Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

(1)

PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN POLA MAKAN TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT SUKU ALAS DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS PERAWATAN KUTAMBARU KABUPATEN ACEH TENGGARA

TAHUN 2014

TESIS

Oleh ELISKA 127032214/IKM

PROGRAM STUDIS2 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF SOCIO-CULTURE AND EATING PATTERN ON THE INCIDENCE OF HYPERTENSION IN THE ALAS COMMUNITIES IN THE WORKING AREA OF KUTAMBARU

HEALTH CENTER,ACEH TENGGARA DISTRICT, IN 2014

THESIS

Oleh ELISKA 127032214/IKM

MAGISTRATE IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN POLA MAKAN TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT SUKU ALAS DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS PERAWATAN KUTAMBARU KABUPATEN ACEH TENGGARA

TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh ELISKA 127032214/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

JudulTesis : PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN POLA MAKAN TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT SUKU ALAS DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS PERAWATAN KUTAMBARU KABUPATEN ACEH

TENGGARA TAHUN 2014 NamaMahasiswa : Eliska

NomorIndukMahasiswa : 127032214

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

MinatStudi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si)

Ketua Anggota

(Dra.Jumirah, Apt, M.Kes)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 23 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si Anggota : 1. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes

2. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes 3. Erna Nasution, S.K.M., M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN POLA MAKAN TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT SUKU ALAS DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS PERAWATAN KUTAMBARU KABUPATEN ACEH TENGGARA

TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar magister kesehatan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2014

Eliska 127032214/IKM


(7)

ABSTRAK

Penyakit hipertensi menduduki peringkat ketiga dari 10 penyakit terbesar di Kabupaten Aceh Tenggara. Puskesmas Kutambaru menempati urutan pertama tertinggi kasus hipertensi yaitu 3.010 kasus pada tahun 2013. Kondisi ini diduga berkaitan dengan pola konsumsi makan masyarakat suku Alas yang cenderung memiliki kebiasaan hidup seperti kebiasaan minum kopi, merokok, pola makan berlemak dan tinggi garam sewaktu mengikuti acara adat perkawinan ataupun kematian.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh sosial budaya dan pola makan terhadap kejadian hipertensi pada masyarakat suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara. J

Hasil penelitian menunjukkan Pola makan (frekuensi makan, asupan energi, asupan protein dan asupan lemak) berpengaruh terhadap kejadian hipertensi (p<0.05). Variabel frekuensi makan merupakan variabel yang paling dominan memengaruhi kejadian hipertensi masyarakat suku Alas (OR=4,478; 95% CI:1,492-13,440).

enis penelitian adalah observasional dengan rancangan studi kasus kontrol. Populasi adalah seluruh pasien suku Alas yang berobat dan mendapatkan fasilitas pengobatan di Puskesmas Kutambaru. Sampel sebanyak 118 orang pasien suku Alas yang berobat terdiri dari 59 kasus yaitu penderita hipertensi dan 59 kontrol yaitu bukan penderita hipertensi. Data dianalisis secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan

menggunakan uji statistik regresi logistik berganda pada taraf kemaknaan α = 0,05.

Disarankan petugas kesehatan memberikan penyuluhan tentang pola makan tidak berisiko hipertensi dan masyarakat suku Alas dianjurkan dalam menu makanan disajikan buah-buahan yang dapat menurunkan tekanan darah serta mengurangi kebiasaan merokok dan minum alkohol.


(8)

ABSTRACT

Hypertension ranks the third of ten serious disease in Aceh Tenggara district. Kutambaru Health Center ranks the highest in hypertension with 3.010 cases in 2013. The condition is probably related to food consumption of the “Alas communities” that tends to have the habit of life such as drinking coffee, smoking, eating fat and salty food when they attend traditional wedding ceremony or funerals.

The objective of the research was to find out and to analyze the influence of socio-culture and eating pattern on the incidence of hypertension in the Alas communities in the Working Area of Kutambaru Health Center, Aceh Tenggara district. The research was observational with case control study. The population was all Alas people who got medication and medical facility at Kutambaru Health Center. The samples were 118 patients who visited the health center; 59 of them belonged to the case group and were affected by hypertension and the other 59 of them belonged to the control group and were not affected by hypertension. The data were analyzed by using univariate, bivariate, and multivariate analyses with multiple logistic regression test at the significance level of α=0.05.

The result of the research showed that eating pattern (food frequency, energy intake, protein intake and fat intake) had influence on the incidence of hypertension (p<0.05). The variable of food frequency was the most dominant influence on the incidence of hypertension in Alas communities

It is

(OR = 4.478; 95% CI: 1.492-13440). recommended that health care providers should provide counseling about eating pattern which does not take the risk of being affected by hypertension, and the “Alas community” should consume fruit in their menu since it can decrease blood pressure, and they should reduce the habit of smoking and drinking liquor.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas berkat dan limpahan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM).,Sp.A.,(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr.Drs.Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr.Ir.Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala ketulusannya dalam


(10)

menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis ini selesai.

4. Dra. Jumirah, Apt. M.Kes, selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala ketulusannya dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis ini selesai.

5. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes dan Erna Nasution, S.K.M., M.Kes selaku Tim Penguji yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan perhatian selama penulisan tesis.

6. dr. Cut Ayuanti selaku kepala Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

7. Para Dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara. 8. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada ayahanda Alm Sakiman, dan

Ibunda Ranti, S.Pd serta keluarga juga seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani pendidikan.


(11)

9. Teristimewa buat suami tercinta Heri Siswanto yang telah menjadi motivator penulis dalam menyelesaikan tesis.

10. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis ini.

Akhirnya saya menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, September 2014 Penulis

Eliska 127032214/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Eliska, lahir pada tanggal 04 Desember 1983 di Desa Balimbingan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara, beragama Islam, anak pertama dari pasangan Alm Sakiman dan Ibunda Ranti, S.Pd, bertempat tinggal di Jl. Jamin Ginting No 557 Padang Bulan Medan.

Penulis mulai melaksanakan pendidikan SD INPRES tamat pada tahun 1995, melanjutkan pendidikan SMPN 2 tamat pada tahun 1998 dan melanjutkan pendidikan SMAN 1 tamat tahun 2001, serta melanjutkan pendidikan S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan, tamat tahun 2005. Kemudian pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis mulai bekerja sebagai Enumerator pada survei kesehatan mulai tahun 2005 sampai dengan 2006, tahun 2007 menjadi staf kesehatan di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, dan tahun 2010 sampai sekarang menjadi Dosen Tetap Di STIKes Nurul Hasanah Kabupaten Aceh Tenggara.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Hipertensi ... 10

2.1.1. Penyebab Hipertensi ... 11

2.1.2. Klasifikasi ... 13

2.1.3. Faktor-faktor Resiko Hipertensi ... 15

2.1.4. Tanda dan Gejala Klinis ... 22

2.1.5. Diagnosa Hipertensi ... 23

2.1.6. Penatalaksanaan Hipertensi ... 24

2.2. Status Gizi ... 27

2.2.1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh ... 29

2.3. Pola Konsumsi Pangan ... 30

2.4. Sosial Budaya ... 35

2.4.1. SosioBudaya Menurut Norma ... 36

2.4.2. Sosio Budaya Menurut Undang-Undang ... 38

2.5. Masyarakat Suku Alas ... 39

2.5.1. Adat-Istiadat Suku Bangsa Alas ... 40

2.5.2. Adat-Istiadat dalam Pergaulan ... 43

2.5.3. Makan dan Minum Sehari-hari ... 45

2.5.4. Makan dan Minum pada Kenduri ... 46

2.6. Sosial Budaya dan Pola Makan ... 48


(14)

2.8. Status Gizi dan Kejadian Hipertensi ... 51

2.9. Landasan Teori ... 52

2.10. Kerangka Konsep ... 54

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 56

3.1. Jenis Penelitian ... 56

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 57

3.3. Populasi dan Sampel ... 57

3.3.1. Populasi ... 57

3.3.2. Sampel ... 57

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 59

3.4.1. Data Primer ... 59

3.4.2. Data Sekunder ... 60

3.5. Uji Validitas dan Reabilitas ... 60

3.5.1. Uji Validitas ... 60

3.5.2. Uji Reabilitas ... 60

3.6. Variabel dan Defenisi Operasional ... 61

3.6.1. Defenisi Operasional Variabel Independen ... 62

3.6.2. Defenisi Operasional Variabel Dependen ... 63

3.7. Metode Pengukuran ... 63

3.8. Metode Analisa Data ... 66

3.8.1. Pengolahan Data ... 66

3.8.2. Analisa Data ... 66

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 68

4.1 Gambaran Umum Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara ... 68

4.2 Karakteristik Responden ... 69

4.2.1 Sosial Budaya ... 72

4.2.2 Pola Makan ... 76

4.2.3 Status Gizi ... 79

4.3 Hubungan Pola Makan (Frekuensi Makan, Asunan Energi, Asupan Protein, Asupan Lemak) dengan Kejadian Hipertensi ... 80

4.4. Pengaruh Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi ... 82

BAB 5. PEMBAHASAN ... 85

5.1 Sosial Budaya dan Pola Makan ... 85

5.2 Pola Makan dan Status Gizi ... 91

5.3 Pengaruh Pola Makan terhadap Hipertensi ... 93

5.3.1 Frekuensi Makan ... 93

5.3.2 Asupan Energi ... 95


(15)

5.3.4 Asupan Lemak ... 98

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1 Kesimpulan ... 101

6.2 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII ... 14 2.2. Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah dari International

Society of Hypertension (ISH) For Recently Update WHO

Tahun 2003 ... 14 2.3 Klasifikasi Hipertensi Hasil Consensus Perhimpunan Hipertensi

Indonesia ... 15 2.4 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk Orang Asia

Menurut WHO... 29 3.1 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 65 4.1. Distribusi Kelompok Matching dalam Penelitian (Jenis

Kelamin) di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru

Kabupaten Aceh Tenggara ... 69 4.2. Distribusi Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan dan Status

Perkawinan di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru

Kabupaten Aceh Tenggara ... 71 4.3. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Sosial Budaya

Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru

Kabupaten Aceh Tenggara ... 73 4.4 Distribusi Frekuensi Sosial Budaya Responden di Wilayah Kerja

Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara ... 75 4.5 Distribusi Frekuensi Pola Makan Sehari- hari Responden di

Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten


(17)

4.6 Distribusi Frekuensi Makan Responden di Wilayah Kerja

Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara ... 78 4.7 Distribusi Frekuensi Pola Makan Responden di Wilayah Kerja

Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara ... 78 4.8 Distribusi Frekuensi Status Gizi Responden di Wilayah Kerja

Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara ... 80 4.9 Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Hipertensi ... 82 4.10 Pengaruh Pola Makan (Frekuensi Makan, Asupan Energi,

Asupan Protein Dan Asupan Lemak) terhadap Kejadian


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Model Studi Preferensi Konsumsi Makanan ... 33 2.2. Landasan Teori Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Hipertensi

dan Penyakit yang Diakibatkannya ... 53 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Sosial Budaya dan Pola

Makan terhadap Status Gizi dan Kejadian Hipertensi ... 54 3.1. Desain Case Control Study ... 56


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 107

2. Formulir Metode Recall 24 Jam ... 113

3. Formulir Metode Frekuensi Makanan ... 114

4. Kasus Hipertensi Di Seluruh Puskesmas Kab. Agara Tahun 2013 ... 115

5. Hasil Pengolahan Data ... 116

6. Surat Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat ... 147

7. Surat Balasan Penelitian dari Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara ... 148


(20)

ABSTRAK

Penyakit hipertensi menduduki peringkat ketiga dari 10 penyakit terbesar di Kabupaten Aceh Tenggara. Puskesmas Kutambaru menempati urutan pertama tertinggi kasus hipertensi yaitu 3.010 kasus pada tahun 2013. Kondisi ini diduga berkaitan dengan pola konsumsi makan masyarakat suku Alas yang cenderung memiliki kebiasaan hidup seperti kebiasaan minum kopi, merokok, pola makan berlemak dan tinggi garam sewaktu mengikuti acara adat perkawinan ataupun kematian.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh sosial budaya dan pola makan terhadap kejadian hipertensi pada masyarakat suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara. J

Hasil penelitian menunjukkan Pola makan (frekuensi makan, asupan energi, asupan protein dan asupan lemak) berpengaruh terhadap kejadian hipertensi (p<0.05). Variabel frekuensi makan merupakan variabel yang paling dominan memengaruhi kejadian hipertensi masyarakat suku Alas (OR=4,478; 95% CI:1,492-13,440).

enis penelitian adalah observasional dengan rancangan studi kasus kontrol. Populasi adalah seluruh pasien suku Alas yang berobat dan mendapatkan fasilitas pengobatan di Puskesmas Kutambaru. Sampel sebanyak 118 orang pasien suku Alas yang berobat terdiri dari 59 kasus yaitu penderita hipertensi dan 59 kontrol yaitu bukan penderita hipertensi. Data dianalisis secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan

menggunakan uji statistik regresi logistik berganda pada taraf kemaknaan α = 0,05.

Disarankan petugas kesehatan memberikan penyuluhan tentang pola makan tidak berisiko hipertensi dan masyarakat suku Alas dianjurkan dalam menu makanan disajikan buah-buahan yang dapat menurunkan tekanan darah serta mengurangi kebiasaan merokok dan minum alkohol.


(21)

ABSTRACT

Hypertension ranks the third of ten serious disease in Aceh Tenggara district. Kutambaru Health Center ranks the highest in hypertension with 3.010 cases in 2013. The condition is probably related to food consumption of the “Alas communities” that tends to have the habit of life such as drinking coffee, smoking, eating fat and salty food when they attend traditional wedding ceremony or funerals.

The objective of the research was to find out and to analyze the influence of socio-culture and eating pattern on the incidence of hypertension in the Alas communities in the Working Area of Kutambaru Health Center, Aceh Tenggara district. The research was observational with case control study. The population was all Alas people who got medication and medical facility at Kutambaru Health Center. The samples were 118 patients who visited the health center; 59 of them belonged to the case group and were affected by hypertension and the other 59 of them belonged to the control group and were not affected by hypertension. The data were analyzed by using univariate, bivariate, and multivariate analyses with multiple logistic regression test at the significance level of α=0.05.

The result of the research showed that eating pattern (food frequency, energy intake, protein intake and fat intake) had influence on the incidence of hypertension (p<0.05). The variable of food frequency was the most dominant influence on the incidence of hypertension in Alas communities

It is

(OR = 4.478; 95% CI: 1.492-13440). recommended that health care providers should provide counseling about eating pattern which does not take the risk of being affected by hypertension, and the “Alas community” should consume fruit in their menu since it can decrease blood pressure, and they should reduce the habit of smoking and drinking liquor.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peringatan Hari Kesehatan Sedunia (World Health Day/WHD) yang jatuh pada 7 April tahun 2013 mengingatkan seluruh Negara di dunia untuk mewaspadai ancaman hipertensi atau tekanan darah tinggi. Hipertensi kini merupakan masalah kesehatan dunia yang mencemaskan dan menyebabkan beban biaya kesehatan semakin tinggi.

Lebih dari seperempat jumlah populasi dunia saat ini menderita hipertensi.Di samping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat keganasan penyakit yang diakibatkan sangat tinggi seperti penyakit jantung, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain, juga menimbulkan kecacatan permanen dan kematian mendadak (WHO,2001).

Pada Tahun 2011, WHO mencatat satu miliar orang di dunia menderita hipertensi. Dua pertiga di antaranya berada di Negara berkembang yang berpenghasilan rendah dan sedang. Indonesia berada dalam deretan 10 negara dengan prevalensi hipertensi tertinggi di dunia, bersama Myanmar, India, Srilangka, Bhutan, Thailand, Nepal, Maldives. Dalam statistik kesehatan dunia tahun 2012, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa hipertensi adalah suatu kondisi berisiko tinggi yang menyebabkan sekitar 51% dari kematian akibat stroke, dan 45% dari jantung koroner.


(23)

Hasil Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 di Indonesia prevalensi hipertensi 32,2%, sedangkan menurut kelompok umur, hipertensi umur > 18 tahun adalah 29,8%. Sebanyak 31,7 persen atau sekitar satu dari tiga orang Indonesia mengalami hipertensi namun mayoritas (76,1%) tidak mengetahui telah mengalami hipertensi sehingga tidak mendapatkan pengobatan. Selain itu hasil Riskesdas juga menunjukkan hipertensi menduduki peringkat ketiga penyebab kematian utama untuk semua kelompok umur di Indonesia dengan Case Fatality Rate (CFR) 6,8%.

Prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi yaitu 6–15% dari persentase penyakit pada usia lanjut. Sebagai perbandingan di Amerika Serikat 15–20%, di Jepang 12–20%, di Polenesia Island 15,4–20%, di India 15%, di Argentina 15%, di Ghana 15% (Darmojo, 1994). Hasil Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8%, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), dan Jawa Barat (29,4%), sedangkan untuk Aceh sendiri sebesar 21,5%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013,prevalensi hipertensi tersebut telah mengalami penurunan sebesar 5,9 % dari 31,7 % tahun 2007 menjadi 25,8% tahun 2013.

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan tersebut (WHO,2001).


(24)

Hipertensi seringkali muncul tanpa gejala, sehingga sering disebut sebagai “The Silent Killer” atau pembunuh diam-diam. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefenisikan sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer. Hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Sisanya adalah hipertensi sekunder, yaitu tekanan darah tinggi yang penyebabnya dapat diklasifikasikan, diantaranya adalah kelainan organik seperti penyakit ginjal, kelainan pada korteks adrenal, pemakaian obat-obatan sejenis kortikosteroid, dan lain-lain (Anggraini, 2009).

Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan penanganan secara baik, mengingat prevalensinya

Peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH) akan menambah jumlah lanjut usia (Lansia) yang akan berdampak pada pergeseran pola penyakit di masyarakat dari penyakit infeksi ke penyakit degenerasi. Prevalensi penyakit menular mengalami penurunan, sedangkan penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi cenderung mengalami peningkatan (Depkes, 2003).

sejalan dengan bertambahnya umur. WHO (2001) menyatakan, kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda, sangat membebani perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan waktu yang panjang, bahkan seumur hidup

Peningkatan jumlah penyakit degeneratif terkait dengan perubahan pola hidup yang dijalani seseorang misalnya pola makan yang cenderung tidak sehat dengan kurangnya makan sayuran dan makanan berserat, kurang berolahraga, dan tingkat stress yang tinggi (Kepmenkes, 2010).


(25)

Pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial budaya dimana mereka hidup (Baliwati, F.Y,. dkk, 2004).

Sosial budaya adalah seperangkat kaidah atau aturan yang berkaitan dengan interkasi antar manusia dan antara manusia dan lingkungannya (Wirjatmadi dan Adriani, 2012). Aspek sosio budaya pangan adalah fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut (Baliwati, F.Y,. dkk, 2004).

Faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan dalam masyarakat, rumah tangga dan individu menurut Koentjaraningrat meliputi apa yang dipikirkan, diketahui dan dirasakan menjadi persepsi orang tentang makanan dan apa yang dilakukan, dipraktekkan orang tentang makanan. Pola konsumsi makan yang dipengaruhi kebiasaan makan memiliki hubungan yang erat dengan status gizi seseorang. Berdasarkan survei pendahuluan di Puskesmas Kutambaru dari 10 penderita hipertensi diperoleh penderita yang berat badan lebih (IMT: 25,0-29,9) sebanyak 6 orang, Normal (IMT: 18,5-24,9) sebanyak 3 orang, Obes kelas I (IMT: 30,0-34,9) sebanyak 1 orang.

Bertambahnya usia individu sangat beresiko terjadinya perubahan elastisitas pembuluh darah sebagai akibat adanya arteriosklerosis sehingga tekanan darah meningkat. Laki-laki mempunyai resiko lebih tinggi mengalami gangguan sistem


(26)

kardiovaskuler dibandingkan dengan perempuan. Hipertensi bisa dipicu oleh konsumsi makanan yang mengandung lemak. Karena makanan tersebut banyak disukai orang, tak heran jika hipertensi memiliki peluang berjangkit pada semua orang. Minum kopi, alkohol dan merokok dapat merangsang konstriksi pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah.

Banyak faktor resiko yang di duga berperan mempengaruhi kejadian hipertensi esensial, yaitu faktor genetik, faktor sosio budaya, perbedaan suku, dan faktor lain seperti merokok, konsumsi kopi, ketegangan, lingkungan dan faktor geografik. Apabila terjadi gangguan proses homeostatis akibat pengaruh salah satu faktor risiko sangat dominan, maka timbullah hipertensi esensial (Wiguno, 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi dibagi dalam dua kelompok besar yaitu faktor yang melekat atau tidak dapat diubah sepeti jenis kelamin, umur, genetik, dan faktor yang dapat diubah seperti pola makan, kebiasaan olah raga, dan lain-lain. Untuk terjadinya hipertensi perlu peran faktor risiko tersebut secara bersama-sama (common underlying risk factor), dengan kata lain satu faktor risiko saja belum cukup menyebabkan timbulnya hipertensi (Depkes, 2003).

Terdapat hubungan yang bermakana antara ras, kebiasaan merokok, Body Mass Index (BMI), makanan tinggi garam dan tinggi lemak, minuman beralkohol, dengan hipertensi. Untuk ras, kulit hitam lebih banyak menderita hipertensi dibanding kulit putih. Seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok. Semakin tinggi BMI dan kolestrol total, semakin tinggi prevalensi hipertensi. Jika asupan garam antara 5-15 gram


(27)

perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Tekanan darah meninggi dengan konsumsi beralkohol >3x/hari.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusugiharjo (2003) dalam Yenni 2011 pada 250 orang yang berusia 55 tahun ke atas didapatkan 40% responden yang menderita hipertensi berada pada status gizi gemuk (obesitas), 33% responden dengan status perokok, 32,3% responden minum kopi setiap hari, 43,8% responden dengan kadar garam tinggi tiap hari.Khamim (2011), dalam penelitiannya mengenai studi prevalensi dan faktor resiko hipertensi primer pada nelayan di pelabuhan Jepara membuktikan bahwa ada hubungan kebiasaan merokok dan tingkat penghasilan dengan kejadian hipertensi primer.

Bila ditinjau perbandingan antara perempuan dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk perempuan. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta didapatkan 14,6% pria dan 13,7% perempuan. Sedangkan menurut hasil survei prevalensi dan faktor risiko penyakit tidak menular oleh Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 menunjukkan bahwa pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita, yaitu sebesar 22,9% dan perempuan 19,8%.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara pada laporan triwulan Puskesmas Tahun 2013, penyakit hipertensi menduduki peringkat ke tiga dari 10 penyakit terbesar di Kabupaten tersebut setelah ISPA dan Tukak Lambung dengan jumlah 1793 penderita.Laporan tersebut juga


(28)

menunjukkan dari 18 Puskesmas yang ada di Kabupaten Aceh Tenggara ternyata Puskesmas Kutambaru menempati urutan pertama dalam hal hipertensi (dapat dilihat pada lampiran 4).

Hal ini terkait dengan pola konsumsi makan masyarakat suku Alas cenderung memiliki kebiasaan hidup seperti kebiasaan minum kopi, merokok, pola makan berlemak dan tinggi garam. Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), untuk proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan buah sebesar 93,5%, hal ini tidak tampak perubahan dibanding tahun 2007. Perilaku konsumsi makanan beresiko pada penduduk umur ≥ 10 tahun paling ba nyak mengkonsumsi bumbu penyedap sebesar 77,3%, diikuti makanan dan minuman manis sebesar 53,1%, dan makanan berlemak sebesar 40,7%.Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan pola makan masyarakat suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Suku Alas yang mengatakan bahwa setiap ada acara adat baik perkawinan ataupun kematian mereka selalu menyajikan daging lembu atau kambing, gulai ikan mas, sayur bersantan, makan makanan manis, kopi. Perilaku konsumsi makan seperti ini tentunya sangat beresiko untuk timbulnya penyakit degeneratif seperti hipertensi. Adapun frekuensi acara adat perbulan ≥ 12 kali.

Suku Alas merupakan salah satu suku terbesar sekitar 55 % dari seluruh penduduk yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, dan sekitar 17% Batak Toba, dan suku Gayo (14%). Sisanya terdiri dari suku bangsa batak karo, batak mandailing, Batak pak-pak, Minangkabau, Aceh, Singkil, Jawa, dan Nias. Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara pada tahun 2013 sebanyak 221.686 jiwa. Kabupaten Aceh


(29)

Tenggara membentang datar di sela-sela Bukit Barisan, dengan karakter alam pegunungan yang subur dan berhawa sejuk. Salah satu potensi ekonomi di sini adalah kopi, sehingga budaya minum kopi di daerah ini pastilah tinggi. Masyarakat suku alas masih menjalankan adat-istiadat yang kental dari nenek moyang mereka seperti upacara adat perkawinan, kematian, khitanan dan turun mandi. Upacara-upacara ini tidak terlepas dari budaya makan masyarakat tersebut, yang lebih menyukai makanan yang tinggi garam dan berlemak.Ini tercermin dari makan-makanan yang disajikan pada acara-acara adat tersebut.

Menurut Smith (1998), bahwa budaya suatu keluarga dan masyarakat mempunyai pengaruh kuat terhadap apa, kapan, bagaimana penduduk mendapat makanan. Pola makan yang mengandung lemak, protein, dan garam tinggi tapi rendah serat pangan membawa konsekuensi terhadap berkembangnya penyakit degeneratif seperti hipertensi.

Berkaitan dengan latar belakang di atas, maka peneliti tertarikmelakukan penelitian tentang “Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara”.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah” Apakah Ada Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2014?”


(30)

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh sosial budaya dan pola makan terhadap kejadian hipertensi pada masyarakat suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara.

1.4. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh frekuensi makan terhadap hipertensi pada masyarakat suku Alas. 2. Ada pengaruh asupan energi terhadap hipertensi pada masyarakat suku Alas. 3. Ada pengaruh asupan protein terhadap hipertensi pada masyarakat suku Alas. 4. Ada pengaruh asupan lemak terhadap hipertensi pada masyarakat suku Alas.

1.5. Manfaat Penelitian

Diharapkan Penelitian ini dapat memberikan informasi atau masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara dan Puskesmas PerawatanKutambaru dalam rangka masukan dalam penyusunan program penyuluhan maupun dalam kerangka kebijakan dalam penanggulangan pencegahan terjadinya hipertensi demi peningkatan derajat kesehatan masyarakat, dan diharapkan dapat dijadikan referensi dalam penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penyakit hipertensi.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

Hipertensi yang diderita seseorang erat kaitannya dengan tekanan sistolik dan diastolik atau keduanya secara terus-menerus.Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi, sedangkan tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri pada saat jantung relaksasi diantara dua denyut jantung.Dari hasil pengukuran tekanan sistolik memiliki nilai yang lebih besar dari tekanan diastolik (Corwin, 2005).

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan tersebut (WHO,2001)

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dapat diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah normal tinggi sampai hipertensi maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer atau esensial (hampir 90% dari semua kasus) dan hipertensi sekunder, terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali, sering kali dapat diperbaiki (Joint national Committee On Prevention, Detection, Evaluation and Treatment Of High Blood Plessure VI/JNC VI, 2001).


(32)

Hipertensi dapat diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan darahnya di atas 140/90 mmHg.Pada manula hipertensi didefinisikan sebagai sistoliknya 160 mmHg dan tekanan diastoliknya 90 mmHg (Brunner dan Suddarth, 2002).

Hipertensi adalah suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Faqih, 2006).

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau mengkonsumsi obat anti hipertensi (Guyton, 2007).

Dari definisi-definisi di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lebih dari 140/90 mmHg, dimana sudah dilakukan pengukuran tekanan darah minimal dua kali untuk memastikan keadaan tersebut dan hipertensi dapat menimbulkan resiko terhadap penyakit stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal. 2.1.1. Penyebab Hipertensi

Penelitian menyebutkan, hipertensi umumnya terjadi ketika usia di atas 40-an tahun. Studi y40-ang dilakuk40-an oleh lembaga kesehat40-an di Inggris menyatak40-an bahwa secara umum hipertensi dialami oleh pria dan wanita yang berusia 48,5 tahun. Walaupun ada orang muda yang menderita hipertensi, persentasenya relatif kecil. Sebagian hipertensi terjadi karena faktor penyebab yang tidak jelas (Lingga,2012).


(33)

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi sekunder (Setiawati dan Bustami, 2005):

a. Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik, adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab hipertensi esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vascular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan, stress psikis, dan obesitas. Menurut Lingga (2012), hipertensi tipe pertama ini diduga terjadi karena kombinasi beberapa macam penyebab, meliputi: kadar nitrogen monoksida yang rendah, resistansi insulin, obesitas, defesiensi kalium (hipokalemia), sensitivitas terhadap sodium, konsumsi alkohol, defesiensi vitamin D, pertambahan usia, riwayat keluarga, peningkatan rennin, saraf simpatik terlalu aktif, dan bobot badan saat lahir di bawah normal.

b. Hipertensi sekunder, prevalensinya hanya sekitar 5-8% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain. Menurut Lingga (2012), berikut ini sejumlah faktor yang menyebabkan hipertensi sekunder yaitu:


(34)

berbagai macam penyakit ginjal (termasuk tumor pada ginjal), hipertensi gentantional (hipertensi yang terjadi pada masa kehamilan), gangguan endokrin, gangguan tidur, mengonsumsi obat anti nyeri nonsteroid, mengonsumsi pil KB, mengonsumsi obat tertentu (pseudoephedrine, kortikosteroid, siklopropen, eritoproten, dan beberapa macam obat-oabatan bebas), melakukan terapi sulih hormon dan steroid, mengonsumsi kokain dan nikotin, mengonsumsi herba akar manis untuk waktu yang cukup lama, memiliki kebiasaan mengonsumsi kayu manis.

2.1.2. Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation, And The Treatment Of High Blood Pressure) (Tabel 2.1), yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat. Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya dipertimbangkan normal ternyata dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi kardiovaskuler. Sehingga mendorong pembuatan klasifikasi baru pada JNC 7, yaitu terdapat pra hipertensi dimana tekanan darah sistol pada kisaran 120-139 mmHg, dan tekanan darah diastol pada kisaran 80-89 mmHg. Hipertensi level 2 dan 3 disatukan menjadi level 2. Tujuan dari klasifikasi JNC 7 adalah untuk mengidentifikasi individu-individu yang dengan penanganan awal berupa perubahan gaya hidup, dapat membantu menurunkan tekanan darahnya ke level hipertensi yang sesuai dengan usia.


(35)

Tabel 2.1Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII Kalsifikasi Tekanan

Darah

Tekanan Darah Sistol (mmHg)

Tekanan Darah Diastole (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi stadium 2 >160 atau>100

Sumber: Dirjen PP &PL, 2006

Menurut Linda Brookes, The update WHO/ISH hypertension guideline, yang merupakan devisi dari National Institute of Health di AS secara global mengeluarkan laporan yang disebut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Laporan terakhir diterbitkan pada bulan Mei 2003, memberikan resensi pembaharuan kepada WHO/ISH tentang kriteria hipertensi yang dibagi dalam empat kategori yaitu optimal, normal, dan normal tinggi/prehipertensi, kemudian hipertensi derajat I, hipertensi derajat II, dan hipertensi derajat III (Sugiharto, 2007).

Tabel. 2.2.Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah dari International Society of Hypertension (ISH) For Recently Update WHO Tahun 2003

Kategori Sistolik (mmHg Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 dan < 80

Normal < 130 dan <85

Normal Tinggi/Prehipertensi 130 -139 atau 85 – 89

Hipertensi Derajat I 140 - 159 atau 90 – 99

Hipertensi Derajat II 160 – 179 atau 100 -109

Hipertensi Derajat III ≥ 180 atau ≥ 110

Sumber: Linda Brookes, 2004

Perhimpunan Hipertensi Indonesia pada Januari 2007 meluncurkan pedoman penanganan hipertensi di Indonesia, yang diambil dari pedoman Negara maju dan


(36)

Negara tetangga.Dan klasifikasi hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diatolik dengan merujuk hasil JNC VII dan WHO (tabel 2.3).

Tabel 2.3.Klasifikasi Hipertensi Hasil Consensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Sistol (mmHg)

Tekanan Darah Diastole (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stadium 1 140-139 atau 90-99

Hipertensi stadium 2 >160 atau >100

Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 <90 2.1.3. Faktor-faktor Resiko Hipertensi

Resiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor resiko yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah (Dirjen PP & PL, 2006). Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stress, obesitas dan nutrisi.

2.1.3.1. Faktor yang Tidak dapat Diubah (Dimodifikasi) a. Faktor Genetik

Hipertensi esensial biasanya terkait dengan gen dan faktor genetik, dimana banyak gen turut berperan pada perkembangan gangguan hipertensi. Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga sebagai pembawa hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk terkena hipertensi.Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan


(37)

hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Budistio, 2001).

b. Umur

Insiden hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur. Pasien yang berumur di atas 60 tahun, 50-60% mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya.Hipertensi merupakan penyakit multifaktor yang munculnya oleh karena interaksi berbagai faktor.Dengan bertambahnya umur, maka tekanan darah juga meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang pada penambahan umur sampai dekade ketujuh sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sampai dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung menurun. Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada usia lanjut terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya sudah berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun (Anggraini, 2009).


(38)

c. Jenis Kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadarHigh Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premonopause. Pada premonopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan.

Ahli lain mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik (Nurkhailida, 2003).

d. Etnis

Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari pada yang berkulit putih.Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopressin lebih besar. Sebuah studi epidemiologi mengungkapkan fakta bahwa ras keturunan Afrika-Amerika memiliki resiko hipertensi sebesar 31,6%, keturunan hispanik sebesar 19%, Asia sebesar 16%, dan kulit putih sebesar 20,5% (Lingga, 2012).


(39)

2.1.3.2. Faktor yang Dapat Diubah (Dimodifikasi) a. Psikososial dan Stress

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka. Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antar individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Damayanti, 2003). Peningkatan tekanan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi (Pinzon, 1999).

b. Kegemukan (obesitas)

Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (IMT), yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter (Kaplan dan Stamler, 1991). Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh


(40)

beberapa studi.Berat badan dan IMT berkolerasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi, akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang badannya normal.

c. Pola Asupan Garam dalam Diet

Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam dengan hipertensi.Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi.Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem perdarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, disamping ada faktor lain yang berpengaruh.

Ada beberapa senyawa garam yang ada di dalam tubuh kita, garam yang berbahaya adalah garam dapur (NaCl) dan diduga menjadi pemicu kenaikan tekanan darah adalah sodium (Na).Kepekaan individu terhadap garam berbeda-beda.DNA sebagai cetak biru manusia menentukan kepekaan seseorang terhadap sodium. Gen tertentu peka terhadap sodium, sedangkan gen yang lain bersifat netral. Uji genomik menemukan kepekaan garam terkait denga gen yang terbawa oleh ras atau suku (Lingga, 2012).

Badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi resiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang


(41)

direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan maningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi. Karena itu disarankan untuk mengurangi konsumsi natrium/sodium. Sumber natrium/sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyebab masakan monosodium glutamate (MSG), dan sodium karbonat. Konsumsi garam dapur (mengandung iodium) yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram per hari, setara dengan satu sendok teh.Dalam kenyataannya, konsumsi berlebih karena budaya masak-memasak masyarakat kita yang umumnya boros menggunakan garam dan MSG (Anggraini, 2009).

Menurut Lingga (2012), wanita lebih peka terhadap garam dibandingkan pria, terutama ketika mereka memasuki masa menopause. Konsumsi garam berlebih pada wanita akan meningkatkan risiko terhadap penyakit kardiovaskular. Demikian riset yang diliris oleh Framingham Heart Study di Amerika, wanita penderita hipertensi sepatutnya mengurangi asupan garam harian lebih sedikit dibandingkan dengan pria, terutama menjelang dan post-menopause.

d. Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel


(42)

pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses arterosklerosis dan tekanan darah tinggi (Nurkhailida, 2003). Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya arterosklerosis pada seluruh pembuluh darah.Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.

Selain dari lamanya, resiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari.seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok (Price dkk, 1995).

e. Olah Raga

Olah raga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan.Pada orang tertentu dengan melakukan olah raga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan turun.

f. KonsumsiAlkohol Berlebih

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol dan di antaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya.


(43)

Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi.Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok usia ini.

g. Konsumsi Lemak Jenuh

Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan resiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah (Sheps, 2005). Lemak jenuh menyebabkan level kolesterol total dan LDL (Low Density Lipoprotein) meningkat serta menurunlan level HDL (High Density Lipoprotein). Hal ini menyebabkan platelet saling lengket sehingga darah menggumpal, sehingga mempercepat laju aterosklerosis dan akhirnya mendorong peningkatan darah permanen (Lingga, 2012).

2.1.4. Tanda dan Gejala Klinis

Menurut Sylvia Anderson (2005) gejala hipertensi sebagai berikut: a) Sakit kepala bagian belakang dan kaku kuduk

b) Sulit tidur dan gelisah atau cemas dan kepala pusing c) Dada berdebar-debar


(44)

Gejala hipertensi yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing (Mansjoer, 2001).

2.1.5. Diagnosa Hipertensi

Hipertensi dapat ditentukan dengan melihat tinggi rendahnya tekanan darah yang diukur selama beberapa kali dalam periode tertentu. Pengukuran tekanan darah merupakan suatu keharusan untuk menentukan hipertensi, melalui pengukuran tekanan darah akan diketahui tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik (Lingga, 2012).

Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah ketika jantung berdetak, sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan darah ketika jantung beristirahat.Tekanan darah sistolik diukur dari derasnya darah akibat mengempisnya bilik jantung, sedangkan tekanan diastolik dengan melihat seberapa besar tekanan terhadap dinding pembuluh darah saat jantung mengembang dan mengempis.

Tekanan darah diukur setelah seseorang duduk atau berbaring selama 5 menit.Angka 140/90 mmHg atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali pengukuran. Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi.

Tekanan darah diukur dengan alat berupa sfigmomamonometer, alat yang mengandalkan air raksa untuk menentukan tekanan darah di arteri. Selain itu, tekanan


(45)

darah dapat diukur dengan alat digital, alat yang lebih mudah digunakan untuk perorangan. Beberapa studi mengatakan bahwa alat digital memiliki akurasi yang tinggi dan dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah mandiri tanpa bantuan dokter atau orang lain (Lingga, 2012).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan terhadap organ utama, terutama pembuluh darah, jantung, otak, ginjal, dan retina. Untuk pemeriksaan retina, digunakan oftalmoskop. Dengan menentukan derajat kerusakan retina (retinopati), maka bisa ditentukan beratnya hipertensi. Dengan anggapan bahwa perubahan yang terjadi di dalam retina mirip dengan perubahan yang terjadi di dalam pembuluh darah lainnya di dalam tubuh, seperti ginjal.

Perubahan di dalam jantung, terutama pembesaran jantung, bisa ditemukan pada elektrokardiografi (EKG) dan foto rontgen dada. Pada stadium awal, perubahan tersebut bisa ditemukan melalui pemeriksaan ekokardiografi (pemeriksaan dengan gelombang ultrasonik untuk menggambarkan keadaan jantung). Bunyi jantung yang abnormal (disebut bunyi jantung keempat), bisa didengar melalui stetoskop dan merupakan perubahan jantung paling awal yang terjadi akibat tekanan darah tinggi. 2.1.6. Penatalaksanaan Hipertensi

Penatalaksanaan hipertensi terdiri dari penatalaksanaan nonfarmakologis dan penatalaksanaan farmakologis.

a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Pendekatan nonfarmakologis merupakan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi dengan tujuan sebagai penanganan awal sebelum penambahan obat


(46)

anti hipertensi, juga termasuk hal yang perlu diperhatikan seseorang yang sedang dalam terapi obat. Menurut beberapa ahli, pengobatan nonfarmakologis sama pentingnya dengan pengobatan farmakologis, terutama pada pengobatan hipertensi derajat I. Pada hipertensi derajat I, pengobatan secara nonfarmakologis kadang-kadang dapat mengendalikan tekanan darah sehingga pengobatan farmakologistidak diperlukan, pengobatan nonfarmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik. pengobatan nonfarmakologis yang dimaksud antara lain:

a.1. Menurunkan faktor resiko yang menyebabkan hipertensi

Menurut Corwin (2001) berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. a.2. Olahraga dan aktifitas fisik

Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga, dan aktivitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah.Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah.

a.3. Perubahan pola makan

a.3.1. Mengurangi asupan garam pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat badan dapat digunakan


(47)

sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam.

a.3.2. Perbanyak makanan segar, kurangi makan yang diproses. a.3.3. Pilihlah produk dengan natrium rendah.

a.3.4. Diet rendah lemak jenuh

Lemak dalam diet meningkatkan resiko terjadinya ateroskelorosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian yang bersumber dari nabati. Sejumlah lemak memang berpotensi memicu kenaikan tekanan darah, tetapi tidak semua lemak bersifat demikian. Hanya lemak tak sehat saja yang menyebabkan tekanan darah meningkat, sedangkan lemak sehat justru membuat tekanan darah stabil atau bahkan membantu menurunkan tekanan darah tinggi. Banyak lemak sehat yang aman untuk anda konsumsi seperti daging unggas liar (ayam kampung, itik liar, kalkun), ikan laut, kuning telur, yogurt, kacang-kacangan, minyak kelapa, minyak sawit, minyak zaitun, santan, mentega, dan keju. Khusus untuk lemak olahan seperti keju dan mentega sebaiknya dibatasi porsinya karena alasan tinggi kalori dan tinggi garam (Lingga, 2012).


(48)

b. Penatalaksanaan Farmakologis

Menurut Arief Mansjoer (2001) penatalaksanaan dengan obat anti hipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai umur dan kebutuhan. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam dan lebih disukai dalam dosis tunggal. Sekarang terdapat obat yang berisi kombinasi dosis rendah 2 obat dari golongan yang berbeda.kombinasi ini terbukti memberikan efektifitas tambahan dan mengurangi efek samping.

2.2. Status Gizi

Menurut Robinson dan Weighley dalam Wirjatmadi dan Adriani (2012), mengatakan status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi, yaitu:

a. Faktor langsung: Asupan berbagai makanan dan Penyakit. b. Faktor tidak langsung:

b.1. Ekonomi keluarga, penghasilan keluarga merupakan faktor yang memengaruhi kedua faktor yang berperan langsung terhadap status gizi. b.2. Produksi pangan, peranan pertanian dianggap penting karena

kemampuannya menghasilkan produk pangan.

b.3. Budaya, masih ada kepercayaan untuk memantang makanan tertentu yang dipandang dari segi gizi sebenarnya mengandung zat gizi yang baik.


(49)

b.4. Kebersihan lingkungan, kebersihan lingkungan yang jelek akan memudahkan anak menderita penyakit tertentu seperti ISPA, infeksi saluran pencernaan.

b.5. Fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting untuk menyokong status kesehatan dan gizi anak.

Berikut ini merupakan beberapa faktor yang menyebabkan obesitas, yaitu: a. Umur

Prevalensi obesitas meningkat seiring dengan bertambahnya umur.Setidaknya hingga umur 50-60 tahun pada laki-laki dan perempuan. Meskipun dapat terjadi pada semua umur, obesitas sering dianggap sebagai kelainan yang dimulai pada umur pertengahan (Misnadiarly, 2007).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga ikut berperan dalam timbulnya obesitas.Perempuan pada umumnya memiliki prevalensi obesitas yang lebih tinggi dibanding laki-laki, terlebih pada usia≥ 50 tahun. Obesitas lebih umum dijumpai pada perempuan terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause.

c. Genetik

Bila kedua orangtua obesitas dengan persentase sebesar 80% maka anaknya mempunyai peluang besar untuk menjadi obesitas; bila salah satu orangtua obesitas, maka kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orangtua tidak obesitas, prevalensi obesitas menjadi 14% (Misnadiarly, 2007).


(50)

d. Lingkungan

Faktor lingkungan seperti sosial dan ekonomi yang meliputi pengetahuan, sikap, perilaku, dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi, dapat berpengaruh terhadap obesitas (Rahmawati, 2002).

2.2.1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

Supariasa, dkk, 2002, mengatakan masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja.

Menurut FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai BMI.Di Indonesia istilah BMI diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT).IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khusunya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.Disamping itu, IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali.

Berikut ini merupakan klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk orang Asia menurut WHO:


(51)

Tabel 2.4. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk Orang Asia Menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m2) Resiko Penyakit

Kurang < 18,5 Rendah (tetapi risiko problem klinik lain meningkat)

Normal 18,5 – 24,9 Rata-rata

Lebih

Berat Badan Lebih Obes Kelas I Obes Kelas II Obes Kelas III

≥ 25

25,0 -29,9 30,0 – 34,9 35,0 – 39,9

≥ 40

Meningkat Sedang Berat

Sangat Berat Sumber: James et al, 2001

2.3. Pola Konsumsi Pangan

Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman secara instansi manusia dengan lingkungan yang berwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Perilaku makan adalah cara seseorang berfikir, berpengetahuan, dan berpandangan tentang makanan. Apa yang ada dalam perasaan dan pandangan itu dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Jika tindakan itu terus menerus berulang maka tindakan tersebut akan menjadi kebiasaan makan (Khumaidi, 1994).

Baliwati.F.Y, dkk (2004) mengatakan pola makan atau pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga serta faktor sosio budaya dan religi.

Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga.Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang


(52)

untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Bila dilihat dari nilai elastisitasnya maka pangan dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu pangan inferior (ikan asin, singkong, dll), pangan normal (pangan pokok), pangan superior (daging, ayam, susu).

Selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga pangan dan harga barang non pangan.Perubahan harga dapat berpengaruh terhadap besarnya permintaan pangan.Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang.Keadaan ini mengakibatkan konsumsi pangan berkurang.

Secara umum pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial budaya dimana mereka hidup.

Wirjatmadi dan Adriani (2012), mengatakan pola makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu, seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Pola makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan dengan kebiasaan makan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan diet atau pola makan sehat tersebut tidak terlepas dari masukan gizi yang merupakan proses organisme, menggunakan makanan yang dikonsumsi melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak


(53)

digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ-organ, serta menghasilkan energi.

Kebiasaan makan sangat dipengaruhi gaya hidup. Faktor-faktor yang merupakan input bagi terbentuknya gaya hidup keluarga adalah penghasilan, pendidikan, lingkungan hidup kota atau desa, susunan keluarga, pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama, pendapat tentang kesehatan, pendidikan gizi, produksi pangan dan distribusi serta sosial politik (Almatsier, 2002).

Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan siap saji (fast food). Hal ini mereka lakukan karena tingginya kompetisi hidup yang membutuhkan kerja keras.Padahal dibalik pola makan tersebut, misalnya hasil olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi. Di Negara-negara industri maju, konsumsi garam relatif tinggi (kira-kira 10-12 g sehari atau setara dengan 2-2,5 sendok teh sehari). Padahal kebutuhan tubuh seseorang hanya sekitar 5-7,5 g sehari bergantung pada usia. National Academy of Science (NAS) memperkirakan bahwa jumlah garam dapur yang aman dan layak konsumsi setiap hari ialah 2,75-3,25 g per orang (Sudarma. M, 2008).

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi makanan, yaitu: karakteristik individu, karakteristik makanan, dan karakteristik lingkungan. Suatu model atau kerangka pemikiran diperlukan untuk menelaah konsumsi makanan kaitannya dengan berbagai karakteristik tersebut, serta hubungan antar karakteristik itu sendiri (Sanjur, 1982).


(54)

Gambar 2.1. Model Studi Preferensi Konsumsi Makanan

Apakah suatu makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tergantung tidak hanya pada pengaruh sosial dan budaya tetapi juga sifat fisiknya.Reaksi indera rasa terhadap makanan sangat berbeda dari orang ke orang (Suhardjo, 2006).

Flavor, suatu faktor penting dalam pemilihan pangan, antara lain meliputi bau, tekstur dan suhu. Penampilan yang meliputi warna dan bentuk juga mempengaruhi sikap terhadap pangan.Bentuk dan tekstur makanan untuk anak-anak

Konsumsi Makanan Preferensi Makanan Karakteristik Individu Karakteristik Makanan Karakteristik Lingkungan

a. Umur b. Jenis

kelamin c. Pendidikan d. Pendapatan e. Pengetahuan

gizi

f. Keterampila n memasak g. kesehatan

a. Rasa b. Rupa c. Tekstur d. Harga e. Tipe

makanan f. Bentuk g. Bumbu h. Kombinasi

makanan

a. Musim b. Pekerjaan c. Mobilitas d. Perpindahan

penduduk e. Jumlah

rumah tangga f. Tingkatan

sosial


(55)

muda dan para cacat perlu mendapat perhatian khusus.Makanan yang disiapkan untuk orang dewasa perlu dirubah sebelum disajikan kepada anak-anak yang sangat muda, agar mereka memperoleh kesan yang menyenangkan pada waktu mengunyah dan memakannya.

Tingkat pendapatan juga menetukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan padi-padian akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan meningkat jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lain.

Menurut (Suhardjo, 1985), Tingkat pengetahuan individu akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam pendidikan formal dan informal.Tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam pengalokasian pendapatan untuk kebutuhan pangan. Orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih untuk mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sesuai dengan pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan gizinya tetap terpenuhi.

Radio, televisi, pamplet, iklan, dan bentuk media massa lain yang beberapa diantaranya kini telah mencapai daerah desa yang terpencil, efektif dalam merubah


(56)

kebiasaan makan. Beberapa diantara perubahan ini berpengaruh positif terhadap status gizi, dan sebaliknya.

2.4. Sosial Budaya

Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Namun jika dilihat dari asal katanya, sosial berasal dari kata “socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya, budi merupakan unsur rohani, sedangkan daya adalah unsur jasmani manusia. Dengan demikian budaya merupakan hasil budi dan daya dari manusia (Winarno, 2013).

Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik pula. Etika berbudaya mengandung tuntutan/keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia mengandung nilai-nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima sebagian besar orang.Budaya yang memiliki nilai etik adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan, bahkan mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri.


(57)

Menurut Tumanggor, dkk (2010) sosio budaya adalah konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.Adapun faktor-faktor yang memengaruhi sosial budaya adalah pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat.

2.4.1. SosioBudaya Menurut Norma

Dalam kehidupan sehari-hari manusia dalam berinteraksi dipandu oleh nilai-nilai dan dibatasi oleh norma-norma dalam kehidupan sosial. Norma dan nilai-nilai pada awalnya lahir tidak sengaja, karena kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan harus berinterkasi dengan yang lain menurut adanya suatu pedoman (Wirjatmadi dan Adriani, 2012).

Norma sosial (sosial budaya) adalah seperangkat kaidah atau aturan yang berkaitan dengan interkasi antar manusia dan antara manusia dan lingkungannya. Menurut kekuatan yang mengikatnya norma dibedakan menjadi empat, yaitu:

1. Cara, cara lebih tampak menonjol dalam hubungan antar individu dalam masyarakat.

2. Kebiasaan, perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama dan merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.

3. Tata kelakuan yaitu kebiasaan yang diterima sebagai norma pengatur, atau pengawas secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat.


(58)

4. Adat istiadat yaitu tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.

Kebutuhan untuk makan bukanlah satu-satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi di samping itu ada kebutuhan fisiologis dan psikologis yang ikut mempengaruhi. Setiap kelompok mempunyai suatu pola tersendiri dalam memperoleh, menggunakan dan menilai makanan yang akan merupakan ciri kebudayaan dari kelompok masing-masing (Khumaidi, 1994).

Pada beberapa masyarakat, makanan memegang peranan penting dalam peristiwa-peristiwa sosial atau keagamaan dalam kehidupan manusia.Makan tidak hanya memuaskan rasa lapar tetapi juga memberikan rasa senang dan memberikan suatu ikatan tertentu antara anggota keluarga atau kelompok dalam menikmati makanan.

a) Status dan Susunan Makanan

Distribusi makanan seringkali dihubungkan dengan status yang terjalin antara anggota keluarga daripada kebutuhan akan gizinya.

1. Anggota masyarakat pria yang lebih tua (senior) mendapatkan jumlah dan mutu susunan makanan yang lebih baik daripada anak-anak kecil dan wanita-wanita muda.

2. Anak-anak laki-laki mendapat prioritas yang lebih tinggi daripada anak-anak perempuan.

3. Cara menghidangkan atau pelayanan makanan disesuaikan pula dengan status, sehingga cara tertentu dapat memberikan penilaian terhadap suatu keadaan status


(59)

tertentu yang menimbulkan suatu kegagagalan dalam perbaikan keadaan gizi yang diinginkan.

b) Kewajiban Sosial dan Susunan Makanan

Pengaruh lainnya dalam susunan makanan adalah efek dari kewajiban sosial.Pada beberapa masyarakat, prestasi di bidang ekonomi dinilai kurang daripada penerimaan di lingkungan sosial.Partisipasi dari keluarga dan anggota masyarakat lebih dihargai daripada hadiah kekayaan.Lebih baik diberikan/dihidangkan makanan sebagai imbalan daripada dibayar dengan uang.Keadaan seperti ini dapat menyebabkan penyediaan susunan makanan yang tidak mencukupi bagi keluarga. c) Makanan sebagai Simbol Hubungan Sosial

Makanan sering kali diberi nilai secara simbolis dalam agama dan dalam mengutarakan suatu sosial.Menghidangkan makanan merupakan suatu simbol dari suatu persaudaraan, kekeluargaan, penerimaan, dan kepercayaan.Jumlah dan aneka ragam makanan yang dihidangkan pada suatu peristiwa tertentu merupakan status simbol di dalam masyarakat.Biasanya bahan, warna, bentuk, jenis makanan, alat, ukuran, dan lain-lain adalah khas (spesifik) untuk acara-acara tertentu.

2.4.2. SosioBudaya Menurut Undang-Undang

Hak asasi manusia di bidang budaya berdasarkan undang-undang dimuat dalam pasal 28C, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia.”


(60)

2.5.Masyarakat Suku Alas

Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan latar belakang etnis, suku, dan tatanan kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain (Wirjatmadi dan Adriani, 2012).

Berdasarkan Lembaga Sejarah dan Purbakala Depatemen P dan K (Hasan, 1980) terdapat sebelas suku bangsa di provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Singkel, Aneuk Jamee, Kuet, Pulau, Jawa, Batak dan campuran Aceh dan Aneuk Jamee. Dari kesebelas suku bangsa yang berada di Aceh, suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh dan biasa disebut Tanah Alas. Kata “Alas” dalam bahasa Aceh, Alas berarti “tikar”. Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan.Dengan karakter alam yang demikian bisa dipastikan bahwa daerah tersebut sangatlah subur.Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan (Anonim, 2014).

Menururt Muhammad Umar, bahwa kata Alas dapat diartikan “dasar” serta dasar juga dapat diartikan “pertama”, sehingga kata Alas menjadi dasar dan pertama, maka dapat dimaknai bahwa suku yang pertama mendiami daerah tersebut dinamakan “Alas” (Ridwan, 2005). Menurut LAKA (2003), suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara memiliki 26 marga, yaitu: Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, Selian, Acih, Beruh, Gale, Karo-karo, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe,


(61)

Pase, Pelis, Pinim, Rahim, ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang, dan marga Tarigan.

Upacara adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, tumbuh dan berkembang secara historis pada masyarakat suku alas.Salah satu upacara tradisional yang masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya adalah upacara perkawinan, kematian, khitanan, turun mandi, dan perayaan hari-hari besar agama.

Hal ini tidak terlepas dari makanan yang disajikan setiap upacara adat tersebut berlangsung yang ada kaitannya dengan status gizi dan kejadian hipertensi pada masyarakat tersebut.Adapun makanan tradisional dari suku alas yang sering disajikan pada upacara adat mereka adalah bebek labakh, manukh labakh, ikan labakh, puket megaukh, lepat bekhas, gelame, buah khum-khum, ikan pacik kule, teukh mandi, puket mekuah, tumpi, godekh, puket sikuning, cimpe, dan getuk.Dari semua makanan yang disajikan di atas, rata-rata mengandung tinggi kalori, lemak jenuh, tinggi garam dan tinggi protein yang kemungkinan akan memicu terjadinya obesitas dan hipertensi.

2.5.1. Adat-Istiadat Suku Bangsa Alas

Hampir semua masyarakat manusia di seluruh dunia, hidup individu dibagi oleh adat masyarakat ke dalam tingkat-tingkat tertentu. Tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang disebut stage along the life-cycle itu, misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanank-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah nikah atau perkawinan, masa hamil, masa tua, mati dan sebagainya. pada waktu individu


(62)

beralih satu tingkat ke tingkat yang lain, biasanya pada saat itu diadakan pesta atau upacara yang merayakan saat peralihan tersebut (Sufi R, 2008).

2.5.1.1. Adat dan Upacara Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang bersifat naluriah bagi setiap makhluk hidup.Pada dasarnya perkawinan berfungsi untuk mengatur kelakuan manusia dan kebutuhan biologisnya, untuk menyambung keturunan.

2.5.1.1.1. Upacara sebelum Perkawinan

Upacara sebelum perkawinan yang dimaksud adalah upacara-upacara yang dilakukan sebelum ijab Kabul atau akad nikah berlangsung dan juga sebelum pesta perkawinan, termasuk di dalam upacara sebelum kawin lumbe (pemberitahuan), kutuk (pemberitahuan maksud meminang), Chisik atau Risik (Membaca pikiran pihak wali), peperi( menentukan langkah mufakat), Pinang cut (pinang kecil), Pinang Mbelin (meresmikan pinangan), midoi.

Dalam acara Pinang Mbelin, pokok pembicaraan menyangkut hal yang berhubungan dengan mahar (mas kawin), upah wali (uang untuk wali perempuan), isi cekhane (uang isi kampil), wis panjang Sembilan (kain panjang Sembilan hasta) dan uang kenduri. Uang kenduri itu berupa uang atau benda dan telah mempunyai ketentuan adat, yang mana berlaku sama besar untuk semua status sosial. Uang kenduri dalam bentuk benda berupa: kambing satu ekor, beras 2 kaleng (40 liter), beras pulut 1 kaleng (20 liter), gula merah 20 kilogram, kelapa 30 buah, ayam satu ekor dan bumbu-bumbu secukupnya, nagka muda untuk sayur, gula pasir, kopi, teh, serta tukang masak laki-laki dan perempuan.


(63)

2.5.1.1.2. Acara Persiapan Upacara Perkawinan

Adapun acara-acara tersebut yaitu teberas (mengadakan perlengkapan), Meubagah (mengundang memakai sirih lengkap dengan gambir, pinang, dan kapur yang dibungkus dengan daun pisang), jagai (malam berinai) (Sufi R, 2008)

2.5.1.1.3. Upacara Pelaksanaan Perkawinan

Pelaksanaan perkawinan ditandai dengan adanya gantat emas (mengantar emas), meuraleng (menjemput pengantin wanita), akad nikah, nachuh (menyerahkan pengantin perempuan kepada suaminya), narukh (mengantar pengantin perempuan), Seunubung (pengantin perempuan pergi ke rumah orang tuanya dengan membawa barang-barang yang telah ditentukan.

Seunubung tersebut dilaksanakan beberapa kali. Seunubungpertama, barang yang dibawa tersebut berupa puket mengelatmeupinggan (pulut manis), kampil sebuah, dan panpinang menulung sebuah. Seunubung kedua, barang bawaan berupa nasi dan gulai ayam atau daging, puket mengelatmeupinggan (pulut manis) yang telah dibungkus dengan daun pisang diletakkan ke dalam piring besar serta dibungkus kembali dengan kain panjang. Seunubungketiga, barang bawaan berupa pukeut merinti (pulut yang dicampur kelapa dan gula merah), nasi kepel (nasi bungkus), serta ayam panggang.Seunubung keempat, barang bawaan berupa pukeut dakan (pulut yang dimasak dengan santan kelapa), telur bebek sanglar (dadar), nasi kepel.Seunubungkelima, barang bawaan berupa nasi kepel dan ikan menenem (ikan pepes).Seunubungkeenam, barang bawaan berupa nasi kepel dansireu matah (garam).


(1)

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for

Asupan_energi (Tidak Beresiko / Beresiko)

14.373 5.857 35.273

For cohort Hipertensi = Tidak Hipertensi

4.134 2.325 7.352 For cohort Hipertensi =

Hipertensi .288 .181 .456

N of Valid Cases 118

Asupan_protein * Hipertensi

Crosstab

Hipertensi Total Tidak Hipertensi Hipertensi

Asupan_protein

Tidak Beresiko

Count 39 14 53

% of Total 33.1% 11.9% 44.9%

Beresiko

Count 20 45 65

% of Total 16.9% 38.1% 55.1%

Total

Count 59 59 118

% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 21.408a 1 .000

Continuity Correctionb 19.729 1 .000

Likelihood Ratio 22.142 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 21.226 1 .000


(2)

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for

Asupan_protein (Tidak Beresiko / Beresiko)

6.268 2.798 14.039

For cohort Hipertensi = Tidak Hipertensi

2.392 1.605 3.563 For cohort Hipertensi =

Hipertensi .382 .237 .615

N of Valid Cases 118

Asupan_lemak * Hipertensi

Crosstab

Hipertensi Total Tidak Hipertensi Hipertensi

Asupan_lemak

Tidak Beresiko

Count 43 23 66

% of Total 36.4% 19.5% 55.9%

Beresiko

Count 16 36 52

% of Total 13.6% 30.5% 44.1%

Total

Count 59 59 118

% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp, Sig, (2-sided)

Exact Sig, (2-sided)

Exact Sig, (1-sided)

Pearson Chi-Square 13,753a 1 ,000

Continuity Correctionb 12,412 1 ,000

Likelihood Ratio 14,051 1 ,000

Fisher's Exact Test ,000 ,000

Linear-by-Linear Association 13,636 1 ,000

N of Valid Cases 118

a, 0 cells (,0%) have expected count less than 5, The minimum expected count is 26,00, b, Computed only for a 2x2 table


(3)

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for

Asupan_lemak (Tidak Beresiko / Beresiko)

4.207 1.935 9.146

For cohort Hipertensi =

Tidak Hipertensi 2.117 1.358 3.302

For cohort Hipertensi =

Hipertensi .503 .345 .733


(4)

Pengaruh Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 118 100,0

Missing Cases 0 ,0

Total 118 100,0

Unselected Cases 0 ,0

Total 118 100,0

a, If weight is in effect, see classification table for the total number of cases, Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Tidak hipertensi 0

Hipertensi 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed Predicted

Hipertensi

Percentage Correct Tidak hipertensi Hipertensi

Step 0 Hipertensi Tidak hipertensi 0 59 ,0

Hipertensi 0 59 100,0

Overall Percentage 50,0

a, Constant is included in the model, b, The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S,E, Wald df Sig, Exp(B)

Step 0 Constant ,000 ,184 ,000 1 1,000 1,000

Variables not in the Equation

Score df Sig,

Step 0 Variables Frekuensi_makanan 17,363 1 ,000

Asupan_energi 39,470 1 ,000

Asupan_protein 21,408 1 ,000

Asupan_lemak 13,753 1 ,000


(5)

Block 1: Method = Backward Stepwise (Conditional)

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig,

Step 1 Step 55,409 4 ,000

Block 55,409 4 ,000

Model 55,409 4 ,000

Model Summary Step

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 108,174a ,375 ,500

a, Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001,

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square Df Sig,

1 8,928 7 ,258

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Hipertensi = Tidak hipertensi Hipertensi = Hipertensi

Total Observed Expected Observed Expected

Step 1 1 9 9,397 1 ,603 10

2 7 7,542 2 1,458 9

3 8 8,318 2 1,682 10

4 15 16,310 6 4,690 21

5 6 5,038 3 3,962 9

6 9 5,703 2 5,297 11

7 3 1,693 4 5,307 7

8 1 2,729 12 10,271 13

9 1 2,270 27 25,730 28

Classification Tablea

Observed Predicted

Hipertensi

Percentage Correct Tidak hipertensi Hipertensi

Step 1 Hipertensi Tidak hipertensi 53 6 89,8

Hipertensi 15 44 74,6

Overall Percentage 82,2


(6)

Variables in the Equation

B S,E, Wald df Sig, Exp(B)

95% C,I,for EXP(B) Lower Upper Step 1a Frekuensi_makanan 1,499 ,561 7,147 1 ,008 4,478 1,492 13,440

Asupan_energi 1,464 ,574 6,514 1 ,011 4,322 1,405 13,302 Asupan_protein 1,108 ,525 4,448 1 ,035 3,028 1,081 8,479 Asupan_lemak 1,102 ,555 3,944 1 ,047 3,011 1,015 8,938

Constant

-2,746

,594 21,378 1 ,000 ,064

a, Variable(s) entered on step 1: Frekuensi_makanan, Asupan_energi, Asupan_protein, Asupan_lemak,

Model if Term Removeda

Variable Model Log

Likelihood

Change in -2 Log

Likelihood df

Sig, of the Change

Step 1 Frekuensi_makanan -58,056 7,938 1 ,005

Asupan_energi -57,386 6,599 1 ,010

Asupan_protein -56,317 4,461 1 ,035

Asupan_lemak -56,115 4,056 1 ,044


Dokumen yang terkait

Gambaran Karakteristik dan Sosial Budaya Masyarakat Terhadap Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat 2014

4 83 118

SUKU ALAS KABUPATEN ACEH TENGGARA.

0 5 21

HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KERJO Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kerjo Kabupaten Karanganyar.

0 2 18

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

1 1 19

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 2

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 9

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 46

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 5

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 39

GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAWIT SEBERANG KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT

0 1 15