RESPONS KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM IMPLEMENTASI PENJAMINAN MUTU PADA TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN :Survei Terhadap Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Binjai, Sumatera Utara.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah ... 11

D. Rumusan Masalah ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Manfaat Penelitian ... 15

G. Sasaran Penelitian ... 15

H. Asumsi Penelitian ... 16

I. Hipotesa Penelitian ... 17

J. Metodologi Penelitian ... 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 20

A. Respons ... 20

1. Definisi Respons ... 20


(2)

Halaman

B. Kepala Sekolah ... 26

1. Definisi Kepala Sekolah ... 26

2. Peran Kepala Sekolah ... 29

3. Wewenang dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah ... 33

4. Kekepalasekolahan dan Pengetahuan Kepala Sekolah ... 37

C. Kebijakan ... 40

1. Definisi Kebijakan ... 40

2. Kebijakan Pendidikan ... 44

a. Kebijakan Pemerintah Pusat ... 46

b. Kebijakan Pemerintah Daerah ... 50

D. Lingkup dan Perspektif Mutu ... 54

1. Definisi Mutu ... 54

2. Pentingnya Mutu ... 57

3. Dimensi Mutu ... 58

4. Perspektif Mutu ... 60

5. Sistem Mutu Modern ... 63

6. Manajemen Mutu Terpadu ... 65

E. Penjaminan Mutu Pendidikan ... 68

1. Manajemen Mutu Pendidikan Indonesia ... 68

2. Kebijakan Penjaminan Mutu dan Implementasinya ... 70

a. Kebijakan Penjaminan Mutu ... 70

1. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) ... 70

2. Standar Pelayanan Minimal (SPM) ... 74

3. Ujian Nasional (UN) ... 76

b. Implementasi Penjaminan Mutu ... 79

BAB III METODE PENELITIAN ... 83

A. Metode Penelitian ... 83


(3)

Halaman

C. Kerangka Berpikir, Variabel dan Definisi Operasional ... 85

1. Kerangka Berpikir ... 85

2. Variabel Penelitian ... 89

3. Definisi Operasional ... 89

D. Teknik Pengumpulan Data ... 92

1. Metode atau Instrumen Pengumpulan Data ... 92

a. Teknik Angket (Kuesioner) ... 92

b. Studi Dokumentasi (Kepustakaan) ... 94

2. Teknik Pengujian Instrumen ... 94

a. Uji Validitas ... 95

b. Uji Realibilitas ... 97

E. Pengolahan dan Analisis Data ... 98

1. Pengolahan Data ... 98

2. Analisis Data ... 99

a. Uji Normalitas Data ... 100

b. Uji Linieritas Data ... 101

c. Uji Korelasi Sederhana ... 102

d. Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Antar Variabel ... 102

e. Uji Regresi ... 103

f. Uji Autokorelasi ... 104

g. Uji Multikolinieritas ... 104

h. Uji Heteroskedastistik ... 105

i. Analisa Hubungan antar Variabel ... 106

F. Prosedur dan Tahapan Penelitian ... 107


(4)

Halaman

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 109

A. Hasil Penelitian ... 109

1. Deskripsi Karakteristik Populasi ... 109

2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 113

3. Analisis Statistik ... 120

a. Uji Asumsi ... 121

b. Korelasi dan Regresi Berganda ... 125

B. Pembahasan ... 131

1. Hubungan Respons Kepala Sekolah Terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat dengan Implementasi Penjaminan Mutu Pendidikan ... 131

2. Hubungan Respons Kepala Sekolah Terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah dengan Implementasi Penjaminan Mutu Pendidikan ... 136

3. Hubungan Respons Kepala Sekolah Terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah dengan Implementasi Penjaminan Mutu Pendidik- an ... 139

4. Dominasi Karakteristik Responden Terhadap Implementasi Penjamin an Mutu Pendidikan ... 140

5. Model Respons Kepala Sekolah ... 147

C. Hasil Temuan dalam Penelitian ... 148

BAB V PENUTUP ... 150

A. Kesimpulan ... 150

B. Rekomendasi ... 153

DAFTAR PUSTAKA ... 155 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan sebuah proses pengembangan diri melalui usaha sadar dan terencana agar memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan. Proses ini sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, diwujudkan melalui suasana belajar dan proses pembelajaran. Suasana dan proses pembelajaran tersebut dikembangkan dalam rangka melahirkan manusia berkualitas agar nanti mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dalam upaya terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas maka mutlak diperlukan pendidikan yang berkualitas juga. Dengan pendidikan yang berkualitas atau bermutu maka proses transformasi informasi dan pengetahuan berjalan secara maksimal dan sistematis, sehingga secara bertahap akan mampu membentuk sumber daya manusia yang berkarakter dan bermutu dalam menyongsong era globalisasi.

Secara spesifik, ada beberapa permasalahan pendidikan yang menjadi parasit dalam perkembangan pendidikan di Indonesia menyongsong era global. Permasalahan tersebut yaitu Pertama, Rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan disebabkan oleh implementasi pendidikan yang kurang benar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Idrus (2009:126) bahwa kurang optimalnya


(6)

2

pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia disebabkan oleh pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal. Implementasi pendidikan yang kurang benar.

Kondisi mutu pendidikan sekarang ini dirasakan sangat parah dalam berbagai jenjang, baik pada tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi (Suhardan, 2010:2). Walaupun dalam berbagai olimpiade internasional peserta dari Indonesia telah berhasil mengukir prestasi dengan meraih medali emas, perak, dan perunggu sebagai salah satu tanda mutu yang tinggi, secara global, mutu pendidikan Indonesia masih termasuk rendah. Pada level regional, kualitas pendidikan Indonesia relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pencapaian negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina. Hal ini dapat dilihat dari hasil studi yang diselenggarakan oleh IEA (International Organization for Evaluation of Educational Achievement) yang juga diikuti oleh Indonesia bersama beberapa negara lainnya dalam TIMSS (Trends in International Mathematic and Science Study). Study PISA (Programme for International Student Assesment) yang diselenggarakan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada tahun 2006 menunjukkan bahwa skor Tes PISA pada aspek literasi, numerasi, dan sains masih lebih rendah dari skor negara-negara non-OECD dan negara-negara OECD. Pada kondisi tersebut Indonesia menduduki urutan kelima dari bawah dari 54 negara. Berdasarkan parameter EDI (Education Development Index) Indonesia menduduki peringkat 71 (medium EDI). Data tersebut di atas menunjukkan bahwa dilihat dari segi mutu, Indonesia masih tergolong negara dengan mutu pendidikan yang belum dapat dibanggakan (Depdiknas, 2009:48-49).


(7)

3

Kedua, Kemampuan kognitif lulusan SMP, SMA, dan SMK masih relatif rendah. Contoh faktual dapat dilihat dari persentase kelulusan peserta ujian nasional mulai jenjang SMP/MTs/SMPLB/Paket B dari tahun ajaran 2004/2005 sampai tahun 2007/2008 mengalami kenaikan walaupun tidak secara konsisten atau berfluktuasi dari tahun ke tahun. Rata-rata nilai UN SMP/MTs pada tahun 2008 adalah sebesar 6,87 dengan tingkat kelulusan sebesar 92,76%. Rata-rata nilai ujian SMP/MTs tersebut masih di bawah target 2008, yaitu 7. Hal ini mengkhawatirkan karena di samping target nasional tidak tercapai, juga tingkat kelulusan masih di bawah 95%. (Resntra Kemdiknas 2010-2014:8)

Ketiga, Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas masih terbatas. Masih banyak ruang kelas dengan kondisi rusak ringan/berat, dan masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana sekolah. Dari data Depdiknas (sekarang Kemdiknas) tahun 2007/2008, kondisi ruang kelas untuk SD/MI yang berada dalam kondisi rusak ringan dan berat sebesar 47,9%, untuk SMP/MTs sebesar 20,1%, dan untuk SMA/SMK adalah 10,1%. Hal ini belum lagi ditinjau dari sarana dan prasarana yang masih minim, seperti perpustakaan, laboratorium multimedia, laboratorium IPA, komputer, dan sebagainya. Lebih tajam lagi, Idrus (2009:131) menyatakan bahwa carut marut dunia pendidikan kita ditandai dengan semakin parahnya dan tidak meratanya sarana dan prasarana pendidikan.

Keempat, Manajemen dan tatakelola satuan pendidikan belum efektif. Pengambilan kebijakan pendidikan di sekolah masih belum sepenuhnya didukung oleh kemampuan manajerial yang mapan, sehingga setiap kebijakan pendidikan mengalami kendala kapasitas pada tataran pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini


(8)

4

senada dengan yang disampaikan Taufik Hanafi dalam Simposium Nasional Hasil Penelitian dan Inovasi Pendidikan, Balitbang Kemdiknas, 24 Agustus 2010 bahwa kemampuan manajemen dan tatakelola mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah. Idrus (2009:127) secara gamblang membenarkan fenomena tersebut, di mana dinyatakan bahwa masih banyaknya sekolah belum melaksanakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dengan benar.

Berdasarkan keempat permasalahan yang mengemuka tersebut di atas, disimpulkan bahwa selama ini upaya peningkatan mutu pendidikan yang sedang dan telah dilaksanakan baru menyentuh sisi teknis dari pendidikan. Banyak sisi lainnya yang memiliki dampak penting terhadap mutu pendidikan, tetapi belum kita sentuh, seperti mobilisasi kekuatan daerah dan satuan pendidikan, kemandirian, dan aspek-aspek lain yang menyangkut otonomi dan profesionalisasi. Melalui upaya pengerahan kekuatan daerah dan satuan pendidikan (desentralisasi) akan mampu secara sustainable meningkatkan mutu pendidikan (Suryadi & Tilaar, 1993:159). Benang merah yang dapat ditangkap dari pernyataan tersebut adalah pengerahan kekuatan dalam lingkup otonomi di tingkat satuan pendidikan merupakan salah satu cara efektif dalam menunjang berbagai kebijakan pemerintah dalam implementasi penjaminan mutu di sekolah. Sehingga respons pemimpin satuan pendidikan (kepala sekolah) akan sangat menentukan jalannya setiap program dan kegiatan dalam upaya penjaminan mutu.

Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004) telah membawa sejumlah perubahan dalam tatanan pemerintahan, terutama


(9)

5

diserahkannya sejumlah kewenangan kepada daerah, yang semula menjadi urusan pemerintah pusat. UU yang telah berlaku secara resmi di seluruh Wilayah Republik Indonesia sejak bulan Januari 2001 ini pada hakikatnya merupakan pemberian kewenangan dan keleluasaan pada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam segala urusan, kecuali urusan tertentu yang masih menjadi urusan pemerintah. Salah satu urusan yang diurus oleh pemerintah daerah adalah bidang pendidikan. Otonomi bidang pendidikan berbeda dengan otonomi di bidang pemerintahan lainnya yang berhenti pada tingkat kabupaten/kota. Otonomi di bidang pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi sampai pada ujung tombak pelaksana pendidikan di lapangan, yaitu satuan pendidikan. Sehingga satuan pendidikan merupakan muara otoritas manajemen pendidikan sebagai wujud dari implementasi kebijakan pendidikan.

Walaupun otonomi di bidang pendidikan menjadi kewenangan pemerintah daerah dan satuan pendidikan, namun pada kenyataannya tidak serta merta segala sesuatunya diurus oleh pemerintah daerah dan satuan pendidikan. Pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dalam bidang pendidikan dalam rangka melaksanakan program nasional pendidikan, seperti intervensi dalam peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai kebijakan. Pemerintah juga dapat mendorong pemerintah daerah agar lebih berkonsentrasi untuk mengembangkan berbagai keunggulan daerahnya untuk dirumuskan dalam kebijakan pendidikan di daerah serta memberikan respons yang baik dalam menerima kebijakan nasional pendidikan.


(10)

6

Pendidikan yang bermutu telah lama diidam-idamkan oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas yang mengharuskan sumber daya manusia Indonesia memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi. Terwujudnya pendidikan yang bermutu lahir dari sebuah kebijakan yang mendukung terlaksananya sistem yang bermutu juga. Sehingga kebijakan tentang sistem penjaminan mutu pendidikan merupakan bentuk nyata dari diakuinya eksistensi otonomi daerah dalam merencanakan dan melaksanakan peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan di daerah.

Peran dan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan penjaminan mutu sangat signifikan. Pemerintah bertanggung jawab dalam pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan secara nasional yang memiliki dampak terhadap peningkatan kecerdasan kehidupan bangsa. Sementara itu, pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota berperan aktif dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan dan keberhasilan pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan di daerah termasuk di tingkat satuan pendidikan. Oleh karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat satuan pendidikan, maka peran kepala sekolah sangat menentukan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan agar proses pendidikan berjalan secara efektif dan efisien.

Otonomi pendidikan walaupun memberikan kewenangan yang besar bagi daerah dan satuan pendidikan untuk secara kreatif mengelola dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan sumber daya yang tersedia di masing-masing daerah, namun tetap dilaksanakan dalam koridor kebijakan


(11)

7

pendidikan nasional. Pemberlakuan otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai signifikan bagi daerah untuk berkompetisi secara progresif dalam upaya membangun dan memajukan pendidikan di daerah, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya. Dengan adanya desentralisasi pendidikan tersebut pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berkewajiban untuk mengupayakan secara maksimal pembangunan pendidikan yang terencana, terarah dan berkesinambungan. Begitu juga halnya dengan kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan di tingkat satuan pendidikan yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam ke-otonomiannya untuk memajukan pendidikan di satuan pendidikan yang dikelolanya.

Kepala sekolah merupakan sosok sentral dalam proses pengembangan satuan pendidikan. Peran dan tanggung jawabnya sebagai salah satu pelaku utama dan terdepan dalam mengelola dan menyelenggarakan pendidikan sangat menentukan keberhasilan dan keberlangsungan satuan pendidikan. Dengan kewenangannya sebagai pemimpin institusi profesional kependidikan di era otonomi satuan pendidikan, kepala sekolah pada dasarnya merupakan figur penentu terhadap perubahan corak dan rona pendidikan di sekolah. Hal ini didasari oleh berbagai pelaksanaan keputusan manajemen dan kebijakan satuan pendidikan yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam lingkup kewenangannya dalam upaya mencapai tujuan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.

Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, kepala sekolah selaku pengelola satuan pendidikan harus mampu meluruskan kemampuan internalnya


(12)

8

dalam merespons berbagai kebutuhan yang mendesak dari lingkungan pendidikan. Kepala sekolah harus bisa memahami berbagai perspektif dalam merumuskan program-program pendidikan, memahami tujuan dan maksud yang sedang dikejar oleh usaha pembangunan serta masalah dan isu yang terlibat di dalamnya, seperti masalah penjaminan mutu pada satuan pendidikan (Rohiat, 2008:2).

Sejalan dengan hakikat diberlakukannya otonomi satuan pendidikan tentunya berimplikasi terhadap luasnya peran, tugas dan tanggung jawab kepala sekolah, terutama dalam pengelolaan pendidikan. Artinya, pendidikan sudah menjadi aset mutlak milik satuan pendidikan dan merupakan investasi jangka panjang bagi pembangunan daerah, sehingga kepala sekolah harus senantiasa mampu meningkatkan kemampuannya dalam proses dan tahap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah agar sejalan dengan kebijakan pendidikan yang digariskan pemerintah dan pemerintah daerah. Penerapan sistem penjaminan mutu pendidikan sebagai salah satu kebijakan strategis pemerintah dalam upaya penjaminan mutu pendidikan secara nasional harus diterapkan di daerah. Sementara itu, dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan kebijakan nasional pendidikan melalui kebijakan operasional pendidikan yang akan diterapkan di satuan pendidikan sangat diperlukan, sebab daerah lah yang lebih mengetahui kondisi dan karakteristik daerahnya berdasarkan input dari satuan pendidikan.

Ironisnya, fenomena yang terjadi dan kerap muncul dalam keberlangsungan proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah menuju pendidikan bermutu adalah kemampuan dan akseptabilitas kepala sekolah dalam


(13)

9

merespons berbagai kebijakan, baik kebijakan pusat maupun daerah dalam upaya peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan di sekolah. Sehingga gerak maju pembangunan pendidikan di sekolah menjadi lambat dan bahkan cenderung stagnan. Respons kepala sekolah sebagai pemimpin di satuan pendidikan dalam menyikapi kebijakan pendidikan berpengaruh kepada kelancaran implementasi kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. Dengan dilatarbelakangi oleh fenomena di atas, peneliti mencoba menganalisa bagaimana respons kepala sekolah tentang kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu pendidikan.

B. Identifikasi Masalah

Kebijakan otonomi satuan pendidikan merupakan strategi demokratisasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang menekankan pada desentralisasi otoritas kepada satuan pendidikan. Otonomi satuan pendidikan bertujuan untuk mendudukkan satuan pendidikan menjadi subyek yang mandiri, akuntabel, kreatif, inovatif, dan berkewirausahaan. UU Sisdiknas menganggap begitu pentingnya otonomi satuan pendidikan. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, otonomi diwujudkan dalam bentuk manajemen berbasis sekolah/madrasah. Berbeda dengan kebijakan pendidikan sentralistik, dimana otoritas satuan pendidikan bersumber dari satu otoritas penyelenggaranya berupa delegasi kewenangan. Otonomi satuan pendidikan memberikan ruang dan mendorong satuan pendidikan untuk mandiri, akuntable, kreatif, inovatif, dan berkewirausahaan.


(14)

10

Dengan pemberian otonomi kepada satuan pendidikan maka peran kepala sekolah sangat besar dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Kepala sekolah mengatur berjalannya proses pendidikan di satuan pendidikan dan memastikan terwujudnya budaya pendidikan yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang telah ditetapkan. Kewenangan kepala sekolah akan berdampak terhadap seberapa jauh reaksi, tanggapan, dan jawaban kepala sekolah dalam menyikapi implementasi penjaminan mutu di sekolahnya sebagai bagian dari kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun yang dikembangkan atau dijabarkan oleh pemerintah daerah.

Dengan lahirnya berbagai kebijakan pendidikan dalam skala pembangunan pendidikan nasional menandakan keseriusan pemerintah pusat dalam upaya percepatan pembangunan pendidikan khususnya pada peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan penjaminan mutu yang dikembangkan diberlakukan secara nasional dan pemerintah daerah turut serta mendukung keberlanjutan kebijakan ini baik melalui kebijakan-kebijakan taktis maupun operasional. Kebijakan taktis yang dimaksud dapat berupa peraturan-peraturan daerah yang mendukung kebijakan penjaminan mutu di daerah, sedangkan operasional dapat berupa pedoman atau petunjuk pelaksana (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) operasional pendidikan yang dikeluarkan melaui dinas pendidikan di daerah. Dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini sudah jelas bahwa penerapannya ditujukan kepada satuan pendidikan, sebab satuan pendidikan merupakan ujung tombak dari upaya perbaikan, peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan. Sementara itu, kepala sekolah sebagai pemegang kewenangan


(15)

11

pengelolaan pendidikan di sekolah menentukan arah dan tujuan sekolah yang dipimpinnya berdasarkan visi dan misi yang telah dirumuskan. Dengan kewenangannya yang luas itu, kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan penjaminan mutu pendidikan di sekolah. Sehingga respons kepala sekolah dalam menyikapi kebijakan pemerintah tersebut khususnya dalam implementasi penjaminan mutu sangat urgen. Signifikansi reaksi, tanggapan atau jawaban kepala sekolah terhadap kebijakan tersebut akan mempermudah terlaksananya penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan.

C. Batasan Masalah

Kebijakan penjaminan mutu di tingkat satuan pendidikan merupakan kebijakan terobosan yang bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih besar pada satuan pendidikan untuk mengelola kegiatan pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan yang ada, kemudian mengembangkan dan memanfaatkannya untuk meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan tersebut. Implementasi penjaminan mutu sebagai bagian dari kebijakan pendidikan tidak akan berhasil dilaksanakan di tingkat satuan pendidikan jika tidak ada tindak lanjut dari satuan pendidikan itu sendiri.

Dalam pelimpahan urusan pendidikan di daerah dengan prinsip otonomi, daerah diberi kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan daerah di bidang pendidikan. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, Dinas pendidikan tingkat kabupaten/kota sebagai perangkat pemerintah daerah yang otonom dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, bahkan dalam


(16)

12

pengelolaan pendidikan setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian, perubahan dan kemajuan pendidikan di sekolah sangat bergantung pada kemampuan kepala sekolah menerima, merumuskan dan mengembangkan kebijakan pendidikan. Selama ini, menurut Idrus (2009:128) setelah otonomi pendidikan diberlakukan ternyata banyak pihak baik pihak sekolah maupun pemerintah daerah belum memahami apa yang seharusnya dilakukan. Hal ini tentu saja pertama sekali terkait dengan respons dari pihak sekolah atau pemerintah daerah sendiri terhadap upaya peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan.

Mengacu pada asumsi di atas, maka masalah yang diteliti dibatasi pada respons kepala sekolah di tingkat satuan pendidikan khususnya kepala sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Binjai tentang kebijakan pemerintah dan pemerintah kota Binjai dalam pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan. Berhubungan begitu banyaknya kebijakan pendidikan dalam rangka penjaminan mutu, maka dalam penelitian ini penulis membatasi pada kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan pelaksanaan Ujian Nasional (UN). SPMP didasari oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 63 Tahun 2009 yang terbit pada tanggal 29 September 2009. SPM didasari pada Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 dan UN didasari oleh terbitnya Permendiknas Nomor 45 dan 46 Tahun 2010 tentang Kriteria Lulusan dan Pelaksanaan Ujian Nasional.


(17)

13

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah tersebut di atas, maka masalah-masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat? 2. Bagaimana respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah? 3. Bagaimana implementasi penjaminan mutu pendidikan di satuan

pendidikan?

4. Bagaimana hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan?

5. Bagaimana hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan?

6. Bagaimana hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah?

7. Bagaimana hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan?

E. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana respons kepala sekolah sebagai pemimpin di satuan pendidikan terhadap


(18)

14

kebijakan pendidikan pemerintah pusat dan kebijakan pendidikan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu pendidikan.

Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui reaksi, tanggapan atau jawaban (respons) kepala sekolah tentang kebijakan pemerintah pusat

b. Mengetahui reaksi, tanggapan atau jawaban (respons) kepala sekolah tentang kebijakan pemerintah daerah

c. Mengetahui bagaimana implementasi penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan (sekolah)

d. Mengetahui bagaimana hubungan respons kelapa sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat

e. Mengetahui bagaimana hubungan respons kelapa sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah

f. Mengetahui bagaimana hubungan respons kelapa sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

g. Mengetahui bagaimana hubungan respons kelapa sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan

F. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah perkembangan khazanah pengetahuan dalam kerangka penjaminan mutu; dan memberi


(19)

15

sumbangan pemikiran bagi pembuat dan pelaksana kebijakan pendidikan baik di tingkat pusat, daerah, maupun satuan pendidikan untuk dapat secara bersama-sama mendorong terlaksanannya upaya penjaminan mutu pendidikan.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan yang sangat berarti bagi :

a. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) sebagai anasir pemerintah pusat dalam merumuskan kebijakan dengan memperhatikan kondisi riil di daerah dan satuan pendidikan.

b. Dinas Pendidikan (Disdik) kota Binjai sebagai satuan perangkat kerja pemerintah kota Binjai yang menangani urusan pendidikan dalam menjabarkan kebijakan pusat dan merumuskan kebijakan operasional dengan memperhatikan kondisi riil dan kebutuhan di tingkat satuan pendidikan.

c. Kepala Sekolah SMP di kota Binjai sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan sekolah (school policy) untuk dapat meningkatkan kemampuan akseptabilitas dan pemahamannya terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan dalam rangka penjaminan mutu pendidikan.

G. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini diarahkan pada Kepala Sekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berjumlah 40 (empat puluh) orang. Kepala Sekolah yang menjadi sasaran dalam penelitian ini berasal dari sekolah negeri dan swasta yang ada di kota Binjai, Sumatera Utara.


(20)

16

Di samping itu, penelitian ini melibatkan guru dan siswa di SMP dimaksud sebagai responden. Hal ini bertujuan untuk memperkuat hasil penelitian yang berfokus kepada Kepala Sekolah. Guru yang dilibatkan sebagai responden berjumlah 2 orang pada masing-masing sekolah, sedangkan siswa berjumlah 3 orang untuk masing-masing sekolah.

H. Asumsi Penelitian

Penelitian ini didasarkan atas asumsi dasar sebagai berikut :

1. Respons kepala sekolah terhadap setiap kebijakan pendidikan pastilah berbeda-beda terutama dalam implementasi penjaminan mutu pendidikan. Perbedaan respons ini terkait dengan keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di sekolah. Persoalannya ialah manakala campur tangan pemerintah itu (kebijakan pendidikan) tidak disikapi secara positif oleh kepala sekolah, tentu saja semuanya akan sia-sia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, respons kepala sekolah dalam implementasi setiap kebijakan pendidikan memberikan kelancaran dan kesuksesan setiap program pembangunan pendidikan di satuan pendidikan dalam upaya penjaminan mutu pendidikan.

2. Pada dasarnya implementasi kebijakan pendidikan berguna untuk menvalidasi keputusan kebijakan yang dipilih dalam realitas pendidikan. Dalam implementasi, keputusan kebijakan diidentifikasikan dan dispesifikasikan sehingga program kerja menjadi jelas. Di sinilah peran


(21)

17

strategis desicion maker di satuan pendidikan dalam menentukan keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan tersebut.

3. Reaksi, tanggapan atau jawaban kepala sekolah dalam kewenangannya sebagai bagian dari implikasi konsep otonomi satuan pendidikan akan sangat menentukan terlaksananya setiap kebijakan pendidikan di sekolah. Melalui school policy yang mendukung setiap kebijakan pendidikan akan mempercepat dan mempermudah terlaksananya upaya penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan.

I. Hipotesa Penelitian

Penelitian ini memiliki tiga variabel yang dirumuskan dua variabel bebas (X1 dan X2) dan satu variabel terikat (Y). Variabel bebas meliputi respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat (X1) dan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah (X2), sedangkan variabel terikatnya adalah implementasi penjaminan mutu pendidikan (Y).

Dalam penelitian ini dirumuskan tiga hipotesa asosiatif untuk mencari hubungan antar variabel, dan tiga hipotesa deskriptif untuk menggambarkan variabel-variabel yang diteliti.

1. Paradigma adalah hubungan yang terjadi antara setiap variabel-variabel dalam penelitian, yaitu hubungan antara X1, X2 dan Y yang digambarkan dengan hubungan statistik berikut di bawah ini :


(22)

18

Bagan 1.1

Hubungan Antara Variabel

2. Rumusan hipotesa penelitian berdasarkan paradigma penelitian dan rumusan masalah penelitian sebagai berikut :

a. Terdapat hubungan antara respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan implementasi penjaminan mutu pada satuan pendidikan

b. Terdapat hubungan antara respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah dengan implementasi penjaminan mutu pada satuan pendidikan

c. Terdapat hubungan antara respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

d. Terdapat hubungan antara respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah dengan implementasi penjaminan mutu pada satuan pendidikan

Respons Kepala Sekolah Terhadap Kebijakan

Pemerintah Pusat

Respons Kepala Sekolah Terhadap Kebijakan

Pemerintah Daerah

Implementasi Penjaminan Mutu


(23)

19

J. Metodologi Penelitian

Penelitian ini didesain sebagai penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang berlandaskan pada realita atau gejala yang dapat diklasifikasikan, relatif, konkrit, terukur, dan memiliki hubungan sebab akibat. Sehingga penelitian ini diarahkan pada penelitian populasi.

Proses dalam penelitian ini lebih bersifat deduktif dan analisis statistik untuk menjawab rumusan masalah yang ada, sehingga menemukan keselarasan dengan konsep atau teori pendukung. Oleh sebab itu dalam penelitian ini menggunakan instrumen penelitian yang berbentuk kuesioner dengan pertanyaan yang berisi dengan penggalian informasi terhadap responden tentang keadaan yang sebenarnya. Informasi tersebut dalam bentuk persepsi, pendapat dan pengetahuan yang dimiliki responden terhadap masalah yang diteliti.

Pengumpulan data dan analisa data dilakukan dengan menggunakan hasil-hasil yang diberikan responden terhadap pengisian kuesioner penelitian. Pengolahan dan analisis hasil penelitian dengan menggunakan dasar-dasar statistik untuk penelitian di bidang pendidikan.


(24)

83 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian survei yang dimaksud adalah bersifat menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesis. Seperti yang dikemukakan oleh Masri Singarimbun (2003:21) penelitian survei dapat digunakan untuk maksud (1) penjajakan (eksploratif), (2) deskriptif, (3) penjelasan (eksplanatory atau confirmatory), yakni menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesis, (4) evaluasi, (5) prediksi atau meramalkan kejadian tertentu di masa yang akan datang, (6) penelitian operasional, dan (7) pengembangan indikator-indikator sosial. Studi yang dikembangkan dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner (Riduwan, 2009:93-94).

Penelitian survei dipilih berdasarkan beberapa hal, yaitu efektifitas waktu dan tenaga, efisiensi biaya dan mempermudah generalisasi permasalahan menjadi kesimpulan yang dapat diterima. Pada penelitian ini disebarkan kuesioner mengenai respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi penjaminan mutu kepada Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Binjai, Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan studi kepustakaan dan studi lapangan agar dapat ditemukan jawaban dari akar permasalahan secara komprehensif.


(25)

84

B. Populasi

Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin baik hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif dari karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya (Sudjana, 1992:6).

Populasi penelitian adalah seluruh individu (kepala sekolah) yang dikenai sasaran generalisasi. Arikunto (2005:120) mengemukakan bahwa untuk sekedar encer-encer maka apabila subjek kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.

Memperhatikan pernyataan di atas, karena jumlah populasi kurang dari 100 orang, maka penelitian ini merupakan penelitian populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala sekolah pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di kota Binjai yang berjumlah 40 orang kepala sekolah, yang terdiri dari 14 orang di SMP Negeri dan 26 orang di SMP Swasta.

Sebagai pembanding maka dilibatkan juga para guru dan siswa di masing-masing sekolah. Hal ini dimaksud agar dapat membuktikan jawaban dari pernyataan responden utama. Dalam penelitian ini, guru yang dilibatkan adalah sebanyak 2 orang dan siswa 3 orang di masing-masing sekolah.


(26)

85

Berikut adalah sebaran populasi di 40 sekolah di kota Binjai: Tabel 3.1

Jumlah Populasi Penelitian

No. Kecamatan Tingkat SMP Jumlah

SMP Negeri SMP Swasta

1 Binjai Barat 2 2 4

2 Binjai Kota 3 7 10

3 Binjai Selatan 2 2 4

4 Binjai Timur 3 6 9

5 Binjai Utara 4 9 13

Jumlah 14 26 40

Sumber data : Hamidan, Kepala Seksi Data pada Dinas Pendidikan kota Binjai, diperoleh pada 2 Pebruari 2011, pukul 10.30 wib

C. Kerangka Berpikir, Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teori yang diuraikan di atas, pada dasarnya kewenangan kepala sekolah sebagai pemimpin di satuan pendidikan sangat besar. Di samping otoritasnya dalam aplikasi otonomi sekolah sebagai sebuah kewenangan pengelolaan, kepala sekolah juga berperan besar terhadap perkembangan sekolah. Kepala sekolah memiliki kewenangan dalam menerjemahkan kebijakan dari pimpinan lebih tinggi sesuai visi, misi, dan sasaran sekolah yang mengacu kepada sumber daya di dalam dan luar sekolah.

Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pendidikan akan sangat mempengaruhi pola pikir kepala sekolah dalam melaksanakan kebijakan


(27)

86

pendidikan itu sendiri, baik kebijakan dari pemerintah pusat maupun daerah. Implementasi kebijakan tersebut akan berkorelasi dengan mutu pendidikan di sekolah, apakah mutu meningkat atau tidak atau bahkan terjadi kemerosatan mutu.

stimulus

organisme

respons

Bagan 3.1 Kerangka Berpikir Pemerintah Pusat

Kementerian Pendidikan Nasional

Kebijakan

Pemerintah Daerah Dinas Pendidikan

Kota

Kebijakan

Penjaminan Mutu di Satuan Pendidikan IMPLEMENTASI

Sekolah Kepala Sekolah

Negatif Positif

Mutu Meningkat Mutu Tidak Meningkat

SEKOLAH

1. Kepala Sekolah 2. Guru


(28)

87

Dari bagan 3.1 digambarkan bahwa ada Stimulus (kebijakan), Organisme (kepala sekolah), dan Respons (sikap, reaksi atau tanggapan) yang diadopsi dari teori S-O-R. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada kepala sekolah mungkin diterima atau mungkin ditolak, sehingga perlu berlangsung tindaklanjut dalam membentuk sikap, opini ataupun perilaku melalui pemahaman kebijakan agar ada perhatian dari kepala sekolah untuk bersikap atau bereaksi.

Dalam upaya peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan, Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan berbagai peraturan atau regulasi dalam konteks berlaku secara nasional sebagai bagian dari instrumen kebijakan pendidikan. Begitu juga halnya dengan Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan menerbitkan tafsiran aturan baik berupa pedoman, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, dan sebagainya yang pada dasarnya mendukung kebijakan nasional pendidikan.

Kedua sumber kebijakan ini yang nantinya akan dilaksanakan di sekolah sebagai bagian dari kebijakan sekolah yang bermuara kepada peningkatan derajat pemerataan, mutu, dan pemberdayaan masyarakat menuju bangsa berbudaya, beradab, dan bermartabat (Syafaruddin, 2008:20). Artinya setiap kebijakan penjaminan mutu pendidikan yang dikeluarkan oleh kementerian pendidikan nasional dan dinas pendidikan akan diimplementasikan di satuan pendidikan melalui kebijakan kepala sekolah sebagai pimpinan satuan pendidikan.

Kepala sekolah sebagai aktor pelaksana operasional pendidikan di sekolah tentunya akan merespons setiap kebijakan tersebut. Respons kepala sekolah sangat signifikan dalam implementasi kebijakan karena akan menentukan


(29)

88

kadar ketercapaian upaya penjaminan mutu pendidikan di sekolah. Respons baik (positif) atau tidak baik (negatif) terhadap kebijakan akan mempengaruhi rona keberlangsungan program penjaminan mutu pendidikan. Respons baik (positif) tentunya akan tergambar dari optimalisasi pelaksanaan upaya penjaminan mutu di sekolah, sehingga akan dapat meningkatkan mutu itu sendiri di sekolah. Begitu juga sebaliknya, dengan respons yang tidak baik (negatif) akan mempengaruhi juga terhadap upaya peningkatan mutu, sehingga dapat dikatakan mutu tidak meningkat atau bahkan dapat merosot.

Sekolah unggul bermula dari kebijakan pendidikan atau kebijakan sekolah untuk mengarahkan perubahan atau pengembangan yang diinginkan sesuai dengan potensi sumber daya sehingga sekolah benar-benar efektif (Syafaruddin, 2008:13). Untuk itu dalam menerjemahkan kebijakan pendidikan nasional ke dalam kebijakan sekolah merupakan tugas berat para kepala dinas dan kepala sekolah di era otonomi daerah. Selain itu, kebijakan pendidikan yang dikeluarkan Dinas Pendidikan juga perlu menjadi acuan para kepala sekolah yang menginginkan pencapaian keunggulan sekolah. Jangan-jangan, intervensi Kepala Dinas Pendidikan begitu dominan sehingga kepala sekolah yang visioner, profesional, dan inovatif kehilangan ruang gerak untuk melakukan perubahan dengan berbagai kebijakan peningkatan mutu. Sebab, salah satu dampak kebijakan desentralisasi pendidikan adalah memberi peluang kekuasaan yang cukup kuat dan besar bagi para Kepala Dinas Pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota secara individual memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam mengambil keputusan (Chan dan Sam, 2004:8).


(30)

89

2. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah komponen-komponen yang bisa diukur dan dinilai, sehingga dapat ditemukan hubungan setiap variabelnya. Menurut dari kerangka berpikir, variabel dalam penelitian ini adalah :

a. Variabel independen, variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab timbulnya variabel dependen. Dalam penelitian ini variabel independen adalah respons kepala sekolah terhadap kebijakan pusat dan respons kepala sekolah terhadap kebijakan daerah

b. Variabel dependen, variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel independen. Penelitian ini memiliki variabel dependen yaitu implementasi penjaminan mutu pendidikan

3. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel bertujuan untuk menjelaskan makna variabel yang sedang diteliti. Masri. S (2003:46-47) memberikan pengertian tentang definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel, dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi operasional itu harus diukur dan spesifik serta bisa dipahami oleh orang lain (Riduwan, 2009:96-97).


(31)

90

Adapun definisi operasional adalah sebagai berikut.

a. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat (X1) adalah reaksi, tanggapan, jawaban atau tindakan kepala sekolah selaku pemimpin sekolah dalam menyikapi kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan sektor pendidikan. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan yang dikeluarkan melalui instrumen kebijakan berupa UU, PP, Perpres, Inpres, Permendiknas, Keputusan Mendiknas, Surat Edaran Direktur Jenderal dan seterusnya. Kebijakan tersebut diterbitkan oleh pejabat atau lembaga negara dalam konteks pemerintah pusat dalam menunjang pembangunan sektor pendidikan.

b. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah (X2) adalah reaksi, tanggapan, jawaban atau tindakan kepala sekolah selaku pemimpin sekolah dalam menyikapi kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan sektor pendidikan di daerah. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan yang dikeluarkan melalui instrumen kebijakan berupa Perda, Peraturan Bupati/Walikota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Dinas Pendidikan, Surat Edaran Kepala Dinas dan seterusnya. Kebijakan tersebut diterbitkan oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah dalam konteks kebijakan baru atau tindaklanjut kebijakan pemerintah pusat sebagaimana tersebut di atas yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dalam menunjang pembangunan sektor pendidikan di daerah.


(32)

91

(untuk respons dikembangkan dari Teori S-O-R, (Effendy:2003:254-255) dan untuk kebijakan pendidikan pusat dan daerah dikembangkan dari kebijakan pendidikan (Rohman & Wiyono:2010,12-15)).

Bagaimana kebijakan dapat ditafsirkan dan dilaksanakan untuk pengembangan sekolah dalam konteks perubahan dan desentralisasi pendidikan. Sekolah memiliki kekuatan untuk mengurus sekolahnya dalam format kebijakan peningkatan mutu walaupun kekuatan tersebut habis dikuras oleh kewenangan Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Sehingga perlu dipahami berbagai kebijakan pendidikan untuk mereduksi kelemahan dan hambatan kebijakan sekolah menuju keunggulan mutu sebagaimana yang diharapkan (Syafaruddin, 2008:15).

c. Implementasi penjaminan mutu pendidikan (Y) adalah program atau kegiatan pendidikan yang dilaksanakan sebagai bagian dari sistem penjaminan mutu pendidikan. Implementasi penjaminan mutu dimaksud dalam penelitian ini difokuskan pada program pencapaian SPMP, SPM dan pelaksanaan UN pada satuan pendidikan. (dikembangkan dari Permendiknas 63/2010 tentang SPMP, Permendiknas 15/2010 tentang SPM, dan Permendiknas 45/2010 tentang Kriteria Kelulusan, serta Permendiknas 46/2010 tentang Pelaksanaan UN).

Kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional, Kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, serta kebijakan sekolah harus bermuara kepada peningkatan derajat pemerataan, mutu, dan pemberdayaan masyarakat menuju bangsa berbudaya, beradab, dan bermartabat (Syafaruddin, 2008:20).


(33)

92

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Metode atau Instrumen Pengumpulan Data

Nasir (2003:328) mengatakan bahwa teknik pengumpulan data merupakan alat-alat ukur yang diperlukan dalam melaksanakan suatu penelitian. Data yang akan dikumpulkan berupa angka-angka, keterangan tertulis, informasi lisan, dan beragam fakta yang berhubungan dengan fokus penelitian.

Sehubungan dengan pengertian teknik pengumpulan data dan wujud data yang akan dikumpulkan, maka dalam penelitian ini digunakan dua teknik utama pengumpulan data, yaitu teknik angket dan studi dokumentasi.

1. Teknik angket (kuesioner)

Penyebaran angket atau kuesioner dilakukan untuk menjaring data berupa jawaban, tanggapan atau sikap tertulis dari responden (kepala sekolah) melalui sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman tentang kebijakan, kebijakan-kebijakan pendidikan dan tindaklanjut kebijakan itu sendiri di satuan pendidikan yang dipimpin oleh responden.

Pada penelitian ini, angket dijadikan sebagai alat pengumpul data dengan pertimbangan, (a) memudahkan responden untuk memberikan jawaban yang diperlukan, (b) terstandar, sehingga bagi semua responden dapat diberi pertanyaan yang benar-benar sama, dan (c) menjaring sejumlah data yang dibutuhkan dalam waktu relatif singkat.

Angket atau kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup, yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih. Dipandang dari bentuknya maka ada rating scale (skala bertingkat),


(34)

93

yaitu pernyataan diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukan tingkatan-tingkatan, misalnya mulai dari sangat baik sekali sampai ke sangat tidak baik sekali (Arikunto, 2010:195).

Jenis kuesioner yang digunakan adalah jenis skala Likert yang berbentuk

checklist dengan skala empat. Kuesioner jenis ini dipilih karena angket dengan skala Likert biasanya digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2009:134). Pada setiap butir soal disediakan empat pilihan jawaban yang di antaranya adalah kategori sangat baik diberi nilai 4, baik diberi nilai 3, cukup diberi nilai 2, dan

kurang diberi nilai 1.

Responden utama dalam penelitian ini adalah kepala sekolah pada tingkat SMP di kota Binjai. Hal ini dimaksudkan untuk menjaring data tentang respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta pelaksanaan program atau kebijakan sekolah sebagai bagian dari implementasi penjaminan mutu di sekolah. Sedangkan, untuk memperoleh data dan informasi yang proporsional terutama dalam hal implementasi penjaminan mutu maka kuesioner juga diisi oleh dua orang guru senior/koordinator penjaminan mutu di sekolah/perwakilan guru dan tiga orang peserta didik (kelas IX) di masing-masing sekolah. Sehingga jumlah responden keseluruhan adalah 40 (empat puluh) orang kepala sekolah, 80 (delapan puluh) orang perwakilan guru, dan 120 (seratus dua puluh) orang peserta didik.


(35)

94

2. Studi dokumentasi (kepustakaan)

Studi dokumentasi dilakukan untuk menjaring data yang didokumentasikan oleh sekolah. Dokumen yang dijadikan data adalah profil sekolah, visi misi dan rencana strategis sekolah, serta implementasi program pendidikan di sekolah. Studi dokumentasi juga mengarah kepada dokumen-dokumen tentang kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah. Dokumen tersebut berupa salinan peraturan perundang-undangan dan peraturan atau instrumen kebijakan lainnya.

Pemilihan teknik ini didasari oleh fokus penelitian yang banyak berada dalam ranah kebijakan atau peraturan-peraturan yang menjadikan landasan hukum atau peraturan atau ketentuan sebagai bahan penting. Sesuai dengan Arikunto (2010:202) yang menyatakan bahwa dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis.

Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya yang diperoleh dari berbagai sumber baik dari kementerian pendidikan, dinas pendidikan, bagian hukum sekretariat daerah kota Binjai, maupun dari sumber lain (media massa, elektronik dan website)

2. Teknik Pengujian Instrumen

Dalam pengujian instrumen penelitian meliputi langkah-langkah sebagai berikut :


(36)

95

a. Uji validitas

Untuk mengetahui kevalidan atau kesahihan suatu instrumen maka dilakukan proses validasi. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Menurut Arikunto (2006:168) menyatakan bahwa validitas adalah ukuran yang menunjukan tingkatan-tingkatan kevalidan atau kesahihan suatu instrumen.

Dalam uji validitas ini digunakan teknik korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson, untuk mencari korelasi antara skor item dengan skor total. Rumus korelasi yang digunakan adalah sebagai berikut (Arikunto, 2010:213) :

∑ ∑ 3.1

Harga menunjukan indeks korelasi antara dua variabel yang dikorelasikan. Setiap nilai korelasi mengandung tiga makna, yaitu :

1. ada tidaknya korelasi; ditunjukan oleh besarnya angka yang terdapat di belakang koma. Jika angka tersebut terlalu kecil sampai empat angka di belakang koma, misalnya 0,0002, maka dapat dianggap bahwa antara variabel X dan variabel Y, karena kalau pun ada, angkanya terlalu kecil, lalu diabaikan

2. arah korelasi; yaitu arah yang menunjukan kesejajaran antara nilai variabel X dengan nilai variabel Y. Arah dari korelasi ini ditunjukan oleh tanda


(37)

96

hitung yang ada di depan indeks. Jika tandanya plus (+), maka arah korelasinya positif, sedang kalau minus (-) maka arah korelasinya negatif. 3. Besarnya korelasi; yaitu besarnya angka yang menunjukan kuat atau

tidaknya, atau mantap tidaknya kesejajaran antara dua variabel yang diukur korelasinya.

Uji validitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 17.0 for windows.

Tabel 3.2

Hasil Uji Validitas Kuesioner Penelitian

No. Kuesioner Jumlah butir

pernyataan Valid

Tidak valid 1. Respons kepala sekolah terhadap

kebijakan pemerintah pusat (X1)

25 25

2. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah (X2)

37 35 2

3. Implementasi Penjaminan Mutu Pendidikan (Y)

31 30 1

Berdasarkan Tabel 3.2 di atas, terdapat tiga butir soal yang tidak valid yaitu pada instrumen respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah (2 butir soal) dan pada instrumen implementasi penjaminan mutu pendidikan (1 butir soal). Ketiga soal tersebut diputuskan untuk dibuang atau tidak digunakan lagi.


(38)

97

2.1 Uji Realibilitas

Reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu. Reliabel artinya dapat dipercaya; jadi dapat diandalkan. Realibilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto, 2010:221).

Dalam uji realibilitas ini dilakukan dengan realibilitas internal, yaitu dilakukan dengan cara menyobakan instrumen sekali saja dan melihat variasi dari setiap item pertanyaan serta menganalisis data dari satu kali hasil percobaan tersebut. Sesuai dengan Sugiyono (2009:185) yang menyatakan pengujian reliabilitas dengan internal cocsistency, dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali saja, kemudian yang data diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Hasil analisis dapat digunakan untuk memprediksi realibilitas instrumen.

Dalam pengujian realibilitas instrumen ini dilakukan dengan teknik belah dua dari Spearman Brown (Split half) dengan rumus (Arikunto, 2010:223) :

2 / /

1 / / 3.2

Dengan keterangan :

= realibilitas instrumen

/ / = yang disebutkan sebagai indeks korelasi antara dua belahan


(39)

98

Tabel 3.3

Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Penelitian

No Instrumen Penelitian Variabel Cronbach's

Cronbach's Alpha

Items Alpha Based on

Standardized 1. Respons Kepala Sekolah

Terhadap Kebijakan X1 0,967 0,969 25

Pemerintah Pusat

2. Respons Kepala Sekolah

Terhadap Kebijakan X2 0,975 0,977 37

Pemerintah Daerah 3. Implementasi Penjaminan

Y 0,966 0,966 31

Mutu di Satuan Pendidikan

5. Pengolahan dan Analisis Data 5.1 Pengolahan Data

Penelitian ini difokuskan pada respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi penjaminan mutu pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri dan swasta di kota Binjai, Sumatera Utara. Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah melalui angket/kuesioner dan wawancara dengan unit analisis kepala sekolah. Pengumpulan data dengan kuesioner disertai dengan pengisian data karakteristik responden (kepala sekolah, guru, dan siswa) dan disertai juga dengan studi dokumentasi.

Sementara itu, dalam pengolahan data, langkah pertama yang dilakukan adalah memeriksa dan menyeleksi data yang terkumpul dari responden. Hal ini


(40)

99

penting dilakukan untuk meyakinkan bahwa data telah terkumpul semuanya dan memenuhi syarat untuk diolah. Selanjutnya diuraikan langkah-langkah awal dalam pengolahan data:

1. Memastikan nama dan kelengkapan identitas responden

2. Memastikan kelengkapan data dengan memeriksa isi instrumen, dimaksudkan apakah semua item pernyataan atau pertanyaan telah dijawab sesuai dengan ketentuan

3. Memastikan keterkumpulan dan kelayakan data untuk diolah

4. Mengubah skor mentah menjadi skor baku, dengan menggunakan rumus : z X MSD 3.3

5. Nilai skor baku diubah menjadi angka skala dengan menggunakan T-score,

dengan rumus :

10" 50 (Persamaan 3.4)

5.2 Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah data dikumpulkan dalam bentuk tabulasi data. Kemudian dianalisa satu persatu sesuai dengan variabel-variabel yang diukur dan dilakukan uji asumsi, yang meliputi uji normalitas, uji linieritas, uji homogenitas, uji multikolinieritas, autokorelasi dan uji heteroskedastisitas. Semua uji ini dilakukan sebelum melakukan perhitungan korelasi dan regresi berganda untuk mencari hubungan antara variabel dependen dan variabel indevenden. Teknik analisis data penelitian meliputi langkah-langkah sebagai berikut:


(41)

100

a. Uji normalitas data

Uji normalitas merupakan salah satu uji persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan analisis parametik (Sudarmanto, 2005:105). Uji normalitas data bermanfaat untuk menganalisis data setiap variabel apakah berdistribusi normal atau tidak sehingga dapat digunakan dalam statistik parametrik (inferensial). Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menguji normalitas data antara lain menggunakan Chi Kuadrat (χ dengan persamaan yang akan dituliskan berikut kemudian dibandingkan dengan harga Chi Kuadrat

tabel. Bila Chi Kuadrat hitung lebih kecil atau sama dengan harga Chi Kuadrat

tabel (χh2 χt2

), maka distribusi data dinyatakan normal sehingga penggunaan statistik parametris untuk pengujian hipotesis dapat dilanjutkan.

χ $ %& %'

%' 3.5 Dimana: fo adalah frekuensi tabel dan fh adalah frekuensi hitung.

Uji normalitas data penelitian berfungsi sebagai analisa data penelitian yang berdistribusi normal ataukah tidak berdistribusi normal, sehingga data dapat dianalisa ke dalam korelasi dan regresi. Secara rinci, untuk melakukan uji normalitas data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut (Sugiyono 2010:241):

1) Merangkum seluruh data respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat, respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah, dan implementasi penjaminan mutu pendidikan pada tingkat satuan pendidikan ;


(42)

101

2) Menentukan jumlah kelas interval; 3) Menentukan panjang kelas interval;

4) Menyusun ke dalam distribusi frekuensi untuk menghitung harga chi kuadrat;

5) Mencari frekuensi yang diharapkan;

6) Menghitung setiap harga frekuensi untuk mendapatkan chi kuadrat hitung; 7) Membandingkan harga chi kuadrat hitung dengan chi kuadrat tabel, bila chi

kuadrat hitung lebih kecil atau sama dengan chi kuadrat tabel, maka distribusi data dinyatakan normal.

Hasil uji normalitas data penelitian dengan SPSS, dibaca dengan melihat nilai signifikan, jika signifikan > 0.05, maka data dinyatakan berdistribusi normal. Dan jika signifikan < 0.05, data tidak berdistribusi normal.

b. Uji Linieritas Data

Uji ini dipergunakan untuk apakah dua variabel yang dikenai prosedur analisis statistik korelasional menunjukan hubungan yang linier atau tidak. Langkah-langkah kerja untuk melakukan uji linieritas sama dengan langkah-langkah dalam melakukan uji normalitas. Untuk mendeteksi data penelitian berhubungan secara linier atau tidak, dengan melihat nilai signifikan linierity. Jika

sig linierity > 0.05, maka dinyatakan hubungan dua variabel tidak linier. Namun jika nilai sig linierity < 0.05, maka dinyatakan hubungan dua variabel penelitian adalah linier.


(43)

102

c. Uji Korelasi Sederhana

Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis pertama, kedua dan ketiga. Uji korelasi sederhana ini menggunakan korelasi Pearson Product Moment dengan rumus:

∑ ∑ 3.6

) )))

* ∑ )) +* ∑ )) + 3.7

Perhitungan rumus pertama digunakan untuk menguji hipotesis hubungan sedangkan rumus kedua digunakan bila sekaligus akan menghitung persamaan regresi.

d. Uji Signifikansi Koefisien Korelasi antar variabel

Untuk mengetahui apakah koefisien korelasi antar variabel tersebut diatas signifikan atau tidak, maka perlu di uji signifikansinya dengan rumus t

berikut atau membandingkan dengan tabel korelasi. Ketentuannya adalah bila

thitung lebih besar dari ttabel, maka koefisien korelasi ganda yang diuji adalah signifikan, yaitu dapat diberlakukan untuk seluruh populasi dan sebaliknya.

-')./01 √1√ 2 3.8

keterangan:

r = koefisien korelasi product moment


(44)

103

e. Uji Regresi

Uji regresi digunakan untuk mempelajari hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat (X1 terhadap Y, X2 terhadap Y) dan hubungan antara variabel bebas (X1 terhadap X2). Dengan uji regresi, dapat diprediksi seberapa tinggi nilai variabel dependen bila nilai variabel independen dimanipulasi/dirubah-rubah (Sugiyono, 2009:262).

Uji regresi menggunakan persamaan:

45 67 regresi sederhana (Persamaan 3.9) Dengan keterangan:

Y’ = nilai yang diprediksi

a = konstanta atau bil harga X=0 B = koofisien regresi

X = nilai variabel independen

Untuk menentukan nilai a dan b dapat dihitung dengan persamaan: ∑ 4) ∑ 7) ∑ 7) ∑ 7)4)

∑ 7) ∑ 7) 45 67 3.10

6 ∑ 7∑ 7)4) ∑ 7) ∑ 4)

) ∑ 7) 3.11 Keterangan:

45 = harga variabel Y yang diramalkan

a = harga garis regresi, jika X1 atau X2 = 0

b = koefisien regresi, besarnya perubahan yang terjadi pada Y

Uji regresi ini dapat pula di lakukan sekaligus dengan uji korelasi dengan menggunakan persamaan yang telah dijelaskan diatas.


(45)

104

f. Uji Autokorelasi

Bertujuan untuk mengetahui dimana terjadinya korelasi dari residual untuk pengamatan satu dengan pengamatan lain yang disusun menurut runtun waktu. Hasil yang diperoleh dari uji ini adalah dampak yang diakibatkan dengan adanya outokorelasi, yaitu varian sampel tidak dapat menggambarkan varian populasinya.

Untuk mendeteksi ada dan tidaknya autokorelasi, dilakukan uji Durbin-Watson dengan langkah-langkah berikut:

a. Menentukan hipotesa nol dan hipotesa alternative H₀ : tidak terjadi autokorelasi

H : terjadi autokorelasi

b. Menentukan taraf signifikan, dengan menggunakan taraf signifikan 0.05 c. Menentukan nilai d (Durbin-Watson), nilai d didapat dari haril regresi d. Menentukan nilai dL dan dU, kedua nilai dapat dilihat pada tabel

Durbin-Watson

e. Pengambilan keputusan dengan teknik

• dU < d < 4 – dU, maka H₀ diterima (tidak terjadi autokorelasi) • d < dL atau d > 4 dL, maka H₀ ditolak (terjadi autokorelasi)

• dU < d < dL atau 4 – dU < d < 4 – dL, dikatakan tidak ada kesimpulan

g. Uji Multikolinieritas

Bertujuan untuk mengetahui keadaan dua variabel independen atau lebih pada model regresi terjadi hubungan linier yang sempurna atau mendekati


(46)

105

sempurna. Model regresi ini akan mengisyaratkan tidak adanya masalah multikolinieritas, dampak dengan adanya multikolinieritas adalah:

a. Nilai standar error untuk masing-masing koefisien menjadi tinggi, sehingga t hitung menjadi rendah.

b. Standar error or estimate semakin tinggi dengan bertambahnya variabel independen.

c. Pengaruh masing-masing variabel independen sulit dideteksi.

d. Pengambil keputusan dalam uji ini, jika r² < R² maka tidak terjadi masalah multikolinieritas, sedangkan jika r² > R² maka terjadi masalah multikolinieritas.

h. Uji Heteroskedastistik

Uji ini dipergunakan untuk mengetahui terjadinya ketidaksamaan varian dari residual pada model regresi. Model regresi yang baik mensyaratkan tidak adanya heteroskedastistik. Uji ini menggunakan metode Spearman’s rho yaitu mengkorelasikan nilai residual hasil regresi dengan masing-masing varianel independen. Pembacaan hasil uji adalah jika nilai signifikan antara variabel independen dengan residual lebih dari 0.05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas, tetapi jika signifikan kurang dari 0.05 maka terjadi masalah heteroskedastisitas.


(47)

106

i. Analisa hubungan variabel independen dengan variabel dependen

Teknik dalam menganalisa hubungan setiap variabel dalam penelitian adalah dengan menggunakan persamaan korelasi sederhana untuk melihat hubungan dua atau lebih variable sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu:

a. Mencari hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan;

b. Mencari hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan;

c. Mencari hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah;

d. Mencari hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan.

e. Untuk melihat signifikasi hubungan antara variabel-variabel tersebut diberlakukan uji signifikasi dengan uji t.

f. Untuk melihat prediksi hubungan dari setiap variabel independent dengan variabel dependent secara bersama-sama, dipergunakan persamaan regresi liner berganda, yang memiliki fungsi untuk memprediksi suatu hasil penelitian berdasarkan pada perubahan nilai-nilai variabel independen.


(48)

107

E. Prosedur Dan Tahap-Tahap Penelitian

Prosedur dan tahapan penelitian ini berisi langkah-langkah mulai dari persiapan judul sampai pada pelaksanaan pelaporan hasil penelitian, meliputi: 1. Tahap Persiapan, dimulai awal bulan November 2010 dan Desember 2010;

a. Penentuan judul dan topik b. Penyusunan instrumen c. Penyusunan proposal d. Pengajuan proposal

2. Tahapan Pelaksanaan, dimulai bulan Januari sampai dengan April 2011; a. Penyebaran instrumen

b. Pengumpulan instrumen c. Pengumpulan data penelitian d. Analisis data penelitian

e. Penyusunan laporan hasil penelitian 3. Tahap Akhir, akhir April dan Juli 2011;

a. Penyusunan laporan hasil penelitian b. Pengujian laporan hasil penelitian

F. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian di 40 (empat puluh) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri dan Swasta yang tersebar di 5 Kecamatan di Kota Binjai, Sumatera Utara.


(49)

108

2. Waktu penelitian adalah enam bulan yaitu dari penyusunan sampai pelaporan, Januari 2011 sampai Juni 2011.


(50)

150 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dibuktikan bahwa:

a. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemahaman kepala sekolah terhadap pemahaman kebijakan dan tanggapan serta sikap kepala sekolah itu sendiri cenderung rendah terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kepala sekolah belum memandang bahwa program pendidikan nasional harus dilaksanakan sesegera mungkin di setiap satuan pendidikan agar pembangunan pendidikan nasional terutama dalam penjaminan mutu pendidikan dapat tercapai dengan maksimal.

b. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah adalah rendah. Hal ini dilihat dari tingkat pemahaman kepala sekolah terhadap kebijakan pendidikan daerah dan tanggapan serta sikap kepala sekolah terhadap kebijakan itu sendiri relatif rendah. Sebagai pelaksana operasional pendidikan, kepala sekolah menyadari bahwa dalam konteks otonomi kebijakan pemerintah daerah untuk kemajuan pembangunan pendidikan di daerah harus dipahami sebagai satu kesatuan instrumen kebijakan pendidikan, namun program atau petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis kebijakan tersebut kerapkali tidak jelas arah dan tujuannya.


(51)

151

c. Implementasi penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan adalah tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan kepala sekolah berdasarkan instrumen yang disebarkan. Begitu juga halnya yang terjadi pada guru dan siswa yang berperan sebagai pembanding dari pengakuan kepala sekolah. Guru dan siswa mengakui bahwa memang ada berbagai upaya dalam penjaminan mutu pendidikan di sekolah, artinya upaya pemenuhan penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan dilaksanakan dengan maksimal. Walaupun secara terpisah, implementasi UN lah yang lebih tinggi ketimbang implementasi SPMP dan SPM.

d. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan berkorelasi positif. Hal ini dilihat dari hubungan yang searah antara respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan implementasi penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan. Walaupun berkorelasi namun hubungannya rendah, hal ini disebabkan oleh pelaksanaan otonomi daerah dan masalah pembiayaan pendidikan.

e. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan juga berkorelasi positif. Dengan hubungan yang searah, di mana respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan implementasi penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan. Kepala sekolah merespons setiap kebijakan pemerintah daerah namun hubungannya tetap rendah sebab kepala sekolah memiliki kewenangan dalam manajemen sekolah.


(52)

152

f. Hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah posistif, dan bahkan hubungan keduanya berkategori sangat kuat. Hal ini didasari oleh kebijakan pemerintah pusat sebagai bagian dari program pembangunan pendidikan secara nasional diterjemahkan dan dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk diteruskan kepada satuan pendidikan. Dalam perspektif administrasi pemerintahan, berbagai instrumen kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk peraturan atau perundang-undangan ketika disampaikan ke daerah maka kebijakan tersebut dapat diterjemahkan atau dikembangkan sesuai dengan kondisi daerah asal tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya. Begitu juga halnya dengan kebijakan pendidikan, dari pemerintah pusat ditujukan ke pemerintah daerah dan selanjutnya pemerintah daerah menerjemahkan dan mengembangkannya untuk teknis operasional implementasinya di satuan pendidikan

g. Hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan tetap berkolerasi positif namun hubungan tersebut berkategori rendah. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa adanya kekurang-pahaman kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah daerah secara bersamaan dalam implementasi penjaminan mutu pada satuan pendidikan, hal ini disebabkan oleh ketidakselarasan kebijakan itu sendiri, sehingga proses pelaksanaan penjaminan mutu di satuan pendidikan tersendat bahkan stagnan.


(53)

153

2. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian di atas, peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Disarankan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) untuk dapat membuat dan melahirkan kebijakan pendidikan dengan memperhatikan dan berusaha untuk lebih mengakomodir kondisi riil di daerah. Selama ini acapkali terjadi kebijakan pendidikan itu lahir dari hasil sebuah konsensus non teknis (seperti politis atau kepentingan sekelompok orang) ketimbang konsensus teknis yang bersumber dari kajian-kajian teoritis, praktis, dan akademis. Alasan ini dilihat dari bagaimana kebijakan yang dilahirkan tidak mampu mengakomodir kebutuhan atau kondisi di daerah, sementara itu di satu sisi dituntut untuk meningkatkan pembangunan pendidikan di daerah secara bersama-sama secara maksimal untuk ketercapaian pembangunan pendidikan nasional.

2. Disarankan kepada pemerintah daerah untuk dapat menerjemahkan dan mengembangkan berbagai kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan memperhatikan kondisi daerah dan mengakomodir kebutuhan satuan pendidikan di daerah tersebut.

3. Disarankan kepada pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan pembangunan pendidikan. Kecenderungan pemerintah daerah hanya menunggu kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah menjadi tidak keratif dan inovatif. Visi, misi, dan rencana strategis daerah dalam bidang pendidikan laksana menjadi sebuah plakat atau


(54)

154

tempelan dinding belaka ketika itu tidak diperlakukan secara khusus dengan komitmen tinggi dan disertai dengan implementasi yang terarah, terencana, dan berkesinambungan.

4. Disarankan kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan regulasi atau peraturan daerah dalam bidang pendidikan. Selama ini, pemerintah daerah tidak banyak mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengakomodir berbagai kebijakan pendidikan di daerah. Lemah dan lambatnya kemampuan pemerintah daerah dalam membuat dan melahirkan peraturan daerah tentang pendidikan akan berpengaruh terhadap konsistensi jalannya pembangunan pendidikan di daerah. Sebagai contoh, dalam Peraturan Mendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), Pasal 35 tentang tanggung jawab pemerintah kabupaten atau kota dalam penjaminan mutu pendidikan, pada ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah kabupaten atau kota menetapkan regulasi penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan kewenangannya dan peraturan perundang-undangan. Hingga kini belum ditemui adanya regulasi atau peraturan daerah yang mengakomodir upaya penjaminan mutu pendidikan tersebut.

5. Disarankan kepada kepala sekolah untuk dapat meningkatkan kemampuan akseptabilitas dan pemahamannya terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sehingga dapat melaksanakan berbagai upaya pengembangan organisasi sekolah yang bermuara pada langkah inovatif dengan memperkenalkan manajemen mutu terpadu.


(1)

108

2. Waktu penelitian adalah enam bulan yaitu dari penyusunan sampai pelaporan, Januari 2011 sampai Juni 2011.


(2)

150 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dibuktikan bahwa:

a. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemahaman kepala sekolah terhadap pemahaman kebijakan dan tanggapan serta sikap kepala sekolah itu sendiri cenderung rendah terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kepala sekolah belum memandang bahwa program pendidikan nasional harus dilaksanakan sesegera mungkin di setiap satuan pendidikan agar pembangunan pendidikan nasional terutama dalam penjaminan mutu pendidikan dapat tercapai dengan maksimal.

b. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah adalah rendah. Hal ini dilihat dari tingkat pemahaman kepala sekolah terhadap kebijakan pendidikan daerah dan tanggapan serta sikap kepala sekolah terhadap kebijakan itu sendiri relatif rendah. Sebagai pelaksana operasional pendidikan, kepala sekolah menyadari bahwa dalam konteks otonomi kebijakan pemerintah daerah untuk kemajuan pembangunan pendidikan di daerah harus dipahami sebagai satu kesatuan instrumen kebijakan pendidikan, namun program atau petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis kebijakan tersebut kerapkali tidak jelas arah dan tujuannya.


(3)

151

c. Implementasi penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan adalah tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan kepala sekolah berdasarkan instrumen yang disebarkan. Begitu juga halnya yang terjadi pada guru dan siswa yang berperan sebagai pembanding dari pengakuan kepala sekolah. Guru dan siswa mengakui bahwa memang ada berbagai upaya dalam penjaminan mutu pendidikan di sekolah, artinya upaya pemenuhan penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan dilaksanakan dengan maksimal. Walaupun secara terpisah, implementasi UN lah yang lebih tinggi ketimbang implementasi SPMP dan SPM.

d. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan berkorelasi positif. Hal ini dilihat dari hubungan yang searah antara respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan implementasi penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan. Walaupun berkorelasi namun hubungannya rendah, hal ini disebabkan oleh pelaksanaan otonomi daerah dan masalah pembiayaan pendidikan.

e. Respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan juga berkorelasi positif. Dengan hubungan yang searah, di mana respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan implementasi penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan. Kepala sekolah merespons setiap kebijakan pemerintah daerah namun hubungannya tetap rendah sebab kepala sekolah memiliki kewenangan dalam manajemen sekolah.


(4)

152

f. Hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah posistif, dan bahkan hubungan keduanya berkategori sangat kuat. Hal ini didasari oleh kebijakan pemerintah pusat sebagai bagian dari program pembangunan pendidikan secara nasional diterjemahkan dan dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk diteruskan kepada satuan pendidikan. Dalam perspektif administrasi pemerintahan, berbagai instrumen kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk peraturan atau perundang-undangan ketika disampaikan ke daerah maka kebijakan tersebut dapat diterjemahkan atau dikembangkan sesuai dengan kondisi daerah asal tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya. Begitu juga halnya dengan kebijakan pendidikan, dari pemerintah pusat ditujukan ke pemerintah daerah dan selanjutnya pemerintah daerah menerjemahkan dan mengembangkannya untuk teknis operasional implementasinya di satuan pendidikan

g. Hubungan respons kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam implementasi penjaminan mutu di satuan pendidikan tetap berkolerasi positif namun hubungan tersebut berkategori rendah. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa adanya kekurang-pahaman kepala sekolah terhadap kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah daerah secara bersamaan dalam implementasi penjaminan mutu pada satuan pendidikan, hal ini disebabkan oleh ketidakselarasan kebijakan itu sendiri, sehingga proses pelaksanaan penjaminan mutu di satuan pendidikan tersendat bahkan stagnan.


(5)

153

2. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian di atas, peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Disarankan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) untuk dapat membuat dan melahirkan kebijakan pendidikan dengan memperhatikan dan berusaha untuk lebih mengakomodir kondisi riil di daerah. Selama ini acapkali terjadi kebijakan pendidikan itu lahir dari hasil sebuah konsensus non teknis (seperti politis atau kepentingan sekelompok orang) ketimbang konsensus teknis yang bersumber dari kajian-kajian teoritis, praktis, dan akademis. Alasan ini dilihat dari bagaimana kebijakan yang dilahirkan tidak mampu mengakomodir kebutuhan atau kondisi di daerah, sementara itu di satu sisi dituntut untuk meningkatkan pembangunan pendidikan di daerah secara bersama-sama secara maksimal untuk ketercapaian pembangunan pendidikan nasional.

2. Disarankan kepada pemerintah daerah untuk dapat menerjemahkan dan mengembangkan berbagai kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan memperhatikan kondisi daerah dan mengakomodir kebutuhan satuan pendidikan di daerah tersebut.

3. Disarankan kepada pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan pembangunan pendidikan. Kecenderungan pemerintah daerah hanya menunggu kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah menjadi tidak keratif dan inovatif. Visi, misi, dan rencana strategis daerah dalam bidang pendidikan laksana menjadi sebuah plakat atau


(6)

154

tempelan dinding belaka ketika itu tidak diperlakukan secara khusus dengan komitmen tinggi dan disertai dengan implementasi yang terarah, terencana, dan berkesinambungan.

4. Disarankan kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan regulasi atau peraturan daerah dalam bidang pendidikan. Selama ini, pemerintah daerah tidak banyak mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengakomodir berbagai kebijakan pendidikan di daerah. Lemah dan lambatnya kemampuan pemerintah daerah dalam membuat dan melahirkan peraturan daerah tentang pendidikan akan berpengaruh terhadap konsistensi jalannya pembangunan pendidikan di daerah. Sebagai contoh, dalam Peraturan Mendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), Pasal 35 tentang tanggung jawab pemerintah kabupaten atau kota dalam penjaminan mutu pendidikan, pada ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah kabupaten atau kota menetapkan regulasi penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan kewenangannya dan peraturan perundang-undangan. Hingga kini belum ditemui adanya regulasi atau peraturan daerah yang mengakomodir upaya penjaminan mutu pendidikan tersebut.

5. Disarankan kepada kepala sekolah untuk dapat meningkatkan kemampuan akseptabilitas dan pemahamannya terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sehingga dapat melaksanakan berbagai upaya pengembangan organisasi sekolah yang bermuara pada langkah inovatif dengan memperkenalkan manajemen mutu terpadu.