Kajian Struktur dan Makna Tari Barong Banjar pada Upacara Perkawinan Masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat

BAB II
TINJAUAN UMUM SUKU BANJAR
KECAMATAN SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT

2.1

Gambaran Umum Suku Banjar

2.1.1

Letak Geografis dan Kondisi Kabupaten Langkat

Foto 2.1 : Peta Kabubaten Langkat (sumber: http://erwinsiregar.blogspot.com/2011/06/blog-post_07.html)

Universitas Sumatera Utara

Desa Tanjung Ibus sebagai tempat penelitian, berada di Kecamatan Secanggang,
Kabupaten Langkat. Kabupaten ini terletak pada koordinat 3º-14” sampai 4º-13”
Lintang Utara serta 97º-52” sampai 98º-45” Bujur Timur dengan ketinggian 0-300
meter di atas permukaan laut. Di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten

Karo, sebelah Barat dengan Nanggroe Aceh Darussalam, dan di sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai.
Kabupaten Langkat memiliki keadaan alam yang terdiri dari daerah pantai,
dataran rendah, dan dataran tinggi. Keadaan alam yang bervariasi ini
dimanfaatkan masyarakat dan pemerintah untuk mengelola lahan pertanian,
perkebunan, serta pertambangan minyak bumi dan gas alam. Keadaan alam
pegunungan, sungai-sungai, pantai-pantai, serta flora dan fauna yang berada di
kabupaten ini menjadi objek wisata yang layak dikunjungi oleh wisatawan dari
dalam dan luar negeri.
Pemerintahan Kabupaten Langkat berpusat di Kota Stabat. Menurut data
Kecamatan Secanggang , Kabupaten Langkat memiliki luas 6.263,29 km² dan
terdiri atas 23 kecamatan dan 277desa/kelurahan. Jumlah penduduknya 1.027.414
jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 164,04 jiwa/km². Perbandingan luas
kecamatan dengan jumlah penduduk termasuk belum merata. Kecamatan Bahorok
dengan luas 955,10 km² memiliki kepadatan penduduk 47,69 jiwa/km² atau kedua
terjarang penduduknya. Sebagai kota Kabupaten, Kota Stabat merupakan kota
dengan jumlah penduduk terpadat yaitu 904,88 jiwa/km², dengan luas 108,85 km²,
serta Kecamatan Secanggang yang berada di daerah pantai Selat Malaka termasuk

Universitas Sumatera Utara


kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya berada di atas rata-rata tingkat
kepadatan penduduk Kabupaten Langkat. Kecamatan Secanggang dengan luas
243,78 km² memiliki tingkat kepadatan penduduk 6613 jiwa/km² sedangkan ratarata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Langkat adalah 300 jiwa/km².
Pusat pemerintahan Kecamatan Secanggang berada di Hinai Kiri yang
berjarak 15 km dari Kota Stabat. Kecamatan ini terdiri dari 17 desa/kelurahan,
diantaranya :
Tabel 2.1
Jumlah Etnik di Kabupaten Langkat
Etnik

No

Desa
Melayu

Banjar

Jawa


Karo

Toba

Mandailing

Secanggang
50 %
40%
1
Selotong
30%
50%
2
Pantai Gading 50%
35%
3
Kuala Besar
50%
40%

4
Perkotaan
40%
29%
5
Jaring Halus
40%
40%
6
Karang Anyer 50%
40%
7
Karang Gading 53%
25%
8
Kepala Sungai 20%
60%
9
50%
24%

10 Suka Mulia
20%
20%
11 Cinta Raja
20%
20%
12 Teluk
20%
30%
13 Telaga Jernih
50%
40%
14 Hinai Kiri
60%
15 Kebun Kelapa 20%
20%
60%
16 Sungai Ular
20%
60%

17 Tanjung Ibus
Sumber: Kantor Statistik Kab. Langkat

5%
20%
15%
5%
26%
15%
5%
17%
20%
20%
40%
40%
35%
5%
20%
20%
20%


3%
_
_
3%
2%
3%
3%
2%
_
3%
15%
10%
10%
3%
_
_
_

_

_
_
_
1%
_
_
_
_
_
2%
2%
_
_
_
_
_

2%
_
_

2%
2%
2%
2%
3%
_
3%
3%
_
5%
2%
_
_
_

Universitas Sumatera Utara

Dilihat dari tabel di atas, terlihat bahwa suku Banjar menjadi suku mayoritas
yang menghuni di hampir semua desa di Kecamatan Secanggang, serta desa
Tanjung Ibus, menjadi salah satu desa dengan jumlah suku Banjar terbanyak.

Daerah ini juga berada di sekitar pesisir pantai. Hal ini juga yang memungkinkan
tersebarnya suku banjar, dikarenakan masuknya pendatang pada umumnya
melalui laut.

2.1.2

Data kependudukan Desa Tanjung Ibus
Menurut data Kecamatan Secanggang, penduduk Kabupaten Langkat lebih

banyak perempuan dibandingkan penduduk laki-laki. Pada tahun 2014 jumlah
penduduk laki-laki sebesar 513.651 jiwa sedangkan penduduk perempuan
sebanyak 513.763 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 99,98%. Berdasarkan
persentase suku bangsa, mayoritas penduduk Langkat bersuku bangsa Melayu
(56,87%), Jawa (15,93%), Karo (12,22%), Toba (1,50%),dan

Mandailing

(2,54%). Keadaan penduduk Kabupaten Langkat berdasarkan data BPS Provinsi
Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat tidak mencantumkan jumlah penduduk
dari suku bangsa Banjar. Menurut Ir. H. Ansharullah, MMA sebagai Ketua

Paduan Masyarakat Keluarga Kalimantan (PMKK) Kabupaten Langkat dalam
Fauzi (2006:62-63), orang Banjar yang bermukim di kabupaten ini diperkirakan
sekitar 6-8% dari jumlah penduduk Kabupaten Langkat atau sekitar 70.000 jiwa.
Mereka tersebar di seluruh kecamatan dengan pusat pemukiman orang Banjar
berada di Kecamatan Secanggang, Stabat, Hinai, Tanjung Pura, Gebang, Babalan,
Brandan Barat, dan Pangkalan Susu.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Fauzi (2006: 62), migrasi besar-besaran orang Banjar ke Sumatera
dan Malaysia terjadi tahun 1868 setelah terjadi Perang Banua Lawas di
Kalimantan. Hal ini dibuktikan ketika orang Banjar secara resmi datang pada
tahun 1900, mereka mendapati bahwa sudah ada suku Banjar yang mendiami
daerah pesisir pantai Kabupaten Langkat. Oleh karena itu, suku Banjar menjadi
penduduk mayoritas yang menghuni kabupaten di sepanjang Kabupaten Langkat.
Di Kecamatan Secanggang yang terletak di pantai Selat Malaka, suku Banjar
menjadi penduduk mayoritas, terutama di Desa Tanjung Ibus, Kebun Kelapa,
Sungai Ular, Secanggang, Kepala Sungai, dan Selotong.

2.1.3

Mata pencaharian
Mata pencaharian Suku Banjar di Desa Tanjung Ibus pada umumnya adalah

bertani, terutama pertanian sawah pasang surut, berladang, berkebun, dan
beternak. Salah satu alat pertanian khas Banjar adalah tajak bulan digunakan
untuk menebas rumput di sawah yang berair. Selain bertani, sebahagian suku
Banjar mencari nafkah sebagai nelayan, dikarenakan keadaan posisi wilayahnya
berada di daerah pesisir, maka mereka memilih sebagai nelayan sungai, rawa, dan
laut. Suku Banjar yang berada jauh dari kampung halamannya ini masih mewarisi
peralatan tradisional, seperti lunta (jala) untuk menangkap ikan, unjun (pancing)
untuk memancing ikan, pangilar, alat penangkap ikan sepat yang sangat khas,
terbuat dari kawat jaring. Memakai alat ini tidak memerlukan umpan untuk
menangkap ikan sepat, karena bentuk dari bubu/ lukah (alat penangkap ikan) yang
berbentuk bujur sangkar terbuat dari rotan, menyebabkan ikan sepat akan mudah

Universitas Sumatera Utara

masuk dan tidak bisa keluar lagi. Bentuk dari alat ini dan bentuknya bermacammacam ada yang besar ada untuk menangkap ikan besar seperti ikan tauman,
belida dan kalui. Bentuk yang kecil untuk menangkap ikan kecil seperti sepat
siam, pupuyu dan kepar.

Foto 2.2 : Tajak Bulan salah satu alat pertanian khas Banjar untuk menebas /
membabat rumput disawah yang berair (sumber:
hasanzainuddin.wordpress.com)

Universitas Sumatera Utara

Foto 2.3 : Lunta/ jala untuk menangkap ikan (sumber : budayaurangbanjar.blogspot.com)

Foto 2.4 : Bubu / lukah terbuat dari rotan, bentuknya bermacam – macam ada
yang besar dan ada yang kecil sesuai ukuran ikan yang akan
ditangkap.(sumber :budaya-urangbanjar.blogspot.com)

Universitas Sumatera Utara

Foto 2.5 : Pangilar, alat penangkap ikan sepat khas Banjar, tanpa umpan ikan
secara berombongan masuk dan tidak bisa keluar lagi.(sumber : budayaurangbanjar.blogspot.com)

Suku Banjar di Desa Tanjung Ibus terkenal pandai mengolah makanan
dengan cara mengawetkan / mamaja. Ilmu memasak tradisional Suku Banjar
masih melekat hingga saat ini, turun temurun dari leluhur yang dibawa dari tanah
kelahiran, karena “ ujar urang bahari”, semua kebaikan dan keburukan melalui
perut, jadi makanlah yang halal jangan yang haram, karena isi perut adalah segalagala iman. Jadi memasak adalah unsur budaya yang sangat penting, sebab
mempengaruhi harkat dan martabat seseorang. Makanan khas Banjar yang
terkenal hingga kini di Kalimantan Selatan maupun di Desa tanjung Ibus adalah
Wadi‟ dan Mandai. Dua jenis kuliner menggiurkan yang tidak ada pada suku lain
manapun. Dua cara mengawetkan tersebut yaitu :
1. Wadi’ (Ikan fermentasi), yaitu ikan sawah seperti sepat, papuyu, badau ataupun
ikan air tawar lainnya yang diberi garam bercampur rebuk beras atau gabah yang
disangrai/ digoreng tanpa minyak, yang selanjutnya ditumbuk kasar. Dalam
proses mawadi`, harus dicampur garam yang banyak, agar ikan tetap awet dan

Universitas Sumatera Utara

tidak mudah busuk. Ikan yang di proses seperti ini disebut Wadi`. Ikan olahan
yang di fermentasi ini awet hingga satu tahun lamanya di dalam toples. Untuk
mengkonsumsinya menjadi lauk, ikan wadi` harus di goreng terlebih dahulu,
atau ditambahkan sedikit bawang. Untuk olahan lainnya, wadi` juga sangat enak
dimasak dengan bungkusan daun pisang dipais/dipepes. Wadi` di Desa Tanjung
Ibus merupakan makanan langka yang sangat diminati masyarakat di Desa
Tanjung Ibus tersebut. Wadi bisa ditemukan ketika musim penghujan datang,
dimana banyak terdapat ikan-ikan sawah untuk diolah menjadi wadi`.

Foto 2.6 : Cara mengawetkan ikan dengan digarami yang banyak agar ikan tidak
busuk( sumber: archive.kaskus.co.id)
2.

Mandai (kulit cempedak yang di fermentasi), mandai dibuat dari kulit Tiwadak
(cempedak) yang kulit luarnya dikupas sehingga duri/geriginya hilang, kemudian
kulit dalam beserta serat-seratnya diolah sedemikian rupa dengan memberi
garam, selanjutnya dipaja/diperam (difermentasikan) di dalam bejana non logam
atau di dalam toples. Rasa mandai sangat khas, terasa sedikit asam, tapi ini
sungguh enak, di masak dengan cara digoreng atau ditumis kering dengan cabai

Universitas Sumatera Utara

beserta bawang. Hanya sesederhana itu memasaknya, sangat enak jika disajikan
dengan nasi panas.

Foto 2.7 : Ikan yang difermentasi (sumber: yusfasanti1712.bligspot.com)
Kadang-kadang dalam waktu-waktu tertentu mandai bisa menjadi sangat
di favoritkan untuk dimakan mengalahkan daging sapi atau ayam atau ikan-ikan
lainnya sebagai lauk.
Demikian juga dengan mata pencaharian sampingan berupa kerajinan
mengayam tikar purun,tanaman purun tersebut diambil dari rawa-rawa. Tetapi
saat ini yang pandai menganyam purun tidak hanya dan bakul seperti lanjung
untuk membawa hasil pertanian, diletakkan dipunggung dan talinya bertumpu
dibahu , ada juga bakul pabarasan tempat untuk menyimpan beras,terbuat dari
kulit bamban yang menjadi ciri khas suku Banjar di tanah leluhurnya masih
menjadi kegiatan sampingan

ibu rumah tangga di Desa Tanjung Ibus dan

sekitarnya.

Universitas Sumatera Utara

Foto 2.8 : Bakul Pabarasan, bakul tempat Foto 2.9: Lanjung, keranjang yang di
menyimpan beras, terbuat dari kulit Bamban.
Gunakan untuk membawa
hasil pertanian, diletakkan
dipunggung.
(sumber : www.rancahpost.co.id dan hasanzainuddin.wordpress.com)

Foto 2.10 : Seorang wanita / bibinik Banjar sedang menganyam tikar purun yang
merupakan salah satu home industri Suku Banjar. (sumber :
www.fotografindo.com)

2.2

Suku Banjar

Universitas Sumatera Utara

Kata kalimantan menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana dalam bukunya
Sriwijaya (LKIS 2006) Kalimantan atau Klemantan berasal dari kata Sanksekerta,
Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal(a):
musim, waktu dan manthan(a): membakar). Karena vokal a pada kala dan
manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap
Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan
yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan.
Diwilayah Serawak, bagian malaysia timur dikenal kata Lamantah yang
artinya sagu mentah, yang pada zaman dahulu menjadi salah satu makanan pokok
masyarakat setempat, dari kata lamantah itulah nanti menjadi kata „Kelamantan‟
yang dimaksudkan kepada penduduk setempat makanan pokoknya sagu.
Dari cerita masyarakat di Kalimantan selatan, khususnya suku Banjar,
mengenai kata „Kalimantan‟ berasal dari dua gabungan kata „Kali‟ dan „Mantan‟
disini untuk kata „kali‟ dapat diartikan dengan „Sungai‟ sedangkan „Mantan‟
adalah singkatan dari kata “Jumantan” atau kata lain dari “intan”, yang kalau
diterjemahkan kata Kalimantan berarti sungai yang banyak mengandung berbagai
macam intan/berlian.
Kata Borneo merupakan nama populer lain dari Kalimantan khususnya di
Benua Eropa, munculnya sebutan Borneo oleh orang Eropa dikarenakan di
Kalimantan banyak ditemukan pohon Borneol (bahasa latin: Dryobalanops
camphora) yaitu pohon yang mengandung terpetin, yaitu bahan yang
dipergunakan untuk antiseptik atau minyak wangi dan kamper. Pada awal

Universitas Sumatera Utara

kedatangan orang Eropa ke Indonesia terutama di Kalimantan, Borneol
merupakan salah satu sumber daya alam yang dicari bangsa Eropa di Kalimantan.
Selain itu kata Borneo juga menunjuk pada satu Kerajaan dipulau Utara
Kalimantan yaitu Kerajaan Brunei Darussalam yang sering disinggahi pedagang
Eropa pada masa kolonial, dimana Kerajaan Brunei pada saat itu merupakan
sebuah Kerajaan yang paling menonjol dipulau Kalimantan sekitar abad ke 16.
Karena kesulitan lidah orang Eropa menyebut kata Brunei akhirnya menjadi
terbiasa dengan sebutan Borneo. Sekarang ini Kalimantan atau Borneo merupakan
wilayah yanh dimiliki oleh tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan juga Brunei
Darussalam (maedafarhansyah07.blogspot.com buku syahrani)
2.2.1 Migrasi suku Banjar ke Sumatera Timur

Foto 2.11 : Migrasi besar-besaran suku Banjar ke Sumatera Timur (sumber:
http://erwin-siregar.blogspot.com/2011/06/blog-post_07.html)
Pemadaman merupakan kosa kata bahasa banjar yang artinya sama
dengan perantauan. Pemadaman berasal dari kata madam yang artinya pergi

Universitas Sumatera Utara

merantau atau melakukan migrasi terutama keluar Kalimantan Selatan. Sejak
akhir abad ke-19 atau awal-awal abad ke-20banyak orang Banjar yang melakukan
migrasi ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Sehingga tak mengherankan
orang Banjar kini banyak bermukim di Sapat dan Tembilahan (Indragiri Hilir,
Provinsi Riau), Bintan (Provinsi Kepri), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi), Deli
Serdang , Langkat, Serdang Bedagai, Asahan (Provinsi Sumut), Kaltim, Kalteng,
di pulau Jawa, pulau Lombok dan Bima (Nusa Tenggara Barat), Manado,
Gorontalo, Kendari, Makasar, Maluku, dan lain sebagainya. Atau di daerahdaerah yang menjadi bagian negara luar Indonesia, seperti Parit Buntar di Perak,
Tanjung Karang di Selangor dan Batu Pahat di Johor dan juga di negara Brunei
Darussalam, Singapura, dan Pattani Thailand.
Fenomena migrasi yang dilakukan orang Banjar di akhir abad ke 19 dan awal
abad ke 20 merupakan pola umum yang juga dilakukan oleh berbagai etnis di
Nusantara. Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu disebabkan oleh
berbagai faktor, seperti faktor kondisi politik, ekonomi, keamanan, atau faktor
tidak kondusifnya daerah asal mereka.
Faktor ekonomi seperti untuk mencari penghidupan yang lebih baik
merupakan salah satu alasan mereka bermigrasi, misalnya yang dilakukan orang
Banjar ketika bermigrasi ke Semenanjung Malaya sebagai buruh penyadap karet.
Penyadapan getah karet dan perluasan lahan perkebunan karet tentu saja
memerlukan tenaga kerja atau buruh harian. Dan tenaga itu didatangkan atau
diperoleh dari orang-orang yang datang ke Semenanjung Malaya.

Universitas Sumatera Utara

Orang-orang Banjar tidak segan bekerja di tempat yang jauh dari
kampungnya. Walaupun mereka akan segera kembali jika telah mendapat banyak
uang atau keadaan di perantauan tidak menguntungkan lagi. Seperti ketika
perkebunan tembakau Deli baru dibuka, banyak orang Banjar pergi kesana untuk
membuka lahan dan membuat bangunan (L. Potter dalam Tundjung, 2008:6).
Menurut Sartono Kartodirdjo (1975: 116-118), fenomena migrasi
bukanlah semata-mata faktor ekonomi yang menjadi pertimbangan mereka,
namun dikarenakan oleh faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang
membuat orang menentukan harus pindah ke daerah lain.
Bambang Purwanto dalam A. Muthalib (2008:24) menyatakan bahwa
ketika tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin dan kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan semakin intensif, orang Bugis dan Banjar semakin banyak yang
membuka daerah rawa-rawa di sepanjang pantai timurSumatera.
Terkait dengan latar belakang migrasi orang Banjar, maka selain bertujuan
untuk mencari penghidupan yang lebih baik (faktor ekonomi), juga untuk
menghindar dari penindasan Pemerintah Hindia Belanda (faktor politik dan
keamanan).
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kresidenan Borneo Selatan
(Kalimantan Selatan) di tahun 1920 an turut mendorong terjadinya migrasi orang
Banjar. Kondisi itu terkait dengan dampak ekonomi dunia yang tengah dilanda
malaise. Selain itu, adanya perlakuan diskriminasi Pemerintah Hindia Belanda
terhadap pribumi mengakibatkan kehidupan masyarakat Banjar di bawah
penguasaan Belanda juga sangat memprihatinkan.

Universitas Sumatera Utara

Orang Belanda (termasuk orang Eropa lainnya) sebagai kelas tertinggi,
memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Pembangunan seperti di bidang
pendidikan, tempat rekreasi, perumahan, bioskop, dan fasilitas penting lainnya
adalah untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan orang-orang Eropa.
Hanya orang kulit putih atau yang dipersamakan yang boleh memasuki fasilitas
penting tersebut, sedangkan Bumiputera adakalanya dilarang masuk karena ada
tanda-tanda tertentu bertulisan larangan, seperti: “Verboden toegang voor
Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk orang bumiputera dan anjing” (Saleh,
1981-1982:37).
Perlakuan diskriminasi sebenarnya tidak hanya dikenakan antara golongan
pribumi dengan orang Eropa atau Timur Asing, melainkan juga antara golongan
pribumi muslim dengan pribumi penganut agama Kristen. Pada tahun 1920-an,
guru-guru agama, guru-guru sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid
dikenakan kewajiban oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan
Ordonnantie Heeren Dienst yang menyangkut erakan atau kerja rodi, sedangkan
guru-guru agama Kristen, Penyebar Injil, dan Kepala Jemaat, dan Guru-guru
Sekolah Zending justru dibebaskan dari kewajiban itu.
Diskriminasi atau pengklasifikasian status sosial yang terjadi di dalam
masyarakat mengundang pertentangan sosial dan ini menyebabkan seringnya
terjadi penindasan terhadap kaum yang lemah. Diskriminasi dan penindasan
seperti itulah yang pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan pada masyarakat
bumiputera.

Universitas Sumatera Utara

Terhadap pribumi pemerintah Hindia Belanda mengenakan berbagai
pungutan seperti Pajak Pencaharian, Pajak Tanah, Pajak Kepala, Pajak Erakan
(uang kepala), Bea Masuk, Pajak Penyembelihan dan berbagai pungutan resmi
maupun tidak resmi. Selain itu, setiap orang, kecuali golongan pangreh praja,
yang berumur antara 18-45 tahun dapat dikenakan kerja rodi (kerja erakan) yang
sangat memberatkan rakyat yang kesemuanya untuk kepentingan Pemerintah
HindiaBelanda.
Mengenai pajak erakan (uang kepala), misalnya: (1) Tiap 1 orang petani
yang punya 1 bidang sawah dan 1 bidang ladang dalam setahun harus bayar pajak
sawah-ladangnya, walaupun hasilnya sangat kurang. Sawah dikenakan wajib
pungut sebesar “tujuh puluh lima sen” (f 0,75), dan pajak ladang wajib bayar
“lima puluh sen” (f. 0,50); (2) Tiap 1 orang berusia lanjut 50 s.d. 55 tahun harus
bayar wajib pajak kepala per tahun “lima puluh sen” (f. 0,50). Tiap 1 orang
dewasa (kawin/belum) umur 18 tahun ke atas harus bayar wajib pajak seperti
tersebut di atas. Meski umur muda akan tetapi jika akan melaksanakan
perkawinan, dia wajib kena pungut pajak kepala(Wajidi,2008:18).
Kondisi sosial ekonomi yang berkaitan dengan rodi dan berbagai pajak
dan pungutan, dampak depresi ekonomi dunia saat itu, dan ditambah dengan
pendidikan yang kurang maju menjadi dominan sifatnya antara tahun 1900 –1928
di Kalimantan Selatan. Kondisi demikian mengakibatkan keresahan yang
bermuara kepada munculnya pemberontakan Guru Sanusi 1914-1918 dan
pemberontakan

Gusti

Darmawi

tahun

1927.

Keadaan

itu

pula

yang

mengakibatkan banyak penduduk khususnya dari Hulu Sungai yang melakukan

Universitas Sumatera Utara

eksodus ke pesisir Timur Sumatera seperti Kuala Tungkal, Sapat, Tembilahan.
Sampai tahun 1950 jumlah penduduk suku Banjar di daerah Sapat dan
Tembilahan mencapai 250.000 orang (Saleh et al,1978/1979: 51).
Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pamadaman yang cukup
besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ahmad Fauzi (2010:2) diperkirakan
orang Banjar di Sumatera Utara saat ini berjumlah lebih kurang 180.000 orang
dengan perincian kab. Langkat 70.000 orang, Deli Serdang 30.000 orang, Serdang
Bedagai 50.000 orang, Asahan 20.000 orang, kabupaten/kota lainnya kurang lebih
10.000 orang.
Informasi lain sebagaimana disebutkan A. Muthalib (2008:26) bahwa
orang Banjar yang telah bermukim di Indragiri Hilir pada tahun 1900 sekitar
seribu jiwa. Lima belas tahun kemudian (1915) jumlah mereka meningkat drastis,
yakni 18.798 jiwa. Pada akhir perang Dunia I atau dekade kedua abad ke-20,
jumlah mereka diperkirakan 20 ribu jiwa. Selain ke pesisir Sumatera, puluhan ribu
penduduk Hulu Sungai juga pergi untuk menetap di Melaka (Sjamsuddin, 2001:
9). Mungkin yang dimaksud Sjamsuddin di Malaya, bukan di Melaka. Kalau di
Melaka tidak ada orang Banjar seramai itu, kerana Melaka bukan tumpuan
migrasi orang Banjar.
Menurut Tunku Shamsul Bahrin (1964) sebagaimana dikutip dari
Mohamed Salleh Lamry (2010:4) bahwa berdasarkan sensus penduduk
Semenanjung Malaya tahun 1911, orang Banjar di Malaya pada masa itu
berjumlah 21.227 orang. Umumnya mereka bermukim di Perak, Selangor dan
Johor. Pada tahun 1921 orang Banjar di Malaya meningkat hampir 80% menjadi

Universitas Sumatera Utara

37.484 orang. Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk Banjar di Malaya
bertambah 7.503 orang menjadi 45.351 orang. Perak, Johor dan Selangor masih
merupakan negeri di mana jumlah orang Banjar paling ramai. Dalam tiga negeri
inilah tinggal 96% orang Banjar di Malaya.
Proses migrasi orang Banjar memang sudah terjadi pada abad ke-18 ketika
Belanda melakukan campur tangan dalam perebutan tahta antara Pangeran Nata
dan Pangeran Amir yang berujung kepada kekalahan Pangeran Amir dan akhirnya
dibuang ke Ceylon (Sri Langka). Untuk menghindari dari penangkapan dan
hukuman dari pihak kolonial Belanda, maka pengikut Pangeran Amir melakukan
eksodus ke berbagai tempat yang dirasa aman. Migrasi orang Banjar keluar Kalsel
semakin banyak ketika terjadinya Perang Banjar yang berlangsung selama lebih
dari 40 tahun (1859-1906). Dan migrasi itu mencapai puncaknya pada dekadedekade pertama abad ke-20, disaat Pemerintah Hindia Belanda telah semakin
intens menancapkan kekuasaan dan menjalankan pemerintahan kolonial yang
diskriminatif dan menindas kaum pribumi.
Migrasi orang Banjar ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara juga
didukung oleh kemampuan orang Banjar dalam memiliki dan menguasai
teknologi pembuatan perahu (jukung) dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan
baik untuk sungai, pantai dan lautan. Kemampuan itu dengan sendirinya
menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar baik sebagai pelaut, nelayan,
dan pedagang antar pulau (interensuler). Tak mengherankan jika pada masa
Kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjar, jung-jung yang

Universitas Sumatera Utara

dibawa pedagang Banjar banyak berlabuh di berbagai bandar di pantai utara pulau
Jawa.
Ketika Islam berkembang pesat di Kesultanan Banjar yang mengharuskan
penganutnya untuk melakukan perjalanan haji ke Mekkah bagi yang mampu,
maka kemampuan orang Banjar berlayar mengarungi samudera semakin terasah.
Adalah hal biasa jika orang Banjar melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah
dengan menaiki kapal layar sendiri pulang pergi selama setahun lamanya.
Kemampuan memiliki, menguasai teknologi perkapalan dan adanya tradisi
berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional itulah yang
menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi, berlayar dari satu pulau ke
pulau lain dan menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman untuk mencari tempat
bermukim. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menumpang kapal
uap milik maskapai Belanda yang hanya merapat di Bandar besar saja.
Putusnya komunikasi antara orang Banjar banua dengan perantauan
barangkali disebabkan karena semakin berkurangnya armada perahu-perahu
tradisional Banjar yang melayari lautan karena semua kegiatan perdagangan
diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda, seiring dengan berhentinya perlawanan
orang Banjar di awal abad ke-20 dan monopoli perdagangan Cina. Berbagai upaya
untuk melawan pengaturan Belanda itu dan monopoli pedagang Cina, seperti yang
dilakukan organisasasi Sarekat Islam cabang Banjarmasin dengan mendirikan
Sarekat Pelayaran sebagai upaya untuk memperlancar transportasi sungai yang
merupakan jalur perdagangan penting di Kalimantan Selatan, namun agaknya
usaha-usaha itu tidak mampu melawan monopoli perdagangan yang telah lama

Universitas Sumatera Utara

dikuasai orang-orang Cina yang telah lama mendapat perlakuan istimewa yang
diterimanya dari pemerintah, di samping eksploitasi pemerintah kolonial sendiri
di bidang ekonomi (Wajidi, 2007: 123).
Dengan semakin sedikitnya perahu-perahu Banjar yang melayari lautan,
maka semakin jarang orang Banjar di perantauan atau sebaliknya untuk saling
berkunjung. Akibatnya untuk waktu sekarang masing-masing pihak mengalami
kesulitan untuk menelusuri kembali sanak keluarga keluarganya. Sebagian dari
mereka ada yang masih bisa menjalin komunikasi dengan kerabatnya di Kalsel,
karena kerabatnya di banua masih dikenali. Namun tidak sedikit pula yang putus
sama sekali karena yang mereka ketahui hanyalah padatuan mereka berasal dari
Kalsel (seperti dari Barabai, Kandangan, Alabio, Nagara, Amuntai, Kelua),
namun dimana atau di kampung apa padatuan mereka dahulunya berada mereka
tidak mengetahuinya.
Suku Banjar yang datang ke Sumatera pada umumnya adalah orang-orang
daerah Alai (Kabupaten Hulu Sungai Tengah) dan orang-orang Kalua (Kabupaten
Tabalong) serta orang-orang Hulu Sungai Utara. Kepergian mereka ke Sumatera
dan Malaysia disebabkan daerah mereka yang kurang produktif untuk pertanian
karena sebagian besar rawa-rawa dan hutan. Mereka melakukan migran dengan
menumpang kapal Belanda melalui Singapura, dan dari Singapura tujuan mereka
terbagi kepada tiga tempat ke daerah Kuala Tungkal dan Tembilahan, sebagian ke
Malaka (Malaysia) dan sebagian lagi ke Deli (Sumatera Timur), karena didaerahdaerah tersebut telah ada saudara-saudara mereka bermukim, ini terjadi pada awal
tahun 1900.

Universitas Sumatera Utara

Di daerah Sumatera Timur ini suku Banjar mendapatkan daerah pertanian
yang relatif lebih subur di pesisir pantai Kabupaten Asahan, Serdang Bedagai,
Deli Serdang, dan Langkat tepatnya di Tanjung Ibus, Sungai Ular, Desa Kedbun
Kelapa, Hamparan Perak, Pantai Cermin, dan Pantai Labu. Mereka mengolah
persawahan untuk ditanami padi, berkebun kelapa dan lain-lain dengan membuka
hutan-hutan disekitar daerah tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang bekerja
di perkebunan-perkebunan yang dibuka pemerintah Belanda menjadi tukangtukang pembuat bangsal (tempat pengasapan tembakau) sebagian lagi menjadi
mandor-mandor perkebunan dan buruh-buruh non kontrak. Kedatangan
masyarakat/orang Banjar pada periode tahun 1900 ini merupakan migran spontan
setelah mendapat informasi dari saudara-saudara mereka yang datang pada
periode pertama dan kedua, bahwa di Deli banyak lapangan untuk mencari nafkah.
Menurut cerita, sekelompok Suku Banjar yang datang dari Kalimantan
melapor kepada Sultan Langkat, dan Sultan Langkat memberi mereka pemukiman
di sekitar kecamatan Secanggang, hingga sekarang di desa kecamatan Secanggang
Kabupaten Langkat banyak bermukim suku Banjar. Diterimanya orang Banjar
secara resmi oleh Sultan Langkat karena faktor kesamaan agama, dan orang
Banjar

terkenal

sebagai

penganut

islam

yang

taat

dan

fanatik

(https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2010/12/01/asal-usul-etnis-banjar/)

2.2.2

Keberadaan orang banjar di Sumatera Timur

Universitas Sumatera Utara

Ketika orang Banjar meninggalkan kampung halamannya, mereka
merupakan pengamal ajaran agama Islam yang taat, karena Kerajaan Banjar
merupakan kerajaan Islam yang menerapkan syariat Islam kepada rakyatnya.
Suku Banjar berprinsip, madam itu untuk mendapatkan ketenangan hidup
lahir dan bathin. Mereka bertekad untuk hidup bersama dirantau dengan baik,
yang didasari oleh kekuatan iman dan Islam. Prinsip keimanan Suku Banjar
tersirat dalam sebuah filsafat : “ WAJA SAMPAI KAPUTING” yang artinya
Ibarat Sebatang Besi, dari pangkal sampai pucuk seluruhnya bagaikan Baja, yaitu
prinsip hidup yang istiqomah, selagi hayat dikandung badan, dari lahir sampai
meninggal dunia. Suku Banjar berprinsip bahwa alam yang terbentang luas ini
merupakan ciptaan Allah untuk seluruh manusia, karenanya dimanapun kita
berada, daerah tersebut merupakan milik bersama, harus dijadikan tempat tinggal
yang aman dan nyaman (Fauzi,2006: 70).
Keberadaan Suku Banjar dalam kehidupan di tanah Deli dapat
diidentifikasi dalam beberapa hal, diantaranya :
1. Dalam bidang kemasyarakatan dan pemerintahan
Sejak zaman Kesultanan, masa merebut kemerdekaan, mempertahankan
kemerdekaan sampai sekarang Suku Banjar tetap aktif dalam setiap aspek
perjuangan dan pembangunan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya
tokoh-tokoh Banjar berperan dalam masyarakat, dalam jabatan-jabatan
formal dipemerintahan maupun non-formal dalam masyarakat di Tanah
Deli.
2. Dalam bidang kegamaan

Universitas Sumatera Utara

Dalam bidang ini banyak orang Banjar yang menjadi tokoh-tokoh
masyarakat, guru-guru agama, Kepala-kepala KUA. Menurut pengamatan
di Kabupaten Langkat hampir semua desa ada orang Banjar yang menjadi
guru agama, termasuk di perkebunan-perkebunan. Oleh karena itu tidak
berlebihan bila dikatakan orang Banjar di Deli adalah orang-orang Islam
yang taat melaksanakan ajaran agama dan suku Banjar adalah gudangnya
guru agama.
3. Dalam bidang pendidikan
Di bidang pendidikan suku Banjar sudah mulai mengikuti perkembangan,
jika dahulu orang Banjar hanya mau menyekolahkan anak-anaknya ke
sekolah agama saja, sekarang diantara anak-anak Banjar sudah banyak
yang menuntut ilmu di sekolah umum dan kejuruan bahkan sudah banyak
yang menjadi Tentara dan Polri. Tetapi masih ada Suku Banjar yang
bersifat egois dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemajuan anakanak mereka, salah satu contoh dalam bidang pendidikan banyak orang
banjar yang tidak mau mengeluarkan dana untuk membiayai pendidikan
anak-anaknya sehingga sangat sedikit putra-putri Banjar yang melanjutkan
pendidikan keperguruan tinggi.
Penduduk yang mendiami di seluruh tanah borneo adalah melayu,di
kategorikan sebagai melayu tua (proto malay) ataupun melayu muda ( deutro
malay) yang memiliki asal usul yang sama termasuk perkembangan bahasa yang
dimiliki. Oleh perkembangan waktu dan zaman manusia yang mendiami kantongkantong wilayah diberbagai penjuru borneo mengembangkan peradaban dan

Universitas Sumatera Utara

kebudayaaannya sendiri baik dikarenakan factor akulturasi sehingga pada
akhirnya melahirkan entitas – entitas baru yang merujuk identitas itu berdasarkan
pada kewilayahan dan bahasa pergaulan sehingga menjadikan penduduk melayu
borneo itu berumpun – rumpun bangsa yang beragam. Hal ini lah yang terjadi
padabangsa banjar yang mendeklarasikan sebagai melayu – islam di abad 14
lewat momentum kebagkitan kesultanan banjar di selatan borneo dari sekumpulan
peduduk asli yang mengikrarkan diri secara politik dan cultural menjadi bangsa
dengan sebutan baru

yaitu

bangsa

banjar. Melayu di

tanah

borneo

mengembangkan tata adat dan budayanya sendiri yang menjunjung tinggi nilai –
nilai islam sebagai sendi utamanya. Kerajaan- kerajaan di borneo rata-rata
berbasis melayu – islam sebagai pijakan dasar / falsafah kerajaaan /kesultanan
yang menghasilkan peradaban masyarakat melayu dengan ke khasannya tersendiri
di kawasan tanah borneo. Jadi dalam konteks membangun peradaba adat melayu
tidaklah bisa dipisahkan dengan nilai- nilai agama yang memang dalam
sejarahnya sudah bersenyawa hingga menjadi tatanan peradaba adat melayu di
tanah borneo .
Ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran
tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikalbakal nenekmoyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu,
yang sekitar lebih dari seributahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke
kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya.
Peristiwa perpindahan besar-besaran suku bangsa Melayu ini, yang
belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi

Universitas Sumatera Utara

pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya.Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa
Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satugelombang sekaligus.
Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini
mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu
gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang
datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang
belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari
cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial
dalam masyarakat Banjar. Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah
Melayu, maka berkembang pula asumsi selanjutnya, yakni agama mayoritas
mereka adalah Islam. Menurut Alfani Daud lagi, karena Melayu adalah Islam.
Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi identitas urang Banjar sejak
berabad-abad. Bahkan, kasus-kasus orang-orang Dayak memeluk agama Islam
dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”. Memeluk Islam merupakan
kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di
kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri).
Dalam perkembangan tersebut, tentunya, terjadi apa yang disebut oleh
para ahli sebagai akulturasi budaya antara Islam dengan masyarakat Banjar. Itulah
sebabnya kirakira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan
dengan Islam, namun dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang
terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah seluruhnya dapat dicari referensinya
dalam ajaran Islam.

Universitas Sumatera Utara

Koentjaraningrat (1996: 155): Akulturasi adalah suatu proses social yang
timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsure-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian
rupa, sehingga unsure-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah
ki dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri.
Akulturasi dalam adat Perkawinan masyarakat banjar di Langkat, ada
perpaduan kebudayaan

dengan melayu, hal ini bisa dilihat dengan prosesi

acaranya.

melayu

Masyarakat

di

Langkat

dalam

upacara

perkawinan

menggunakan upacara “Tepung Tawar” yang merupakan kebudayaan melayu.
Untuk menepung tawari dibutuhkan ramuan penabur yakni bahan-bahan tepung
tawar diletakkan di atas pahar (dulang tinggi) dan tempat terpisah-pisah seperti
beras putih, beras kuning, bertih (padi digoreng), bunga rampai, dan tepung beras.
Semua sajian ini mempunyai makna yakni beras putih berarti lambang
kesuburan,beras kuning berarti suatu kemajuan yang baik,bunga rampai bermakna
keharuman

nama

dan

tepung

beras

memiliki

arti

kebersihan

hati.

Ramuan perincis untuk tepung tawar terdiri dari semangkuk air, segenggam beras
putih dicampur jeruk purut (limau mungkur) diiris-iris. Juga satu ikat bahan
tepung tawar terdiri dari 7 macam bahan yakni: daun kalinjuhang (lambang tenaga
magis kekuatan ghaib), daun pepulut atau pulutan (lambang kekekalan sesuai
sifatnya yang lengket),daun ganada rusa (lambang perisai gangguan alam), daun
jejeruan (lambang kelanjutan hidup sebab sukar dicabut), daun sepenuh(lambang
rezeki), daun sedingin (lambang menyejukkan, ketenangan, kesehatan), rumput

Universitas Sumatera Utara

sambau dan akarnya (lambang pertahanan karena akarnya sukar dicabut). Orang
yang hendak ditepungtawari biasanya didudukkan pada tempat khusus semacam
peteraana. Di atas kedua pahanya diletakkan kain panjang untuk menjaga
kemungkinan tidak kotor atau basah oleh air tepung tawar. Lalu, si penepung
tawar mengambil sedikit-sedikit bahan-bahan tepung tawar.
Selain Tepung Tawar masyarakat melayu tersebut menggunakan “BaleBale “,. Balai dinamakan juga pulut balai bagi masyarakat Melayu sangat penting.
Keberadaannya dalam setiap upacara adat tidak bisa ditinggalkan dan menjadi
kehormatan dan kebanggaan bagi yang menerima atau memberi balai. Balai
dibuat dari kayu berkaki empat dan tingkatnya ada yang 3 atau 7 dan setiap
tingkat berisi pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan. Pada
tingkat paling atas dari balai biasanya diletakkan panggang ayam sebagai lambang
pengorbanan atau pun inti (kelapa parut dimasak dengan gula aren).
Setiap tingkat dari balai tersebut diletakkan telur dibungkus kertas minyak yang
sudah dihias dan bertangkai lidi, kemudian dipacakkan ke pulut balai. Setelah itu
balai diletakkan di tengah-tengah majelis sehingga memperindah pemandangan.
Biasanya jika acara seremonial seperti perkawinan, bunga telur dibagi-bagi
kepada undang yang hadir, bisanya peserta marhaban jika acara itu memanggil
kelompok marhaban.
Tepung tawar biasanya dikombinasikan dengan kegiatan upah-upah.
Meski begitu pada dasarnya kedua ritual adat ini berbeda sama sekali. Upah-Upah,
dilakukan untuk suatu kebanggaan, menjemput semangat, memberi motivasi.
Upah-Upah biasanya dilakukan dengan menggunakan Pulut Bale, merupakan

Universitas Sumatera Utara

suatu tempat yang terbuat dari kayu memiliki kaki 4 buah dan tempat yang
bertingkat-tingkat. di dalamnya ada pulut yang diberi kunyit sehingga berwarna
kuning, di atasnya ada ikan bakar/ayam bakar, pada pulut ditancapkan Merawal
(bendera kertas) dan digantung telur ayam. Dipuncaknya ditancapkan Kepala
Balai. Bale tadi diangkat dan diputarkan di atas kepala orang yang diupah-upah.
Menyampaikan kata-kata upah-upah dan diakhiri dengan menyarungkan kain
sarung.
Meskipun mengadopsi upacara dari kebudayaan melayu masyarakat
Banjar tidak menghilangkan kebudayaan mereka sendiri yakni dalam prosesi
acara pernikahan masih menggunakan upacara Siraman, Pecah Telur dan lainnya.
Demikian juga dengan penggunaan bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh
bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa Dayak. Bahasa Banjar mempunyai hubungan
dengan bahasa Kedayan (Brunei) yang terpisahkan selama 400 tahun dan sering
pula disebut Bahasa Melayu Banjar. Dalam perkembangannya, bahasa Banjar
ditengarai mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa Indonesia dan bahasa
asing. Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan karena
masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh
pendatang.
Orang melayu Langkat memilik rumah tradisional dengan bentuk khas
melayu. Di bangun dengan bentuk rumah panggung, biasanya dibuat dari bahan
kayu hitam. Pintu masuk biasanya berada disamping rumah, dengan sebuah
tangga, tapi saat ini sudah ada yang menempatkan pintu masuk dan dengan
sebuah tangga di depan rumah. Rumah suku melayu memiliki persamaan dengan

Universitas Sumatera Utara

rumah suku Banjar. Rumah yang dijadikan rumah adat Banjar adalah rumah
bubungan tinggi/rumah panggung dan sama-sama memiliki atap dengan daun
nipah yang banyak terdapat di rawa-rawa. Atap daun nipah ini memberi kesejukan
dibawahnya meskipun cuaca sedang sangat terik dan panas.
Untuk mata pencaharian suku Banjar dan melayu di Langkat, memiliki
kesamaan dan beragam profesi, tetapi sebagian besar hidup sebagai petani.
Mereka menanam berbagai jenis tanaman, seperti padi,ubi, jagung, dan berbagai
jenis sayuran dan buah-buahan. Di daerah pesisir biasanya menjadi nelayan. Di
luar itu mereka memilih sebagai pedagang, nelayan, sektor pemerintahan dan
sektor swasta. Di sisi lain beberapa dari mereka menjadi buruh di perkebunan dan
lain-lain.
Sistem ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan terpadu yang
tersusun secara sistematis sehingga membentuk prinsip metode rasional untuk
tujuan tertentu. Ciri khas sistem ilmu pengetahuan banjar dan melayu,
berkembangnya pendidikan tradisional, utamanya pendidikan agama islam yang
dikenal sebagai „pengajian‟. Pelajaran yang di berikan oleh tuan guru dalam
pengajian adalah tauhid, fiqih dan ilmu tasawuf.
Sistem

Pengetahuan

tentang

Pengobatan

Tradisional,

pengobatan

tradisional yang di kenal masyarakat Banjar merupakan pengetahuan yang di
warisi dari orang tua dan ahli pengobatan tradisional yang terdapat di daerah
mereka (deutromalayan.blogspot.com).

Universitas Sumatera Utara

2.3

Sistem Kepercayaan Suku Banjar

2.3.1

Agama pada Suku Banjar
Masukknya agama islam : perang banjar pertama adalah perang antara

pangeran tumenggung dengan keponakannya pangeran samudra. Perang ini
merupakan perselisihan antar elit di kerajaan banjar yang akhirnya menyerat
rakyat dan kerajaaan demak dari pulau jawa pada awal abad 16. Kekuatan besar
pangeran tumenggung bukan tandingan pangeran samudra, tetapi pangeran
samudra meminta batuan kerajaan demak untuk melawannya. Namun kerajaan
demak bersedia membantu pangeran samudra, jika sudah menang mau masuk
islam. Dan ketika perang tersebut berhasil di menangkan oleh pangeran samudra,
ia menepati janjinya dengan masuk agama islamdan mengganti namnya menjadi
sultan suriansyah. Masuknya agama islam dikesultanan banjar tersebut membuat
agama islam berkembang dengan pesat dikalangan rakyat banjar. Peran seorang
ulama yang bernama khatib dayyan dalam perkambangan agama islam cukup
besar di masa sultan suriansyah tersebut. Perkembangan cepat agama islam juga
tidak terlepas dari peran dan dukungan dari sultan suriansyah melalui
kekuasaaanya.
Suku Banjar juga menjadi suku yang mayoritas penduduknya memeluk
Agama Islam. Menurut Alfani Daud dalam Fauzi (2006:13), agama Islam yang
dianut oleh suku Banjar berasal dari agama yang dianut oleh suku Melayu dan
suku Jawa yang datang ke Kalimantan Selatan. Pada waktu itu terjadi perkawinan
campuran antara orang Melayu dan Jawa dengan penduduk sekitarnya, orang
Dayak. Perkawinan campuran ini berlangsung terus-menerus hingga muncul

Universitas Sumatera Utara

Kerajaan Banjar yang beragama Islam. Menurut Anwar (2004: 27), Kerajaan
Banjar yang berpusat di Banjar Masin dan Martapura adalah kerajaan Islam yang
menerapkan hukum Islam. Sejak saat itu, orang Banjar menyatakan diri Islam dan
menerapkan kesenian bercorak Islam dalam kehidupannya, baik di Kalimantan
Selatan maupun di daerah perantauannya.
Masyarakat yang mendiami kab. Langkat pada umumnya menganut agama
Islam yang juga menjadi salah satu ciri dari suku Melayu yaitu Agama Islam.
Menurut Wilkinson dalam Takari dan Dewi (2008: 46), “Seorang Melayu adalah
beragama Islam. Misalnya masuk Melayu berarti masuk Islam.” Ciri kemelayuan
yang identik dengan Islam ini masih dipertahankan hingga sekarang. Oleh karena
itu, Kabupaten Langkat masih dipandang sebagai daerah Melayu karena mayoritas
penduduknya beragama Islam (90%). Penduduk yang lain beragama Kristen
Protestan (7,56%), Kristen Katholik (1,06%), Buddha (0,95%), Hindu (0,09%),
dan lainnya (0,34%).
Di Kabupaten Langkat hampir semua desa ada orang Banjar yang menjadi
guru agama, termasuk diperkebunan-perkebunan. Oleh karena itu tidak berlebihan
bila dikatakan orang Banjar di Deli adalah orang-orang islam yang taat
melaksanakan ajaran agama dan suku Banjar adalah gudangnya guru agama.
Dalam bidang seni baca Al Qur‟an banyak pula putera-puteri Banjar yang menjadi
Qori dan Qoriah, bahkan beberapa putera-puteri Banjar telah dinominasikan
sebagai Qori Nasional karena telah berhasil menjadi MTQ Nasional. Pada saat
musim haji cukup banyak warga Banjar yang berangkat mengerjakan ibadah haji
ke Tanah suci dari Propinsi Sumatera Utara, untuk Kabupaten Langkat tiap

Universitas Sumatera Utara

tahunnya diperkirakan lebih dari 15% dari jemaah hajinya adalah suku banjar.
Aktifitas keagamaan di desa-desa yang penduduknya Suku Banjar dapat pula
dilihat dari banyaknya Masjid-masjid dan Musholla, pengajian-pengajian,
perwiritan-perwiritan dan madrasah-madrasah, juga seni yang bernafaskan Islam.
Di setiap desa minimal terdapat satu buah masjid dan di dusun-dusun terdapat
pula Musholla-musholla, demikian juga hampir setiap desa terdapat Madrasah
baik Diniyah, TPA dan lain-lain. Pengajian perwiritan baik laki-laki maupun
perempuan selalu mewarnai kegiatan keagamaan. Oleh karena itu, kesenian yang
dilestarikan adalah kesenian yang Islami, seperti Madihin dan Barong Banjar.
Madihin adalah syair yang dinyanyikan dengan iringan gendang yang
menceritakan suka dan duka orang Banjar dan dipertunjukkan oleh pamadihin
sewaktu acara perkawinan, terutama keluarga pemuka adat Banjar. Sebaliknya,
Barong Banjar adalah tarian yang dipertunjukkan oleh orang Banjar yang telah
turun temurun mengikuti acara adat Banjar dalam menyambut bulan Muharram
dan perkawinan adat Banjar yang dilaksanakan oleh keluarga raja atau pemuka
adat Banjar.

2.3.2

Kerajaan Banjar dan Hukum Islam
Menurut( Fauzi,2006: 118) dikutip dari buku sejarah Banjar, perang banjar

pertama adalah perang antara pangeran tumenggung dengan keponakannya
pangeran samudra. Perang ini merupakan perselisihan antar elit di kerajaan banjar
yang akhirnya menyerat rakyat dan kerajaaan demak dari pulau jawa pada awal
abad 16. Kekuatan besar pangeran tumenggung bukan tandingan pangeran

Universitas Sumatera Utara

samudra, tetapi pangeran samudra meminta batuan kerajaan demak untuk
melawannya. Namun kerajaan demak bersedia membantu pangeran samudra, jika
sudah

menang mau masuk islam. Dan ketika perang tersebut berhasil di

menangkan oleh pangeran samudra, ia menepati janjinya dengan masuk agama
islamdan mengganti namnya menjadi sultan suriansyah. Masuknya agama islam
dikesultanan banjar tersebut membuat agama islam berkembang dengan pesat
dikalangan rakyat banjar. Peran seorang ulama yang bernama khatib dayyan
dalam perkambangan agama islam cukup besar di masa sultan suriansyah tersebut.
Perkembangan cepat agama islam juga tidak terlepas dari peran dan dukungan
darisultansuriansyahmelaluikekuasaaanya.
Hukum islam bersifat universal bahkan merupakan hukum yang sangat
konstekstual, dimana hukum Islam tidak terikat waktu dan tempat, yaitu dapat
berlaku dimana saja dibelahan bumi ini, kapan saja dan dalam situasi
bagaimanapun karena berdasarkan Al Qur‟an dan sunnah Rasulullah.
Sebelum Kerajaan Banjar terbentuk, Islam telah lama masuk kedaerah ini,
artinya telah terbentuk masyarakat Islam di daerah-daerah Kalimantan Selatan
termasuk disekitar Kerajaan. Oleh karena itu ketika dilaksanakan penerapan
hukum Islam di Kerajaan sebelumnya beragama Hindu, maka tidak menimbulkan
keresahan sosial.
Pada abad 17 dalam penerapan hukum Islam di Kerajaan Banjar ditandai
dengan berkembangnya Ilmu Tasauf, yakni ilmu yang mempelajari Hakikat
Keesaan Allah dalam rangka menjadikan manusia sebagai insan yang paripurna.
Tokoh ulama Banjar yang berpengaruh ketika itu adalah Syekh Ahmad

Universitas Sumatera Utara

Syamsuddin Al Banjari yang menulis buku “ Asal Kejadian Nur Muhammad
“ sebuah kita kajian Tasauf. Sementara kitab fiqih yang dipedomani masyarakat
pada waktu itu adalah kitab Shirathol Mustaqim karangan ulama besar dari Aceh
Nuruddin Ar Raniri. Karena banyak yang memakai bahasa Aceh, orang Banjar
kurang mengerti tetapi ini menandakan bahwa hubungan Kerajaan Banjar dengan
Kerajaan Aceh sudah cukup baik.
Pada abad 18 dan 19 perkembangan hukum Islam sangat pesat karena
peran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang mampu mengintensifkan
dakwah dan membina kader-kader ulama. Dakwah yang dilaksanakan Syekh
Muhammad Arsyad tidak hanya melalui lisan, tetapi juga dakwah bil hal dan
dakwah bil kitab. Beberapa kitab beliau dalam bidang fiqih ditulis dalam bahasa
Melayu dan Banjar. Tulisan-tulisan beliau yang terkenal diantaranya Kitab
Parukunan Besar, Fathul Jawad, Luatalul Ajlam, Kitabun Nikah, Kitab Faraid,
dan yang paling populer sampai saat ini adalah Kitab Sabilal Muhtadin. Kitabkitab tersebut telah disinggung dalam riwayat singkat Syekh Muhammad Arsyad
Al Banjari.
Pengaruh lebih jauh dari pemikiran Syekh Muhammad Arsyad dalam
penerapan hukum Islam tidak saja dalam mempelopori pembentukan lembaga
Mufti dan Qadhi sebagai lembaga peradilan hukum Islam, tetapi juga ketika
Sultan Adam Wasik Billah yang merupakan murid Syekh Muhammad Arsyad
menetapkan suatu ketentuan hukum yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan
adam. Kemudian Undang-Undang Sultan Adam menjadi hukum tertulis dalam
penerapan hukum Islam di Kerajaan Banjar. Pasal-pasal dalam Undang-Undang

Universitas Sumatera Utara

Sultan Adam benar-benar memberi nuansa demokratis berdasarkan Al-Qur‟an dan
Sunnah Rasulullah, apakah dalam masalah tanah, jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain. Misalnya tanah baik yang subur maupun yang tidak subur dikuasai oleh
Kerajaan, tetapi siapapun yang menggarap tidak boleh ada orang yang
melarangnya kecuali ada bukti tanah tersebut sedang digarap, dan siapa saja yang
menggarap ialah yang memilikinya.
Sultan Adam memerintah Kerajaan Banjar tahun 1825-1857, beliau
merupakan seorang Sultan yang sangat taat dan keras dalam menjalankan hukum
Islam, dan termasuk seorang Sultan yang sangat serius memperhatikan
perkembangan Islam. Ketika masih muda Sultan Adam banyak belajar kepada
anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Mufti Haji Jamaluddin.
Menurut sejarah, naskah asli Undang-Undang Sultan Adam ditulis dengan
tulisan tangan dengan huruf Arab Melayu, dan oleh para peneliti sejarah naskah
ditulis dengan huruf latin bahasa Melayu Banjar dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Belanda tahun 1917.

2.4

Kebudayaan Dalam Suku Banjar

2.4.1 Kesenian yang berkembang di Kalimantan Selatan dan Sumatera
Utara
Pada dasarnya seni merupakan budaya yang secara universal berkembang
di hampir semua suku bangsa di dunia ini. Demikian juga dengan suku Banjar
yang mendiami negeri leluhurnya Kalimantan Selatan berkembang beberapa

Universitas Sumatera Utara

kesenian. Beberapa kreasi-kreasi seni yang masih ada di Kalimantan Selatan
diantaranya :
1. Bakisah, yaitu seni tutur tanpa tabuhan (musik). Seora