ANALISIS PENCITRAAN POLITIK DI INDONESIA
ANALISIS PENCITRAAN POLITIK
DI INDONESIA
Satya Irawatiningrum
FISIP Universitas PGRI Ronggolawe Tuban
[email protected]
Pendahuluan
Berbicara mengenai pencitraan politik, tentunya tidak lepas dari kandidat calon
eksekutif maupun anggota legislatif. Di Indonesia, pencitraan politik sebagai salah satu
konsentrasi kajian dalam komunikasi politik, mulai merebak pada Pemilihan Umum (Pemilu)
1999, yang semakin berkembang dan atraktif setelah penerapan sistem pemilihan langsung
dalam Pemilu 2004. Sedikitnya, ada empat momentum politik secara langsung bersinggungan
dengan publik. Pertama, Pemilihan Umum (pemilihan anggota legislatif). Kedua pemilihan
Presiden secara langsung. Ketiga, pemilihan gubernur secara langsung. Keempat, pemilihan
Bupati atau Walikota secara langsung.
Pencitraan politik berkaitan dengan pembuatan informasi atau pesan politik oleh
komunikator politik (politikus atau kandidat), media politik (media massa, media sosial,
dan/atau media format kecil), dan penerima atau khalayak politik (publik). Citra politik yang
terbentuk di benak publik, tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya, karena
mungkin hanya sama dengan realitas media atau realitas buatan media, yang disebut juga
sebagai realitas tangan kedua (second hand reality).
Kemampuan mengelola citra menjadi penjelasan yang paling representatif dalam
banyak pemilihan umum. Misalnya kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam
pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Meroketnya karir politik SBY pada
masa reformasi kemudian dikait-kaitkan dengan mitos satria piningit yang akan muncul
untuk memimpin bangsa Indonesia. Pencitraan satria piningit ini sengaja digulirkan tim
kampanye SBY untuk memenangkan pemilu presiden secara langsung yang untuk pertama
kalinya diselenggarakan di Indonesia. SBY yang tampil lebih sederhana, lebih rendah hati
daripada lawan politiknya, Megawati. Iklan politik yang ditayangkan pun menampilkan citra
pembawa perubahan, pembawa kebersamaan, pemimpin yang sederhana dan santun
Pada tahun 2012, Joko Widodo (Jokowi) memenangkan Pilkada DKI Jakarta dengan
mengalahkan petahana Fauzi Bowo. Seperti diketahui, Jokowi merupakan mantan walikota
Solo yang dicitrakan sebagai orang yang jujur, polos, dan berintegritas. Kebiasaan blusukan
menjadi citra yang melekat pada Jokowi sebagai pemimpin daerah. Sosok Jokowi yang
mendapat peluang besar sebagai media darling pada waktu itu bahkan diliput oleh media luar
negeri, New York Times, dalam artikel berjudul “Outsider Breathing New Ideas Into Jakarta
Election”, juga menonjolkan figur Jokowi dalam Pilkada DKI Jakarta, termasuk
keunggulannya atas Fauzi Bowo yang diibaratkan gajah karena didukung partai-partai besar,
sementara Jokowi sebagai semut karena hanya didukung dua partai.
Pada 2015 kemarin, Bupati Fathcul Huda kembali memimpin Kabupaten Tuban
untuk yang kedua kalinya, setelah didukung oleh 9 dari 10 partai yang ada di Kabupaten
Tuban. Citra Huda sebagai seorang kyai yang rendah hati, jujur, dan kharismatik telah
mampu untuk menghipnotis masyarakat Tuban untuk tidak mencalonkan diri sebagai calon
bupati tandingannya.
Seiring dengan perubahan sistem politik di Indonesia, utamanya dalam Pemilu 2009,
dengan masa kampanye lebih lama dan sistem suara terbanyak, membuat komunikasi dan
pencitraan politik yang dilakukan politisi, baik secara institusional maupun individual,
semakin beragam dan menarik, melalui berbagai strategi yang terkadang mengabaikan etika
politik. Pertama, pure publicity, yaitu mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat
dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya, perayaan hari-hari besar, Hari
Kemerdekaan, dan lain-lain. Pada umumnya, partai maupun kandidat, memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk mencitrakan apa yang disebut Nimmo (2006) sebagai “diri
politik” sang politisi. Kedua, free ride publicity, yaitu publisitas dengan cara memanfaatkan
akses atau “menunggangi” pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Tampil menjadi
pembicara di sebuah forum, berpartisipasi dalam event-event olah raga, mensponsori
kegiatan-kegiatan sosial dan lain-lain. Ketiga, tie-in publicity, yaitu memanfaatkan extra
ordinary news – kejadian sangat luar biasa. Peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir
misalnya. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki
kepedulian sosial yang tinggi. Sebuah peristiwa luar biasa, selalu menjadi liputan utama
media, sehingga partisipasi di dalamnya sangat menguntungkan secara politik. Keempat,
paid publicity, yaitu cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media
massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan, blocking time program, dan lain-lain.
Menurut survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the
Press terhadap sekitar 200 konsultan politik di seluruh dunia pada tahun 1997 – 1998,
ditemukan fakta bahwa kualitas dari pesan-pesan kampanye politik sebuah partai politik dan
strategi pencitraan para pemimpin partai politik merupakan faktor utama dalam menentukan
kemenangan dalam pemilihan umum, sehingga selain faktor biaya yang mutlak dipersiapkan
untuk menggerakkan mesin politik, pencitraan partai politik dan pemimpin partai politik
merupakan kunci penentu kemenangan.
Komunikasi Politik di Indonesia
Sebelum membahas lebih luas tentang komunikasi politik di Indonesia, ada baiknya
untuk memahami definisi dari komunikasi politik itu sendiri. Luasnya bidang kajian
komunikasi politik, pada akhirnya memunculkan banyak defenisi. Beberapa ilmuwan yang
memaparkan definisi komunikasi politik, di antaranya; R.M. Perloff (1998) mendefinisikan
komunikasi politik sebagai proses di mana pemimpin, media, dan warganegara suatu bangsa
bertukar dan menyerap makna pesan yang berhubungan dengan kebijakan publik. Dalam
definisi ini, Perloff menjadikan media sebagai pihak yang ikut melakukan komunikasi politik.
Menurut Gabriel Almond (1960), komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang
selalu ada dalam setiap sistem politik. Astrid S. Soesanto (dalam Ardial, 2010) mengartikan
komunikasi politik sebagai komunikasi yang diarahkan pada pencapaian pengaruh
sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat
mengikat semua warganya melalui sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga
politik. Definisi yang lebih singkat diungkapkan oleh Cangara (2009) bahwa komunikasi
politik adalah suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap
aktivitas politik.
Komunikasi politik adalah fungsi penting dalam sistem politik. Pada setiap proses
politik, komunikasi politik menempati posisi yang strategis. Bahkan, komunikasi politik
dinyatakan sebagai “urat nadi” proses politik. Berbagai macam struktur politik seperti
parlemen, kepresidenan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok kepentingan,
dan warganegara biasa memperoleh informasi politik melalui komunikasi politik ini. Setiap
struktur jadi tahu apa yang telah dan akan dilakukan berdasarkan informasi ini.
Di Indonesia, komunikasi politik mulai berkembang sejak Orde Reformasi.
Meskipun kegiatan komunikasi politik sudah dilakukan oleh para aktor politik semenjak
Presiden Soekarno dengan slogan-slogan yang dikampanyekannya. Di zaman Orde Baru,
Soeharto berhasil memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan sebelumnya,
dengan isu “bahaya laten komunis” dan “melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni
dan konsekuen” merupakan kata kunci keberhasilan komunikasi politik Soeharto dalam
meraih simpati dan dukungan rakyat.
Hal yang menyebabkan studi komunikasi politik sedikit terlambat berkembang di
Indonesia, karena tekanan rezim Orde Baru yang kurang senang terhadap segala sesuatu yang
berbau politik. Akan tetapi semenjak Orde Reformasi membuka keran kebebasan
mengemukakan pendapat, studi komunikasi politik mengalami perkembangan yang sangat
pesat.
Komunikasi politik di Indonesia semakin berkembang dengan maraknya media
massa yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi politik maupun pembentukan citra,
baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan saat ini media sosial menjadi sarana yang
manjur untuk melancarkan propaganda-propaganda menjelang pemilihan kepala daerah
misalnya. Media sosial yang dianggap sebagai kebutuhan oleh masyarakat Indonesia saat ini
memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi khalayak. Seperti yang terjadi pada
Pemilihan Gubernur DKI 2017, opini publik yang terbentuk di media sosial mempengaruhi
partisipasi pemilih, sehingga angka golongan putih (golput) menurun bila dibandingkan
dengan Pilkada tahun 2012. Pada Pilkada tahun 2012 warga DKI yang tidak menggunakan
hak pilih sebesar 36,6%, sedangkan pada tahun 2017 (putaran pertama) turun menjadi 23%
(tempo.co).
Pelaksanaan komunikasi politik di Indonesia tentu tidak terlepas dari kebebasan
pers. Di era keterbukaan yang dikenal dengan istilah masa global, peranan pers sebagai
sarana komunikasi politik di Indonesia sangat penting untuk menyalurkan berbagai kebijakan
kepada masyarakat, baik yang datang dari atas maupun bawah. Namun kebebasan pers
digunakan secara berlebihan sehingga orang mulai bicara tentang kebablasan pers. Meskipun
dari pihak penguasa berkurang intervensinya, kelompok-kelompok penekan timbul dalam
masyarakat yang bertindak anarkis terhadap pers. Selama kebebasan pers dapat
dipertahankan, kemungkinan lebih besar dalam abad informasi ini bagi pesatnya
perkembangan pers Indonesia dan menjelma sebagai the fourth estate di samping eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses
demokratisasi yang membawa berbagai frekuensi tidak hanya terhadap dinamika politik,
melainkan juga terhadap dinamika sistem lainnya yang menunjang penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan sistem politik yang
demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik
Indonesia, dan makin memperkokoh persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan
memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan
yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pencitraan Politik
Salah satu tujuan komunikasi politik adalah membentuk citra politik yang baik pada
khalayak. Menurut Ardial (2009), citra politik merupakan gambaran seseorang yang terkait
dengan politik (kekuasaan, kewenangan, otoritas, konflik, dan konsensus). Citra politik
terbentuk berdasarkan informasi yang diterima, baik langsung maupun media politik,
termasuk media massa dan media sosial yang menyampaikan pesan politik yang umum dan
aktual. Meskipun demikian, citra politik bisa berbeda dengan realitas yang sesungguhnya
atau tidak merefleksikan kenyataan obyektif.
Citra politik tersusun melalui persepsi yang bermakna tentang gejala politik dan
kemudian menyatakan makna itu melalui kepercayaan, nilai, dan pengharapan dalam bentuk
pendapat pribadi yang selanjutnya dapat berkembang melalui opini publik.
Nimmo (2006) menjelaskan bahwa citra seseorang tentang politik tersusun melalui
pikiran, perasaan, dan kesudian subyektif yang akan memberi kepuasan baginya, dan
memiliki tiga kegunaan. Pertama, memberi pemahaman tentang peristiwa politik tertentu.
Kedua, kesukaan atau ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan
dasar untuk menilai objek politik. Ketiga, citra diri seseorang dalam cara menghubungkan
diri dengan orang lain.
Menurut Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2012), terdapat empat komponen
pembentukan citra antara lain :
1. Persepsi, diartikan sebagai hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan yang dikaitkan
dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan makna
terhadap rangsang berdasarkan pengalamannya mengenai rangsang. Kemampuan
mempersepsi inilah yang dapat melanjutkan proses pembentukan citra. Persepsi atau
pandangan individu akan positif apabila informasi yang diberikan oleh rangsang dapat
memenuhi kognisi individu.
2. Kognisi, yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan ini akan
timbul apabila individu telah mengerti rangsang tersebut, sehingga individu harus
diberikan informasi-informasi yang cukup yang dapat mempengaruhi perkembangan
kognisinya.
3. Motivasi dan sikap yang ada akan menggerakan respon seperti yang diinginkan oleh
pemberi rangsang. Motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.
4. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam
menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan
kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu.
Berikut ini adalah model pembentukan citra dalam struktur kognitif yang dipaparkan
oleh John S. Nimpoeno (dalam Soemirat dan Ardianto):
Kognisi
Stimulus
Respon
Persepsi
Sikap
Motivasi
Gambar 1.1 Model Pembentukan Citra (Soemirat dan Ardianto, 2012:115)
Proses ini menunjukan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan
dan mempengaruhi respon. Stimulus atau rangsangan yang diberikan pada individu dapat
diterima atau ditolak. Jika rangsangan ditolak, maka proses selanjutnya tidak akan berjalan.
Hal ini menunjukan bahwa rangsangan tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu
karena tidak adanya perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsangan itu diterima
oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan perhatian dari organisme, dengan demikian
proses selanjutnya dapat berjalan. Begitu pula dengan citra politik dalam hubungannya
dengan publik, haruslah senantiasa mengorganisasi pesan agar stimulus yang ada pada publik
akan diterima dengan baik, dalam hal ini mencapai citra yang baik.
Menyikapi perkembangan politik pencitraan dalam pentas demokrasi Indonesia,
dalam level sederhana politik pencitraan termasuk political marketing, karena kandidat
dipasarkan mirip menjual sebuah produk. Jika lebih canggih, bisa dikategorikan politik
komunikasi, yaitu politisi mensosialisasikan kebijakan secara subtansial dengan cara-cara
yang memikat publik. Sebagai unsur terpenting yang menjadi pertimbangan pemilih dalam
menentukan pilihannya, maka tidak mengherankan jika politisi memanfaatkan konsep citra
untuk menjembatani jarak antara perilaku pemilih yang dipahami politisi dengan apa yang
sesungguhnya tersimpan di benak para pemilih (Nimmo dalam Newman, 1999:354).
Di antara media pencitraan politik yang sangat menonjol saat ini adalah industri
media massa. Kekuatan utama media di era informasi adalah kemampuan media dalam
mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga
menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik (public discourse) yang
menarik. Artinya, penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan
penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan
mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan. Opini
dalam perspektif komunikasi dipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon
yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari citra dan menyumbang
citra.
Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas Pilkada langsung
tak sebatas hanya pada masa kampanye saja. Bisa dikatakan konstruksi citra politik dibangun
terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke dalam berbagai ruang publik yang
disediakan media massa. Citra dan stereotip secara sadar merupakan dua hal yang terus
diusung media. Efek dari komunikasi politik disengaja atau tidak telah melahirkan
keberpihakan media.
Perkembangan teknologi telah mengantarkan bukan hanya media cetak dan
elektronik saja untuk membangun citra, tetapi kehadiran media sosial menambah dereten
media yang bisa digunakan sebagai “medan perang” para politisi untuk menciptakan citranya.
Media sosial memudahkan seluruh pengguna untuk mengaksesnya hanya dengan melalui
handphone. Posisi kemudahan dan kecepatan media sosial inilah yang menjadikan media
sosial sebagai media yang efektif untuk kampanye.
Media dengan berbagai bentuknya mampu mendongkrak popularitas, membentuk
citra, baik good image maupun bad image. Sehingga penggunaan media harus benar-benar
memperhatikan isi pesan oleh aktor politik. Kemampuan mengakses media, kemudian
mengelola isu, opini, dan persepsi akanmenentukan keberhasilan seorang politisi.
Penutup
Dalam komunikasi politik, komunikasi merupakan urat nadi dalam berpolitik.
Komunikasi melalui media bahkan mampu menggalang dan menghimpun dukungan politik,
membangun citra maupun menjatuhkan citra. Dalam era mediasi tersebut, fungsi media
massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai (transmitter) pesan-pesan politik
dari pihak-pihak di luar dirinya, sekaligus menjadi pengirim (sender) pesan politik yang
dikonstruksi oleh wartawan kepada khalayak. Artinya, secara teoritis, hubungan politisi dan
media bisa berjalan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi
kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi
masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ideide yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah membawa media massa di
dunia maya, sehingga media massa yang dulunya hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang
terbatas secara geografis, maka di dunia maya ini media massa bisa dinikmati secara
interaktif dan menjangkau masyarakat lebih luas lagi. Implikasinya, masyarakat Indonesia
sendiri sudah tergantung dengan yang namanya internet.
Di Indonesia, penggunaan internet pada tahun 2016 sebanyak 132,7 juta orang, 79
juta di antaranya menggunakan internet untuk media sosial. Jumlah ini setiap tahun diyakini
semakin naik. Ini merupakan pasar potensial untuk melacarkan pesan-pesan politik melalui
media sosial. Sehingga media sosial sekarang seperti medan pertempuran bagi aktor-aktor
politik untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Demikian juga untuk membentuk citra
politik para aktor politik, dengan mudahnya mereka membuat kegiatan atau gaya politik
untuk menunjukkan citra politiknya melalui media sosial agar tujuannya bisa efisien dan
efektif.
Daftar Rujukan:
Almond, Grabriel, The Politics of the Development Areas, 1960
Ardial, Komunikasi Politik, Indeks, Jakarta, 2010
Newman, Bruce. 1 (ed), The Handbook of Political Marketing, Sage, 1999
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
Perloff, R.M, Political Communication: Politics, Press, and Public in America (New Jersey
and London : Lawrence Erlbaum, 1998)
Soemirat, Soleh, dan Ardianto, Elvinaro, Dasar-Dasar Public Relations, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2012
Gazali, Effendi, Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A
Study of Media Performance, Responsibility and Accountability, Doctoral Thesis
Radbound University Nijmegen, 2004
https://m.tempo.co/read/news/2017/02/23/072849695/pengamat-media-sosial-pengaruhipilihan-di-pilkada-dki
http://www.kompasiana.com/depsinlezta/peran-media-massa-dalam-kehidupanpolitik_552927ee6ea834a8728b45b7
DI INDONESIA
Satya Irawatiningrum
FISIP Universitas PGRI Ronggolawe Tuban
[email protected]
Pendahuluan
Berbicara mengenai pencitraan politik, tentunya tidak lepas dari kandidat calon
eksekutif maupun anggota legislatif. Di Indonesia, pencitraan politik sebagai salah satu
konsentrasi kajian dalam komunikasi politik, mulai merebak pada Pemilihan Umum (Pemilu)
1999, yang semakin berkembang dan atraktif setelah penerapan sistem pemilihan langsung
dalam Pemilu 2004. Sedikitnya, ada empat momentum politik secara langsung bersinggungan
dengan publik. Pertama, Pemilihan Umum (pemilihan anggota legislatif). Kedua pemilihan
Presiden secara langsung. Ketiga, pemilihan gubernur secara langsung. Keempat, pemilihan
Bupati atau Walikota secara langsung.
Pencitraan politik berkaitan dengan pembuatan informasi atau pesan politik oleh
komunikator politik (politikus atau kandidat), media politik (media massa, media sosial,
dan/atau media format kecil), dan penerima atau khalayak politik (publik). Citra politik yang
terbentuk di benak publik, tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya, karena
mungkin hanya sama dengan realitas media atau realitas buatan media, yang disebut juga
sebagai realitas tangan kedua (second hand reality).
Kemampuan mengelola citra menjadi penjelasan yang paling representatif dalam
banyak pemilihan umum. Misalnya kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam
pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Meroketnya karir politik SBY pada
masa reformasi kemudian dikait-kaitkan dengan mitos satria piningit yang akan muncul
untuk memimpin bangsa Indonesia. Pencitraan satria piningit ini sengaja digulirkan tim
kampanye SBY untuk memenangkan pemilu presiden secara langsung yang untuk pertama
kalinya diselenggarakan di Indonesia. SBY yang tampil lebih sederhana, lebih rendah hati
daripada lawan politiknya, Megawati. Iklan politik yang ditayangkan pun menampilkan citra
pembawa perubahan, pembawa kebersamaan, pemimpin yang sederhana dan santun
Pada tahun 2012, Joko Widodo (Jokowi) memenangkan Pilkada DKI Jakarta dengan
mengalahkan petahana Fauzi Bowo. Seperti diketahui, Jokowi merupakan mantan walikota
Solo yang dicitrakan sebagai orang yang jujur, polos, dan berintegritas. Kebiasaan blusukan
menjadi citra yang melekat pada Jokowi sebagai pemimpin daerah. Sosok Jokowi yang
mendapat peluang besar sebagai media darling pada waktu itu bahkan diliput oleh media luar
negeri, New York Times, dalam artikel berjudul “Outsider Breathing New Ideas Into Jakarta
Election”, juga menonjolkan figur Jokowi dalam Pilkada DKI Jakarta, termasuk
keunggulannya atas Fauzi Bowo yang diibaratkan gajah karena didukung partai-partai besar,
sementara Jokowi sebagai semut karena hanya didukung dua partai.
Pada 2015 kemarin, Bupati Fathcul Huda kembali memimpin Kabupaten Tuban
untuk yang kedua kalinya, setelah didukung oleh 9 dari 10 partai yang ada di Kabupaten
Tuban. Citra Huda sebagai seorang kyai yang rendah hati, jujur, dan kharismatik telah
mampu untuk menghipnotis masyarakat Tuban untuk tidak mencalonkan diri sebagai calon
bupati tandingannya.
Seiring dengan perubahan sistem politik di Indonesia, utamanya dalam Pemilu 2009,
dengan masa kampanye lebih lama dan sistem suara terbanyak, membuat komunikasi dan
pencitraan politik yang dilakukan politisi, baik secara institusional maupun individual,
semakin beragam dan menarik, melalui berbagai strategi yang terkadang mengabaikan etika
politik. Pertama, pure publicity, yaitu mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat
dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya, perayaan hari-hari besar, Hari
Kemerdekaan, dan lain-lain. Pada umumnya, partai maupun kandidat, memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk mencitrakan apa yang disebut Nimmo (2006) sebagai “diri
politik” sang politisi. Kedua, free ride publicity, yaitu publisitas dengan cara memanfaatkan
akses atau “menunggangi” pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Tampil menjadi
pembicara di sebuah forum, berpartisipasi dalam event-event olah raga, mensponsori
kegiatan-kegiatan sosial dan lain-lain. Ketiga, tie-in publicity, yaitu memanfaatkan extra
ordinary news – kejadian sangat luar biasa. Peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir
misalnya. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki
kepedulian sosial yang tinggi. Sebuah peristiwa luar biasa, selalu menjadi liputan utama
media, sehingga partisipasi di dalamnya sangat menguntungkan secara politik. Keempat,
paid publicity, yaitu cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media
massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan, blocking time program, dan lain-lain.
Menurut survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the
Press terhadap sekitar 200 konsultan politik di seluruh dunia pada tahun 1997 – 1998,
ditemukan fakta bahwa kualitas dari pesan-pesan kampanye politik sebuah partai politik dan
strategi pencitraan para pemimpin partai politik merupakan faktor utama dalam menentukan
kemenangan dalam pemilihan umum, sehingga selain faktor biaya yang mutlak dipersiapkan
untuk menggerakkan mesin politik, pencitraan partai politik dan pemimpin partai politik
merupakan kunci penentu kemenangan.
Komunikasi Politik di Indonesia
Sebelum membahas lebih luas tentang komunikasi politik di Indonesia, ada baiknya
untuk memahami definisi dari komunikasi politik itu sendiri. Luasnya bidang kajian
komunikasi politik, pada akhirnya memunculkan banyak defenisi. Beberapa ilmuwan yang
memaparkan definisi komunikasi politik, di antaranya; R.M. Perloff (1998) mendefinisikan
komunikasi politik sebagai proses di mana pemimpin, media, dan warganegara suatu bangsa
bertukar dan menyerap makna pesan yang berhubungan dengan kebijakan publik. Dalam
definisi ini, Perloff menjadikan media sebagai pihak yang ikut melakukan komunikasi politik.
Menurut Gabriel Almond (1960), komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang
selalu ada dalam setiap sistem politik. Astrid S. Soesanto (dalam Ardial, 2010) mengartikan
komunikasi politik sebagai komunikasi yang diarahkan pada pencapaian pengaruh
sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat
mengikat semua warganya melalui sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga
politik. Definisi yang lebih singkat diungkapkan oleh Cangara (2009) bahwa komunikasi
politik adalah suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap
aktivitas politik.
Komunikasi politik adalah fungsi penting dalam sistem politik. Pada setiap proses
politik, komunikasi politik menempati posisi yang strategis. Bahkan, komunikasi politik
dinyatakan sebagai “urat nadi” proses politik. Berbagai macam struktur politik seperti
parlemen, kepresidenan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok kepentingan,
dan warganegara biasa memperoleh informasi politik melalui komunikasi politik ini. Setiap
struktur jadi tahu apa yang telah dan akan dilakukan berdasarkan informasi ini.
Di Indonesia, komunikasi politik mulai berkembang sejak Orde Reformasi.
Meskipun kegiatan komunikasi politik sudah dilakukan oleh para aktor politik semenjak
Presiden Soekarno dengan slogan-slogan yang dikampanyekannya. Di zaman Orde Baru,
Soeharto berhasil memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan sebelumnya,
dengan isu “bahaya laten komunis” dan “melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni
dan konsekuen” merupakan kata kunci keberhasilan komunikasi politik Soeharto dalam
meraih simpati dan dukungan rakyat.
Hal yang menyebabkan studi komunikasi politik sedikit terlambat berkembang di
Indonesia, karena tekanan rezim Orde Baru yang kurang senang terhadap segala sesuatu yang
berbau politik. Akan tetapi semenjak Orde Reformasi membuka keran kebebasan
mengemukakan pendapat, studi komunikasi politik mengalami perkembangan yang sangat
pesat.
Komunikasi politik di Indonesia semakin berkembang dengan maraknya media
massa yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi politik maupun pembentukan citra,
baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan saat ini media sosial menjadi sarana yang
manjur untuk melancarkan propaganda-propaganda menjelang pemilihan kepala daerah
misalnya. Media sosial yang dianggap sebagai kebutuhan oleh masyarakat Indonesia saat ini
memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi khalayak. Seperti yang terjadi pada
Pemilihan Gubernur DKI 2017, opini publik yang terbentuk di media sosial mempengaruhi
partisipasi pemilih, sehingga angka golongan putih (golput) menurun bila dibandingkan
dengan Pilkada tahun 2012. Pada Pilkada tahun 2012 warga DKI yang tidak menggunakan
hak pilih sebesar 36,6%, sedangkan pada tahun 2017 (putaran pertama) turun menjadi 23%
(tempo.co).
Pelaksanaan komunikasi politik di Indonesia tentu tidak terlepas dari kebebasan
pers. Di era keterbukaan yang dikenal dengan istilah masa global, peranan pers sebagai
sarana komunikasi politik di Indonesia sangat penting untuk menyalurkan berbagai kebijakan
kepada masyarakat, baik yang datang dari atas maupun bawah. Namun kebebasan pers
digunakan secara berlebihan sehingga orang mulai bicara tentang kebablasan pers. Meskipun
dari pihak penguasa berkurang intervensinya, kelompok-kelompok penekan timbul dalam
masyarakat yang bertindak anarkis terhadap pers. Selama kebebasan pers dapat
dipertahankan, kemungkinan lebih besar dalam abad informasi ini bagi pesatnya
perkembangan pers Indonesia dan menjelma sebagai the fourth estate di samping eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses
demokratisasi yang membawa berbagai frekuensi tidak hanya terhadap dinamika politik,
melainkan juga terhadap dinamika sistem lainnya yang menunjang penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan sistem politik yang
demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik
Indonesia, dan makin memperkokoh persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan
memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan
yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pencitraan Politik
Salah satu tujuan komunikasi politik adalah membentuk citra politik yang baik pada
khalayak. Menurut Ardial (2009), citra politik merupakan gambaran seseorang yang terkait
dengan politik (kekuasaan, kewenangan, otoritas, konflik, dan konsensus). Citra politik
terbentuk berdasarkan informasi yang diterima, baik langsung maupun media politik,
termasuk media massa dan media sosial yang menyampaikan pesan politik yang umum dan
aktual. Meskipun demikian, citra politik bisa berbeda dengan realitas yang sesungguhnya
atau tidak merefleksikan kenyataan obyektif.
Citra politik tersusun melalui persepsi yang bermakna tentang gejala politik dan
kemudian menyatakan makna itu melalui kepercayaan, nilai, dan pengharapan dalam bentuk
pendapat pribadi yang selanjutnya dapat berkembang melalui opini publik.
Nimmo (2006) menjelaskan bahwa citra seseorang tentang politik tersusun melalui
pikiran, perasaan, dan kesudian subyektif yang akan memberi kepuasan baginya, dan
memiliki tiga kegunaan. Pertama, memberi pemahaman tentang peristiwa politik tertentu.
Kedua, kesukaan atau ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan
dasar untuk menilai objek politik. Ketiga, citra diri seseorang dalam cara menghubungkan
diri dengan orang lain.
Menurut Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2012), terdapat empat komponen
pembentukan citra antara lain :
1. Persepsi, diartikan sebagai hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan yang dikaitkan
dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan makna
terhadap rangsang berdasarkan pengalamannya mengenai rangsang. Kemampuan
mempersepsi inilah yang dapat melanjutkan proses pembentukan citra. Persepsi atau
pandangan individu akan positif apabila informasi yang diberikan oleh rangsang dapat
memenuhi kognisi individu.
2. Kognisi, yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan ini akan
timbul apabila individu telah mengerti rangsang tersebut, sehingga individu harus
diberikan informasi-informasi yang cukup yang dapat mempengaruhi perkembangan
kognisinya.
3. Motivasi dan sikap yang ada akan menggerakan respon seperti yang diinginkan oleh
pemberi rangsang. Motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.
4. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam
menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan
kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu.
Berikut ini adalah model pembentukan citra dalam struktur kognitif yang dipaparkan
oleh John S. Nimpoeno (dalam Soemirat dan Ardianto):
Kognisi
Stimulus
Respon
Persepsi
Sikap
Motivasi
Gambar 1.1 Model Pembentukan Citra (Soemirat dan Ardianto, 2012:115)
Proses ini menunjukan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan
dan mempengaruhi respon. Stimulus atau rangsangan yang diberikan pada individu dapat
diterima atau ditolak. Jika rangsangan ditolak, maka proses selanjutnya tidak akan berjalan.
Hal ini menunjukan bahwa rangsangan tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu
karena tidak adanya perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsangan itu diterima
oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan perhatian dari organisme, dengan demikian
proses selanjutnya dapat berjalan. Begitu pula dengan citra politik dalam hubungannya
dengan publik, haruslah senantiasa mengorganisasi pesan agar stimulus yang ada pada publik
akan diterima dengan baik, dalam hal ini mencapai citra yang baik.
Menyikapi perkembangan politik pencitraan dalam pentas demokrasi Indonesia,
dalam level sederhana politik pencitraan termasuk political marketing, karena kandidat
dipasarkan mirip menjual sebuah produk. Jika lebih canggih, bisa dikategorikan politik
komunikasi, yaitu politisi mensosialisasikan kebijakan secara subtansial dengan cara-cara
yang memikat publik. Sebagai unsur terpenting yang menjadi pertimbangan pemilih dalam
menentukan pilihannya, maka tidak mengherankan jika politisi memanfaatkan konsep citra
untuk menjembatani jarak antara perilaku pemilih yang dipahami politisi dengan apa yang
sesungguhnya tersimpan di benak para pemilih (Nimmo dalam Newman, 1999:354).
Di antara media pencitraan politik yang sangat menonjol saat ini adalah industri
media massa. Kekuatan utama media di era informasi adalah kemampuan media dalam
mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga
menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik (public discourse) yang
menarik. Artinya, penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan
penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan
mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan. Opini
dalam perspektif komunikasi dipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon
yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari citra dan menyumbang
citra.
Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas Pilkada langsung
tak sebatas hanya pada masa kampanye saja. Bisa dikatakan konstruksi citra politik dibangun
terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke dalam berbagai ruang publik yang
disediakan media massa. Citra dan stereotip secara sadar merupakan dua hal yang terus
diusung media. Efek dari komunikasi politik disengaja atau tidak telah melahirkan
keberpihakan media.
Perkembangan teknologi telah mengantarkan bukan hanya media cetak dan
elektronik saja untuk membangun citra, tetapi kehadiran media sosial menambah dereten
media yang bisa digunakan sebagai “medan perang” para politisi untuk menciptakan citranya.
Media sosial memudahkan seluruh pengguna untuk mengaksesnya hanya dengan melalui
handphone. Posisi kemudahan dan kecepatan media sosial inilah yang menjadikan media
sosial sebagai media yang efektif untuk kampanye.
Media dengan berbagai bentuknya mampu mendongkrak popularitas, membentuk
citra, baik good image maupun bad image. Sehingga penggunaan media harus benar-benar
memperhatikan isi pesan oleh aktor politik. Kemampuan mengakses media, kemudian
mengelola isu, opini, dan persepsi akanmenentukan keberhasilan seorang politisi.
Penutup
Dalam komunikasi politik, komunikasi merupakan urat nadi dalam berpolitik.
Komunikasi melalui media bahkan mampu menggalang dan menghimpun dukungan politik,
membangun citra maupun menjatuhkan citra. Dalam era mediasi tersebut, fungsi media
massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai (transmitter) pesan-pesan politik
dari pihak-pihak di luar dirinya, sekaligus menjadi pengirim (sender) pesan politik yang
dikonstruksi oleh wartawan kepada khalayak. Artinya, secara teoritis, hubungan politisi dan
media bisa berjalan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi
kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi
masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ideide yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah membawa media massa di
dunia maya, sehingga media massa yang dulunya hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang
terbatas secara geografis, maka di dunia maya ini media massa bisa dinikmati secara
interaktif dan menjangkau masyarakat lebih luas lagi. Implikasinya, masyarakat Indonesia
sendiri sudah tergantung dengan yang namanya internet.
Di Indonesia, penggunaan internet pada tahun 2016 sebanyak 132,7 juta orang, 79
juta di antaranya menggunakan internet untuk media sosial. Jumlah ini setiap tahun diyakini
semakin naik. Ini merupakan pasar potensial untuk melacarkan pesan-pesan politik melalui
media sosial. Sehingga media sosial sekarang seperti medan pertempuran bagi aktor-aktor
politik untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Demikian juga untuk membentuk citra
politik para aktor politik, dengan mudahnya mereka membuat kegiatan atau gaya politik
untuk menunjukkan citra politiknya melalui media sosial agar tujuannya bisa efisien dan
efektif.
Daftar Rujukan:
Almond, Grabriel, The Politics of the Development Areas, 1960
Ardial, Komunikasi Politik, Indeks, Jakarta, 2010
Newman, Bruce. 1 (ed), The Handbook of Political Marketing, Sage, 1999
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
Perloff, R.M, Political Communication: Politics, Press, and Public in America (New Jersey
and London : Lawrence Erlbaum, 1998)
Soemirat, Soleh, dan Ardianto, Elvinaro, Dasar-Dasar Public Relations, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2012
Gazali, Effendi, Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A
Study of Media Performance, Responsibility and Accountability, Doctoral Thesis
Radbound University Nijmegen, 2004
https://m.tempo.co/read/news/2017/02/23/072849695/pengamat-media-sosial-pengaruhipilihan-di-pilkada-dki
http://www.kompasiana.com/depsinlezta/peran-media-massa-dalam-kehidupanpolitik_552927ee6ea834a8728b45b7