PERANAN INTERVENSI ASING DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966.

(1)

PERANAN INTERVENSI ASING DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh:

Endah Sulistyawati 0800970

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2013


(2)

Halaman Hak Cipta

PERANAN INTERVENSI ASING

DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO

1945-1966

Oleh

Endah Sulistyawati

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Endah Sulistyawati 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

PERANAN INTERVENSI ASING DALAM PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966

Oleh:

Endah Sulistyawati 0800970

Disetujui Dan Disahkan Oleh:

Pembimbing I

Drs. Andi Suwirta, M.Hum NIP. 196210091990011001

Pembimbing II

Farida Sarimaya, S.Pd M.Si NIP.197106042005012001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Universitas Pendidikan Indonesia

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP.195704081984031003


(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan

Soekarno 1945-1966”. Intervensi asing merupakan suatu upaya atau usaha

yang dilakukan oleh pihak asing seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan RRC dalam menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno merupakan lahan subur bagi berbagai kepentingan bangsa asing. Banyak terjadi pemberontakan diberbagai wilayah Indonesia yang diberi bantuan oleh pihak asing. Masalah utama yang dibahas dalam skripsi ini yaitu mengenai bagaimana keterlibatan Uni Soviet, Amerika Serikat, Inggris dan RRC terhadap jatuhnya pemerintahan Soekarno 1945-1966. Untuk lebih jelasnya penulis membuat petanyaan-pertanyaan penelitian yaitu (1) Apa yang melatar belakangi terjadinya intervensi asing terhadap pemerintahan Soekarno 1945-1966? Khususnya pada peristiwa Madiun 1948, PRRI/Permesta 1958 dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965 (2) Bagaimana peranan dan bentuk kronologis terjdainya intervensi yang dilakukan oleh pihak asing terhadap pemerintahan Soekarno 1945-1966? Khususnya dalam peristiwa Madiun 1948, PRRI/Permesta 1958 dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965 (3) Apakah dampak yang ditimbulkan dari adanya keterlibatan pihak asing terhadap pemerintahan Soekarno serta masyarakat Indonesia tahun 1945-1966?

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode historis dengan langkah-langkah penelitian sebagai berikut: (1) Memilih topik yang sesuai dengan keinginan, (2) Mengusut semua bukti yang relevan dengan topik. Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang sesuai dengan intervensi asing di Indonesia pada pemerintahan Soekarno dengan menggunakan studi literatur, (3) Membuat catatan mengenai apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang sedang diteliti oleh penulis, (4) Mengevaluasi secara kritis (kritik sumber) semua sumber data-data yang diperoleh selama penelitian yang relevan dengan intervensi asing di Indonesia pada pemerintahan Soekarno, (5) Menyiapkan hasil-hasil penelitian ke dalam sebuah rancangan sistematika tertulis yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI 2012, dan (6) Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dari pembaca sehingga dapat dimengerti. Sedangkan untuk teknik penelitiannya yaitu penulis melakukan studi literatur yaitu mengkaji sumber-sumber yang relevan dengan kajian penulis.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat beberapa kesimpulan. Banyak cara yang dilakukan oleh pihak asing seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan RRC untuk merangkul Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Presiden Indonesia. Kehadiran keempat pihak asing yang mengintervensi Indonesia tersebut lah yang berhasil perlahan-lahan membuat jatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1967. Dan akibat dari adanya intervensi asing yaitu jatuhnya pemerintahan Soekarno sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pihak asing tersebut.


(5)

ABSTRACT

This research discuss about the foreign power that must be faced by the Republic of Indonesia at the beginning of independence. The main problem in

this research is about how the foreign partial to involve in the Soekarno’s

government fall dawn on 1945-1966. In this research, history method and literature study which use the find the relevan sources. The foreign partial like United States, Soviet Union, Britain and RRC which intervene Indonesia slow but sure make Soekarno’s government to fall dawn. When the running of the government that has consumed the doctrines of foreign parties, the sustainability of the government will falter and fall like foreigners wishes. So from the event Madiun 1948, PRRI/Permesta 1958 and G30S/PKI 1965 can be seen how strong foreign intervention that resulted in the fall of Soekarno government and the unstable social-political situation in Indonesia. Therefore, the government should seek the Republic of Indonesia in terms of the welfare of the people and enhance the security of the state. Because with the circumstances of a prosperous and safe country, foreigners will not intervene in Indonesia.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Metode Penelitian ... 7

1.6 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. LANDASAN TEORITIS 2.1 Teori Konspirasi ... 11

2.2 Konsep Intervensi ... 13

2.3 Konsep Kepentingan Nasional Dengan Asing ... 15

2.5 Teori Konflik ... 18

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian ... 25

3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Topik Penelitian ... 25

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 27

3.1.3 Konsultasi ... 27

3.2 Pelaksanaan Penelitian ... 28

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik) ... 28

3.2.2 Kritik Sumber ... 30

3.2.2.1 Kritik Eksternal ... 30

3.2.2.2 Kritik Internal ... 31

3.2.3 Interpretasi ... 31

3.2.3.1 Pendekatan Interdisipliner ... 32


(7)

3.3 Laporan Penelitian ... 34

BAB IV.KETERLIBATAN UNI SOVIET, RRC, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS TERHADAP JATUHNYA PEMERINTAHAN SOEKARNO 4.1 Peristiwa Madiun 1948 ... 37

4.1.1 Peran Uni Soviet ... 39

4.1.2 Dampak Yang Terjadi ... 54

4.2 Peristiwa PRRI/Permesta 1958 ... 56

4.2.1 Peran Amerika Serikat Dan Inggris ... 59

4.2.2 Dampak Yang Terjadi ... 73

4.3 Peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI ... 74

4.3.1 Peran Amerika Serikat Dan Inggris ... 77

4.3.2 Peran Republik Rakyat Cina (RRC) ... 83

4.3.3 Dampak Yang Terjadi ... 86

4.4 Akhir Dari Pemerintahan Soekarno ... 87

4.4.1 Keadaan Sosial Politik Pasca Intervensi Asing ... 89

4.4.2 Peristiwa Penting Pasca Intervensi Asing ... 92

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan ... 103

5.2 Rekomendasi ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode adalah suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam melakukan penyidikan suatu displin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek yang diteliti (Sjamsuddin, 2007 : 13). Metode penelitian yang penulis gunakan dalam mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan judul skripsi yang diangkat, yaitu Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966 adalah metode historis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gosttchlak, 2008 : 39). Di dalamnya termasuk metode menggali sumber, memberikan penilaian, mengartikan, serta menafsirkan fakta-fakta masa lampau untuk kemudian dapat dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan mengenai peristiwa tersebut. Kemudian disajikan dalam bentuk tertulis, maksudnya yaitu dalam penelitian ini adalah dalam bentuk skripsi.

Sedangkan teknik penelitian yang penulis gunakan adalah teknik studi literatur. Teknik studi literatur dilakukan dengan cara membaca dan mengkaji buku-buku serta sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Hal tersebut dilakukan untuk mengumpulkan data dan fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang akan penulis kaji yang sebelumnya telah dirumuskan kedalam beberapa rumusan masalah.

Menurut Sjamsuddin (2007 : 85-239), langkah-langkah dalam metode historis terdiri atas:

1. Heuristik, atau dalam bahasa Jerman Quellenkunde sedangkan dalam bahasa Yunani disebut Heurishein yang berarti memperoleh. Heuristik merupakan suatu kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah atau evidensi sejarah yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti (Sjamsuddin, 2007 : 86). Oleh karena itu, heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan umum. Namun, seringkali heuristik merupakan


(9)

suatu keterampilan dalam menemukan, menangani dan merinci bibliografi atau mengklarifikasi dan merawat catatan-catatan. Sumber yang dicari dan dikumpulkan adalah sumber-sumber yang relevan dengan tema yang diteliti mengenai Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Secara sederhana, sumber-sumber sejarah itu dapat berupa sumber benda, sumber tertulis dan sumber lisan. Secara lebih luas lagi, sumber sejarah juga dapat dibeda-bedakan ke dalam sumber resmi formal dan informal. Selain itu, dapat diklasifikasikan dalam sumber primer dan sekunder. Pada tahap ini, penulis mengumpulkan fakta dan data tentang Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Sumber penulis peroleh melalui studi literature yang dilakukan oleh penulis.

2. Kritik, yaitu tugas untuk menemukan keontentikan sumber-sumber yang telah didapatkan oleh peneliti. Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 131) seorang sejarawan tidak akan menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber yang diperoleh. Semua sumber dipilih melalui kritik eksternal dan internal sehingga diperoleh fakta-fakta yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Sehingga dari penejelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa tidak semua sumber yang ditemukan dalam tahap heuristik dapat menjadi sumber yang digunakan oleh peneliti, melainkan harus disaring dan dikritisi terlebih dahulu keotentikan sumber tersebut. Menurut Ismaun (2005 : 48) bahwa dalam tahap inilah timbul kesulitan yang sangat besar dalam penelitian sejarah, karena kebenaran sejarah itu sendiri tidak dapat didekati secara langsung dan karena sifat sumber sejarah juga tidak lengkap serta kesulitan menemukan sumber-sumber yang diperlukan dan dapat dipercaya. Sehingga peneliti mendapatkan sumber-sumber yang dapat dipercaya, relevan dan otentik. Untuk itu peneliti harus melakukan kritik eksternal dan kritik internal terhadap sumber-sumber tersebut. Fungsi dari proses ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh itu relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji mengenai


(10)

Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Dalam tahap ini kritik sumber terdapat dua macam, yaitu:

a. Kritik ekstern atau kritik luar, yakni untuk menilai otentitas sumber sejarah.

Sumber otentik tidak mesti harus sama dengan sumber aslinya, baik menurut isinya yang tersurat maupun yang tersirat. Jadi sumber otentik bias juga salinan atau turunan dari aslinya. Dokumen otentik isinya tidak boleh dipalsukan, tetapi otentisitasnya belum tentu memberi jaminan untuk dapat dipercaya. Dalam kritik ekstern dipersoalkan bahan dan bentuk sumber, umur dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa, instansi apa, atau atas nama siapa. Sumber itu asli atau salinan, dan masih utuh seluruhnya atau sudah berubah.

b. Kritik intern atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber

dengan mempersoalkan isinya, maupun pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian-kesaksian di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Untuk menguji kredibilitas sumber diadakan penilain instrinsik terhadap sumber dengan mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian dipunguti fakta-fakta sejarah melalui perumusan data yang didapat, setelah diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber.

3. Interpretasi, yaitu sebagai usaha memahami dan mencari hubungan antar fakta sejarah sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan rasional. Satu peristiwa dihubungkan dengan peristiwa lain. Sehingga dapat menciptakan keselarasan penafsiran yang berhubungan dengan pembahasan yang dikaji tentang Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966.

4. Historiografi, yaitu proses penyusunan hasil penelitian yang telah diperoleh sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bentuk skripsi, sehingga dihasilkan suatu tulisan yang logis dan sistematis, dengan demikian akan diperoleh suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.


(11)

Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 156) historiografi adalah usaha mensintesiskan seluruh hasil penelitian atau penemuan yang berupa data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu penulisan yang utuh, baik itu berupa karya besar ataupun hanya berupa makalah kecil. Dalam hal ini penulis berusaha mengajukan sebuah bentuk laporan penelitian penulisan sejarah yang berjudul Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966 sehingga menjadi satu kesatuan sejarah yang utuh.

Selanjutnya, langkah-langkah penelitian tersebut penulis bagi ke dalam tiga bagian pembahasan, yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan laporan penelitian.

3.1 Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian merupakan titik awal dalam suatu tahapan penelitian yang harus dipersiapkan dengan matang dan sebaik mungkin. Dalam tahap ini dilakukan dengan beberapa langkah yaitu tahap penentuan dan pengajuan tema penelitian, penyusunan rancangan penelitian serta bimbingan. 3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Topik Penelitian

Penentuan dan pengajuan topik penelitian merupakan kegiatan yang penting dan harus pertama kali dalam penulisan karya ilmiah. Awal ketertarikan penulis untuk mengkaji masalah Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Indonesia bermula dari sebuah diskusi antar sahabat, setelah mengikuti mata kuliah Sejarah Revolusi dan Sejarah Indonesia pada masa Demokrasi Liberal dan Terpimpin. Dalam diskusi tersebut kami membahas mengenai keruntuhan Soekarno yang disebabkan oleh kebobrokan yang berasal dari dalam pemerintahannya serta banyaknya pemberontakan yang terjadi di Indonesia yang pada akhirnya meruntuhkan pemerintahan Soekarno. Ketika peneliti sedang mencari-cari judul untuk menulis sebuah skripsi, ada seorang sahabat yang menyarankan untuk menulis mengenai adanya intervensi asing


(12)

dalam keruntuhan pemerintahan Soekarno. Lalu saya berpikir keruntuhan yang terjadi itu apa murni dari pihak Indonesia sendiri atau ada intervensi asing dari pihak luar negeri? Berangkat dari rasa penasaran itulah penulis mulai tertarik untuk mencari tahu mengenai Intervensi asing dalam meruntuhkan pemerintahan Soekarno.

Dari hasil diskusi itulah penulis kemudian merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi masalah peranan intervensi asing dalam pemerintahan Soekarno pada tahun 1945-1966. Pertanyaan awal penulis adalah konspirasi apa saja yang telah dilakukan oleh pihak asing untuk melemahkan pemerintahan Soekarno? Bahkan sampai mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini. Dari ide tersebut kemudian penulis mulai mencari dan membaca berbagai literatur mengenai sejarah Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan intervensi asing di Indonesia. Dari hasil pencarian akhirnya penulis menemukan beberapa literatur yang membahas secara khusus mengenai intervensi asing di Indonesia.

Setelah penulis merasa yakin untuk menulis permasalahan peranan intervensi asing dalam pemerintahan Soekarno 1945-1966. Sebelum diajukan ke Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS), penulis terlebih dahulu mengkonsultasikan judul dengan Ketua TPPS yaitu Bapak Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.SI untuk menanyakan apakah judul tersebut sudah ada yang meneliti atau belum. Setelah mengetahui judul tersebut belum ada yang menelitinya, maka saya segera mengajukan judul tersebut kepada TPPS.

Pengajuan judul skripsi ke TPPS dilakukan pada awal Februari 2012, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan proposal penelitian. Adapun isi dari proposal tersebut antara lain:

a. Judul

b. Latar Belakang Masalah

c. Rumusan Masalah


(13)

e. Manfaat Penelitian

f. Tinjauan Pustaka

g. Metode Penelitian

h. Sistematika Penulisan

i. Daftar Pustaka

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan rancangan awal dalam suatu penelitian yang disusun sejak peneliti melakukan penelitian. Seperti yang telah dijelaskan, pengajuan judul ke TPPS dilakukan, kemudian penulis menyusun proposal penelitian yang kemudian dikonsultasikan dengan TPPS. Hal ini dilakukan agar proposal yang diajukan oleh penulis dapat dikritisi dan dilihat kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah. Setelah proposal disetujui oleh TPPS, penulis akhirnya diizinkan untuk melakukan seminar proposal skripsi yang dilakukan pada tanggal 22 Juni 2012 di Labolatorium Jurusan Pendidikan Sejarah, lantai 4 Gedung FPIPS Baru, Universitas Pendidikan Indonesia.

Hasil dari seminar proposal skripsi tersebut di antaranya adalah perubahan terhadap judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan penelitian yang menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan judul baru yang penulis teliti, yaitu Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Perubahan tersebut harus dilakukan agar memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ke depannya.

3.1.3 Konsultasi

Konsultasi merupakan proses bimbingan dalam penulisan skripsi yang dilaksanakan dengan dua orang dosen pembimbing yang memiliki kompetensi sesuai dengan tema permasalahan yang penulis kaji. Dalam hal ini, kompetensi yang dimiliki oleh kedua dosen pembimbing itu adalah kajian dalam sejarah Indonesia. Berdasarkan surat penunjukkan pembimbing skripsi yang telah dikeluarkan oleh Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS), dalam


(14)

penyusunan skripsi ini penulis dibimbing oleh Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum sebagai pembimbing I dan Ibu Farida Sarimaya, S.Pd M.Si sebagai pembimbing II. Konsultasi merupakan proses yang harus dilakukan oleh penulis guna mendapatkan masukan-masukan yang sangat membantu dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

Konsultasi dilakukan oleh penulis dengan dosen pembimbing setelah sebelumnya menghubungi masing-masing dosen pembimbing dan kemudian membuat jadwal pertemuan. Pertama kali penulis melakukan bimbingan dengan Dosen Pembimbing I yaitu Bapak Drs. Andi Suwirta, M.Hum pada tanggal 3 Agustus 2012 dan dengan Ibu Farida Sarimaya, S.Pd M.Si selaku Dosen Pembimbing II pada tanggal 31 Juli 2012. Proses bimbingan ini memfasilitasi penulis untuk berdiskusi dengan Pembimbing I dan Pembimbing II mengenai permasalahan yang dihadapi selama penelitian ini dilakukan. Manfaat yang dirasakan bagi penulis selama proses bimbingan adalah mengetahui kelemahan dan kekurangan dalam penelitian skripsi ini sehingga dapat diarahkan untuk konsisten terhadap fokus kajian.

3.2 Pelaksanaan Penelitian

Tahap ini pelaksanaan penelitian merupakan tahapan selanjutnya setelah peneliti merancang dan mempersiapkan penelitian. Dalam penelitian skripsi ini, peneliti melakukan empat tahap penelitian yaitu sebagai berikut:

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka

mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan penelitian. Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 64) heuristik adalah suatu kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah, atau evidensi sejarah yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji oleh peneliti. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan berbagai sumber sejarah, dalam hal ini sumber tulisan, baik sumber primer maupun


(15)

sekunder. Sumber-sumber yang penulis kumpulkan merupakan sumber tulisan yang berkaitan dengan pemerintahan Soekarno serta intervensi asing di dalamnya.

Sejalan dengan teknik penelitian yang penulis gunakan yaitu dengan menggunakan teknik studi literatur, maka sumber yang penulis gunakan adalah sumber tulisan. Sumber-sumber tersebut kebanyakan berupa buku. Dalam proses pencarian dan pengumpulan sumber, penulis juga melakukan kunjungan ke beberapa perpustakaan, antara lain:

a. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada bulan April 2012.

Di perpustakaan ini penulis menemukan buku yang ditulis oleh Drs. Asvi Warman Adam (2009), Antonie C.A. Dake (2005), Victor Miroslav Fic (2005), Marwidjojo (1999), Peter Dale Scott (2007) dan Hastra Mitra (2008).

b. Perpustakaan Asia-Afrika (KAA) pada bulan Juli 2012. Di perpustakaan ini,

peneliti menemukan literatur yang relevan dengan bahan kajian penulisan skripsi. Beberapa buku di antaranya yang dibuat oleh Tim Weiner (2008), Sudarso (2010) dan Audrey dan George Kahin (1997).

c. Perpustakaan Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,

Bandung pada bulan Agustus 2012. Di perpustakaan ini, peneliti menemukan berbagai sumber buku yang relevan dengan bahan kajian peneliti. Buku ditulis oleh Drs. Makmum Salim (1971), Tim Lembaga Analisis Informasi (2007), Baskara T. Wardaya SJ (2008) dan karya Drs. Nugroho Notosusanto (1998).

d. Perpustakaan Cisral UNPAD pada bulan September 2012. Di perpustakaan

ini, peneliti menemukan beberapa sumber buku yang relevan dengan bahan kajian peneliti. Di antaranya kedua buku ini karya R.Z. Leirissa tahun 1985 dan 1991.

Selain dari perpustakaan penulis juga menggunakan buku-buku koleksi penulis sumber rujukan dalam penulisan skripsi ini, antara lain buku pertama berjudul Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66 karya H. Maulwi Saelan (2001). Buku kedua berjudul 1965


(16)

Orang-orang Di Balik Tragedi karya Asvi Warman Adam (2009). Buku ketiga yang berjudul Komunisme Dan Kegiatannya Di Indonesia yang ditulis oleh Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1985). Dan buku yang keempat berjudul Mewaspadai Kuda Troya Komunisme Di Era Reformasi karya Dra. Markonina Hartisekar dan Drs Akrin Isjani Abadi (1999).

3.2.2 Kritik Sumber

Setelah upaya pencarian dan pengumpulan sumber dilakukan, penulis selanjutnya melakukan langkah berikutnya yaitu kritik terhadap sumber-sumber sejarah yang digunakan sebagai bahan penulisan skripsi ini. Kritik sumber sangat penting dilakukan karena sangat erat hubungannya dengan dengan tujuan sejarawan mencari kebenaran. Tugas untuk menemukan keontentikan sumber-sumber yang telah didapatkan oleh peneliti. Semua sumber dipilih melalui kritik eksternal dan internal sehingga diperoleh fakta-fakta yang susuai dengan permasalahan penelitian. Fungsi kritik sumber berdasarkan Helius Sjamsuddin (2007 : 105) menyatakan bahwa fungsi kritik sumber bagi sejarawan erat kaitannya untuk mencari kebenaran. Pada tahap ini sejarawan dihadapkan pada benar dan salah, kemungkinan dan keraguan. Fungsi dari proses ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh itu relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini. Kritik terhadap sumber ini dibagi menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.

3.2.2.1 Kritik Eksternal

Kritik eksternal merupakan upaya melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Kritik eksternal dilakukan untuk menilai kelayakan sumber-sumber sejarah dijadikan bahan penunjang dalam penulisan skripsi ini dari aspek luarnya sebelum melihat isi dari sumber tersebut. Kritik eksternal juga dilakukan untuk meminimalisasi subjektivitas dari berbagai sumber yang penulis dapatkan.

Dalam kritik eksternal penulis melakukan perlakuan yang berbeda terhadap jenis sumber yang penulis lakukan. Sumber buku selain dari penulis dan tahun


(17)

terbit buku tersebut, kritik juga dilakukan terhadap jenis kertas yang digunakan apakah buram atau putih bersih, serta melihat cover dari dari buku tersebut apakah asli atau fotocopian.

3.2.2.2 Kritik Internal

Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal. Kritik internal merupakan penilaian terhadap aspek dalam, yaitu isi dari sumber sejarah setelah sebelumnya disaring melalui kritik eksternal. Dalam melakukan kritik internal penulis melakukan perbandingan isi buku yang penulis jadikan sebagai sumber.

Hasil dari kritik eksternal dan internal menurut penulis merupakan data yang valid. Kemudian data-data inilah yang akan penulis jadikan sebagai bahan untuk penulisan skripsi.

3.2.3 Interpretasi

Interpretasi merupakan penafsiran terhadap fakta-fakta yang penulis dapatkan dari sumber-sumber sehingga nantinya tercipta suatu penafsiran yang relevan dengan permasalahan yang penulis kaji. Interpretasi perlu dilakukan agar data-data atau fakta-fakta yang telah penulis kumpulkan sebelumnya dapat digunakan sebagai bahan dari penulisan skripsi. Sjamsuddin (2007: 158-159) menjelaskan disadari atau tidak para sejarawan berpegang pada pada salah satu atau kombinasi beberapa filsafat sejarah tertentu yang menjadi dasar penafsirannya.

Dalam melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang penulis temukan, penulis menggunakan pemikiran deterministik. Filsafat sejarah determenistik menolak semua penyebab yang berdasarkan kebebasan manusia dalam menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan menjadikan manusia semacam robot yang kekuatannya ditentukan oleh kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Tenaga-tenaga yang berada di luar diri manusia berasal dari dunia fisik seperti faktor geografis, faktor etnologi, faktor dalam lingkungan budaya manusia seperti sistem ekonomi dan sosial (Romein dan Lucey dalam Sjamsuddin, 2007: 163). Filsafat deterministik digunakan oleh penulis karena


(18)

semua peristiwa yang dibahas dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh faktor dari luar individu manusia, yaitu kondisi sosial dan politik yang menyebabkan manusia mengambil kebijakan dan keputusan sejarah.

Diantara bentuk-bentuk penafsiran deterministik, penulis memilih untuk menggunakan penafsiran sintesis. Sjamsuddin (2007: 170) menjelaskan bahwa dalam penafsiran sintesis tidak ada sebab tunggal dalam suatu peristiwa dalam sejarah. Perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh beberapa faktor dan tenaga secara bersamaan dan menjadikan manusia sebagai pemeran utamanya. Pemilihan penafsiran sintesis dilakukan karena peristiwa melemahnya pemerintahan Soekarno akibat intervensi asing tahun 1945-1966 tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong seperti terjadinya provokasi yang dilancarkan oleh pihak asing seperti Uni Soviet dan Amerika Serikat serta adanya usaha kudeta yang dilakukan oleh pihak kiri yaitu PKI pada tahun 1965.

3.2.3.1 Pendekatan Interdisipliner

Dalam melakukan interpretasi, penulis menggunakan pendekatan interdisipliner. Pendekatan ini merupakan pendekatan dalam ilmu sejarah dengan menggunakan bantuan dari berbagai disiplin ilmu yang serumpun (ilmu-ilmu sosial). Oleh karena itu, dalam hal ini penggunaan ilmu sejarah tetap menjadi prioritas, namun untuk mempertajam hasil analisis penulis menggunakan ilmu bantu dari disiplin ilmu yang serumpun. Dalam pendekatan interdisipliner ini, penulis menggunakan ilmu bantu berupa ilmu politik dan sosiologi. Ilmu politik yang penulis gunakan antara lain konsep konspirasi dan konsep poltik luar negeri. Sedangkan dalam ilmu sosiologi penulis menggunakan teori konflik dari Ralph Dahrendorf.

Konsep konspirasi merupakan konsep yang ada di seputaran gerak dunia gobal dan merambah hampir kesemua ranah kehidupan manusia. Baik itu dari urusan politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer sekalipun. Banyak konsep konspirasi yang mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa dalam sejarah telah didominasi oleh para konspirator belakang layar yang memanipulasi


(19)

kejadian-kejadian sebenarnya terjadi. Golongan elit pun tidak jarang ikut campur dalam hal konspirasi, seperti memanipulasi data hanya untuk kepentingan golongan tertentu saja.

Menurut ensiklopedia Wikipedia konspirasi diartikan dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/konsepkonspirasi (7/10/12) bahwa konspirasi

merupakan suatu usaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi suatu serangkaian peristiwa yang pada umumnya meliputi peristiwa politik, sosial dan sejarah adalah suatu rahasia dan seringkali memperdaya. Direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa dan berpengaruh. Konsep konspirasi ini bagi orang yang tidak percaya selalu menganggap semua hanya lah mengada-ada saja. Namun bagi para penganutnya konsep ini tidak serta-merta muncul mendunia tanpa ada yang menciptakan polanya sendiri.

3.2.4 Historiografi

Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian yang memaparkan serta melaporkan seluruh hasil panelitian dalam bentuk tertulis setelah melalui tahap intrepetasi fakta. Historiografi merupakan kisah masa lampau yang direkontruksi oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Dengan kata lain historiografi adalah penulisan hasil penelitian yang dilakukan setelah selesai melakukan analisis dan penafsiran terhadap data dan fakta sejarah. Menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 56) dalam tahap ini seluruh daya pikiran dikerahkan bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan. Namun yang paling utama adalah penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analitis sehingga menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dan penemuan dalam suatu penelitian utuh yang disebut dengan historiografi. Dalam historiografi penulis menceritakan hal-hal yang didapat disertai dengan penafsiran-penafsirannya sehingga hasil dari historiografi berupa rekonstruksi dari peristiwa sejarah.


(20)

Seorang sejarawan ketika memasuki tahap historiografi diharapkan memiliki kemampuan analitis dan kritis sehingga hasil tulisannya tidak hanya berupa karya tulis biasa, tetapi menjadi karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebuah karya tulis dapat dikatakan ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat keilmuan. Selain itu, tata bahasa yang digunakan oleh sejarawan harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku serta sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah.

Hubungannya dengan penelitian ini yaitu tahap historiografi yang dilakukan oleh peneliti merupakan tahap akhir dari setiap penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. Selanjutnya historiografi ini akan dilaporkan oleh peneliti dalam bentuk laporan tertulis yang disebut dengan skripsi.

3.3. Laporan Penelitian

Langkah ini merupakan tahap akhir dari prosedur penelitian yang penulis lakukan. Hal ini dilakukan setelah penulis menemukan sumber-sumber, menganalisisnya, menafsirkannya, lalu menuangkannya dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang berlaku di lingkungan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 2012. Hal ini dilakukan oleh peneliti agar kegiatan penelitian yang dilakukan dapat diketahui kekurangannya dan pembimbing memberikan arahan serta masukan sehingga memberikan jalan peneliti untuk memperbaiki kegiatan penelitiannya.

Laporan penelitian ini disusun dalam lima bab terdiri atas pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, pembahasan, dan terakhir kesimpulan. Selain itu, ada pula beberapa tambahan, seperti kata pengantar, abstrak, daftar pustaka serta lampiran-lampiran. Semua hal tersebut disajikan dalam satu laporan utuh yang kemudian disebut sebagai skripsi dengan judul Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Adapun tujuan dari pelaporan hasil tertulis dari penelitian ini yaitu untuk memenuhi kebutuhan studi akademis tingkat sarjana pada Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung.


(21)

BAB IV

KETERLIBATAN UNI SOVIET, RRC, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS TERHADAP JATUHNYA

PEMERINTAHAN SOEKARNO 1945-1966

Pada bab IV ini, penulis akan mengkaji mengenai beberapa aspek penting yang berkaitan dengan skripsi yang berjudul Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966. Aspek-aspek tersebut penulis bagi menjadi empat sub bab yang dimulai dengan adanya Peristiwa Madiun 1948, dilanjutkan dengan adanya Peristiwa PRRI/Permesta 1958 hingga meletusnya Peristiwa G 30 S/PKI 1965 dan yang pada akhirnya menyebabkan jatuhnya pemerintahan Soekarno tahun 1967. Di mana dalam keempat sub bab itu akan dijelaskan pula mengenai latar belakang peristiwa, peran dan bentuk kronologis terjadinya intervensi oleh pihak asing serta dampak yang ditimbulkan.

Untuk mengkaji keempat sub bab tersebut, penulis menggunakan pendekatan interdisipliner. Di mana penulis menggunakan disiplin ilmu lainnya yang serumpun untuk membantu menganalisis permasalahan agar tingkat analisis penulis lebih fokus pada kajian bab IV ini. Sehingga hasil dari pembahasan pada bab ini tidak cenderung deskriptif-naratif, namun lebih deskriptif-analitis. Ada pun sumber-sumber untuk mengkaji permasalahan di atas diperoleh melalui studi literatur berupa buku-buku dan sumber internet yang dianggap relevan dengan pembahasan.

Selain itu, penulis menggunakan beberapa konsep yang berasal dari ilmu sosiologi dan ilmu politik. Konsep-konsep tersebut antara lain, konspirasi, intervensi, kepentingan nasional dengan asing dan konflik. Konsep dari ilmu sosiologi digunakan untuk menganalisis bagaimana kehidupan sosial masyarakat Indonesia pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1966, khususnya pada Peristiwa Madiun 1948, Peristiwa PRRI/Permesta 1958 dan Peristiwa G 30 S/PKI 1965. Sedangkan konsep ilmu politik digunakan untuk menganalisis jalannya pemerintahan Soekarno serta keterlibatan negara-negara asing di dalamnya.


(22)

4.1 Peristiwa Madiun 1948

Kemerdekaan Indonesia yang baru saja berjalan selama tiga tahun, sudah dikacaukan oleh pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 18 September 1948. Kemerdekaan yang seharusnya diisi oleh pembangunan bangsa, justru dikacaukan oleh sekelompok orang yang tidak memahami arti kemerdekaan itu sendiri. Kepentingan pribadi dan kelompok lebih diutamakan dari pada kepentingan nasional. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya setiap warga negara lebih mengedepankan kepentingan bersama, dari pada kepentingan pribadi atau kelompok. Akibat dari pemberontakan PKI ini, potensi bangsa dan negara seharusnya dapat dicurahkan bagi kemajuan justru terkuras habis untuk meredakan aksi pemberontakan PKI tersebut.

Pemberontakan PKI ini terjadi akibat keruhnya suasana politik pada tanggal 21 Juli 1947. Di mana Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama dan diakhiri dengan adanya perjanjian Renville pada tanggal 6 Desember 1947. Menurut Nasution (1971: 3-4) dari sepuluh isi perjanjian tersebut, dua di antaranya berisikan:

1. Pasukan RI yang mengadakan perjuangan di belakang garis pendudukan Belanda, harus ditarik mundur dan dilakukan sebaik-baiknya dalam waktu 21 hari.

2. Semua tentara yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak, harus segera mengosongkan daerah masing-masing dan pindah masuk ke daerahnya sendiri-sendiri dengan membawa semua senjata dan perlengkapan militer, dibawah pengawasan pembantu-pembantu militer komisi tiga negara.

Karena isi perjanjian Renville tersebut dianggap oleh partai Masyumi tidak memuaskan dan cenderung merugikan masyarakat Indonesia, maka Masyumi menolak usul-usul dari Belanda dan putusan perwakilan dari kabinet RI tersebut. Penolakan ini kemudian disusul dengan pengunduran diri menteri-menteri Masyumi dari pemerintahan pusat. Pernyataan pengunduran diri ini dilakukan


(23)

oleh Dewan Pimpinan Partai Masyumi pada tanggal 16 Januari 1948, sedangkan penolakan PNI diputuskan dalam rapat plenonya tanggal 18 Januari 1948, bahwa Dewan Partai menyetujui Dewan Pimpinan PNI dan para menteri anggota PNI yang menolak persetujuan Renville. Karena banyaknya golongan yang menentang kabinet Amir, maka pada tanggal 24 Januari 1948 Kabinet Amir jatuh (Nasution, 1971: 15).

Sesudah Kabinet Amir jatuh, maka pada tanggal 26 Januari 1948 Mohammad Hatta ditunjuk untuk menyusun kabinet Presidentil, di mana Hatta selaku Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan juga sebagai Wakil Presiden. Amir tidak ikut dalam kabinet Hatta tersebut, melainkan jadi golongan oposisi dalam kabinet Hatta. Ia mengatakan bahwa Kabinet Hatta adalah Kabinet Masyumi, karena banyak orang Masyuminya dan tidak ada wakil buruh, tani dan pemuda (Dimjati, 1951: 161).

Golongan oposisi mengadakan demonstrasi, menuntut kembalinya Amir dalam kabinet dan sebagai Menteri Pertahanan. Demonstrasi ini membawa pula poster-poster dan slogan-slogan yang isinya membela politik Amir dan mengecam kabinet Hatta. Amir mengusulkan agar kabinet Hatta dibubarkan dan dibentuk kabinet yang meliputi buruh, tani dan pemuda. Golongan oposisi mengadakan “adu domba”, sehingga dalam masyarakat timbul pertentangan yang menumbuhkan adanya dua aliran politik yang saling bertentangan. Partai-partai dan organisasi politik oposisi tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR), sedangkan sebagian partai-partai dan organisasi pendukung pemerintah bergabung dalam sebuah organisasi Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) (DISJAH, 1985: 79).

Ternyata tuntutan-tuntutan FDR tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka segera FDR mengadakan tuntutan berupa pendemokrasian kabinet. Adanya tuntutan dari golongan oposisi yang menghendaki pendemokrasian kabinet, dijawab oleh pemerintahan Hatta bahwa semua itu telah menjadi program pemerintah. Akan tetapi bukan berarti perlu diadakannya


(24)

resuffle kabinet. Tuntutan pendemokrasian kabinet semacam itu merupakan pola gerakan komunis di mana-mana termasuk pula di Indonesia yang telah masuk pengaruh Moskow. Karena pertentangan politik antara pemerintah dan golongan komunis pada saat itu ternyata tidak hanya bertemakan anti Imperialis dan Kolonialis dalam arti yang sempit, melainkan mempunyai latar belakang yang cukup luas. Hal sama nampak dari nada oposisi FDR yang selalu menuntut terbentuknya Kabinet Parlementer dan dihentikannya perundingan dengan Belanda. Karena menurut perhitungan Moskow perundingan dengan Belanda berarti semakin mendekatkan Indonesia pada lawan politik Moskow yaitu Amerika Serikat (Rachmat Susatyo, 2008: 71).

4.1.1 Peran Uni Soviet

Pada peristiwa Madiun 1948, terlihat ada campur tangan pihak asing dalam peristiwa tersebut. Pihak asing ini disinyalir berasal dari Uni Soviet, karena Musso merupakan tokoh komunis yang cukup lama tinggal di Moskow dan telah kembali ke Indonesia. Dapat di lihat pada saat suasana politik yang meruncing, datang pula Suripno dari Praha pada tanggal 11 Agustus 1948 di Yogyakarta beserta sekretarisnya bernama Suparto. Ternyata Suparto adalah Musso yang selama hampir 23 tahun berada di luar negeri dan berdiam di Rusia. Kedatangan Suripno tersebut karena dipanggil oleh pemerintah sehubungan dengan adanya berita-berita yang mengatakan bahwa Suripto sebagai Duta Besar RI di Praha telah mengadakan persetujuan dengan Duta Besar Rusia di Praha untuk tukar-menukar Konsul antara RI dan Rusia (DISJAH, 1985: 81).

Sebelum datang ke Indonesia, pada bulan Maret 1948 Musso dan Suripno telah mengadakan diskusi dengan Sekretaris Jendral Partai Komunis Belanda yang bernama Paul De Groot di Praha Cekoslovakia. Dalam diskusi tersebut ketiganya membahas mengenai strategi baru gerakan Indonesia. De Groot menyarankan agar pergerakan Indonesia tetap kooperatif. Namun, kedua orang Indonesia yaitu Musso dan Suripno tidak setuju dengan pendapat De Groot karena menurut mereka berdua itu terlalu lembek sehingga harus diganti dengan


(25)

jalan yang radikal. Pertemuan ini akhirnya merumuskan garis besar kaum komunis Indonesia dan ditandatangani oleh wakil Indonesia, Belanda dan Cekoslavokia. Hasil diskusi yang berupa dokumen itu akhirnya dikirim ke Moskow untuk mendapatkan persetujuan. Haluan baru inilah yang akhirnya Musso dan Suripno bawa ke Indonesia, dengan haluan baru yang dipengaruhi “Garis Zhdanov” mereka berdua berharap dapat merubah perjuangan bangsa Indonesia (Rachmat Susatyo, 2008: 32).

Dengan haluan baru yaitu “Garis Zhdanov” dunia saat itu sedang terbagi menjadi dua kubu yang saling berlawanan di antaranya kubu imperialisme dan kubu anti-imperialisme. Mereka yang tidak sepaham dengan haluan baru yang dibawa oleh Musso, maka akan dijadikan lawan dan harus disingkirkan dengan cara apapun. Saat itu, Madiun dijadikan sebuah arena adu kekuatan dan perebutan kekuasaan. Akibat dari adanya ketegangan ini banyak menimbulkan korban jiwa dari masyarakat, aparat pemerintah dan ulama.

Pada bulan Mei 1948, Suripno berhasil membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Dengan keberhasilan Suripno membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet, menimbulkan adanya dorongan untuk Republik Indonesia jauh ke kiri yaitu ke arah komunis. Musso menyempurnakan rumusan ini dalam perjalanan dari Praha ke Indonesia yang saat itu memakan waktu seminggu. Rumusan itu Ia sebut “Jalan Baru Republik Indonesia”. Jalan baru inilah yang akan merubah politik komunis Indonesia, disebut demikian karena gagasan itu berbeda dengan gagasan yang pernah ada. Haluan ini menegaskan, dunia telah terbagi menjadi dua blok yaitu blok kapitalis imperialis yang digerakkan oleh Amerika Serikat dan blok anti-imperialis yang digerakan oleh Uni Soviet. Sebenarnya inti dari doktrin Zhdanoz adalah kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras. Maksudnya yaitu Musso dalam rumusan “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” menyatakan “karena perjuangan Indonesia


(26)

Setelah sampai di Indonesia, Musso menemui dua sahabatnya yaitu Maroeto Daroesman dan Setidjid untuk bertukar pikiran. Dalam pertemuan itu, Musso menggunakan nama samarannya yaitu Suparto untuk mengelabui pihak Belanda. Kebetulan kedua sahabatnya itu baru kembali dari Belanda bersama rombongan Menteri Kehakiman Mr. Soewandi yang baru melakukan perundingan dengan Belanda. Kedatangan Musso ke tanah air disambut baik oleh Presiden Soekarno dan diharapkan dapat ikut serta dalam perjuangan

kemerdekaan bangsa Indonesia. Musso sendiri menjelaskan, bahwa

kedatangannya kembali ke Indonesia adalah untuk ikut bersama berjuang dan menempatkan perjuangan bangsa Indonesia pada perjuangan yang tepat. Musso pun mengadakan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan politik FDR dan kemudian mengadakan pembaharuan politiknya. Dengan cepat Musso dapat menarik simpati kaum komunis Indonesia, Musso kemudian memegang peranan penting dalam menjadi penggerak yang melakukan politik baru pada gerakan komunis Indonesia yang sesuai dengan pola-pola yang telah digariskan oleh pimpinan komunis Moskow (DISJAH, 1985: 90).

Musso untuk pertama kali tampil di muka umum pada tanggal 20 Agustus 1948 dalam rapat yang diselenggarakan oleh FDR. Pada tanggal 22 Agustus 1948, Musso mengadakan rapat raksasa di Yogyakarta. Dalam rapat raksasa tersebut dihadiri 50.000 orang, Musso menegaskan betapa pentingnya mengganti kabinet presidensial menjadi kabinet front nasional. Selain itu, Musso juga menegaskan perlunya menjalin hubungan internasional untuk meratifikasikan hubungan diplomatik secepat mungkin terutama dalam menjalin hubungan dengan Uni Soviet. Dalam rapat tersebut Musso telah menyampaikan pidatonya seperti yang dikutip Harian Revolusioner tanggal 23 Agustus 1948 dalam Notosusanto, ia antara lain mengatakan :

“Revolusi kita telah disesatkan oleh Soekarno dan Hatta dengan melakukan politik berunding dengan Kolonialisasi Belanda dan Amerika. Renville harus ditentang dan hubungan diplomatik dengan Rusia harus


(27)

segera diratifikasikan untuk mengimbangi tekanan Belanda dan Amerika terhadap Republik. Revolusi harus dipegang oleh golongan proletar dan bukan oleh golongan borjuis, karena kaum proletarlah yang paling revolusioner dan paling anti imperalis. Kesalahan ini harus segera diperbaiki. Tidak adanya Front Nasional merupakan sebab-sebab kelemahan perjuangan kita, karena itu harus segera dibentuk Front Nasional di mana rakyat dapat ikut serta tanpa terikat oleh keanggotaan suatu partai yang didukung dari bawah dan berakar dalam masyarakat. Kabinet yang sekarang sudah tidak sesuai, karena itu harus segera dibentuk kabinet baru “(Notosusanto, 1998: 21).

Pidato Musso tersebut, memperlihatkan bahwa pengaruh-pengaruh yang telah disebarkan oleh pihak Uni Soviet berhasil mempengaruhi pola pikir politik Musso saat itu. Musso yang anti imperialis sangat menginginkan Soekarno untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Belanda. Oleh karena itu Musso berusaha membangkitkan rasa cinta tanah air dengan mengajak kaum proletar yang tergabung dalam Front Nasional untuk membuat kabinet baru yang berhubungan dengan Uni Soviet. Dalam pandangan Musso, Uni Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang Amerika Serikat, karena Uni Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri. Sebaliknya Inggris dan Perancis adalah mantan negara-negara kolonial yang bersekutu dengan Amerika Serikat.

Kedatangan Musso di Indonesia mengakibatkan berubahnya jalur politik partai-partai kiri, di mana pada ranggal 24 Agustus 1948 Politik Biro Central Comite PKI mengeluarkan pula pernyataan sebagai koreksi kesalahan dalam lapangan organisasi di waktu lampau. Musso mengusulkan supaya tiga partai anggota FDR yaitu: PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia diadakan fusi sehingga hanya ada satu partai saja, yaitu Partai Kelas Buruh dengan memakai nama yang familiar, yaitu PKI. Pada rapat tanggal 25 Agustus 1948 kepada Musso diserahkan tugas untuk mengadakan analisa situasi politik di Indonesia pada waktu itu. Sebagai doktrin hasil analisanya, Musso telah mengeluarkan suatu gerakan yang disebut garis revolusi dengan nama “Jalan Baru Menuju Republik Indonesia” (Leirissa, 1985: 103). Kemudian pada tanggal


(28)

30 Agustus Musso diangkat sebagai Ketua PKI untuk melaksanakan garis barunya itu, di mana ia menekankan bahwa tentara harus di bawah pengaruh Partai Komunis. Sehingga pada tangal 7 September 1948 FDR berfusi ke dalam PKI.

Menurut Notosusanto (1998: 20), dengan datangnya Musso yang dinilai cakap dalam memimpin PKI, maka Ia memberikan rancangan baru terhadap PKI yaitu “jalan baru” untuk Republik Indonesia. Maksud dari rangcangannya yaitu menegaskan bahwa dunia telah terpecah dua menjadi blok kapitalis-imperialis di bawah pimpinan Amerika Serikat dan blok anti-imperialis di bawah pimpinan Uni Soviet. Musso merumuskan karena perjuangan Indonesia anti-imperialis, maka Indonesia harus berada dipihak Rusia. Pejuang-pejuang Indonesia yang bersimpati pada PKI tetapi segan untuk memasuki partai tersebut, ditampung dalam lembaga Indonesia di bawah naungan Uni Soviet. Oleh karena itu, Musso menyatakan revolusi nasional Indonesia sudah menjadi bagian dari revolusi proletar dunia yang dipimpin oleh Uni Soviet.

PKI di bawah kendali Musso, tokoh-tokoh PKI mengadakan perjalanan keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menggelorakan semangat rakyat supaya berdiri di belakang PKI yang sedang menggalang Front Nasional. Rombongan ini mulai berangkat dari Yogyakarta dengan diikuti oleh beberapa tokoh-tokoh PKI diantara adalah Amir Sjariffudin, Alimin, Wikana, Harjono, dan lain-lain. Menurut DISJAH (1985: 15-17) dalam perjalanan kelilingnya terlihat adanya konspirasi Musso dalam pidato mempropaganda masyarakat antara lain dengan mengatakan:

“…Proklamasi Kemerdekaan kita telah terdapat kesalahan, di mana kaum proletar diasingkan dari pemerintahan. Karena itu, revolusi kita sekarang baru revolusi nasional, belum revolusi sosial, apalagi revolusi komunis. Pimpinan revolusi telah jatuh ke tangan golongan borjouis. Kalau kita mengadakan hubungan diplomatik dengan Rusia bukan berarti kita akan mendirikan Pemerintah Rusia di Indonesia, tetapi untuk mengimbangi tekanan Amerika. Hatta telah mencapai kemerdekaan dengan kompromi


(29)

dengan Belanda atas desakan Amerika yang berarti bahwa pemerintah kita adalah pemerintahan neo kolonialisme. Sekarang tibalah saatnya bagi kita untuk berjuang seperti rakyat Athena dan Tiongkok. Andaikata umat Islam di Indonesia berjuang dengan keimanannya, mengapa mereka tidak menyatakan Perang Sabil saja? Kita berjuang terutama untuk menghancurkan kolonialis”.

Dari keterangan di atas, dapat diberitahukan bahwa Musso memiliki ambisi yang cukup kuat untuk menjadikan Indonesia menjadi negara komunis seperti Rusia, Uni Soviet yang dapat memimpin dunia di bawah kendalinya. Walaupun tidak secara terangan-terangan, melainkan melalui doktrin-doktrin yang dapat merubah pola pikir mereka dalam memahami komunis. Karena Musso pernah tinggal di Moskow. Uni Soviet yang terkenal basis komunisnya kuat maka dengan sendirinya paham tersebut akan menyebar ke negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum Stalin berkuasa, Lenin telah membentuk comintren (communist international) sebagai lembaga komunis internasional untuk menyebarkan paham komunisme ke seluruh penjuru dunia.

Ternyata Musso telah menganut ideologi Lenin, di mana lebih percaya pada keunggulan politik di atas ekonomi. Musso berpikir bahwa tugas pemimpin komunis serta kaum revolusioner profesional adalah menyerang dan menghancurkan sistem sosial politik yang dalam keadaan lemah. Musso yakin dengan kekuatan perlawanan yang relatif kecil tapi berdisiplin tinggi serta terorganisasi secara baik, maka kekuasaan dapat direbut (Hartisekar, 1999: 43). Oleh karena itu, Musso percaya bahwa gagasan revolusi “Jalan Barunya” akan berhasil. Musso pun berani melancarkan aksi propagandanya karena telah termakan doktri-doktrin yang diberikan oleh pihak Moskow, Uni Soviet. Secara tidak langsung ideologi Musso pun telah terpengaruhi oleh adanya doktrin tersebut. Tetapi kalkulasi politik mereka tidak didasari oleh pemahaman yang baik tentang falsafah hidup bangsa Indonesia, yang sangat mengutamakan kehidupan yang aman, tentram, damai dan sejahtera.


(30)

Pihak Uni Soviet berhasil melakukan intervensi terhadap pemerintahan Soekarno secara tidak langsung melalui peran Musso. Ideologi Uni Soviet yang lebih percaya dengan keunggulan politik di atas ekonomi telah berhasil mendoktrin Musso. Indonesia yang saat itu beranggapan ingin bebas dari Belanda dan Amerika Serikat langsung dimanfaatkan oleh Uni Soviet. Sehingga Uni Soviet secara tidak langsung telah berhasil mengintervensi Indonesia melalui peranan Musso. Di mana ideologi Musso dengan mudah dipengaruhi oleh pihak Uni Soviet yang ati Blok Barat.

Untuk menyebarkan gagasan revolusi “Jalan Barunya”, Musso bersama

-sama para pemimpin PKI pada bulan September 1948 melakukan perjalanan keliling ke Solo, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo untuk menjalankan aksi propagandanya. Pada tanggal 7 sampai dengan 8 September 1948 Musso, Amir, Alimin, Wikana, Harjono dan anggota PKI lainnya yang sedang mengadakan perjalanan propagandanya keliling daerah-daerah Surakarta turut datang dalam rapat umum di Madiun. Lalu pada tanggal 10 dan 11 September 1948 tokoh-tokoh PKI tersebut meneruskan perjalanan keliling propagandanya ke Kediri, tanggal 13 September ke Jombang, tanggal 14 September ke Bojonegoro, tanggal 16 September ke Cepu dan pada tanggal 17 September 1948 merencanakan berpidato di depan rapat umum di Purwodadi. Tetapi rencana tersebut terpaksa dibatalkan. Karena berhubungan dengan tiba-tiba Musso Cs mendengar berita perkembangan baru bahwa Sumarono Cs akan mengadakan perebutan kekuasaan tanggal 18 September 1948. Oleh karena itu, Musso Cs bergegas menuju ke Madiun (DISJAH, 1985: 98).

Pada tanggal 18 September 1948 telah tersiar berita bahwa kaum komunis di Madiun telah melakukan perebutan kekuasaan. Berita tentang terjadinya coup d’etat tersebut mula-mula disiarkan oleh Harian Murba di Surakarta, malahan jauh sebelumnya harian ini telah mensinyalir bahwa PKI akan segera mengadakan pemberontakan (Dimjati, 1951: 180). Tetapi karena pemerintah


(31)

tidak mengadakan reaksi atas berita tersebut, rakyat masih ragu-ragu menerima kebenaran berita itu. Barulah keragu-raguan rakyat lenyap ketika ada pengumuman resmi dari pemerintah, yang mengumumkan bahwa di kota Madiun oleh dan di bawah pimpinan PKI dengan memakai tenaga salah satu kesatuan brigade TNI di Jawa Timur telah melakukan penyerangan atas alat-alat kekuasaan negara dan penggantian pemerintah daerah secara tidak sah.

Sebenarnya bagian intelijen dari Divisi Siliwangi sebelum peristiwa Madiun terjadi telah mendapat keterangan tentang adanya gerakan yang bersifat melawan pemerintah. Bahkan Amir Sjarifuddin pernah pula membujuk seorang Kapten dari Divisi Siliwangi yang secara pribadi dekat dengannya agar menarik Panglima Divisi Siliwangi yaitu Nasution untuk bekerjasama dengan PKI guna menyelamatkan perjuangan. Adapun kesatuan-kesatuan yang telah dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan tersebut antara lain seperti kesatuan yang dipimpin oleh Sumartono (Pesindo). Pasukan Divisi VI Jawa Timur dibawah pimpinan Kolonel Djokosujono dan Letkol Dahlan yang waktu itu Panglima Divisinya ialah Kolonel Sungkono. Juga dari sebagian Divisi Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Suadi dan Letkol Sujoto (DISJAH, 1985: 101).

Selama tanggal 18-25 September 1948 pasukan PKI Musso dapat menduduki Kabupaten Sukoharjo, yang dipimpin oleh Mayor Digdo, Letkol Iskandar dan Letkol Jadau sebagai bezeting komandannya ialah Suwitojo. Pada tanggal 23 September 1948 PKI Musso telah mengadakan pemecatan kepala-kepala desa dan mengadakan pemeriksaan uang kas, berpuluh-puluh ton minyak dan bahan makanan telah diangkat ke jurusan Timur, juga uang sebanyak Rp 336.304,01 dari suatu jawatan dapat dirampas dan dibawa lari (Nasution, 1971: 135). Pasukan komunis tidak lama menduduki daerah-daeah tersebut , karena tak lama kemudian pasukan TNI telah dapat merebut kembali daerah-daerah yang diduduki. Selama PKI berkuasa di daerah-daerah tersebut. PKI telah melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap rakyat yang menentangnya.


(32)

Di daerah-daerah Madiun, Ngawi, Ponorogo, Purwodadi dan lain-lain, PKI juga melakukan penangkapan dan pembunuhan kejam, dari kalangan agama maupun pengikut TNI banyak yang dibunuh. Kepada rakyat di daerah-daerah PKI menyiarkan berita bohong, dikatakan bahwa yang ditahan adalah Belanda. Sehingga pemuda yang tidak tahu-menahu duduk persoalannya, telah ikut terseret dan membantu kaum pemberontak. Oleh karena itu pemuda-pemuda yang tergabung dengan PKI Musso kalau berhadapan dengan pasukan-pasukan TNI tidak langsung menyerang, tetapi mengajukan pertanyaan terlebih dahulu: “Pundi Landane Mas?” (“Mana Belandanya Bung?”) (Nasution, 1966: 136). Jelaslah banyak pemuda-pemuda dan rakyat setempat yang sebenarnya tidak mengetahui untuk apa dan untuk siapa mereka mempertaruhkan jiwanya. PKI Musso telah menyalahgunakan kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya. Tindakan yang penuh tipu muslihat dan pembunuhan keji telah menimbulkan kebencian dan amarah rakyat, sehingga hilanglah simpati rakyat terhadap PKI.

Ketika terdengar berita di Madiun terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh PKI Musso, maka dengan segera pemerintah mengadakan Sidang Kabinet Lengkap pada tanggal 19 September 1948 yang diketuai oleh Presiden Soekarno. Hasil sidang tersebut mengambil keputusan antara lain, bahwa Peristiwa Madiun yang digerakkan oleh FDR adalah suatu pemberontakan terhadap Pemerintah dan mengadakan instruksi kepada alat-alat Negara dan Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara. Memberikan kuasa penuh kepada Jendral Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan keamanan dan ketertiban kepada keadaan biasa di Madiun dan daerah-daerah lainnya.

Dalam keadaan yang rumit tersebut, pihak Belanda mencoba mengambil kesempatan untuk menjajah Indonesia lagi yaitu dengan cara berpura-pura memberikan bantuan untuk melumpuhkan pemberontakan PKI Musso. Dengan adanya berita tentang terjadinya pemberontakan PKI di Madiun tersebut, Van Mook segera datang ke Jakarta dan mengatakan


(33)

kepada pers bahwa Pemerintah Belanda bersedia dan sanggup membantu Republik untuk menindas pemberontakan PKI (Hartisekar, 1999: 84). Tetapi oleh Hatta dikatakan, bahwa pemerintah RI tidak mengijinkan campur tangan dari pihak asing dalam urusan yang terjadi dalam daerah Republik. Tentang pemberontakan Madiun dikatakannya, bahwa itu adalah urusan dalam negeri dan akan diselesaikan oleh Angkatan Perang RI sendiri. Sudah jelas bahwa Hatta benar-benar telah mengetahui siasat busuk Belanda dengan cara mencari simpatik pemerintah Indonesia. Dengan sikap tegas Hatta langsung menolak bantuan yang mengharapkan imbalan tersebut.

Setelah presiden memberi perintah kepada Angkatan Perang untuk segera mengembalikan keamanan dengan segera diadakan penangkapan terhadap orang-orang yang membahayakan negara dan diadakan penggerebegan tempat-tempat yang dianggap perlu. Supaya dapat melaksanakan tugas dengan baik, Markas Besar Angkatan Perang segera menetapkan dan mengangkat Kolonel Sungkono Panglima Divisi VI Jawa Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang mendapat tugas menggerakkan pasukan dari arah timur. Setelah mendapat perintah tersebut Kolonel Sungkono segera memerintahkan Brigade Surachmad bergerak menuju Madiun untuk mengamankan dari segala bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) terhadap PKI Musso, ikut serta Mobil Brigade Jawa Timur dan Mobil Brigade Jawa Tengah. Pada tanggal 19 September 1948 malam, satu Batalyon Mobil Brigade yang terdiri dari dua

Kompi Gabungan Basuki – Malang yang dipimpin oleh Pembantu Inspektur

Polisi II Imam Bachri telah diperintahkan ikut menumpas pemberontakan tersebut (Hartisekar, 1999: 81).

Gerakan Operasi Militer (GOM) yang dilancarkan oleh pasukan yang taat kepada pemerintah RI berjalan dengan singkat. Dalam 12 hari Madiun dapat dikuasai kembali, tepatnya tanggal 30 September 1948 pada pukul 16.15 sore. Malam harinya jam 22.00 Gubernur Militer Gatot Subroto


(34)

memerintahkan Angkatan Perang supaya terus melakukan pengejaran terhadap pasukan pemberontak yang bersarang di Purwodadi, Pacitan dan Ponorogo. Juru Bicara Menteri Pertahanan dalam pengumumannya menyatakan, bahwa Musso melarikan diri ke Dungus, sebelah selatan Madiun. Komandan Pasukan Pemberontak mengirim surat kepada Letkol Kretarto untuk mengadakan perundingan, akan tetapi pemerintah tidak mau mengadakan hubungan dengan kaum pemberontak (DISJAH, 1985: 137).

Jatuhnya Madiun bukan berarti berakhirnya petualangan pasukan pemberontak, karena mereka masih dapat meloloskan diri. Mereka melarikan diri dengan merencanakan perang gerilya. Selama mereka melarikan diri masih pula melakukan pembunuhan atau perampasan dan pembakaran harta benda di tempat-tempat yang mereka lalui. Sementara itu pasukan pemberontak yang melarikan diri dari Madiun terus dikejar oleh pasukan TNI, mereka melarikan diri ke Kandangan. Dalam pengunduran diri dari Madiun pimpinan pasukan dipegang oleh Amir, bukan oleh Musso. Kandangan merupakan daerah basis gerilya mereka. Tetapi sebelum pasukan pemberontak sampai di tempat tujuan, daerah tersebut telah dapat dikuasai oleh Batalyon yang dipimpin oleh Mayor Sabaruddin dari Divisi Sungkono. Pasukan Amir diserang dan mengundurkan diri di daerah Gunung Wilis.

Sementara itu, Musso dengan beberapa orang pengawalnya menuju ke pegunungan Selatan Ponorogo. Induk pasukan Amir adalah yang paling kuat persenjataannya, juga pengiringnya paling lengkap, seperti Djoko Sujono, Abdulmutallib, Batalyon Abdul Rachman, Marotu Darusman, Suripno, Sumarsono dan lain-lain pemimpin besar PKI. Alimin tidak ikut, karena sewaktu timbul pemberontakan Ia berada di Surakarta bersama pasukan PKI di Wonogiri. Pengejaran terhadap kaum pemberontakan terus dijalankan. Pasukan Amir yang terpukul di Purwantoro lalu meneruskan perjalanan ke Utara mendaki lereng Gunung Lawu melalui desa Jeruk, Ngrete, Watasono dan Kebang di daerah pegunungan kapur yang tandus. Pengiring Amir kira-kira


(35)

2000 orang yang bersenjata lengkap, di antaranya ikut berpuluh-puluh perempuan, anak-anak dan ibu-ibu dari keluarga pemimpin pemberontak yang ikut lari meninggalkan Madiun dengan membawa harta benda yang tidak sedikit. Mereka berjalan kaki dan sebagian naik kuda (Dimjati, 1951: 197).

Para pemuda dan tentara merah ikut mengawal dari lambung kanan, lambung kiri, dari muka dan belakang. Berangsur-angsur perbekalan mereka makin habis dan banyak yang menderita sakit karena tidak sanggup lagi mengikuti perjalanan yang beratus-ratus kilometer. Di Kebang mereka mendapat serbuan dari pasukan TNI, sehingga rombongan sipil yang dipimpin oleh Abdulmutallib terpisah dari induk pasukannya. Mereka terpaksa mengambil jalan sendiri. Ketika Abdulmutallib bersama sekretarisnya, Nona Sriatin (dari Pesindo) masuk ke Girimarto, mereka dikenali oleh penduduk setempat, kemudian ditangkap. Pada tanggal 15 Oktober 1948 Abdulmutallib menjalani hukuman mati. Sebelum ditembak terlebih dahulu berwasiat mengucapkan selamat tinggal kepada istrinya yang ditinggal di Madiun (Dimjati, 1951: 198).

Ketika pasukan Amir terus bergerak ke Purwodadi melalui Tawangmangu untuk bertemu dengan pasukan Sujoto yang kabarnya masih kuat dan menduduki daerah Purwodadi. Sesampainya di Tawangmangu mereka mendapat serangan, sebagian lagi kembali ke Selatan. Dari Tawangmangu induk pasukan Amir meneruskan perjalanan ke Sarangan. Tidak ada penjagaan pasukan TNI, sehingga mereka sempat beristirahat selama dua hari. Kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Utara sampai di Ngrambe dan Walikukun, di sana sempat pula beristirahat. Ketika pasukan yang dipimpin Amir melintasi jalan raya Solo-Madiun, kebetulan ada rombongan mobil dari Yogyakarta menuju Madiun. Kemudian rombongan mobil dari Yogyakarta itu disergap dan penumpangnya dibunuh oleh pasukan Amir.

Sedangkan Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo tertembak mati pada tanggal 31 Oktober 1948 oleh Brigade S yang dipimpin oleh


(36)

Kapten Sunandar sewaktu melakukan patroli. Musso yang menyamar sebagai kusir dan dikawal oleh dua orang kepercayaannya, lalu bertemu dengan pasukan Brigade S terjadi tembak menembak. Musso lari ke sebuah rumah penduduk desa, dengan menggunakan dua buah pistol vikers ia bertahan di rumah tersebut dan membalas tembakan dari balik pintu dan jendela. Walaupun ketika itu Ia terkepung, Ia tidak mau menyerah. Seruan dari pihak TNI supaya menyerah tidak diindahkan oleh pasukan Musso. Waktu itu patroli TNI yang mengepung belum tahu bahwa orang tersebut sebenarnya adalah Musso, disangka tentara komunis biasa saja (Dimjati, 1951: 192). Akhirnya setelah diadakan tembakan gencar dari luar rumah, Musso tertembak dan tak lama kemudian meninggal. Mayat Musso kemudian dipotret, diperlihatkan kepada pegawai-pegawai pemerintah yang dipanggil dari Madiun. Sesudah dipastikan mayat tersebut adalah mayat Musso, kemudian dikubur di salah satu tempat yang dirahasiakan. Sedangkan induk pasukan Amir telah sampai di Ngawi terus mengadakan perjalanan ke Utara menjelajahi hutan jati dan akhirnya melintasi Bengawan Solo menuju ke Cepu.

Pada tanggal 20 November 1948 pasukan Amir menuju Tambakromo, sebelah Timur Kayen sebelah Selatan Pati. Pasukan Amir terdiri dari kurang lebih 500 orang, ada yang beserta keluarga mereka. Keadaan pasukan Amir sangat menyedihkan. Banyak diantara mereka yang ingin melarikan diri, tetapi rakyat selalu siap menangkap mereka. Banyak mayat pemberontak diketemukan karena sakit atau kelaparan. Pasukan Amir dan Djokosujono yang dikejar TNI dari Getas terus ke Utara menuju Ngasinan yang berada diantara jalan Wirosari Blora. Kemudian mereka diserang oleh pasukan TNI dari Wirosari dan Blora, mereka melarikan diri masuk hutan-hutan menuju Gratil. Pasukan mereka yang terdepan sudah sampai di Tanduan, tetapi di tempat tersebut mendapat serangan pasukan TNI dari arah Timur, terpaksa mereka melarikan diri ke arah Barat ke Karangasem.


(37)

Di daerah Karangasem pasukan Amir berkeliaran di jalan-jalan antara Karangasem dan Gandungsari. Sewaktu di Gandungsari pasukan Amir mengancam penduduk yang tidak mau membantu mereka, bahwa rumah penduduk Karangasem dan Gandungsari akan dibakar dan orang-orangnya akan dibunuh. Tetapi rakyat tidak mengindahkan ancaman pasukan Amir, bahkan mereka memberitahu kepada pasukan TNI yang terdekat. Dalam suatu operasi yang dilancarkan pasukan TNI mereka berhasil menangkap dua orang pengintai TNI yang sedang melakukan penyelidikan di sekitar Gandungsari. Kecuali dua orang sekko itu, ada 15 orang pasukan Amir yang sedang melakukan penyamaran dapat ditangkap.

Dalam pertempuran ini Amir dapat meloloskan diri pasukan TNI. Pasukan Amir hanya tinggal beberapa puluh orang saja. Kemudian mereka menyeberangi Sungai Lusi menuju ke desa Klambu, antara Klampok dan Bringin sekitaran daerah Purwodadi. Pasukan TNI mengadakan taktik menggiring ke titik buntu yang mematikan. Taktik ini ternyata berhasil, karena pasukan pemberontak terjepit di daerah rawa-rawa. Mereka dikepung oleh kesatuan-kesatuan TNI, akhirnya Amir menyerahkan diri beserta pasukannya pada tanggal 29 November 1948. Suripno dan Harjono yang selalu dekat dengan Amir ikut pula tertangkap. Kemudian mereka digiring ke Purwodadi, seterusnya di bawa ke Surakarta. Mereka tampak kurus kering, pakaiannya pun sudah sangat lusuh. Kemudian pada tanggal 4 Desember 1948 seperti Amir Sjarifuddin, Djokosujono, Maruto Darusman, Suripno dan lain-lain gembong FDR dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api. Mereka dipenjara bersama-sama dengan kurang lebih 35.000 orang pengikut PKI serta simpatisannya di Yogyakarta. Dengan tertangkapnya Amir Cs di desa Klambu, maka berakhirlah riwayat pemberontakan PKI Musso. Dalam Gerakan Operasi Militer ini, dari TNI tercatat 159 orang gugur (Dimjati, 1951: 200).

Atas perintah Presiden, sebagian tawanan kemudian dilepas karena adanya serangan Agresi Militer Belanda. Dengan maksud agar mereka dapat


(38)

ikut serta melawan tentara Belanda. Alimin sempat lolos, sedang 11 orang tawanan antara laim : Amir Sjarifuddin, Suripno, Maruto Darusman, Djokosujono, D. Mangku, Gey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Katamhadi, Ronomarsono dan Sukarno dijatuhi hukuman mati pada tanggal 19 Desember 1948 di desa Ngalihan, Kabupaten Karanganyar Surakarta. Sedangkan yang dilepas kembali antara lain : Nyoto, Aidit dan Lukman (Nasution, 1971: 142).

Ketika Madiun sudah dikuasai kembali oleh pemerintah RI, pers luar negeri ramai membicarakan peristiwa tersebut. Pers Amerika mengatakan bahwa kekalahan Madiun itu berarti kekalahan strategi komunisme di Asia Tenggara sejak berakhirnya Perang Dunia ke II. Sebaliknya pers Belanda yang reaksioner mengatakan bahwa, peristiwa Madiun itu hanya sandiwara saja, untuk mengelabui dunia tentang keadaan di Indonesia yang sebenarnya yaitu orang-orang komunis disuruh pura-pura berontak untuk menimbulkan kesan seolah-olah Republik Indonesia bukan komunis (Dimjati, 1951: 188).

Maksud dan tujuan adanya pemberontakan Madiun memang baik dan mulia yaitu hendak membela rakyat yang tertindas yang selama revolusi belum mengecap berkahnya jaman kemerdekaan. Titik berat rencana mereka ialah untuk melaksanakan revolusi sosial, menciptakan keadilan sosial yang sudah lama diidam -idamkan, membela petani yang miskin dan buruh rendah. Sehingga dapat hidup selayaknya dan supaya jangan terus-menerus ditindas oleh kaum feodal dan kaum borjuis Indonesia yang berlindung di belakang pemerintah Republik. Hanya saja maksud mulia itu sayang menjadi gagal karena dikeruhkan oleh organisasi-organisasi jahat yang ikut menyelundup di kalangan FDR. Penjahat-penjahat yang menyusup dalam FDR itu berlindung dibelakang revolusi Madiun untuk menjalankan roda kejahatan. Mereka mau menjadi pengikut komunis PKI bukan karena sadar akan ideologi komunis. Mereka hanya mau mencari kekayaan secara gampang, tidak usah bekerja keras cukup merampas hak milik si kaya yang dikatakan kaum borjuis atau


(39)

feodal. Jadi mereka itu menggunakan istilah-istilah politik untuk dipakai sebagai perisai untuk menghalalkan yang haram.

4.1.2 Dampak Yang Terjadi

Paham komunisme hanya ada dan tumbuh dalam jiwa para aktivis PKI, sedangkan rakyat khususnya buruh dan tani, tidak paham berpolitik. Mereka mengikuti aktivis PKI hanya karena ikut-ikutan dan bukan karena pemahaman yang baik mengenai komunisme. Sehingga, ketika terjadi pemberontakan, rakyat yang mayoritas buruh dan tani, tidak serta merta ikut berjuang bersama para pimpinan PKI. Hasilnya, pemberontakan PKI hanya didukung oleh segelintir orang yang tidak siap dengan aksi-aksi pemberontakan itu sendiri. Mereka hanya bersenjatakan alakadarnya, persenjataan yang lazim mereka pakai untuk aktivitas pertanian mereka. Hanya dari kalangan tentara dan polisi saja yang bersenjatakan senjata api. Sejata yang sesuai untuk menghadapi tentara dan polisi yang pro pemerintah. Akibatnya, pemberontakan PKI di Madiun ini hanya berlangsung singkat saja yakni dari 18-30 September 1948.

Pada tanggal 30 September 1948, Madiun berhasil dapat direbut dan diduduki kembali oleh pasukan Brigade Siliwangi pimpinan Mayor Ahmad Wiranatakusumah dan Brigade Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono. Dalam operasi ini pimpinan PKI Madiun yaitu Musso berhasil ditembak mati saat akan melarikan diri ke Rusia, Uni Soviet. Sedangkan pimpinan PKI Madiun seperti Semaun, Alimin, Amir Syarifudin dan Darsono berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dalam pengadilan mahkamah militer. Menurut DISJAH (1985: 160) dampak dari pemberontakan PKI Madiun 1948 adalah sebagai berikut ini:

1. Kehidupan ekonomi, perekonomian masyarakat menjadi lemah, banyak

orang-orang yang kelaparan dan pembangunan kota yang tersendat akibat kekurangan dana.


(40)

2. Kehidupan sosial budaya, masyarakat menjadi tidak percaya dengan pemerintahan karena banyak korban pemberontakan PKI dari kedua belah pihak sangat besar termasuk rakyat yang tidak mengerti soal politik.

3. Kehidupan politik, kekuatan bangsa Indonesia dalam perjuangan menghadapi

Belanda menjadi lemah dan dimanfaatkan oleh Belanda untuk melancarkan agresi militer yang kedua. Keberhasilan menumpas pemberontakan PKI Madiun menimbulkan simpati dari dunia Barat terutama Amerika Serikat hingga memperkuat posisi Indonesia dalam perjuangan diplomasi melawan Belanda.

Akhirnya gerakan FDR yang berhaluan komunis dari Uni Soviet dapat diberantas semua sepak terjangnya oleh TNI dan Polisi pada tahun 1948 juga. Amir merupakan tokoh dalam front tersebut, lalu bergabung lah Musso, di mana Musso telah membawa bekal ilmu politiknya yang telah dipelajarinya di Moskow. Dengan yakin Musso menyatakan bahwa golongannya merupakan anti-imperialisme maka memiliki kesamaan ideologi dengan Uni Soviet. Semenjak itu lah segala bentuk rencananya berdasarkan atas “Jalan Baru” ide yang berhasil Ia tanamkan dalam pemberontakan PKI Madiun 1948 (DISJAH, 1985: 90).

Oleh karena itu, dengan menerapkan gagasan “Jalan Baru” Musso yakin PKI dapat membawa perubahan terhadap Indonesia ke arah yang lebih baik seperti Rusia. Tetapi keyakinan Musso ini salah , karena perubahan yang diharapkan malah mengakibatkan timbulnya pemberontakan PKI Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Musso itu sendiri serta kandasnya harapan adanya “Jalan Baru” yang Ia anut dari Rusia, Uni Soviet.

Dapat dilihat bahwa intervensi dapat menimbulkan perdebatan karena berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional yaitu prinsip kedaulatan negara dan prinsip non intervensi (Starke, 1988: 136-137). Intervensi berhubungan dan selalu berkaitan kepada


(41)

kedaulatan suatu negara. Apabila campur tangan itu hanya sekedar sugesti diplomatik, maka bukanlah suatu masalah pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara. Intervensi harus sampai pada tingkat di mana kedaulatan suatu negara dalam pelaksanaannya di ambil alih oleh negara lain. Hal ini merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional, namun disisi lain hukum internasional membolehkan tindakan tersebut dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia dan juga merupakan pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang.

Namun demikian, seharusnya bangsa Indonesia tidak lengah dan selalu waspada terhadap doktrin-doktrin kaum komunis. Akibat kelengahan bangsa Indonesia sendiri, PKI kembali mengulangi aksi pemberontakan mereka pada tanggal 30 September 1965. Pemberontakan yang lebih terencana dengan baik, tetapi tetap saja mengalami kegagalan karena tidak mendapat dukungan luas dari bangsa Indonesia khususnya dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan polisi.

4.2 Peristiwa PRRI/Permesta 1958

Peristiwa berikutnya yang menggambarkan adanya intervensi secara langsung oleh pihak asing dalam pergerakannya yaitu peristiwa PRRI/Permesta. Perkembangan yang terjadi setelah proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak sesuai dengan harapan rakyat di daerah terutama di Sumatera Barat. Kehidupan yang diharapkan lebih baik setelah merdeka tidak juga terwujud, penguasa di pusat pemerintahan sibuk mengatur kursi mereka masing-masing sehingga pemerintahan sering kali jatuh bangun. Akibat yang ditimbulkan oleh ketidakbecusan pemerintah mengurus negara adalah tidak diperhatikannya rakyat di daerah. Sehingga terjadi ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat.


(1)

Endah Sulistyawati, 2013

Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu 5.2 Rekomendasi

Pada penelitian ini tidak terlalu fokus membahas mengenai doktrin apa yang diberikan Uni Soviet untuk Musso dalam menjalankan konsep “Jalan Baru” miliknya. Penulis beranggapan jika hal tersebut diteliti lebih lanjut akan menarik sekali dan memberikan pemahaman lebih baik mengenai Peristiwa Madiun 1948. Oleh karena itu, pada masa yang akan datang penulis mengharapkan perlu adanya pengembangan penelitian mengenai doktrin Uni Soviet terhadap Musso dalam Peristiwa Madiun 1948. Berikut ini beberapa rekomendasi yang diajukan, di antaranya adalah:

Pertama, rekomendasi untuk Lembaga UPI. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber dalam hal menambah pengetahuan mengenai intervensi asing di Indonesia. Untuk Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, hasil penelitian ini dapat dijadikan pengetahuan tambahan bagi mahasiswa yang akan menjadi pendidik untuk mengajarkan betapa pentingnya dalam mengetahui intervensi asing. Untuk Jurusan Pendidikan Sejarah, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang adanya intervensi asing di Indonesia yang mencoba menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno. Sehingga para mahasiswa dapat mengambil nilai-nilai sosial politik yang terkandung dalam intervensi asing ini.

Kedua, rekomendasi di sekolah-sekolah. Sebagai bentuk salah satu pengembangan pengetahuan sewaktu Sekolah Menengah Atas (SMA) yang Standar Kompetensi (SK) membahas mengenai Orde Lama. Dengan menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam intervensi asing, diharapkan para siswa dapat mengerti arti dari adanya intervensi asing dan memahami betapa pentingnya rasa patriotisme dan nasionalisme. Selain nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme yang harus diterapkan dalam diri setiap siswa, mereka juga harus memahami arti dari adanya Pancasila. Maksudnya agar generasi muda ini tidak mudah terpengaruh oleh budaya asing yang belum tentu sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia.

Ketiga, rekomendasi untuk masyarakat Indonesia. Hasil dari adanya penelitian ini, diharapkan dapat membuka wawasan kepada masyarakat


(2)

108

Indonesia mengenai adanya intervensi asing. Kita sebagai warga negara Indonesia yang baik dan setia seharusnya memegang teguh ideologi Pancasila. Sehingga doktrinasi ideologi pihak asing tidak mudah melekat pada jiwa bangsa Indonesia. Hal ini harus dilakukan agar kita tidak mudah terpancing untuk melakukan konflik antar sesama bangsa Indonesia.

Keempat, rekomendasi untuk Pemerintahan Indonesia. Peneliti berharap dengan adanya hasil penelitian ini, pemerintah Indonesia dapat menangani masalah konflik dalam negeri yang dapat menimbulkan adanya pengaruh pihak asing. Masalah konflik ini dapat berupa konflik antar individu, antar kelompok, antar masyarakat dan antar etnis. Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia harus berusaha dalam hal mensejahterakan rakyatnya dan meningkatkan keamanan negara. Karena dengan keadaan negara yang sejahtera dan aman, pihak asing tidak akan mudah mengintervensi Indonesia. Masyarakat Indonesia pun akan punya daya tahan terhadap intervensi asing.


(3)

Endah Sulistyawati, 2013

Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Adam, A.W. (2007). Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Adam, A.W. (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Adam, A.W. (2009). 1965; Orang-orang di Balik Tragedi. Yogyakarta: Galangpress.

Dake, A.C.A. (2005). Sukarno File: Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967 dan Kronologi Suatu Keruntuhan. Jakarta: Aksara Karunia.

Dimjati, M. (1951). Sedjarah Perjuangan Indonesia. Jakarta: Penerbit Widjaja.

DISJAH TNI AD. (1985). Komunis dan Kegiatannya di Indonesia. Bandung: Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angakatan Darat.

Djarot, E. (2006). Siapa Sebenarnya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI. Jakarta: Mediakita.

Fic, V.M. (2005). Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gottschalk, L. (2008). Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Green, M. (1992). Dari Soekarno Ke Soeharto: G 30 S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hartisekar, dkk. (1999). Mewaspadai Kuda Troya Komunisme Di Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Sarana Kajian.

Holsti, K.J. (1992). Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Bandung: Binacipta.


(4)

110

Isak, J. (2002). Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965. Jakarta: Hasta Mitra.

Ismaun. (2005). Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

Jemadu, A. (2008). Politik Global Dalam Teori dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kahin, dkk. (1997). Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA Di Indonesia. Jakart: Pustaka Utama Grafiti.

Kartodirdjo, S. (1977). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kompas. (2009). Bung Karno Di Antara Saksi dan Peristiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

LAI, Tim. (2007). Kontroversi Super Semar (Edisi Revisi): Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto. Jakarta: MedPers.

Leirissa, R.Z. (1985). Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyrakat Indonesia 1900-1950. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.

Leirissa, R.Z. (1991). PRRI/Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Mestika. (2001). Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nasution, A. H. (1966). Sedjarah Perdjuangan Nasional Indonesia. Jakarta: Mega Book Store.

Nasution, A. H. (1971). Tentara Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Seruling Massa.

Nazsir, N. (2010). Teori-teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran.

Notosusanto, N. (1998). Ikhtisar Sedjarah RI (1945 Sampai Sekarang). Jakarta: Departemen Pertahanan dan Pusat Sedjarah ABRI.


(5)

Endah Sulistyawati, 2013

Peranan Intervensi Asing Dalam Pemerintahan Soekarno 1945-1966

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Poesponegoro, dkk. (1990). Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.

Poesponego, dkk. (1990). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Moderen 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Ritzer, dkk. (2008). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Saelan, M. (2001). Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66. Jakarta: Transmedia Pustaka.

Salim, M (1971). Sedjarah Operasi-operasi Gabungan Terhadap PRRI-PERMESTA. Jakarta: Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sejarah ABRI.

Sastroamidjojo, A. (1971). Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Batara.

Sejarah Diplomasi RI, Tim Penulis. (2005). Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa Ke Masa: Periode 1950-1960. Jakarta: Departement Luar Negeri RI.

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soemarsono. (2008). Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah. Jakarta: Hasta Mitra.

Sorensen, dkk. (2005). Teori-teori Hubungan Internasional. Jakarta: Grafindo.

Starke, J.G. (1988). Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Sulu, P.M. (2011). Permesta Dalam Romantika, Kemelut Dan Misteri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


(6)

112

Susatyo, R. (2008). Pemberontakan PKI-Musso Di Madiun 18-30 September 1948. Jakarta: Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2012). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI Press.

Wardaya, B.T. (2008). Bung Karno Menggugat! (Dari Marhaen, CIA,

Pembantaian Massal ’65 hingga G30S. Yogyakarta: Galang Press.

Weiner, Tim. (2008). Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sumber Internet:

... (...). Konspirasi [OnLine]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/konsepkonspirasi [7 Oktober 2012]

... (...). Intervensi [OnLine]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/konsepintervensi [7 Oktober 2012]