Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Organisasi pada Medical Representative di Kota Medan

BAB II
LANDASAN TEORI
A. KOMITMEN ORGANISASI
1. Definisi Komitmen Organisasi
Mowday, Porter, dan Steers (1982) menyatakan bahwa komitmen
organisasi didefinisikan sebagai sebuah sikap yang mencerminkan loyalitas
yang berkesinambungan pada karyawan terhadap organisasi dimana karyawan
mengekspresikan perhatian mereka pada organisasi dan juga pada kesuksesan
organisasi. Komitmen organisasional menurut William dan Hazer (dalam
Lum, Kervin, Clark, Reid, & Sirola, 1998) didefinisikan sebagai identifikasi
dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana
seseorang loyal terhadap organisasi dan memiliki tujuan pribadi yang selaras
dengan tujuan organisasi.
Steers dan Porter (1987) mendefinisikan komitmen merupakan sikap
seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya terhadap organisasi beserta
nilai-nilai dan tujuannya serta keinginan untuk tetap menjadi anggota untuk
mencapai tujuan. Becker (dalam Meyer & Allen, 1997) mendeskripsikan
komitmen organisasi sebagai suatu tendensi atau kecenderungan untuk
mengikatkan diri dalam garis dan aktivitas yang konsisten di dalam organisasi.
Komitmen organisasi merupakan usaha mendefinisikan dan melibatkan diri
dalam organisasi dan tidak ada keinginan untuk meninggalkannya (Robbins,

2006).

10
Universitas Sumatera Utara

11

Meyer dan Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen dapat muncul
dalam bentuk yang berbeda-beda sehingga tiap-tiap individu dapat merasakan
komitmen yang berbeda terhadap organisasi, pekerjaan, atasan, dan atau
terhadap kelompok kerjanya. Model komitmen yang dimiliki individu dibagi
ke dalam tiga komponen di mana ketiganya mempunyai pengaruh yang
berbeda bagi perilaku individu terhadap organisasi dan pekerjaannya. Tiga
komponen komitmen tersebut adalah:
1. Affective Commitment melibatkan kelekatan emosional karyawan pada
organisasi, identifikasi

dengan organisasi, dan keterlibatan pada

organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen afektif mempertahankan

keanggotaannya di dalam perusahaan karena adanya keinginan untuk tetap
bekerja pada perusahaan.
2. Continuance commitment melibatkan komitmen yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan tertentu apabila meninggalkan organisasi,
misalnya pertimbangan akan kehilangan senioritas dalam promosi atau
keuntungan-keuntungan lainnya. Karyawan yang memiliki komitmen
berkelanjutan

(continuance

commitment)

mempertahankan

keanggotaannya di perusahaan karena adanya kebutuhan untuk tetap
bekerja pada perusahaan.
3. Normative commitment melibatkan kewajiban dan tanggung jawab yang
dirasakan karyawan untuk tetap bekerja dalam suatu organisasi. Karyawan
yang memiliki komitmen normatif mempertahankan keanggotaannya di


Universitas Sumatera Utara

12

perusahaan karena adanya keharusan atau kewajiban untuk tetap bekerja
pada perusahaan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen organisasi dapat muncul dalam komponen komitmen afektif,
komitmen berkelanjutan dan komitmen normatif di mana karyawan dapat
merasakan ketiganya dalam tingkatan yang berbeda-beda (Meyer & Allen,
1991).
2. Aspek Pengukuran Komitmen Organisasi
Menurut Meyer dan Allen (1991) komitmen organisasi adalah suatu
kondisi psikologis yang mencakup:
1. Hubungan yang dimiliki karyawan terhadap organisasi, dan
2. Keputusan untuk mempertahankan atau melanjutkan keanggotaan di
dalam organisasi.
Pengukuran komitmen organisasi dapat diukur dengan menggunakan
Organizational Commitment Scale berdasarkan teori Meyer dan Allen (1991).


3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi diklasifikan
menjadi tiga, yaitu karakteristik personal, karakteristik organisasi dan
pengalaman selama bekerja. Berikut akan dijelaskan ketiga faktor yang
memengaruhi komitmen organisasi.
1. Karakteristik personal, terdiri dari variabel-variabel individual yang
dikelompokkan ke dalam variabel demografis dan variabel disposisi.
Variabel demografis meliputi usia (Salami, 2008; Marchiori & Henkin,

Universitas Sumatera Utara

13

2004; Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002; Suliman & Iles,
2000; Mathieu & Zajac, 1990), masa jabatan (Salami, 2008; Meyer dkk.,
2002; Mathieu & Zajac, 1990), tingkat pendidikan (Salami, 2008) dan
status pernikahan (Salami, 2008; Mathieu & Zajac, 1990). Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, karyawan yang lebih tua ditemukan lebih
berkomitmen dibandingkan dengan karyawan yang lebih muda. Karyawan
yang sudah menikah lebih berkomitmen terhadap organisasi. Karyawan

yang sudah lama bekerja juga ditemukan lebih berkomitmen dibandingkan
dengan karyawan yang baru bekerja di perusahaan.
Selain variabel demografis, terdapat variabel disposisi yang
meliputi atribut-atribut psikologis seperti afiliasi, otonomi dan work ethic
(Meyer & Allen, 1991), motivasi berprestasi (Salami, 2008; Meyer &
Allen, 1991), locus of control (Suman & Srivastava, 2010; Meyer dkk.,
2002), trait kepribadian (Seniati, 2006; Silva, 2006; Morrison, 1997) dan
kecerdasan emosional (Salami, 2008; Nikolaou & Tsaousis, 2002).
Karyawan yang extraverted, conscientiousness dan yang emosinya stabil
cenderung

lebih

berkomitmen

terhadap

perusahaan.

Penelitian


menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional dan motivasi
berprestasi yang dimiliki karyawan, maka semakin tinggi pula
komitmennya.
2. Karakteristik organisasi, yang di dalamnya mencakup pekerjaan dan
organisasi itu sendiri, meliputi karakteristik pekerjaan (Suman &
Srivastava, 2010), struktur organisasi (Suman & Srivastava, 2010),

Universitas Sumatera Utara

14

tantangan (Dixon, Cunningham, Sagas, Turner, & Kent, 2005; Meyer &
Allen, 1997), ekspektasi peran, ruang lingkup pekerjaan dan hubungan
dengan supervisor (Meyer & Allen, 1997), perubahan organisasi
(Lopopolo, 2002), sosialisasi dalam organisasi, nilai prososial di dalam
organisasi dan prestige (dalam Nicholson, 2009).
3. Pengalaman selama bekerja, mencakup persepsi akan kebijakan yang adil
(Chughtai & Zafar, 2006; Meyer & Allen, 1997; Konovsky &
Cropanzano, 1991), dukungan yang dirasakan dari organisasi (Boehman,

2006; Allen, Shore, & Griffeth, 2003), keterlibatan kerja, persepsi akan
pemberdayaan dan kesempatan untuk pelatihan (dalam Nicholson, 2009)
dan kepuasan kerja (Salami, 2008; Chughtai & Zafar, 2006). Penelitian
menunjukkan bahwa semakin karyawan puas terhadap pekerjaannya, maka
semakin tinggi pula komitmennya terhadap perusahaan.

B. ADVERSITY QUOTIENT
1. Definisi Adversity Quotient
Kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kesengsaraan
atau kemalangan (Echols & Shadily, 1976). Adversity juga diartikan sebagai
masalah (Oxford, 2003). Beberapa tahun belakangan ini, para ahli psikologi
tertarik untuk mempelajari bagaimana orang-orang menghadapi masalah atau
kemalangan, dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk menjadi lebih baik.
Weihenmayer (dalam Weihenmayer & Stoltz, 2012) menyatakan bahwa
masalah merupakan kunci untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan,

Universitas Sumatera Utara

15


bisnis dan masyarakat. Namun, pada kenyataannya, mengatasi permasalahan
sehari-hari memiliki tantangannya tersendiri. Untuk dapat menjawab
bagaimana orang-orang mengatasi masalah di dalam kehidupannya, Stoltz
mengembangkan teori tentang Adversity Quotient pada tahun 1997.
Adversity quotient terwujud dalam tiga bentuk (Stoltz, 2000). Pertama,
AQ merupakan kerangka konseptual untuk memahami dan meningkatkan

kesuksesan. Kedua, AQ mengukur bagaimana respon seseorang terhadap
masalah. Ketiga, AQ adalah seperangkat alat yang memiliki dasar ilmiah
untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan. Dalam lingkup
pekerjaan, adversity quotient menentukan kesuksesan karyawan dalam
perusahaan. Karyawan yang memiliki AQ yang lebih tinggi menunjukkan
kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, dan daya tahan yang
lebih baik dibandingkan dengan karyawan lain dengan AQ yang lebih rendah
(Stoltz, 2000).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity
quotient merupakan kecerdasan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi

masalah, mengubah sikap terhadap masalah dan menemukan solusi sehingga
masalah dapat dipecahkan.

2. Dimensi-dimensi Adversity Quotient
Stoltz (2003) menyatakan empat dimensi dasar sebagai indikator
pengukuran adversity quotient, yaitu CORE (Control, Ownership, Reach, &
Endurance). Dimensi-dimensi CORE ini akan menentukan adversity quotient

Universitas Sumatera Utara

16

individu secara menyeluruh. Berikut penjelasan empat dimensi adversity
quotient tersebut:

1. Kendali/control

(C);

seberapa

besar


karyawan

merasa

mampu

mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Stoltz (2003)
menjelaskan bahwa dimensi Control mencakup:
a. Sejauh mana seseorang secara positif mampu mengubah situasi
b. Sejauh mana seseorang memiliki kendali atas kesulitan yang
dihadapi.
Karyawan dengan skor control yang tinggi mempunyai tingkat
kendali yang tinggi untuk bertahan terhadap kesulitan dan dapat
menyelesaikannya dengan efektif. Individu dengan skor control yang
sedang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya
berada dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang
dihadapi. Pada awalnya, mungkin karyawan tidak mudah menyerah,
namun sulit mempertahankan kendali apabila dihadapkan pada tantangan
yang lebih berat lagi. Sedangkan karyawan yang memiliki tingkat control
yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa

kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya
sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengantisipasi akibat
dari kesulitan tersebut. Karyawan menjadi tidak berdaya saat menghadapi
kesulitan dan menyerah kepada nasib.
Respon umum karyawan dengan skor rendah dalam dimensi ini
biasanya berpikir: “Ini di luar jangkauan saya!”; “Tidak ada yang bisa saya

Universitas Sumatera Utara

17

lakukan sama sekali”; “Yah, tidak ada gunanya membenturkan kepala ke
dinding”; “Anda tidak mungkin melawan mereka”. Sedangkan karyawan
dengan skor yang lebih tinggi, pada umumnya cenderung berpikir :
“Wow, ini sulit! Tapi, saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi”;
“Pasti ada yang bisa saya lakukan”, “Saya tidak percaya saya tidak
berdaya dalam situasi seperti ini, Selalu ada jalan”; “Siapa berani, akan
menang; Saya harus mencari cara lain”.
2. Ownership

(O);

mengandalkan diri

mengacu

kepada

sejauh

mana

seseorang

mau

sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi,

tanpa memperdulikan penyebabnya (Stoltz, 2003). Karyawan dengan
tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan,
apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya.
Karyawan dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui atau
menolak serta menghindar dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah
tersebut.
Respon umum karyawan dengan skor rendah pada dimensi ini
biasanya berpikir: “Ini semua kesalahan saya” ; “Saya memang bodoh
sekali”; “Seharusnya saya lebih tahu”; “Apa yang tadi saya pikirkan, ya?
“; “ Saya malah jadi tidak mengerti” ; “Saya sudah mengacaukan
semuanya”; “Saya memang orang yang gagal”. Sedangkan respon umum
karyawan dengan skor yang

lebih

tinggi pada dimensi ini biasanya

berpikir: “Waktunya tidak tepat”; “Seluruh industri sedang menderita”;
“Kini, setiap orang mengalami masa-masa yang sulit”, “Ia hanya sedang

Universitas Sumatera Utara

18

tidak gembira hatinya”; “Beberapa anggota tim tidak memberikan
kontribusi”; “Tak seorang pun bisa meramalkan datanya yang satu ini”;
“Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, saya tahu ada cara
untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik dan saya aka
menerapkannya bila lain waktu saya berada dalam situasi seperti itu lagi”.
3. Jangkauan/reach (R); dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah
kesulitan akan menjangkau bagian lain dari kehidupan karyawan. Ketika
kesulitan tidak dibiarkan memengaruhi aspek kehidupan lainnya, maka
karyawan dapat berpikir jernih dan mengambil tindakan yang tepat untuk
mengatasi kesulitan. Semakin luas masalah atau kesulitan yang muncul,
semakin rendah skor R, semakin besar pula kemungkinan seseorang
menganggap peristiwa-peristiwa
membiarkannya

buruk

sebagai

bencana, dengan

meluas dan menghambat kebahagiaan seseorang.

Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar pula kemungkinan
seseorang untuk membatasi masalah atau kesulitan yang dihadapi agar
tidak meluas kepada peristiwa lain (Stoltz, 2000).
4. Daya tahan/endurance (E); berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama
atau tidaknya kesulitan dan penyebab kesulitan itu akan berlangsung.
Karyawan dengan skor endurance yang tinggi akan merespon kesulitan
dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu,
dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini dapat meningkatkan energi,
optimisme, dan kemampuan dalam mengatasi kesulitan serta tantangan
yang lebih besar. Karyawan dengan skor endurance sedang menganggap

Universitas Sumatera Utara

19

kesulitan dan penyebab kesulitan akan berlangsung lama. Hal ini dapat
membuat karyawan menunda dalam mengambil tindakan yang konstruktif
(Stoltz, 2000). Karyawan dengan skor endurance yang rendah pada
umumnya menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan
berlangsung lama atau bahkan selamanya. Hal ini akan memunculkan
respon perasaan tidak berdaya atau hilang harapan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Adversity quotient dapat diukur
dengan menggunakan skala adversity quotient yang didasarkan pada teori
Adversity Quotient oleh Stoltz (2000); meliputi aspek control (C) atau kendali,
ownership (O), reach (R) atau jangkauan dan endurance (E) atau daya tahan.
Adversity

quotient

terletak

dalam

sebuah

rangkaian

sehingga

penggolongannya dibagi ke dalam kategori rendah, sedang dan tinggi.
a. Penggolongan Kepribadian Berdasarkan Skor Adversity Quotient
Terdapat tiga kelompok tipe manusia ditinjau dari tingkat AQ yang
dimilikinya (Stoltz, 2000), yaitu:
1) Quitters
Quitters adalah mereka yang memilih untuk keluar, menghindari

kewajiban, mundur dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Karyawan
dengan tipe ini bekerja sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
menunjukkan sedikit ambisi dan semangat. Selain itu, tipe ini kurang
kreatif, menghindari resiko dan tidak banyak memberikan kontribusi bagi
perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

20

2) Campers
Campers atau satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan suffice =

mencukupi). Karyawan dengan tipe ini puas dengan mencukupkan diri dan
tidak mau mengembangkan diri. Campers setelah mencapai tahap tertentu,
berhenti melangkah meskipun masih ada kesempatan untuk lebih
berkembang lagi. Berbeda dengan quitters, campers sekurangkurangnya
telah menanggapi tantangan yang dihadapinya sehingga mampu mencapai
tingkat tertentu.
Dalam bekerja, para campers menunjukkan sejumlah inisiatif dan
usaha. Karyawan dengan tipe ini akan bekerja keras untuk dapat merasa
aman dan tidak akan dengan sengaja mengambil resiko dipecat.
3) Climbers
Climbers (pendaki) adalah mereka yang selalu optimis, melihat

peluang-peluang, melihat celah, melihat adanya harapan di balik
keputusasaan dan selalu bergairah untuk maju. Climbers adalah tipe
manusia yang berjuang seumur hidup. Tipe ini akan menyambut
tantangan-tantangan yang merintanginya tidak peduli sebesar apapun
kesulitan yang datang. Kesulitan dan rintangan dianggap sebagai peluang
untuk lebih maju, berkembang, dan mempelajari lebih banyak lagi tentang
kesulitan hidup. Climbers akan selalu memikirkan berbagai alternatif
untuk mengatasi permasalahan dan tidak akan membiarkan hambatan
merintangi pendakiannya. Ketika bekerja, karyawan dengan tipe climbers
memiliki visi, menunjukkan semangat yang tinggi dan berjuang

Universitas Sumatera Utara

21

mendapatkan yang terbaik. Karyawan dengan tipe ini akan terus
memperbaiki, bertumbuh dan memberikan kontribusi bagi perusahaan dan
kehidupannya sendiri.
Para quitters tidak selamanya kehilangan kesempatan jika
mendapatkan berbagai bantuan. Para campers akan mendapat dorongan
untuk bertahan ketika menghadapi kesulitan yang dihadapi. Para climbers
menghadapi dan mengatasi rintangan yang tiada hentinya. Meskipun
demikian, ada kalanya ketika climbers menghentikan pendakiannya untuk
sementara waktu dan memilih untuk berkemah. Namun, persinggahan ini
berbeda dengan tipe campers yang menetap di perkemahan tersebut. Para
climbers berhenti sejenak untuk memulihkan tenaga dan kekuatan untuk

menghadapi kesulitan selanjutnya. Kesuksesan yang diraih berkaitan
langsung dengan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan
setelah yang lainnya menyerah.

C. MEDICAL REPRESENTATIVE
Wardana (2010) mendefinisikan medical representative atau biasa disebut
sebagai medical reps sebagai karyawan perusahaan farmasi yang bertugas di
lapangan untuk mengetahui perkembangan tuntutan dalam praktisi kedokteran,
termasuk kebutuhan atau keinginan para dokter terhadap produk farmasi yang
dipasarkan perusahaan. Perusahaan Farmasi adalah perusahaan yang bergerak di
bidang pengembangan, produksi dan pemasaran obat atau alat kesehatan yang

Universitas Sumatera Utara

22

memiliki surat izin untuk penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode,
Klingmann, & Zahn, 2007).
Mehrotra (1996) mengatakan bahwa alur kerja seorang medical reps
bersifat penjualan secara tidak langsung (indirect selling ). Penjualan dimulai
dengan mempromosikan produk/obat farmasi kepada dokter, lalu dokter
menuliskan resep obat yang dipromosikannya, setelah itu resep tiba di apotek dan
apotek akan membeli persediaannya kembali ke pedagang besar farmasi atau
pabrik farmasi. Dengan kata lain, penjualan tidak langsung dilakukan medical
reps kepada dokter yang dikunjunginya.

Keberhasilan seorang medical reps apakah tercapai atau tidak tercapainya
target dilihat dari jumlah order apotek di wilayah kerja medical representative.
Selain jumlah penjualan, target yang harus dicapai juga mencakup jumlah
kunjungan dokter. Hal ini dapat memudahkan usaha para medical reps untuk
mencapai target penjualan obat (Wardana, 2010).

D.

DINAMIKA

ADVERSITY

QUOTIENT

DENGAN

KOMITMEN

ORGANISASI PADA MEDICAL REPRESENTATIVE
Meyer dan Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen adalah suatu
kondisi psikologis yang menggambarkan hubungan karyawan dengan organisasi
dan menghasilkan keputusan apakah karyawan mempertahankan keanggotaannya
di dalam organisasi. Komitmen dibedakan ke dalam tiga komponen, yaitu
komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif, dimana
ketiganya dapat mencerminkan hubungan karyawan dengan organisasi dalam

Universitas Sumatera Utara

23

tingkatan yang bervariasi (Meyer & Allen, 1997). Komitmen afektif mengacu
kepada keinginan karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam
organisasi karena memiliki kelekatan emosional dengan perusahaan. Komitmen
berkelanjutan mengacu kepada keputusan untuk mempertahankan keanggotaan di
dalam organisasi karena adanya kebutuhan untuk tetap bekerja di dalam
perusahaan. Komitmen normatif mengacu kepada perasaan wajib yang dimiliki
karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam perusahaan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan terhadap
organisasi, salah satunya adalah faktor personal. Faktor personal merupakan
variabel-variabel individual, yang mencakup variabel demografis dan variabel
disposisi. Variabel demografis terdiri dari usia (Salami, 2008; Marchiori &
Henkin, 2004; Meyer, dkk., 2002; Suliman & Iles, 2000; Mathieu & Zajac, 1990),
masa jabatan (Salami, 2008; Meyer dkk., 2002; Mathieu & Zajac, 1990), tingkat
pendidikan (Salami, 2008) dan status pernikahan (Salami, 2008; Mathieu & Zajac,
1990). Variabel disposisi terdiri dari atribut-atribut psikologis seperti afiliasi,
otonomi dan work ethic (Meyer & Allen, 1991), motivasi berprestasi (Salami,
2008; Meyer & Allen, 1991), locus of control (Suman & Srivastava, 2010; Meyer
dkk., 2002), trait kepribadian (Seniati, 2006; Silva, 2006; Morrison, 1997) dan
kecerdasan emosional (Salami, 2008; Nikolanu & Tsaousis, 2002).
Variabel disposisi yaitu kecerdasan emosional mempengaruhi komitmen
organisasi. Karyawan yang memiliki kercerdasan emosional yang baik akan
menunjukkan perilaku kerja yang kooperatif, kreatif, dan memiliki hubungan
interpersonal yang baik sehingga mampu mengekspresikan dan meregulasi emosi

Universitas Sumatera Utara

24

yang dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap rekan-rekan, atasan, pekerjaan
dan komitmen mereka terhadap perusahaan (Salami, 2008). Wilding (2010)
menyatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosi yang baik, terlebih dahulu
harus mengembangkan resiliensi sehingga dapat mengatur emosinya ketika
menghadapi masalah. Resiliensi (daya tahan) dipengaruhi oleh adversity quotient
(Woo & Song, 2015; Kusumaningtyas, 2012; Stoltz, 2000).
Adversity quotient merupakan kecerdasan seseorang dalam menghadapi

masalah dan mengatasi permasalahan hidup (Stoltz, 2000). Ketika bekerja, setiap
karyawan pasti pernah mengalami permasalahan, kesulitan dan tantangan,
termasuk karyawan pemasaran di perusahaan Farmasi yang bertugas memasarkan
obat-obatan,

seperti

medical

representative .

Penurunan

penjualan

dan

pemotongan jumlah karyawan harus dihadapi sebagai dampak dari Program BPJS
Kesehatan bagi perusahaan farmasi. Untuk dapat mengatasi kesulitan tersebut,
medical representative diharapkan memiliki adversiy quotient yang tinggi.

Karyawan yang memiliki adversity quotient yang tinggi akan terus berusaha untuk
mengatasi masalah sehingga dapat mencapai tujuan dan sukses (Stoltz, 2000).
Karyawan yang memiliki AQ yang tinggi akan mengembangkan resiliensi
ketika menghadapi situasi sulit sehingga mampu beradaptasi dan bangkit dari
situasi sulit (Stoltz, 2000). Langvardt (2007) menemukan bahwa terdapat
hubungan antara resiliensi dengan komitmen karyawan terhadap organisasi
selama organisasi mengalami perubahan. Hal ini berarti individu dengan resiliensi
yang lebih tinggi memiliki komitmen yang lebih tinggi pula terhadap organisasi
selama terjadinya perubahan dalam organisasi. Pada medical representative,

Universitas Sumatera Utara

25

ketika karyawan memiliki adversity quotient yang tinggi, maka karyawan tersebut
akan mengembangkan resiliensi sehingga mampu beradaptasi dan bangkit ketika
menghadapi situasi sulit. Karyawan yang memiliki resiliensi yang tinggi akan
lebih berkomitmen ketika perusahaan menghadapi perubahan, termasuk gejolak
akibat program BPJS Kesehatan terhadap perusahaan farmasi.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa adversity
quotient memiliki hubungan dengan komitmen karyawan terhadap organisasi.

Komitmen organisasi terdiri dari 3 komponen, sehingga dapat diasumsikan pula
bahwa adversity quotient berhubungan dengan komitmen afektif, komitmen
berkelanjutan dan komitmen normatif.

E. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan asumsi-asumsi dan kajian teoretik di atas, diajukan beberapa
hipotesis, yaitu:
H1: Adversity Quotient memiliki hubungan dengan komitmen afektif
H2: Adversity Quotient memiliki hubungan dengan komitmen berkelanjutan
H3: Adversity Quotient memiliki hubungan dengan komitmen normatif

Universitas Sumatera Utara