Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan di PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara Tahun 2016

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Robbins (2006) kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap

pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan
yang diterima dan jumlah yang diyakini seharusnya mereka terima.
Menurut Handoko (2008) kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para
karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan
seseorang terhadap pekerjaannya. Gibson dalam Wibowo (2007) menyatakan
kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan mereka. Hal
tersebut merupakan persepsi mereka tentang pekerjaan mereka.
Menurut Hariandja (2007) kepuasan kerja merupakan salah satu elemen
yang cukup penting dalam organisasi. Hal ini disebabkan kepuasan kerja dapat
mempengaruhi perilaku kerja seperti malas, rajin, produktif dan lain-lain, atau
mempunyai hubungan dengan beberapa jenis perilaku yang sangat penting dalam

organisasi.
Menurut Luthans (2006) kepuasan kerja adalah keadaan emosi senang atau
emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman seseorang.
Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik
pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting.
Menurut Hasibuan (2013) kepuasan kerja adalah sikap emosional yang
menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral

8

Universitas Sumatera Utara

9

kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan,
luar pekerjaan dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan.
2.1.1

Teori Kepuasan Kerja
Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat


sebagian orang lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada beberapa lainnya.
Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan
kerja. Teori tentang kepuasan kerja menurut Rivai (2009) adalah:
1. Teori ketidaksesuaian (discrepancy theory)
Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih
antara susuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga
apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang
akan menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat ketidaksesuaian, tetapi
merupakan ketidaksesuaian yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung
pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang
dicapai.
2. Teori keadilan (equity theory)
Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas,
tergantung pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatu situasi, khususnya
situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah
input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi
karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan,
pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang
dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu


Universitas Sumatera Utara

10

yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari
pekerjaannya, seperti: upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status,
penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Menurut
teori ini setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya
dengan rasio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup
adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang
tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, bisa pula tidak. Tetapi
bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidakpuasan.
3. Teori dua faktor (two factor theory)
Kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda.
Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber
kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh tantangan,
ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan dan
promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun

tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan.
b. Dissatisfies (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber
ketidakpuasan,

yang

terdiri

dari:

gaji/upah,

pengawasan,

hubungan

antarpribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi
dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor
ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum

terpuaskan.

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.2

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2007) berpendapat bahwa ada lima

faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu:
1. Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment)
Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan terhadap
karakteristik pekerjaan memungkinkan kesempatan pada individu untuk
memenuhi kebutuhannya.
2. Ketidaksesuaian (Discrepancies)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan adalah suatu hasil dari memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan dan diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar

daripada apa yang diterima, pekerja akan merasa tidak puas. Sebaliknya
diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas
harapan.
3. Pencapaian Nilai (Value Attainment)
Gagasan yang menjadi landasan pencapaian nilai adalah kepuasan merupakan
hasil dari persepsi bahwa pekerjaan memberikan pemenuhan nilai-nilai kerja
individual yang penting.
4. Keadilan (Equity)
Dalam model ini, kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu
diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi
seseorang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih

Universitas Sumatera Utara

12

menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan
masukan pekerjaan lainnya.
5. Komponen Genetik (Genetic Components)
Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian

merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Karenanya dapat terjadi
beberapa rekan kerja tampak puas dengan berbagai variasi situasi kerja,
sedangkan yang lainnya kelihatan tidak puas.
2.1.3

Respon terhadap ketidakpuasan
Dalam suatu perusahaan di mana sebagian besar karyawannya

memperoleh kepuasan kerja, tidak menutup kemungkinan ada pekerja yang
merasakan ketidakpuasan. Robbins dan Judge (2014) berpendapat karyawan
merespon ketidakpuasannya dengan beberapa cara, yaitu:
1. Keluar (Exit): ketidakpuasan yang diungkapkan lewat perilaku yang diarahkan
untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian suatu posisi baru
maupun meminta berhenti.
2. Aspirasi (Voice): ketidakpuasan yang diungkapkan dengan usaha aktif dan
konstruktif untuk memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan,
membahan problem-problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan
serikat buruh.
3. Kesetiaan (Loyalty): Ketidakpuasan yang diungkapkan secara pasif menunggu
membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi

kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan
hal yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

13

4. Pengabaian (Neglect): ketidakpuasan yang dinyatakan dengan membiarkan
kondisi memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara
kronis, upaya yang dikurangi dan tingkat kekeliruan yang meningkat.
2.1.4

Indikator Kepuasan Kerja
Menurut Luthans (2006) indikator-indikator yang mempengaruhi kepuasan

kerja berkaitan dengan beberapa aspek, yaitu:
1. Pekerjaan itu sendiri
Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan.
Karyawan cenderung menjadi puas apabila perusahaan memberikan kepada
mereka kesempatan untuk berkreativitas. Selain kreativitas, pekerjaan yang

menarik dan menantang juga merupakan unsur penting dalam kepuasan kerja.
2. Gaji
Gaji tidak hanya membantu karyawan memperoleh kebutuhan dasar, tetapi
juga alat untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat yang lebih
tinggi. Karyawan melihat gaji sebagai refleksi dari bagaimana manajemen
memandang kontribusi mereka terhadap karyawan. Oleh karena itu, ketika
individu mempersepsikan bahwa kebijakan sistem imbalan dilakukan secara
adil, maka mereka akan mempunyai kecenderungan untuk merasa puas
dengan pekerjaan.
3. Promosi
Kesempatan promosi memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja
dikarenakan promosi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda dan memiliki
berbagai imbalan. Kesempatan tersebut bisa timbul atas beberapa dasar

Universitas Sumatera Utara

14

diantaranya atas dasar senioritas dan atas dasar kinerja. Karyawan yang
dipromosikan atas dasar senioritas sering mengalami kepuasan kerja tetapi

tidak sebanyak karyawan yang dipromosikan atas dasar kinerja.
4. Pengawasan
Pengawasan (supervisi) merupakan sumber penting lain dari kepuasan kerja.
Jika penyelia tidak bekerja dengan baik, maka akan berpengaruh terhadap
ketidakpuasan. Penelitian menemukan bahwa salah satu alasan karyawan
keluar dari perusahaan adalah karena penyelia tidak peduli terhadap mereka.
5. Kelompok kerja
Pada umumnya rekan kerja atau anggota tim yg kooperatif merupakan sumber
kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu.
Dukungan, motivasi, perhatian dan tingkat pemahaman ditunjukkan sabagai
suatu proses positif dari sebuah interaksi antar sesama pegawai dalam
organisasi
6. Kondisi Kerja
Jika kondisi kerja mendukung (lingkungan sekitar bersih dan menarik
misalnya) maka pegawai akan lebih bersemangat mengerjakan pekerjaan
mereka, namun bila kondisi kerja tidak mendukung (lingkungan sekitar panas
dan berisik misalnya) pegawai akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan
mereka.
2.1.5


Pengukuran Kepuasan Kerja
Menurut

Mangkunegara (2011)

mengukur

kepuasan

kerja

dapat

menggunakan cara berikut:

Universitas Sumatera Utara

15

1. Pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan
Skala pengukuran ini dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hulin pada
tahun 1969. Dalam penggunaannya, pegawai ditanya mengenai pekerjaan
maupun jabatannya yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk, dalam skala
mengukur sikap dari lima area, yaitu kerja, pengawasan, upah, promosi dan
rekan kerja. Setiap pertanyaan yang diajukan harus dijawab oleh pegawan
dengan cara menandai jawaban ya, tidak atau tidak ada jawaban.
2. Pengukuran kepuasan kerja dengan berdasarkan ekspresi wajah
Mengukur kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Kunin pada tahun 1955.
Skala ini terdiri dari seri gambar wajah-wajah orang mulai dari sangat
gembira, gembira, netral, cemberut dan sangat cemberut. Pegawai diminta
untuk memilih ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang
dirasakan pada saat itu.
3. Pengukuran kepuasan kerja dengan kuesioner Minnesota
Pengukuran kepuasan kerja ini dikembangan oleh Weiss, Dawis, England dan
Loqfuist pada tahun 1967. Skala ini terdiri dari pekerjaan yang dirasakan
sangat tidak puas, tidak puas, netral, memuaskan dan sangat memuaskan.
Pegawai diminta memilih satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi
pekerjaannya.
Weiss, Dawis, England dan Loqfuist (1967) mengembangkan instrumen
pengukuran kepuasan kerja yang bernama Minnesota Satisfaction Questionnare
(MSQ). MSQ memiliki beberapa versi, yaitu Long-Form 1967 dan 1977 berisi
100 pernyataan, serta Short-Form 1977 berisi 20 pernyataan untuk mengukur

Universitas Sumatera Utara

16

kepuasan kerja karywan terhadap berbagai aspek dari pekerjaan. MSQ mengukur
kepuasan kerja dari 20 item yaitu : Ability Utilization (Pemanfaatan Kemampuan)
,Achievement (Prestasi), Activity (Aktivitas), Advancement (Kemajuan), Authority
(Kewenangan), Company Policies (Kebijakan Perusahaan), Compensation
(Kompensasi), Co-workers (Rekan Kerja), Creativity (Kreatifitas), Independence
(Kebebasan), Security (Keamanan), Social Service (Pelayanan Sosial), Social
Status

(Status

(Pengakuan),

Sosial),

Moral

Responsibility

Relations(Hubungan

dengan

Values

(Nilai-nilai

(Tanggung
Atasan),

Jawab),

Moral),

Recognition

Supervision-Human

Supervision-Technical(Pengawasan

Teknis), Variety (Variasi), Working Conditions(Kondisi Kerja).
2.2

Pengertian Kinerja
Menurut Mangkunegara (2011) kinerja karyawan adalah hasil kerja secara

kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Rivai (2009) kinerja adalah perilaku yang nyata yang ditampilkan
setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan
perannya dalam perusahaan. Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2007)
mengemukakan

bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai

hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan
memberikan kontribusi ekonomi.
Menurut Hasibuan (2006) menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil
kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang di bebankan
kepadanya di dasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu.

Universitas Sumatera Utara

17

Moeheriono (2009) berpendapat pengertian kinerja atau performance merupakan
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau
kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang
dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui
dan diukur jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau
standar keberhasilan.
2.2.1

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Mangkunegara (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

ada dua, yaitu:
1. Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan (ability) karyawan terdiri dari kemampuan
potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, karyawan
yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang
memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan seharihari, maka ia akan lebih mudah mencapai prestasi yang diharapkan. Oleh
karena itu, karyawan perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan
keahliannya.
2. Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap seorang karyawan dalam menghadapi situasi
kerja. Motivasi ini merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang
terarah untuk mencapai tujuan perusahaan.
Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2007) berpendapat, bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

18

a. Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang
dimiliki, motivasi dan komitmen individu.
b. Leadership factor, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan dan
dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
c. Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan
sekerja.
d. System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang
diberikan organisasi/perusahaan.
e. Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat tekanan dan
perubahan lingkungan internal dan eksternal.
2.2.2

Indikator Kinerja Karyawan
Menurut Bernardin dan Russel dalam Sutrisno (2010) mengajukan enam

kinerja primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja, yaitu:
1. Kualitas (Quality)
Merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan
mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
2. Kuantitas (Quantity)
Merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya: jumlah rupiah, jumlah unit dan
jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan.
3. Ketepatan Waktu (Timeliness)
Merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang
dikehendaki, dengan memperhatikan koordinasi output lain serta waktu yang
tersedia untuk kegiatan yang lain.

Universitas Sumatera Utara

19

4. Efektivitas (Cost Efectiveness)
Merupakan tingkat sejauh mana penerapan sumber daya organisasi (manusia,
keuangan, teknologi dan material) dimaksimalkan untuk mencapai hasil
tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit pengguna sumber daya.
5. Kemandirian (Need for Supervision)
Merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan suatu
fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk
mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
6. Komitmen Kerja (Interpersonal Impact)
Merupakan tingkat sejauh mana karyawan memelihara harga diri, nama baik
dan kerja sama di antara rekan kerja dan bawahan.
2.2.3

Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja adalah suatu proses penilaian tentang seberapa baik

pekerja telah melaksanakan tugasnya selama periode waktu tertentu (Wibowo,
2007).
Penilaian kinerja dapat dilakukan oleh siapapun yang mengetahui dengan
baik kinerja dari karyawan secara individual. Penilaiannya menurut Mathis dan
Jackson (2006) adalah sebagai berikut:
1. Supervisor Menilai Bawahan
Penilaian secara tradisional atas karyawan didasarkan pada asumsi bahwa
supervisor langsung adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk
mengevaluasi kinerja karyawan secara realistis dan adil.
2. Karyawan Menilai Atasan

Universitas Sumatera Utara

20

Sejumlah organisasi di masa sekarang meminta para karyawan atau anggota
kelompok untuk memberi nilai pada kinerja supervisor dan manajer.
3. Anggota Tim Menilai Sesamanya
Penggunaan rekan kerja dan anggota tim sebagai penilai adalah jenis penilaian
lainnya yang berpotensi baik untuk membantu ataupun sebaliknya.
4. Karyawan Menilai Diri Sendiri
Menilai diri sendiri dapat diterapkan dalam situasi-situasi tertentu. Sebagai
alat pengembangan diri,hal ini dapat memaksa para karyawan untuk
memikirkan mengenai kekuatan dan kelemahan mereka dan menetapkan
tujuan untuk peningkatan pengembangan diri..
5. Penilai dari Luar
Penilaian juga dapat dilakukan oleh orang-orang (penilai) dari luar yang dapat
diundang untuk melakukan tinjauan kinerja. Salah satu contoh dari penilaian
ini adalah ketika dimana suatu tim peninjau mengevaluasi seorang direktur
perguruan tinggi. Selain itu, pelanggan dan klien dari sebuah organisasi juga
adalah sumber nyata untuk penilaian dari luar.
6. Penilaian dari Multisumber (Umpan Balik 360°)
Popularitas penilaian ini semakin meningkat. Dalam umpan balik dari multi
sumber, manajer tidak lagi menjadi sumber tunggal dari informasi penilaian
kinerja. Berbagai rekan kerja dan pelanggan dapat memberikan umpan balik
mengenai karyawan kepada manajer. Hal ini memungkinkan manajer untuk
mendapatkan masukan dari berbagai sumber. Tetapi, manajer tetap menjadi
titik pusat untuk menerima umpan balik dari awal dan untuk terlibat dalam

Universitas Sumatera Utara

21

tindak lanjut yang diperlukan, bahkan dalam sistem multi sumber. Jadi,
persepsi manajer mengenai kinerja karyawan masih berpengaruh dalam
jalannya proses tersebut.
2.2.4

Jenis-jenis Penilaian Kinerja
Dilihat dari titik acuan penilaiannya, terdapat jenis-jenis penilaian kinerja

yang saling berbeda menurut Gomes (2003), yaitu:
1.

Penilaian Kinerja Berdasarkan Hasil (Result-based Performance Appraisal)
Jenis ini merumuskan kinerja pekerjaan berdasarkan pencapaian tujuan
organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir (end result). Sasaran kinerja bisa
ditetapkan oleh manajemen atau oleh kelompok kerja. Tetapi jika
menginginkan agar para pekerja meningkatkan produkivitas mereka, maka
penetapan sasaran secara partisipatif, dengan melibatkan para pekerja, akan
jauh berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas organisasi. Para
pekerja akan cenderung menerima tujuan-tujuan itu sebagai tujuan mereka
sendiri, dan merasa lebih bertanggungjawab selama pelaksanaan pencapaian
tujuan-tujuan itu.

2.

Penilaian Kinerja Berdasarkan Perilaku (Behavior-based Performance
Appraisal)
Jenis penilaian kinerja ini mengukur sarana (means) pencapaian sasaran
(goals) dan bukannya hasil akhir (end results). Dalam praktek, kebanyakan
pekerjaan tidak memungkinkan diberlakukannya ukuran-ukuran performansi
yang berdasarkan pada obyektivitas, karena melibatkan aspek-aspek
kualitatif. Jenis ini biasanya dikenal dengan BARS (Behaviorally Anchored

Universitas Sumatera Utara

22

Rating Scales) dibuat dari critical incidents yang terkait dengan berbagai
dimensi kinerja. BARS menganggap bahwa para pekerja bisa memberikan
uraian yang tepat mengenai perilaku yang efektif dan tidak efektif. Standarstandar dimunculkan dari diskusi-diskusi kelompok mengenai kejadiankejadian kritis ditempat kerja. Sesudah serangkaian diskusi, skala dibangun
bagi setiap dimensi pekerjaan. Jika tercapai tingkat persetujuan yang tinggi
di antara para penilai, maka BARS diharapkan mampu mengukur secara
tepat mengenai apa yang akan diukur.
3.

Penilaian Kinerja Berdasarkan Judgment (Judgment-based Performance
Appraisal)
Jenis ini merupakan penilaian kinerja yang menilai berdasarkan deskripsi
perilaku yang spesifik,seperti: quantity of work, quality of work, job
knowledge, cooperation, initiative, interpersonal competence, loyality dan
yang sejenis lainnya. Jenis penilaian ini sering disebut sebagai metode
tradisional karena telah lama dipakai dalam banyak organisasi, baik di sektor
publik maupun swasta. Ada dua tipe penilaian yang didasarkan pada
judgment ini, yaitu:
a. Rating Method
Metode ini yang paling tua dan merupakan penilaian kinerja yang secara
luas dipakai. Metode ini melibatkan sejumlah perilaku yang terkait dengan
pekerjaan dan diminta untuk menjawab dimensi-dimensi perilaku itu pada
beberapa skala nilai yang mencakup sangat bagus atau sangat diinginkan,
hingga ke sangat jelek atau sangat tidak diinginkan.

Universitas Sumatera Utara

23

b. Ranking Method
Pada metode ini, penilai mengurutkan mereka yang dinilai pada satu atau
beberapa dimensi kinerja. Semua pekerja diurutkan dari yang paling baik
hingga ke yang paling jelek.
2.2.5

Manfaat Penilaian Kinerja
Rivai (2009) mengungkapkan adanya kegunaan penilaian kinerja, yaitu:

1. Posisi tawar, untuk memungkinkan manajemen melakukan negosiasi yang
objektif dan rasional dengan serikat buruh (kalau ada) atau langsung dengan
karyawan.
2. Perbaikan kinerja, umpan balik pelaksanaan kerja yang bermanfaat bagi
karyawan, manajer, dan spesialis personil dalam bentuk kegiatan untuk
meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan.
3. Penyesuaian kompensasi, penilaian kinerja membantu pengambil keputusan
dalam penyesuian ganti-rugi, menentukan siapa yang perlu dinaikkan
upahnya-bonus atau kompensasi lainnya. Banyak perusahaan mengabulkan
sebagian atau semua dari bonus dan peningkatan upah mereka atas dasar
penilaian kinerja.
4. Keputusan penempatan, membantu dalam promosi, keputusan penempatan,
perpindahan dan penurunan pangkat pada umumnya didasarkan pada masa
lampau atau mengantisipasi kinerja. Sering promosi adalah penghargaan untuk
kinerja yang lalu.

Universitas Sumatera Utara

24

5. Pelatihan dan pengembangan, kinerja buruk mengindikasikan adanya suatu
kebutuhan untuk latihan. Demikian juga, kinerja baik dapat mencerminkan
adanya potensi yang belum digunakan dan harus dikembangkan.
6. Perencanaan dan pengembangan karir, umpan balik penilaian kinerja dapat
digunakan sebagai panduan dalam perencanaan dan pengembangan karir yang
tepat, dapat menyelaraskan antara kebutuhan karyawan dengan kepentingan
perusahaan.
7. Evaluasi proses staffing, prestasi kerja yang baik atau buruk mencerminkan
kekuatan dan kelemahan prosedur staffing departemen SDM.
8. Defisiensi proses penempatan karyawan, kinerja yang baik atau jelek
mengisyaratkan kekuatan atau kelemahan dalam prosedur penempatan
karyawan di departemen SDM.
9. Ketidakakuratan informasi, kinerja lemah menandakan adanya kesalahan di
dalam informasi analisis pekerjaan, perencanaan SDM atau sistem informasi
manajemen

SDM.

Pemakaian

informasi

yang

tidak

akurat

dapat

mengakibatkan proses rekrutmen, pelatihan atau pengambilan keputusan tidak
sesuai.
10. Kesalahan dalam merancang pekerjaan, kinerja yang lemah mungkin
merupakan suatu gejala dari rancangan pekerjaan yang kurang tepat. Melalui
penilaian kinerja dapat membantu mendiagnosis kesalahan ini. Artinya, jika
uraian pekerjaan tidak tepat, apalagi tidak lengkap, wewenang dan tanggung
jawab tidak seimbang, jalur pertanggungjawaban kabur dan berbagai

Universitas Sumatera Utara

25

kelemahan lainnya akan berakibat pada prestasi kerja yang kurang
memuaskan.
11. Kesempatan kerja yang adil, penilaian kinerja yang akurat terkait dengan
pekerjaan dapat memastikan bahwa keputusan penempatan internal tidak
bersifat diskriminatif.
12. Mengatasi tantangan-tantagan eksternal, kadang-kadang kinerja dipengaruhi
oleh faktor di luar pekerjaan, seperti keluarga, keuangan, kesehatan, atau hal
lain seperti hal pribadi. Jika faktor ini tidak dapat diatasi karyawan
bersangkutan, departemen SDM mungkin mampu menyediakan bantuan.
13. Elemen-elemen pokok sistem penilaian kinerja, departemen SDM biasanya
mengembangkan penilaian kinerja bagi karyawan di semua departemen.
Elemen-elemen pokok sistem penilaian ini mencakup kriteria yang ada
hubungan dengan pelaksanaan kerja dan ukuran-ukuran kriteria.
14. Umpan balik ke SDM, kinerja baik atau jelek di seluruh perusahaan,
mengindikasikan seberapa baik departemen SDM berfungsi.
2.3

Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Varibel Independen

Variabel Dependen

Kepuasan Kerja (X)

Kinerja Karyawan (Y)

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara