PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. H

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT
KH. HASYIM ASY’ARI DAN KH. AHMAD
DAHLAN
A. Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari
Untuk menuangkan pemikirannya tentang pendidikan islam, KH. Hasyim
Asy’ari telah merangkum sebuah kitab karangannya yang berjudul “Muta’allim
Fima Yahtaj Ilah Al-Muta’alim Fi Ahual Muta’allum Wa Yataqaff Al-Mu’allim Fi
Maqamat Ta’limah” . Dalam kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya
tentang pendidikan Islam kedalam delapan poin, yaitu :
1.

Keutamaan ilmu dan keutamaan belajar mengajar

2.

Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar

3.

Etika seorang murid kepada guru


4.

Etika seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi
berasama guru

5.

Etika yang harus dipedomi seorang guru

6.

Etika guru ketika dan akan mengajar

7.

Etika guru terhadap murid-murid nya

8.

Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang

berkaitannya dengannya.[1]

Dari delapan pokok pemikiran di atas, Hasyim Asy’ari membaginya
kembali kedalam tiga kelompok, yaitu :
1.

Signifikansi Pendidikan

2.

Tugas dan tanggung jawab seorang murid

3.

Tugas dan tanggung jawab seorang guru.[2]

Pada dasarnya, ketiga kelompok pemikiran tersebut adalah hasil integralisasi
dari delapan pokok pendidikan yang dituangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
A.1. Sigifikansi Pendidikan


Dalam membahas masalah ini, KH.Hasyim Asy’ari mengorientasikan
pendapatnya berdasarkan alwur’an dan Al-Hadits. Sebagai contohnya ialah
beliau mengambil pemikiran pendidikan tentang keutamaan menuntut ilmu dan
keutamaan bagi yang menuntut ilmu dari surat Al-Mujadilah ayat 11 yang
kemudian beliau uraikan secara singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan
bahwa keutamaan yang paling utama dalam menuntut ilmu adalah
mengamalkan apa yang telah dituntut. Secara langsung beliau akan
menjelaskan maksud dari perkataan itu, yaitu agar seseorang tidak melupakan
ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di akherat kelak.
KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus
memperhatikan dua hal pokok selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok
tersebut adalah :
1.

bagi seorang peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk
menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi
dan jangan melecehkan atau menyepelekannya

2.


bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya
terlebih dahulu tidak semata-mata hanya mengharapkan materi, disamping
itu hendaknya apa yang diajarkan sesuai dengan apa yang diperbuat.[3]

Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa belajar bukanlah semata-mata
hanya untuk menghilangkan kebodohan, namun untuk mencari ridho Allah yang
mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.
Kareba itu hendaknya belajar diniatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai islam bukan hanya semata-mata menjadi alat
penyebrangan untuk mendapatkan meteri yang berlimpah.
A.2. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
Murid sebagai peserta didik memiliki tugas dan tanggung jawab berupa
etika dalam menuntut ilmu, yaitu :
1.

Etika yang harus diperhatikan dalam belajar

Dalam hal ini Hasyim Asy’ari mengungkapkan ada sepuluh etika yang harus
dipebuhi oleh peserta didik atau murid, yaitu :
1.


membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian

2.

membersihkan niat

3.

tidak menunda-nunda kesempatan belajar

4.

bersabar dan qonaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan

5.

pandai mengatur waktu

6.


menyederhanakan makan dan minum

7.

bersikap hati-hati atau wara’

8.

menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan yang
pada akhirnya menimbulkan kebodohan

9.

menyediakan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan

10. meninggalkan kurang faedah (hal-hal yang kurang berguna bagi
perkembangan diri).[4] Dalam hal ini tidak dibenarkan ketika seorang yang
menuntut ilmu hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat rohaniah atau
duniawiah saja, karena keduanya adalah penting.

1.

Etika Seorang Murid Terhadap Guru

Etika seorang murid murid kepada guru, sesuai yang dikatakan oleh Hasyim
Asy’ari hendaknya harus memperhatikan sepuluh etika utama, yaitu :
1.

hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dijelaskan
atau dikatakan oleh guru

2.

memilih guru yang wara’ artinya orang yang selalu berhati-hati dalam
bertindak disamping profesionalisme

3.

mengikuti jejak guru yang baik


4.

bersabar terhadap kekerasan guru

5.

berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah izin terlebih
dahulu kalau harus memaksa keadaan pada bukan tempatnya

6.

duduklah yang rapi dan sopan ketika berhadapan dengan guru

7.

berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut

8.

dengarkan segala fatwanya


9.

jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan

10.

dan gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.[5]

1.

Etika Murid Terhadap Pelajaran

Dalam menuntut ilmu murid hendaknya memperhatikan etika berikut :
1.

memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk dipelajari

2.


harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu-ilmu fardhu ‘ain

3.

berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama

4.

mendiskusikan atau menyetorkan apa yang telah ia pelajari pada orang
yang dipercayainya

5.

senantiasa menganalisa, menyimak dan meneliti ilmu

6.

pancangkan cita-cita yang tinggi

7.


bergaulah dengan orang berilmu lebih tinggi (intelektual)

8.

ucapkan bila sampai ditempat majlis ta’lim (tempat belajar, sekolah,
pesantren, dan lain-lain)

9.

bila terdapat hal-hal yang belum diketahui hendaknya ditanyakan

10.

bila kebetulan bersamaan banyak teman, jangan mendahului antrian bila

tidak mendapatkan izin
11.

kemanapun kita pergi kemanapun kita berada jangan lupa bawa catatan

12.

pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan continue (istiqomah)

13.

tanamkan rasa semangat dalam belajar.[6]

A.3. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Dalam dunia pendidikan tidak hanya seorang murid yang memiliki
tanggung jawab. Namun seorang guru juga memiliki tanggung jawab yang
hampir serupa dengan murid, yaitu :
1.

Etika Seorang Guru

Seorang guru dalam menyampaikan ilmu pada peserta didik harus memiliki
etika sebagai berikut :
1.

selalu mendekatkan diri kepada Allah

2.

senantiasa takut kepada Allah

3.

senantiasa bersikap tenang

4.

senantiasa berhati-hati

5.

senantiasa tawadhu’ dan khusu’

6.

mengadukan segala persoalannya kepada Allah SWT

7.

tidak menggunakan ilmunya untuk keduniawian saja

8.

tidak selalu memanjakan anak didik

9.

berlaku zuhud dalam kehidupan dunia

10.

menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah

11.

menghindari tempat-tempat yang kotor atau maksiat

12.

mengamalkan sunnah nabi

13.

mengistiqomahkan membaca al-qur’an

14.

bersikap ramah, ceria, dan suka menebarkan salam

15.
16.

membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah
menumbuhkan semangat untuk mengembangkan dan menambah ilmu

pengetahuan
17.

tidak menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya

18.

dan membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.[7]

Dalam pembahasan ini ada satu hal yang sangat menarik, yaitu tentang poin
yang terakhir guru harus rajin menulis, mengarang dan meringkas. Hal ini masih
sangat jarang dijumpai, ini juga merupakan menjadi salah satu faktor mengapa
masih sangat sulit dijumpai karya-karya ilmiah. Padahal dengan adanya guru
yang selalu menulis, mengarang dan merangkum, ilmu yang dia miliki akan
terabadikan.
1.

Etika Guru dalam mengajar

Seorang guru ketika mengajar dan hendak mengajar hendaknya memperhatikan
etika-etika berikut :
1.

mensucikan diri dari hadats dan kotoran

2.

berpakaian yang sopan dan rapi serta berusaha berbau wewangian

3.

berniat beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu

4.

menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah (walaupun hanya sedikit)

5.

membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan

6.

memberikan salam ketika masuk kedalam kelas

7.

sebelum belajar berdo’alah untuk para ahli ilmu yang telah terlebih
dahulu meninggalkan kita

8.

berpenampilan yang kalem dan menghindarkan hal-hal yang tidak pantas
dipandang mata

9.

menghindarkan diri dari gurauan dan banyak tertawa

10.

jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, makan, marah,

mengantuk, dan lain sebagainya
11.

hendaknya mengambil tempat duduk yang strategis

12.

usahakan berpenampilan ramah, tegas, lugas dan tidak sombong

13.

dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang penting dan

disesuaikan dengan profesionalisme yang dimiliki
14.

jangan mengajarkan hal-hal yang bersifat subhat yang dapat

menyesatkan
15.

perhatikan msing-masing kemampuan murid dalam meperhatikan dan

jangan mengajar terlalu lama
16.

menciptakan ketengan dalam belajar

17.

menegur dengan lemah lembut dan baik ketika terdapat murid yang

bandel
18.

bersikap terbuka dengan berbagai persoalan yang ditemukan

19.

berilah kesempatan pada murid yang datang terlambat dan ulangilah

penjelasannya agar mudah dipahami apa yang dimaksud
20.

dan apabila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk

menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.[8]

Dari pemikiran yang ditawarkan oleh hasyim asy’ari tersebut, terlihatlah bahwa
pemikirannya tentang etika guru dalam mengajar ini sesuai dengan apa yang
beliau dan kita alami selama ini. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang beliau
fikirkan adalah bersifat fragmatis atau berdasarkan pengalaman. Sehingga hal
inilah yang memberikan nilai tambah begi pemikirannya.
1.

Etika Guru Bersama Murid

Guru dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun
terkadang seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama,
diantara etika tersebut adalah :
1.

berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta
menghidupkan syari’at islam

2.

menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian

3.

hendaknya selalu melakukan instropeksi diri

4.

menggunakan metode yang sudah dipahami murid

5.

membangkitkan semangat murid dengan memotivasinya, begitu murid
yang satu dengan yang lain

6.

memberikan latihan – latihan yang bersifat membantu

7.

selalu memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain

8.

bersikap terbuka dan lapang dada

9.

membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik

10.

tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu

dengan yang lain.
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung
jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru
dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini
mengindikasikan bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga
keasamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang
memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya.
B. Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Ahmad Dahlan
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, Ahmad Dahlan memberikan
pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok
murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba
mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan
Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah
ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem
pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam
Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi
pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18
November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya

dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji
syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di
kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota
inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga
pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalahmasalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan bukubuku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak
bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah
melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan
gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya
dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata
pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai
segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada
pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan
hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat
ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku
untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran
akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan,
Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah
di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan,
Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF)
yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota
Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulanperkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin,
Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam,

Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri,
Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi. Sementara itu, usaha-usaha
Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga
bidang- bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu,
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas
sebagai berikut:
1.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.

2.

Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan
dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah,
bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia
dan akhirat, material dan spiritual.

Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang
berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan
menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan
dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan
dengan berdialog.
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa
Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman
Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh
segenap lapisan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika
pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini
menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan.
Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan
Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang
Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada
organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang
berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah :

1.

PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha
membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan
mendirikan klinik-klinik kesehatan

2.

Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada
tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan

3.

Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalahmasalah yang terjadi di masyarakat.

Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin
memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usahausahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk
membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat
bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan
gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan
dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada
zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad
Dahlan senantiasa menitik- beratkan pada pemberantasan dan melawan
kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada
berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian,
peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk
senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean
pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat.
Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang
tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam
konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan
sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan
dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat
terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui

per-kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada
para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan
masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan
maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan
yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang
sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan
mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia
tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah
Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum
diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan
gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama
yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.

[1] DR.H. Samsul Rizal, M.A.. Filsafat Pendidikan Islam.Ciputat Pers. Jakarta.
2002.Halaman 155
[2] Ibid. Halaman 156
[3] Cop.cit. Halaman 157
[4] Cop.Cit. Halaman 157
[5] Cop.Cit.Halaman 158
[6] Ibid. Halaman 159
[7] Cop.Cit. Halaman 161
[8] Cop.Cit. Halaman 167 – 168
http://misbakhudinmunir.wordpress.com/2010/08/08/pemikiran-pendidikan-islammenurut-kh-hasyim-asyari-dan-kh-ahmad-dahlan/