Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

Hipertensi yang diderita seseorang erat kaitannya dengan tekanan sistolik dan diastolik atau keduanya secara terus-menerus.Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi, sedangkan tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri pada saat jantung relaksasi diantara dua denyut jantung.Dari hasil pengukuran tekanan sistolik memiliki nilai yang lebih besar dari tekanan diastolik (Corwin, 2005).

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan tersebut (WHO,2001)

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dapat diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah normal tinggi sampai hipertensi maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer atau esensial (hampir 90% dari semua kasus) dan hipertensi sekunder, terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali, sering kali dapat diperbaiki (Joint national Committee On Prevention, Detection, Evaluation and Treatment Of High Blood Plessure VI/JNC VI, 2001).


(2)

Hipertensi dapat diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan darahnya di atas 140/90 mmHg.Pada manula hipertensi didefinisikan sebagai sistoliknya 160 mmHg dan tekanan diastoliknya 90 mmHg (Brunner dan Suddarth, 2002).

Hipertensi adalah suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Faqih, 2006).

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau mengkonsumsi obat anti hipertensi (Guyton, 2007).

Dari definisi-definisi di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lebih dari 140/90 mmHg, dimana sudah dilakukan pengukuran tekanan darah minimal dua kali untuk memastikan keadaan tersebut dan hipertensi dapat menimbulkan resiko terhadap penyakit stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal. 2.1.1. Penyebab Hipertensi

Penelitian menyebutkan, hipertensi umumnya terjadi ketika usia di atas 40-an tahun. Studi y40-ang dilakuk40-an oleh lembaga kesehat40-an di Inggris menyatak40-an bahwa secara umum hipertensi dialami oleh pria dan wanita yang berusia 48,5 tahun. Walaupun ada orang muda yang menderita hipertensi, persentasenya relatif kecil. Sebagian hipertensi terjadi karena faktor penyebab yang tidak jelas (Lingga,2012).


(3)

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi sekunder (Setiawati dan Bustami, 2005):

a. Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik, adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab hipertensi esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vascular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan, stress psikis, dan obesitas. Menurut Lingga (2012), hipertensi tipe pertama ini diduga terjadi karena kombinasi beberapa macam penyebab, meliputi: kadar nitrogen monoksida yang rendah, resistansi insulin, obesitas, defesiensi kalium (hipokalemia), sensitivitas terhadap sodium, konsumsi alkohol, defesiensi vitamin D, pertambahan usia, riwayat keluarga, peningkatan rennin, saraf simpatik terlalu aktif, dan bobot badan saat lahir di bawah normal.

b. Hipertensi sekunder, prevalensinya hanya sekitar 5-8% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain. Menurut Lingga (2012), berikut ini sejumlah faktor yang menyebabkan hipertensi sekunder yaitu:


(4)

berbagai macam penyakit ginjal (termasuk tumor pada ginjal), hipertensi gentantional (hipertensi yang terjadi pada masa kehamilan), gangguan endokrin, gangguan tidur, mengonsumsi obat anti nyeri nonsteroid, mengonsumsi pil KB, mengonsumsi obat tertentu (pseudoephedrine, kortikosteroid, siklopropen, eritoproten, dan beberapa macam obat-oabatan bebas), melakukan terapi sulih hormon dan steroid, mengonsumsi kokain dan nikotin, mengonsumsi herba akar manis untuk waktu yang cukup lama, memiliki kebiasaan mengonsumsi kayu manis.

2.1.2. Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation, And The Treatment Of High Blood Pressure) (Tabel 2.1), yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat. Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya dipertimbangkan normal ternyata dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi kardiovaskuler. Sehingga mendorong pembuatan klasifikasi baru pada JNC 7, yaitu terdapat pra hipertensi dimana tekanan darah sistol pada kisaran 120-139 mmHg, dan tekanan darah diastol pada kisaran 80-89 mmHg. Hipertensi level 2 dan 3 disatukan menjadi level 2. Tujuan dari klasifikasi JNC 7 adalah untuk mengidentifikasi individu-individu yang dengan penanganan awal berupa perubahan gaya hidup, dapat membantu menurunkan tekanan darahnya ke level hipertensi yang sesuai dengan usia.


(5)

Tabel 2.1Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII Kalsifikasi Tekanan

Darah

Tekanan Darah Sistol (mmHg)

Tekanan Darah Diastole (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi stadium 2 >160 atau>100

Sumber: Dirjen PP &PL, 2006

Menurut Linda Brookes, The update WHO/ISH hypertension guideline, yang merupakan devisi dari National Institute of Health di AS secara global mengeluarkan laporan yang disebut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Laporan terakhir diterbitkan pada bulan Mei 2003, memberikan resensi pembaharuan kepada WHO/ISH tentang kriteria hipertensi yang dibagi dalam empat kategori yaitu optimal, normal, dan normal tinggi/prehipertensi, kemudian hipertensi derajat I, hipertensi derajat II, dan hipertensi derajat III (Sugiharto, 2007).

Tabel. 2.2.Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah dari International Society of Hypertension (ISH) For Recently Update WHO Tahun 2003

Kategori Sistolik (mmHg Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 dan < 80

Normal < 130 dan <85

Normal Tinggi/Prehipertensi 130 -139 atau 85 – 89 Hipertensi Derajat I 140 - 159 atau 90 – 99 Hipertensi Derajat II 160 – 179 atau 100 -109 Hipertensi Derajat III ≥ 180 atau ≥ 110 Sumber: Linda Brookes, 2004

Perhimpunan Hipertensi Indonesia pada Januari 2007 meluncurkan pedoman penanganan hipertensi di Indonesia, yang diambil dari pedoman Negara maju dan


(6)

Negara tetangga.Dan klasifikasi hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diatolik dengan merujuk hasil JNC VII dan WHO (tabel 2.3).

Tabel 2.3.Klasifikasi Hipertensi Hasil Consensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Sistol (mmHg)

Tekanan Darah Diastole (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stadium 1 140-139 atau 90-99

Hipertensi stadium 2 >160 atau >100 Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 <90

2.1.3. Faktor-faktor Resiko Hipertensi

Resiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor resiko yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah (Dirjen PP & PL, 2006). Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stress, obesitas dan nutrisi.

2.1.3.1. Faktor yang Tidak dapat Diubah (Dimodifikasi) a. Faktor Genetik

Hipertensi esensial biasanya terkait dengan gen dan faktor genetik, dimana banyak gen turut berperan pada perkembangan gangguan hipertensi. Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga sebagai pembawa hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk terkena hipertensi.Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan


(7)

hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Budistio, 2001).

b. Umur

Insiden hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur. Pasien yang berumur di atas 60 tahun, 50-60% mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya.Hipertensi merupakan penyakit multifaktor yang munculnya oleh karena interaksi berbagai faktor.Dengan bertambahnya umur, maka tekanan darah juga meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang pada penambahan umur sampai dekade ketujuh sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sampai dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung menurun. Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada usia lanjut terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya sudah berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun (Anggraini, 2009).


(8)

c. Jenis Kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadarHigh Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premonopause. Pada premonopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan.

Ahli lain mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik (Nurkhailida, 2003).

d. Etnis

Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari pada yang berkulit putih.Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopressin lebih besar. Sebuah studi epidemiologi mengungkapkan fakta bahwa ras keturunan Afrika-Amerika memiliki resiko hipertensi sebesar 31,6%, keturunan hispanik sebesar 19%, Asia sebesar 16%, dan kulit putih sebesar 20,5% (Lingga, 2012).


(9)

2.1.3.2. Faktor yang Dapat Diubah (Dimodifikasi) a. Psikososial dan Stress

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka. Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antar individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Damayanti, 2003). Peningkatan tekanan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi (Pinzon, 1999).

b. Kegemukan (obesitas)

Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (IMT), yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter (Kaplan dan Stamler, 1991). Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh


(10)

beberapa studi.Berat badan dan IMT berkolerasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi, akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang badannya normal.

c. Pola Asupan Garam dalam Diet

Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam dengan hipertensi.Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi.Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem perdarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, disamping ada faktor lain yang berpengaruh.

Ada beberapa senyawa garam yang ada di dalam tubuh kita, garam yang berbahaya adalah garam dapur (NaCl) dan diduga menjadi pemicu kenaikan tekanan darah adalah sodium (Na).Kepekaan individu terhadap garam berbeda-beda.DNA sebagai cetak biru manusia menentukan kepekaan seseorang terhadap sodium. Gen tertentu peka terhadap sodium, sedangkan gen yang lain bersifat netral. Uji genomik menemukan kepekaan garam terkait denga gen yang terbawa oleh ras atau suku (Lingga, 2012).

Badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi resiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang


(11)

direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan maningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi. Karena itu disarankan untuk mengurangi konsumsi natrium/sodium. Sumber natrium/sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyebab masakan monosodium glutamate (MSG), dan sodium karbonat. Konsumsi garam dapur (mengandung iodium) yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram per hari, setara dengan satu sendok teh.Dalam kenyataannya, konsumsi berlebih karena budaya masak-memasak masyarakat kita yang umumnya boros menggunakan garam dan MSG (Anggraini, 2009).

Menurut Lingga (2012), wanita lebih peka terhadap garam dibandingkan pria, terutama ketika mereka memasuki masa menopause. Konsumsi garam berlebih pada wanita akan meningkatkan risiko terhadap penyakit kardiovaskular. Demikian riset yang diliris oleh Framingham Heart Study di Amerika, wanita penderita hipertensi sepatutnya mengurangi asupan garam harian lebih sedikit dibandingkan dengan pria, terutama menjelang dan post-menopause.

d. Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel


(12)

pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses arterosklerosis dan tekanan darah tinggi (Nurkhailida, 2003). Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya arterosklerosis pada seluruh pembuluh darah.Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.

Selain dari lamanya, resiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari.seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok (Price dkk, 1995).

e. Olah Raga

Olah raga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan.Pada orang tertentu dengan melakukan olah raga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan turun.

f. KonsumsiAlkohol Berlebih

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol dan di antaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya.


(13)

Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi.Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok usia ini.

g. Konsumsi Lemak Jenuh

Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan resiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah (Sheps, 2005). Lemak jenuh menyebabkan level kolesterol total dan LDL (Low Density Lipoprotein) meningkat serta menurunlan level HDL (High Density Lipoprotein). Hal ini menyebabkan platelet saling lengket sehingga darah menggumpal, sehingga mempercepat laju aterosklerosis dan akhirnya mendorong peningkatan darah permanen (Lingga, 2012).

2.1.4. Tanda dan Gejala Klinis

Menurut Sylvia Anderson (2005) gejala hipertensi sebagai berikut: a) Sakit kepala bagian belakang dan kaku kuduk

b) Sulit tidur dan gelisah atau cemas dan kepala pusing c) Dada berdebar-debar


(14)

Gejala hipertensi yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing (Mansjoer, 2001).

2.1.5. Diagnosa Hipertensi

Hipertensi dapat ditentukan dengan melihat tinggi rendahnya tekanan darah yang diukur selama beberapa kali dalam periode tertentu. Pengukuran tekanan darah merupakan suatu keharusan untuk menentukan hipertensi, melalui pengukuran tekanan darah akan diketahui tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik (Lingga, 2012).

Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah ketika jantung berdetak, sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan darah ketika jantung beristirahat.Tekanan darah sistolik diukur dari derasnya darah akibat mengempisnya bilik jantung, sedangkan tekanan diastolik dengan melihat seberapa besar tekanan terhadap dinding pembuluh darah saat jantung mengembang dan mengempis.

Tekanan darah diukur setelah seseorang duduk atau berbaring selama 5 menit.Angka 140/90 mmHg atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali pengukuran. Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi.

Tekanan darah diukur dengan alat berupa sfigmomamonometer, alat yang mengandalkan air raksa untuk menentukan tekanan darah di arteri. Selain itu, tekanan


(15)

darah dapat diukur dengan alat digital, alat yang lebih mudah digunakan untuk perorangan. Beberapa studi mengatakan bahwa alat digital memiliki akurasi yang tinggi dan dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah mandiri tanpa bantuan dokter atau orang lain (Lingga, 2012).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan terhadap organ utama, terutama pembuluh darah, jantung, otak, ginjal, dan retina. Untuk pemeriksaan retina, digunakan oftalmoskop. Dengan menentukan derajat kerusakan retina (retinopati), maka bisa ditentukan beratnya hipertensi. Dengan anggapan bahwa perubahan yang terjadi di dalam retina mirip dengan perubahan yang terjadi di dalam pembuluh darah lainnya di dalam tubuh, seperti ginjal.

Perubahan di dalam jantung, terutama pembesaran jantung, bisa ditemukan pada elektrokardiografi (EKG) dan foto rontgen dada. Pada stadium awal, perubahan tersebut bisa ditemukan melalui pemeriksaan ekokardiografi (pemeriksaan dengan gelombang ultrasonik untuk menggambarkan keadaan jantung). Bunyi jantung yang abnormal (disebut bunyi jantung keempat), bisa didengar melalui stetoskop dan merupakan perubahan jantung paling awal yang terjadi akibat tekanan darah tinggi. 2.1.6. Penatalaksanaan Hipertensi

Penatalaksanaan hipertensi terdiri dari penatalaksanaan nonfarmakologis dan penatalaksanaan farmakologis.

a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Pendekatan nonfarmakologis merupakan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi dengan tujuan sebagai penanganan awal sebelum penambahan obat


(16)

anti hipertensi, juga termasuk hal yang perlu diperhatikan seseorang yang sedang dalam terapi obat. Menurut beberapa ahli, pengobatan nonfarmakologis sama pentingnya dengan pengobatan farmakologis, terutama pada pengobatan hipertensi derajat I. Pada hipertensi derajat I, pengobatan secara nonfarmakologis kadang-kadang dapat mengendalikan tekanan darah sehingga pengobatan farmakologistidak diperlukan, pengobatan nonfarmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik. pengobatan nonfarmakologis yang dimaksud antara lain:

a.1. Menurunkan faktor resiko yang menyebabkan hipertensi

Menurut Corwin (2001) berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. a.2. Olahraga dan aktifitas fisik

Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga, dan aktivitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah.Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah.

a.3. Perubahan pola makan

a.3.1. Mengurangi asupan garam pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat badan dapat digunakan


(17)

sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam.

a.3.2. Perbanyak makanan segar, kurangi makan yang diproses. a.3.3. Pilihlah produk dengan natrium rendah.

a.3.4. Diet rendah lemak jenuh

Lemak dalam diet meningkatkan resiko terjadinya ateroskelorosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian yang bersumber dari nabati. Sejumlah lemak memang berpotensi memicu kenaikan tekanan darah, tetapi tidak semua lemak bersifat demikian. Hanya lemak tak sehat saja yang menyebabkan tekanan darah meningkat, sedangkan lemak sehat justru membuat tekanan darah stabil atau bahkan membantu menurunkan tekanan darah tinggi. Banyak lemak sehat yang aman untuk anda konsumsi seperti daging unggas liar (ayam kampung, itik liar, kalkun), ikan laut, kuning telur, yogurt, kacang-kacangan, minyak kelapa, minyak sawit, minyak zaitun, santan, mentega, dan keju. Khusus untuk lemak olahan seperti keju dan mentega sebaiknya dibatasi porsinya karena alasan tinggi kalori dan tinggi garam (Lingga, 2012).


(18)

b. Penatalaksanaan Farmakologis

Menurut Arief Mansjoer (2001) penatalaksanaan dengan obat anti hipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai umur dan kebutuhan. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam dan lebih disukai dalam dosis tunggal. Sekarang terdapat obat yang berisi kombinasi dosis rendah 2 obat dari golongan yang berbeda.kombinasi ini terbukti memberikan efektifitas tambahan dan mengurangi efek samping.

2.2. Status Gizi

Menurut Robinson dan Weighley dalam Wirjatmadi dan Adriani (2012), mengatakan status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi, yaitu:

a. Faktor langsung: Asupan berbagai makanan dan Penyakit. b. Faktor tidak langsung:

b.1. Ekonomi keluarga, penghasilan keluarga merupakan faktor yang memengaruhi kedua faktor yang berperan langsung terhadap status gizi. b.2. Produksi pangan, peranan pertanian dianggap penting karena

kemampuannya menghasilkan produk pangan.

b.3. Budaya, masih ada kepercayaan untuk memantang makanan tertentu yang dipandang dari segi gizi sebenarnya mengandung zat gizi yang baik.


(19)

b.4. Kebersihan lingkungan, kebersihan lingkungan yang jelek akan memudahkan anak menderita penyakit tertentu seperti ISPA, infeksi saluran pencernaan.

b.5. Fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting untuk menyokong status kesehatan dan gizi anak.

Berikut ini merupakan beberapa faktor yang menyebabkan obesitas, yaitu: a. Umur

Prevalensi obesitas meningkat seiring dengan bertambahnya umur.Setidaknya hingga umur 50-60 tahun pada laki-laki dan perempuan. Meskipun dapat terjadi pada semua umur, obesitas sering dianggap sebagai kelainan yang dimulai pada umur pertengahan (Misnadiarly, 2007).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga ikut berperan dalam timbulnya obesitas.Perempuan pada umumnya memiliki prevalensi obesitas yang lebih tinggi dibanding laki-laki, terlebih pada usia≥ 50 tahun. Obesitas lebih umum dijumpai pada perempuan terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause.

c. Genetik

Bila kedua orangtua obesitas dengan persentase sebesar 80% maka anaknya mempunyai peluang besar untuk menjadi obesitas; bila salah satu orangtua obesitas, maka kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orangtua tidak obesitas, prevalensi obesitas menjadi 14% (Misnadiarly, 2007).


(20)

d. Lingkungan

Faktor lingkungan seperti sosial dan ekonomi yang meliputi pengetahuan, sikap, perilaku, dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi, dapat berpengaruh terhadap obesitas (Rahmawati, 2002).

2.2.1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

Supariasa, dkk, 2002, mengatakan masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja.

Menurut FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai BMI.Di Indonesia istilah BMI diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT).IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khusunya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.Disamping itu, IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali.

Berikut ini merupakan klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk orang Asia menurut WHO:


(21)

Tabel 2.4. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk Orang Asia Menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m2) Resiko Penyakit

Kurang < 18,5 Rendah (tetapi risiko problem klinik lain meningkat)

Normal 18,5 – 24,9 Rata-rata Lebih

Berat Badan Lebih Obes Kelas I Obes Kelas II Obes Kelas III

≥ 25

25,0 -29,9 30,0 – 34,9 35,0 – 39,9

≥ 40

Meningkat Sedang Berat

Sangat Berat Sumber: James et al, 2001

2.3. Pola Konsumsi Pangan

Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman secara instansi manusia dengan lingkungan yang berwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Perilaku makan adalah cara seseorang berfikir, berpengetahuan, dan berpandangan tentang makanan. Apa yang ada dalam perasaan dan pandangan itu dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Jika tindakan itu terus menerus berulang maka tindakan tersebut akan menjadi kebiasaan makan (Khumaidi, 1994).

Baliwati.F.Y, dkk (2004) mengatakan pola makan atau pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga serta faktor sosio budaya dan religi.

Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga.Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang


(22)

untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Bila dilihat dari nilai elastisitasnya maka pangan dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu pangan inferior (ikan asin, singkong, dll), pangan normal (pangan pokok), pangan superior (daging, ayam, susu).

Selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga pangan dan harga barang non pangan.Perubahan harga dapat berpengaruh terhadap besarnya permintaan pangan.Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang.Keadaan ini mengakibatkan konsumsi pangan berkurang.

Secara umum pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial budaya dimana mereka hidup.

Wirjatmadi dan Adriani (2012), mengatakan pola makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu, seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Pola makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan dengan kebiasaan makan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan diet atau pola makan sehat tersebut tidak terlepas dari masukan gizi yang merupakan proses organisme, menggunakan makanan yang dikonsumsi melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak


(23)

digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ-organ, serta menghasilkan energi.

Kebiasaan makan sangat dipengaruhi gaya hidup. Faktor-faktor yang merupakan input bagi terbentuknya gaya hidup keluarga adalah penghasilan, pendidikan, lingkungan hidup kota atau desa, susunan keluarga, pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama, pendapat tentang kesehatan, pendidikan gizi, produksi pangan dan distribusi serta sosial politik (Almatsier, 2002).

Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan siap saji (fast food). Hal ini mereka lakukan karena tingginya kompetisi hidup yang membutuhkan kerja keras.Padahal dibalik pola makan tersebut, misalnya hasil olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi. Di Negara-negara industri maju, konsumsi garam relatif tinggi (kira-kira 10-12 g sehari atau setara dengan 2-2,5 sendok teh sehari). Padahal kebutuhan tubuh seseorang hanya sekitar 5-7,5 g sehari bergantung pada usia. National Academy of Science (NAS) memperkirakan bahwa jumlah garam dapur yang aman dan layak konsumsi setiap hari ialah 2,75-3,25 g per orang (Sudarma. M, 2008).

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi makanan, yaitu: karakteristik individu, karakteristik makanan, dan karakteristik lingkungan. Suatu model atau kerangka pemikiran diperlukan untuk menelaah konsumsi makanan kaitannya dengan berbagai karakteristik tersebut, serta hubungan antar karakteristik itu sendiri (Sanjur, 1982).


(24)

Gambar 2.1. Model Studi Preferensi Konsumsi Makanan

Apakah suatu makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tergantung tidak hanya pada pengaruh sosial dan budaya tetapi juga sifat fisiknya.Reaksi indera rasa terhadap makanan sangat berbeda dari orang ke orang (Suhardjo, 2006).

Flavor, suatu faktor penting dalam pemilihan pangan, antara lain meliputi bau, tekstur dan suhu. Penampilan yang meliputi warna dan bentuk juga mempengaruhi sikap terhadap pangan.Bentuk dan tekstur makanan untuk anak-anak

Konsumsi Makanan Preferensi Makanan Karakteristik Individu Karakteristik Makanan Karakteristik Lingkungan a. Umur b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Pendapatan e. Pengetahuan gizi f. Keterampila n memasak g. kesehatan a. Rasa b. Rupa c. Tekstur d. Harga e. Tipe makanan f. Bentuk g. Bumbu h. Kombinasi makanan a. Musim b. Pekerjaan c. Mobilitas d. Perpindahan penduduk e. Jumlah rumah tangga f. Tingkatan sosial


(25)

muda dan para cacat perlu mendapat perhatian khusus.Makanan yang disiapkan untuk orang dewasa perlu dirubah sebelum disajikan kepada anak-anak yang sangat muda, agar mereka memperoleh kesan yang menyenangkan pada waktu mengunyah dan memakannya.

Tingkat pendapatan juga menetukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan padi-padian akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan meningkat jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lain.

Menurut (Suhardjo, 1985), Tingkat pengetahuan individu akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam pendidikan formal dan informal.Tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam pengalokasian pendapatan untuk kebutuhan pangan. Orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih untuk mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sesuai dengan pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan gizinya tetap terpenuhi.

Radio, televisi, pamplet, iklan, dan bentuk media massa lain yang beberapa diantaranya kini telah mencapai daerah desa yang terpencil, efektif dalam merubah


(26)

kebiasaan makan. Beberapa diantara perubahan ini berpengaruh positif terhadap status gizi, dan sebaliknya.

2.4. Sosial Budaya

Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Namun jika dilihat dari asal katanya, sosial berasal dari kata “socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya, budi merupakan unsur rohani, sedangkan daya adalah unsur jasmani manusia. Dengan demikian budaya merupakan hasil budi dan daya dari manusia (Winarno, 2013).

Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik pula. Etika berbudaya mengandung tuntutan/keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia mengandung nilai-nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima sebagian besar orang.Budaya yang memiliki nilai etik adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan, bahkan mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri.


(27)

Menurut Tumanggor, dkk (2010) sosio budaya adalah konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.Adapun faktor-faktor yang memengaruhi sosial budaya adalah pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat.

2.4.1. SosioBudaya Menurut Norma

Dalam kehidupan sehari-hari manusia dalam berinteraksi dipandu oleh nilai-nilai dan dibatasi oleh norma-norma dalam kehidupan sosial. Norma dan nilai-nilai pada awalnya lahir tidak sengaja, karena kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan harus berinterkasi dengan yang lain menurut adanya suatu pedoman (Wirjatmadi dan Adriani, 2012).

Norma sosial (sosial budaya) adalah seperangkat kaidah atau aturan yang berkaitan dengan interkasi antar manusia dan antara manusia dan lingkungannya. Menurut kekuatan yang mengikatnya norma dibedakan menjadi empat, yaitu:

1. Cara, cara lebih tampak menonjol dalam hubungan antar individu dalam masyarakat.

2. Kebiasaan, perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama dan merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.

3. Tata kelakuan yaitu kebiasaan yang diterima sebagai norma pengatur, atau pengawas secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat.


(28)

4. Adat istiadat yaitu tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.

Kebutuhan untuk makan bukanlah satu-satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi di samping itu ada kebutuhan fisiologis dan psikologis yang ikut mempengaruhi. Setiap kelompok mempunyai suatu pola tersendiri dalam memperoleh, menggunakan dan menilai makanan yang akan merupakan ciri kebudayaan dari kelompok masing-masing (Khumaidi, 1994).

Pada beberapa masyarakat, makanan memegang peranan penting dalam peristiwa-peristiwa sosial atau keagamaan dalam kehidupan manusia.Makan tidak hanya memuaskan rasa lapar tetapi juga memberikan rasa senang dan memberikan suatu ikatan tertentu antara anggota keluarga atau kelompok dalam menikmati makanan.

a) Status dan Susunan Makanan

Distribusi makanan seringkali dihubungkan dengan status yang terjalin antara anggota keluarga daripada kebutuhan akan gizinya.

1. Anggota masyarakat pria yang lebih tua (senior) mendapatkan jumlah dan mutu susunan makanan yang lebih baik daripada anak-anak kecil dan wanita-wanita muda.

2. Anak-anak laki-laki mendapat prioritas yang lebih tinggi daripada anak-anak perempuan.

3. Cara menghidangkan atau pelayanan makanan disesuaikan pula dengan status, sehingga cara tertentu dapat memberikan penilaian terhadap suatu keadaan status


(29)

tertentu yang menimbulkan suatu kegagagalan dalam perbaikan keadaan gizi yang diinginkan.

b) Kewajiban Sosial dan Susunan Makanan

Pengaruh lainnya dalam susunan makanan adalah efek dari kewajiban sosial.Pada beberapa masyarakat, prestasi di bidang ekonomi dinilai kurang daripada penerimaan di lingkungan sosial.Partisipasi dari keluarga dan anggota masyarakat lebih dihargai daripada hadiah kekayaan.Lebih baik diberikan/dihidangkan makanan sebagai imbalan daripada dibayar dengan uang.Keadaan seperti ini dapat menyebabkan penyediaan susunan makanan yang tidak mencukupi bagi keluarga. c) Makanan sebagai Simbol Hubungan Sosial

Makanan sering kali diberi nilai secara simbolis dalam agama dan dalam mengutarakan suatu sosial.Menghidangkan makanan merupakan suatu simbol dari suatu persaudaraan, kekeluargaan, penerimaan, dan kepercayaan.Jumlah dan aneka ragam makanan yang dihidangkan pada suatu peristiwa tertentu merupakan status simbol di dalam masyarakat.Biasanya bahan, warna, bentuk, jenis makanan, alat, ukuran, dan lain-lain adalah khas (spesifik) untuk acara-acara tertentu.

2.4.2. SosioBudaya Menurut Undang-Undang

Hak asasi manusia di bidang budaya berdasarkan undang-undang dimuat dalam pasal 28C, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia.”


(30)

2.5.Masyarakat Suku Alas

Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan latar belakang etnis, suku, dan tatanan kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain (Wirjatmadi dan Adriani, 2012).

Berdasarkan Lembaga Sejarah dan Purbakala Depatemen P dan K (Hasan, 1980) terdapat sebelas suku bangsa di provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Singkel, Aneuk Jamee, Kuet, Pulau, Jawa, Batak dan campuran Aceh dan Aneuk Jamee. Dari kesebelas suku bangsa yang berada di Aceh, suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh dan biasa disebut Tanah Alas. Kata “Alas” dalam bahasa Aceh, Alas berarti “tikar”. Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan.Dengan karakter alam yang demikian bisa dipastikan bahwa daerah tersebut sangatlah subur.Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan (Anonim, 2014).

Menururt Muhammad Umar, bahwa kata Alas dapat diartikan “dasar” serta dasar juga dapat diartikan “pertama”, sehingga kata Alas menjadi dasar dan pertama, maka dapat dimaknai bahwa suku yang pertama mendiami daerah tersebut dinamakan “Alas” (Ridwan, 2005). Menurut LAKA (2003), suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara memiliki 26 marga, yaitu: Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, Selian, Acih, Beruh, Gale, Karo-karo, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe,


(31)

Pase, Pelis, Pinim, Rahim, ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang, dan marga Tarigan.

Upacara adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, tumbuh dan berkembang secara historis pada masyarakat suku alas.Salah satu upacara tradisional yang masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya adalah upacara perkawinan, kematian, khitanan, turun mandi, dan perayaan hari-hari besar agama.

Hal ini tidak terlepas dari makanan yang disajikan setiap upacara adat tersebut berlangsung yang ada kaitannya dengan status gizi dan kejadian hipertensi pada masyarakat tersebut.Adapun makanan tradisional dari suku alas yang sering disajikan pada upacara adat mereka adalah bebek labakh, manukh labakh, ikan labakh, puket megaukh, lepat bekhas, gelame, buah khum-khum, ikan pacik kule, teukh mandi, puket mekuah, tumpi, godekh, puket sikuning, cimpe, dan getuk.Dari semua makanan yang disajikan di atas, rata-rata mengandung tinggi kalori, lemak jenuh, tinggi garam dan tinggi protein yang kemungkinan akan memicu terjadinya obesitas dan hipertensi.

2.5.1. Adat-Istiadat Suku Bangsa Alas

Hampir semua masyarakat manusia di seluruh dunia, hidup individu dibagi oleh adat masyarakat ke dalam tingkat-tingkat tertentu. Tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang disebut stage along the life-cycle itu, misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanank-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah nikah atau perkawinan, masa hamil, masa tua, mati dan sebagainya. pada waktu individu


(32)

beralih satu tingkat ke tingkat yang lain, biasanya pada saat itu diadakan pesta atau upacara yang merayakan saat peralihan tersebut (Sufi R, 2008).

2.5.1.1. Adat dan Upacara Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang bersifat naluriah bagi setiap makhluk hidup.Pada dasarnya perkawinan berfungsi untuk mengatur kelakuan manusia dan kebutuhan biologisnya, untuk menyambung keturunan.

2.5.1.1.1. Upacara sebelum Perkawinan

Upacara sebelum perkawinan yang dimaksud adalah upacara-upacara yang dilakukan sebelum ijab Kabul atau akad nikah berlangsung dan juga sebelum pesta perkawinan, termasuk di dalam upacara sebelum kawin lumbe (pemberitahuan), kutuk

(pemberitahuan maksud meminang), Chisik atau Risik (Membaca pikiran pihak wali),

peperi( menentukan langkah mufakat), Pinang cut (pinang kecil), Pinang Mbelin

(meresmikan pinangan), midoi.

Dalam acara Pinang Mbelin, pokok pembicaraan menyangkut hal yang berhubungan dengan mahar (mas kawin), upah wali (uang untuk wali perempuan), isi

cekhane (uang isi kampil), wis panjang Sembilan (kain panjang Sembilan hasta) dan uang kenduri. Uang kenduri itu berupa uang atau benda dan telah mempunyai ketentuan adat, yang mana berlaku sama besar untuk semua status sosial. Uang kenduri dalam bentuk benda berupa: kambing satu ekor, beras 2 kaleng (40 liter), beras pulut 1 kaleng (20 liter), gula merah 20 kilogram, kelapa 30 buah, ayam satu ekor dan bumbu-bumbu secukupnya, nagka muda untuk sayur, gula pasir, kopi, teh, serta tukang masak laki-laki dan perempuan.


(33)

2.5.1.1.2. Acara Persiapan Upacara Perkawinan

Adapun acara-acara tersebut yaitu teberas (mengadakan perlengkapan),

Meubagah (mengundang memakai sirih lengkap dengan gambir, pinang, dan kapur yang dibungkus dengan daun pisang), jagai (malam berinai) (Sufi R, 2008)

2.5.1.1.3. Upacara Pelaksanaan Perkawinan

Pelaksanaan perkawinan ditandai dengan adanya gantat emas (mengantar emas), meuraleng (menjemput pengantin wanita), akad nikah, nachuh (menyerahkan pengantin perempuan kepada suaminya), narukh (mengantar pengantin perempuan),

Seunubung (pengantin perempuan pergi ke rumah orang tuanya dengan membawa barang-barang yang telah ditentukan.

Seunubung tersebut dilaksanakan beberapa kali. Seunubungpertama, barang yang dibawa tersebut berupa puket mengelatmeupinggan (pulut manis), kampil

sebuah, dan panpinang menulung sebuah. Seunubung kedua, barang bawaan berupa nasi dan gulai ayam atau daging, puket mengelatmeupinggan (pulut manis) yang telah dibungkus dengan daun pisang diletakkan ke dalam piring besar serta dibungkus kembali dengan kain panjang. Seunubungketiga, barang bawaan berupa pukeut merinti (pulut yang dicampur kelapa dan gula merah), nasi kepel (nasi bungkus), serta ayam panggang.Seunubung keempat, barang bawaan berupa pukeut dakan (pulut yang dimasak dengan santan kelapa), telur bebek sanglar (dadar), nasi

kepel.Seunubungkelima, barang bawaan berupa nasi kepel dan ikan menenem (ikan pepes).Seunubungkeenam, barang bawaan berupa nasi kepel dansireu matah (garam).


(34)

2.5.1.2. Adat Mbade Anak Lawe (Turun Mandi)

Pelaksanaan memandikan anak ini disebut dengan caraMbade Anak Belawe, menurut lazimnya si anak pergi dengan membawa kampil untuk memberitahukan kepada mertuanya, sumi isteri serta kerabat-kerabat agar datang pada hari turun mandi tersebut.

2.5.1.2.1. Tata cara Pelaksanaan sebelum Berangkat

Menurut kebiasaan orang tua tersebut segera memberitahukan kepada anak-anaknya yang sudah berumah tangga dan family terdekat, bahwa pada hari yang telah ditentukan mereka berangkat bersama-sama bagi seluruh keluarga yang ikut pergi biasanya membawa antara lain: mbabe begok an matah dan begok an tasak (berupa obat untuk orang bersalin), haluemecookh (dodol pedas), manukh labakh dan ikan labakh, nasi lengkap dengan gulai ayam, puket dekan, cimpe atau lelingir, pakaian adat untuk sepasang suami isteri lengkap dengan bunge sumbu untuk wanita, gelang rantai cincin dan lain-lain asesoris adat, seluruh rombongan membawa nasi dengan gulai ayam atau telur, bagi yang tidak/ dapat membawa makanan yang sudah dimasak, dapat menggantinya dengan seekor unggas, seperti ayam atau bebek; semambu beras; sebambu ketan; kelapa 4 buah, bagi keluarga terdekat diwajibkan membawa satu langgum (kain batik panjang) untuk anak yang dimandikan tersebut. 2.5.2. Adat-Istiadat dalam Pergaulan

2.5.2.1. Diantara Kerabat

Secara universal, seorang ayah dalam suatu keluarga sangat disegani oleh anggota-anggota keluarganya. Demikian pula dalam budaya dan masyarakat suku


(35)

bangsa Alas, ayah menempati posisi yang utama dalam keluarga. Dengan demikian, seorang anak lebih rapat bergaul dengan ibunya.Hubungan antara anggota keluarga lainnya dapat dikatakan tidak terlalu bebas.Misalnya, hubungan antara menantu dengan mertua.Walaupun mereka tinggal satu rumah, mereka tidak dapat berbicara secara semaunya saja (Sufi R, 2008).

Pada bagian lain, hubungan antara mertua dengan cucunya dapat dikatakan sangat intim.Bahkan banyak sekali nenek/kakek sangat menyayangi cucunya melebihi rasa sayang terhadap anak-anaknya.

2.5.2.2. Bertamu

Adat bertamu pada masyarakat suku bangsa Alas mempunyai perbedaan dan keunikan tersendiri. Keunikan tersebut terlihat pada saat menerima tamu, maka tuan rumah membentangkan tikar dan mempersilahkan tamu tersebut duduk di atas tikar. Pembentangan tikar bermakna bahwa tuan rumah menerima tamunya dengan lapang dada dan jauh dari prasangka. Dalam masyarakat suku bangsa Alas, setiap tamu yang datang selalu disediakan makan, walaupun saat tersebut belum merupakan waktu makan.Hal tersebut dilakukan karena ada perasaan berat hati dan tidak puas melepaskan kepergian tamu tanpa menyuguhkan makan. Mengenai lauk pauk yang dihidangkan tidak terlalu dipermasalahkan karena yang terpenting adalah rasa ikhlas dan berlapang dada untuk menjamu sang tamu.


(36)

2.5.3. Makan dan Minum Sehari-hari

Menurut pemahaman masyarakat Suku Bangsa Alas makan dan minum tidak hanya masalah mengenyangkan perut, akan tetapi adalah bagaimna suasana makan itu sendiri dapat menimbulkan kenyamanan, kelezatan, dan untuk kesehatan. Untuk mendukung suasana seperti itu tempat makan juga sangat diperhatikan.

Ada suatu kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat ini bahwa mereka merasa tabu apabila menanyakan sudah makan atau belum kepada seorang tamu, baik itu orang lain atau saudara sendiri. Biasanya tuan rumah akan menghidangkan makan dan minum bagi tamu, dan tamu tidak boleh menolak untuk makan atau minum apabila telah disediakan.

Dalam adat makan pada masyarakat suku bangsa Alas mempunyai aturan yang berorientasi pada penghormatan terhadap orangtua dan juga kepada seorang laki-laki. Apabila makanan tersebut tersebut telah selesai diolah biasanya akan diambilkan terlebih dahulu dan disendirikan untuk ayah dan abang yang paling tua.Tempat atau peralatan yang digunakan untuk makan ayah atau suami tidak boleh dipergunakan oleh orang lain termasuk anak dan isterinya. Namun apabila ayah atau suami ini telah selesai makan dan masih ada makanan yang tersisa maka makanan tersebut boleh diambil oleh anaknya, karena sudah menjadi hak anak.

Selain itu menurut kebiasaan masyarakat suku bangsa Alas makan di dalam keluarga senantiasa dilakukan secara serentak, kecuali jika ada anggota keluarga yang sedang keluar kampung pada waktu makan.Apabila makan dilakukan bersama-sama, maka posisi tempat duduk setiap anggota keluarga telah ada ketentuannya.Tempat


(37)

duduk ayah disebelah ulunen (di sisi yang tidak dilewati orang), sedangkan ibu dan anak-anak duduk berkeliling.

Kebiasaan pada keluarga yang masih kuat memegang kuat tradisi, untuk tempat duduk ayah disediakan tikar khusus yang disusun beberapa buah di atas lantai beralas tikar. Pada acara makan bersama dalam keluarga yang juga dihadiri tamu, hidangan disiapkan terpisah dari anggota keluarga yang lain. Setiap orang boleh saja mengakhiri makannya menurut kondisinya.

2.5.4. Makan dan Minum pada Kenduri

Banyak kegiatan dalam masyarakat yang mengikutsertakan makanan sebagai bagian dari suatu seremonial. Suku bangsa Alas yang masyarakatnya beragama islam dan bermatapencaharian dalam bidang pertanian mempunyai sejumlah upacara yang mensyaratkan keberadaan jenis-jenis makanan tertentu untuk berlangsungnya acara tersebut. Adapun beberapa acara kenduri tersebut antara lain kenduri di bidang pertanian, kenduri yang berhubungan dengan lingkaran hidup, kenduri hari besar keagamaan, dan kenduri yang sifatnya situsional (Sufi R, 2008).

Adapun makanan dan minuman untuk orang yang dihormati dan disegani dihidangkan tersendiri dan diletakkan di depannya. Hal ini merupakan penghormatan sekaligus supaya orang tersebut tidak segan untuk makan hidangan.Begitu juga tatacara duduk sewaktu makan di dalam kenduri. Orang yang lebih tua dan dituakan dipersilahkan duduk di bagian nihulun (bagian terdepan) dan biasanya mereka duduk bersandar pada didnding rumah atau didinding serambi depan.


(38)

Dalam acara kenduri penyajian makan dan piranti pada masyarakat suku bangsa Alas adalah khas. Sebagai giliran pertama dihidangkan sajian-sajian dari ketan yang dimakan dengan kuah.Untuk hidangan ini ketan putih dihidangkan dalam piring (porsinya relatif besar) lalu kuahnya dihidangkan dalam mangkuk.jadi setiap orang akan mendapat sepiring ketan, satu mangkok kuah, segelas air minum dan satu cuci tangan (tidak ada sendok).

Sebagai gilirannya disajikan makanan lengkap. Nasi yang disebut nakan kepel atau nasi hangat dibungkus dengan daun pisang.Dua bungkus diletatkkan dalam piring makan. Satu macam lauk diletakkan dalam mangkuk (piring kecil) segelas air minum dan satu cuci tangan.

Di dalam menghidangkan, makanan biasanya ditempatkan dalam cambung-cambung kecil yang disebut cawan. Jenis makanan yang selalu dihidangkan dalam setiap upacara kenduri yaitu gulai daging kambing dan gulai nagka.Kedua gulai ini dalam penyajiannya dipisahkan sendiri-sendiri dan tidak bercampur. Daging kambing yang sudah dimasak itu apabila dihidangkan untuk ketua adat maka dipisahkan dalam pingggan besar yang disebut dengan istilah pahar. Pahar ini berfungsi seperti meja makan.Adapun yang menyajikan makanan ini biasanya anak-anak muda.

Kebiasaan dalam acara kenduri yang menyangkut dengan lingkaran kehidupan seperti upacara turun mandi, khitanan dan perkawinan, pemamanen (pihak wali dari ibu) mendapat pelayanan khusus.Perbedaan yang sangat jelas yaitu pada tempat duduk.Rombongan pemamanen semua duduk di atas lantai yang beralas kasur.Posisi duduk pun sudah ditentukan menurut jauh dekatnya hubungan


(39)

keluarga.Sebelum rombongan menikmati hidangan, terlebih dahulu membaca doa yang dipimpin oleh imam atau yang dituakan. Hidangan diutamakan untuk kaum pria, setelah sajian cukup untuk pria baru giliran berikutnya untuk kaum wanita.

Adapun kebiasaan menambah nasi atau lauk dalam kenduri diperbolehkan.Bahkan dalam masyarakat suku bangsa Alas nasi tambah dinamakan

kepel.Pada masa lalu juga ditemukan suatu kebiasaan di kalangan perempuan.Mereka diperbolehkan makan dalam satu talam untuk empat orang.Begitu juga orang laki-laki yang sebaya diperbolehkan makan dalam satu piring atau dalam satu talam.

Selain adat makan di atas, cara mengunyah makanan juga memiliki aturan. Cara mengunyah makanan yang dianjurkan oleh orangtua yaitu tidak boleh cepat-cepat namun juga tidak boleh lambat sekali, sewajarnyadan sesopan mungkin.Begitu juga dalam mengambil makanan pada upacara kenduri dianjurkan untuk mengambil seperlunya.Jadi tidak diperbolehkan ada sisa dalam piring. Apabila hal itu dilanggar maka dapat diartikan sebagai rasa tidak menghormati tuan rumah dan bisa menimbulkan perasaan malu bagi orangtua yang dianggap tidak pernah mengajarkan adat makandan minum pada anaknya.

2.6. Sosial Budaya dan Pola Makan

Pola konsumsi makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus-menerus sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat.Pola konsumsi ini diajarkan dan


(40)

bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang (Soediaoetama, 2006).

Lingkungan sosial memberikan gambaran jelas tentang perbedaan pola makan.Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuai kebiasaan yang dianut. Masyarakat mengkonsumsi bahan makanan tertentu yang mempunyai nilai sosial sesuai dengan tingkat status sosial yang terdapat pada masyarakat tersebut (Suhardjo,1989).

Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Budaya dapat diartikan sebagai gabungan kompleks asumsi tingkah laku, cerita, mitos, metapora dan berbagai ide lain yang menjadi satu menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat.

Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial, dan norma budaya bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik.

Kebudayaan masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi.Aspek sosio budaya pangan adalah fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut.

Pola makan suatu daerah berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor atau indikasi setempat yang dapat dibagi dalam dua bagian yaitu:


(41)

1. Faktor yang berhubungan dengan persedian atau pengadaan bahan pangan. Dalam kelompok ini termasuk geografi, iklim, kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah produksinya di suatu daerah.

2. Faktor adat-istiadat yang berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio ekonomi dan adat kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi pangan penduduk. Jumlah penduduk merupakan kunci utama yang menentukan tinggi rendahnya jumlah konsusmsi pangan anggota keluarga.

2.7. Pola Makan dan Status Gizi

Wirjatmadi dan Adriani (2012), mengatakan nutrisi sangat berguna untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit.Selain karena faktor kekurangan nutrisi, akhir-akhir ini juga muncul penyakit akibat salah pola makan seperti kelebihan makan atau makan makanan yang kurang seimbang.Untuk menghindari penyakit akibat pola makan yang kurang sehat, diperlukan suatu pedoman bagi individu, keluarga, atau masyarakat tentang pola makan yang sehat. Pola makan itu dibentuk sejak masa kanak-kanak yang akan terbawa hingga dewasa. Oleh karena itu, untuk membentuk pola makan yang baik, sebaiknya dilakukan sejak masa kanak-kanak.

Status gizi adalah salah satu indikator kesehatan masyarakat yang amat penting untuk dievaluasi secara periodik.Kelebihan gizi atau gizi yang lebih dapat berdampak buruk terhadap kesehatan seseorang seperti halnya dengan obesitas.Menurut Call dan Levinson, Status Gizi seseorang pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu makanan yang dimakan dan keadaan kesehatannya.Kualitas dan


(42)

kuantitas makanan yang dimakan seseorang banyak tergantung pada kandungan zat gizi makanan tersebut.

2.8. Status Gizi dan Kejadian Hipertensi

Peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) erat kaitannya dengan penyakit hipertensi baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Kenaikan berat badan (BB) sangat berpengaruh pada mekanisme timbulnya kejadian hipertensi pada orang yang obes akan tetapi mekanisme terjadinya hal tersebut belum dipahami secara jelas namun diduga pada orang yang obes terjadi peningktan volume plasma dan curah jantung yang akan meningkatkan tekanan darah.Mereka yang berat badan lebih 20% dari normal mengalami risiko 2 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang normal (Hadju, 2003).

Berdasarkan laporan dari Swedish Obese Study diketahui bahwa angka kejadian hipertensi pada penderita obes sebesar 13,6%. Begitu pula hasil survey MONICA III (2000) diketahui bahwa prevalensi hipertensi meningkat pada orang yang memiliki berat badan lebih atau obes dan kolesterol total dibandingkan dengan yang mempunyai berat badan normal (Sihombing, 2010).

Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight).Asupan kalori dan lemak yang tinggi bukan saja memicu terjadinya obesitas tetapi juga meningkatkan resiko hipertensi.Orang yang gemuk beresiko lebih tinggi menderita hipertensi daripada orang kurus.Sekitar 50% penderita obesitas mengalami hipertensi.Dibalik perut gendut atau bahkan buncit


(43)

tersimpan sejumlah persoalan besar yang memicu tekanan darah tinggi.Lemak di bagian perut mendesak ginjal, sehingga kinerja ginjal terganggu.Akibatnya terjadi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hipertensi (Lingga, 2012).

2.9. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan landasan teori yang telah disusun, khususnya mengenai hubungan antara satu faktor risiko dengan faktor risiko lainnya.Berdasarkan Dirjen PP & PL (2006), faktor risiko hipertensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.Faktor-faktor yang berpengaruh kejadian hipertensi adalahfaktor risiko yang tidak dapat diubah atau faktor risiko melekat yaitufaktor demografi meliputi umur, jenis kelamin, ras, dan keturunanmeliputi genetik, riwayat keluarga. Faktor risiko yang dapat diubahyaitu faktor demografi meliputi tingkat pendidikan, status perkawinan,jenis pekerjaan, jabatan pekerjaan, letak geografi dan pola hidupmeliputi rokok, gizi/pola makan, alkohol, olah raga, aktivitas fisik sertastatus kesehatan yang meliputi obesitas/IMT, penggunaan estrogen/pilKB, stres kejiwaan.


(44)

Gambar 2.2. Landasan Teori Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Hipertensi dan Penyakit yang Diakibatkannya(Dirjen PP &PL , 2006)

Faktor yang tidak dapat diubah

D

em

o

g

raf

i Umur − Jenis kelamin − Ras

K

et

ur

una

n Genetik

− Riwayat keluarga

Faktor yang dapat diubah

D

em

o

g

raf

i − Pendidikan − Status perkawinan − Jenis pekerjaan − Letak geografi

P

ol

a hi

dup

− Merokok − Gizi/ pola makan − Alkohol

− Olah raga − Aktivitas fisik

S ta tu s k es eh at an − Obesitas/IMT − Penggunaan

estrogen/ Pil KB − Stress kejiwaan

H I P E R T E N S I


(45)

2.10. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran yang terintegrasi. Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep yang terdiri dari variabel independen yaitu sosial budaya, pola makan dan status gizi sedangkan variabel dependen terdiri dari kejadian hipertensi. Penelitian ini mengemukakan faktor sosial budaya yang berhubungan dengan Pola makan masyarakat suku Alas. Faktor sosial budaya yang terdapat dalam penelitian ini mempengaruhi pola makan masyarakat suku Alas baik kuantitas maupun kualitas (frekuensi makan, asupan energi, protein dan lemak) yang mereka konsumsi, selanjutnya juga dapat mempengaruhi kejadian hipertensi masyarakat tersebut. Variabel pola makan juga akan mempengaruhi status gizi seseorang yang berhubungan dengan kejadian hipertensi, yang mana status gizi tersebut diukur berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang diperoleh dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan seseorang. Variabel pola makan dengan status gizi di sini tidak dianalisis, meskipun seseorang yang mempunyai berat badan lebih atau obes mempunyai resiko yang lebih besar pada mekanisme timbulnya hipertensi daripada seseorang yang berat badannya normal akan tetapi mekanisme terjadinya hal tersebut belum dipahami secara jelas. Pada penelitian ini berfokus pada pola makan masyarakat suku Alas (frekuensi makan, asupan energi, protein dan lemak) yang berkaitan dengan kejadian hipertensi. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dengan model sebagai berikut:


(46)

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi

Keterangan:

variabel yang dianalisis variabel yang tidak dianalisis

Pola makan:

• Frekuensi makan,

• Asupan energi, protein, lemak,

Sosial Budaya

Kejadian Hipertensi


(1)

1. Faktor yang berhubungan dengan persedian atau pengadaan bahan pangan. Dalam kelompok ini termasuk geografi, iklim, kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah produksinya di suatu daerah.

2. Faktor adat-istiadat yang berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio ekonomi dan adat kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi pangan penduduk. Jumlah penduduk merupakan kunci utama yang menentukan tinggi rendahnya jumlah konsusmsi pangan anggota keluarga.

2.7. Pola Makan dan Status Gizi

Wirjatmadi dan Adriani (2012), mengatakan nutrisi sangat berguna untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit.Selain karena faktor kekurangan nutrisi, akhir-akhir ini juga muncul penyakit akibat salah pola makan seperti kelebihan makan atau makan makanan yang kurang seimbang.Untuk menghindari penyakit akibat pola makan yang kurang sehat, diperlukan suatu pedoman bagi individu, keluarga, atau masyarakat tentang pola makan yang sehat. Pola makan itu dibentuk sejak masa kanak-kanak yang akan terbawa hingga dewasa. Oleh karena itu, untuk membentuk pola makan yang baik, sebaiknya dilakukan sejak masa kanak-kanak.

Status gizi adalah salah satu indikator kesehatan masyarakat yang amat penting untuk dievaluasi secara periodik.Kelebihan gizi atau gizi yang lebih dapat berdampak buruk terhadap kesehatan seseorang seperti halnya dengan obesitas.Menurut Call dan Levinson, Status Gizi seseorang pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu makanan yang dimakan dan keadaan kesehatannya.Kualitas dan


(2)

kuantitas makanan yang dimakan seseorang banyak tergantung pada kandungan zat gizi makanan tersebut.

2.8. Status Gizi dan Kejadian Hipertensi

Peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) erat kaitannya dengan penyakit hipertensi baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Kenaikan berat badan (BB) sangat berpengaruh pada mekanisme timbulnya kejadian hipertensi pada orang yang obes akan tetapi mekanisme terjadinya hal tersebut belum dipahami secara jelas namun diduga pada orang yang obes terjadi peningktan volume plasma dan curah jantung yang akan meningkatkan tekanan darah.Mereka yang berat badan lebih 20% dari normal mengalami risiko 2 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang normal (Hadju, 2003).

Berdasarkan laporan dari Swedish Obese Study diketahui bahwa angka kejadian hipertensi pada penderita obes sebesar 13,6%. Begitu pula hasil survey MONICA III (2000) diketahui bahwa prevalensi hipertensi meningkat pada orang yang memiliki berat badan lebih atau obes dan kolesterol total dibandingkan dengan yang mempunyai berat badan normal (Sihombing, 2010).

Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight).Asupan kalori dan lemak yang tinggi bukan saja memicu terjadinya obesitas tetapi juga meningkatkan resiko hipertensi.Orang yang gemuk beresiko lebih tinggi menderita hipertensi daripada orang kurus.Sekitar 50% penderita obesitas mengalami hipertensi.Dibalik perut gendut atau bahkan buncit


(3)

tersimpan sejumlah persoalan besar yang memicu tekanan darah tinggi.Lemak di bagian perut mendesak ginjal, sehingga kinerja ginjal terganggu.Akibatnya terjadi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hipertensi (Lingga, 2012).

2.9. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan landasan teori yang telah disusun, khususnya mengenai hubungan antara satu faktor risiko dengan faktor risiko lainnya.Berdasarkan Dirjen PP & PL (2006), faktor risiko hipertensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.Faktor-faktor yang berpengaruh kejadian hipertensi adalahfaktor risiko yang tidak dapat diubah atau faktor risiko melekat yaitufaktor demografi meliputi umur, jenis kelamin, ras, dan keturunanmeliputi genetik, riwayat keluarga. Faktor risiko yang dapat diubahyaitu faktor demografi meliputi tingkat pendidikan, status perkawinan,jenis pekerjaan, jabatan pekerjaan, letak geografi dan pola hidupmeliputi rokok, gizi/pola makan, alkohol, olah raga, aktivitas fisik sertastatus kesehatan yang meliputi obesitas/IMT, penggunaan estrogen/pilKB, stres kejiwaan.


(4)

Gambar 2.2. Landasan Teori Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Hipertensi dan Penyakit yang Diakibatkannya(Dirjen PP &PL , 2006)

Faktor yang tidak dapat diubah

D

em

o

g

raf

i Umur

− Jenis kelamin

− Ras

K

et

ur

una

n Genetik

− Riwayat keluarga

Faktor yang dapat diubah

D

em

o

g

raf

i − Pendidikan

− Status perkawinan

− Jenis pekerjaan

− Letak geografi

P

ol

a hi

dup

− Merokok

− Gizi/ pola makan

− Alkohol

− Olah raga

− Aktivitas fisik

S ta tu s k es eh at an − Obesitas/IMT − Penggunaan estrogen/ Pil KB

− Stress kejiwaan

H I P E R T E N S I


(5)

2.10. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran yang terintegrasi. Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep yang terdiri dari variabel independen yaitu sosial budaya, pola makan dan status gizi sedangkan variabel dependen terdiri dari kejadian hipertensi. Penelitian ini mengemukakan faktor sosial budaya yang berhubungan dengan Pola makan masyarakat suku Alas. Faktor sosial budaya yang terdapat dalam penelitian ini mempengaruhi pola makan masyarakat suku Alas baik kuantitas maupun kualitas (frekuensi makan, asupan energi, protein dan lemak) yang mereka konsumsi, selanjutnya juga dapat mempengaruhi kejadian hipertensi masyarakat tersebut. Variabel pola makan juga akan mempengaruhi status gizi seseorang yang berhubungan dengan kejadian hipertensi, yang mana status gizi tersebut diukur berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang diperoleh dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan seseorang. Variabel pola makan dengan status gizi di sini tidak dianalisis, meskipun seseorang yang mempunyai berat badan lebih atau obes mempunyai resiko yang lebih besar pada mekanisme timbulnya hipertensi daripada seseorang yang berat badannya normal akan tetapi mekanisme terjadinya hal tersebut belum dipahami secara jelas. Pada penelitian ini berfokus pada pola makan masyarakat suku Alas (frekuensi makan, asupan energi, protein dan lemak) yang berkaitan dengan kejadian hipertensi. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dengan model sebagai berikut:


(6)

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi

Keterangan:

variabel yang dianalisis variabel yang tidak dianalisis

Pola makan: • Frekuensi makan, • Asupan energi, protein,

lemak,

Sosial Budaya

Kejadian Hipertensi


Dokumen yang terkait

Gambaran Karakteristik dan Sosial Budaya Masyarakat Terhadap Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat 2014

4 83 118

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

1 49 167

SUKU ALAS KABUPATEN ACEH TENGGARA.

0 5 21

HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KERJO Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kerjo Kabupaten Karanganyar.

0 2 18

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

1 1 19

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 2

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 9

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 5

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 39

GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAWIT SEBERANG KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT

0 1 15