Manajemen dalam Islam implementasi manajemen

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manajemen sudah ada sejak manusia itu ada, manajemen
sebetulnya sama usianya dengan kehidupan manusia, mengapa demikian, karena
pada dasarnya manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak bisa terlepas dari
prinsip-prinsip manajemen, baik langsung maupun tidak langsung, baik disadarai
ataupun tidak disadari. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari kita seperti
mengatur diri kita atau jadwal tugas-tugas kita, kita sudah melakukan yang
namanya manajemen.
Nabi Adam dan Siti Hawa sebagai manusia pertama menghuni dunia
dengan tekun telah menata sejarah kehidupan manusia tahap demi tahab dengan
tatanan yang perspektif. Tatanan kehidupan manusia melalui tata cara yang selalu
berkembang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Tatanan kehidupan yang tertata
baik dan terarah merupakan sendi-sendi manajemen yang tidak bisa terpisahkan
dengan kehidupan manusia.
Tatanan kehidupan manusia dari berbagai bentuknya secara serta merta
tidak akan terlepas dengan yang namanya manajemen dari bentuk dan keadaan
yang multi dimensi. Tentunya manajemen menjadi keniscayaan bagi kehidupan
manusia untuk selalu di inovasi sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga
manajemen bisa memberi manfaat yang lebih baik. Disini penulis akan membahas

manajemen dalam agama islam dan perkembanganya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian manajemen.
2. Bagaimana manajemen menurut Islam.
3. Bagaimana perkembangan manajemen dalam Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen
Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur.
Pengaturan dilakukan melalui proses dan literature berdasarkan urutan dari
fungsi-fungsi manajemen itu. Jadi, manajemen itu merupakan suatu proses untuk
mewujudkan tujuan yang diinginkan .
Menurut Mary Parker Follet (188-1933), manajemen diartikan sebagai The
art of getting things done through people. One can also think of manajement
functionally, as the action of measuring a quality on a regular basis and af
adjusting some initial plan; or as the actions taken to reach one’s intended goal.
This applies even in situations where palnning does not take place. Artinya lebih
dekat pada seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini
berarti bahwa seseorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain

untuk mencapai tujuan organisasi.
Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk
mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan
dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas
yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisasi, dan sesuai dengan jadwal.
Dari beberapa pengertian manajemen di atas, yang terjemahanya dalam
bahasa Indonesia hingga saat ini memang belum ada keseragaman. Selanjutnya,
bila kita mempelajari literature manajemen, maka akan ditemukan bahwa istilah
manajemen mengandung tiga pengertian, yaitu: a) Manajemen sebagai suatu
proses, b) Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas
manajemen, dan c) Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu
pengetahuan (Science).
1. Manajemen sebagai suatu proses. Pengertian manajemen sebagai suatu
proses dapat dilihat dari pengertian menurut :



Encylopedia of the social science, yaitu suatu proses dimana
pelaksanaan suatu tujuan tertentu dilaksanakan dan diawasi.




Haiman, manajemen yaitu fungsi untuk mencapai suatu tujuan
melalui kegiatan orang lain, mengawasi usaha-usaha yang
dilakukan individu untuk mencapai tujuan.



Georgy R. Terry, yaitu cara pencapaian tujuan yang telah
ditentukan terlebih dahulu dengan melalui kegiatan orang lain.

2. Manajemen sebagai suatu kolektivitas manusia
Manajemen sebagai kolektivitas yaitu merupakan suatu kumpulan dari
orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Kolektivitas atau kumpulan orang-orang inilah yang disebut dengan manajemen,
sedang orang yang bertanggung jawab terhadap terlaksananya suatu tujuan atau
berjalannya aktivitas manajemen disebut Manajer.
3. Manajemen sebagai ilmu ( Science ) dan sebagai seni
Manajemen sebagai suatu ilmu dan seni. Mengapa disebut demikian?

sebab antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Manajemen sebagai suatu ilmu
pengetahuan, karena telah dipelajari sejak lama, dan telah diorganisasikan menjadi
suatu teori. Hal ini dikarenakan didalamnya menjelaskan tentang gejala-gejala
manajemen, gejala-gejala ini lalu diteliti dengan menggunakan metode ilmiah
yang dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang diwujudkan dalam bentuk
suatu teori .
B. Manajemen Menurut Islam
Kalau kita telusuri sejarah, perjuangan Nabi Muhammad SAW sungguh
merupakan suatu fenomena yang spektakuler. Dirinya mampu membentuk suatu
peradaban terbesar hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Wakt yang sangat singkat
untuk membentuk peradaban yang begitu kokoh dan terbesar luas hingga kini.
Dapat kita renungkan bahwa kesuksesan tersebut tentu tidak mungkin terjadi
tanpa adanya manajemen yang baik-walaupun pada waktu itu belum muncul yang
namanya istilah manajemen. Sekarang ini, manajemen merupakan istilah yang

sudah dipahami dan dimengerti oleh manusia secara luas . Dalam sebuah hadits
disebutkan:

‫ان الله يحب الدين يقثلزن ف سبيله صفا كمماء نهممم بنيممن (مممر‬
)‫صو ص‬

“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu
pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas, dan tuntas).” (HR.Thbrani)
Pembahasan pertama dalam manajemen sayari’ah adalah perilaku yang
terkait dengan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Jika setiap perilaku orang
yang terlibat dalam sebuah kegiatan dilandasi dengan nilai tauhid, maka
diharapkan perilakunya akan terkendali dan tidak terjadi perilaku KKN (korupsi,
kolusi, nepotisme) karena menyadari adanya pengawasan dari Allah SWT.
Hal ini berbeda dengan perilaku dalam manajemen konvensional yang
sama sekali tidak terkait bahkan terlepas dari nilai-nilai tauhid. Orang-orang yang
menerapkan manajemen konvensional tidak merasa adanya pengawasan melekat,
kecuali semata mata pengawasan dari pemimpin atau atasan. Setiap kegiatan
dalam manajemen syari’ah di upayakan menjadi amal soleh yang bernilai abadi .
Manajemen menurut pandangan Islam merupakan manajemen yang adil.
Batasan adil adalah pimpinan tidak ''menganiaya'' bawahan dan bawahan tidak
merugikan pimpinan maupun perusahaan yang di tempati. Bentuk penganiayaan
yang dimaksudkan adalah mengurangi atau tidak memberikan hak bawahan dan
memaksa bawahan untuk bekerja melebihi ketentuan. Seyogyanya kesepakatan
kerja dibuat untuk kepentingan bersama antara pimpinan dan bawahan. Jika
seorang manajer mengharuskan bawahannya bekerja melampaui waktu kerja yang
ditentukan, maka sebenarnya manajer itu telah mendzalimi bawahannya. Dan ini

sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam .
Manajemen islam harus didasari nilai-nilai dan etika islam. Islam yang
ditawarkan berlaku universal tanpa mengenal ras dan agama. Boleh saja berbisnis
dengan label islam dengan segala labelnya, namun bila nilai-nilai dan akhlak

islam dalam melakukan bisnis tersebut ditinggalkan, maka tidaklah lagi pantas
dianggap sebagai islam .
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan
melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (az-Zalzalah:7-8).
Agama islam sebagai agama yang sempurna (kaffah) telah memberikan
ketentuan-ketentuan bagi umat manusia dalam melakukan aktivitasnya di dunia,
termasuk dalam bidang perekonomian. Semua ketentuan diarahkan agar setiap
individu dalam melakukan aktivitasnya dapat selaras dengan nilai-nilai yang
terdapat dalam Al-qur’an dan al-Hadis. Dengan berpegang pada aturan-aturan
islam, manusia dapat mencapai tujuan yang tidak semata-mata bersifat materi
melainkan juga yang bersifat rohani, yang didasarkan pada falah (kesejahteraan) .
Muhammad Hidayat, seorang konsultan bisnis syariah, menekankan
pentingnya unsur kejujuran dan kepercayaan dalam manajemen Islam. Nabi
Muhammad SAW adalah seorang yang sangat terpercaya dalam menjalankan

manajemen bisnisnya. Manajemen yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW,
adalah menempatkan manusia bukan sebagai faktor produksi yang semata diperas
tenaganya untuk mengejar target produksi.
Nabi Muhammad SAW mengelola (manage) dan mempertahankan
(mantain) kerjasama dengan stafnya dalam waktu yang lama dan bukan hanya
hubungan sesaat. Salah satu kebiasaan Nabi adalah memberikan reward atas
kreativitas dan prestasi yang ditunjukkan stafnya.
Menurut Hidayat, manajemen Islam pun tidak mengenal perbedaan
perlakuan (diskriminasi) berdasarkan suku, agama, atau pun ras. Nabi Muhammad
SAW bahkan pernah bertransaksi bisnis dengan kaum Yahudi. Ini menunjukkan
bahwa Islam menganjurkan pluralitas dalam bisnis maupun manajemen .
Menurut Abu Sin untuk dapat dikategorikan manajemen islam ada empat
hal yang harus dipenuhi.
Pertama, manajemen isami harus didasari nilai-nilai dan akhlak islami. Etika
bisnis yang ditawarkan salafy dan salam berlaku universal tanpa mengenal ras dan
agama. Boleh saja berbisnis dengan label islam dengan segala atributnya, namun

bila nilai-nilai dan akhlak berbisnis ditinggalkan, cepat atau lambat bisnisnya akan
hancur.
Kedua, kompensasi ekonomis dan penekanan terpenuhinya kebutuhan dasar

pekerja. Cukuplah menjadi suatu kezaliman bila perusahaan memanipulasi
semangat

jihad

seorang

pekerja

dengan

menahan

haknya,

kemudian

menghiburnya dengan mengiming-iming pahala yang besar. Urusan pahala, Allah
yang


mengatur.

Urusan

kompensasi

ekonomis,

kewajiban

perusahaan

membayarnya.
Ketiga, faktor kemanusiaan dan spiritual sama pentingnya dengan kompensasi
ekonomis. Pekerja di perlakukan dengan hormat dan diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan. Tingkat partisipaif pekerja tergantung pada intelektual
dan kematangan psikologisnya. Bila hak-hak ekonomisnya tidak ditahan, pekerja
dengan semangat jihad akan mau dan mampu melaksanakan tugasnya jauh
melebihi kewajiban.
Keempat, sistem dan struktur organisasi sama pentingnya, kedekatan atasan dan

bawahan dalam ukhuwah islamiyah, tidak berarti menghilangkan otoritas formal
dan ketaatan pada atasan selama tidak bersangkut dosa .
C. Perkembangan Manajemen Dalam Islam
Perhatian umat islam terhadap ilmu manajemen khususnya sebenarnya
dapat dilacak dari beberapa aktivitas yang ditemukan pada masa kekhalifahan
islam. Menurut langgulung (1988), terhadap beberapa penulis yang menyatakan
bahwa pengembangan ilmu-ilmu yang ada saat itu tidaklah dipisahkan sebagai
sistem ilmu yang berdiri sendiri, namun sebagai system ilmu lain. Salah satunya
adalah Nizam al-idari atau sistem tatalaksana yang merupakan padanan bagi
istilah manajemen yang digunakan kala itu .
Sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara manajemen syariah
(islam) dengan manajemen modern. Keduanya berbeda dalam hal tujuan, bentuk
aturan teknis, penyebarluasan dan disiplin keilmuannya. Disamping itu,
pengembangan pemikiran modern oleh Negara barat telah berlangsung sangat
dinamis. Di satu sisi, masyarakat muslim belum optimal dalam mengembangkam

kristalisasi pemikiran manajemen syariah dari penggalan sejarah (turats) yang
otentik, baik dari segi teori maupun praktik. Padahal Rasulallah telah bersabda
bahwa: “Telah aku tinggalkan atas kalian semua satu perkara, jikakalian
berpegang teguh atasnya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya setelah ku,

yaitu kitab allaah (alqur’an) dan sunnah ku (Hadis) .
Sesungguhnya rasulallah dalam kapasitasnya adalah sebagai pemimpin
dan imam yang berusaha memberikan metode, tata cara atau solusi bagi
kemaslahatan hidup umatnya, dan yang dipandangnya relevan dengan kondisi
zaman yang ada. Bahkan terkadang Rasulallah bermusyawarah dan meminta
pendapat dari para sahabat atas persoalan yang tidak ada ketentuan wahyunya.
Rasulallah mengambil pendapat mereka walaupun mungkin bertentangan dengan
pendapat pribadinya.
Proses dan sistem manajemen yang diterapkan rasulallah bersifat tidak
mengikat bagi para pemimpin dan umat setelahnya. Persoalan hidup terus
berkembang dan berubah searah dengan putaran waktu dan perbedaan tempat.
Yang dituntut oleh syariat adalah para pemimpin dan umatnya harus berpegang
teguh pada asas manfaat dan maslahah, serta tidak menyia-nyiakan ketentuan
nash syari’. Namun, mereka tidak terikat untuk mengikuti sistem manajemen
Rasul dalam pemilihan pegawai, misalnya, kecuali, jika metode itu memberikan
asas maslahah yang lebih, maka ia harus mengikutinya. Jika ia menolaknya, ini
merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Dan hal ini diharamkan oleh
allah dan Rasul-Nya.
Standar asas manfaat dan masalah tidaklah bersifat rigid. Ia bisa berubah
dari waktu ke waktu. Dan dari satu

tempat ke tempat lainnya. Untuk itu,

manajemen dalam islam bersandar pada hasil ijtihad pemimpim dan umatnya.
Dengan catatan, ia tidak boleh bertentangan dengan konsep dasar dan prinsip
hukum utama yang bersumber dari alqur’an dan al-sunnah, serta tidak bertolak
belakang dengan rincian hukum syara’ yang telah dimaklumi. Umat muslim masih
memiliki ruang untuk melakukan inovasi atas persoalan detail yang belum
terdapat ketentuan syari’nya .

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Manajemen adalah sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran
(goals) secara efektif dan efisien.
2.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul ,Manajemen Investasi Syari’ah, Bandung: Alvabeta, 2010.
Aminudin, Fatkhul Aziz, Manajemen Dalam Perspektif Islam,Majenang: Pustaka
El-Bayan, 2012.
Ibrahim, Ahmad Abu Sinn, Manajemen Syari,ah, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Karim, Adhiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer , Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Hafidhuddin, Didin - Hendri Tanjung, Manajemen Syari’ah Dalam Praktik
,Jakarta: Gema Insani, 2003
Hasibuan, Malayu, Manajemen, dasar, Pengertian, dan Masalah,

Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2005.
Kuat, Ismanto, Manajemen Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009.

Abdus Sattar Abbasi, Kashif Ur Rehman and Amna Bibi, “Islamic Manajemen
Model” African Journal of Business Management Vol. 4(9), pp. 1873-1882, 4
August, 2010.
Chapra, Umar, Islam and the Economic Challenge (United Kingdom and USA:
The Islamic Foundation and The international Institute Of Islamic Thought, 1992).