Pengaruh Manajemen Konflik dan Job Insecurity terhadap Intensi Turnover di PT. Midi Utama Indonesia, Tbk Branch Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Turnover Intention
1. Pengertian Turnover Intention
Fishben dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa intensi adalah
subyektifitas individu yang melibatkan hubungan antara dirinya dan suatu
perilaku, dengan teori pembentukan tingkah laku berdasarkan hubungan antara
keyakinan (belief), sikap (attitude), dan intensi (intention) individu. Keyakinan
dikategorikan sebagai aspek kognitif yang melibatkan pengetahuan, pendapat dan
pandangan individu terhadap obyek. Sikap dikategorikan sebagai aspek afektif
yang mengarah pada perasaan individu terhadap suatu obyek serta evaluasi yang
dilakukannya. Intensi dikategorikan sebagai aspek konatif yang menunjukkan
intensi individu dalam bertingkah laku (behavioral intention) dan bertindak ketika
berhadapan langsung dengan suatu obyek serta evaluasi yang dilakukannya.
Sementara turnover adalah berhentinya seseorang dari tempatnya bekerja
secara sukarela. Cascio (1987) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya
hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya, dan
Maier (1971) menyatakan bahwa turnover merupakan perpisahan antara
perusahaan dan pekerja.
Terdapat beberapa definisi mengenai intensiturnover, yang dinyatakan
sebagai berikut; Mobley (2000) menyatakan bahwa intensi turnover adalah

penghentian keanggotaan dalam organisasi oleh individu yang berkeinginan untuk
pindah kerja dengan menerima upah moneter dari organisasi.

10

Universitas Sumatera Utara

Mathis & Jackson (2001) menyatakan intensiturnoveradalah proses
dimana

tenaga

kerja

meninggalkan

organisasi

dan


harus

ada

yang

menggantikannya.
Zeffane (2003) menyatakan intensiturnoveradalah kecenderungan atau niat
karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaanya secara sukarela menurut
pilihannya sendiri.
Robbins (2006), menjelaskan bahwa penarikan diri seseorang keluar dari
suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela (voluntary turnover)
maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit
merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela
yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan
tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau
pemecatan

menggambarkan


keputusan

pemberi

kerja

(employer)

untuk

menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang
mengalaminya.
Booth & Hamer (2007) mengartikan intensiturnover sebagai dampak
terburuk dari ketidakmampuan suatu organisasi dalam mengelola perilaku
individu sehingga individu merasa memiliki intensi pindah kerja yang tinggi.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwaintensi turnover
adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk keluar dari organisasi secara
sukarela dengan mencari alternatif pekerjaan lain menurut pilihannya sendiri yang
didasari dengan keyakinan dan sikap telebih dahulu.


Universitas Sumatera Utara

2. Proses Turnover Intention
Mobley (2000) menyatakan tahapan proses intensiturnover sebelum pada
tahap melakukanturnover adalah sebagai berikut :

Thought
of quit ing

Evaluat ion
of t he
expect ed
ut ilit y of
search

Search

Evaluat ion
of
alt ernat ives


Turnover
behaviour

Int ent ion
t o search

Int ent ion
t o quit

Wit hdraw al
decision

Bagan Tahapan Berfikir Turnover Intention (Mobley, 2000)

Proses kognitif dalam turnover dimulai saat individu mulai berfikir untuk
berhenti (thinking of quiting) yang ditandai dengan munculnya pemikiranpemikiran untuk meninggalkan pekerjaannya saat ini. Hal ini melibatkan proses
evaluasi individu terhadap pemikirannya apakah meninggalkan pekerjaan akan
memberikan hasil yang sesuai dengan harapannya atau tidak (evaluation of the
expected utility of search). Individu merasakan adanya ketertarikan pada

pekerjaan atau pekerjaan lain, yang muncul berdasarkan harapan bahwa pekerjaan
atau perusahaan tersebut akan mendatangkan berbagai konsekuensi baik positif
maupun negatif mengenai hasil dan nilainya. Kemudian, setelah individu
menemukan bahwa terdapat peluang untuk mendapatkan alternatif pekerjaan atau
perusahaan lain. Lalu, setelah individu melakukan pencarian, proses evaluasi
kembali

dilakukan

terhadap

alternatif

pekerjaan

yang

ada

dengan


Universitas Sumatera Utara

mempertimbangkan konsekuensi positif dan negatif dari setiap alternatif tersebut
(evaluation of alternatives). Hasil evaluasi tersebut kemudian akan berlanjut pada
munculnya kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan saat ini (intention to
quit).
Setelah melewati proses kognisi yang dimulai dari tahap pertama sampai
dengan tahap keenam, terdapat tahap withdrawal decision dan turnover behavior,
yang merupakan tahapan di luar proses kognisi dan merupakan tahapan dimana
pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan. Tahapan ini adalah
bentuk realisasi dari intensi untuk meninggalkan pekerjaan, yaitu berhenti dari
pekerjaan atau keluar dari perusahaan.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi IntensiTurnover
Mueller (2003) menyatakan beberapa aspek yang dapat menjadi prediktor
intensi turnover, yang meliputi :
a. Variabel Konstektual
Faktor yang penting dalam permasalahan mengenai turnover adalah
adanya alternatif pekerjaan lain yang tersedia di luar organisasi, alternatifalternatif yang tersedia di dalam organisasi dan bagaimana individu

tersebut menerima nilai atau menghargai perubahan pekerjaan (perceived
cost of job change). Variabel konstektual ini mencakup :
a) Alternatif-alternatif yang ada di luar

organisasi (external

alternatives)

Universitas Sumatera Utara

Adanya kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi
dikarenakan adanya alternatif pekerjaan baru di luar organisasi.
Sementara itu dari sisi individu, umumnya pembentuk intensi
turnover berdasarkan persepsi subyektif dari pasar tenaga kerja,
dan umumnya individu akan benar-benar melakukan perpindahan
kerja jika persepsi yang ia bentuk sesuai dengan kenyataan, dan
mereka merasa aman dengan pekerjaan baru.
b) Alternatif-alternatif yang ada di dalam organisasi (internal
alternatives)
Adanya alternatif yang timbul dari dalam organisasi dimana

kecenderungan karyawan melakukan intensi turnover disebabkan
karyawan melihat ada organisasi yang memiliki peluang kerja yang
sama dengan sebelumnya yang bisa membuat karyawan tersebut
lebih baik dari organisasi sebelumnya.
c) Harga atau nilai dari perubahan kerja (cost of job change)
Individu

meninggalkan

organisasi

seringkali

dikarenakan

tersedianya alternatif-alternatif yang mendorong mereka untuk
keluar dari organisasi. Namun ada faktor lain yang membuat
individu memilih untuk tetap bertahan, yakni faktor keterikatan.
Individu yang merasa terikat dengan organisasi cenderung untuk
tetap bertahan di organisasi. Keterikatan menunjukkan pada

kesulitan yang dihadapi oleh individu untuk berpindah atau
mengubah pekerjaan, meski ia mengetahui adanya alternatif yang

Universitas Sumatera Utara

lebih baik di luar. Salah satu faktor yang meningkatkan harga dari
intensi turnover adalah asuransi kesehatan dan benefit yang didapat
dari organisasi (misal pensiun dan bonus-bonus).
b. Sikap Kerja (work attitudes)
Hampir semua model proses turnover dimulai dengan premis yang
menyatakan bahwa keputusan turnover dikarenakan oleh tingkat kepuasan
kerja yang rendah dan komitmen organisasi yang rendah pula.
c. Kejadian-kejadian kritis (critical events)
Kebanyakan orang jarang memutuskan apakah mereka tetap bertahan di
pekerjaan yang ada ataupun tidak, dan tetap mempertahankan pekerjaan
yang sama sebagai fungsi dari suatu pilihan dibanding suatu kebiasaan.
Kejadian-kejadian kritis memberikan kejutan yang cukup kuat bagi sistem
kognitif individu untuk menilai ulang kembali situasi yang dihadapi dan
melakukan


tindakan

nyata.

Contoh

dari

kejadian-kejadian

kritis

diantaranya adalah perkawinan, perceraian, sakit atau kematian dari
pasangan, kelahiran anak, kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan
seperti diabaikan dalam hal promosi, menerima tawaran yang lebih
menjanjikan atau mendengar tentang kesempatan kerja yang lain. Semua
kejadian-kejadian

tersebut

bisa

meningkatkan

atau

menurunkan

kecenderungan seseorang untuk turnover, karena setiap kejadian bisa
disikapi secara berbeda antara individu satu dengan yang lain.
Spector (2007) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi
terjadinya turnover meliputi lama kerja, dimana turnover lebih banyak terjadi

Universitas Sumatera Utara

pada karyawan yang masa kerjanya lebih singkat. Usia, bahwa pekerja yang
memiliki usia lebih muda memiliki tingkat intensi turnover yang lebih tinggi
dibandingkan pekerja yang lebih tua. Status perkawinan, tingkat inteligensi,
dimana tingkat inteligensi yang rendah akan memandang tugas-tugas sulit sebagai
tekanan sehingga mudah gelisah dan individu akan berusaha mencari pekerjaan
baru dan keluar dari perusahaan. Mobley (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi intensi turnover meliputi tiga hal, yaitu lingkungan hidup
atau ekonomi, individu, dan organisasi. Sedangkan Sularo, Purwati, wulandari
(2013) dalam penelitiannya mendapatkan hasil yang menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi adanya intensi turnover meliputi kepuasan kerja,
komitmen organisasi, konflik peran dan job insecurity.

4.Pengukuran Intensi Turnover
Pengukuran intensi turnover dapat dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung. Fishben dan Ajzen (1975) mengemukakan pendekatan untuk
melakukan pengukuran intensi turnover secara langsung melalui pertanyaan yang
diajukan secara langsung kepada individu apakah ia akan melakukan perilaku
tertentu atau tidak, dengan titik tolak penilaian tunggal, yaitu ya - tidak, atau mau
– tidak mau. Sedangkan pengukuran intensi secara tidak langsung dilakukan
dengan menggunakan skala yang bertitik tolak pada model pilihan jawaban dari
sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai terhadap perilaku tertentu.
Pengukuran intensi secara langsung menekankan pada isi intensi atau
spontanitas

keinginan

untuk

melakukan

suatu

perilaku

tertentu

dalam

Universitas Sumatera Utara

memperlihatkan proses yang melalui terbentuknya intensi itu sendiri. Sebaliknya
pengukuran intensi secara tidak langsung berdasarkan pada model kerangka
konseptual pembentukan perilaku, yaitu bahwa intensi merupakan fungsi dari dua
determinan utama, yaitu sikap pribadi terhadap perilaku yang akan dilakukan
(attitude toward the behavior) dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk
melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu.
Pengukuran intensi turnover dalam penelitian ini didasarkan pada teori
Fishben dan Ajzen (1975) yang mengemukakan empat aspek alam mengukur
intensi, yang meliputi :
a. Perilaku (behavior), yaitu perilaku spesifik yang nantinya akan
diwujudkan.
b. Sasaran (target), yaitu objek yang menjadi sasaran perilaku. Objek yang
menjadi sasaran dari perilaku spesifik dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu orang atau sekelompok objek tertentu (particular object),
sekelompok orang atau sekelompok objek (a class of object), dan orang
atau objek pada umumnya (any object).
c. Situasi (situation), yaitu situasi yang mendukung untuk dilakukannya
suatu perilaku (bagaimana dan dimana perilaku itu akan diwujudkan).
d. Waktu (time), yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu tertentu
dalam satu periode atau jangka waktu tidak terbatas.

Universitas Sumatera Utara

B. Manajemen Konfik
1. Pengertian Konflik
Terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian konflik. Killman dan
Thomas (1978) menyatakan konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan
antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri
individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah
dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi
atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja.
Menurut Luthans (1981) menyatakan konflik adalah kondisi yang
ditimbulkan olehadanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan
ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan
dalam beberapa istilah yaituperbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah
suatu kondisi dimana terdapat ketidakcocokan atau pertentangan yang terjadi
dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain yang dapat
mengganggu bahkan mempengaruhi efisiensi dan produktifitas kerja.
2. Pengertian Manajemen Konflik
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkahlangkah yangdiambil

para

pelaku

atau

pihak

ketiga

dalam

rangka

mengarahkan perselisihan ke arahhasil tertentu yang mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan suatu akhir berupapenyelesaian konflik dan mungkin
atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat,
atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama

Universitas Sumatera Utara

dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau
pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk
perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan
penafsiran terhadap konflik.
Lynne Irvine (1998) mendefinisikan manajemen konflik sebagai strategi
dari organisasi untuk mengelola perbedaan individu untuk mengurangi biaya dari
konflik yang tidak teratasi dan memanfaatkannya sebagai sumber inovasi dan
perbaikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen
konflik adalah suatu usaha atau langkah-langkah yang diambildalam rangka
menyelesaikan

konflik,

dengan

pola

komunikasi

dan

perilaku

serta

memanfaatkannya menjadi sumber inovasi dan perbaikan.
3. Jenis-jenis Konflik
Menurut Sentanu K. (1985) konflik dapat dibagi menjadi lima jenis yang
meliputi :
a. Konflik internal individu
Yaitu konflik yang terjadi pada individu anggota organisasi. Masalahyang
menyebabkan terjadinya konflik selain berhubungan dengan masalah
industrial relation.Masalah - masalah yang berhubungan dengan industrial
relation antara lain adalah kepastianindividu tersebut terhadap masa depan
profesi dan karir pekerjaan, apakah mempunyai prospekyang baik ataukah
tidak. Bagaimana kondisi jaminan sosial ekonomi yang diterima

Universitas Sumatera Utara

dariorganisasi, apakah dapat

mencukupi atau tidak dan lain -

lain.Sementara yang berhubungan dengan masalah - masalah diluar
industrial relation dapatdisebutkan antara lain pengaruh dari pihak
keluarga yang menghadapi berbagai masalah, dan lain-lain. Sehingga
didalam

diri

individu

yang

bersangkutan

terjadi

konflik

yang

dapatmempengaruhi performancenya dalam pekerjaan.
b. Konflik antara individu dalam suatu organisasi,
Yaitu konflik ini timbul oleh karena adanya ketidaksesuaian cara pandang
terhadap masalah tertentu antara individu yang satu denganindividu yang
lain

dalam

suatu

organisasi,

penyebabnya

adalah

perbedaan

kepribadian.Masalah - masalah yang menyebabkan terjadinya konflik
dapat bermacam-macam, bisa dalambentuk perbedaan posisi pekerjaan
dalam organisasi ataupun masalah - masalah pengaturan kerjayang kurang
adil.
c. Konflik antar individu dan kelompok dalam suatu organisasi;
Yaitu konflik yang terjadiantara individu tertentu dengan kelompok
pekerja. Konflik ini terjadi biasanya dalam hubunganindustrial organisasi.
Misal sanksi dan tekanan kelompok terhadap individu atas pekerjaan
yangditentukan

kelompok

organisasi,

sehingga

individu

yang

bersangkutan merasa tertekankarenanya.
d. Konflik antara kelompok kerja dalam suatu organisasi,
Yaitu konflik ini terjadi lebihdisebabkan karena perbedaan kepentingan
dan unsur - unsur penyebabnya antara lain karenaperbedaan mengambil

Universitas Sumatera Utara

peran

dan

penempatan

sumber

daya

yang

tersedia,

peroleh

kontraprestasidan lain - lain.
e. Konflik antara organisasi,
Yaitu

konflik

ini

adalah

konflik

yang

biasa

terjadi

karena

perbedaanprinsip, konsep, strategi dan sistem yang harus ditempuh untuk
mencapai tujuan.

4.Jenis Manajemen Konflik
Gottman dan Korkoff (dalam Fisher, 2000) menyebutkan bahwa secara
garis besar ada dua manajemen konflik, yaitu :
a. Manajemen konflik destruktif yang meliputi menyerang dan lepas
kontrol(conflict engagement), menarik diri (withdrawal) dari situasi
tertentu yang kadang-kadang sangat menakutkan hingga menjauhkan diri
ketika menghadapi konflikdengan cara menggunakan mekanisme pertahan
diri, dan menyerah dan tidak membela diri (compliance).
b. Manajemen konflik konstruktif yaitu positive problem solvingyang terdiri
dari kompromi dan negosiasi. Kompromi adalah suatu bentuk akomodasi
dimana pihak-pihak yangterlibat mengurangi tuntutannya agar tercapai
suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk
melaksanakan kompromi adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk
merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan sebaliknya
sedangkan negosiasi yaitu suatu cara untuk menetapkan keputusan yang

Universitas Sumatera Utara

dapat disepakati dan diterima oleh dua pihak dan menyetujui apa dan
bagaimana tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang.

5. Pengukuran Manajemen Konflik
Pengukuran manajemen konflik dilakukan dengan menggunakan teori yang
diungkapkan oleh Gottman dan Korkoff (dalam Fisher, 2000), dengan melakukan
pengukuran terhadap manajemen konflik konsktuktif dengan positive problem
solving, yang meliputi :
a. Kompromi, yang merupakan suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak
yangterlibat mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian
terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk melaksanakan
kompromi adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan
memahami keadaan pihak lainnya
b. Negosiasi, yang merupakan suatu cara untuk menetapkan keputusan yang
dapat disepakati dan diterima oleh dua pihak dan menyetujui apa dan
bagaimana tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang.

6. DampakKonflik
Stevenin (2000) menjelaskan bahwa sebuah konflik yang tidak
terselesaikan akan merusak lingkungan kerja dan orang-orang yang ada di
dalamnya. Adapun dampak dari tidak terselesainya konflik meliputi :
a. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis.

Universitas Sumatera Utara

b. Tertahan dan terubahnya informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja
dengan tujuan agar tetap dapat mencapai prestasi.
c. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim
karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada
masalahnya.
d. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali
dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat
membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
e. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui
gosip dan kabar burung.
f. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang
jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama
kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim.
g. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari
efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja.

Dampak tersebut, didukung oleh Wijono (1993), yang menjelaskan bahwa
kurang efektifnya pengelolaan konflik akan memunculkan keadaan-keadaan
seperti :
a. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir
pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjamjam, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan

Universitas Sumatera Utara

tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan
berbagai alasan yang tak jelas.
b. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman
kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung
jawab. Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa
memancing

kemarahan,

ketersinggungan

yang

akhirnya

dapat

mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
c. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam
pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak
oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya,
timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah
tinggi, maag ataupun yang lainnya.
d. Seringnya karyawan

melakukan

mekanisme

pertahanan diri bila

memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap
jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja,
mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang
merugikan orang lain.
e. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini
disebut labor turnover. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran
dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet,
kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi
dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.

Universitas Sumatera Utara

C. Job Insecurity
1. Pengertian Job Insecurity
Definisi job insecurity, dijelaskan oleh Saylor (2004) sebagai perasaan
tegang gelisah, khawatir, stress, dan merasa tidak pasti dalam kaitannya dengan
sifat dan keberadaan pekerjaan selanjutnya yang dirasakan pada pekerja.
Ketakutan yang berlebih menciptakan keinginan untuk selalu bekerja lebih keras
untuk menghindari resiko terjadinya ketidakamanan dalam bekerja (job insecurty)
seseorang. Pekerjaan yang berjangka pendek (kontrak) akan mengakibatkan
ketidakpastian.
Rowntree (2005), ketidakamanan kerja atau dapat disebut dengan job
insecurity dapat didefinisikan sebagai kondisi yang berhubungan dengan rasa
takut seseorang akan kehilangan pekerjaannya atau prospek akan demosi atau
penurunan jabatan serta berbagai ancaman lainnya terhadap kondisi kerja yang
berasosiasi menurunnya kesejahteraan secara psikologis dan menurunnya
kepuasan kerja.
Kang, Jeff, dan Daewon (2012) menganggap ketidakamanan kerja sebagai
suatu kegelisahan yang dirasakan karyawan pada saat bekerja dimana mereka
dihadapkan pada kondisi yang tidak menyenangkan.
Menurut Green (2003) job insecurity merupakan ketidakpastian yang
menyertai suatu pekerjaan yang menyebabkan rasa takut atau tidak aman terhadap
konsekuensi pekerjaan tersebut yang meliputi ketidakpastian penempatan atau
ketidakpastian masalah gaji serta kesempatan mendapatkan promosi atau
pelatihan. Menurut Green faktor yang mempengaruhi ketidakamanan kerja (job

Universitas Sumatera Utara

insecurity) dipengaruhi oleh lingkungan kerja yang meliputi lingkungan kerja
fisik dan lingkungan kerja psikis, kondisi di luar lingkungan kerja, dan diri
pribadi.
Saylor (2004) berpendapat bahwa aspek-aspek job insecurity meliputi
ketakutan akan kehilangan pekerjaan, bekerja lebih keras, dan ketakutan akan
kehilangan status sosial.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa job insecurity
adalah kegelisahan yang dirasakan karyawan terkait pekerjaannya, seperti
ketakutan akan kehilangan pekerjaan dikarenakan kondisi pekerjaan yang
berubah-ubah, status kepegawaian, dan kegelisahan yang dirasakan dikarenakan
kondisi yang tidak menyenangkan dalam bekerja.

2. PengukuranJob Insecurity
Pengukuran job insecurity akan dilakukan dengan menggunakan aspek job
insecurity yang dikemukakan oleh Adkins, James dan Jing(2001), yang meliputi :
a. Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan.
Aspek-aspek

yang

berkaitan

di dalam pekerjaan

salah

satunya

sepertikebebasan menentukan jadwal pekerjaan. Persepsi seseorang
mengenaibesarnya ancaman aspek-aspek pekerjaan dapat diketahui
melalui seberapabesar aspek-aspek itu dirasakan penting dan seberapa
besar kemungkinanindividu akan kehilangan aspek-aspek tersebut.
Semakin penting dan semakintinggi aspek-aspek tersebut dipersepsikan

Universitas Sumatera Utara

mungkin hilang, maka semakintinggi tingkat ancaman terhadap aspekaspek dalam pekerjaan yang dirasakanindividu tersebut.
b. Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan.
Ancaman

kehilangan

pekerjaan

secara

keseluruhan

merupakan

persepsiseseorang mengenai adalanya kejadian-kejadian negatif yang
dapat mempengaruhi pekerjaannya, seperti diberhentikan untuk sementara
waktu.Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan
seberapamungkin

kejadian-kejadian

negatif

tersebut

dipersepsikan

akanmempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan.
c. Ketidakberdayaan.
Ketidakberdayaan

menujukkan

ketidakmampuan

seseorang

untuk

mencegahmunculnya ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek
pekerjaan danpekerjaan secara keseluruhan. Semakin individu merasa
tidak berdaya,semakin tinggi tingkat job insecurity.

3. Dampak Job Insecurity
Ashford dan Wright (1989) menyatakan bahwa job insecurityyang tinggi
yang dirasakan karyawan akan berhubungan dengan :
a. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru
Job insecurity dapat memberikan efek pada turnover karyawan, dimana
job insecurity akan berhubungan dengan respon penarikan diri, sebagai
usaha untuk menghindari stress.
b. Komitmen organisasi yang rendah

Universitas Sumatera Utara

Perasaan job insecurity dapat mengancam level komitmen, kepuasan dan
kepercayaan yang tinggi terhadap perusahaan.
c. Trust terhadap organisasi yang rendah
Individu yang merasa perusahaan tidak dapat diandalkan untuk
menghasilkan komitmen terhadap karyawan dapat mengurangi komitmen
karyawan terhadap organisasi, dan komitmen terhadap organisasi
berhubungan dengan kepercayaan karyawan terhadap perusahaan.
d. Kepuasan kerja yang rendah
Persepsi terhadap organisasi memiliki hubungan secara negatif dengan
pengukuran kepuasan kerja, dimana karyawan dengan tingkat persepsi
terhadap job insecurity yang rendah akan kurang puas dengan pekerjaan
mereka.

D. Dinamika Antar Variabel
1. Manajemen Konflik tehadapIntensi Turnover
Sebuah pandangan menyatakan bahwa konflik organisasi merupakan suatu
hal yang negatif, menjerumus pada perpecahan organisasi, karena itu harus
dihilangkan karena akan menghambat kerja optimal. Perselisihan dianggap
sebagai indikasi adanya sesuatu yang salah dengan organisai, dan itu bearti
aturan-aturan organisasi tidak dijalankan (Wahyudi, 2006). Konflik di suatu
organisasi dapat meliputi konflik dalam diri individu, konflik antar individu,
konflik antar individu dalam kelompok, serta konflik antar kelompok (Wirawan,
2010).

Universitas Sumatera Utara

Kesemua konflik yang ada ini harus dapat diterima dan dikelola dengan
baik, serta harus didorong, karena konflik merupakan kekuatan untuk
mendatangkan perubahan dan kemajuan dalam lembaga. Wahyudi (2006) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa, jika konflik dapat dikelola secara sistematis
dapat berdampak positif, yaitu memperkuat hubungan kerjasama, meningkatkan
kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas. Karena
itu penyelesaian konflik harus dilakukan dengan manajemen konflik yang baik.
Selain dampak positif dari konflik,terdapat beberapa dampak negatif yang
diungkapkan oleh Wijono (1993) disebabkan karena kurang efektifnya
pengelolaan konflik atau terdapat kecenderungan untuk membiarkan konflik
tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Pembiaran konflik yang
dilakukan akan mengakibatkan beberapa hal yang meliputi ; meningkatnya jumlah
absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada jam kerja berlangsung.
Hal ini menurut Harnoto (2002) merupakan tanda-tanda dari karyawan yang
memiliki intensiturnoverdimana adanya intensiturnover akan ditandai dengan
absensi karyawan yang meningkat, serta diikuti dengan tanggung jawab akan
pekerjaan yang berkurang dibandingkan dengan sebelumnya. Karyawan juga akan
mulai malas untuk bekerja dan merasa bahwa bekerja di tempat lain lebih dapat
memenuhi keinginan karyawan tersebut.
Hubungan antara konflik dengan intensiturnover itu sendiri berdasarkan
beberapa penelitian merupakan hubungan yang negatif, hal ini dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sanders (2017) mengenai keterkaitan antara
relationship conflict, performance denganturnover intentiondengan job burnout

Universitas Sumatera Utara

sebagai variabel mediator, menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara
relationship conflict dengan turnover intention, dan hubungan antara manajemen
konflik dengan turnover intention juga merupakan hubungan negatif dan sangat
signifikan (Riyanto, 2008) dimana semakin tinggi manajemen konflik maka
semakin rendah intensi turnover karyawan, dan sebaliknya semakin rendah
manajemen konflik maka semakin tinggi intensi turnover karyawan. Peranan atau
sumbangan efektif manajemen konflik terhadap intensi turnover sebesar 16,4%.

2. Job Insecurity terhadap IntensiTurnover
Dalam bekerja, seorang karyawan membutuhkan keamanan dalam hal
psikologis, keamanan tersebut berhubungan dengan tidak adanya rasa bingung
dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah maupun status karyawan
yang tidak tentu akan dapat terus bekerja pada perusahaan yang sama atau tidak
dikarenakan berstatus sebagai karyawan kontrak (Smithson & Lewis, 2000)
Ketidakamanan yang dirasakan akan berkaitan dengan keinginan untuk
berpindah. Seperti yang diungkapkan Mobley (2000), bahwa terdapat banyak
faktor yang membuat individu memiliki keinginan untuk berpindah. Faktor-faktor
tersebut diantaranya adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi dari karyawan,
kepercayaan terhadap organisasi, dan job insecurity.Hal ini didukung oleh
Greenhalgh dan Rosenbalt (1984) yang menyatakan bahwa karyawan yang
mengalami tekanan job insecurity memiliki alasan rasional untuk mencari
alternatif pekerjaan lain yang mendukung kelanjutan dan memberikan rasa aman
bagi karirnya.

Universitas Sumatera Utara

Mowday, Porter dan Steers (1982) juga menyatakan bahwa salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi intensi turnover karyawan adalah keterikatan
karyawan terhadap pekerjaan, dimana ketika karyawan merasa terikat secara kuat
dengan perusahaannya, maka akan membentuk perasaan memiliki (sense of
belonging), rasa aman (security), efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri
yang positif, dan sebaliknya ketika tidak terdapat keterikatan karyawan dalam
pekerjaan, akan membentuk tidak adanya sense of belonging, efikasi, tujuan dan
arti hidup, serta merasa tidak aman(insecurity)terhadap pekerjaan.
Hal tersebut menguatkan hubungan antarajob insecurity terhadap
intensiturnoveryang juga dibuktikan oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Wardani (2009) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara job insecurity
dengan intention to quit, hubungan yang terjadi merupakan hubungan positif,
dimana job insecurity yang tinggi akan menguatkan intention to quit, dan job
insecurity yang rendah akan melemahkan intention to quit karyawan. Penelitian
lain mengenai pengaruh antara job insecurity terhadap intensi turnover dilakukan
oleh Gunalan, Mustafa dan Adnan (2015) dengan hasil yang menunjukkan bahwa
job insecurity memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensiturnover.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hanafiah (2014) yang juga
menyatakan hal yang sama bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara job
insecurity terhadap turnover intention, serta penelitian Kurniasari (2004) yang
mengatakan bahwa besarnya intensi turnover dipengaruhi job insecurity yang
berada pada level tidak aman. Hasil tersebut mengindikasikan adanya pengaruh
searah antara job insecurity dan intention to quit. Artinya kenaikan nilai job

Universitas Sumatera Utara

insecurity akan menaikkan level intention to quit. Semakin tinggi job insecurity,
maka akan semakin tinggi intensi keluar dari pekerjaan.

3. Manajemen Konflik dan Job Insecurity terhadap Intensi Turnover
Judge (1993) menyatakan bahwa salah satu penyebab timbulnya keinginan
berpindah atau intensi turnover pada karyawan disebabkan karena pengaruh buruk
dari adanya pemikiran dysfunctional. Pengaruh ini timbul karena terjadi konflik,
perasaan tidak senang dan tidak puas terhadap lingkungan kerja yang dapat
memacu rasa tidak aman pada pekerjaan (job insecurity). Teori yang dikemukakan
oleh Abraham Maslow (1943) mengenai need, menyatakan bahwa kebutuhan
akan rasa aman (safety and security) merupakan kebutuhan dasar bagi setiap
individu. Dalam tingkatannya, setiap individu akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan dasar terlebih dahulu, sebelum memenuhi tingkatan kebutuhan
setelahnya.
Intensi turnover sendiri diidentifikasikan sebagai sikap individu yang
mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan hubungannya dengan
organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud dalam bentuk tindakan
pasti (Suwandi dan Indarantoro, 1999), dan individu yang mengalami tekanan job
insecurity memiliki alasan rasional untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang
dapat mendukung kelanjutan dan memberikan rasa aman bagi karienya
(Greenhalgh dan Rosenblatt, 1984).
Dalam penelitian yang dilakukan Sularso, Purwati, dan Wulandari (2013)
mengenai pengaruh antara kepuasan kerja, komitmen organisasi, konflik peran

Universitas Sumatera Utara

dan job insecurity terhadap intensi turnover, mendapatkan hasil yang mengatakan
bahwa faktor pembentuk dari turnover intention meliputi kedua variabel yang
akan diteliti, yaitu konflik yang meliputi konflik peran dan job insecurity. Dalam
hal konflik, ketika permasalahan konflik tidak terselesaikan akan merusak
lingkungan kerja dan orang-orang yang ada didalamnya, yang akan berdampak
salah satunya pada kehilangan karyawan yang berharga dikarenakan karyawan
tersebut pengunduran diri yang dilakukan (Stevenin, 2000)

E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah :
1. Terdapat pengaruh negatif antara manajemen konflik terhadap intensiturnover
2. Terdapat pengaruhpositif antarajob insecurity terhadap intensiturnover
3. Terdapat pengaruh manajemen konflik dan job insecuritysecara bersama-sama
terhadap intensiturnover

Universitas Sumatera Utara