lain:

  1. Dengan menggunakan harga umum

  2. Dengan menggunakan angka deflator

  3. Dengan menggunakan indeks harga konsumen

  4. Dengan menggunakan harga pengharapan

  5. Dengan menggunakan indeks harga dalam negeri dan luar negeri

6.1.1. Harga Umum

  Cara yang biasa dipakai untuk menghitung inflasi adalah dengan angka harga umum (general price). Rumus yang dipakai adalah:

  HU HU t t1 LI x 100 tHU t 1 Dimana:

  LI t = Laju Inflasi tahun/periode t HU t = Harga umum periode t HU t-1 = Harga umum periode t-1

  Contoh:

  HUHU 1971 1970 LI x 100 t HU 1970

  Kelemahan dari cara ini adalah, terutama di negara sedang berkembang, kesulitan untuk mendapatkan angka harga umum. Berbagai cara untuk mendapatkan penaksir angka harga umum telah banyak dicoba, walaupun kadang- kadang antara penaksir yang satu dengan lainnya menghasilkan angka dan pengaruh yang berbeda.

6.1.2. Deflator Produk Nasional Bruto (GNP Deflator)

  Besaran ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  Y b AD Y K

  Dimana: AD = Angka deflator Produk Nasional Bruto Y b = Produk Nasional Bruto menurut harga yang berlaku Y k = Produk Nasional Bruto Menurut Harga Konstan (tetap)

  Kemudian laju inflasi dihitung dengan cara berikut:

  AD AD t t1 LI x 100 tAD t 1 Dimana:

  LI t = Laju inflasipada periode t AD t = Angka deflator Produk Nasional Bruto pada periode t AD t-1 = Angka deflator Produk Nasional Bruto pada periode t-1 Kelemahan dari cara ini adalah sulitnya diperoleh angka deflator Produk

  Nasional Bruto bulanan, triwulan atau semester sehingga hanya aakan didapat angka deflator dari laju inflasi tahunan.

6.1.3. Indeks Harga Konsumen

  Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam menghitung inflasi, hal ini disebabkan karena data indeks harga konsumen dapat diperoleh dalam bentuk bulanan, triwulanan ataupun tahunan. Laju inflasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

  IHK

  IHK t t1 LI x 100 t

  IHK t 1 Dimana:

  LI t = Laju inflasi pada periode t

  IHK t = Indeks Harga Konsumen periode t

  IHK t-1 = Indeks Harga Konsumen periode t-1 Kelemahan cara ini adalah angka indeks ini sngat dipengaruhi oleh fluktuasi harga barang-barang yang mempengaruhi indeks biaya hidup konsumen, terutama harga barang-barang kebutuhan pokok. Dengan demikian bila angka indeks ini dipakai sebagai ukuran laju inflasi, dan lajunya relatif tinggi, hal ini akan mendorong masyarakat untuk menuntut kenaikan upah atau harga barang-barang produksinya. Di sisi lain pemerintah cenderung untuk menaikkan bantuannya kepada masyarakat, yang semuanya ini akan dapat mengakibatkan semakin tingginya laju inflasi.

  6.1.4. Harga yang Diharapkan

  Cara menghitung inflasi dengan menggunakan harga pengharapan mengutamakan peranan harga yang diharapkan pada periode yang akan datang dalam menghitung inflasi. Rumus yang digunakan adalah: e H H t e t 1  t

  LI x 100 

  H t

  Dimana: e LI t = Laju inflasi yang diharapkan pada periode t e H t+1 = Harga Pengharapan pada periode t+1 H t = Harga yang berlaku pada periode t

  Masalah yang dihadapi dalam penentuan harga pengharapan adalah kesulitan untuk mengamati perilaku masyarakat dan pemerintah dalam perekonomian.

  6.1.5. Indeks Harga Dalam Negeri dan Luar Negeri

  Cara penghitungan inflasi ini biasanya digunakan oleh negara-negara dengan sistem perekonomian terbuka. Rumusan untuk besaran ini adalah:

  IHU

  IHDN ( 1 )

  IHLN     

  Dimana:

  IHU = Indeks harga umum

  IHDN = Indeks harga dalam negeri

  IHLN = Indeks harga luar negeri Α = Besarnya sumbangan/pengaruh indeks harga dalam negeri terhadap indeks harga umum

  Laju inflasi dapat dihitung degan rumus sebagai berikut:

  IHU

  IHU t t1 LI x 100 t

  IHU t 1 Dimana:

  LI t = Laju inflasi pada periode t

  IHU t = Indeks Harga Umum periode t

  IHU t-1 = Indeks Harga Umum periode t-1

  Kesulitan yang dihadapi dalam hal ini adalah menentukanindeks harga dalam negeri dan proporsinya terhadap indeks harga umum. Biasanya indeks harga ekspor dipakai sebagai pendekatan terhadap indeks harga dalam negeri, akan tetapi proporsi terhadap indeks harga umum tidak dapat dikeahui.

6.2. Jenis Inflasi

  6.2.1. Jenis Inflasi Menurut Sifatnya

  Menurut sifatnya, inflasi di bagi dalam tiga kategori, yaitu:

  a. Inflasi Merayap (creeping Inflation)

  Creeping inflation ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% per

  tahun), kenaikan harga berjalan secara lambat dengan prosentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama.

  b. Inflasi Menengah (galloping inflation)

  Galloping inflation ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (antara

  Ada berbagai cara untuk menggolongkan inflasi, antara lain adalah:

  c. Inflasi Tinggi (hyper inflation)

  Hyper inflation ditandai dengan kenaikan harga-harga lebih dari 100% atau bahkan naik sampai 5 atau 6 kali.

  6.2.2. Jenis Inflasi Menurut Sebabnya

  Penggolongan inflasi menurut sebabnya, dibedakan menjadi dua macam inflasi, yaitu:

  a. Demand-pull Inflation Demand-pull inflation merupakan inflasi yang timbul karena adanya kenaikan

  permintaan total (agregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh (full employment). Gambar 6.1 dibawah ini menggambarkan demand-pull inflation.

  Gambar 6.1 Demand-pull Inflation

  10 – 100%) dan kadangkala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi, artinya harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya.

  P S D

  2 H

2 D H

  1

1 Q Q Q

  

1

  2 Karena permintaan masyarakat akan barang-barang bertambah (misalnya,

  pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah), maka kurva agregate demand bergeser dari D 1 ke D 2 . Akibatnya tingkat harga umum naik dari H 1 ke H 2

  b. Cost-push Inflation Cost-push inflation merupakan inflasi yang timbul karena adanya penurunan

  dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Gambar 6.2. di bawah ini menggambarkan cost-push inflation.

  Gambar 6.2 Cost-push Inflation Bila biaya produksi naik (misalnya, karena kenaikan harga bahan bakar minyak), Akibatnya tingkat harga umum naik dari H 1 ke H 2 .

  Penggolongan inflasi menurut asalnya, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)

  Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, gagal panen, dan sebagainya.

  b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation) Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga di luar negeri atau negara-negara mitra dagang. Selain itu, dapat pula karena kenaikan harga-harga barang ekspor.

  Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasioal. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity

  

effect, sedang efek terhadap alokasi faktor produksi dan produk nasional masing-

masing disebut dengan efficiency dan output effect.

  1. Efek terhadap Pendapatan (Equity Effects) S

  1 D H

  1 H

  2 P Q Q

  1 Q

  2 S

  

2

6.2.3. Jenis Inflasi Menurut Asalnya

6.3. Efek Inflasi

  Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan dan ada pula pihak yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Pihak yang dirugikan adalah:

  a. Seseorang yang memiliki pendapatan tetap Misalnya, seorang yang memperoleh pendapatan tetap Rp. 500.000,- per tahun sedang laju inflasi 10%, maka orang tersebut akan menderita kerugian penurunan pendapatan riil sebesar laju inflasi tersebut, yakni Rp. 50.000,-

  b. Orang yang memiliki kekayaan dalam bentuak uang kas

  c. Orang/pihak yang memberikan pinjaman uang dengan bunga lebih rendah daripada laju inflasi Sedangkan pihak yang mendapatkan keuntungan adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, dan mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik dengan prosentase lebih besar daripada laju inflasi.

  2. Efek terhadap Efisiensi (Efficiency Effects)

  Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu.Dengan adanya inflasi, permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain, yang kemudian mendorong kenaikan produksi barang tersebut. Kenaikan produksi barang pada gilirannya akan merubah pola alokasi faktor produksi yang sudah ada.

  3. Efek terhadap Output (Output Effects)

  Inflasi dapat menyebabkan terjadinya kenaikan poduksi. Alasannya, dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun jika laju inflasinya terlalu tinggi, maka akan terjadi dampak yang sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastic, masyarakat cenderung tidak menyukai uang kas, transaksi mengarah ke barter yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang.

6.4. Teori Inflasi

  Secara garis besar terdapat tiga teori mengenai inflasi, yang masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi.

  6.4.1. Teori Kuantitas

  Inti dari teori ini adalah: a. Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume uang yang beredar. Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti gagal panen, hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara waktu saja. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apapun sebab- musabab awal dari kenaikan harga tersebut.

  b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat tentang kenaikan harga-harga di masa mendatang. Ada tiga kemungkinan keadaan, yaitu:

  • bila masyarakat tidak (atau belum) mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang, maka sebagian besar penambahan jumlah uang beredar yang akan diterima masyarakat untuk menambah likuiditasnya (menambah uang kas). Hal ini berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan barang sehingga tidak akan ada kenaikan permintaan yang berarti terhadap barang-barang. Oleh karena itu tidak akan terjadi kenaikan harga barang. Masyarakat mulai sadar bahwa ada inflasi, sehingga orang-orang mulai - mengharapkan kenaikan harga. Penambahan jumlah uang beredar tidak lagi digunakan masyarakat untuk menambah uang kas, tetapi digunakan untuk membeli barang-barang. Dengan demikian, akan terjadi kenaikan permintaan akan barang-barang. Akibat selanjutnya adalah naiknya harga barang-barang tersebut. Tahap hiperinflasi. Dalam keadaan ini orang-orang sudah kehilangan - kepercayaannya terhadap nilai mata uang. Keengganan untuk memegang uang kas menjadi semakin meluas di kalangan masyarakat. Orang cenderung mengharapkan laju inflasi di masa-masa mendatang menjadi semakin besar.

  6.4.2. Teori Keynes

  Menurut teori Keynes inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi merupakan proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (inflationary gap).

  Inflationary gap timbul karena kelompok-kelompok sosial tersebut berhasil

  memperoleh dana untuk mengubah keinginannya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung oleh dana atau biasa disebut dengan ”permintaan efektif”. Bila jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap timbul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan naik. Kondisi ini dijelaskan dalam gambar 6.3. dibawah ini.

  

Gambar 6.3.

  

Inflationary Gap

P S P

  4 P

  3 P

  2 P

  1 D

  4 D

  3 D

  2 D

  1 Q Q Q

  1

  2 Gambar 6.3. diatas menunjukkan dimana inflationary gap tetap timbul.

  Disisni dianggapa bahwa semua golongan masyarakat bisa memperoleh dana yang cukup untuk membiayai, pada tingkat harga yang berlaku, rencana-rencana pembeliannya. Dengan timbulnya inflationary gap (misalnya, karena pemerintah memperbesar pengeluarannya dengan cara mencetak uang baru), maka kurva permintaan efektif bergeser dari D 1 ke D 2 . Inflationary gap sebesar Q 1 Q 2 timbul dan harga naik dari P 1 ke P 2 . Kenaikan harga ini mengakibatkan rencana-rencana pemebelian golongan masyarakat tidak (termasuk pemerintah) terpenuhi. Karena jumlah barang yang tersedia tidak bisa lebih besar lagi dari OQ 1 , maka yang terjadi adalah realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan-golongan lain dalam masyarakat kepada sektor pemerintah.

  Seandainya pada periode berikutnya golongan-golongan masyarakat lain tersebut bisa memperoleh dana untuk membiayai rencana-rencana pembeliannya yang lama dengan harga baru yang lebih tinggi, dan pemerintah tetap pula berusaha memperoleh jumlah barang seperti yang direncanakan pada periode sebelumnya dengan harga baru yang lebih tinggi, maka inflationary gap sebesar Q 1 Q 2 akan timbul lagi. Harga akan naik lagi dari P 2 ke P 3 . Jika hal ini terus terjadi, maka inflationary gap akan tetap timbul pada periode selanjutnya dan harga-harga akan terus naik. Inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak lagi memperoleh dana untuk membiayai rencana pembelian barang pada harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi jumlah barang-barang yang tersedia.

6.4.3. Teori Strukturalis

  Teori strukturalis adalah teori tentang inflasi yang didasarkan pada pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang.

  Menurut teori ini ada dua ketegaran utama dalam perekonomian negara- negara sedang berkembang yang dapat menimbulkan inflasi, yaitu:

  1. Ketidakelastisan dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan (untuk konsumsi maupun investasi). Akibatnya, negara tersebut terpaksa mengambil kebijakan pembangunan yang menekankan pada penggalakan produksi DN dari barang-barang yang sebelumnya diimpor, meskipun seringkali biaya produksinya lebih tinggi daripada barang sejenis yang diimpor. Biaya yang lebih tinggi ini akan mengakibatkan harga yang lebih tinggi. Dan jika proses ini makin meluas, maka inflasi akan terjadi.

  2. Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri Produksi bahan makanan DN tidak tumbuh secepat pertumbuhan penduduk dan penghasilan per kapita, sehingga harga bahan makanan DN cenderung untuk naik melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya tuntutan dari para karyawan untuk memperoleh kenaikan upah/gaji. Kenaikan upah berarti kenaikan biaya produksi, yang berarti pula kenaikan harga barang. Jika hal ini terus terjadi maka harga-harga akan terus naik. Proses ini akan berhenti dengan sendirinya, jika harga bahan makanan tidak terus naik.

  Soal-soal:

Berdasarkan data dibawah ini, hitunglah tingkat inflasi triwulanan dari Tahun 1999

sampai Tahun 2002 dengan menggunakan angka Indeks Harga Konsumen dan angka

Deflator.

  2001

  2. Mishkin, Frederic S. (2006), The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, Pearson - Addison Weasley

  Daftar Pustaka 1. Nopirin (1998), Ekonomi Moneter Buku I, BPFE UGM, Yogyakarta.

  387.445,4 397.483,7 417.560,4 407.522,1

  105.274,2 106.214,8 108.096,0 107.155,4

  IV 256,64 258,94 263,35 270,32

  III

  I II

  2002

  345.054,6 356.584,5 379.644,5 368.114,5

  101.640,8 102.495,4 104.204,7 103.350,1

  IV 224,06 230,05 238,63 245,73

  III

  I II

  300.743,4 311.067,6 331.716,0 321.391,8

  Periode

  101.254,0 100.087,5

  97.754,4 98.921,0

  IV 204,91 206,98 211,59 217,62

  III

  I II

  2000

  261.435,0 270.433,6 288.430,8 279.432,2

  94.559,0 94.745,1 95.117,3 94.931,2

  IV 206,14 204,72 200,22 200,08

  III

  I II

  1999

  IHK PDB Tahun dasar 1993 PDB Tahun Berjalan

  3. Insukindro (1997), Ekonomi Uang dan Bank, BPFE UGM, Yogyakarta