ISU LOKALITAS DALAM FILM INDONESIA Kaji

ISU LOKALITAS DALAM FILM INDONESIA
(Kajian Counter Hegemony dalam Film Indonesia 1999

2012)

Oleh:
1
2
3
Sari Monik Agustin , Lestari Nurhajati , Tritama Chaerani
Universitas Al Azhar Indonesia
monik@uai.ac.id, lestari@uai.ac.id, tritamachaerani@gmail.com

Abstrak

Kebangkitan perfilman Indonesia ditandai dengan pemutaran film Ada Apa dengan Cinta dan
yang mengejutkan adalah Petualangan Sherina yang mendapat respon sangat positif dengan
indikasi jumlah penonton 1,4 juta orang dalam waktu 2 bulan. Dari catatan film Indonesia yang
makin rutin di produksi di tahun 1950-an, maka di tahun 2000-an inilah pemecahan rekor jumlah
penonton benar-benar terjadi. Rata-rata film larisnya mencapai angka di atas 1,2 juta penonton.
Termasuk film Laskar Pelangi (2008) yang mencapai 4,6 juta penonton. Film-film laris di tahun

2000-an ini memiliki beberapa kesamaan identitas, yakni mengangkat isu lokalitas yang cukup
kental. Sehingga seolah memutar balik anggapan pihak produser dan pembuat film di Indonesia,
bahwa yang laku dijual di Indonesia hanya film-film berbau mistik, seks, dan kekerasan.
Permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana sesungguhnya identitas film Indonesia?
Apakah benar film-film komersial yang laku di pasaran hanya berdasarkan selera pasar? Lalu
apakah ada hubungan antara nilai-nilai lokalitas pada sebuah film dengan wujudnya sebagai
counter hegemony?
Para pembuat film, terutama para produser dan rumah produksi seringkali menyatakan bahwa
film yang mereka buat cenderung untuk sekedar memenuhi selera pasar dengan ramuan: seks,
mistik, kekerasan, serta roman percintaan picisan. Namun kenyataannya, ada juga film-film yang
dibuat dengan idealisme berbeda, termasuk dengan muatan ranah lokal yang sangat kuat dan
ternyata laku di pasaran. Malah tercatat sejak tahun 2000 itu, semua yang bermuatan lokal
menjadi film-film laris.
Kajian ini berhasil mengidentifikasi bahwa di tengah gegap industri budaya yang mengedepankan
ideologi ekonomi dan kapitalisme, terdapat counter hegemony yang dilakukan beberapa pelaku
perfilman sebagai intelektual organis, yang menghembuskan aroma positif dalam perjuangan
melawan hegemoni film-film berbau seks, mistis, kekerasan, dan roman percintaan picisan.
Kajian ini juga menemukan bahwa sepanjang tahun 1999-2000, data jumlah penonton yang
dikumpulkan, menunjukkan bahwa 12 besar film dengan jumlah penonton terbanyak masih
diduduki oleh isu lokalitas, sehingga hal ini membawa angin segar bagi akademisi pemerhati

industri budaya. Kajian ini membuktikan bahwa film dengan isu-isu lokalitas, selain dapat
mempertahankan idealisme nilai-nilai budaya sekaligus identitas bangsa Indonesia, dapat
bersanding dan bersaing dalam dunia perfilman Indonesia.
Kata Kunci: film indonesia, counter hegemony, intelektual organis, data jumlah penonton, industri
budaya

1

Dosen Tetap Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa Program Pascasarjana S3 Universitas Indonesia,
dan Penyaji dalam Seminar Komunikasi Indonesia dalam Membangun Peradaban Bangsa 2013 atas
bantuan pendanaan seminar dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Al Azhar
Indonesia (LP2M UAI)
2
Dosen Tetap Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa Program Pascasarjana S3 Universitas Indonesia
3
Mahasiswa Program Pascasarjana S2 Universitas Indonesia

PENDAHULUAN

Perfilman Indonesia dimulai dengan sejarahnya, yakni pembuatan pertama kalinya film


di Indonesia, berupa film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat
oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan aktor lokal

oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal
31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung. Setelah itu tidak terlalu

banyak data yang diperoleh tentang film-film Indonesia yang diproduksi dan diedarkan.

Namun tahun 1950-an dianggap sebagai masa-masa perfilman Indonesia makin
bersinar. Menurut Kristanto (2005), film Tiga Dara (1956), yang dianggap mengikuti
selera pasar itu nyatanya banyak ditonton orang untuk ukuran saat itu. Pada masa itu

pula lahir film laris lain semisal Hari Libur (1957, sutradara AW Uzhara) dan Djandjiku
(1956, BK Raj, seorang India). Memasuki akhir 50-an hadir Djendral Kantjil (1958). Film

yang dibintangi Achmad Albar saat masih berumur 12 tahun itu tergolong laris di
masanya.

Sementara bila melihat dari tren tahun 1970-1980, film terlaris diduduki oleh Inem


Pelayan Sexy (1976) jadi film terlaris dan ditonton 371.369 orang, sementara antara
tahun 1981-1990 posisi terlaris dipegang film Pengkhiatan G-30-S PKI (1982) yang

ditonton 699.282 orang, memecahkan rekor sejak tercatatnya hadirnya film Indonesia di
tahun 1950-an. Sementara tahun 1991-1999 tidak ada angka-angka penonton yang
menembus di atas 200 ribu. A Rahim Latif, salah seorang pengamat perfilman Nasional,

dalam wawancara dengan harian Kompas (21 Oktober 2008) mengungkapkan bahwa

asumsi biaya produksi rata-rata film nasional saat ini adalah sekitar Rp 2-3 miliar per
film, dan pendapatan rata-rata produser dari bagi hasil tiket hanya sekitar Rp 5.000 per
tiket. Sehingga dibutuhkan paling tidak satu juta penonton untuk meraih untung, jika di
bawah itu, maka produser diperkirakan akan mengalami kerugian.

Dari sinilah sikap kebanyakan produser pun muncul, yakni berusaha melihat pasar
konsumen dengan cara mengira-kira film yang bakal laku ditonton. Maka pembuatan

film tanpa persiapan matang semacam riset, atau materi yang bagus pun dilakukan.
Tidak hanya dibuat dengan terburu-buru, malah seringkali juga dengan ide hanya

menjadi pengekor dari film lain yang dirasa sukses.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Film sebagai media komunikasi

Pada mulanya media film terkait erat dengan institusi bioskop, tetapi seiring dengan
perubahan gaya hidup, pertumbuhannya jauh lebih besar dibanding dengan era film

bioskop. Film telah menjadi bagian kehidupan yang diserap langsung dalam kehidupan
masyarakat. Film merupakan media yang penting saat ini, lebih dari sekadar hiburan,

film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena film adalah
media komunikasi. Hal ini sesuai dengan Mukadimah Anggaran Dasar Karyawan Film
dan Televisi 1995, yang menjelaskan bahwa film:

bukan semata-mata barang


dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya
pengaruh

yang

besar

sekali

atas

masyarakat,

sebagai

alat

revolusi

dapat


menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan
nasional, membina nation dan character building, mencapai masyarakat sosialis
Indonesia berdasarkan Pancasila .

Selain untuk kepentingan komersial, peranan film dalam mempengaruhi seseorang
sangat besar, karena salah satu fungsi film adalah sebagai kritik sosial. James Monaco
dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori.

Pertama kategori cinema diilihat dari segi estetika dan sinematografi. Kedua, kategori

film dalam hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan politik dan kategori
ketiga,

movies

sebagai

(http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3).


barang

dagangan

Produksi film secara spesifik biasa dilihat sebagai inti dalam industri budaya. Arus besar
dari industri hiburan ini bersifat global. Boleh dikata film sebagai industi budaya yang

digerakkan kekuatan permodalan dari pusat industri budaya mengisi suatu sistem pasar
yang luas. Dalam persaingan, kekuatan permodalan dari negara pinggiran tidak punya

daya saing. Karenanya format produk film mengalami keseragaman dari arus besar

yang dilahirkan oleh pusat-pusat industri budaya yang jumlahnya terbatas. Pasokan
produksi dan format yang ditentukan oleh satu-dua pusat industri hiburan global, adalah
realitas dalam sistem industri film (Siregar, 2007:2).

3

Identitas Film Indonesia


Media massa, termasuk film adalah bagian dari identitas sebuah masyarakat itu sendiri.

Karena dalam film tersebut kita bisa mengenal kehidupan sosial, poilitik, dan budaya

suatu masyarakat. Hal ini sejalur dengan apa yang dikemukakan oleh Castells (2004)
bahwa media berakar dari masyarakat itu sendiri, dan juga interaksi mereka dengan
proses politik, serta bergantung dengan konteks, strategi aktor politik, dan interaksi

spesifik antara kesatuan sosial, budaya, dan juga kehidupan politik yang ada. Dari sini

juga jelas bahwa film Indonesia adalah bagian dari identitas masyarakat Indonesia itu
sendiri. Dalam perkembangannya, film-film Indonesia menunjukkan keragaman dari

tema yang diproduksinya, hal ini secara langsung maupun tidak juga menunjukkan
keragaman masyarakat Indonesia. Pluralistik dan multikultural tampak jelas di
masyarakat Indonesia bila kita lihat identitas film-film Indonesia yang diproduksinya.

Film dapat digunakan untuk memahami pandangan dunia dari peradaban lain, atau
kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita melek budaya, juga
bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori menyatakan bahwa film sebaiknya


menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya. Seorang pakar teori film,
Sigfried Kracauer menyatakan, Umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita, dan

perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam
hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu . Artinya, perkembangan film

Indonesia hanya dapat dipahami dengan baik jika perkembangan itu dilihat dalam

hubungannya dengan latar belakang perkembangan sosial budaya bangsa itu.
(http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3).
Ekonomi Politik Media pada Film Indonesia

Film adalah salah satu faktor penting dari ikon budaya pop. Kekuatan industri film telah

membius gaya hidup masyarakat. Produk hiburan dan budaya yang keluar dari ikon
tersebut menjadi trendsetter bagi konsumsi budaya kelompok masyarakat itu. Pengaruh

kebudayaan pop begitu kuat bagi masyarakat karena dipengaruhi oleh globalisasi,
komunikasi, informasi, hiburan, dan komersialisme.


Film sebagai budaya pop menyuguhkan komunikasi itu dalam kemasan hiburan dan
informasi melalui komersialisasi produknya di tengah arus globalisasi. Perspektif

ekonomi politik yang melingkupi soal media di Indonesia merupakan salah satu dampak

dari arus globalisasi. Perspektif ekonomi politik media di Indonesia tidak bisa dipisahkan

4

dengan pemahaman kita terhadap proses relasi sosial khususnya hubungan kekuasaan
yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi dan

konsumsi dari sumber-sumber yang ada dalam konteks bidang komunikasi di Indonesia
maka sumberdaya yang berupa relasi audiens, pelaku bisnis media, pemerintah
merupakan jalinan atau rangkaian produksi, distribusi dan konsumsi media di Indonesia.

Rangkaian kekuasaan politik yang berarti kekuasaan untuk mengontrol dan rangkaian
kekuasaan ekonomi yang berarti kekuasaan untuk tetap survive dalam hidup bersama.

Dengan demikian rangkaian produksi, distribusi, konsumsi dalam sebuah industri media
ditentukan oleh hubungan yang melibatkan pelaku media, pemodal media (kapitalis
media), dan negara sebagai penguasa dalam arti politis (Mosco, 1996:140).

Industri film memang industri yang padat modal. Di Indonesia, untuk membuat film

dengan bahan baku 35 mm, diperlukan biaya kurang lebih Rp. 3-5 miliar, bahkan ada yg
lebih, seperti AAC (Rp. 10 miliar). Bandingkan dengan industri film Hollywood yang

biaya produksinya jutaan, bahkan puluhan juta dollar. Sementara jika film dibuat dengan
format Digital Betacam, kemudian dipindahkan ke pita seluloid (kinetransfer), biaya yang

dibutuhkan sekitar Rp. 2,5 miliar. Akibat mahalnya biaya pembuatan film, industri film di
Indonesia dikuasai hanya oleh segelintir orang pemilik modal.

Perlawanan terhadap kemapanan industri yang dimonopoli oleh kekuatan kapitalis, juga
muncul dalam bentuk yang lain, yaitu melalui komunitas underground. Komunitas ini

melakukan perlawanan dengan mengkapitalisasi diri sendiri dalam kelompok filmmaker

yang memproduksi film pendek independen. Para sineas tersebut bergerak atas nama
perlawanan ideologi yang didengung-dengungkan oleh para filsuf abad ke-20 seperti
Albert

Camus

yang

mengatakan

bahwa

karya

seni

sesungguhnya

adalah

pemberontakan. Dalam konteks ideologi, pemberontakan itu bergerak dengan misi

pembebasan, yaitu memerdekakan seni dari semangat borjuasi yang menjunjung tinggi

hedonisme dan mengucilkan diri dari kenyataan sosial masyarakat. Dengan demikian,
menurut filsuf George Lucas, ideologi perlawanan itu sangat menjunjung tinggi teori seni

berbasis kontemplasi dialektika antara seniman dan lingkungannya sebagai dua
kekuatan yang saling mengokohkan.

Dari rentang tahun 2000-2008 tercatat ada sekitar 238 judul film yang diluncurkan ke
pasaran bioskop indonesia dan dari situ tercatat ada 64 judul film yang dianggap

5

sebagai box office. Sementara di tahun 2012, tercatat 53 film ditayangkan di Bioskop

Indonesia dan terdapat lima judul film yang masuk dalam box office, The Raid, Negeri 5
Menara, Perahu Kertas, Nenek Gayung, dan Soegija. Adapun kriteria sebuah film untuk

dianggap sebagai film box office adalah dengan kriteria: menghasilkan penjualan tiket
lebih dari 400 ribu dengan perhitungan hasil penjualan setelah dipotong pajak dan biaya

iklan dibagi dua 50-50 antara pemilik bioskop dengan produser film berarti apa bila
harga tiket katakanlah sebesar Rp 5000, maka hasil perhitungan 400 ribu tadi akan

diolah dengan cara 400000 x 5000= 2.000.000.000, sementara bujet produksi sekarang

ini adalah sekitar 1,5 - 4 miliar jadi bisa kita bayangkan berapa yang akan kita dapat
untuk hasil akhirnya.

Muatan Ranah Lokal Dan Keberhasilan Di Pasaran

Lokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu
yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain (http://johnherf.wordpress.com). Lokalitas

tidak selalu identik dengan batas teritorial daerah. Lokalitas disuarakan demi membela

eksistensi budaya bersama komunitas tertentu sehingga membangkitkan kesadaran dan
semangat lokal (http://sosiologi.fisipol.ugm.ac.id/handoutseminar/Nurkhoiron.doc).

Lokalitas bisa dilihat dalam konsep politik maupun konsep budaya. Dalam konsep
politik, lokalitas sebagai sebuah simbol kekuasaan yang bersifat arbitrer, kaku, tegas

dan mengancam. Pemahaman ini berbeda apabila lokalitas dilihat dalam konteks
budaya. Dalam konteks budaya, lokalitas lebih dinamis, fleksibel dan kerap diandaikan
tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk di dalamnya

persoalan etnisitas. Secara metaforis, lokalitas merupakan sebuah wilayah yang

masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung
kebudayaan tertentu. Atau komunitas itu mengklaim sebagai warga yang mendiami
wilayah tertentu, merasa sebagai pemilik

pendukung kebudayaan tertentu, dan

bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan
pandangan hidup yang direpresentasikan melalui kesamaan bahasa dan perilaku dalam
tata kehidupan sehari-hari (http://johnherf.wordpress.com/2007/04/19/lokalitas-dalamsastra-indonesia/).

Lokalitas adalah salah satu jawaban besar dari upaya pencarian kekuatan tandingan
globalisasi. Globalisasi yang melahirkan banyak permasalahan, seperti kemiskinan,

pengangguran, ketidakmerataan, dan marginalisasi sebagian besar penduduk dunia,

6

memaksa orang untuk beralih dan memperkuat apa yang dimiliki dalam kehidupan
lokalnya. Seiring dengan merebaknya keyakinan orang akan fenomena globalisasi,
banyak dorongan untuk kemudian mengeksplorasi lokalitas, baik dari segi pemikiran
maupun aksi. Seperti yang dikemukakan Robertson, Haquekhondker, dan Korff;

The defense or promotion of the local is a global phenomenon (Robertson and
Haquekhondker, 1995 dalam Ismalina, 2005). One can not deny the globality of

locality, as locality in this sense is reproduced on a global scale. Globalization

can not be separated from localization. It has been maintained, that at the core of

the globalization debate is a polarity between global and local (Korff, 2003 dalam
Ismalina, 2005)

Hegemoni dan Counter-Hegemoni Gramsci

Pemikiran Marxisme atas ideologi sangat berkaitan dengan pemikiran Gramsci tentang
hegemoni. Ideologi adalah sistem keyakinan yang (Jones, 2003: 86):

Melegitimasi sistem produksi berbasis kelas yang membuatnya seolah benar dan

adil, dan /atau

Mengaburkan realitas atas konsekuensi-konsekuensi dari kesadaran orang

Kedua hal ini mirip dengan pandangan positivis fungsionalis tentang konformitas atas
kohesi dan keteraturan dalam masyarakat. Marxisme juga mempercayai bahwa

masyarakat kelas aka n bertahan karena individu di dalamnya memiliki komitmen dan

keyakinan pada ideologi yang sama. Mengapa hal ini bisa terjadi? Terutama jika individu
dalam masyarakat diikat oleh kesadaran palsu. Gramsci memberikan jawaban melalui
konsep Hegemoni.

Berbeda dengan pandangan fungsionalis yang mengatakan bahwa kerja kebudayaan

adalah memantapkan integrasi sosial, maka pandangan Marxis melihat kerja
kebudayaan adalah memantapkan ketidaksetaraan dan dominasi sosial. Gramsci

menekankan adanya pengendalian gagasan (budaya) sebagai sumber utama kekuasan
kapitalis. Apa yang dimaksud dengan hegemoni? Konsep hegemoni pertama kali
muncul dalam Notes on the Southern Question pada tahun 1926 (Adian, 2011: 41).

Hegemoni berarti ketidakmampuan individu untuk yakin bahwa dirinya memiliki

keyakinan, atau ketidakmampuan individu untuk yakin bahwa dirinya dapat memiliki

7

keyakinan yang berbeda dengan orang lain. Keyakinan sebagai hegemoni, artinya

penganut keyakinan tersebut harus meyakini bahwa keyakinan yang dimilikinya harus
dipelihara agar tetap menunjukkan eksistensinya (Jones, 2003: 101). Hegemoni juga

didefinisikan Gramsci sebagai kepemimpinan budaya yang dilaksanakan oleh kelas
yang berkuasa (Ritzer, 2012: 476).

Dalam Prison Notebooks, Gramsci mencatat bahwa sebuah kelompok menjadi
hegemonik bila kelompok tersebut mengartikulasi kepentingan sektoralnya sebagai

kepentingan umum, lalu merealisasikannya dalam kepemimpinan moral dan politik.
Hegemoni bekerja, atas dasar persetujuan dari segenap elemen masyarakat, dan sama
sekali tidak diupayakan melalui jalan kekerasan (koersi). Titik awal gagasan hegemoni

adalah bahwa sebuah kelompok menyelenggarakan kekuasaan terhadap kelompok sub-

ordinat melalui persuasi. Terjadi pemaksaan, hanya saja pemaksaan tersebut selalu
dibayangi atau ditutupi dengan persetujuan (Adian, 2011 : 42).

Dalam analisis kapitalisme, Gramsci ingin melihat bagaimana sejumlah intelektual, yang

bekerja di pihak kapitalis, mencapai kepemimpinan budaya dan memperoleh
persetujuan massa. Massa secara konformis menerima kepemimpinan budaya tersebut.

Dalam mekanisme hegemoni, peran intelektual menjadi penting dan sentral karena
mereka dapat disebut sebagai kelas yang memimpin dengan daya persuasi tingkat

tinggi. Terdapat dua intelektual dalam kacamata Gramsci, yaitu Intelektual Tradisional
dan Intelektual Organis. Intelektual Tradisional mengedepankan fungsi akademik dan

menjalankan peran sesuai sistem yang bekerja. Intelektual Organis lebih bersikap

sebagai agen perubahan, sebagai penghubung atau provokator bagi kaum proletar
dalam mencapai kesadaran kelas. Keadaran kelas yang dihembuskan intelektual

organis kemudian mengarahkan proletar dalam melawan hegemoni dan melakukan
revolusi. Oleh karenanya, konsep hegemoni kemudian membantu kita tidak hanya untuk

memahami konsep dominasi, namun juga membantu mengorientasikan pemikiran
Gramsci pada revolusi sebagai perubahan sosial (Ritzer, 2012: 476).

Gramsci memahami bahwa perubahan sosial menurut Marx akan terjadi bila kelas
proletar sudah mencapai kesadaran kelas. Namun, ketika kelas proletar mencapai

kesadaran kelas, Gramsci tidak setuju bila cara untuk mengadakan revolusi adalah
ketika dalam proses mencapai kesadaran kelas, kelas proletar kemudian harus menjadi

8

agen promosi atau tukang bujuk tentang kebenaran tentang kapitalisme. Menurut

Gramsci, yang seharusnya dilakukan adalah mengangkat hegemoni dari pikiran kelas
proletar dan kesadaran semu harus digantikan dengan kesadaran kelas. Untuk itu,
idelologi perlu diekspos. Kesadaran kelas tidak dapat terjadi dengan sendirinya melalui

perkembangan ekonomi sesuai dengan pandangan Marxisme, melainkan dengan
pemantapan melalui pendidikan dan melakukan sosialisasi tandingan (Jones, 2003:
101). Melalui revolusi, kelas proletar tidak hanya mengambil alih kendali atas ekonomi
dan aparat negara, namun juga kepemimpinan budaya.

Jadi, meskipun Gramsci menyadari pentingnya faktor-faktor struktural, seperti ekonomi
misalnya, ia tidak melihat bahwa faktor struktural akan membuat massa melakukan
pemberontakan atau revolusi. Massa perlu mengembangkan suatu ideologi yang

revolusioner, namun mereka tidak dapat melakukannya sendiri. Massa tidak mampu

mencapai kesadarannya sendiri berdasarkan usaha sendiri, melainkan mereka
membutuhkan bantuan dari kaum elit sosial, seperti kelas menengah/akademisi. Kelas

akademisi yang dimaksud adalah kaum intelektual organis. Jika massa dipengaruhi oleh
ide-ide yang berasal dari akademisi intelektual organis, maka mereka akan melakukan
revolusi sosial (Ritzer, 2012: 476). Gramsci lebih menekankan ide-ide kolektif
dibandingkan pada struktur sosial (ekonomi, misalnya).

Hegemoni ideologis dapat dieksekusi di kelas yang dominan, borjuis, tidak hanya

dengan mengerahkan kekuatan negara, tapi melalui sarana budaya. Gramsci kemudian
berhasil menggeser makna ideologi jauh dari sekedar sebagai alat negara. Bagi

Gramsci, ideologi beroperasi dan diproduksi dalam masyarakat sipil, lingkup individu
dan aktivitas kelompok. Peran intelektual organis adalah sebagai konstruktor dan
konduktor utama ideologi dan pemimpin non-pemerintah memegang otoritas budaya,

dan memiliki peran besar. Melalui revolusi tersebut, terciptalah counter-hegemony.

Hegemoni tidak diciptakan dalam bentuk sempurna, ia dapat dinegasikan dengan
kontra-hegemoni. Counter hegemoni (kontra-hegemoni) merupakan rumusan alternatif

budaya dan kehidupan sehari-hari yang menandingi rumusan dominan mereka. Gramsci

percaya pada peran penting kaum intelektual organis dalam keberhasilan revolusi.
Tentunya kaum intelektual yang diharapkan adalah intelektual organik yang menurut

Gramsci adalah mereka yang berpartisipasi aktif dalam menanamkan kesadaran baru
yang menyingkap keburukan sistem lama. Mereka dapat siapa saja intelektual yang

9

berasal dari kelompok tertindas dan turut merasakan dampak buruknya dalam
kehidupan masyarakat.

Namun yang perlu diingat bahwa hegemoni bukanlah seperangkat gagasan yang

konstan. Hegemoni dengan semangat Gramsci dianggap sebagai seperangkat gagasan
yang dipertandingkan dan bergeser yang dengannya kelompok-kelompok dominan
berusaha

mengamankan

fungsional

berdasarkan

persetujuan

kelompok-kelompok

subordinat

atas

kepemimpinan mereka, dan bukannya sebagai sebuah ideologi yang konsisten dan
kepentingan

sebuah

kelas

penguasa

dengan

cara

mengindroktinasi kelompok-kelompok subordinat (Strinati, 2010: 195). Sehingga,

hegemoni sebagai konsekuensi dari konflik kelas akan secara terus-menerus menyetujui
satu sisi perjuangan (kelompok dominan) dan mengorbankan pihak lain (kelompok
subordinat). Dengan kata lain, pertarungan hegemoni akan terus berlanjut.

Pemikiran Gramsci membuat kita mengetahui dimensi ideologi yang belum pernah
dibahas sebelumnya. Ideologi adalah sebuah fenomena yang merajai arena politik

seperti norma sosial, budaya dan pemahaman yang disebarkan oleh media massa dan
pekerja profesional. Para intelektual ikut bermain dengan memodifikasi ideologi sesuai
kebutuhan waktu. Modifikasi tersebut akan mencerminkan akal sehat massa yang

secara implisit akan hadir dalam seni, hukum, kegiatan ekonomi dan segala manifestasi

kehidupan individu dan kolektif (Adian, 2011: 47-48). Hegemoni menghasilkan kompromi

yang mengakomodasi kelompok subordinat. Gramsci memahami konfrontasi kelas

Marxis memberi jalan untuk membangun solidaritas yang mengarah pada komunitas
yang bersatu. Ideologi yang berbeda akan mempertahankan keadaan konflik sampai
salah satu ideologi tersebut atau kombinasi dari beberapa ideologi muncul. Hasilnya

adalah kesatuan politik, intelektual, moral dan ekonomi dengan tujuan sama. Hal ini

membentuk harapan bagi ideologi total dan homogenitas yang akan mencapai
kebenaran sosial.
METODE

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah studi kepustakaan
dan data sekunder. Data sekunder yang diperoleh adalah data film Indonesia dan

berbagai penghargaan dan data jumlah penonton film Indonesia terbanyak periode 1999
2012.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokalitas menyimpan sebuah sinergi yang jika terakumulasi akan menjadi kekuatan bagi

masing-masing entitas mulai dari level daerah hingga nasional. Sebuah contoh pada
penggunaan bahasa daerah dalam sebuah iklan susu yang sering ditayangkan di
televisi adalah contoh pemanfaatan unsur budaya, wujud keterlibatan aspek lokal dalam

kepentingan bisnis. Ternyata dengan melibatkan aspek lokal dalam kebijakan bisnis
yang tidak terikat batas-batas territorial, iklan tersebut cukup efektif baik dalam

kaitannya dengan orientasi bisnis maupun orientasi kontrol sosial budaya. Reproduksi
lokalitas menjadi sebuah komoditas membawa sebuah kebaikan berupa bangkitnya
kembali budaya lokal yang selama ini hanya menjadi budaya pinggiran. Hal ini terlihat
dari beberapa judul dan tema film yang produksi sejak awal

tahun 2000-an, yang

banyak sekali mendapat pengakuan dan menang berbagai macam penghargaan baik di

dalam dan di luar negeri, seperti yang dikupas oleh Kristanto (2005 dan ditambahkan
oleh penulis hingga 2012 dengan beberapa film yang mengandung isu lokal):
Tabel 1. Film Indonesia dan Penghargaan (1999
Tahun Produksi
/rumah produksi
1999/ Miles
Production dan
Mediatama Inisiatif
produser : Mira
lesmana dan
sutradara: Riri Riza

2006/ Alenia
Production dan EC
Entertainment
Produser : Ingrid
Pribadi, Hartawan T,
Nia Zulkarnaen dan
Ari Sihasale

2006/Mendadak
Dangdut

Judul Film
Petualangan Sherina:
Sebuah film yang menceritakan
tentang persahabatan 2 orang anak
yaitu Sherina dan Sadam (Romero)
dalam berusaha menyelamatkan
diri dari penculik bernama Pak
Raden dan Kertarajasa (Butet dan
Djaduk) yang menculik Sherina
dengan tujuan agar ayah Sherina
mau menyerahkan perkebunan
ayahnya Yaitu Pak Darmawan
(Mathias Muchus)
Denias, Senandung Di atas Awan
Adalah film yang dibuat
berdasarkan sebuah kisah nyata
yang terjadi didaerah Pegunungan
Jayawijaya, perjuangan seorang
anak dari suku lokal bernama
Denias untuk dapat bersekolah,
Denias sendiri sampai sekarang
masih ada dan berita terakhir yang
didapat ia sedang menyelesaikan
pendidikannya di Australia.

Mendadak Dangdut
Cerita dari film ini adalah kisah

2012)

Penghargaan Dalam
Negeri
Penghargaan predikat
film anak-anak terpuji,
FFB (festival Film
Bandung) 2001
FFI 2004 : unggulan
untuk pemeran pria
terbaik (Derby Romero),
pemeran pembantu pria
terbaik ( Djaduk
Feriyanto)
Pemenang untuk musik
terbaik.
Piala Citra untuk
pemeran Pria terbaik (
Albert.T Fawkdawer),
Unggulan FFI 2006
untuk Film,Sutradara,
Sinematografi,Editor,
pemeran pembantu pria
terbaik ( Mathias Muchus
dan Minus.C Karoba),
Mendapatkan
penghargaan FFI terpuji
untuk Penata kamera,
Artistik
Penghargaan khusus film
Etnik FFB 2007
Piala Citra Untuk
pemeran pembantu

Penghargaan di luar negeri
Penghargaan khusus FFAP (
Festival Film Asia Pasific) 2000

11

SinemaArt Pictures
Produser : Leo
Sutanto,Elly Yanti
Noor
Sutradara Rudy
Sudjarwo

seorang gadis yang bernama Petris
yang merupakan Vokalis sebuah
Band Rock, yang berusaha untuk
bersembunyi karena membawa
narkoba, ia disini kemudian
bergabung dengan sebuah orkes
dangdut Senandung Citayam
perjalanan dan berbagai kejadian
yang ia alami selama menjadi
penyanyi dangdut membuat ia
menjadi berubah lebih baik.
Opera Jawa
Sebuah film opera yang semua
dialognya adalah berupa nyanyian
begitu juga dengan adanya tarian
yang kesemuanya berbahasa Jawa
dan berasal dari Langgam Jawa.

wanita terbaik (
Kinaryosih), Unggulan
untuk Film,Skenario asli,
penata suara, musik,
pemeran utama pria (Dwi
Sasono), Pemeran utama
wanita ( Titi Kamal).
FFI 2006 untuk kategori
terpuji peran Pembantu
Wanita terbaik
(Kinaryosih)
Piala Citra untuk Musik,
Skenario, Adaptasi
terbaik FFI
2006,unggulan untuk
Artistik,Sinematografi,
Penata suara dan Penata
Artistik

2006/ Kalyana Shira
Production ,Investasi
Film Indonesia,
Cinekom dan
Wallworks
Produser : Adiyanto
Sumardjono,
Mahdiyan
Sahdiyanto,Djie
Tjianan, Claude
Kunetz, Constantin
Papadimtrieou
Sutradara : Nia
diNata

Berbagi Suami
Sebuah film unik,sangat berbobot, 3
cerita dalam 1 film fokus pada
kehidupan 3 orang perempuan dari
latarbelakang ekonomi sosial yang
beda yaitu Salma, Siti dan Ming
dan bagaimana cara mereka
menjalani dan menerima poligami
dari suami mereka

2007/Demi Gisela
Citra Sinema dan
Bumi Prasidhi BiEpsi
Produser : R Gisela

Naga Bonar Jadi 2
Merupakan sequel dari film Naga
Bonar 1 (1981) disini diceritakan
kisah hidup sang Naga Bonar
(Deddy Mizwar), Mantan copet

Piala citra untuk pemeran
pembantu pria terbaik ( El
Manik) dan kategori
penata artistik.
\dalam FFI 2006 film ini
juga mendapat unggulan
dalam kategori
sinematografi, pemeran
pembantu pria (Reuben
Elishama) pemeran
Wanita terbaik
(Shanty), pemeran
pembantu wanita (Ira
Maya Sopha, Ria
Irawan,Rieke Diah
Pitaloka).
MTV Indonesia Movie
Awards 2006 : Film
Terbaik
Jakarta Film Festival
2006 : Film terbaik,
Skenario Asli, sutradara
FFB 2006 : terpuji untuk
penata artistik dan aktris
terbaik (Dominique A
Diyose).
Mendapat predikat terpuji
untuk kategori Film,
Sutradara, Skenario,
Editing, pemeran utama
pria (Tora Sudiro) dan

2006/ SET Film
Production dan New
Crowned Hope,
Produser : Simon
Field, Keith
Griffith,Garin
Nugroho
Sutradara : Garin
Nugroho

Film ini adalah karya anak
bangsa yang khusus dibuat
untuk membuka peringatan
250 tahun lahirnya komponis
besar Mozart yang diketuai
oleh Peter Stellar
Film ini juga mendapat
penghargaan untuk penata
suara terbaik Hongkong Film
Festival 2006
Aktris terbaik (Artika Sari Devi)
komponis terbaik ( Rahayu
Supangah)
Dalam Festival Des 3
Continents di Nantes pada
tahun 2006
Silver Screen Awards juga
diberikan untuk film ini pada
Singapore International Film
Festival 2007
Hawaii International Film
Festival 2006 : Film Cerita
terbaik
Lyon Asian Film Festivals 11
Prancis 2006 : Silver Award
Diputar di 29 festival film
internasional.

12

Wati Wiranegara
dan Budiyati
Abiyoga
Sutradara : Deddy
Mizwar

2008/Kalyana Shira
Productions
Produser : Nia
diNata, Upi Lasja,
Susatyo,Fatimah T
Rony ,Shanty,
Susan Bahtiar
Kirana Larasati dan
Rieke Dyah Pitaloka

2008/Miles
Productions
Produser: Mira
Lesmana
Sutradara: Riri Riza

2009/PT Karisma
Starvision Plus
Produser: Chand
Parwez Servia
Sutradara: Hanung

yang jadi Jendral pada masa
perang penjajah kini telah makmur
dan menjadi pengusaha
perkebunan di kampungnya, tetapi
konflik yang harus dihadapi disini
adalah pengaruh modernisasi
terhadap lokalitas budaya dan
etnisitasnya ketika ia mengetahui
bahwa anaknya Bonaga (Tora
Sudiro) ingin menjual tanah
perkebunan ayahnya kepada
sebuah perusahaan property untuk
dibuat hotel mewah.
Perempuan Punya Cerita
(Chants Of Lotus)
Sebuah film yang berkualitas tinggi,
menceritakan kisah 4 perempuan
yang berbeda yang di pecah
menjadi 4 cerita yaitu :
1.Cerita Pulau
2.Cerita Yogya
3. Cerita Cibinong
4.Cerita Jakarta
yaitu Sumantri, Safina, Esi dan
Laksmi film ini sangat kuat sekali
memberikan kritik terhadap budaya
patriarki, banyak mengangkat isu
gender.
Laskar Pelangi
Film juga berusaha memperlihatkan
kondisi sosial daerah Belitong pada
tahun 70an dengan antara lain
mengontraskan "nasib" sekolah
miskin dan sekolah "mewah" milik
perusahaan pertambangan, bahkan
secara tersurat mempermasalahkan
hak pendidikan untuk orang miskin.
Film "Laskar Pelangi" merupakan
salah satu daya tarik bagi penonton
karena mendekatkan penonton
dengan realita dan persoalan yang
ada di masyarakat sekitar mereka.
Film ini dibintangi 10 anak asli
Belitung yang berperan sebagai
anggota Laskar Pelangi dan
gambar film ini juga memberi warna
baru sinema Indonesia pada tahun
ini dengan diangkatnya Belitung
sebagai sebuah pulau di Indonesia
yang sangat indah. Pemandangan
alam dan laut Belitung yang asri
cukup menyegarkan mata penonton
yang selama ini sering dijejali
sinema berlokasi di kawasan
Jakarta dengan gedung-gedung
pencakar langit dan kehidupan
mewah.
Perempuan Berkalung Sorban
Film yang mengangkat isu gender
dan SARA, menghadapi beberapa
kontroversi positif dan negatif di
sepanjang penayangannya

pemeran pembantu pria
(Lukman Sardi)

Merupakan film yang
merupakan film penutup
dari JIFFEST 2007

Official Selection Pusan
International Film Festivals
2008.
Official Selection VC online Los
Angeles 2008.
Official Selection Exprecion En
Corto Mexico International Film
Festivals.

Meraih 4 Penghargaan di
Indonesian Movie Awards
2009 dalam kategori
Pemeran Utama Wanita
Terbaik, Pemeran Utama
Pria Terbaik, Pendatang
Baru terfavorit Pria, dan
Film Terfavorit

Unggulan di Asian Film Awards
2009 meraih AFA Trophy for
Best Film and Best Editor
Signis Awards in Hongkong
International Film Awards 2009
The Golden Butterfly Awards
(Best Film) in International
Festival of Films for Children
and Young Adults Iran 2009
Best Actress in Brussels
International Independent Film
Festival 2010
Best Film in Asia Pacific Film
Festival 2010

Meraih 2 penghargaan di
Indonesian Movie Awards
dalam kategori Pemeran
Pembantu Wanita
Terbaik, dan Pemeran

Best Supporting Actress Asia
Pacific Film Festival 2010

13

Bramantyo

2011/Mahaka
Pictures & Dapur
Film Production
Produser: Hanung
Bramantyo, Celerina
Judisari
Sutradara: Hanung
Bramantyo

? (Tanda Tanya)
Film bermuatan lokal, dan berani
mengangkat isu SARA. Kisah yang
berputar pada permasalahan
masing-masing keluarga dan
perorangan tadi, berkelindan
dengan masalah sosial masyarakat:
kebencian antaretnis/agama,
radikalisme agama dalam bentuk
peristiwa penusukan pastor dan
bom di gereja, perusakan restoran,
juga usaha-usaha untuk
menengahinya.

2012/KarunaPictures
& Investasi Film
Indonesia
Produser: Teddy
Soeriatmadja, Indra
Tamoron Musu,
Adiyanto
Sumardjono
Sutradara: Teddy
Soeriatmadja

Lovely Man
Cahaya (Raihaanun), gadis
pesantren, pergi ke Jakarta untuk
mencari bapaknya, Syaiful (Donny
Damara), yang meninggalkan
rumah waktu Cahaya masih berusia
empat tahun. Sesampainya di
ibukota, Cahaya menemukan
bahwa bapaknya jauh dari
harapannya. Syaiful ternyata setiap
malam bekerja sebagai waria
dengan nama Ipuy. Mereka berdua
pun berjalan menyusuri jalanan
ibukota semalaman, mencoba
menemukan kembali ikatan
keluarga yang sudah lama hilang.

Utama Wanita Terfavorit
Meraih 7 penghargaan di
FFI 2009 dalam kategori
Pemenang Pemeran
Pendukung Pria Terbaik,
nominasi Film Terbaik,
Penyutradaraan Terbaik,
Penulis Skenario Cerita
Adaptasi Terbaik,
Pemeran Utama Wanita
Terbaik, Pemeran
Pendukung Wanita
Terbaik, dan Penata
Sinematografi Terbaik
Meraih 10 Piala Citra
dalam FFI 2011, untuk
kategori Sutradara
Terbaik, Penulis Skenario
Terbaik, Penulis Cerita
Asli Terbaik, Pengarah
Sinematografi Terbaik,
Pengarah Artistik
Terbaik, Penyunting
Gambar Terbaik, Penata
Suara Terbaik, Pemeran
Pendukung Pria Terbaik,
Pemeran Pendukung
Wanita Terbaik, Film
Bioskop Terbaik

Best Actor AFA Trophy Asian
Film Awards Hongkong 2012
Sutradara unggulan, AFA
Trophy Asian Film Awards
Hongkong 2012
Best Film, Golden Reel Award,
Tiburon International Film
Festival 2012
Best Director, Golden Reel
Award, Tiburon International
Film Festival 2012
Best International Narrative
Feature, Tel Aviv LGBT
International Film Festival 2012

Data di atas menunjukkan bahwa film-film Indonesia juga cenderung mengangkat isuisu lokalitas dan meraih banyak penghargaan berkenaan dengan isu tersebut. Hal ini

menampik isu bahwa film Indonesia dengan isu lokalitas tidak dapat bersaing dengan
film besutan para kapitalis yang mengangkat tema-tema yang laku dijual seperti horor
dan percintaan.

14

Tabel 2.
10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007 berdasarkan
tahun edar film
#
Judul
Penonton
1

Get Married

* 1.400.000

3

Terowongan Casablanca

* 1.200.000

2
4
5
6
7
8
9

Nagabonar Jadi 2
Quickie Express
Film Horor

Suster Ngesot The Movie
Pulau Hantu
Pocong 3

* 1.300.000
* 1.000.000
* 900.000
* 800.000
* 650.000
* 600.000

Kuntilanak 2

10
Lantai 13
Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2007#.UMH_hoO1cQo

* 550.000
* 550.000

Data ini memperlihatkan Nagabonar Jadi 2 adalah satu-satunya yang mengangkat isu
lokalitas

nasionalisme

percintaan dan horor.

dibanding sembilan film lain yang masuk dalam genre

Tabel 3.
10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2008 berdasarkan
tahun edar film
#
Judul
Penonton
1

Laskar Pelangi

4.606.785

3

Tali Pocong Perawan

1.082.081

2
4
5
6
7
8
9

Ayat-ayat Cinta

XL: Extra Large

The Tarix Jabrix

Hantu Ambulance
D.O. (Drop Out)

Otomatis Romantis

Kutunggu Jandamu

10
Cinlok
Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2008#.UMIAcoO1cQo

3.581.947
994.563
903.603
862.193
781.093
713.400

* 700.000
* 659.000

Data tahun 2008 memperlihatkan dilm Laskar Pelangi menduduki peringkat pertama di
atas film dengan genre percintaan dan horor.

15

Tabel 4.
10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2009 berdasarkan
tahun edar film
#
Judul
Penonton
1

Ketika Cinta Bertasbih

3.100.906

3

Sang Pemimpi

1.742.242

2
4
5
6
7
8
9

Ketika Cinta Bertasbih 2
Garuda Di Dadaku
Get Married 2

Air Terjun Pengantin
Suster Keramas

Perempuan Berkalung Sorban
Setan Budeg

10
Merah Putih
Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2009#.UMIBBYO1cQo

2.003.121
1.371.131
1.187.309
1.060.058
840.880
793.277

* 700.000
611.572

Data memperlihatkan bahwa film Sang Pemimpi sebagai sekuel dari Laskar Pelangi

dan Perempuan Berkalung Sorban masuk ke dalam 10 besar film Indonesia dalam
perolehan jumlah penonton pada tahun 2009.

Tabel 5.
10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2010 berdasarkan
tahun edar film

#

Judul

Penonton

2

Dalam Mihrab Cinta

623.105

1
3
4
5
6
7
8
9

Sang Pencerah

18+ : True Love Never Dies
Pocong Rumah Angker
Menculik Miyabi

Kabayan Jadi Milyuner

Tiran (Mati di Ranjang)

Darah Garuda (Merah Putih II)
Akibat Pergaulan Bebas

10
Satu Jam Saja
Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2010#.UMIBsYO1cQo

* 1.206.000
512.973
503.450
447.453
426.216
418.347
407.426
402.969
401.649

Data memperlihatkan bahwa pada tahun 2010, sebenarnya banyak film yang
mengangkat isu lokalitas seperti Sang Pencerah , dan Darah Garuda . Namun, tema
percintaan dan horor masih mendominasi peringkat.

16

Tabel 6.
10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2011 berdasarkan
tahun edar film
#
Judul
Penonton
1

Surat Kecil Untuk Tuhan

748.842

3

Hafalan Shalat Delisa

642.695

2
4
5
6
7
8
9

Arwah Goyang Karawang
Poconggg Juga Pocong
Get Married 3
Tanda Tanya

Di Bawah Lindungan Ka'bah
Purple Love

Tendangan dari Langit

10
Catatan Harian Si Boy
Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2011#.UMICNIO1cQo

727.540
622.689
563.942
552.612
520.267

503.133
491.077

* 450.000

Data menunjukkan, pada tahun 2011, isu-isu lokalitas mulai mendominasi dan tema
horor dan percintaan mulai seimbang dari segi perolehan jumlah penonton.

Tabel 7.
10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2012 berdasarkan
tahun edar film
#
Judul
Penonton
1

The Raid

1.844.817

3

Perahu Kertas

587.963

2
4
5
6
7
8
9

Negeri 5 Menara
Soegija

Nenek Gayung

Rumah Kentang
Perahu Kertas 2

Rumah Bekas Kuburan
Bangkit Dari Kubur

10
Pulau Hantu 3
Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2012#.UMIDUIO1cQo

765.425
459.465
434.732
401.016
387.073
279.144
246.175
241.375

Hingga trisemester akhir tahun 2012, perolehan jumlah penonton kembali didominasi
oleh tema horor. Tema percintaan pada tahun ini tidak terlalu menonjol, tergantikan oleh
tema action dari The Raid dan isu lokalitas dari film-film seperti Soegija .

Beberapa film pilihan penulis tidak masuk dalam data tersebut, karena penulis juga
mengangkat film-film yang memperoleh penghargaan walaupun tidak masuk dalam

17

peringkat perolehan jumlah penonton. Hal ini dikarenakan beberapa film pilihan penulis
tidak masuk dalam jaringan bioskop.

Apabila penulis merangkumkan berbagai data diatas dalam kategori Box Office Film

Indonesia (1999-2012), akan terlihat jelas bahwa film horor sensual, komedi, ataupun
percintaan yang sering dianggap sebagai formula umum, dikalahkan dengan film-film
bermuatan lokal jika dilihat dari segi jumlah penonton.

#

Judul

2

Ayat-ayat Cinta

1
3
4
5
6
7
8
9

10
11
12

Tabel 8.
12 Film Indonesia peringkat teratas
dalam perolehan jumlah penonton (1999 2012)

Laskar Pelangi

Ketika Cinta Bertasbih

Ketika Cinta Bertasbih 2
The Raid

Sang Pemimpi
Sherina

Mendadak Dangdut
Get Married

Garuda Di Dadaku

Naga Bonar Jadi 2
Sang Pencerah

*Disarikan Penulis dari berbagai sumber

Penonton
4.606.785
3.581.947
3.100.906
2.003.121
1.844.817
1.742.242
1.600.000

1.500.000
1.400.000
1.371.131
1.300.000
1.206.000

Isu Lokalitas Suatu Film, Counter Hegemony, dan Intelektual Organik

Nilai lokalitas yang berada dalam sebuah film adalah salah satu jawaban besar dari
upaya pencarian kekuatan tandingan dari standarisasi genre film Indonesia yang

mengarah pada horor, seksualitas, dan percintaan pada umumnya. Film-film bermuatan
lokal tentunya membawa nuansa yang berbeda dalam ranah film Indonesia.

Pemandangan yang memberikan harapan bagi perkembangan sinema indonesia
sebagai bagian dari ekspresi budaya bangsa sendiri. Walaupun bioskop-bioskop

Indonesia masih diserbu dengan ragam film horor dan konvensinya, banyak pula
serangkaian film yang mengandung isu lokalitas menjadi sleeper hit, seperti Mendadak
Dangdut (2006), Berbagi Suami (2006), Denias (2006) Opera Jawa (2006), Naga Bonar

18

Jadi 2 (2007), Laskar Pelangi (2008), Sang Pemimpi (2009), Merah Putih (2009),
Merantau (2009), Laskar Pemimpi (2010), Tanah Air Beta (2010), Sang Penari (2011),

Pengejar Angin (2011), 5cm (2012), Negeri 5 Menara (2012), Soegija (2012), dan
Atambua 39 Celcius (2012).

Film-film tersebut melawan pasar ideologi film horor yang kian menjurus ke tema urban

dan seksualitas sebagai komoditi. Misalnya, 5 cm dan Negeri 5 Menara harus bersaing

dengan Nenek Gayung dan Rumah Bekas Kuburan. Perjuangan film-film dengan isu
lokalitas tentu tidaklah mudah di tengah

tengah rimba film-film horor. Film horor

Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yaitu komedi, seks, dan religi. Ketiganya

menjadi formula ampuh yang membuat film- film horor Indonesia digemari. Formula

tersebut terus di reproduksi dan dijadikan komoditas dalam masyarakat. Fenomena
semacam ini sangat disayangkan terjadi dalam film Indonesia karena seringnya

pertimbangan komersial diutamakan, sehingga menghilangkan potensi budaya bangsa
sendiri. Lalu, kemana sineas Indonesia yang menjadikan film sebagai gambaran
bangsa? Atau malah saling latah membuat film horror yang mampu menarik perhatian

penonton hingga lebih dari 400 ribu penonton? Kecenderungan hegemoni ini sangatlah

ironi dalam perkembangan film horror Indonesia kontemporer ataupun perfilman
Indonesia pada umumnya.

Namun lahirnya independent filmmaker membawa harapan bagi kita bahwa ada sineas
yang tidak ingin dikekang oleh aturan pasar, sehingga mereka cenderung bekerja di luar

sistem dan membawa ideologi mereka dalam proses pembuatan film. Di Indonesia
sendiri, kita dapat melihat sosok Mira Lesmana, Garin Nugroho, Ravi Bharwani, Riri

Riza, Aryo Danusiri, Ari Sihasale, dan Djenar Maesa Ayu yang membawa aura berbeda
dari film Indonesia kebanyakan. Mereka mencuatkan budaya lokal dan tema rawan yang

memang dibutuhkan untuk wajah baru perfilman Indonesia. Mereka dapat dikatakan
intelektual organis karena berusaha melakukan counter culture dari industri film.

Ketulusan dan gambaran ideologi dari sineas lebih terlihat dibanding peran iklan dan
investor.

19

KESIMPULAN

Dari kajian dan analisa di atas ditemukan bahwa sesungguhnya ketakutan para
produser dan kreatif film di Indonesia tentang tidak lakunya fim-film yang penuh
bermuatan lokal, justru tidak terbukti. Fakta malah menunjukkan kondisi sebaliknya, di

mana film-film laris Indonesia sejak awal kebangkitannya di tahun 2000-an, malah
memiliki trend bermuatan isu lokal.

Hal ini juga menjawab asumsi bahwa memang ada kerinduan dari masyarakat Indonesia
untuk makin mengenal identitas dan nilai-nilai budaya yang mereka anut, melalui

kehadiran film-film bermuatan lokal tersebut. Tentu saja riset yang mendalam dan materi

skenario ataupun naskah cerita yang bagus menjadi faktor utama yang tidak bisa
diabaikan.

Kajian tentang keberhasilan isu lokalitas pada film Indonesia ini, membuktikan bahwa

isu antara ekonomi dan lokalitas ternyata bisa berjalan seiring. Bahwa film-film

bermuatan lokalitas bisa laris, laku, bahkan lebih sukses dari pada film-film yang tidak

bermuatan penuh unsur lokalitas. Bahwa pihak produser harusnya lebih jeli membaca
peluang ini, yang tidak saja menguntungkan secara materi, namun juga ikut memberikan
kontribusi terhadap perbaikan dan mempertahankan nilai-nilai budaya serta sekaligus
identitas bangsa dan masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Castells, Manuel. 2004. The Power of Identity. Oxford: Blackwell Publishing.
Kristanto, JB. 2005. Katalog Film Indonesia 1926-2005. Jakarta: Nalar.
Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication, London : Sage
Siregar, Ashadi, 2007, Jalan Ke Media Film : Persinggahan Di Ranah Komunikasi
Kreatif, Yogyakarta : LP3Y
.
Said, Salim. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Press.

Seni

Sen, Krishna, and David T. Hill. 2000. Media, Culture and Politics in Indonesia. Oxford:
Oxford University Press

20

Tjasmadi, HM Johan. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Jakarta:
Megindo
NN. 1 Oktober 2008. Buletin Info No 15. Jakarta: PP Usmar Ismail, Cinematek,
Kuningan.
Internet :
Al-Malaky
Ekky,
Menonton:
Nggak
Sekadar
http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3

Cari

Hiburan ,

Ismalina, Poppy. Membangun The Power of Locality dan Sistem Ekonomi Pancasila.
dari http://www.fe.ugm.ac.id/handoutseminar/Ismalina.doc
Mahayana, Maman. S., 2007. Lokalitas dalam Sastra. Makalah Seminar. dari
http://johnherf.wordpress.com/2007/04/19/lokalitas-dalam-sastra-indonesia/
Nurkhoiron, Muhammad. Menegosiasikan Perbedaan di Tengah Perubahan.
http://sosiologi.fisipol.ugm.ac.id/handoutseminar/Nurkhoiron.doc
Saputra, Desy. 2008. Problematika Perfilman Indonesia di Era Kebangkitannya. dari
http://www.formatnews.com/
Yulius,

Muhammad,
Sang
Murrabi
dan
Kapitalisme
Industri
Film ,
http://apadong.com/2008/07/02/sang-murabbi-dan-kapitalisme-industri-film/
---------------------------Sang Murrabi : Fakta tentang Sebuah Gerakan ,
http://apadong.com/2008/07/02/sang-murabbi-dan-kapitalisme-industri-film/
Terima kasih sebesarnya ditujukan pada
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Al Azhar Indonesia
(LP2M UAI) atas bantuan pendanaan menjadi Penyaji dalam
Seminar Komunikasi Indonesia dalam Membangun Peradaban Bangsa yang
diselenggarakan di Bali, 16 April 2013.

21