Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Tepung Labu Kuning (Cucurbita Moschata ex. Poir) Beserta Analisis Finansialnya.

(1)

i

PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita moschata ex. Poir) BESERTA

ANALISIS FINANSIALNYA

SKRIPSI

Oleh :

I GUSTI AYU DHARMAPADNI GRIA MAS ARUM NIM. 1011205033

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBARAN


(2)

ii

PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita moschata ex. Poir) BESERTA

ANALISIS FINANSIALNYA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Udayana

Oleh :

I GUSTI AYU DHARMAPADNI GRIA MAS ARUM NIM. 1011205033

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBARAN


(3)

iii

I Gst Ayu Dharmapadni Gria Mas Arum. 1011205033. 2015. Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Tepung Labu Kuning ( Cucurbita moschata ex. Poir ) Beserta Analisis Finansialnya. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Bambang Admadi H., MP dan I Wayan Gede Sedana Yoga, S.TP., M.Agb.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung labu kuning 2) Mengetahui suhu terbaik untuk menghasilkan karakteristik tepung labu kuning terbaik 3) Mengetahui kelayakan secara finansial dari tepung labu kuning. Penelitian ini merupakan penelitian skala laboratorium yang dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan suhu pengeringan yaitu (50, 60, 70, dan 80)˚C dan pengelompokkan 3 waktu proses. Apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan uji BNT. Perlakuan terbaik ditentukan dengan uji efektifitas, dilanjutkan dengan analisis finansialnya. Perlakuan suhu pengeringan terhadap tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar beta karoten. Perlakuan tepung labu kuning terbaik adalah perlakuan suhu 60˚C dengan karakteristik yaitu : rendemen 22,00%, kadar air 14,51%, kadar abu 5,79%, kadar protein 1,07%, kadar lemak 1,19%, kadar karbohidrat 82,02% dan kadar beta karoten 2295,81 µg/100g. Biaya produksi tepung labu kuning dengan perlakuan terbaik Rp.166.780.400 per tahun dan harga jual adalah Rp.41.063/kg, analisis Break Event Point sebesar 2.241,77 kg per tahun, Return On Investment sebesar 35,06%, dan Pay Out Time sebesar 2,85 tahun sehingga perusahaan ini layak untuk dijalankan.


(4)

iv

I Gst Ayu Dharmapadni Gria Mas Arum. 1011205033. 2015. The Influence of Drying Temperature on the Characteristics Flour Pumpkin ( Cucurbita moschata ex. Poir ) with Financial Analysis. Supervised by Prof. Dr. Ir. Bambang Admadi H., MP dan I Wayan Gede Sedana Yoga, S.TP., M.Agb.

ABSTRACT

This study aims to 1) Determine the effect of drying temperature on the characteristics of pumpkin flour 2) Determine the best temperature to produce the best characteristics pumpkin flour 3) Determine the financial feasibility of flour pumpkin. This research is designed using a laboratory scale randomized block design with treatments that drying temperature (50, 60, 70, and 80) ˚C and 3 grouping processing time. The best treatment is determined by the effectiveness of the test, followed by analysis of financial. The resut showeds that drying temperature of the flour pumpkin had very significant effect on yield, water content, ash content, protein content, fat content, carbohydrate content and levels of beta carotene. Pumpkin flour best treatment is temperature 60˚C with characteristics: yield of 22.00%, 14.51% water content, ash content of 5.79%, 1.07% protein content, fat content 1.19%, carbohydrate content 82.02% and beta carotene levels of 2295.81 g / 100g. Pumpkin flour production costs with the best treatment Rp.166.780.400 a year and price was Rp.41.063/ kg, Break Event Point analysis of 2.241,77 kg a year, Return On Investment of 35.06%, and Pay Back Period of 2,85 years so it is feasible to run the bussines.


(5)

v

RINGKASAN

Produk olahan labu kuning yang masih banyak ditemui adalah produk olahan labu kuning basah, yang cenderung umur simpannya pendek, mengingat potensi gizi dan ketersediaan labu kuning di Indonesia, maka perlu dilakukan upaya pengolahan labu kuning sehingga memiliki umur simpan lebih lama. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengolahnya menjadi tepung. Pengolahan labu kuning menjadi tepung mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan buah segarnya, yaitu sebagai bahan baku fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, daya simpan yang lama karena kadar air yang rendah, tidak membutuhkan tempat yang besar dalam penyimpanannya, dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti sumber kabohidrat, protein dan vitamin.

Pengolah labu kuning menjadi tepung memerlukan beberapa tahapan, Salah satu tahapan proses pengolahan tepung adalah pengeringan yaitu proses mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dalam suatu bahan (Winarno, 1997). Menurut Muchadi et al. 1997 pengeringan merupakan salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan yang mudah rusak atau busuk. Tujuan pengeringan yaitu untuk mengurangi kandungan air dalam bahan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan. Keberhasilan pengeringan sangat tergantung pada beberapa faktor, salah satunya suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terlalu rendah akan menyebabkan kegagalan dalam pengeringan yang berdampak pada pembusukan bahan. Sementara itu suhu pengeringan yang terlalu tinggi menyebabkan pencoklatan bahan akibat karamelisasi, oleh karena itu suhu pengeringan yang tepat perlu dicari, khususnya


(6)

vi

pada pengeringan labu kuning yang saat ini belum di dapat informasinya. Menurut Mohamed dan Hussein (1994) mengatakan bahwa suhu pengeringan 40oC – 60oC pada pengeringan wortel dapat mempertahankan kandungan asam askorbat, sifat rehidrasi wortel yang dikeringkan dan juga mempertahankan kandungan karoten dan warna wortel kering. Merujuk dari refrensi diatas, maka penelitian ini menggunakan suhu 50oC – 80oC dalam pengeringan labu kuning untuk mencari suhu pengeringan terbaik. Proses pengolahan atau pembuatan tepung labu kuning perlu dikaji secara finansial untuk mengetahui kelayakannya dalam produksi secara komersial. Sampai saat ini kajian kelayakan komersialiasi produksi tepung labu kuning belum diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan kajian produksi labu kuning, khususnya analisis secara finansial.

Penelitian ini merupakan penelitian skala laboraturium yang dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan suhu pengeringan yaitu (50, 60, 70, dan 80) oC dan pengelompokkan 3 waktu proses. Apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan uji BNT (Harsojuwono et al., 2011). Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu rendemen tepung labu kuning,kadar air dengan metode oven AOAC (1990), kadar abu dengan metode pemijaran (Sudarmadji et. Al., 1997),kadar lemak (Sudarmadji,1984),kadar karbohidrat (by difference) total karoten dengan spectrofotometer (Apriantono et. Al., 1998), kadar protein (Metode Kjeldahl). Karakteristik tepung labu kuning dilakukan dengan uji efektivitas (De Garmo et. Al., 1984). Analisis finansial dilakukan terhadap tepung labu kuning dengan karakteristik terbaik (Anon, 2011).


(7)

vii

Perlakuan suhu pengeringan terhadap tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar protein, kadar beta karoten, dan kadar abu. Perlakuan tepung labu kuning terbaik adalah perlakuan suhu 60˚C dengan karakteristik yaitu : rendemen 22,00%, kadar air 14,51%, kadar abu 5,79%, kadar protein 1,07%, kadar lemak 1,19%, kadar karbohidrat 82,02% dan kadar beta karoten 2295,81 µg/100g. Biaya produksi tepung labu kuning dengan perlakuan terbaik Rp.166.780.400 per tahun dan harga jual adalah Rp.41.063/kg, analisis Break Event Point sebesar 2.241,77 kg per tahun, Return On Investment sebesar 35,06%, dan Pay Out Time sebesar 2,85 tahun sehingga perusahaan ini layak untuk dijalankan.


(8)

viii

PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita Moschata ex. Poir) BESERTA

ANALISIS FINANSIALNYA

Skripsi ini telah mendapat persetujuan pembimbing :

Pembimbing I

Prof. Dr.Ir. Bambang Admadi H., MP. NIP. 19650221 199002 1 004

Pembimbing II

I Wayan Gd Sedana Yoga, S.TP., M.Agb NIP. 19800516 200502 1 006

Dekan

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

Dr. Ir. I Dewa Gde Mayun Permana., MS NIP. 19591107 198603 1 004


(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

I Gusti Ayu Dharmapadni Gria Mas Arum dilahirkan di Pekalongan pada tanggal 22 April 1992. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara pasangan I Gusti Bagus Sumertana, SE dan Dra.Oktoviani Tri Ganefianti.

Penulis mulai memasuki dunia pendidikan di TK Negeri Denpasar pada tahun 1996 dan tamat tahun 1998. Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan di SD Saraswati 5 Denpasar pada tahun 1998 dan lulus pada tahun 2004, lalu melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Denpasar dan berhasil lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Denpasar. Pada tahun 2010 penulis diterima di perguruan tinggi melalui jalur SNMPTN dan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana di Jurusan Teknologi Industri Pertanian.

Selama tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi kemahasiswaan di Himpunan Jurusan Teknologi Industri Pertanian dan Badan Eksekutif Mahasiswa.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Tepung Labu Kuning (Cucurbitae Moschata Ex Poir) beserta Analisis Finansialnya”. Penulisan

skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

Keberhasilan penulis tidak hanya didasarkan atas kerja keras penulis tetapi juga berkat dukungan serta bantuan yang penulis terima dari awal dimulainya penelitian ini hingga akhir penulisan skripsi. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Admadi H.,MP selaku pembimbing I dan Bapak I Wayan Gede Sedana Yoga, S.TP.,M.Agb sebagai pembimbing II yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan selama penelitian hingga penyelesaian dari skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. I Dewa Gde Mayun Permana, MS. selaku Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

3. Ibu Ir. Amna Hartiati, MP., selaku Ketua Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

4. Bapak/ibu dosen dan staf pegawai Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Kepala Laboratorium di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana


(11)

xi

6. Ayah, Ibu, adik-adik tercinta dan tentunya I Gusti Ngurah Pungki Wiraguna S.TP yang senantiasa memberikan dukungan serta bantuan moril dan materi sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

7. Rekan-rekan FTP Unud angkatan 2010 (Andri, Wahyu, Sumi, Panji, Lia, Ninik, Tia) dan teman-teman lainnya yang telah turut serta membantu lancarnya penyelesaian skripsi ini.

Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat dipergunakan sebagai mana mestinya sehingga dapat bermanfaat bagi banyak orang. Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga penulis berharap kritikan serta saran-saran dari para pembaca yang bersifat membangun.

Denpasar, Desember 2015


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

COVER ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

RINGKASAN ... v

LEMBAR PENGESAHAN... viii

RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Labu (Cucurbita) ... 5

2.2 Labu Kuning (Cucurbita moschata) ... 6

2.3 Kandungan Gizi Labu Kuning ... 8


(13)

xiii

2.5 Tepung ... 10

2.6 Beta Karoten ... 11

2.7 Pengeringan ... 12

2.8 Pengaruh Pengeringan terhadap Bahan ... 14

2.9 Uji Efektivitas ... 15

2.10 Analisis Finansial ... 16

2.10.1 Biaya Tetap dan Biaya Variabel ... 17

2.10.2 Break Event Point ... 17

2.10.3 Return On Invesment ... 18

2.10.4 Pay out time ... 18

III. METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.2 Alat dan Bahan ... 19

3.2.1 Alat ... 19

3.2.2 Bahan ... 19

3.3 Rancangan Percobaan ... 19

3.4 Pembuatan Tepung Labu Kuning... 20

3.5 Variabel Yang Diamati ... 21

3.5.1 Rendemen Tepung Labu Kuning ... 22

3.5.2 Kadar Air ... 22

3.5.3 Kadar Abu... 23

3.5.4 Kadar Protein ... 23

3.5.5 Kadar Lemak ... 24

3.5.6 Kadar Karbohidrat ... 24

3.5.7 Kadar beta karoten (metode Nielsen, 1995) ... 25

3.5.7.1 Pembuatan Kurva Standar beta karoten ... 25

3.5.7.2 Analisis kadar total karoten dengan spektrofotometer ... 25

3.5.8 Uji Efektivitas ... 26

3.5.9 Analisis Usaha ... 27

3.5.9.1 Asumsi ... 28


(14)

xiv

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Rendemen ... 31

4.2 Kadar Air ... 32

4.3 Kadar Abu ... 33

4.4 Kadar Protein ... 34

4.5 Kadar Lemak ... 34

4.6 Kadar Karbohidrat ... 35

4.7 Total Karoten ... 36

4.8 Uji Efektifitas ... 37

4.9 Analisis Finansial ... 37

4.9.1 Kebutuhan Modal Awal ... 38

4.9.2 Biaya Tetap dan Biaya Variabel ... 38

4.9.3 Harga Jual... 38

4.9.4 Break Event Point ... 40

4.9.5 Return On Investment ... 40

4.9.6 Pay out time... 41

V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1. Komposisi zat gizi labu kuning segar per 100 gram ... 8

2. Syarat mutu tepung tapioka (SNI No. 01-3451-2011) ... 11

3. Komponen Biaya Tetap... 29

4. Komponen Biaya Variabel ... 29

5. Rendemen ... 31

6. Kadar Air ... 32

7. Kadar Abu ... 33

8. Kadar Protein ... 34

9. Kadar Lemak ... 35

10. Kadar Karbohidrat ... 35

11. Kadar Total Karoten ... 36

12 Uji Efektifitas ... 38

13. Besarnya Investasi untuk Usaha Tepung Labu Kuning ... 38

14. Biaya Tetap (FC), Biaya Variabel (VC), dan Total Biaya Produksi (TC) ... 39


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Analisis Statistik Kadar Abu ... 46

2. Analisis Statistik Kadar Air ... 49

3. Analisis Statistik Kadar Lemak ... 50

4. Analisis Statistik Kadar Protein ... 51

5. Analisis Statistik Beta Karoten ... 52

6. Analisis Statistik Kadar Karbohidrat ... 53

7. Analisis Statistik Rendemen ... 54

8. Uji Efektivitas ... 55

9. Kebutuhan Modal Awal Usaha Pembuatan Tepung Labu Kuning ... 56

10. Penyusutan Alat ... 57

11. Kebutuhan Bahan Baku,Bahan Pembantu, dan Bahan Pengemas ... 58

12. Dana Modal Tetap dan Dana Modal Kerja ... 59

13. Besarnya Investasi untuk Usaha Tepung Labu Kuning ... 60

14. Biaya Tetap dan Biaya Tidak Tetap Usaha Tepung Labu Kuning ... 61

15. Harga Jual (P) Tepung Labu Kuning ... 62

16. Analisis Break Event Point (BEP) ... 63

17. Analisis Return on Investment (ROI) ... 64


(18)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang memungkinkan dikembangkannya banyak produk pertanian. Hasil pertanian di Indonesia ada yang sudah di manfaatkan dengan optimal, ada juga yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu produk pertanian yang kurang di maanfaatkan dengan optimal adalah labu kuning. Di Indonesia penyebaran buah labu kuning juga telah merata, Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah yang menghasilkan labu kuning dalam jumlah yang besar, yaitu setiap 1 hektar lahan dapat menghasilkan 20-40 ton buah buah labu kuning. Data Badan Pusat Statistik dalam Hidayati (2006), menunjukkan hasil rata-rata produksi labu kuning seluruh Indonesia berkisar antara 20-21 ton per hektar. Sedangkan konsumsi labu kuning di Indonesia masih sangat rendah, yakni kurang dari 5 kg per kapita per tahun. Pemanfaatan labu kuning akan meningkat pada bulan-bulan tertentu, seperti pada bulan Ramadhan. Biasanya pada bulan tersebut labu kuning dimanfaatkan sebagai kolak, puding, sup maupun kue basah. Labu kuning banyak dimaanfaatkan sebagai produk pangan karena nilai gizinya cukup lengkap.

Komposisi gizi labu kuning per 100g terdiri dari energi 32 kkal; protein 1,1gram; lemak 0,1 gram; karbohidrat 6,6 gram; kalsium 45 mg; karoten total 180 µg; vitamin C 52 mg (PERSAGI, 2009). Penelitian Kandlakunta, et al.(2008), menyatakan bahwa kandungan beta karoten pada labu kuning sebesar 1,18 mg/100 g. Beta karoten merupakan salah satu jenis karotenoid, selain sebagai


(19)

2

provitamin-A, beta karoten juga berperan sebagai antioksidan yang efektif pada konsentrasi rendah oksigen.

Produk olahan labu kuning yang masih banyak ditemui adalah produk olahan labu kuning basah, yang cenderung umur simpannya pendek, mengingat potensi gizi dan ketersediaan labu kuning di Indonesia, maka perlu dilakukan upaya pengolahan labu kuning sehingga memiliki umur simpan lebih lama. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengolahnya menjadi tepung. Pengolahan labu kuning menjadi tepung mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan buah segarnya, yaitu sebagai bahan baku fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, daya simpan yang lama karena kadar air yang rendah, tidak membutuhkan tempat yang besar dalam penyimpanannya, dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti sumber kabohidrat, protein dan vitamin.

Pengolah labu kuning menjadi tepung memerlukan beberapa tahapan, Salah satu tahapan proses pengolahan tepung adalah pengeringan yaitu proses mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dalam suatu bahan (Winarno et. al., 1980). Menurut Muchadi et al. 1997 pengeringan merupakan salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan yang mudah rusak atau busuk. Tujuan pengeringan yaitu untuk mengurangi kandungan air dalam bahan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan. Keberhasilan pengeringan sangat tergantung pada beberapa faktor, salah satunya suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terlalu rendah akan menyebabkan kegagalan dalam pengeringan yang berdampak pada pembusukan bahan. Sementara itu suhu pengeringan yang terlalu tinggi menyebabkan pencokelatan bahan akibat karamelisasi, oleh karena itu suhu pengeringan yang tepat perlu


(20)

3

dicari, khususnya pada pengeringan labu kuning yang saat ini belum di dapat informasinya. Menurut Mohamed dan Hussein (1994) mengatakan bahwa suhu pengeringan 40oC – 60oC pada pengeringan wortel dapat mempertahankan kandungan asam askorbat, sifat rehidrasi wortel yang dikeringkan dan juga mempertahankan kandungan karoten dan warna wortel kering. Merujuk dari refrensi diatas, maka penelitian ini menggunakan suhu 50oC – 80oC dalam pengeringan labu kuning untuk mencari suhu pengeringan terbaik.

Proses pengolahan atau pembuatan tepung labu kuning perlu dikaji secara finansial untuk mengetahui kelayakannya dalam produksi secara komersial. Sampai saat ini kajian kelayakan komersialiasi produksi tepung labu kuning belum diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan kajian produksi labu kuning, khususnya analisis secara finansial.

1.2. Perumusan Masalah

1) Bagaimana pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung labu kuning?

2) Berapa suhu terbaik yang menghasilkan karakteristik tepung labu kuning terbaik?

3) Bagaimana kelayakan finansial dari produksi tepung labu kuning?

1.3. Tujuan

1) Mengetahui pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung labu kuning.


(21)

4

2) Mengetahui suhu terbaik untuk menghasilkan karakteristik tepung labu kuning terbaik.

3) Mengetahui kelayakan secara finansial dari tepung labu kuning.

1.4. Manfaat

1) Memberikan informasi ilmiah tentang suhu pengeringan terbaik yang dapat digunakan dalam pembuatan tepung labu kuning.

2) Memberikan informasi baru tentang cara pengolahan labu kuning yang

memberikan umur simpan lebih panjang sehingga labu kuning dapat dijumpai sepanjang waktu.

3) Memberikan informasi baru tentang produksi tepung labu kuning ditinjau dari kelayakan secara finansial.

1.5. Hipotesis

1) Suhu pengeringan berpengaruh terhadap karakteristik tepung labu kuning. 2) Suhu tertentu menghasilkan karakteristik tepung labu kuning terbaik.


(22)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Labu (Cucurbita)

Tanaman Labu termasuk dalam keluarga buah labu-labuan atau Cucurbitaceae, dan masih sekerabat dengan melon (Cucumis melo) dan mentimun (Cucumis sativus). Labu ini tergolong jenis tanaman semusim sebab setelah selesai berbuah akan mati. Oleh karena itu tanaman labu di daerah pedesaan sering dijadikan tanaman tumpangsari. Tanaman labu memerlukan suhu sekitar 25-30˚C, labu tidak memerlukan ketinggian tempat yang khusus. Keistimewaan lain dari tanaman labu adalah dapat ditanam di lahan-lahan yag kering atau tegalan yang masih tersedia luas di Negara kita. Di Indonesia penyebaran labu juga telah merata, hampir di semua kepulauan nusantara terdapat tanaman labu, karena disamping cara penanaman dan pemeliharaannya mudah labu memang dapat menjadi sumber pangan yang dapat diandalkan (Anon., 2010a).

Labu memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap seperti karbohidrat, protein dan vitamin-vitamin. Karena kandungan gizinya yang cukup lengkap ini, labu dapat menjadi sumber gizi yang sangat potensial dan harganya pun terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkannya. Labu dapat dijadikan juga bahan pangan yang memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi. Dengan adanya perkembangan teknologi pengolahan pangan yang canggih, labu dapat menjadi bahan untuk pembuatan berbagai jenis makanan seperti roti, dodol, tepung, dan lain sebagainya (Sudarto, 1993).

Labu mempunyai banyak varietas, dari lebin 40 jenis, tetapi baru beberapa jenis yang sudah dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Di sisi lain, buah


(23)

6

dari tanaman merambat ini sangat kaya akan kandungan serat, vitamin, mineral, dan air. Banyak pakar gizi dan kesehatan berkomentar kalau labu bermanfaat untuk kesehatan (Anon., 2010a).

2.2. Labu Kuning (Cucurbita moschata)

Labu kuning (Cucurbita moshata, ex. Poir) termasuk jenis tanaman menjalar dari famili curcubitacea. Labu kuning tergolong tanaman semusim sebab setelah selesai berbuah akan mati. Pada daging buah inilah terkandung beberapa vitamin antara lain : vitamin C, vitamin A, dan vitamin B. Pada bagian tengah labu kuning terdapat biji yang diselimuti lendir dan serat. Biji ini berbentuk pipih dengan kedua ujungnya yang meruncing. Bentuk buah labu kuning ini bermacam-macam tergantung dari jenisnya, ada yang berbentuk bokor (bulat pipih, beralur), oval, panjang dan piala. Berat buah labu kuning rata-rata 2-5kg/buah, dan ada yang mencapai 30 kg/buah untuk labu kuning jenis tertentu. Tekstur daging buah tergantung jenisnya ada yang halus, padat, lunak, dan mumpur (Sudarto, 1993).

Adapun taksonomi tumbuhan diklasifikasi labu kuning dikutip dari Rukmana (1997) adalan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Cucurbitales Familia : Cucurbitaceae Genus : Cucubita


(24)

7

Buah jenis lokal, dapat dipanen pada umur 3-4 bulan, sedangkan jenis hibrida, seperti labu kuning Taiwan, pada umur 85-90 hari. Apabila ditanam secara monokultur, tiap hektar lahan dapat menghasilkan buah sekitar 50 ton per musim. Buah labu kuning berbentuk bulat pipih, lonjong, atau panjang dengan banyak alur (15-30 alur). Ukuran pertumbuhannya cepat sekali, mencapai 350 gram per hari. Buahnya besar dan warnanya bervariasi (buah muda berwarna hijau, sedangkan yang lebih tua kuning pucat). Daging buah tebalnya sekitar tiga cm dan rasanya agak manis. Bobot buah rata-rata 3-5 kg. Untuk labu ukuran besar, beratnya ada yang dapat mencapai 20 kg per buah. Biji labu tua dapat dikonsumsi sebagai kuaci setelah digarami dan dipanggang (Anon., 2010b).

Labu kuning sering disebut tanaman semusim yang bersifat menjalar atau memanjat dengan perantaraan alat pemegang berbentuk pilin atau spiral, berambut kasar, berbatang basah dengan panjang 5-25 meter. Tanaman labu kuning mempunyai sulur dahan berbentuk spiral yang keluar di sisi tangkai daun. Berdaun tunggal, berwarna hijau, dengan letak berselang-seling, dan bertangkai panjang. Daging bagian luar kulitnya keras, bakal buah terbenam, berdaun buah tiga, tetapi hanya berongga satu serta berbiji banyak, seperti terdapat pada suku timun-timunan labu kuning merupakan satu-satunya buah yang awet atau tahan lama. Labu kuning akan awet asalkan disimpan di tempat yang bersih dan kering, serta tidak ada luka pada buah tersebut. Jika ada luka, labu kuning akan mengeluarkan semacam gas yang bisa memicu terjadinya berbagai macam perubahan di dalam buah. Labu Kuning dapat disimpan selama tiga bulan tanpa ada perubahan (Soedarya, 2006).


(25)

8

2.3. Kandungan Gizi Labu Kuning

Labu Kuning merupakan bahan pangan yang kaya vitamin A dan C, mineral, serta karbohidrat. Daging buahnya pun mengandung antiokisidan sebagai penangkal berbagai jenis kanker. Sayang, sejauh ini pemanfaatannya belum optimal. Buah labu dapat digunakan untuk berbagai jenis makanan dan cita rasanya enak.

Daunnya berfungsi sebagai sayur dan bijinya bermanfaat untuk dijadikan kuaci. Air buahnya berguna sebagai penawar racun binatang berbisa, sementara bijinya menjadi obat cacing pita (Anon., 2010).

Tabel 1 Komposisi Zat Gizi labu Kuning segar per 100gram bahan

No Kandungan Gizi Satuan Kadar

1 Kalori Kal 29,00

2 Protein gram 1,10

3 Lemak gram 0,30

4 Hidrat Arang gram 6,60

5 Kalsium mg 45,00

6 Fosfor mg 64,00

7 Zat Besi mg 1,40

8 Vitamin A SI 180,00

9 Vitamin B1 mg 0,08

10 Vitamin C gram 52,00

11 Air gram 91,20

12 Bdd % 77,00

Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan Gizi Depkes RI (1972)

Labu kuning dianggap sebagai rajanya beta karoten. Keunggulan beta karoten, antara lain adalah dapat meningkatkan sistem imunitas serta mencegah penyakit jantung dan kanker. Dikatakan sebagai rajanya beta karoten sebab kandungan karotennya sangat tinggi seperti lutein, zeaxanthin, dan karoten, yang memberi warna kuning pada labu kuning yang membantu melindungi tubuh dengan menetralkan molekul oksigen jahat yang disebut juga radikal bebas (Anon., 2010).


(26)

9

2.4. Tepung Labu Kuning

Tepung labu kuning adalah tepung dengan butiran halus, lolos ayakan 60 mesh, berwarna putih kekuningan, berbau khas labu kuning dengan kadar air ±13%. Protein tepung labu kuning mengandung protein jenis gluten yang cukup tinggi sehingga mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang kohesif dan elastis. Sifat ini akan sangat berfungsi pada pengembangan volume roti dan produk makanan lain yang memerlukan pengembangan volume. Tepung labu kuning mempunyai kualitas tepung yang baik karena mempunyai sifat gelatinisasi yang baik sehingga dengan demikian dapat membentuk adonan dengan konsistensi, kekenyalan, viskositas, maupun elastisitas yang baik, sehingga roti yang dihasilkan akan berkualitas baik. Karena sifatnya yang higroskopis dalam penyimpanannya, tepung labu kuning harus dilakukan sedemikian rupa, diusahakan agar udara dan sinar tidak menembus wadah. Jenis kemasan yang cocok untuk tepung labu kuning yaitu plastik yang dilapisi aluminium foil. Dengan penyimpanan ditempat yang kering, tepung labu kuning akan dapat tahan selama dua bulan (Hendrasty, 2003).

Tepung labu kuning mempunyai sifat spesifik dengan aroma khas. Secara umum, tepung tersebut berpotensi sebagai pendamping terigu dan tepung beras dalam berbagai produk olahan pangan. Produk olahan dari tepung labu kuning mempunyai warna dan rasa yang spesifik, sehingga lebih disukai oleh konsumen. Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), dibentuk, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Dari segi proses, pembuatan


(27)

10

tepung hanya membutuhkan air relative sedikit dan ramah lingkungan dibandingkan dengan pembuatan pati (Hendrasty, 2003).

2.5. Tepung

Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung proses penggilingannya. Biasanya digunakan untuk keperluan penelitian, rumah tangga dan bahan baku industri. Tepung bisa berasal dari bahan nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tapioka dari singkong, maizena dari jagung atau hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan. Syarat mutu tepung, sebagai contoh tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat mutu terigu untuk bahan makanan (SNI No. 01-3751-2000)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bentuk - serbuk

1.2 Bau - normal (bebas) dari bau asing)

1.3 Rasa - normal (bebas dari bau asing) putih, khas terigu

1.4 Warna -

2 Benda Asing - tidak boleh ada

3 Serangan dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak *)

- tidak boleh ada

4 Kehalusan, lolos ayakan 212 milimikron - min. 95%

5 Air %, b/b maks. 14,5%

6 Abu %, b/b maks. 0,6%

7 Proteian (N x 5.7) %, b/b min. 7,0%

8 Keasaman MgKOH/100 g maks. 50/100 g contoh

9 Falling number Detik min. 300

10 Besi (Fe) mg/kg min. 50

11 Seng (Zn) mg/kg min. 30

12 Vitamin B1 (thiamin) mg/kg min. 2,5

13 Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg min. 4

14 Asam folat mg/kg min. 2

15 Cemaran logam

15.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,10

15.2 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,05

15.3 Tembaga (Cn) mg/kg maks. 10

16 Cemaran arsen mg/kg maks. 0,5

17 Cemaran mikroba

17.1 Angka lempeng total Koloni/g maks. 106

17.2 B. coli AMP/g maks. 10

17.3 Kapang Koloni/g maks. 104


(28)

11

2.6. Beta Karoten

Beta Karoten sama dengan Karotenoid yang lain, yaitu pigmen alami yang larut lemak yang secara umum ditemukan pada tanaman, Alga dan sintesis mikroorganisme. Beta karoten memiliki peran bagi kesehatan salah satunya mempunyai aktivitas sebagian antioksidan, meningkatkan komunikasi interselular, immunodulator dan antikarsinogenik. Kemampuan beta karoten sebagai antioksidan ditunjukkan oleh mengikat oksigen (O2), menangkal radikal peroksil dan menghambat oksidasi lipid. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa rendahnya betakaroten plasma dan konsentrasi karotenoid berhubungan dengan meningkatnya resiko kanker esophagus, lambung dan kanker kulit seperti halnya penyakit kardiovaskuler (Kritchevsky,1999).

2.7. Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaan energi panas (Winarno,1993). Lebih lanjut Taib et al. (1988) menyatakan pengeringan dapat mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat dan terhenti, dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama. Menurut Muctadi et al. (1979) tujuan pengeringan adalah memperpanjang daya simpan, agar ekonomis dan praktis dalam pengepakan dan pengangkutan serta untuk menampung hasil panen yang melimpah pada musim panen agar dapat dinikmati di luar musim sehingga dapat lebih meningkatkan penggunaanya.


(29)

12

Kebanyakan jenis pengeringan, kalor atau panas diberikan pada bahan pangan, dan air dalam bentuk uap air di buang. Metode pemberian kalor serta pemindahan uap air dari produk adalah dasar dari berbagai teknik pengeringan. Jika kalor diberikan pada bahan pangan maka suhu bahan akan naik dan air menguap (Harris dan Karmas,1980).

Proses pengeringan mempunyai dua periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan periode pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode utama ini dibatasi oleh kadar air kritis. Kadar air kritis adalah kadar air terendah pada saat laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimum dari bahan. Pada periode pengeringan dengan laju tetap, bahan mengandung air yang cukup banyak, sehingga pada permukaan bahan berlangsung penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan laju penguapan pada permukaan air bebas. Periode ini berakhir pada saat laju difusi air dari dalam bahan telah turun, sehingga lebih lambat dari laju penguapan. Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama makin berkurang. Pada laju pengeringan menurun ini kadar air bahan lebih kecil dari pada kadar air kritis.

Winarno (1993) menyatakan pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering atau dengan penjemuran. Pengeringan buatan mempunyai keuntungan yaitu suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan, dan kebersihan mudah diawasi. Penjemuran memberikan keuntungan yaitu energi panas yang digunakan murah, tetapi mempunyai kerugian yaitu panas sinar matahari tidak terus menerus ada


(30)

13

sepanjang hari, kenaikan suhu tiak dapat diatur, selain itu kebersihan bahan yang dijemur sukar diawasi.

Menurut Muchtadi (1989) umumnya bahan pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau diiris-iris untuk mempercepat pengeringan. Pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluar permukaan bahan sehingga permukaan yang dapat berhubungan dengan medium pemanas lebih luas dan mempermudah keluarnya air dari pusat bahan ke permukaan bahan.

2.8. Pengaruh Pengeringan terhadap Bahan

Winarno (1993) menyatakan pengaruh paling nyata pada bahan yang dikeringkan adalah menurunnya kandungan air pada bahan, karena air pada bahan telah mengalami penguapan, yang kemudian menyebabkan penurunan berat bahan. Dengan mengurangi kadar airnya, bahan pangan mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi lebih tinggi, tetapi warna dan vitamin pada umumnya akan rusak dan berkurang.

Lebih lanjut dinyatakan proses pengeringan yang dilakukan pada suhu terlalu tinggi maka dapat terjadi case hardening, yaitu suatu keadaan bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah. Terjadinya case hardening dapat mengakibatkan proses pengeringan selanjutnya menjadi lambat. Mikroorganisme yang terdapat di bagian dalam bahan yang masih basah dapat berkembang biak sehingga menyebabkan kebusukan.

Buckle et al (1987) menyatakan akibat lain dari pengeringan adalah awetnya bahan pangan dari proses kerusakan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas air


(31)

14

yang terdapat pada bahan pangan mengalami penurunan sehingga mikroorganisme penyebab kerusakan bahan tidak dapat hidup.

Pengaruh pengeringan terhadap pertumbuhan mikroorganisme cukup besar, karena pengeringan akan menurunkan nilai aw bahan yang dikeringkan. Umumnya bahan pangan yang dikeringkan memiliki nilai aw berkisar 0,2-0,6 (Harris dan Karmas, 1989). Kisaran nilai ini sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak yang umumnya tumbuh optimal pada aw antara 0,8-1,0 yaitu pada daerah dimana air dalam bahan pangan dinyatakan sebagai air bebas.

2.9. Uji Efektivitas

Pada suatu penelitian seringkali dibandingkan pengaruh berbagai perlakuan dan diukur variabel yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan (memilih) tentang perlakuan yang terbaik. Tentunya tidak adil apabila dari berbagai variabel tersebut (misalnya ada 5 variabel) hanya satu atau dua diantaranya yang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Sebelum penelitian dilaksanakan, tentunya sudah dipertimbangkan mengapa kelima variabel tersebut diukur oleh karena itu seharusnya semua variabel diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tidak akan sulit kalau secara kebetulan hasil pengukuran yang terbaik terkumpul semuanya pada suatu perlakuan tertentu, namun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Masing-masing perlakuan bisa saja memiliki kelemahan pada variabel tertentu dan kelebihan pada variabel yang lain.


(32)

15

Metode tersebut di atas merupakan metode (De Garmo et. al., 1984). Metode tersebut kiranya dapat diadopsi untuk mengambil keputusan dalam memilih perlakuan terbaik dalam penelitian pangan. Namun demikian sebaiknya dilakukan modifikasi dalam penerapannya, yaitu pada saat mengurutkan (meranking) pentingnya peran variabel terhdap mutu produk. Pada tahapan tersebut kiranya diperlukan bantuan pendapat responden (dianggap sebagai calon konsumen) untuk meranking, agar didapatkan hasil objektif karena menggambarkan pendapat umum. Jadi bukan didasarkan pada pendapat peneliti, karena konsumen adalah penentu dapat diterima atau tidaknya suatu produk pangan. Contoh yang dikemukakan (De Garmo et. al., 1984) adalah dalam bidang keteknikan, dengan demikian langkah-langkah untuk memilih perlakuan terbaik dalam penelitian pangan dilakukan dengan memodifikasi metode (De Garmo et. al., 1984), tersebut menjadi sebagai berikut :

1) Variabel diurutkan menurut prioritas dengan menggunakan hasil kuisioner dari pakar dan kontribusi terhadap hasil.

2) Masing-masing variabel ditentukan bobotnya (BV) sesuai kontribusinya, yang dikuantifikasikan antara 0-1.

3) Ditentukan bobot normal (BN) masing-masing variabel dengan membagi bobot tiap variabel (BV) dengan jumlah semua bobot variabel.

4) Ditentukan nilai efektifitas (Ne) masing-masing variabel, dengan rumus : Ne = (Nilai perlakuan-Nilai terjelek) / (Nilai terbaik-Nilai terjelek). Untuk variabel dengan nilai rata-rata semakin besar semakin baik, maka rata-rata tertinggi sebagai nilai terbaik dan terendah sebagai nilai terjelek. Sebaliknya untuk


(33)

16

variabel dengan rata-rata semakin kecil semakin baik, maka rata-rata terendah sebagai nilai terendah sebagai nilai terbaik dan tertinggi sebagai nilai terjelek.. 5) Ditentukan nilai hasil (Nh) masing-masing variabel yang diperoleh dari

perkalian antara BN dengan Ne-nya.

6) Nh semua variabel untuk masing-masing alternatif perlakuan dijumlahkan. 7) Dipilih perlakuan terbaik, yaitu perlakuan dengan jumlah Nh tertinggi.

2.10. Analisis Finansial

Analisis finansial diperlukan agar diperoleh gambaran perhitungan biaya yang diperlukan dalam memulai suatu finansial. Selain itu dapat diperhitungkan gambaran keuntungan yang akan diperoleh, berapa lama modal akan kembali dan keuntungan yang akan diraih sejak waktu tertentu (Susanto dan Saneto,1994).

2.10.1. Biaya Tetap dan Biaya Variabel

Perhitungan analisis finansial perlu dibedakan antara biaya tetap dan biaya variable, kedua biaya ini tergolong biaya produksi (Susanto dan Saneto,1994). Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak terpengaruh oleh perubahan kegiatan perusahaan di dalam interval waktu dan kapasitas tertentu. Sedangkan biaya variable (variable cost) adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai tingkat kegiatan yang ada dalam perusahaan yang bersangkutan (Ahyari,1987).

Biaya produksi sangat diharapkan suatu perolehan pemasukan. Nilai yang diperoleh dari hasil penjualan produk dikurangi biaya produksi adalah laba kotor. Keuntungan kotor dikurangi pajak penghasilan adalah laba bersih (Susanto dan Saneto,1994).


(34)

17

2.10.2. Break Event Point

Menurut kadiriah (1994) analisis Break Event Point (BEP) digunakan untuk menentukan berapa jumlah produk yang harus dihasilkan agar perusahaan minimal tidak mendapatkan rugi. Analisis ini juga berguna untuk menjelaskan hubungan antara biaya, penghasilan dan volume penjualan atau produksi. Untuk menentukan BEP perlu ditentukan dahulu biaya-biaya tetap dan biaya variable untuk berbagai volume penjualan, dengan demikian jumlah kuantitas produk yang dihasilkan untuk mencapai BEP dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Q BEP =

AVC) (P

TFC  Keterangan :

P = Harga jual per unit

Q BEP = Jumlah yang dijual untuk mencapai BEP (unit pertahun) TFC = Biaya tetap total

AVC = Biaya variable per unit 2.10.3. Return On Invesment

Return on investment (ROI) adalah suatu cara menyatakan besarnya keuntungan dengan membandingkan antara besarnya laba per tahun dengan besarnya modal dan dinyatakan dalam persen per tahun. ROI dapat dihitung berdasarkan laba kotor yaitu selisih hasil penjualan dengan biaya produksi keseluruhan (belum dikurangi pajak) atau berdasarkan laba bersih yaitu laba kotor dikurangi pajak pendapatan.

ROI minimum yang dapat diterima untuk setiap macam finansial berbeda-beda tergantung dari kecilnya resiko investasi yang harus ditanggung. untuk produk tepung berdasarkan laba kotor adalah 10 persen (Susanto dan Saneto,1994).


(35)

18

2.10.4. Pay out time

Pay out time (POT) merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa persentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). POT harus lebih kecil dari umur ekonomis proyek. Untuk industri pengolahan pertanian diharapkan nilai tersebut lebih kecil dari 10 tahun atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun (Husnan dan Suwarsono (1999); Susanto dan Saneto (1994)).


(1)

sepanjang hari, kenaikan suhu tiak dapat diatur, selain itu kebersihan bahan yang dijemur sukar diawasi.

Menurut Muchtadi (1989) umumnya bahan pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau diiris-iris untuk mempercepat pengeringan. Pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluar permukaan bahan sehingga permukaan yang dapat berhubungan dengan medium pemanas lebih luas dan mempermudah keluarnya air dari pusat bahan ke permukaan bahan.

2.8. Pengaruh Pengeringan terhadap Bahan

Winarno (1993) menyatakan pengaruh paling nyata pada bahan yang dikeringkan adalah menurunnya kandungan air pada bahan, karena air pada bahan telah mengalami penguapan, yang kemudian menyebabkan penurunan berat bahan. Dengan mengurangi kadar airnya, bahan pangan mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi lebih tinggi, tetapi warna dan vitamin pada umumnya akan rusak dan berkurang.

Lebih lanjut dinyatakan proses pengeringan yang dilakukan pada suhu terlalu tinggi maka dapat terjadi case hardening, yaitu suatu keadaan bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah. Terjadinya case hardening dapat mengakibatkan proses pengeringan selanjutnya menjadi lambat. Mikroorganisme yang terdapat di bagian dalam bahan yang masih basah dapat berkembang biak sehingga menyebabkan kebusukan.

Buckle et al (1987) menyatakan akibat lain dari pengeringan adalah awetnya bahan pangan dari proses kerusakan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas air


(2)

yang terdapat pada bahan pangan mengalami penurunan sehingga mikroorganisme penyebab kerusakan bahan tidak dapat hidup.

Pengaruh pengeringan terhadap pertumbuhan mikroorganisme cukup besar, karena pengeringan akan menurunkan nilai aw bahan yang dikeringkan. Umumnya bahan pangan yang dikeringkan memiliki nilai aw berkisar 0,2-0,6 (Harris dan Karmas, 1989). Kisaran nilai ini sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak yang umumnya tumbuh optimal pada aw antara 0,8-1,0 yaitu pada daerah dimana air dalam bahan pangan dinyatakan sebagai air bebas.

2.9. Uji Efektivitas

Pada suatu penelitian seringkali dibandingkan pengaruh berbagai perlakuan dan diukur variabel yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan (memilih) tentang perlakuan yang terbaik. Tentunya tidak adil apabila dari berbagai variabel tersebut (misalnya ada 5 variabel) hanya satu atau dua diantaranya yang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Sebelum penelitian dilaksanakan, tentunya sudah dipertimbangkan mengapa kelima variabel tersebut diukur oleh karena itu seharusnya semua variabel diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tidak akan sulit kalau secara kebetulan hasil pengukuran yang terbaik terkumpul semuanya pada suatu perlakuan tertentu, namun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Masing-masing perlakuan bisa saja memiliki kelemahan pada variabel tertentu dan kelebihan pada variabel yang lain.


(3)

Metode tersebut di atas merupakan metode (De Garmo et. al., 1984). Metode tersebut kiranya dapat diadopsi untuk mengambil keputusan dalam memilih perlakuan terbaik dalam penelitian pangan. Namun demikian sebaiknya dilakukan modifikasi dalam penerapannya, yaitu pada saat mengurutkan (meranking) pentingnya peran variabel terhdap mutu produk. Pada tahapan tersebut kiranya diperlukan bantuan pendapat responden (dianggap sebagai calon konsumen) untuk meranking, agar didapatkan hasil objektif karena menggambarkan pendapat umum. Jadi bukan didasarkan pada pendapat peneliti, karena konsumen adalah penentu dapat diterima atau tidaknya suatu produk pangan. Contoh yang dikemukakan (De Garmo et. al., 1984) adalah dalam bidang keteknikan, dengan demikian langkah-langkah untuk memilih perlakuan terbaik dalam penelitian pangan dilakukan dengan memodifikasi metode (De Garmo et. al., 1984), tersebut menjadi sebagai berikut :

1) Variabel diurutkan menurut prioritas dengan menggunakan hasil kuisioner dari pakar dan kontribusi terhadap hasil.

2) Masing-masing variabel ditentukan bobotnya (BV) sesuai kontribusinya, yang dikuantifikasikan antara 0-1.

3) Ditentukan bobot normal (BN) masing-masing variabel dengan membagi bobot tiap variabel (BV) dengan jumlah semua bobot variabel.

4) Ditentukan nilai efektifitas (Ne) masing-masing variabel, dengan rumus : Ne = (Nilai perlakuan-Nilai terjelek) / (Nilai terbaik-Nilai terjelek). Untuk variabel dengan nilai rata-rata semakin besar semakin baik, maka rata-rata tertinggi sebagai nilai terbaik dan terendah sebagai nilai terjelek. Sebaliknya untuk


(4)

variabel dengan rata-rata semakin kecil semakin baik, maka rata-rata terendah sebagai nilai terendah sebagai nilai terbaik dan tertinggi sebagai nilai terjelek.. 5) Ditentukan nilai hasil (Nh) masing-masing variabel yang diperoleh dari

perkalian antara BN dengan Ne-nya.

6) Nh semua variabel untuk masing-masing alternatif perlakuan dijumlahkan. 7) Dipilih perlakuan terbaik, yaitu perlakuan dengan jumlah Nh tertinggi.

2.10. Analisis Finansial

Analisis finansial diperlukan agar diperoleh gambaran perhitungan biaya yang diperlukan dalam memulai suatu finansial. Selain itu dapat diperhitungkan gambaran keuntungan yang akan diperoleh, berapa lama modal akan kembali dan keuntungan yang akan diraih sejak waktu tertentu (Susanto dan Saneto,1994).

2.10.1. Biaya Tetap dan Biaya Variabel

Perhitungan analisis finansial perlu dibedakan antara biaya tetap dan biaya variable, kedua biaya ini tergolong biaya produksi (Susanto dan Saneto,1994). Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak terpengaruh oleh perubahan kegiatan perusahaan di dalam interval waktu dan kapasitas tertentu. Sedangkan biaya variable (variable cost) adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai tingkat kegiatan yang ada dalam perusahaan yang bersangkutan (Ahyari,1987).

Biaya produksi sangat diharapkan suatu perolehan pemasukan. Nilai yang diperoleh dari hasil penjualan produk dikurangi biaya produksi adalah laba kotor. Keuntungan kotor dikurangi pajak penghasilan adalah laba bersih (Susanto dan Saneto,1994).


(5)

2.10.2. Break Event Point

Menurut kadiriah (1994) analisis Break Event Point (BEP) digunakan untuk menentukan berapa jumlah produk yang harus dihasilkan agar perusahaan minimal tidak mendapatkan rugi. Analisis ini juga berguna untuk menjelaskan hubungan antara biaya, penghasilan dan volume penjualan atau produksi. Untuk menentukan BEP perlu ditentukan dahulu biaya-biaya tetap dan biaya variable untuk berbagai volume penjualan, dengan demikian jumlah kuantitas produk yang dihasilkan untuk mencapai BEP dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Q BEP =

AVC) (P

TFC  Keterangan :

P = Harga jual per unit

Q BEP = Jumlah yang dijual untuk mencapai BEP (unit pertahun) TFC = Biaya tetap total

AVC = Biaya variable per unit 2.10.3. Return On Invesment

Return on investment (ROI) adalah suatu cara menyatakan besarnya keuntungan dengan membandingkan antara besarnya laba per tahun dengan besarnya modal dan dinyatakan dalam persen per tahun. ROI dapat dihitung berdasarkan laba kotor yaitu selisih hasil penjualan dengan biaya produksi keseluruhan (belum dikurangi pajak) atau berdasarkan laba bersih yaitu laba kotor dikurangi pajak pendapatan.

ROI minimum yang dapat diterima untuk setiap macam finansial berbeda-beda tergantung dari kecilnya resiko investasi yang harus ditanggung. untuk produk tepung berdasarkan laba kotor adalah 10 persen (Susanto dan Saneto,1994).


(6)

2.10.4. Pay out time

Pay out time (POT) merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa persentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). POT harus lebih kecil dari umur ekonomis proyek. Untuk industri pengolahan pertanian diharapkan nilai tersebut lebih kecil dari 10 tahun atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun (Husnan dan Suwarsono (1999); Susanto dan Saneto (1994)).