PARADIGMA BARU BAHASA DAN SASTRA INDONES (1)

PARADIGMA BARU BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DALAM MEMBANGUN KEINDONESIAAN1
Pudentia MPSS2

Telah diketahui bersama bahwa permasalahan yang berkembang dewasa ini
mengenai kesadaran berbangsa, krisis identitas, intoleransi, sektarian, radikalisme
dan lemahnya solidaritas menyadarkan kita akan perlunya upaya untuk
mengatasinya dengan kebijakan yang tepat. Bencana budaya seperti yang
disebutkan di atas dapat diatasi dengan membuat kebijakan kebudayaan yang
menempatkan manusia sebagai titik sentral dengan mempertimbangkan keragaman
dan sekaligus keunikan yang ada di berbagai daerah.
Secara umum kita semua juga sudah sering menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara yang beraneka ragam kebudayaan termasuk suku bangsanya, bahasa,
dan agama. Kita pun sering menyebutkan berbagai konsep yang berkaitan
dengannya, seperti pluralisme dan multikultur. Konsep multikultur seperti yang
dipahami banyak pihak dewasa ini sebenarnya sudah sangat lama berakar di
Indonesia walaupun tidak pernah disebutkan sebagai multiculture. Semboyan
Bhineka Tunggal Ika (=Eka) yang tertera dalam lambang Burung Garuda dapat
ditemukan pertama kali pada abad ke-14 dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular
yang mengajarkan toleransi agama Hindu Siwa dan agama Budha. Sebelum
semboyan ini dikenal, Indonesia (walaupun pada saat itu belum disebut Indonesia),

telah dikenal melalui kebesaran kerajaan Majapahit (1297—1527) yang wilayah
kekuasaannya melebihi Negara Kesatuan Republik Indonesia masa kini3.
1

Disampaikan pada Seminar Nasional “Komunikasi Lintas Budaya dalam Membangun Bangsa yang
Berkarakter”, yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTB, Mataram, 2 s.d. 4 September
2013 . Makalah ini merupakan pengembangan dari bahan yang disampaikan penulis kepada Pusat
Kurikulum Nasional pada tahun 2011 dalam rangka persiapan pembuatan Materi Tradisi Lisan dalam
Kurikulum Nasional dan makalah penulis “Multiculture Education as A Foundation of Peace and Unity
in Indonesia” yang disampaikan pada Intercultural and International Dialogue di Sofia, Bulgaria dan
Istanbul (Turkey), 20 April—2 Mei 2013.
2

Penulis adalah Dosen tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI),
peneliti, konsultan, dan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
3

Berita tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit dapat dibaca lebih lanjut dalam buku berikut.
Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural
History: The Negara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus


Page 1 of 8

Dengan kekayaan jumlah pulau yang 17.000-an, suku bangsa yang berjumlah
sekitar 550 dan kekayaan bahasa sebanyak 780-an, Indonesia memang pantas
dijuluki sebagai negara multikultur terbesar di dunia. Dalam hal bahasa, seperti yang
sudah kita ketahui bersama, Indonesia telah mencapai kesepakatan untuk
menggunakan Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan dan bahasa resmi nasional. Melalui Sumpah Pemuda, pernyataaan resmi
para pemuda sebagai wakil dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia pada
tanggal 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia secara resmi diresmikan sebagai bahasa
persatuan Indonesia. Seperti juga yang telah kita ketahui bersama, meskipun bahasa
Jawa dipakai oleh sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi karena struktur bahasanya
sangat rumit yaitu mengenal adanya tingkatan dalam berbahasa yang membedakan
bahasa untuk orang tua dan muda, bangsawan dan bukan atau kelompok terhormat
dan kelompok rakyat biasa, bahasa Jawa dan juga bahasa Sunda tidak dipilih sebagai
bahasa persatuan rakyat Indonesia. Bahasa Melayu yang sederhana strukturnya dan
pada saat itu sudah menjadi lingua franca yang sudah menyebar ke segala penjuru
Indonesia akhirnya yang terpilih menjadi bahasa persatuan dan diakui sebagai
bahasa resmi negara. Tidak dikenal adanya dominasi antara yang mayoritas dengan

minoritas dalam hal ini. Bahasa daerah yang dipakai di dalam percakapan seharihari tetap diakui sebagai bahasa ibu sebagian rakyat Indonesia. Dalam UU Bahasa,
tertera bahwa salah satu fungsi bahasa daerah adalah sebagai pemerkaya bahasa
Indonesia. Secara implisit ini berarti juga bahwa sastra daerah menjadi pemerkaya
sastra Indonesia.
Permasalahannya di sini adalah pada kata Indonesia. Kata Indonesia dalam
frasa Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia diartikan sebagai bahasa dan sastra
yang memakai bahasa Indonesia bukan bahasa dan sastra yang ada di Indonesia.
Karenanya kedudukan bahasa dan sastra yang non-Indonesia, atau yang berbahasa
daerah yang ada di Negara Indonesia seakan-akan mempunyai kedudukan yang lebih
rendah daripada yang berlabel Indonesia, antara lain dengan alasan kuat adanya
Sumpah Pemuda yang telah disebutkan di atas. Saya tidak bermaksud
mempermasalahkan hal ini lebih lanjut karena bukan tujuan utama makalah ini, tetapi
saya akan mencoba memperlihatkan betapa kerugian yang diperoleh, khususnya
dalam hal ini saya hanya akan merujuk ke ranah sastra saja, karena ketidaksiapan
kita melihat temuan-temuan yang diperoleh dari sastra (yang tentunya dalam hal ini
menggunakan bahasa daerah). Temuan yang memperkaya genre dan teori sastra
pada umumnya yang sebetulnya malah dapat disumbangkan ke tingkat internasional.
Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal
History and Historical Theory' ,( The Hague: W. van Hoeve, 1968).


Page 2 of 8

Mengapa kita hanya membatasi sastra dengan prosa, puisi, prosa liris, dan drama,
misalnya sementara kita bisa mendapatkan genre-genre baru dari khasanah sastra
daerah, seperti tanggomo, cerita pantun, dan Mak Yong? Apakah kita hanya akan
mengatakan bahwa cerita adalah faktor penting dari sebuah pementasan drama,
sementara dalam pementasan tradisi cerita ternyata tidak dianggap penting. Masih
banyak contoh yang dapat diberikan di sini yang menunjukkan belum maksimalnya
kita menggunakan kekayaan yang ada dalam khasanah tradisi sastra kita, khususnya
yang berasal dari dunia kelisanan atau yang sering disebut sebagai tradisi lisan.
Tradisi lisan sebagai kekuatan kultural penting untuk dikembangkan dalam
upaya menempatkannya sebagai (1) salah satu sumber pengetahuan untuk kajian
kebudayaan dan kemasyarakatan serta (2) sumber penting pembentukan karakter
bangsa. Telah disebutkan dalam Konvensi UNESCO tanggal 16 Oktober 2003, bahwa
tradisi lisan merupakan salah satu unsur penting dalam warisan budaya yang
‘tanbendawi’ atau Intangiable Cultural Heritage (ICH).
Tradisi lisan tidak hanya mencakupi dongeng, legenda, mite, mantra, dan cerita
lain seperti yang banyak diartikan orang. Pada dasarnya tradisi lisan mencakupi juga
berbagai hal seperti kearifan tradisional, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sistem
kepercayaan dan religi, kaidah dan struktur sosial, sistem pengobatan, sejarah,

hukum adat, upacara adat/ ritual, permainan tradisional, dan berbagai hasil seni4.
Berbagai hal tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
tuturan. Menurut pakar Folklor, James Danandjaja, tradisi lisan biasa disebutkan orang
juga untuk mengatakan folklor, tetapi ia lebih memilih istilah folklor daripada istilah
tradisi lisan5. Folklor menurut Jan Harold Brunvand terbagi atas folklor lisan, folklor
sebagian lisan, dan folklor bukan lisan (Danandjaja, 1991: 2). Menurut James
Danandjaja,” folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)”
(Danandjaja,1991:1). Dengan perkenalan mengenai istilah folklor yang demikian ini,
tradisi lisan sering diartikan dengan terbatas seperti yang telah disebutkan di atas.
Tradisi lisan sesungguhnya meliputi ranah yang luas yang batasannya dapat
diambil dari dua kata dasarnya, yaitu tradisi dan lisan6. Tradisi dimaksudkan sebagai
sesuatu yang sudah ada sejak lama dan menjadi milik sekaligus menandai sebuah
4

Lihat lebih lanjut batasan yang diberikan oleh Roger Tol dan Pudentia, 1992, Two Directions of ... ,
Warta ATL, no.1, th.1 dan batasan Pudentia tentang tradisi lisan dalam kata pengantar buku
Metodologi Kajian Tradisi Lisan, (ed.Pudentia), 2008.

5

James Danandjaja mengatakan bahwa istilah tradisi lisan lebih sempit daripada istilah folklor. Tradisi
lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat (Danandjaja, 1991:5).

Page 3 of 8

komunitas atau sekelompok masyarakat. Konsep “lisan” dapat diartikan dalam dua
pengertian, yaitu ”lisan” yang terjemahan bahasa Inggrisnya adalah “oral” dan yang
dapat dioposisikan dengan “written” (tulisan) dan “literacy” (keberaksaraan). Lisan
yang dimaksudkan di sini adalah “oral” yang berkaitan dengan “literacy” (kelisanan
dan keberaksaraan). Akan tetapi, beberapa pakar, misalnya Edi Sedyawati dalam
ceramahnya di Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara ke VII di Bangka pada
bulan November 2010 mengartikan kelisanan tidak hanya berkaitan dengan katakata saja, tetapi juga dengan hal lain yang dipakai dalam pementasan tradisi, yaitu
misalnya bunyi-bunyi, gerakan tubuh, dan peralatan yang dipakai untuk mengiringi
pementasan. Kandungan yang terdapat dalam tradisi lisan diakui memang begitu luas
dan beragam.7 Dengan memperhatikan cakupan materi yang meliputi berbagai hal
tersebut, maka kajian tradisi lisan merupakan kajian multidisiplin, seperti bahasa, seni
(termasuk di dalamnya sastra dan seni pertunjukan), sejarah, antropologi, religi,
filasafat, hukum, pengetahuan dan teknologi tradisional.

Tradisi seperti yang diartikan di atas seringkali dipandang sebagai sesuatu
yang kuna, yang ketinggalan zaman, yang sudah tidak fungsional dan diminati lagi
karena tidak layak hadir pada zaman berkenaan. Sebagai sebuah konsep, tradisi juga
seringkali dikontraskan dengan yang modern atau segala hal yang aktual. Dengan
kata lain, mengutamakan tradisi berarti juga tidak modern dan tidak aktual.
Pandangan umum seperti inilah yang sesungguhnya pertama-tama akan membatasi
kehadiran tradisi dan perannya dalam masa sekarang. Perlu dalam kesempatan ini
meluruskan makna dan arti tradisi dalam paradigma keberlangsungan suatu bagian
kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah komunitas atau bangsa yang dapat dicermati
sebagai warisan yang dimiliki oleh komunitas tersebut sejak beberapa masa yang
lampau.
Tradisi tidak selalunya tampil dalam bentuknya yang sama seperti pada masa
lalu atau seperti yang dituturkan nara sumber pernah terjadi demikian pada masa
lalu. Tradisi dapat tampil dalam bentuknya yang sudah berubah atau dalam bentuk
transformasinya, tetapi secara keseluruhan masih dapat dikenali jejak-jejak
tradisinya pada masa lalu.
Tradisi hendaklah dilihat bukan sebagai barang antik yang harus diawetkan,
yang beku, yang berasal dari masa lalu dan tidak pernah akan dan boleh berubah
Khusus mengenai pengertian “kelisanan” perlu dibaca lebih jauh karya Walter J. Ong, Orality and
Literacy:The Technologizing of the Word, London & New York: The Methuen & Co Ltd., 2000 (Cet. I

tahun 1982).
6

Edi Sedyawati, “Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu-Ilmu Budaya, Warta ATL,
edisi II/ Maret, 1996, hlm.5-6.
7

Page 4 of 8

yang kemudian diagungkan dan diabadikan. Sudut pandang seperti ini justru akan
mengangkat tradisi, khususnya tradisi lisan. Tradisi lisan seolah berada dalam sejarah
kegemilangan masa lalunya saja tanpa dapat mengaktualkan diri dalam situasi masa
kini. Untuk mengangkat tradisi lisan itu perlu sekali membangun sebuah paradigma
yang dapat melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan yang mampu berdialog
secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni dan
kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini dibangun dari suatu pandangan bahwa tradisi
lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas (Pudentia dan
Effendy, 1996) .
Kesadaran akan pentingnya tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan mulai
terasa ketika sumber-sumber pengetahuan modern yang diperoleh dari sumbersumber tertulis kerap tidak memberi jawaban terhadap keunikan-keunikan lokal

yang dihadapi. Hal itu terjadi karena selama ini pada umumnya kita hanya bertumpu
pada literatur yang mengagungkan kajian ilmu pengetahuan dalam bentuk-bentuk
baku yang tertulis, sementara referensi yang bersumber dari tradisi lisan cenderung
diabaikan.
Di sisi lain, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang
akibat proses pewarisan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara
perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, dari
berbagai hasil penelitian dan pembicaraan dalam seminar-seminarnya, Asosiasi
Tradisi Lisan (ATL) menyimpulkan bahwa hal yang sangat penting dalam upaya
menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan akan
datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Lembaga pendidikan
mempunyai peran penting menyiapkan program konkret mengubah media
pewarisan tradisi lisan tanpa meninggalkan hakikat tradisi lisan itu sendiri, yang
tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya. Penting juga memperhatikan upaya
pengembangan potensi, penyusunan langkah-langkah perlindungan termasuk
perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual kreatif (PaEni, 2008).
Untuk menghindari punahnya dan hilangnya sama sekali khasanah yang
begitu bernilai, baik sebagai salah satu sumber pengetahuan maupun sebagai salah
satu sumber pembentukan identitas dalam membangun peradaban dunia, tradisi
lisan sebagai obyek/barang langka perlu segera diteliti , didokumentasi, dan dikelola

dengan pendekatan yang sesuai dengan hakekat tradisi lisan. Hasil penelitian
diharapkan dapat turut memperlihatkan kepedulian dan penghargaan masyarakat
akademis pada warisan budayanya dan juga memberikan banyak temuan dan
masukan yang berguna bagi banyak pihak terkait.
Dalam kaitan tersebut, tradisi lisan itu dilihat sebagai suatu peristiwa
budaya atau seperti yang dikatakan oleh Habsbawn (1976), peristiwa budaya yang
Page 5 of 8

tidak dapat dilepaskan dari perubahan budaya. Ada tiga kemungkinan perubahan
yang disampaikannya, yaitu (1) revived, yaitu kebudayaan yang telah lama tidak
muncul, kemudian dimunculkan kembali oleh pihak tertentu dalam bentuk yang
disesuaikan dengan kondisi saat itu; (2) re-credited atau kebudayaan yang
diciptakan kembali dengan dasar kombinasi dari beberapa tradisi, atau berdasarkan
inspirasi suatu tradisi, dan (3) invented, yaitu bentuk baru suatu kebudayaan yang
sebelumnya tidak dikenal tetapi kemudian dikenali kembali dan dijadikan identitas
formal suatu komunitas atau identitas wilayah administrasi pemerintahan.
Sumber utama kajian adalah penutur, pembawa, termasuk di sini nara
sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti. Dengan kata lain setiap pementasan,
pertunjukan, ritual, atau peragaan menjadi kata kunci. Di samping itu, tradisi dan
nara sumber utama yang masih hidup yang merupakan living traditions, ingatan

kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions)
juga termasuk dalam kategori ini. Informasi dan data dari sumber utama kajian ini
ditranskripsi, direkam, didokumentasi, dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang kemudian menjadi teks kajian dan publikasi. Sumber kedua kajian
tradisi lisan meliputi data arsip, dokumen, rekaman, dan dokumentasi terdahulu
serta sumber-sumber/referensi dari perpustakaan dan yang terkait.
Langkah selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah pilihan contoh tradisi yang
akan dipakai sebagai bahan kajian. Dengan begitu banyaknya kelompok etnis yang
terdapat di Indonesia sebanding dengan banyaknya bahasa daerah yang tercatat
oleh Badan Bahasa, yaitu sekitar 780-an, tidaklah mudah untuk memilih contoh
kajian dengan semua pemikiran yang telah diungkapkan di atas.
Yang menjadi ranah pembidangan tradisi lisan dalam kurikulum ini adalah:
1. Bahasa dengan pengertian bahasa daerah yang digunakan dalam tradisi
lisan bersangkutan dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia;
2. Sastra dan Seni dengan pengertian bahwa sastra diberikan secara tersendiri
karena pada kenyataannya hanya bagian teater yang masuk dalam
kurikulum seni. Diperlukan pembahasan khusus mengenai sastra yang tidak
saja berkaitan dengan teater tetapi juga prosa, puisi, dan genre lain yang
ditemukan dalam sastra daerah bersangkutan. Selain menjadi bagian dalam
Seni, sastra masuk dalam Bahasa bila diintegrasikan dalam kurikulum
nasional.
Kekayaan budaya seperti tradisi lisan seharusnya dapat dilindungi dan
dikembangkan untuk kepentingan bangsa dan negara, khususnya sebagai sumber
pembentukan karakter. Kegagalan dalam membangun karakter bangsa akan
menciptakan krisis moral, identitas, dan etis. Pengembangan dan perlindungan
kekayaan budaya mempunyai arti penting dalam pembangunan masyarakat
Page 6 of 8

Indonesia ke depan. Kekayaan budaya tersebut meliputi kekayaan ’bendawi’

(Tangiable Cultural Heritage)dan kekayaan ’tanbendawi’ (Intangiable Cultural
Heritage), sebagaimana telah dikemukakan dalam Konvensi UNESCO tahun 2003 dan
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 2007.
Satu di antara kekayaan tanbendawi yang penting adalah tradisi lisan yang mencakup
ekspresi dan bahasa. Secara khusus kekayaan budaya tanbendawi atau Intangible

Cultural Heritage (ICH) belum mendapatkan perhatian yang proporsional dalam
kurikulum pendidikan.
Kekayaan yang luar biasa yang dimiliki Indonesia sebagai Negara yang
multikultur sejak terbentuknya seringkali tidak disadari oleh warganya sendiri. Berapa
banyak yang mengetahui dan memahami warisan budaya (cultural heritage) dan
warisan budaya yang intangiable yang kita miliki yang sudah diakui oleh UNESCO
dalam 3 kategori penghargaan? Berapa banyak waktu dalam pembelajaran di sekolah
yang dapat dimasuki oleh materi pemahaman kekayaan budaya Indonesia, baik yang
sudah diakui dunia maupun yang belum diakui tetapi sudah terbukti penting
perannya selama ini dalam membangun peradaban Indonesia dan dunia? Untuk
sekedar penyegaran awal dapat disebutkan beberapa contoh saja yang relevan dalam
pembicaraan ini, yaitu keris, wayang, batik, angklung, noken, dan tari saman yang
sudah diakui sebagai Masterpieces of Intangiable Cultural Heritage , Subak dengan
filosofi Tri Hita Karana-nya setelah 9 tahun diperjuangkan akhirnya baru-baru ini
diakui sebagai Warisan Dunia versi UNESCO, dan I Lagaligo, Negarakertagama, dan
Babad Diponogoro sebagai Memory of the World (MOW). Menarik untuk melihat
perbandingan penghargaan tersebut di antara berbagai Negara untuk memahami
mengapa isu budaya di Indonesia meskipun selalu diwacanakan sebagai sesuatu
yang penting tetapi pada kenyataannya tidak diimplementasikan dalam program
yang signifikan.
Dua kategori penghargaan telah lama dikenal di dunia dan di Indonesia (tetapi
hanya untuk kalangan terbatas) yaitu Masterpieces of Intangiable Cultural Heritage

(=MICH) dan World Heritage (=WH). Bandingkan Indonesia yang memiliki paling tidak
17.000 pulau, 870-an bahasa daerah, dan 550 etnis hanya memiliki 6 warisan budaya
yang diakui dalam program MICH (keris, wayang, batik, angklung, noken, dan tari
saman) sementara China memiliki 31 buah yang terdaftar; Jepang: 21, Korea: 14, dan
India: 8. Untuk kategori WH Indonesia memiliki 8 warisan budaya yang diakui dunia,
yaitu Borobudur, Prambanan, Sangiran, Subak, Taman Lorentz, Komodo, Ujung Kulon,
dan Hutan Tropis di Sumatera yang terkena angka merah karena terbukti tidak
dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan Itali yang memiliki 49 warisan budaya
yang menjadi warisan dunia; China 45; Spanyol 43; German dan Perancis masingPage 7 of 8

masing mencatatkan 39 warisan budayanya; India 30 dan Barasil serta Australia
mempunyai 19 warisan budaya yang tercatat sebagai warisan dunia. Ini adalah
tantangan sekaligus refleksi untuk kita? Bagaimanakah kita akan memperkenalkan
warisan budaya dengan segenap kearifan lokal dengan keunggulan seperti yang telah
diperlihatkan di atas kepada dunia kalau kita sendiri tidak menyadari akan adanya
warisan tersebut dan memahaminya.
Pembelajaran tradisi lisan ditumpukan pertama-tama pada kegiatan mengenali
khasanah tradisi budaya yang ada di sekitar siswa, khususnya yang diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya melalui tuturan dan cara lain yang termasuk
dalam kelisanan. Khasanah budaya yang disebutkan oleh UNESCO sebagai

Intangiable Cultural Heritage (ICH) ini harus didokumentasi dalam berbagai
bentuknya: transkripsi, foto, rekaman suara dan gambar, dan catatan lain yang
diperoleh ketika menyaksikan atau mengikuti pertunjukan / pementasan. Pertunjukan
atau pementasan atau ritual menjadi kata kunci seperti yang disebutkan di atas. Bila
tidak dimungkinkan para siswa menyaksikan atau mengikuti peristiwa kelisanan
tersebut, maka rekaman yang sudah dibuat sebelumnya dapat dijadikan bahan
pengamatan dan diskusi.
Pengenalan secara mendalam diharapkan akan membuat para siswa
memahami dan pada akhirnya menghargai tradisi lisan yang menjadi bahan
pembicaraan . Upaya untuk membuat para siswa dapat menghargai tradisi yang
disaksikan dan atau diikuti tersebut dilakukan dengan cara memperkenalkan dan
menjelaskan tradisi itu secara langsung.

Page 8 of 8