183254494 PBL Blok 21 Metabolik Endokrin 2 DM MODY

Pendahuluan
Di era yang semakin maju ini banyak sekali orang-orang yang mengalami kelebihan
berat badan dikarenakan mempunyai gaya hidup sedentary, dimana sangat minim sekali
melakukan aktifiatas tetapi jumlah asupan makanan lebih banyak yang masuk dari pada yang
keluar sebagai energi. Selain itu jika dilihat dari makanannya tinggi karbohidrat dan tinggi
lemak tetapi rendah serat dan protein. Ini semua dapat berakibat terhadap pola penyakit
yang berhubungan contohnya seperti diabetes melitus.
Diabetes melitus adalah sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan adanya kadar glukosa darah yang tinggi dan kekurangan insuli baik absolut
ataupun relatif. Diabetes melitus sering disebut sebagai The Great Imitator karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan bermacam keluhan dengan gejala
yang bervariasi.
Diabetes melitus merupakan penyakit yang akan diderita seumur hidup tetapi dapat
dikontrol dengan baik jika penanganannya pun dilakukan dengan baik pula. Untuk
mengetahui secara mendalam tentang penyakit ini maka dalam makalah ini penulis akan
menguraikannya secara rinci dan sistematik.1
Anamnesa
Anamnesis merupakan salah satu petunjuk utama untuk membantu dalam
mendiagnosa suatu penyakit. Oleh karena itu, anamnesis harus dilakukan dengan baik dan
profesional. Identitas merupakan hal pertama yang harus dipenuhi (diperhatikan umur, jenis
kelamin, pekerjaannya), kemudian dilanjutkan dengan memahami keluhan utama pasien,

lalu riwayat penyakit pasien (sekarang dan dahulu), riwayat keluarga, riwayat kelahiran,
riwayat sosial, dan lainnya.2-4
Baiklah menganamnesa lebih lanjut untuk menyingkirkan diagnosa banding dan
dapat menegakkan diagnosa, dengan beberapa pertanyaan seperti berikut: 4-5
■ Riwayat Penyakit Sekarang
 Bagaimana frekuensi makan, minum dan BAK?
 Apakah adanya buram, katarak, buta, retinopati, glaucoma?
 Apakah ada kesemutan?
 Apakah ada sakit maag?

1

 Apakaah ada impotensi?
 Apakah adanya luka yang sukar sembuh, jaringan parut pada kulit dan luka
yang bau?
 Apakah ada batuk > 3 minggu?
 Apakah ada penurunan berat badan?
 Apakah terdapat gatal – gatal pada kulit?
 Apakah ada keluhan pada organ yang lain?



Riwayat penyakit dahulu:
 Apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena lupa makan
setelah minum obat?
 Apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena diare
berlebihan?
 Apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena suatu keadaan
stress (Infeksi, MCI)?
 Apakah ada riwayat sakit jantung (sakit dada kiri)?
 Apakah ada hipertensi?



Riwayat keluarga:
 Apakah ada di keluarga yang terkena Diabetes Melitus?
 Apakah ada di keluarga yang terkena hipertensi?



Riwayat merokok (perlu dipastikan lama dan jumlahnya), alkohol.




Riwayat pengobatan

Setelah anamnesa mencukupi, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah pemeriksaan terhadap tanda-tanda vital
yang terdiri dari suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah.
Antropometri
Pengukuran antropometri merupakan bagian dari pemeriksaan klinis dan dapat
meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, lipatan kulit serta lingkar berbagai badan
2

tubuh (sirkumferensia). Tinggi dan berat badan biasanya digabungkan dengan mengikuti
cara tertentu untuk mendapatkan satu ukuran tungga yang menggambarkan berat relatif
terhadap tinggi badan. Ukuran tunggal ini merupakan indikator untuk menunjukkan gizi
kurang atau gizi lebih. Adapun parameter untuk melihat apakah gizi kurang atau berlebih. 6
Parameter tersebut adalah:

Tabel 1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Asia Pasifik, 2003.
Berat Badan (BB)
BB kurang
BB normal
BB lebih




IMT
< 18.5
18.5 - 22.9
≥ 23.0

Pre-obesitas
Obesitas I
Obesitas II

23.0 - 24.9
25.0 – 29.9

≥ 30

Tabel 2. Rasio Lingkar Pinggang/Perut (Lpe)
Jenis Kelamin
Lingkar Pinggang
Laki-laki
< 90 cm
Perempuan
< 80 cm
Tujuan: untuk tentukan faktor risiko penyakit jantung koroner

Pemeriksaan Retina
Untuk melakukan pemeriksaan pada mata kita dapat lakukan dengan cara inspeksi.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah ada retinopati atau tidak.
Berikut adalah bagian-bagian yang harus diperiksa:


Kelopak mata: periksa adanya ptosis, retraksi kelopak mata, entropion (kelopak mata
melipat ke dalam), ektropion (kelopak mata melipat ke luar) dan pembengkakan
kelenjar sebasea pada kelopak mata.




Konjungtiva: periksa adanya konjungtivitis, kemosis dan pucat.



Sklera: periksa adanya warna kuning (ikterus), warna biru (anemia defisiensi besi,
osteogenesis imperfekta) atau peradangan.

3



Kornea: periksa arkus kornea (hiperkoleterolemia) dan cincin Kayser Fleischer
(penyakit Wilson).



Iris: periksa iritis.




Pupil: mungkin miotik (konstriksi) atau midriatik (dilatasi). Periksa refleks cahaya
langsung dan konsensual, dan refleks akomodasi.



Gerakan okular: periksa gerakan pada semua posisi pandangan. Kedua mata harus
bergerak secara simetris.3

Sensibilitas dan Reflek
Untuk kasus diabetes mellitus pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan fisik kulit
ekstremitas bawah yang sering mengalami ulcus diabetik, yaitu inspeksi, palpasi, dan tes
sensoris.


Inspeksi: untuk melihat bagaimana keadaan kulit dan otot. Pada inspeksi dilihat
apakah adanya atrofi dan hipertrofi otot (dilihat pada M.Gastrocnemius)?, Apakah




ada lesi kulit? ( ulkus, abses atau gangren).
Palpasi: bagaimana kondisi kulitnya? (kering, lembab, normal), bagaimana kuat



pulsasi dari A. dorsalis pedis dan tibialis posterior?.
Tes sensibilitas dengan monofilament (bisa dilakukan dengan 1 helai sapu ijuk) dan
tes refleks dengan menggunakan palu refleks pada ekstremitas bawah (APR dan
KPR). Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya komplikasi neuropati atau
tidak.

Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis:


Hematologi dan urinalisis
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk melihat keadaan dari darah pasien.

Biasanya untuk penderita diabetes melitus dilihat kadar gula di darahnya. Pada
hematologi juga harus dilihat bagaimana profil lipidnya, tingginya kolesterol pada
penderita diabetes mellitus dapat menyebabkan Silent miokard infark yaitu miokard
infark yang tidak disertai dengan nyeri dada.
Baik

Sedang

Buruk

Kolesterol total (mg/dL)

< 200

200 – 239

≥ 240

Kolesterol LDL (mg/dL)


4
< 100

100 – 129

≥ 130

Kolesterol HDL (mg/dL)

> 45

Trigliserida (mg/dL)

< 150

150 – 199

≥ 200

Tabel 3. Kadar Lipid Normal Dalam Darah

Untuk urinalisisnya sendiri digunakan untuk melihat apakah ada glukosuria,
mikroalbuminuria (normal: < 30mg/24jam; microalbuminuria: 30-299mg/24jam;
makroalbumin: ≥ 300mg/24jam), atau bisa juga melihat fungsi faal ginjal apakah
terdapat komplikasi nefropati diabetik atau tidak. Selain itu urinalisis juga dapat
digunakan untuk melihat kadar benda keton dalam urin. Tingginya kadar keton dapat
menyebabkan keto asidosis diabetik.


Gula darah sewaktu dan puasa
Nilai rujukan gula darah puasa adalah 126 mg/dL, dan nilai rujukan normal gula darah sewaktu adalah 200
mg/dL/2 jam. Bila hasil berada diantara kadar normal sampai kadar batas minimal
diabetes maka harus dipemeriksaan lebih lanjut.Kadar glukosa darah puasa memberikan
petunjuk terbaik mengenai homeostatis glukosa keseluruhan, dan sebagian besar
pengukuran rutin harus dilakukan pada sampel puasa. Respons metabolic terhadap
pemberian karbohidrat dapat dinilai dengan pengukuran kadar glukosa postprandial
yang diambil 2 jam setelah makan atau pemberian glukosa. Selain itu, uji toleransi
glukosa, yang terdiri dari serangkaian pengukuran (dengan interval tertentu) setelah
asupan glukosa dalam jumlah tertentu, dapat digunakan untuk membantu diagnosis



diabetes.7
Tes toleransi glukosa oral
Tes toleransi glukosa oral dilakukan jika hasil pemeriksaan gula darah puasa dan
sewaktu berada diatas kadar normal tapi di bawah kadar minimal untuk diabetes. Berikut
adalah cara pelaksanaan TTGO:
 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari dan
tetap melakukan aktivitas seperti biasa.
 Berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan, hanya boleh minum air putih
tanpa gula.
 Periksa kadar glukosa puasa
 Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 g/kgBB, dilarutkan dalam air 250mL dan
diminum dalam 5 menit.
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.
 Diperiksa kadar gula darah 2 jam sesudah minum larutan glukosa
5

 Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa harus tetap istirahat dan tidak
merokok.
Untuk hasilnya, apa bila kadar gula 200
maka subyek positif diabetes.


HbA1c
Pembentukan HbA1c terjadi apabila kondisi tubuh mengalami hiperglikemi.
Hiperglikemi merangsang terjadinya proses non-enzimatik dari ikatan glukosa dengan
berbagai protein (glikasi). Proses ini bersifat irreversible dan konsentrasi dari protein
yang terglikasi (HbA1c) menunjukkan kadar glukosa selama masa hidup proteinnya (Hb).
Hemoglobin yang terglikasi menunjukkan refleksi dari kadar gula selama hemoglobin
hidup sekitar 2-3 bulan. Presentase dari total HbA1c 126 mg/di (7 mmol/L) pada
sekurang-kurangnya dua kesempatan, dan (3) kadar glukosa plasma yang didapat selama tes
toleransi glukosa oral (OGTT) >200 mg/dl pada 2 jam dan paling sedikit satu kali antara 0
sampai 2 jam sesudah pasien makan glukosa. Kadar glukosa puasa yang ditentukan adalah
126 mg/dl karena kadar tersebut merupakan indeks terbaik dengan nilai setelah 2 jam
pemberian glukosa adalah 200 mg/dl dan pada kadar tersebut retinopati diabetik, yaitu
suatu komplikasi diabetes muncul untuk pertama kalinya. Glukosa darah puasa merupakan
metode yang dianjurkan untuk penapisan diabetes.
Diagnosis diabetes melitus pada anak-anak juga didasarkan pada penemuan gejalagejala klasik diabetes dan glukosa plasma secara acak adalah >200 mg/dl.8

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologi (ADA. 2003)
6

1.

2.

3.

4.
5.

Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel B umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi
insulin
Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β:
• kromosom 12. HNF-1 alfa(dahulu disebut MODY 3),
• kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
• kromosom 20, HNF-4 alfa (dahulu disebut MODY 1)
 DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
• Pankreatitis
• Trauma/Pankreatektomi
• Neoplasma
• Cistic Fibrosis
• Hemokromatosis
• Pankreatopati fibre kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam
nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain. Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea,
Prader Willi
Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan,umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
Pra-diabetes:
A. IFG(Impaired Fasting Glucose) = GPT(Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT(Impaired Glucose Tolerance) = TGT(Toleransi Glukosa Terganggu)

Differential Diagnosis
Sekitar 15% dari pasien dengan DMTTI (Diabetes Melitus Tak Tergantung Insulin)
adalah diabetes non-obese. Pada kebanyakan pasien ini dapat ditunjukkan adanya gangguan
kerja insulin pada tingkat post-reseptor dan hilangnya atau terhambatnya pelepasan insulin

7

fase awal sebagai respons terhadap glukosa. Namun demikian, rangsang insulinogenik lain
seringkali masih tetap efektif dalam mencetuskan sekresi insulin akut.
Hiperglikemia pada pasien-pasien dengan DMTTI non-obese seringkali berespons
terhadap terapi diet atau obat-obat hipoglikemik oral. Terkadang, terapi insulin diperlukan
untuk mencapai kontrol glikemik yang memuaskan meskipun tidak diperlukan untuk
mencegah ketoasidosis.
Sementara kebanyakan pasien DMTTI non-obese tidak dapat disubklasifikasi,
beberapa subtipe yang jelas telah diusulkan berdasarkan sifat-sifat genetiknya pada proporsi
kecil penderita.9
Diabetes Melitus Tipe Lain
Defek Genetik Fungsi Sel β/DMTTI Non-obese
Diabetes memelitus ini merupakan suatu subklas spesifik dari DMTTI nonobese termasuk pasien-pasien dengan “Maturity Onset Diabetes of the Young”
(MODY). Pada umumnya yang terkena adalah pasien usia muda dengan awitan
sesudah dewasa. Pasien-pasien ini mengalami hiperglikemia ringan dengan awitan
pada akhir masa kanak-kanak atau awal masa dewasa. Riwayat keluarga yang kuat
yaitu adanya diabetes dalam bentuk ringan pada satu orang tua dan pada separuh
dari keturunan orang tua mengesankan suatu pewarisan dominan autosomal.
Diantara 32 keluarga dengan sindroma ini di Perancis, 18 ditemukan mengalami
mutasi dari gen glukokinase dan kromosom 7. Enambelas mutasi berbeda dapat
diidentifikasi pada 18 keluarga ini, terdiri dari 10 mutasi yang berakibat suatu
substitusi asam amino, tiga mutasi menghasilkan protein yang terpotong, dan tiga
lainnya mempengaruhi pemrosesan glukokinase oleh RNA. Penurunan aktivitas
glukokinase dari sel β pankreas sangat penting dalam menentukan ambang glukosa
plasma yang menyebabkan sel β mulai mensekresi insulin. Pada keluarga-keluarga
dengan mutasi glukokinase tersebut, hiperglikemia ringan dimulai pada masa kanakkanak, sementara pada 14 keluarga di Perancis tanpa mutasi glukokinase yang
terdeteksi, hiperglikemia tidak terlihat sampai sesudah pubertas.
Penyakit Eksokrin Pankreas

8

Pembedahan untuk mengangkat pankreas, penyakit pankreas akibat
alkoholisme kronik, dan bentuk-bentuk pankreatitis lainnya telah dikaitkan dengan
berbagai karakteristik klinis diabetes melitus tergantung insulin. Namun demikian,
terdapat kecendrungan yang lebih besar untuk mengalami hipoglikemia induksi
insulin, yang agaknya karena pada saat yang sama juga terjadi defisiensi glukagon
sebagai hormon kontraregulasi. Setidaknya duapertiga bagian dari pankreas harus
rusak untuk berkembangnya sindroma klinis. Sindroma ini biasanya juga disertai
insufisiensi pankreas eksokrin.
Toksisitas Obat
Banyak obat telah dihubungkan dengan intoleransi karbohidrat atau diabetes
melitus. Sebagian obat agaknya bekerja dengan mengganggu pelepasan insulin dari
sel β (tiazid, fenitoin), yang lain dengan menginduksi resistensi insulin (glukokortikoid,
pil kontrasepsi oral) dan sebagai lainnya menyebabkan kerusakan sel β (pentamidin). 9
Walaupun penghambat saluran kalsium dan juga klonidin merupakan
penghambat yang handal untuk pelepasan insulin induksi glukosa dari sel β pankreas
yang telah dipersiapkan in vitro, kadar yang diperlukan untuk menghambat adalah
cukup tinggi dan biasanya tidak akan tercapai pada pemberian antihipertensi standar
dengan obat-obat ini pada manusia.

Penyakit Endokrin
Kelebihan produksi hormon-hormon tertentu. Hormon pertumbuhan
(akromegali), glukokortikoid (sindroma atau penyakit Cushing), katekolamin
(feokromositoma),

glukagon

(glukagonoma),

atau

somatostatin

pankreas

(somatostatinoma) dapat menyebabkan sindroma DMTTI melalui sejumlah
mekanisme. Pada hampir semua keadaan kecuali yang terakhir (somatostatinoma),
reaksi jaringan perifer terhadap insulin mengalami gangguan. Di samping itu
kelebihan katekolamin atau somatostatin akan mengurangi pelepasan insulin dari sel
β.
Bentuk Lainnya
9

Penyakit-penyakit langka lainnya yang disertai kelainan reseptor insulin atau
post-reseptor termasuk leprechaunism, ataksi-telangiektasia, sindroma Prader-Willi,
dan beberapa bentuk distrofi miotonik.
Diabetes Melitus Tipe II/DMTTI Obese
Diabetes melitus tipe II dapat dibedakan menurut berat badan menjadi subtipe
obese atau non obese. Pada beberapa kasus dapat dibuktikan adanya hambatan reseptor
terhadap kerja insulin. Pada kebanyakan pasien dengan diabetes tipe II, penyebab gangguan
ini sampai kini masih belum dapat dijelaskan kendatipun biasanya ada cacat dalam sekresi
insulin dan cacat kerja insulin pada tingkat post-reseptor.9
Sekitar 85% diabetes tipe II adalah obese. Pasien-pasien ini mengalami
ketidakpekaan terhadap insulin endogen yang berkorelasi positif dengan suatu pola
distribusi lemak abdominal, yang menyebabkan rasio lingkar pinggang terhadap panggul
abnormal tinggi. Di samping itu, adiposit yang membesar dan sel-sel hati dan otot yang
kelebihan makanan juga menolak deposisi glikogen dan trigliserida tambahan dalam depot
cadangannya. Hiperplasis sel-sel β pankreas seringkali terjadi dan agaknya bertanggung
jawab atas respons insulin terhadap glukosa atau rangsangan lain yang normal atau
berlebihan dijumpai pada bentuk penyakit yang lebih ringan. Pada kasus-kasus yang lebih
berat, kegagalan sekresi sel β pankreas sekunder dapat terjadi sesudah pajanan terhadap
hiperglikemia puasa yang lama. Fenomena ini dikenal sebagai “desensitisasi”. Fenomena ini
selektif untuk glukosa saja, dan sel β akan kembali pulih sensitivitasnya terhadap glukosa
sesudah hiperglikemia dikoreksi dengan bentuk terapi apa pun, termasuk terapi diet,
sulfonilurea, dan insulin.
Suatu penyebab utama resistensi insulin yang diamati terjadi pada jaringan sasaran
pasien-pasien obese diyakini sebagai cacat post-reseptor terhadap kerja insulin. Keadaan ini
disertai depot cadangan yang membengkak dan berkurangnya kemampuan untuk
membersihkan zat-zat dari sirkulasi sesudah makan. Hiperinsulinemia yang terjadi dapat
memperburuk resistensi insulin melalui mekanisme down-regulation reseptor insulin. Bila
hiperglikemia menetap, maka suatu protein glucose transporter spesifik pada jaringan
sasaran insulin (GLUT 4) juga mengalami down-regulation sesudah aktivasi terus menerus.
Hal ini memperburuk gangguan kerja insulin post-reseptor, dan akibatnya makin
memperburuk hiperglikemia. Jika makan berlebihan dikoreksi sehingga depot cadangan
10

menjadi tidak begitu jenuh, siklus dapat diputus. Kepekaan terhadap insulin menjadi lebih
baik dan akan terus dinormalkan oleh penurunan hiperinsulinemia dan hiperglikemia.
Diabetes Melitus Tipe II Awitan Dini/DMTTI Non-obese
Suatu diabetes tipe II dengan prevalensi familial yang tinggi telah diamati pada
pasien-pasien yang usianya saat awitan diabetes ringan adalah antara 25-40 tahun.
Penelitian-penelitian epidemiologis mengisyaratkan bahwa prevalensi familial ini terjadi
akibat perwarisan gen-gen diabetogenik dari kedua orang tua (keadaan homozigot). Jika
hanya satu orang tua menurunkan gen diabetogenik (keadaan heterozigot), maka
ekspresinya kelak sebagai diabetes klinis memerlukan faktor-faktor tambahan baik genetik
ataupun lingkungan (misal, pertambahan usia, obesitas). Jadi, dua orang tua heterozigot
dapat atau tidak mengalami diabetes sesudah usia 40 tahun, tetapi sebanyak 75% dari
keturunannya berisiko tinggi untuk mengalami diabeter, dimana sebanyak 25% dari mereka
akan mengalaminya sebelum usia 40 tahun.9
Diabetes Melitus Tipe I
Tipe I merupakan bentuk diabetes melitus yang berat dan disertai ketosis pada kasuskasus yang tidak ditangani. Tipe ini paling sering dijumpai pada orang muda tapi terkadang
dapat pula menyerang orang dewasa non-obese. Merupakan gangguan katabolik di mana
tidak ada insulin dalam sirkulasi, glukagon, plasma meningkat dan sel-sel β pankreas gagal
berespons terhadap semua rangsang insulinogenik yang telah diketahui. Tanpa adanya
insulin, ketiga jaringan sasaran utama insulin seperti hati, otot dan lemak, tidak hanya gagal
mengambil zat-zat gizi yang telah diabsorpsi sebagaimana mestinya, bahkan juga terus
melanjutkan pengeluaran glukosa, asam amino dan asam lemak ke dalam aliran darah dari
depot cadangannya masing-masing.
Diabetes tipe I diyakini terjadi akibat infeksi atau gangguan toksik dari lingkungan
yang merusak sel-sel β pankreas pada individu yang memiliki predisposisi genetik di mana
sistem kekebalan tubuh yang agresif akan menghancurkan sel-sel β pankreas saat mengatasi
agen invasif. Tetapi pengaruh genetik tidak begitu nyata pada diabetes tipe I dibandingkan
diabetes tipe II. Faktor-faktor lingkungan yang telah dikaitkan dengan perubahan fungsi sel
pulau pankreas termasuk virus (gondongan, rubela, coxsackievirtus B4), bahan-bahan kimia

11

toksik seperti vacor (suatu racun tikus nitrofenilurea) dan sitotoksik perusak lainnya seperti
hidrogen sianida dari ubi manis atau ketela yang membusuk.9
Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap
kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi
autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90%
sel-sel beta menjadi rusak. Pada diabetes melitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta
telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang
berkaitan dengan defisiensi insulin. Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe I adalah
kaitan dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari
gen histokompabilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe I (DW3 dan DW4) adalah yang
memberi kode kepada protein-protein yang berperanan penting dalam interaksi monositlimfosit. Protein-protein ini mengatur respons sel T yang merupakan bagian normal dari
respons imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting
dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans. Jika terdapat bukti adanya
peningkatan antibodi terhadap komponen antigenik tertentu dari sel beta. Epidemi diabetes
tipe I awitan baru telah diamati pada saat-saat tertentu dalam setahun pada anggotaanggota dari kelompok sosial yang sama.7,10-11
Epidemiologi
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta
kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru.
Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan
penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang
sama, penderita diabetes paling sedikit 2½ kali lebih sering terkena serangan jantung
dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes.
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit
vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling
utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak
terkontrol juga meningkat.

12

Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan
hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti
kebutaan dan penyakit vaskular.8
Diabetes melitus tipe lain sering ditemukan di daerah tropis dan negara berkembang.
Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanya malnutrisi disertai kekurangan protein yang
nyata. Diduga zat sianida yang terdapat pada singkong yang menjadi sumber karbohidrat di
beberapa kawasan di Asia dan Afrika berperan dalam patogenesisnya. Di Jawa Timur sudah
dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi diabetes di pedesaan adalah 1,47% sama
dengan di perkotaan 1,43%. Sebesar 21,2% dari kasus diabetes di pedasaan adalah jenis ini.
Diabetes jenis ini di masa datang masih akan banyak, mengingat jumlah penduduk yang
masih berada di bawah kemiskinan yang tinggi. Dulu jenis ini disebut Diabetes terkait
Malnutrisi (MDRM), tetapi oleh karena patogenesis ini tidak jelas maka jenis ini pada
klasifikasi terakhir (1999) tidak lagi disebut sebagai MDRM tetapi disebut Diabetes Tipe
Lain.7
Patofisiologi dan Etiologi
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola
familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko
berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak
cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes
awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola
autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan
nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2.
Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya
tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan
transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2
terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan
oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif
terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi
penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa.
13

Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul
kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai
untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas.
Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul
kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan
seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi
glukosa.8
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi
insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria.
Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine
(poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka
pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala
apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut
mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya
relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis.
Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap
obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar
glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap
insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi,
tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita
juga resisten terhadap insulin eksogen.
Penatalaksanaan
14

Penatalaksanaan diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik
dan pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5)
pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri.
Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar
bagaimana menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pada pasien
diabetes tipe 2 terdapat resistensi insulin dan defisisiensi insulin relatif dan dapat ditangani
tanpa insulin.
Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan
karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi,
bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan atau meningkatkan berat tubuh.8
Untuk penatalaksanaan pada umumnya menggunakan 4 pila dalam pengelolaan DM.
Empat pilar tersebut terdiri dari:1
1. Edukasi
Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku
dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi.
Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah
merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama
dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi,
dokumentasi, dan evaluasi.
2. Perencanaan makanan/Diet
Perencanaan makanan harus disesuaikan menurut kebiasaan masing-masing
individu. Yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat. Faktor
yang berpengaruh pada respons glikemik makanan adalah cara memasak, proses
penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komposisi makanan (karbohidrat.
lemak dan protein). Pada keadaan glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan
untuk mengonsumsi sukros sampai 5% kebutuhan kalori. Standar jumlah kalori yang
dianjurkan adalah:
 Karbohidrat

60-70%
15

 Protein

10-15%

 Lemak

20-25%

Jumlah kandungan kolesterol yang disarankan