Pembelajaran Tematik Integratif Konsep Dasar dan Aplikasi - Test Repository

  Fatchurrohman, M.Pd Pembelajaran

  

Tematik Integratif

Konsep Dasar dan Aplikasi

  DAFTAR ISI Hlm. Halaman Judul ………………………………………………………….. i

  31 B. Model Jaring laba-laba (webbed model) ........................

  64 E. Pemanfaatan hasil penilaian ..........................................

  55 D. Langkah-langkah penilaian otentik ...............................

  53 C. Bentuk panilaian otentik ................................................

  50 B. Penilaian dan pembelajaran otentik ...............................

  46 BAB VII PENILAIAN OTENTIK (authentic assessment) A. Pengertian ......................................................................

  44 D. Langkah-langkah pembelajaran saintifik .......................

  43 C. Prinsip pembelajaran saintifik .......................................

  42 B. Kriteria pembelajaran saintifik ......................................

  38 BAB VI PENDEKATAN SAINTIFIK (scientific approach) A. Pengertian ......................................................................

  36 B. Menetapkan jaringan tema .............................................

  33 BAB V PEMETAAN KOMPETENSI, INDIKATOR, DAN TEMA A. Pemetaan KI, KD, dan Indikator ...................................

  32 C. Model Keterpaduan (integrated model) ........................

  Model Keterhubungan (connected model) ....................

  Kata Pengantar …………………………………………………………. ii

  25 BAB IV MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INTEGRATIF A.

  24 B. A Holistic Curriculum Approach ……………………..

  18 BAB III PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM A. Integrated Curiculum Approach ………………………

  Implikasi ........................................................................

  17 F.

  15 E. Prinsip-prinsip dasar …………………………………..

  14 D. Karakteristik …………………………………………..

  4 C. Tujuan dan manfaat .......................................................

  2 B. Rasional .........................................................................

  Pengertian ……………………………………………..

  1 BAB II KONSEP DASAR PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF A.

  BAB I PENDAHULUAN

  Daftar Isi ……………………………………………………………….. iii

  65

  BAB VIII PENYUSUNAN SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF A. Silabus ...........................................................................

  67 B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ...................

  68 BAB IX CONTOH APLIKASI PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF

  81 Daftar Pustaka ............................................................................................

  91

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penulisan buku Pembelajaran Tematik Integrarif : Konsep Dasar dan Aplikasi. Sebagaimana telah diketahui bahwa pembelajaran tematik integratif yang

  „diusung‟ kurikulum 2013 merupakan upaya dalam rangka memperbaiki pembelajaran di sekolah yang didik usia SD/MI melalui pemisahan per mata pelajaran dianggap tidak sesuai dengan keadaan psikologis peserta didik. Akibatnya peserta didik dianggap kurang maksimal mengikuti dan menguasai bahan ajar yang disampaikan guru di kelas.

  Pembelajaran tematik integratif ini dikembangkan dalam rangka memberikan layanan pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan peserta didik. Perkembangan intelektual peserta didik pada tahap operasional konkrit menuntut pembelajaran yang konkrit, realistik, dan menyenangkan. Anak belum mampu berpikir abstrak dan verbalistik, mereka dapat memahami informasi dengan baik melalui perjumpaannya dengan realitas.

  Dalam pembelajaran tematik integratif dikembangkan pendekatan saintifik yang memungkinkan peserta didik untuk menemukan sendiri (inquiry) atas kebenan, bukan hanya menerima kebenaran informasi dari orang lain. Pendekatan saintifik dikembangkan melalui lima tahapan pokok, yaitu mengamati

  

(observing) , menanya (questioning), melakukan/mencoba (experimenting),

  menghubungkan, mengasosiasi (associating) , dan mengemukakan/ mengkomunikasikan (communicating).

  Kelima tahapan pokok kegiatan dalam pendekatan saintifik tersebut merupakan cara untuk memfasilitasi peserta didik agar mengalami pembelajaran otentik, yaitu pembelajaran yang memberi keleluasaan kepada peserta didik untuk menemukan dan mengkonstruk sendiri pengetahuannya melalui inderanya.

  Buku ini hadir mungkin baru sekedar introduction tentang pembelajaran tematik integratif, namun paling tidak sebagai batu loncatan untuk mengkaji pembelajaran tematik lebih dalam. Tentunya kajian ini mungkin masih dasar dan perlu pendalaman dan penyempurnaan dari berbagai pihak yang peduli terhadap peningkatan mutu pendidikan.

  Dalam kesempatan ini, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan dan penerbitan buku ini.

1. PIP STAIN Salatiga yang memfasilitasi penerbitan buku ini 2.

  Sejawat kami, pak dhe Wardi, M.Pd, dan Dr. Budiono, M.Pd yang banyak membantu menyediakan bahan bacaan.

  Semoga komitmen, dedikasi, dan kepeduliannya dalam mengembangkan pendidikan semakin meningkat.

  Salatiga, Februari 2014 Penulis,

BAB I PENDAHULUAN Secara psikologis peserta didik pada sekolah tingkat dasar (SD/MI)

  masih berada pada rentangan usia dini, mereka melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik). Mereka belum mampu melihat sesuatu secara bagian-bagian atau detail, mereka berada dalam taraf berpikir operasional konkrit sehingga dalam kegiatan pembelajaran bergantung kepada objek- objek konkrit dan pengalaman nyata yang dialaminya.

  Selama ini, pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SD/MI yang terpisah untuk setiap mata pelajaran menjadikan peserta didik kurang dapat mengembangkan cara berpikir holistik, yaitu cara berpikir yang komprehensif dalam memecahkan masalah dengan melibatkan berbagai sudut pandang. Cara berpikir holistik ini akan membantu melatih peserta didik dalam memecahkan masalah secara tuntas. Namun, sebaliknya pembelajaran yang dipecah-pecah ke dalam mata pelajaran yang terpisah menjadikan peserta didik terbiasa melihat suatu permasalahan dari satu sudut pandang saja yang pada akhirnya juga membiasakan peserta didik untuk memecahkan masalah dengan sudut pandang parsial.

  Selain itu, model pembelajaran yang top down, one way

  

communication, dan memandang peserta didik sebagai individu yang harus

  diberi materi dan mereka harus mengikuti kehendak gurunya, menjadikan sekolah bukan sebagai tempat pengembangan diri peserta didik, namun sebagai ‟pembunuh‟ potensi aktif kreatif peserta didik.

  Dalam lampiran IV Permendikbud nomor 81A tahun 2013 ditegaskan bahwa pembelajaran di sekolah tingkat dasar dikembangkan secara tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran untuk mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan serta mengapresiasi keragaman budaya lokal. Dalam mengembangkan pembelajaran, kurikulum 2013 menganut pandangan bahwa proses pembelajaran tidak hanya memindahkan pengetahuan dari guru kepada peserta didik, namun peserta didik juga harus diberi kesempatan untuk aktif mencari, mengolah, mengkonstruk dan menggunakan pengetahuannya dalam kehidupa sehari-hari. Peserta didik bukanlah makhluq pasif, namun mereka adalah makhluq aktif yang selalu ingin mencari tahu dan berkembang.

  Model pembelajaran tematik integratif dengan pendekatan scientifik yang digulirkan kementerian dan kebudayaan bersamaan dengan kurikulum 2013 merupakan ikhtiar untuk mewujudkan pendidikan yang mampu mengapresiasi keadaan peserta didik yang berbeda. Terlebih lagi adanya penekanan pada aspek afektif dalam kurikulum 2013, memungkin individu akan memiliki kepribadian dan intelektual yang baik.

BAB II KONSEP DASAR PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF A. Pengertian Istilah pembelajaran tematik sering disamakan dengan istilah

  pembelajaran terpadu, sehinga dalam beberapa literatur para ahli pendidikan sering menggunakan istilah keduanya secara interchangeable.

  Pembelajaran tematik integratif adalah pembelajaran yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran untuk mengembangkan aspek afektif, kongnitif, dan psikomotorik peserta didik agar dapat memberikan pembelajaran yang bermakna. Istilah tematik digunakan karena pembelajaran tersebut menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran, sedangkan istilah integratif merujuk pada pengembangan seluruh totalitas diri anak yang mencakup aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik.

  Menurut Humpreys (dalam Trianto, 2010:79), pembelajaran terpadu atau tematik adalah studi di mana peserta didik diberi kesempatan untuk mengeksplorasi pengetahuan mereka dalam berbagai mata pelajaran yang berkaitan dan menjadi lingkungan mereka sebagai sumber belajar. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari aspek studi Matematika, Bahasa, Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Musik, Keterampilan, Olah raga, dan lainnya.

  Istilah pembelajaran tematik terkadang juga dimaknai sebagai pendekatan dalam pembelajaran (thematic approach), yaitu “...a way of

  teaching and learning in such a way that many areas of the curriculum are integrated and connected within a theme. It allows learning to be less fragmented and more natural …”. Pendekatan tematik adalah suatu cara

  belajar mengajar yang dilakukan dengan cara beberapa tema dalam kurikulum diintegrasikan dan dihubungkan dengan suatu tema. Hal ini untuk mengurangi pemisahan antara materi pelajaran dan pembelajaran lebih alami karena memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar.

B. Rasional

  Ada dua alasan yang mendasari dikembangkannya model pembelajaran tematik integratif, yaitu karakteristik peserta didik dan alasan teoritik.

1. Karakteristik anak usia SD/MI

  Pada masa sekolah dasar ini, karakteristik anak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pada masa usia 6 – 7 tahun dan 8 – 10 tahun. Adapun karakteristik masing-masing fase tersebut adalah sebagai berikut.

  a.

  Karakter anak usia 6 – 7 tahun

  Bagian ini akan mengurai tentang karakter anak usia 6

  • – 7 tahun, dalam hal ini yang akan dibahas adalah ciri jasmani dan mentalnya. Kedua hal tersebut perlu dipahami setiap pendidik yang berhadapan dengannya agar dapat memperlakukannya secara tepat. 1)

  Ciri-ciri jasmani Ciri-ciri jasmani peserta didik kelas usia 6

  • – 7 tahun adalah: (a) kordinator otot-otot kecilnya bertambah, meskipun kadang- kadang terasa janggal; (b) masa pertumbuhannya lebih lambat, anak perempuan cenderung lebih cepat dibandingkan dengan anak laki-laki; (c) tidak bisa diam, selalu bergerak; (d) senang membuat sesuatu

  2) Ciri-ciri mental

  Ciri-ciri mental anak usia 6

  • – 7 tahun atau kelas rendah SD/MI adalah: (a) selalu ingin belajar; (b) menanyakan berbagai hal; (c) konsep yang dimiliki masih dalam jangka waktu terbatas; (d) memiliki berbagai variasi dalam membaca; (e) cenderung fokus hanya pada satu atau dua hal dari isi cerita atau pengalaman yang dialaminya; (f) jangka perhatian terbatas, antara tujuh sampai sepuluh menit; (g) proses berpikirnya dalam b.

  Karakter anak usia 8 – 10 tahun. 1)

  Ciri-ciri fisik Ciri-ciri fisik anak usia 8

  • – 10 tahun adalah: (a) aktif mengembangkan kordinasi otot besar dan kecil; (b) kekuatannya
bertambah; (c) ingin menguasai keterampilan besar; (d) senang olah raga dalam tim dan kegiatan-kegiatan atletik lainnya; (e) mengikuti kata hati

  2) Ciri-ciri mental kognitif

  Ciri-ciri mental kognitif meliputi: (a) selalu ingin belajar hal-hal yang baru; (b) kemampuan untuk memahami pandangan orang lain mulai berkembang; (c) mulai mengenal perasaan malu dalam situasi-situasi tertentu;(d) pemahaman konsep berkembang berdasarkan lingkungan sekitarnya; (e) keterampilan menulis dan berbahasa terus berkembang; (f) dapat memahami lebih dari seluruh gambar yang ada; (g) sangat kreatif dan senang menemukan hal-hal yang baru; (h) sangat ingin tahu berbagai hal; (i) mudah mengingat; (j) mengetahui tentang konsep benar dan salah

  3) Ciri-ciri sosial emosional

  Ciri-ciri sosial emosional yaitu: (a) lebih mengutamakan teman-teman sebaya dalam kelompoknya; (b) pengaruh dari kelompoknya sangat kuat; (c) lebih peka dalam memilih teman; (d) umumnya mudah bergaul dan percaya diri; (e) perilaku bersaing mulai berkembang; (f) peka untuk bermain jujur; (g) memperhatikan perilaku dan perbuatan orang dewasa; (h) kesadaran untuk berperilaku seperti orang yang berjenis kelamin sama mulai berkembang; (i) mulai memisahkan diri dari keluarga, dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang terpisah dari keluarga; (j) selera humor berkembang; (k) mengalami rangkaian emosi : takut – merasa bersalah – marah dan seterusnya; (l) mengetahui peristiwa yang terjadi di sekitarnya, meskipun secara emosional belum cukup dewasa untuk mengatasi akibat-akibatnya (Antony dalam Trianto, 2010:19)

  Anak pada usia 6

  • – 10 tahun pada umumnya berada pada rentangan usia dini yang masih melihat segala sesuatu sebagai
satu keutuhan (holistic) sehingga pembelajarannya masih mengandalkan pada benda-benda dan pengalaman empirik yang dialaminya.

  Berkait dengan perkembangan kognitif anak, Jean Piaget (Jeanne, 2011:29) mengemukakan empat tahap perkembangan kognitif individu, yaitu tahap sensori motorik, praoperasional, operasional konkrit, dan operasional formal. Masing-masing tahapan perkembangan kognitif anak tersebut tersebut dapat dirangkum dalam tabel berikut.

  

Tahapan Usia Gambaran Kemampuan

  Sensorimotor Sejak lahir Skematanya sebagian besar

  • – 2 tahun didasarkan pada persepsi dan perilakunya. Khususnya pada tahap awal, anak-anak tidak dapat memahami sesuatu yang baru yang tiba-tiba ada di depannya, dan mereka fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan dan lihat pada saat itu.

  Praoperasional Usia 2 Mengucapkan terima kasih,

  • – 6 atau 7 tahun adalah sebagian dari perwujudan simbol kemampuan berpikir mereka, kini mereka dapat memahami dan mengucapkan akan sesuatu yang ada di depannya secara mendadak. Namun mereka belum mampu mengajukan alasan yang logis sebagaimana cara yang dilakukan orang dewasa. Mampu menambah kosa kata dengan cepat dan mulai mengenal kalimat berstruktur. Mampu berpikir logis setelah usia 4 tahun dan mulai mengenal prinsip-prinsip
logika Operasi konkrit Usia 6 atau 7 Mulai muncul berpikir logis

  • – 11 atau 12 tahun seperti orang dewasa namun masih terbatas dalam memberikan alasan yang konkrit, situasi kehidupan nyata. Mengakui bahwa pemikirannya dan perasaannya berbeda dengan orang lain, namun dalam kenyataannya belum mampu menunjukkan perilaku pengakuan.
  • – Operasi formal Usia 11 atau 12 tahun Sudah mampu menggunakan dewasa proses berpikir logis untuk mengemukakan ide-ide yang abstrak baik dalam situasi nyata maupun objek yang konkrit. Beberapa kemampuan mulai muncul yang merupakan dasar untuk dikembangkan dalam pembelajaran sain dan matematika.

  Perkembangan setiap individu melalui tahapan-tahapan tersebut, dan tidak ada individu yang melewatinya. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan individu memahami realitas dengan cara yang semakin kompleks. Kecepatan perkembangan masing-masing individu tergantung pada tingkat keaktifan anak dalam memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berarti bahwa lingkungan anak sangat menentukan proses perkembangan kognitif anak.

  Dalam terminologi Piaget, segala sesuatu yang diketahui dan dilakukan anak diorganisir dalam schemes, yaitu semacam kelompok kegiatan atau pemikiran yang digunakan secara terpisah dalam merespons situasi lingkungan yang berbeda (Jeanne, 2011:28). Dalam aktivitas berikutnya, individu mempelajari sesuatu melalui proses yang disebut asimilasi dan akomodasi, asimilasi terkait dengan objek atau peristiwa yang ada dikaitkan dengan scheme yang telah ada pada individu. Namun terkadang individu tidak dengan mudah menghubungkan antara situasi yang ada dengan scheme yang telah dimilikinya, maka individu kemudian memodifikasi scheme yang ada dengan objek atau peristiwa yang lain yang sudah ada yang ada hubungannya. Proses pemulihan keseimbangan antara pemahaman yang ada dengan pengalaman-pengalaman baru disebut proses equilibrasi. Menurut Piaget, pembelajaran tergantung pada proses ini, di mana saat keseimbangan terjadi anak memiliki kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang. Guru dapat menciptakan situasi yang tidak seimbang dan nantinya dapat menimbulkan anak untuk bertanya karena keingintahuannya (Trianto, 2010:16).

  Pada tahap operasional konkrit (6 atau 7

  • – 11 atau 12 tahun), Piaget mengatakan bahwa proses kemampuan berpikir mereka mulai terorganisir menjadi suatu sistem yang lebih luas, mereka mulai mampu berpikir realistik, logik, mampu share dengan yang lain dan lebih mencerminkan pendapat pribadi dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Mereka juga suka memamerkan kemampuan mereka seperti membuat kelompok-kelompok inklusif (Jeanne, 2011:31). Operasi adalah hubungan-hubungan logis antara konsep-konsep atau skema-skema, sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari yang terukur (Desmita, 2010:156).

  Perkembangan kemampuan memori individu pada usia ini tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya, yaitu memori jangka pendek sekitar 15 hingga 30 detik individu mampu menyimpan informasi dengan asumsi tanpa pengulangan. Mereka juga memiliki kemampuan rekognisi yaitu suatu kesadaran bahwa suatu objek atau peristiwa itu sudah dikenalnya atau pernah dipelajari pada masa lalu namun kurang mampu merecall, yaitu proses memanggil atau mengingat kembali dalam ingatan sesuatu yang pernah dipelajari. Namun demikian, mereka telah mampu menggunakan memory strategy, yaitu perilaku yang disengaja untuk mengingat kembali memori yang dimiliki (Desmita, 2010:158).

  Menurut Matlin (Desmita, 2010:159-160), ada empat memory

  

strategy yang penting, yaitu rehearsal, organization, imagery dan

retrieval . Rehearsal (pengulangan) adalah strategi meningkatkan

  memori dengan cara mengulangi berkali-kali informasi setelah informasi tersebut diterima. Organization (organisasi) merupakan cara membangkitkan memori dengan melakukan pengkategorian dan pengelompokan sesuai dengan kemiripan karakteristik. Imagery (perbandingan) merupakan tipe dari karakteristik pembayangan individu melalui pembandingan. Yuille dan Catchpole menyatakan bahwa memori anak-anak kelas satu sekolah dasar meningkat setelah mereka dilatih membentuk perbandingan interaktif. Retrieval (pemunculan kembali) adalah proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari memori anak dengan isyarat. Keberhasilan penerapan

  

memory strategy tersebut akan dipengaruhi oleh faktor usia, sikap,

motivasi kesehatan, dan pengetahuan anak sebelumnya.

  Pada masa ini, individu mulai bergeser dari sekedar menamai, mengelompokkan benda-benda menuju pada kemampuan dalam mengorganisasi dan menghubungkan sifat-sifat benda. Dengan memberi kesempatan melalui persentuhan dengan benda-benda konkrit dalam pembelajaran, individu pada tahap operasional konkrit mulai untuk mengorganisasikan penyelidikan-penyelidikan dalam kelas-kelas dan variabel, mengukur variabel secara bermakna, dapat memahami dan mencatat data pada tabel, membentuk dan memahami hubungan sederhana, menggunakan apa yang mereka ketahui untuk membuat inferensi langsung dan prediksi serta menggeneralisasi suatu gejala dari pengalaman yang mereka jumpai (Depdiknas, 2002:11). Namun demikian, walaupun individu pada fase operasional konkrit ini mampu menujukkan beberapa kemampuan berpikir logisnya, perkemangan kognitif mereka belum sempurna. Dia masih mengalami kesulitan dalam memahami ide-ide abstrak (Jeanne, 2011:32).

  Piaget yakin bahwa pengalan-pengalaman inderawi dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Selain itu, ia juga berkeyakinan bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi, berdiskusi, membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya dapat membuat pemikiran itu menjadi semakin logis. (Trianto, 2010:17)

2. Landasan Teoritik

  Pengembangan pembelajaran tematik integratif di sekolah didasarkan pada beberapa teori psikologi belajar, yaitu teori perkembangan Jean Piaget, teori belajar Konstruktivisme, teori belajar Vygotski, teori belajar Bandura, dan teori belajar Bruner (Trianto, 2010:101). Masing- masing teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

  a.

  Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget Dalam pandangan Piaget, anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya. Setiap anak memiliki struktur kognitif yang berbeda-beda dalam memahami lingkungan sekitarnya. Pemahaman individu terhadap objek di lingkungan sekitar melalui proses asimilasi (menghubungkan pengetahuan tentang objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses pemanfaatan konsep dalam pikiran untuk memahami objek). Jika keduanya dapat berlangsung terus menerus maka akan terjadi keseimbangan (equilibration) antara konsep lama dan pemahaman yang baru (Gredler, 1991:311)

  Piaget mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan kognitif pada individu. Pada anak usia sekolah dasar, tahap perkembangan kognitif berada pada operasi konkrit. Perilaku belajar yang muncul pada fase tersebut adalah: 1) mulai memandang realitas secara objektif; 2) mulai berpikir oprasional untuk mengklasifikasikan objek-objek yang ada di sekitarnya; 3) mulai menggunakan prinsip-prinsip logika ilmiah yang sederhana; 4) memahami konsep volume, substansi, zat cair, padat, panjang, lebar, luas, berat.

  Melihat perilaku belajar anak usia sekolah dasar sebagaimana tersebut di atas, maka kecenderungan belajar anak-anak usia sekolah dasar adalah konkrit, integratif, dan hirarkhis. Konkrit mengandung makna bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan menghadirkan benda- benda konkrit yang ada di sekitarnya yang dapat dilihat, diraba, dicium, didengar. Integratif berarti pembelajaran disajikan dalam satu keutuhan, tidak dipisah-pisah dalam berbagai disiplin ilmu. Hirarkhis berarti anak belajar mengikuti alur-alur yang bertahap, dari yang mudah menuju yang sulit, dari yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karenanya dalam menyusun materi untuk anak usia sekolah dasar harus memperhatikan urutan logis, keterkaitan antar materi, keluasan dan kedalamannya.

  b.

  Teori Belajar Konstruktivisme Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil dari konstruk kognitif dalam diri individu. Pengetahuan tidak dapat terlepas dari subjek yang bersangkutan. Pengetahuan merupakan konstruk manusia melalui pengalaman yang dimilikinya. Pengetahuan akan selalu berkaitan dengan pengalaman yang dimilikinya akan kehidupan di dunia, namun bukan dunia itu sendiri. Oleh karenanya, tanpa pengalaman seseorang tidak akan memiliki pengetahuan (Sriyanti, dkk.,, 2009:71).

  Menurut Slavin (dalam Trianto, 2010:110), satu prinsip pembelajaran yang terpenting dalam teori konstruktivisme ini adalah bahwa guru dalam mengajar tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada peserta didik (transfer of knowledge). Peserta didik harus diajak bersama-sama membangun pengetahuannya melalui pengalaman empirik. Guru harus memberikan segala kemudahan bagi pesrta didik dalam proses menemukan (inquiry) pengetahuan, mempraktikkan ide-ide mereka sendiri dan memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan strategi pembelajarannya sendiri. Guru hanya menunjukkan jalan berpikir yang benar dan mempersilakan para peserta didik untuk menapakinya agar mencapai tangga berpikir yang tinggi.

  Kaum konstrtuktivis berpandangan bahwa satu-satunya media yang tersedia bagi individu untuk mengetahui dan mengembangkan pengetahuan pada diri individu adalah inderanya. Individu dapat berinteraksi denga lingkungannya melalui inderanya, melihat, mencium, mendengar, menjamah dan merasakannya. Interaksi individu melalui inderanya dengan dunianya akan membentuk pengetahuan pada masing-masing individu.

  Menurut Suparno (dalam Triyanto, 2010:111), dalam konteks pembelajaran, ada beberapa prinsip pembelajaran yang disarikan dari pandangan para konstruktivis yaitu: 1) pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik melalui keaktivannya

  2) dalam proses kegiatan pembelajaran, kegiatan ditekankan pada peserta didik

  3) guru mengajar hakekatnya adalah membantu peserta didik dalam menemukan pengetahuan

  4) pembelajaran lebih menekankan prosesnya, bukan sekedar hasil 5) kurikulum didesain yang sedemikian rupa yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berpartisipasi aktif

  6) peran guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran c.

  Teori Belajar Vigotsky Menurut Vigotsky (Trianto, 2010:112), pembelajaran akan terjadi apabila peserta didik bekerja atau mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah dipelajari namun masih dalam radius kemampuannya yang disebut zone of proximal development, yaitu perkembangan individu di atas sedikit dari saat ini. Ketika seorang guru memberi tugas kepada peserta didik, pastikan peserta didik telah memiliki bekal pengetahuan sebagai prasarat untuk dapat menyelesaikan tugas tersebut. Vigotsky meyakini bahwa kemampuan mental individu yang lebih tinggi akan muncul melalui interaksi atau percakapan antar individu.

  Satu hal yang terpenting dari Vigotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal perkembangan kemudian lama-kelamaan anak tersebut dapat mengambil alih tanggung jawab tersebut dan mampu mengerjakan sendiri dengan sempurna. Bantuan dari orang dewasa tersebut berupa dorongan, langkah-langkah problem solving, memberikan contoh yang nyata sehingga memungkin anak tersebut dapat memecahkan masalah yang diberikan kepadanya (Trianto, 2010:112).

  d.

  Teori Belajar Bandura Teori belajar yang dikemukakan oleh Bandura sering dikenal dengan teori imitasi, yaitu perilaku individu terbentuk melalui proses peniruan terhada perilaku orang lain yang kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan peniruan tersebut dengan pengalaman dirinya. Proses belajar dalam pandangan teori Bandura terjadi melalui beberapa cara, yaitu imitasi, identifikasi dan belajar model, yaitu orang yang ditiru dan diikuti perilakunya (Sriyanti, dkk.,, 2009:104)

  Menurut Bandur ada empat fase pemodelan, yaitu fase atensi, fase retensi, fase reproduksi, dan fase motivasi (Gredler, 1991:391). Fase atensi adalah fase di mana individu memparhatikan model yang menarik, populer, dan dikagumi. Dalam konteks pembelajaran guru harus mampu menampilkan diri sebagai model bagi pesera didiknya. Fase retensi adalah fase pengkodean dan penyimpanan tingkah laku model dalam memori individu. Pengkodean adalah proses pengubahan pengalaman yang diamati menjadi kode yang disimpan dalam memori. Fase reproduksi adalah fase di mana kode yang disimpan dalam memori dikeluarkan untuk membimbing pembentukan perilaku yang baru pada individu. Perilaku baru yang muncul merupakan perpaduan antara kode dalam memori dan pengalaman individu. Fase motivasi adalah fase di mana individu yang bersangkutan berusaha kuat untuk mewujudkan perilaku sebagaimana model yang disaksikan, individu sangat termotivasi untuk menirunya. Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru harus mampu memberi motivasi melalui pujian, hadian atau nilai.

  e.

  Teori Belajar Bruner Teori belajar Bruner dikenal dengan teori belajar inquiry, yaitu model pembelajaran yang menekankan pemahaman tentang ide kunci materi pembelajaran dari suatu materi ajar yang sedang dipelajari, pentingnya belajar aktif sebagai dasar untuk memahami materi yang sebenarnya. Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka mampu memusatkan perhatiannya pada struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif dalam mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima pejelasan dari guru (Trianto, 2010:115).

  Aplikasi konsep Bruner ini dalam pembelajaran menurut Woolfolk adalah: 1) memberikan contoh yang berbeda dengan contoh dari materi yang baru saja diajarkan; 2) membantu peserta didik mencari hubungan antar konsep; 3) mengajukan pertanyaan kreatif dan memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk menemukan jawabannya; 4) mendorong peserta didik untuk membuat dugaan yang bersifat intuitif.

C. Tujuan dan Manfaat

  Tujuan yang akan dicapai melalui pengembangan pembelajaran tematik integratif adalah: 1) untuk memusatkan perhatian peserta didik mudah pada suatu tema materi yang jelas; 2) untuk mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar mata pelajaran dalam tema yang sama; 3) untuk memberikan pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; 4) untuk memudahkan guru dalam mempersiapkan dan menyajikan bahan ajar yang efektif.

  Selain itu, ada juga manfaat yang dapat diperoleh malalui pembelajaran tematik integratif, yaitu: 1) menghilangkan tumpang tindih bahan ajar; 2) peserta didik memahami hubungan yang bermakna antar mata pelajaran; 3) pembelajaran menjadi utuh oleh peserta didik akan mendapat pengertian mengenai konsep dan materi yang tidak terpecah-pecah; 4) penguasaan konsep oleh peserta didik akan semakin baik meningkat.

  Pembelajaran tematik integratif akan mampu menghilangkan tumpang tindih materi ajar. Hal ini dicapai karena sebelum mengembangkan kegiatan pembelajaran guru telah mengidentifikasi kompetensi dasar dan konten materi ajar untuk dicarikan tema yang relevan. Dengan demikian tidak terjadi pengulangan materi pembelajaran (redundantion) pada beberapa mata pelajaran, sehingga pembelajaran menjadi efektif dan efisien.

  Melalui pembelajaran tematik integrtif ini pula, peserta didik akan memiliki pengetahuan yang bermakna dan saling terkait. Peserta didik akan dilatih berpikir komprehensif, memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Pada akhirnya, peserta didik akan memiliki wawasan yang luas dan mendalam terhadap keilmuan yang saling terkait.

D. Karakteristik

  Ada berberapa karakteristik dalam pembelajaran tematik integratif, yang tentunya menjadi kekhususan dari pembelajaran tematik integratif itu sendiri. Karakteristik tersebut adalah: 1) berpusat pada peserta didik; 2) memberikan pengalaman langsung; 3) tidak terjadi pemisahan mata pelajaran; 4) menyajikan konsep yang terpadu dari berbagai mata pelajaran; 5) bersifat fleksibel; 6) proses pembelajaran mudah disesuaikan dengan minat dan kebutuhan peserta didik; 7) menggunakan prinsip pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

  Pembelajaran tematik integratif menjadikan peserta didik sebagai pusat segalanya, artinya berbagai keputusan yang diambil guru terkait dengan pembelajaran, misalnya pemilihan media, metode, organisasi materi, organisasi kegiatan pembelajaran, bahasa pengantar yang digunakan harus didasarkan pada keadaan dan untuk peserta didik. Dalam hal demikian, guru adalah sebagai pelayan (servant) bagi pemenuhan kebutuhan petumbuhan dan perkembangan peserta didik.

  Dalam memberikan leyanan kepada peserta didik guru mengajak mereka untuk melakukan kegiatan praktik langsung di lapangan, sehingga peserta didik memiliki pengalaman empirik. Kegiatan pembelajaran diupayakan semaksimal tidak lagi dikembangkan hanya simulasi dan contoh yang verbalis, peserta didik hanya diajak meyakini kebenaran yang tertuang di dalam buku teks ajar, namun peserta didik diajak melihat, mendengar, meraba bukti-bukti empirik kebenaran yang tertuang di dalam buku teks. Pengalaman langsung ini diberikan kepada peserta didik agar mereka mengkonstruk sendiri pengetahuan mereka melalui sentuhan pengalaman di dunia nyata.

  Pengalaman langsung peserta didik di lapangan tersebut dapat berupa pengalaman untuk mengenali dan memecahkan masalah sosial atu lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal ini, guru menuntun peserta didik untuk belajar menyelesaikan masalah melalui sudut pandang yang beragam, misalnya sudut pandang ilmu alam, ilmu sosial, ilmu agama dan lainnya. Dengan cara demikian, peserta didik akan terbiasa memandang dan menyelesaikan berbagai persoalannya dengan multi perspective. Cara demikian secara otomatis tidak memecah-mecah atau mengkotak-kotakkan keilmuan (materi ajar) secara ketat, karena pada kenyataan hidup, individu selalu menggunakan berbagai ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah secara bersamaan.

  Pembelajaran tematik integratif memiliki karakter fleksibel, artinya pemilihan materi dan kegiatan pembelajaran tidak terpadu pada ketentuan yang termaktub dalam buku teks ajar peserta didik. Guru bersama peserta didik dapat merubah tema dan kegiatan pembelajaran pada hari itu manakala dipandang tidak bermakna, tidak menarik dan ada tema dan kegitan yang lebih menarik bagi mereka. Perubahan tema dan kegitan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan: a) minat dan kebutuhan peserta didik; b) keadaan lingkungan sekitar; c) ketersediaan daya dukung pembelajaran di sekolah; d) kebermaknaan atau kemanfaatan materi pembelajaran bagi peserta didik.

  Dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran bersama peserta didik, guru senantiasa menekankan pembelajaran aktif yang menyenangkan. Pembelajaran aktif dilakukan oleh guru dengan cara melibatkan seluruh indera didik dalam kegiatan pembelajaran, baik pendengaran, penglihatan, kinestetik dan aktivitas pikiran. Kegiatan pembelajaran aktif juga dicapai melalui keaktivan individual dan kerja kolektif.

  Sementara itu, kegiatan pembelajaran yang menyenangkan (funny

  learning) dilakukan guru melalui variasi metode dan media pembelajaran serta penciptaan hubungan yang hangat dalam kegiatan pembelajaran.

  Pembelajaran yang menyenangkan memungkin peserta didik mampu menangkap konten pembelajaran dengan baik, karena dalam suasana yang menyenangkan individu akan mampu mengoptimalkan kerja memorinya dengan baik. Selain itu, kegiatan pembelajaran menyenangkan merupakan upaya mengaktifkan kerja otak kanan yang akan mampu mendukung daya tahan konsentrasi otak kiri. Beberapa ahli psikologi menuturkan bahwa jika peserta didik diaktifkan kedua belahan otaknya, yaitu otak kanan dan otak kiri maka akan mampu mempertahankan waktu dan daya konsentrasi mereka.

E. Prinsip-prinsip dasar

  Dalam mengembangkan pembelajaran tematik integratif di kelas, ada beberapa prinsip dasar yang mesti diperhatikan yaitu: 1) bersifat kontekstual atau terintegrasi dengan lingkungan; 2) bentuk belajar dirancang agar siswa menemukan tema; dan 3) efisiensi (Yuswadiwijaya, 2013:2). Masing-masing prinsip dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Bersifat kontekstual atau terintegrasi dengan lingkungan.

  Pembelajaran yang dilakukan perlu dikemas dalam suatu format keterkaitan, maksudnya pembahasan suatu topik dikaitkan dengan kondisi yang dihadapi siswa atau ketika siswa menemukan masalah dan memecahkan masalah yang nyata dihadapi siswa dalam kehidupan sehari- hari dikaitkan dengan topik yang dibahas.

  2. Bentuk belajar harus dirancang agar siswa menemukan tema.

  Agar siswa bekerja secara sungguh-sungguh untuk menemukan tema pembelajaran yang riil sekaligus mengaplikasikannya. Dalam melakukan pembelajaran tematik siswa didorong untuk mampu menemukan tema-tema yang benar-benar sesuai dengan kondisi siswa, lingkungan atau pengalaman yang dialami siswa.

  3. Efisiensi Pembelajaran tematik memiliki nilai efisiensi antara lain dalam segi waktu, beban materi, metode, penggunaan sumber belajar yang otentik sehingga dapat mencapai ketuntasan kompetensi secara tepat.

F. Implikasi

  Implikasi penerapan pembelajaran tematik integrarif dirasakan oleh seluruh komponen pokok dalam aktivitas pendidikan baik terhadap guru, peserta didik, sumber dan media belajar, sarana prasarana, maupun pengaturan ruang kelas. Masing-masing harus dikondisikan dalam keadaan yang semestinya, agar pembelajaran tematik integratif dapat mencapai tujuannya secara maksimal.

  1. Implikasi terhadap guru Guru harus kreatif baik dalam menyiapkan kegiatan/pengalaman belajar bagi anak, juga dalam memilih kompetensi dari berbagai mata pelajaran dan mengaturnya agar pembelajaran menjadi lebih bermakna, menarik, menyenangkan dan utuh

  2. Implikasi terhadap peserta didik Beberapa implikasi pembelajaran tematik integratif pada peserta didik adalah: a.

  Peserta didik harus siap mengikuti kegiatan pembelajaran yang dalam pelaksanaannya dimungkinkan untuk bekerja baik secara individual, pasangan, kelompok kecil ataupun klasikal. b. bervariasi secara aktif misalnya melakukan diskusi kelompok, mengadakan penelitian sederhana, dan pemecahan masalah

3. Implikasi terhadap sarana prasarana, sumber, dan media pembelajaran

  Beberapa implikasi pembelajaran terhadap sarana prasarana, sumber dan media belajar adalah: a.

  Memerlukan berbagai sarana dan prasarana belajar.

  Untuk dapat mengembangkan pembelajaran tematik integratif secara optimal diperlukan kecukupan sarana dan prasarana pembelajara. Tanpa dukungan sarana dan prasana yang cukup, maka guru juga akan mengalami kesulian dalam mengajar.

  Jika sekolah tidak mampu memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pembelajaran, maka guru dapat memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran alam yang ada diluar kelas, misalnya lingkungan, kebun sekolah, taman sekolah, fasilitas umum seperti kantor kelurahan, pasar, tempat ibadah, pabrik, super market dan sarana lain yang relevan dengan tema pembelajaran.

  Dalam memanfaatkan sarana pembelajaran di luar kelas, yang terpenting dilakukan guru adalah kerja sama dengan pihak-pihak terkait. Sekolah perlu mengembangkan kemitraan yang lebih luas dengan berbagai pihak yang memiliki daya dukung terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah, baik langsung maupun tak langsung.

  b.

  Memanfaatkan berbagai sumber belajar Sumber belajar merupakan tempat dimana guru mengambil materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Sumber belajar dapat berupa makhluq hidup seperti manusia, hewan, tumbuhan dan makhluq tak hidup seperti buku, majalah, lingkungan a biotik, artikel dan lainnya.

  Dalam mengambil sumber belajar, guru harus mengeksplore sumber belajar sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber agar memperkaya informasi yang akan dihadirkan dalam pembelajaran di kelas. Selama ini terkadang guru masih tepaku pada sumber belajar dari buku teks, padahal informasi di dalamnya sangat singkat dan terbatas.

  Dalam pembelajaran tematik integratif diperlukan kreativitas dan keberanian guru untuk „keluar kelas‟ bersama peserta didik untuk menemukan dan mengkaji sumber belajar yang primer atau otentik, yaitu sumber belajar yang berupa benda atau keadaan yang senyatanya, bukan hasil kajian orang atas benda atau keadaan tersebut. Misalnya : masyarakat, lingkungan alam dan sejenisnya.

  Guru harus berupaya untuk meminimalisir penggunaan buku tesk sebagai sumber belajar, karena buku tersebut dapat dikategorikan sebagai sumber sekunder. Kalaupun guru masih menggunakan buku teks sebagai sumber belajar, maka buku teks harus ditempatkan sebagai

  doxa yang memiliki kebenaran sementara. Dengan demikian, guru

  bersama peserta didik masih memiliki peluang untuk mengkritisi dan mengoreksi kebenaran isi buku tersebut berdasar penemuan terbaru atas kebenaran yang tercantum di dalamnya.

  c.

  Mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran yang bervariasi Media pembelajaran memiliki peran penting dalam pembelajaran tematik integratif. Dalam memilih media pembelajaran, prioritas pertama yang dipilih adalah benda nyata atau situasi nyata yang memungkinkan peserta didik melihat, mendengar, merasakan keadaan yang senyatanya. Cara demikian untuk mengantarkan peserta didik memiliki pengetahuan yang otektik, original.

  Jika guru mengalami kesulitan dalam menemukan benda nyata maka urutan prioritas pemilihan media pembelajaran adalah: 1) benda nyata; 2) benda mitasi, tiruan, miniatur; 3) film slide; 4) gambar. Guru harus berusaha untuk dapat menghadirkan media sesuai dengan urutan prioritas tersebut.

  Selain memperhatikan urutan prioritas tersebut, guru juga harus menghadirkan media yang variatif dalam kegiatan pembelajarn sesuai dengan tema pembelajaran. Variasi penggunaan media pembelajaran ini dapat berfungsi untuk: 1) memotivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran; 2) memperluas wawasan peserta didik terhadap konten materi ajar; 3) melatih peserta didik untuk selalu kreatif; 4) memperdalam pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran.

  d.

  Masih dapat menggunakan buku ajar yang sudah ada saat ini untuk masing-masing mata pelajaran dan dimungkinkan pula untuk menggunakan buku suplemen khusus yang memuat bahan ajar yang terintegrasi.

4. Implikasi terhadap pengaturan ruang kelas

  Beberapa implikasi pembelajaran terhadap pengturan ruang kelas adalah: a.

  Ruang kelas perlu ditata disesuaikan dengan tema yang sedang dilaksanakan.

  Pengembangan pembelajaran tematik integrtif menuntut dinamika penataan ruang kelas. Ada dua cara menata ruang kelas: 1) kelas ditata sedemikian rupa setiap pertemuan sesuai dengan tema pembelajaran; 2) kelas dibuat tematik, kelas ditata secara permanen sesuai dengan tema- tema pembelajaran. Tentunya kedua model penataan kelas tersebut memiliki kelebihan dan kurangan.

  Dalam menata ruang kelas yang paling penting adalah disesuai dengan tema pembelajaran, kemampuan dan keadaan lingkungan sekolah.

  b.

  Susunan bangku peserta didik dapat berubah-ubah disesuaikan dengan keperluan pembelajaran yang sedang berlangsung.

  Pengubahan susunan bangku tempat duduk peserta didik ini dimaksudkan agar peserta didik dapat melakukan aktivitas secara leluasa sesuai dengan tema pembelajaran.

  c.

  Peserta didik tidak selalu duduk di kursi tetapi dapat duduk di tikar/karpet d.

  Kegiatan hendaknya bervariasi dan dapat dilaksanakan baik di dalam kelas maupun di luar kelas e.

  Dinding kelas dapat dimanfaatkan untuk memajang hasil karya peserta didik dan dimanfaatkan sebagai sumber belajar f.

  Alat, sarana dan sumber belajar hendaknya dikelola sehingga memudahkan peserta didik untuk menggunakan dan menyimpannya kembali.

5. Implikasi terhadap pemilihan metode

  Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan berbagai variasi metode yang menyenangkan. Satu hal yang pelu diperhatikan dalam pemilihan dan pengembangan metode pembelajaran adalah guru harus memilih metode pembelajaran yang memungkinkan keterlibatan penuh peserta didik dalam pembelajaran agar mereka mampu menemukan dan mengkonstruk sendiri pengetahuannya menjadi pengetahuan yang bermakna.

Dokumen yang terkait

Strategi Pembelajaran Integratif Guru Kelas 1 Pada Pembelajaran Tematik di SD Muhammadiyah 09 Malang

0 4 17

Pembelajaran Tematik Terpadu Sekolah Dasar Kurikulum 2013

0 6 17

Konsep Pembelajaran Tematik Terpadu

0 6 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pembelajaran Tematik Integratif Berbasis Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Kelas 4 Sekolah Dasar

0 0 57

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pembelajaran Tematik Integratif Berbasis Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Kelas 4 Sekolah Dasar

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pembelajaran Tematik Integratif Berbasis Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Kelas 4 Sekolah Dasar

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pembelajaran Tematik Integratif Berbasis Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Kelas 4 Sekolah Dasar

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pembelajaran Tematik Integratif Berbasis Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Kelas 4 Sekolah Dasar

0 0 77

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Tematik Integratif a. Hakikat Pembelajaran Tematik Integratif - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Desain Pelatihan untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Mengem

0 0 53

Konsep Pembelajaran Tematik Untuk Anak Usia Dini - Universitas Negeri Padang Repository

1 4 138