Persepsi Pengguna Jaminan Kesehatan Nasional dan Pemberi Layanan Terhadap Rujukan Rawat Jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg Tahun 2016.

(1)

i

UNIVERSITAS UDAYANA

PERSEPSI PENGGUNA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

DAN PEMBERI LAYANAN TERHADAP RUJUKAN RAWAT

JALAN DI PUSKESMAS TABANAN II DAN PUSKESMAS

SELEMADEG TAHUN 2016

I GUSTI AYU RANIA RESWARI

NIM. 1220025016

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

PERSEPSI PENGGUNA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

DAN PEMBERI LAYANAN TERHADAP RUJUKAN RAWAT

JALAN DI PUSKESMAS TABANAN II DAN PUSKESMAS

SELEMADEG TAHUN 2016

Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

I GUSTI AYU RANIA RESWARI

NIM. 1220025016

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya skripsi yang berjudul “Persepsi Pengguna Jaminan Kesehatan Nasional dan Pemberi Layanan Tehadap Rujukan Rawat Jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg Tahun 2016” ini tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih diberikan atas kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini kepada:

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH, Ph.D., selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk skripsi ini

2. Putu Ayu Indrayathi, SE, MPH, selaku Ketua Bagian Peminatan Administrasi Kebijakan dan Kesehatan (AKK) yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan proposal penelitian ini.

3. Rina Listyowati, S.Si.T., M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dalam memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan, Puskesmas Tabanan II, Puskesmas Selemadeg dan BPJS Kesehatan Cabang Denpasar yang telah membantu penulis dalam memberikan data yang mendukung skripsi ini.

5. Informan penelitian baik pengguna JKN maupun pemberi layanan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.


(6)

vi

6. Kedua orang tua, kakak dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Rekan – rekan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana angkatan 2012 yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Demikian skripsi ini disusun, semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak lain yang menggunakan.

Denpasar, Juli 2016


(7)

vii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

PEMINATAN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN

Skripsi, Juni 2016

I Gusti Ayu Rania Reswari

PERSEPSI PENGGUNA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

DAN PEMBERI LAYANAN TERHADAP RUJUKAN RAWAT

JALAN DI PUSKESMAS TABANAN II DAN PUSKESMAS

SELEMADEG TAHUN 2016

ABSTRAK

Pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pengguna JKN dan pemberi layanan harus mengikuti sistem rujukan berjenjang dalam pelayanan kesehatan. Pada tahun 2015, Puskesmas di Kabupaten Tabanan memiliki rasio rujukan tertinggi dibandingkan dengan Badung dan Denpasar. Puskesmas di Kabupaten Tabanan yang memiliki rasio rujukan tertinggi yaitu Puskesmas Tabanan II dan terendah yaitu Puskesmas Selemadeg. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap rujukan rawat jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg.

Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam. Informan dipilih dengan metode purposive sampling. Informan terdiri dari enam orang pengguna JKN dan dua orang pemberi layanan di puskesmas. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg, dengan waktu pengumpulan data dari April sampai dengan Mei 2016.

Pada kedua puskesmas, pengguna JKN dan pemberi layanan berpendapat bahwa kewenangan dalam merujuk pasien ada pada dokter umum, namun peranan dokter umum dalam proses rujukan dirasa belum optimal oleh sebagian besar pengguna JKN. Sebagian besar pengguna JKN berpendapat bahwa rujukan dari sisi pasien boleh dilakukan apabila diperlukan, namun pemberi layanan tidak setuju dengan permintaan rujukan dari sisi pasien. Pengguna JKN dan pemberi layanan setuju dengan sistem rujukan berjenjang, namun sistem ini dirasa agak rumit oleh pemberi layanan.

Bagi pemberi layanan pada kedua puskesmas diharapkan dapat meningkatkan peranannya sebagai gate keeper dalam memberikan rujukan atas indikasi medis untuk mengendalikan rasio rujukan pasien JKN di puskesmas.


(8)

viii

SCHOOL OF PUBLIC HEALTH

MEDICAL FACULTY

UDAYANA UNIVERSITY

ADMINISTRATOR AND HEALTH POLICY STREAM

Skripsi, June 2016

Perception of National Health Assurances/

Jaminan Kesehatan

Nasional

(JKN) User and the Service Provider to Outpatient

Referral In

Puskesmas Tabanan II

and

Puskesmas Selemadeg

2016

ABSTRACT

In National Health Assurance/Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) era, the JKN users and service providers have to follow the gradual referral system in health services. In 2015, Community Health Center (Puskesmas) in Tabanan regency have the highest referral ratio among Badung and Denpasar. Puskesmas in Tabanan regency that has the highest referral ratio is Puskesmas Tabanan II and the lowest is

Puskesmas Selemadeg. This research is conducted to understand the perception of

JKN users and service providers to the outpatient referral in Puskesmas Tabanan II

and Puskesmas Selemadeg

This research uses descriptive design with qualitative approach by doing depth interview. Informants are chosen from a Puskesmas with high referral ratio and a low referral ratio by purposive sampling method. Informants consist of six persons of JKN users and two from service providers in Puskesmas. This research is conducted at the Puskesmas Tabanan II and Puskesmas Selemadeg from April to May 2006 for collecting data.

Those Puskesmas, the JKN users and services providers stated that the authority to refer a patient depends on the general practitioner but the role of general practitioner is self is still not optimum. Most of the JKN users stated that referral from the patient themselves can be done if needed, however the service providers are disagree about this. The JKN users and service providers have agreed to gradual referral system, but this system is quite difficult for the service providers.

The service providers from both Puskesmas need to elevate their role as the gate keeper by giving referral over a medical indication to the JKN users to control the referral ratio of JKN users in Puskesmas.


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Umum ... 7

1.4.2 Tujuan Khusus ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.5.1 Manfaat Praktis ... 7

1.5.2 Manfaat Teoritis ... 8

1.6 Ruang Lingkup Penelitian... 8


(10)

x

2.1 Persepsi ... 9

2.1.1 Definisi Persepsi ... 9

2.1.2 Jenis-Jenis Persepsi ... 10

2.2 Mutu Pelayanan Kesehatan ... 11

2.3 Jaminan Kesehatan Nasional ... 13

2.3.1 Definisi Jaminan Kesehatan Nasional ... 13

2.3.2 Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional ... 14

2.3.3 Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional ... 15

2.3.4 Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ... 17

2.4 Sistem Rujukan Berjenjang... 20

2.4.1 Alur Rujukan Sistem Rujukan Berjenjang ... 22

2.5 Penelitian Terdahulu Terkait Rujukan Rawat Jalan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ... 25

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 28

3.1 Kerangka Konsep ... 28

3.2 Variabel dan Definisi Operasional ... 29

3.2.1 Variabel Penelitian ... 29

3.2.2 Definisi Operasional Variabel ... 31

BAB IV METODE PENELITIAN ... 33

4.1 Karakteristik Penelitian ... 33

4.1.1 Rancangan Penelitian ... 33

4.1.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

4.1.3 Populasi Penelitian ... 33


(11)

xi

4.1.5 Teknik Pengambilan Informan ... 34

4.2 Peran Peneliti ... 35

4.3 Strategi Pengumpulan Data... 36

4.4 Analisis Data ... 36

4.5 Strategi Validasi Data ... 37

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 39

5.2 Riwayat Penelitian ... 40

5.3 Karakteristik Informan ... 42

5.4 Hasil Wawancara dan Pembahasan ... 42

5.4.1 Persepsi terhadap Peranan Dokter dalam Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan ... 43

5.4.2 Persepsi terhadap Permintaan Rujukan dari Sisi Pasien ... 52

5.4.3 Persepsi terhadap Sistem Rujukan Berjenjang ... 62

5.4.4 Persepsi Pengguna JKN di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg ... 72

5.4.5 Persepsi Pemberi Layanan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg ... 74

5.5 Keterbatasan Penelitian ... 77

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 78

6.1 Simpulan ... 78

6.2 Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ... 31 Tabel 5.1 Karakteristik Informan ... 42


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Rasio Rujukan Pasien JKN di Puskesmas Tahun 2015 ... 2 Gambar 1.2 Rasio Rujukan Pasien JKN di Puskesmas Se-Kabupaten Tabanan Tahun 2015 ... 3 Gambar 2.1 Alur Sistem Rujukan ... 24 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 28


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Penelitian

Lampiran 2 Lembar Informasi Wawancara

Lampiran 3 Lembar Permohonan Menjadi Informan

Lampiran 4 Pedoman Wawancara Pengguna Jaminan Kesehatan Nasional Lampiran 5 Pedoman Wawancara Pemberi Layanan (Dokter Umum) Lampiran 6 Surat Kelaikan Etik

Lampiran 7 Surat Rekomendasi Penelitian

Lampiran 8 Surat Keterangan Mengadakan Penelitian Lampiran 9 Surat Rekomendasi Penelitian Dinas Kesehatan


(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

APS : Atas Permintaan Sendiri Askes : Asuransi Kesehatan

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dkk : dan kawan-kawan

FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

IDI : Ikatan Dokter Indonesia JKN : Jaminan Kesehatan Nasional KIE : Komunikasi Informasi dan Edukasi PBI : Penerima Bantuan Iuran

PKB : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan PT : Perseroan Terbatas

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat Pusling : Puskesmas Keliling

Pustu : Puskesmas Pembantu Polindes : Pondok Bersalin Desa Polri : Polisi Republik Indonesia Poskesdes : Pos Kesehatan Desa Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu TNI : Tentara Nasional Indonesia SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional SKDI : Standar Kompetensi Dokter Indonesia


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Implementasi dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah dimulai sejak 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Program JKN merupakan jaminan untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada setiap orang yang sudah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah dalam bentuk manfaat pemeliharan kesehatan sebagai upaya memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014b).

Dalam pelaksanaan program JKN ini, terkait dengan pelayanan kesehatan dasar maka BPJS Kesehatan bekerja sama dengan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di Indonesia yang akan menjadi gate keeper bagi peserta JKN dalam mengakses pelayanan kesehatan. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014b), dijelaskan bahwa FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang sifatnya non spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, maupun pelayanan kesehatan lainnya. Adapun FKTP yang bekerja sama dalam pelaksanaan program JKN yaitu FKTP milik pemerintah daerah maupun swasta. FKTP milik pemerintah daerah yaitu puskesmas, sedangkan FKTP milik swasta yaitu klinik pratama dan dokter praktek perorangan.

Salah satu kantor cabang BPJS Kesehatan yang ada di Provinsi Bali adalah BPJS Kesehatan Cabang Denpasar. Wilayah kerja yang termasuk dalam BPJS


(17)

2

Kesehatan Cabang Denpasar ada tiga Kabupaten/Kota yaitu Badung, Tabanan dan Denpasar. Sampai dengan Desember 2015 sebanyak 284 FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan Cabang Denpasar (BPJS Kesehatan Cabang Denpasar, 2015).

Rasio rujukan rawat jalan untuk pasien JKN di puskesmas wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang Denpasar berdasarkan laporan yang diperoleh dari BPJS Kesehatan Cabang Denpasar tahun 2015 dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 1.1 Rasio Rujukan Pasien JKN di Puskesmas Tahun 2015

Sumber : Laporan BPJS Kesehatan Cabang Denpasar Tahun 2015

Berdasarkan Gambar 1.1 tersebut, rasio rujukan rawat jalan untuk pasien JKN di puskesmas di Kota Denpasar sebesar 12,30%, di Kabupaten Badung sebesar 13,17% dan Kabupaten Tabanan sebesar 13.89%. Adapun target rasio rujukan rawat jalan yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan yaitu kurang dari 10%. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan rujukan rawat jalan pasien JKN oleh dokter di puskesmas pada ketiga kabupaten/kota tersebut termasuk masih tinggi, dengan rasio

11,50% 12,00% 12,50% 13,00% 13,50% 14,00% 14,50%

Denpasar Badung Tabanan


(18)

3

rujukan tertinggi ada di Kabupaten Tabanan (BPJS Kesehatan Cabang Denpasar, 2015).

Gambar 1.2 Rasio Rujukan Pasien JKN di Puskesmas Se-Kabupaten Tabanan Tahun 2015

Sumber : Laporan BPJS Kesehatan Cabang Denpasar Tahun 2015

Berdasarkan Gambar 1.2 tersebut, diketahui bahwa puskesmas di Kabupaten Tabanan yang memiliki rasio rujukan rawat jalan untuk pasien JKN tertinggi adalah Puskesmas Tabanan II sebesar 32,78% sedangkan yang terendah adalah Puskesmas Selemadeg sebesar 1,72%. Ini menunjukkan bahwa peranan Puskesmas Tabanan II sebagai gate keeper belum optimal dan peranan Puskesmas Selemadeg cukup optimal sebagai gate keeper.

Gate keeper atau penapis rujukan merupakan suatu konsep sistem pelayanan

kesehatan dimana FKTP yang berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar

15,52% 28,65% 32,78% 22,05% 11,07% 1,72% 10,26% 10,05% 7,29% 3,96% 5,83% 11,88% 15,95% 8,58% 22,68% 10,42% 12,76% 16,88% 13,54% 15,87% 0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 35,00% Rasio Rujukan


(19)

4

berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya dan dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan medik. Puskesmas seharusnya mampu untuk menyelesaikan 155 diagnosis secara baik dan tuntas, karena ini akan berdampak pada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) seperti rumah sakit penerima rujukan (Ali dkk, 2015)

Berdasarkan hasil penelitian Melawati tahun 2015 mengenai gambaran pelaksanaan rujukan rawat jalan pasien JKN di Puskesmas se-Kabupaten Tabanan tahun 2015, disimpulkan bahwa ketersediaan input (SDM, alat, fasilitas, dan obat-obatan) dan kontribusi pasien JKN dalam pelaksanaan rujukan rawat jalan di puskesmas sangat mempengaruhi tingginya rasio rujukan di puskesmas se-Kabupaten Tabanan. Secara umum, di Puskesmas se-se-Kabupaten Tabanan menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kesehatan seperti dokter umum dan perawat masih terbatas, alat dan fasilitas kesehatan di puskesmas masih belum lengkap serta ketersediaan obat masih kurang. Selain pelaksanaan rujuk balik yang belum optimal, rujukan atas permintaan pasien itu sendiri dan jarangnya pihak rumah sakit memberikan surat masih dalam perawatan jika pasien harus kontrol ke rumah sakit merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya rasio rujukan rawat jalan di Puskesmas se-Kabupaten Tabanan (Melawati, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara pendahuluan dengan dokter umum di poli umum dan Kepala Puskesmas Tabanan II, diketahui bahwa tingginya rujukan rawat jalan pasien JKN didominasi oleh pasien yang menderita penyakit kronis (diabetes melitus dan hipertensi) dan penyakit kronis dengan komplikasi. Selain itu, masih adanya keterbatasan sarana kesehatan, kurangnya tenaga dokter umum, serta adanya kekosongan obat jenis tertentu dan bahan medis untuk uji laboratorium juga


(20)

5

berpengaruh terhadap tingginya rujukan rawat jalan pasien JKN di Puskesmas Tabanan II pada tahun 2015.

Sedangkan, berdasarkan hasil wawancara pendahuluan dengan salah satu dokter umum yang bertugas di poli umum Puskesmas Selemadeg, diketahui bahwa ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam merujuk pasien JKN ke FKRTL. Kriteria tersebut antara lain diagnosis penyakit pasien tersebut tidak tercantum dalam 110 diagnosis penyakit yang dapat ditangani di puskesmas, pasien tersebut menderita penyakit kronis dengan komplikasi, pasien tersebut membutuhkan pemeriksaan penunjang seperti USG, rontgen, EKG, serta pasien sudah tiga kali berobat di puskesmas tetap belum sembuh sehingga pasien harus dirujuk ke FKRTL untuk mendapatkan pelayanan spesialistik. Sejauh ini, pasien JKN yang menderita penyakit kronis seperti diabetes melitus dan/atau hipertensi masih dapat ditangani dan diberikan obat di puskesmas kecuali kondisi pasien dengan komplikasi berat. Sampai saat ini, Puskesmas Selemadeg yang merupakan puskesmas rawat inap sudah memiliki enam orang dokter dengan lima orang diantaranya berkedudukan secara fungsional dan satu orang secara struktural. Ketersediaan tenaga perawat, obat-obatan, serta alat dan fasilitas kesehatan di puskesmas juga cukup memadai.

Mutu pelayanan kesehatan yang diberikan suatu institusi pelayanan kesehatan seperti puskesmas dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pasien yang menerima layanan kesehatan di puskesmas tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Zuhrawadi (2007) mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes pada tiga puskesmas di Kota Banda Aceh tahun 2007, dapat disimpulkan bahwa sekitar 30-75% rujukan rawat jalan merupakan atas permintaan pasien/keluarganya. Tingginya rujukan pada puskesmas tersebut karena pasien merasa kecewa dengan mutu pelayanan di puskesmas seperti obat-obatan yang


(21)

6

diterima dan fasilitas kesehatan yang kurang lengkap di puskesmas (Zuhrawadi, 2007). Dengan kata lain, mutu pelayanan di puskesmas memiliki pengaruh terhadap rujukan rawat jalan yang terjadi di puskesmas.

Untuk mengetahui penyebab tingginya rasio rujukan rawat jalan di puskesmas dari sudut pandang pengguna JKN dan pemberi layanan di puskesmas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap rujukan rawat jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dari Laporan BPJS Kesehatan Cabang Denpasar tahun 2015 diketahui bahwa rasio rujukan rawat jalan di puskesmas untuk pasien JKN di Kabupaten Tabanan tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Puskesmas di Kabupaten Tabanan yang memiliki rasio rujukan rawat jalan untuk pasien JKN tertinggi adalah Puskesmas Tabanan II sebesar 32,78% sedangkan yang terendah adalah Puskesmas Selemadeg sebesar 1,72%. Untuk itu perlu diketahui persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap rujukan rawat jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimanakah persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap rujukan rawat jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg?”.


(22)

7

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap rujukan rawat jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap peranan dokter dalam pelaksanaan rujukan rawat jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg.

2. Mengetahui persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap permintaan rujukan dari sisi pasien di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg

3. Mengetahui persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap sistem rujukan berjenjang di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Praktis

1. Bagi BPJS Kesehatan, penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap komitmen pelayanan yang dilakukan oleh puskesmas serta sebagai masukan dalam mengendalikan rasio rujukan rawat jalan pasien JKN di puskesmas. 2. Bagi puskesmas sebagai gate keeper dalam pelayanan kesehatan, penelitian

ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi dokter umum di puskesmas agar dapat mengendalikan rasio rujukan rawat jalan pasien JKN di puskesmas.


(23)

8

1.5.2 Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai pelaksanaan rujukan rawat jalan pasien JKN.

2. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, dapat dikembangkan, serta dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yaitu khususnya mengenai persepsi pengguna JKN dan pemberi layanan terhadap rujukan rawat jalan di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg tahun 2016. Sasaran dari penelitian ini adalah pengguna JKN dan dokter umum di Puskesmas Tabanan II dan Puskesmas Selemadeg. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Mei tahun 2016.


(24)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

2.1.1 Definisi Persepsi

Ferderber mendefinisikan persepsi sebagai proses menafsirkan informasi indrawi. Sedangkan menurut Wenburg & Wilmot mendefinisikan persepsi sebagai cara organisme memberi makna. Di sisi lain Cohen mengemukakan bahwa persepsi adalah interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal atau pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana (Riswandi, 2009).

Persepsi merupakan hal yang berbeda dengan sensasi. Sensasi merupakan pengalaman elementer yang segera dan yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indra. Sedangkan, persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan. Dengan kata lain, persepsi diartikan sebagai proses pemberian makna terhadap stimulus yang diterima (Notoatmodjo, 2010).

Persepsi merupakan serangkaian proses dalam memperhatikan, mengorganisasikan dan menafsiran pengalaman secara selektif agar dapat memberi makna pada lingkungan, yang mana proses ini didahului dari adanya stimulus kemudian masuk ke dalam alat indra sehingga munculah interpretasi yang menghasilkan persepsi. Dalam memandang satu hal yang sama, seseorang dengan yang lain bisa memiliki persepsi yang berbeda-beda (Dewi, 2012).


(25)

10

Berdasarkan beberapa definisi persepsi di atas, dapat diketahui bahwa persepsi yang dimiliki setiap orang terhadap suatu hal dapat berbeda-beda dengan orang lainnya. Persepsi merupakan sebuah proses dalam memaknai stimulus atau rangsangan yang ditangkap oleh alat indra kemudian diinterpretasikan sehingga menghasilkan persepsi.

2.1.2 Jenis-Jenis Persepsi

Menurut Riswandi (2009), terdapat dua jenis persepsi yaitu persepsi lingkungan fisik atau terhadap objek dan persepsi sosial atau terhadap manusia. Berikut merupakan perbedaan antara persepsi lingkungan fisik dan persepsi sosial yaitu sebagai berikut:

1. Persepsi Lingkungan Fisik atau Terhadap Objek

a. Persepsi lingkungan fisik atau terhadap objek yaitu melalui lambang-lambang fisik.

b. Persepsi terhadap objek menanggapi sifat-sifat luar

c. Persepsi terhadap objek bersifat non interaktif karena objek sifatnya statis.

d. Persepsi setiap orang terhadap lingkungan fisik berbeda-beda, ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti latar belakang pengalaman, latar belakang budaya, latar belakang psikologis, dan latar belakang keyakinan maupun harapan, serta kondisi faktual alat-alat panca indra orang tersebut.

2. Persepsi Sosial atau Terhadap Manusia

a. Persepsi sosial atau terhadap manusia yaitu melalui lambang-lambang verbal dan non verbal.


(26)

11

b. Persepsi terhadap manusia menanggapi sifat-sifat luar dan dalam (seperti perasaan, motif, harapan, keyakinan, dan sebagainya).

c. Persepsi terhadap manusia bersifat interaktif karena manusia bersifat dinamis.

d. Dengan kata lain, persepsi sosial atau terhadap manusia adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang kita alami dari lingkungan kita.

2.2 Mutu Pelayanan Kesehatan

Josep Juran mengemukakan bahwa mutu adalah apa yang diharapkan atau ditentukan oleh konsumen. Pelanggan adalah seseorang yang membeli maupun menggunakan produk/jasa pelayanan kesehatan. Pelanggan dalam institusi pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua yaitu pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan internal merupakan mereka yang bekerja di institusi pelayanan kesehatan seperti staf medis, paramedis, administrasi, dan sebagainya. Sedangkan pelanggan eksternal yaitu pasien, keluarga pasien, pengunjung, asuransi swasta, masyarakat, dan sebagainya (Muninjaya, 2010).

Dalam buku Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan oleh Muninjaya (2010), terdapat empat kaidah jaminan mutu yang harus dipenuhi institusi pelayanan kesehatan untuk memgembangkan mutu pelayanan kesehatan secara berkelanjutan, yaitu sebagai berikut:

1. Pemenuhan kebutuhan dan harapan individu atau kelompok masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.


(27)

12

3. Menggunakan data untuk menganalisis proses pemberian dan produk (output

dan outcome) pelayanan kesehatan.

4. Mendorong berkembangnya team work yang solid untuk mengatasi setiap hambatan dan kendala yang muncul dalam proses pengembangan mutu secara berkesinambungan.

Menurut Muninjaya (2010), pelayanan kesehatan di suatu kabupaten/kota harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Availability : pelayanan kesehatan harus tersedia untuk melayani seluruh

masyarakat di suatu wilayah dan dilaksanakan secara komprehensif mulai dari upaya pelayanan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.

2. Appropriateness : pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan

masyarakat di suatu wilayah.

3. Contuinity-Sustainability : pelayanan kesehatan di suatu wilayah harus

berlangsung untuk jangka waktu lama dan dilaksanakan secara berkesinambungan.

4. Acceptability : pelayanan kesehatan harus diterima oleh masyarakat dan

memerhatikan aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.

5. Affordable : biaya pelayanan kesehatan harus dapat terjangkau oleh

masyarakat umum.

6. Efficient : pelayanan kesehatan harus dikelola secara efisien.

7. Quality : pelayanan kesehatan yang diakses oleh masyarakat harus terjaga

mutunya.

Berdasarkan hasil penelitian Hufron & Supratman (2008) mengenai analisis hubungan persepsi pasien tentang mutu pelayanan kesehatan dengan tingkat


(28)

13

kepuasan pasien di Puskesmas Penumping Kota Surakarta, didapatkan hasil yaitu berdasarkan uji statistik membuktikan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara mutu pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien rawat jalan di Puskesmas Penumping Kota Surakarta. Selain itu, berdasarkan hasil uji multivariat diketahui bahwa sub variabel mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas Penumping secara bersama-sama memberi kontribusi sebesar 59,9% terhadap kepuasan pasien (Hufron & Supratman, 2008).

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Subekti (2009) mengenai analisis hubungan persepsi mutu pelayanan dengan tingkat kepuasan pasien Balai Pengobatan Umum Puskesmas di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2009, dapat disimpulkan bahwa variabel pelayanan administrasi, pelayanan dokter, pelayanan perawat, dan pelayanan obat memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat kepuasan pasien.

2.3 Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem SJSN ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a).

2.3.1 Definisi Jaminan Kesehatan Nasional

Program JKN merupakan jaminan untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada setiap orang yang sudah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah dalam bentuk manfaat pemeliharan kesehatan sebagai upaya memenuhi


(29)

14

kebutuhan dasar kesehatan (Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2013).

2.3.2 Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, dinyatakan bahwa prinsip-prinsip penyelenggarann program JKN mengacu pada prinsip-prinsip SJSN (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014c). Prinsip-prinsip tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Kegotongroyongan

Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaannya bersifat wajib untuk seluruh penduduk. 2. Nirlaba

Dana yang dikelola oleh BPJS Kesehatan adalah dana amanah yang dikumpulkan dari masyarakat secara nirlaba bukan untuk mencari laba. Ini bertujuan agar dapat memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.

3. Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektivitas

Prinsip ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

4. Portabilitas

Prinsip ini bertujuan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah NKRI.


(30)

15

5. Kepesertaan Bersifat Wajib

Prinsip ini dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Walaupun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah, serta kelayakan penyelenggaraan program.

6. Dana Amanah

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada BPJS Kesehatan untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

7. Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial

Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

2.3.3 Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional

Peserta program JKN adalah seluruh penduduk Indonesia, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia yang telah membayar iuran (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014c).

Pada Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, dijelaskan bahwa peserta JKN dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut:

1. Peserta Penerima Bantuan Iuran

Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.

2. Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran

Peserta bukan PBI meliputi peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan tidak mampu yang terdiri atas:


(31)

16

a. Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya; Pekerja penerima upah terdiri atas:

1) Pegawai Negeri Sipil; 2) Anggota TNI;

3) Anggota Polri; 4) Pejabat Negara;

5) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri; 6) Pegawai swasta; dan

7) Pekerja yang tidak termasuk angka (1) sampai dengan angka (6) yang menerima upah.

b. Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya; dan

1) Pekerja bukan penerima upah maksudnya pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri.

2) Pekerja yang tidak termasuk angka (1) yang bukan penerima upah. c. Bukan pekerja dan anggota keluarganya.

Bukan pekerja terdiri atas: 1) Investor;

2) Pemberi kerja; 3) Penerima pensiun; 4) Veteran;

5) Perintis kemerdekaan; dan

6) Bukan pekerja yang tidak termasuk angka (1) sampai dengan angka (5) yang mampu membayar iuran.


(32)

17

2.3.4 Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama

Mutu pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh tenaga kesehatan yang berkualitas, ketersediaan obat-obatan, serta alat dan fasilitas kesehatan. Bagi tenaga dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan organisasi profesi tenaga kesehatan yang memiliki peran menjaga kompetensi anggotanya. IDI telah menyusun berbagai standar profesi bagi seluruh anggotanya sperti Kode Etik Kedokteran Indonesia, Standar Kompetensi dan Standar Pelayanan Kedokteran yang terdiri atas Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014a).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, dijelaskan bahwa tingkat kemampuan dokter dalam pengelolaan penyakit di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) dikelompokkan menjadi empat tingkatan yaitu sebagai berikut:

1. Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan

Pada tingkat kemampuan 1, lulusan dokter harus mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut, dan menentukan rujukan yang paling tepat, serta menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

2. Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk

Pada tingkat kemampuan 2, lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut, menentukan rujukan yang paling tepat, dan menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.


(33)

18

3. Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

a. Tingkat Kemampuan 3A: bukan gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat, dan menentukan rujukan yang paling tepat, serta menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

b. Tingkat Kemampuan 3B: gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik, memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien, dan mampu menentukan rujukan yang paling tepat serta menindaklanjui sesudah kembali dari rujukan.

4. Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas

Lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalasanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

a. Tingkat Kemampuan 4A

Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. b. Tingkat Kemampuan 4B

Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB).

Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan primer ini diharapkan dapat membantu dokter layanan primer untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan sekaligus menurunkan angka rujukan dengan beberapa cara seperti:


(34)

19

1. Memberi pelayanan sesuai bukti sahih terkini yang cocok dengan kondisi pasien, keluarga dan masyarakatnya.

2. Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar pelayanan. 3. Meningktakan mawas diri untuk mengembangkan pengetahuan dan

keterampilan profesional sesuai dengan kebutuhan pasien dan lingkungan. 4. Mempertajam kemampuan sebagai gate keeper pelayanan kedokteran dengan

menapis penyakit dalam tahap dini untuk dapat melakukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat sebagaimana mestinya layanan primer.

Menurut Baequny (2009), dokter sebagai petugas utama dalam pelayanan kesehatan dituntut dapat memberikan perhatian dan segera merespon setiap keluhan pasiennya serta memberikan informasi yang dibutuhkan pasien terkait penyakit yang dideritanya.Menurut BPJS Kesehatan (2014c), dinyatakan bahwa rata-rata waktu konsultasi setiap pasien BPJS Kesehatan minimal 15 menit.

Berdasarkan pernyataan BPJS Kesehatan dalam Info BPJS Edisi XI tahun 2014, dinyatakan bahwa saat ini FKTP sudah bisa menangani 155 diagnosis penyakit sesuai dengan kompetensi dokter umum yang dapat ditangani di FKTP sehingga para peserta JKN tidak perlu lagi berobat langsung ke rumah sakit. Namun, tidak menutup kemungkinan pada kasus-kasus tersebut dapat langsung berobat ke rumah sakit dengan mempertimbangkan Time (lama perjalanan penyakitnya), Age (usia pasien),

Complication (komplikasi penyakit/tingkat kesulitan), Comorbidity (penyakit

penyerta), dan Condition (kondisi fasilitas kesehatan) (BPJS Kesehatan, 2014b). Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, adapun pelayanan kesehatan yang dijamin di FKTP meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup:


(35)

20

2. Pelayanan promotif dan preventif;

3. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;

4. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif; 5. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;

6. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis;

7. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama; dan 8. Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi.

2.4 Sistem Rujukan Berjenjang

Suatu sistem rujukan yang baik mengutamakan keselamatan pasien di atas hal-hal lainnya. Semua keputusan terkait merujuk harus dibuat demi keselamatan pasien. Sistem rujukan diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan secara bermutu sehingga tujuan pelayanan dapat tercapai tanpa harus menggunakan biaya yang mahal atau sistem rujukan berjalan secara efektif dan efisien. Efisien dalam hal ini dimaksudkan dengan berkurangnya waktu tunggu dalam proses merujuk dan berkurangnya rujukan yang tidak perlu karena sebenarnya dapat ditangani di FKTP bersangkutan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012a).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 tahun 2012 pada pasal 11 (1), dijelaskan bahwa setiap pemberi layanan kesehatan berkewajiban merujuk pasien apabila keadaan penyakit atau permasalahan kesehatan memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan mendapat persetujuan pasien atau keluarganya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012b). Menurut BPJS Kesehatan (2012a), dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas


(36)

21

kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 dinyatakan bahwa terkait dengan rujukan, bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi layanan kesehatan tingkat pertama, dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012b). Menurut pendapat Ali, dkk (2015), dinyatakan bahwa rujukan harus dibuat oleh orang yang mempunyai kompetensi dan wewenang untuk merujuk, mengetahui kompetensi sasaran atau tujuan rujukan dan mengetahui kondisi serta kebutuhan objek yang dirujuk.

Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik bertikal maupun horizontal. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai dengan kebutuhan medis yang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012b). Berdasarkan penjelasan BPJS Kesehatan dalam Buku Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang, dinyatakan bahwa peserta yang ingin mendapatan pelayanan yang tidak sesuai dengan sisterm rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014a).


(37)

22

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari tiga tingkatan yaitu sebagai berikut:

1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas, puskesmas perawatan, tempat praktik perorangan, klinik pratama, klinik umum di balai/lembaga pelayanan kesehatan, dan rumah sakit pratama.

2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua

Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Contoh pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah Rumah Sakit Tipe C dan Tipe B. 3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga

Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik. Contoh pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah Rumah Sakit Tipe A dan Rumah Sakit Khusus.

2.4.1 Alur Rujukan Sistem Rujukan Berjenjang

Menurut BPJS Kesehatan (2014a), pelayanan rujukan dapat dilakukan dua cara yaitu sebagai berikut:

1. Rujukan Horizontal

Rujukan horizontal merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan


(38)

23

sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.

2. Rujukan Vertikal

Rujukan vertikal adalah rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:

a. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik.

b. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan.

Sedangkan, rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila:

a. Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

b. Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut.

c. Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan palayanan jangka panjang.


(39)

24

d. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.

Gambar 2.1 Alur Sistem Rujukan

Sumber: BPJS Kesehatan (2014a)

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medisnya yaitu dimulai dari pasien BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat pertama di FKTP. Apabila diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke FKRTL yaitu rumah sakit. Pelayanan rujuk balik hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis/sub spesialis yang merawat pasien di FKRTL. Rujuk balik ini dilakukan apabila FKRTL menyatakan bahwa pasien tersebut layak untuk dilayani atau dirawat di FKTP yang merujuk pasien tersebut. Setelah pasien mendapatkan penanganan di rumah sakit, maka rumah sakit akan mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksananaan Program JKN dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat


(40)

25

diberikan atas rujukan pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan darurat, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014c).

2.5 Penelitian Terdahulu Terkait Rujukan Rawat Jalan di Fasilitas Kesehatan

Tingkat Pertama

Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes pada tiga puskesmas di Kota Banda Aceh tahun 2007, dapat disimpulkan bahwa sekitar 30-75% rujukan rawat jalan merupakan atas permintaan pasien/keluarganya dan bukan atas indikasi medis. Kepala puskesmas mengakui bahwa faktor sugesti pasien terhadap pemberi pelayanan kesehatan sangat berperan dalam pertimbangan pemberian rujukan oleh dokter.Beberapa alasan pasien meminta rujukan diantaranya karena kecewa dengan obat-obatan di puskesmas, fasilitas kesehatan yang kurang lengkap di puskesmas dan jika berobat ke rumah sakit maka memiliki kesempatan untuk diperiksa oleh dokter spesialis (Zuhrawadi, 2007).

Dari hasil penelitian Kesumawati (2012) mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta Askes Sosial PT Askes Kantor Cabang Sukabumi di Puskesmas Nanggeleng dan Gedong Panjang Tahun 2012 didapatkan hasil yaitu:

1. Aspek kebijakan pada kedua puskesmas belum dilaksanakan sepenuhnya sehingga masih banyak rujukan berdasarkan indikasi non medis.


(41)

26

2. Ketersediaan dokter di kedua puskesmas tersebut masih kurang dilihat dari segi tenaga dan waktusehingga pelayanan kepada pasien belum optimal dan ini berpengaruh terhadap tingginya angka rujukan.

3. Ketidaksesuain drop obat dari dinas kesehatan dengan yang diajukan kedua puskesmas mempengaruhi kenaikan angka rujukan di kedua puskesmas tersebut.

4. Tingkat pengetahuan petugas terhadap pelaksanaan rujukan di kedua puskesmas sudah cukup baik, tetapi dokter di Puskesmas Nanggeleng masih belum tegas dalam menjalankan aturan rujukan terhadap pasien yang meminta dirujuk atau atas indikasi non medis.

Dari hasil penelitian Ramah (2014), disimpulkan bahwa masyarakat di Puskesmas Air Putih Kecamatan Samarinda Ulu merasa bahwa pelaksanaan sistem rujukan rumit karena masyarakat tidak mengerti dengan prosedur administrasi di puskesmas. Kurangnya sosialisasi atau penjelasan yang jelas oleh petugas puskesmas membuat masyarakat merasa rumit dengan sistem rujukan yang ada (Ramah, 2014).

Dari hasil penelitian Ali, dkk (2015) mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta program JKN di Puskesmas Siko dan Puskesmas Kalumata Kota Ternate Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa pemahaman petugas tentang sistem rujukan rawat jalan tingkat pertama masih kurang baik, ketersediaan obat-obatan dan bahan habis pakai dalam kategori cukup baik namun masih sering terjadi keterlambatan dan kekosongan obat, ketersediaan fasilitas dan alat medis masih minim dibandingkan dengan Pedoman Sistem Rujukan Nasional, dan pemahaman petugas tentang fungsi puskesmas sebagai gatekeeper cukup baik meskipun dalam prakteknya sering tidak mengikuti aturan yang ditetapkan (Ali, dkk, 2015)


(42)

27

Pada hasil penelitian terkait analisis pelaksanaan sistem rujukan rawat jalan tingkat pertama pada peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas 5 Ilir dan Puskesmas Merdeka, dapat disimpulkan bahwa pemahaman kapitasi pimpinan puskesmas dan dokter pelayanan umum belum baik dan ketersediaan alat/fasilitas kesehatan pada kedua puskesmas belum lengkap. Implementasi aspek kebijakan dalam pelaksanaan sistem rujukan di Puskesmas 5 Ilir tidak berjalan dengan baik, ini dilihat dari tingginya rasio rujukan yang mencapai 60% setiap bulannya. Selain itu, Puskesmas 5 Ilir belum menegakkan 144 diagnosis penyakit dengan baik karena merujuk atas dasar permintaan dari pasien BPJS Kesehatan (Suhartati, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian Melawati (2015) mengenaigambaran pelaksanaan rujukan rawat jalan pasien JKN di Puskesmas se-Kabupaten Tabanan tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa ketersediaan input (SDM, alat, fasilitas, dan obat-obatan) dan kontribusi pasien JKN dalam pelaksanaan rujukan rawat jalan di puskesmas sangat mempengaruhi tingginya rasio rujukan di puskesmas se-Kabupaten Tabanan. Ketersediaan tenaga dokter dan perawat masih terbatas, alat dan fasilitas kesehatan masih belum lengkap, serta ketersediaan obat masih kurang. Selain pelaksanaan rujuk balik yang belum optimal, rujukan atas permintaan pasien itu sendiri dan jarangnya pihak rumah sakit memberikan surat masih dalam perawatan jika pasien harus kontrol ke rumah sakit merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya rasio rujukan rawat jalan di Puskesmas se-Kabupaten Tabanan (Melawati, 2015).


(1)

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari tiga tingkatan yaitu sebagai berikut:

1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas, puskesmas perawatan, tempat praktik perorangan, klinik pratama, klinik umum di balai/lembaga pelayanan kesehatan, dan rumah sakit pratama.

2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua

Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Contoh pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah Rumah Sakit Tipe C dan Tipe B. 3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga

Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik. Contoh pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah Rumah Sakit Tipe A dan Rumah Sakit Khusus.

2.4.1 Alur Rujukan Sistem Rujukan Berjenjang

Menurut BPJS Kesehatan (2014a), pelayanan rujukan dapat dilakukan dua cara yaitu sebagai berikut:

1. Rujukan Horizontal

Rujukan horizontal merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan


(2)

sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.

2. Rujukan Vertikal

Rujukan vertikal adalah rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:

a. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik.

b. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan.

Sedangkan, rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila:

a. Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

b. Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut.

c. Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan palayanan jangka panjang.


(3)

d. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.

Gambar 2.1 Alur Sistem Rujukan Sumber: BPJS Kesehatan (2014a)

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medisnya yaitu dimulai dari pasien BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat pertama di FKTP. Apabila diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke FKRTL yaitu rumah sakit. Pelayanan rujuk balik hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis/sub spesialis yang merawat pasien di FKRTL. Rujuk balik ini dilakukan apabila FKRTL menyatakan bahwa pasien tersebut layak untuk dilayani atau dirawat di FKTP yang merujuk pasien tersebut. Setelah pasien mendapatkan penanganan di rumah sakit, maka rumah sakit akan mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksananaan Program JKN dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat


(4)

diberikan atas rujukan pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan darurat, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014c).

2.5 Penelitian Terdahulu Terkait Rujukan Rawat Jalan di Fasilitas Kesehatan

Tingkat Pertama

Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes pada tiga puskesmas di Kota Banda Aceh tahun 2007, dapat disimpulkan bahwa sekitar 30-75% rujukan rawat jalan merupakan atas permintaan pasien/keluarganya dan bukan atas indikasi medis. Kepala puskesmas mengakui bahwa faktor sugesti pasien terhadap pemberi pelayanan kesehatan sangat berperan dalam pertimbangan pemberian rujukan oleh dokter.Beberapa alasan pasien meminta rujukan diantaranya karena kecewa dengan obat-obatan di puskesmas, fasilitas kesehatan yang kurang lengkap di puskesmas dan jika berobat ke rumah sakit maka memiliki kesempatan untuk diperiksa oleh dokter spesialis (Zuhrawadi, 2007).

Dari hasil penelitian Kesumawati (2012) mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta Askes Sosial PT Askes Kantor Cabang Sukabumi di Puskesmas Nanggeleng dan Gedong Panjang Tahun 2012 didapatkan hasil yaitu:

1. Aspek kebijakan pada kedua puskesmas belum dilaksanakan sepenuhnya sehingga masih banyak rujukan berdasarkan indikasi non medis.


(5)

2. Ketersediaan dokter di kedua puskesmas tersebut masih kurang dilihat dari segi tenaga dan waktusehingga pelayanan kepada pasien belum optimal dan ini berpengaruh terhadap tingginya angka rujukan.

3. Ketidaksesuain drop obat dari dinas kesehatan dengan yang diajukan kedua puskesmas mempengaruhi kenaikan angka rujukan di kedua puskesmas tersebut.

4. Tingkat pengetahuan petugas terhadap pelaksanaan rujukan di kedua puskesmas sudah cukup baik, tetapi dokter di Puskesmas Nanggeleng masih belum tegas dalam menjalankan aturan rujukan terhadap pasien yang meminta dirujuk atau atas indikasi non medis.

Dari hasil penelitian Ramah (2014), disimpulkan bahwa masyarakat di Puskesmas Air Putih Kecamatan Samarinda Ulu merasa bahwa pelaksanaan sistem rujukan rumit karena masyarakat tidak mengerti dengan prosedur administrasi di puskesmas. Kurangnya sosialisasi atau penjelasan yang jelas oleh petugas puskesmas membuat masyarakat merasa rumit dengan sistem rujukan yang ada (Ramah, 2014).

Dari hasil penelitian Ali, dkk (2015) mengenai analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta program JKN di Puskesmas Siko dan Puskesmas Kalumata Kota Ternate Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa pemahaman petugas tentang sistem rujukan rawat jalan tingkat pertama masih kurang baik, ketersediaan obat-obatan dan bahan habis pakai dalam kategori cukup baik namun masih sering terjadi keterlambatan dan kekosongan obat, ketersediaan fasilitas dan alat medis masih minim dibandingkan dengan Pedoman Sistem Rujukan Nasional, dan pemahaman petugas tentang fungsi puskesmas sebagai gatekeeper cukup baik meskipun dalam prakteknya sering tidak mengikuti aturan yang ditetapkan (Ali, dkk, 2015)


(6)

Pada hasil penelitian terkait analisis pelaksanaan sistem rujukan rawat jalan tingkat pertama pada peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas 5 Ilir dan Puskesmas Merdeka, dapat disimpulkan bahwa pemahaman kapitasi pimpinan puskesmas dan dokter pelayanan umum belum baik dan ketersediaan alat/fasilitas kesehatan pada kedua puskesmas belum lengkap. Implementasi aspek kebijakan dalam pelaksanaan sistem rujukan di Puskesmas 5 Ilir tidak berjalan dengan baik, ini dilihat dari tingginya rasio rujukan yang mencapai 60% setiap bulannya. Selain itu, Puskesmas 5 Ilir belum menegakkan 144 diagnosis penyakit dengan baik karena merujuk atas dasar permintaan dari pasien BPJS Kesehatan (Suhartati, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian Melawati (2015) mengenaigambaran pelaksanaan rujukan rawat jalan pasien JKN di Puskesmas se-Kabupaten Tabanan tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa ketersediaan input (SDM, alat, fasilitas, dan obat-obatan) dan kontribusi pasien JKN dalam pelaksanaan rujukan rawat jalan di puskesmas sangat mempengaruhi tingginya rasio rujukan di puskesmas se-Kabupaten Tabanan. Ketersediaan tenaga dokter dan perawat masih terbatas, alat dan fasilitas kesehatan masih belum lengkap, serta ketersediaan obat masih kurang. Selain pelaksanaan rujuk balik yang belum optimal, rujukan atas permintaan pasien itu sendiri dan jarangnya pihak rumah sakit memberikan surat masih dalam perawatan jika pasien harus kontrol ke rumah sakit merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya rasio rujukan rawat jalan di Puskesmas se-Kabupaten Tabanan (Melawati, 2015).


Dokumen yang terkait

Hubungan Faktor-faktor Pemanfaatan Puskesmas Dengan Trend Kunjungan Rawat Jalan Pasca Pelaksanaan Kebijakan Pembebasan Biaya Retribusi Pelayanan Kesehatan Dasar Di Puskesmas Helvetia, Pasar Medan, dan Polonia Di Kota Medan Tahun 2006

9 56 141

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PETUGAS SERTA PERSEPSI PASIEN TERHADAP PELAYANAN RAWAT JALAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PUSKESMAS KABUPATEN KENDAL TAHUN 2015.

0 5 10

Analisis Pelaksanaan Pemberian Rujukan Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas Padang Bulan Selayang II Pada Tahun 2016

3 55 124

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

3 59 149

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 16

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 2

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 10

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 29

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 3 3

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 26