PENGATURAN PENETAPAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) YANG BATAS WAKTU PENETAPANNYA TIDAK DITENTUKAN OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

(1)

i

SKRIPSI

PENGATURAN PENETAPAN KEPUTUSAN TATA

USAHA NEGARA (KTUN) YANG BATAS WAKTU

PENETAPANNYA TIDAK DITENTUKAN OLEH

PERATURAN PERUNDANG

UNDANGAN

GUSTI MADE TRIANTAKA NIM. 1203005025

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

PENGATURAN PENETAPAN KEPUTUSAN TATA

USAHA NEGARA (KTUN) YANG BATAS WAKTU

PENETAPANNYA TIDAK DITENTUKAN OLEH

PERATURAN PERUNDANG

UNDANGAN

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

GUSTI MADE TRIANTAKA NIM. 1203005025

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii


(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, skripsi yang berjudul “PENGATURAN PENETAPAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

(KTUN) YANG BATAS WAKTU PENETAPANNYA TIDAK

DITENTUKAN OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN” dapat penulis selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan sebagai kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat berhasil dengan baik berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Pemertintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan,


(6)

vi

pengarahan, saran, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH, Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberi arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Kadek Sarna, SH., MKn, Dosen Pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini, yang telah meluangkan banyak waktu dan telah dengan sabar memberi arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran serta petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH., MH, Dosen Pembimbing Akademik penulis yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

9. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah sangat berjasa memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

10.Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan selama duduk di bangku perkuliahan.

11.Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.

12.I Gusti Made Cakra dan Dewa Ayu Nik selaku orang tua penulis yang selalu memberikan kasih sayang, do’a, perhatian dan dukungan moril dan materiil


(7)

vii

serta pengorbanan yang tak ternilai selama penulis menempuh pendidikan dasar sampai dengan menyelesaikan studi Program Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

13.Gusti Ayu Putu Indayani, SS. dan I Gusti Made Suryanatha selaku saudara dan sepupu penulis, yang selalu memberikan do’a, dukungan dan motivasi penyemangat pada saat penulis merasa jenuh selama menempuh perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

14.I Gusti Ketut Sutama dan Ni Made Miduwati selaku paman dan bibi penulis, serta I Gusti Putu Arya Diyastama tersayang, yang telah mendo’akan dan berkenan memberikan tempat tinggal dan dukungan moril serta materiil selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

15.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Kevin Saputra Ryadi, Bayu Putra Pemayun, Ari Dwiyatmika, Putri Purnama Santhi, Agus Mega Putra, Bagus Wicaksana, Baruna, Aris, Yudi, Gung Ari, Gung Dalem, Dewi Lestari, Maria, Anti, Nitayanti, Gek In, Yeyen, Ayu Purnama, Alit, Ayu Pasek, Intan, Mitha, Tami, Ema, Gek Mas, Ayu Purwati dan Tuti serta rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini. 16.Kepada keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, terutama fungsionaris tahun kepengurusan 2013 - 2014 dan delegasi Piala Prof. Soedarto IV, Kak Juli, Kak Apdila,


(8)

viii

Kak Susi, Kak Riyani, Kak Dasri, Kak Cintia, Kak Gung Gek, Kak Elcintya, Kak Aloy, Kak Yogi, Kak Alvin, Kevin, Bayu, Arik, Gek In, Nisa, Tasya, Fachri.

17.Kepada keluarga besar Student Community for International Law (SCIL) yang telah memberikan pengalaman yang bermanfaat bagi penulis dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini dan sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bagi kemajuan ilmu hukum.

Denpasar, 1 Februari 2016


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ………... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ……… ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ……….... iv

KATA PENGANTAR ……….... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ………. ix

DAFTAR ISI ……….. x

ABSTRAK ……….. xiii

ABSTRACT……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Rumusan Masalah ………... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ……….. 11

1.4 Tujuan Penelitian ………... 11

1.5 Manfaat Penelitian ………... 12

1.6 Landasan Teoritis ……….... 13

1.7 Metode Penelitian ……… 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN PEMERINTAH, KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN), PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ……… 27

2.1 Tindakan Pemerintah ...……… 27


(11)

xi

2.3 Peradilan Tata Usaha Negara ...………... 41 2.4 Peraturan Perundang-undangan ………... 44 BAB III PENGATURAN PENETAPAN KTUN YANG BATAS

WAKTU PENETAPANNYA TIDAK DITENTUKAN

OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ……… 48 3.1 KTUN yang Batas Waktu Penetapannya Tidak Ditentukan oleh

Peraturan Perundang-undangan ………. 48 3.2 KTUN yang Batas Waktu Penetapannya Tidak Ditentukan oleh

Peraturan Perundang-undangan dalam UU PTUN ……... 55 3.3 KTUN yang Batas Waktu Penetapannya Tidak Ditentukan oleh

Peraturan Perundang-undangan dalam UU Administrasi

Pemerintahan ……….. 66

BAB IV AKIBAT SERTA UPAYA HUKUM PENYELESAIAN PERTENTANGAN NORMA ANTARA PASAL 3 AYAT (3) UU PTUN DAN PASAL 53 AYAT (2) DAN (3) UU

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN ……… 75

4.1 Pertentangan Norma antara Ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan ……….. 75 4.2 Akibat Hukum Pertentangan Norma antara Ketentuan Pasal 3

ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU

Administrasi Pemerintahan ……….... 83

4.3 Upaya Hukum Penyelesaian Pertentangan Norma antara Ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2)


(12)

xii

BAB V PENUTUP ………... 106

5.1 Simpulan ……….. 106

5.2 Saran ……… 107

DAFTAR PUSTAKA ……… 109


(13)

xiii ABSTRAK

PENGATURAN PENETAPAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) YANG BATAS WAKTU PENETAPANNYA TIDAK DITENTUKAN OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Adanya campur tangan pemerintah dalam bidang kehidupan masyarakat sehari-hari mengakibatkan bertambahnya lapangan pekerjaan pemerintah. Campur tangan pemerintah ini dilakukan melalui suatu penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Penetapan KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang berwenang dalam batas waktu yang telah ditentukan dalam peraturan undangan. Apabila peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu penetapannya, maka untuk memberikan kepastian hukum kepada badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dan masyarakat selaku pemohon, perlu adanya pengaturan mengenai penentuan batas waktu penetapannya beserta akibat hukum apabila permohonan itu tidak ditetapkan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang membahas tentang pertentangan norma dalam penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan upaya penyelesaiannya. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.

Adapun yang dapat disimpulkan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1) pengaturan penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) dan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adminsitrasi Pemerintahan). Namun terdapat perbedaan pengaturan diantara kedua Undang-Undang tersebut, yakni mengenai batas waktu penetapannya dan akibat hukum apabila permohonan tidak ditetapkan dalam batas waktu yang telah diberikan; dan 2) upaya hukum penyelesaian pertentangan norma tersebut dapat dilakukan melalui penerapan asas preferensi hukum, yaitu lex posteriori derogat legi priori

dengan menggunakan tipe penyelesaian reinterpretasi dan pembatalan praktikal sehingga norma yang diterapkan ialah norma yang terdapat dalam ketentuan UU Administrasi Pemerintahan karena merupakan Undang-Undang yang terbaru.


(14)

xiv

ABSTRACT

The interference of government in the field of sociality may resulting in increased government employment. Government intervention was done through a determination of an Administrative Decision. A determination of Administrative Decision is carried out by a body or government officials who has an authority within a limited time which determined in the legislation. If the legislation does not specify its time limit, therefore to give a legal certainty to the body or government officials and also the community as an applicant, needed a regulatory regarding the determination of time limit and its legal consequences if the application was not specified.

The type of research which used in this research is normative legal research that discusses about a conflict of norm within specify of Administrative Decision which its limit time does not specified by legislation and its settlement effort. This research is using statute approach and analytical and conceptual approach.

The conclusion of this legal research are: 1) the determination of Administrative Decision which its specify time limit does not determined by Indonesian legislation is in Act Number 5/1986 concerning Administrative Tribunal jo. Act Number 9/2004 concerning Amendment of Act Number 5/1986 concerning Administrative Tribunal jo. Act Number 51/2009 concerning Second Amendment of Act Number 5/1986 concerning Administrative Tribunal and Act Number 30/2014 concerning Government Administration. Meanwhile, there are some differences between those both acts, i.e. regarding its specify time limit and its legal consequences if the application does not determined within the time limit that has been given, and 2) the legal effort to settle this conflict of norm is able to done through the application of the principle of legal preference, that is lex posteriori derogat legi priori with using re-interpretation and practical invalidation settlement type, therefore the applied norm is the norm which contained in the Government Administrative Act as the new act.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar negara-negara modern di seluruh dunia saat ini telah menyatakan diri sebagai negara hukum. Gagasan negara hukum secara umum dapat diartikan bahwa segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara (penyelenggaraan negara) harus didasarkan atas aturan-aturan atau hukum. Sejak lahirnya hingga sekarang, gagasan negara hukum terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan dalam bentuk konsep-konsep, diantaranya konsep negara hukum liberal, konsep negara hukum formal, konsep negara hukum materiil, konsep negara hukum menurut Al-Qur’an dan Sunah, konsep negara hukum

rechtsstaat, konsep negara hukum rule of law, konsep negara hukum demokrasi (democratische rechtsstaat) dan konsep negara hukum modern atau negara hukum kesejahteraan (welvaarsstaat/welfarestate).1

Konsep negara hukum menjadi suatu kebutuhan “primer” bagi negara -negara modern untuk mencapai tujuan ketertiban dan keteraturan. Konsep -negara hukum merupakan suatu conditio sine qua non dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Pembatasan kekuasaan terhadap penguasa menjadi salah satu latar belakang mengapa konsep negara hukum itu sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Semangat membatasi kekuasaan penguasa ini semakin kuat setelah lahirnya adagium yang begitu populer dari Lord

1.Ni’matul Huda, 2012,


(16)

Acton, yakni “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”,

(manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalahgunakan).2

Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Hamid S. Attamimi, bahwa Negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat.3 Bahkan konsep negara hukum Indonesia juga tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan (welfarestate). Negara Indonesia tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan nasional negara Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, tugas pemerintah (eksekutif) tidak semata-mata hanya bergelut di bidang pemerintahan saja atau untuk menjalankan undang-undang, tetapi negara juga turut campur tangan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dalam batas-batas yang diperkenankan oleh

2.

Ridwan HR., 2014, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 5.

3.


(17)

hukum. Pemerintah juga dibebani kewajiban untuk mengupayakan kesejateraan umum (bestuurzorg) atau kesejahteraan sosial.4 E. Utrecht menambahkan bahwa sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, maka sejak itu pula lapangan pekerjaan pemerintahan makin lama makin luas.5 Bidang kehidupan tersebut yaitu bidang politik, ekonomi, sosial budaya (kehidupan keluarga, perkawinan, organisasi kemasyarakatan dan pendidikan), kehidupan beragama, dan bidang teknologi. Dengan perkataan lain, bahwa tugas pemerintah tidak hanya terbatas melaksanakan undang-undang.

Untuk melaksanakan tugas-tugas dan kewajibannya, pemerintah malakukan tindakan-tindakan yang disebut dengan tindakan pemerintah (bestuurshandeling).6 Secara teoritis, terdapat dua bentuk tindakan pemerintah, yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan fakta/nyata atau bukan berdasarkan hukum (feitelijkhandeling).7 Sebagai aktualisasi dianutnya konsep negara hukum, maka semua campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat tersebut diberikan bentuk hukum demi memberikan kepastian hukum kepada semua pihak.

Hal terpenting bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan ialah terletak pada ada atau tidaknya wewenang untuk bertindak. Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) merupakan unsur utama dalam setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Wewenang pemerintahan (bestuurbevoegdheid) bersumber pada peraturan perundang-undangan. Setiap

4.

Ibid, h. 133. 5.

Ibid, h. 15 6.

Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Edisi II, LaksBang, Yogyakarta, h. 84.

7. Ibid.


(18)

penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yakni keabsahan tindakan pemerintah berdasarkan atas wewenang atau kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau asas legalitas (legalitiet beginsel). Asas legalitas sangat erat kaitannya dengan gagasan negara hukum, terutama konsep negara hukum rechtstaat yang dianut oleh negara-negara sistem Eropa Kontinental (civil law system). Asas legalitas dalam Hukum Administrasi Negara mengandung makna bahwa pemerintah tunduk pada undang-undang, dan semua yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang.8 Secara lebih sederhana dapat dipahami bahwa setiap tindakan pemerintah harus mempunyai dasar hukum sebagai landasan wewenang bertindak yakni berdasarkan pada peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur).

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, tindakan pemerintah yang paling banyak digunakan dalam hal pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan ini adalah dalam bentuk penetapan9 atau Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking).10 Menurut H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking

merupakan keputusan pemerintahan yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu dijadikan instrumen yuridis pemerintahan yang utama.11 Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) merupakan tindakan pemerintah yang bersifat sepihak atau bersegi satu dalam

8.

Ridwan HR, op.cit, h. 82. 9.

S. Prajudi Atmosudirdjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cet. X, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 94.

10.

Sadjijono, op.cit, h. 90. 11.

Ridwan HR., op.cit, h. 141, dikutip dari H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1995, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, s’Gravenhage, h. 202.


(19)

ranah hukum publik (eenzijdige publiekrechtelijke handeling).12 KTUN merupakan salah satu instrumen yuridis dari tindakan pemerintah yang memiliki konsekuensi menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Akibat hukum yang dimaksud yang lahir dari suatu KTUN adalah muncul dan lenyapnya hak, kewajiban, dan kewenangan atau status tertentu.

Penerbitan KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya untuk menjalankan fungsi pemerintahan (eksekutif). Hal senada juga dikemukakan oleh W.B Lane dan Simon Young bahwa, “Essentially however, decision of government bodies and officials exercising statutory power in pursuit of executive function of government”.13 Dalam praktik pemerintahan di Indonesia bentuk Keputusan Tata Usaha Negara sangat beraneka ragam, misalnya sertifikat hak milik atas tanah, surat keputusan pengangkatan atau pemberhentian pegawai, surat perintah pembongkaran bangunan, penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin usaha perdagangan (SIUP), dan sebagainya.14 Oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menganggapnya (beschikking) sebagai konsep inti dari Hukum Administrasi Negara (een kernbegrip in het administratief recht).15 Sebagian besar bidang kehidupan masyarakat telah diatur oleh pemerintah melalui penetapan KTUN.

12.

Sadjijono, op.cit, h. 86. 13.

W. B Lane dan Simon Young, 2007, Administrative Law in Australia, Lawbook Co., New South Wales, h. 73.

14.

Philipus M. Hadjon et. al., 2011, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cet. XI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 125.

15.

Ridwan HR., op.cit, h. 141, dikutip dari F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, 1985, Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, h. 17.


(20)

Sejalan dengan pendapat H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dan pendapat F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, bahwa KTUN memegang peranan yang sangat vital dalam lalu lintas penyelenggaran pemerintahan untuk mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara pemerintah (penguasa) dan masyarakat (warga negara) dalam bingkai Hukum Administrasi Negara (hukum publik), terutama ketika menghadapi peristiwa konkret dan bersifat individual. KTUN digunakan untuk melengkapi keterbatasan dari undang-undang (regeling)

yang tidak mampu menjangkau pengaturan sampai pada peristiwa konkret dan individual yang disebabkan karena perubahan dan kebutuhan masyarakat yang begitu cepat.

Sejarah mencatat bahwa pembentukan hukum sebelumnya dilakukan melalui suatu kodifikasi. A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa untuk menghadapi perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat, sudah bukan saatnya untuk membentuk hukum melalui kodifikasi sebab hal ini menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan bukan tidak mungkin selalu ketinggalan zaman.16 Maka dari itu dibentuklah hukum dalam bentuk undang-undang yang notabene mekanisme pembentukannya lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan bentuk kodifikasi.

Secara prinsip, undang-undang merupakan produk hukum yang bersifat pengaturan (regeling) dan memiliki norma yang bersifat umum-abstrak (algemeen-abstract). Sehingga, ketika menghadapi peristiwa konkret, norma yang

16.

Maria Farida Indrati S., 2013, Ilmu Perundang – undangan 1 (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet. XVI, Kasinius, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Maria I), h. 3, dikutip

dari A. Hamid S. Attamimi, “Kodifikasi Sebabkan Hukum Selalu Berjalan di Belakang”, Kompas, 17 Februari 1988, h. XII.


(21)

bersifat umum-abstrak tersebut membutuhkan istrumen yuridis yang bersifat individual-konkret (individueel-concreet). 17 Oleh karena itulah diperlukan produk hukum dalam bentuk KTUN untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan peristiwa yang bersifat konkret dan individual tersebut.

Seiring dengan adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mengakibatkan masyarakat semakin lama semakin sangat tergantung dengan keberadaan KTUN tersebut. Mengingat pendapat dari E. Utrecht, maka semakin lama semakin luas lapangan pekerjaan pemerintahan yang berakibat semakin banyak pula urusan yang diikat oleh suatu persetujuan pemerintah melalui penetapan KTUN.

Penetapan suatu KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dalam jangka waktu atau batas waktu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Adanya penentuan batas waktu secara normatif ini bertujuan untuk memberikan kepastian kepada semua pihak, baik pemohon maupun badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang bersangkutan. Pemohon yang merasa kepentingannya dirugikan atas dikeluarkannya suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang agar KTUN yang disengketakan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah sesuai dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

17.


(22)

Tata Usaha Negara dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN).

Badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang tidak menetapakan KTUN yang dimohon sedangkan batas waktu penetapan sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan telah lewat, berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU PTUN, maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang berwenang dianggap menolak menetapkan permohonan KTUN yang dimaksud. Badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang menolak menetapkan KTUN disamakan dengan suatu KTUN (Pasal 3 ayat (1) UU PTUN).

Sedangkan dalam hal peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu penetapan, Pasal 3 ayat (3) UU PTUN menyebutkan bahwa : “Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN mengandung arti, bahwa apabila peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu penetapan, maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) memilki batas waktu selama 4 bulan sejak diterimanya permohonan untuk menetapkan KTUN yang dimohon. Namun, apabila telah lewat waktu 4 bulan tidak juga menetapkan KTUN yang dimohon maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha


(23)

Negara) yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan terhadap permohonan KTUN tersebut. Dalam berbagai literatur, KTUN sebagaimana diuraikan di atas disebut sebagai KTUN “fiktif negatif”.

Namun, ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN tersebut tampaknya kontradiktif dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan). Dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa:

Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa: “Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.

Ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan mengandung arti bahwa jika peraturan perundang – perundang tidak menetapakan batas waktu penetapan suatu KTUN, maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dalam jangka waktu atau batas waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap wajib menetapakan KTUN yang dimohon. Namun, apabila telah lewat waktu 10 hari kerja tidak juga menetapkan KTUN yang dimohon maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata


(24)

Usaha Negara) yang bersangkutan dianggap mengabulkan permohonan penetapan KTUN yang diajukan oleh pemohon (fiktif-positif).

Dengan demikian keberadaan kententuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan menunjukkan bahwa telah terjadi pertentangan norma atau norma yang konflik (conflict of norm, geschijld van normen) antara kedua undang-undang tersebut. Pertentangan norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan keragu-raguan dalam penerapannya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas disertai dengan alasan-alasan yang ada, maka penulisan skripsi ini mengambil judul “Pengaturan Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang Batas Waktu Penetapannya Tidak Ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, penulis mengangkat beberapa permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia?

2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan?


(25)

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah perlu ditentukan secara tegas batasan materi yang dibahas dalam tulisan agar pembahasan yang diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan. Hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan. Adapun ruang lingkup masalah atau pembatasan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia, dalam hal ini dibatasi pada tataran undang-undang (dalam arti formal).

2. Kedua akan dibahas mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum administrasi negara dan juga terkait penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia melalui penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).


(26)

b. Tujuan Khusus

Terdapat beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan hukum ini, yakni:

1. Untuk mengetahui pengaturan terkait penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perudang-undangan dalam hukum positif Indonesia.

2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan.

1.5 Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum administrasi negara, khususnya pemahaman mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik agar antara peraturan perundangan-undangan yang satu dengan yang lainnya tidak saling bertentangan (conflict of norm, geschijld van normen), terdapat kekosongan norma (vacuum of norm, leemeten van normen) bahkan juga terjadi norma yang tumpang tindih sehingga menimbulkan kekaburan norma (vague van normen) yang dalam penerapannya dapat menimbulkan berbagai interpretasi.


(27)

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi konkret kepada pihak-pihak terkait penetapan suatu KTUN terutama bagi badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya terkait penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat terkait pengajuan permohonan penetapan KTUN. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang nantinya agar dapat membentuk undang-undang yang baik, sitematis dan tidak menimbulkan berbagai interpretasi.

1.6 Landasan Teoritis a. Konsep Wewenang

Wewenang menurut S.F. Marbun mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.18 Sedangkan menurut H.D. Stout yang dikutip oleh Ridwan H.R., wewenang adalah “het geheel van rechten en plichten dat hetzij explixiet door de wetgever aan publiekrechtelijke rechtssubjecten is toegekend”

(keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit diberikan oleh pembuat

18.

Sadjijono, op. cit, h. 57 dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, h. 154-155


(28)

undang-undang kepada subjek hukum publik). 19 Wewenang (bevoegheid) merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintah baru dapat melaksanakan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Wewenang menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindak pemerintahan. Kebasahan tindakan pemerintah didasarkan pada wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau wewenang yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan (legalitiet beginsel).20

Wewenang (bevoegheid) merupakan dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Sedangkan dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat bagi pemerintah ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) yang berkaitan dengan kedudukan pemerintah sebagai subyek hukum (badan hukum).21

Dalam berbagai kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni :

a) Wewenang pemerintahan bersifat terikat, berarti bahwa wewenang harus sesuai dengan peraturan dasarnya yang menentukan waktu dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan, termasuk ketentuan isi dan keputusan yang harus diambil, dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat;

b) Wewenang pemerintahan yang bersifat fakultatif, berarti bahwa wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan tidak wajib atau tidak ada keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut atau sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal-hal dan keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya; c) Wewenang pemerintahan yang bersifat bebas, berarti bahwa wewenang

yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat

19.

Ridwan H.R. op. cit, h. 98. 20.

Sadjijono, op. cit, h. 56. 21.


(29)

menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari suatu keputusan yang akan dikeluarkannya karena peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenang tersebut atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. 22

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge dalam wewenang yang bersifat bebas ini dibagi dalam dua kategori, yakni:

kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid). Kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) yakni apabila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan namun organ pemerintahan tersebut bebas untuk (tidak) menggunakan wewenang yang diberikan tersebut meskipun syarat-syarat penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi yang tidak sesungguhnya ada), yakni wewenang menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi penggunaanya secara sah telah dipenuhi. 23

Beranjak dari penjelasan tersebut di atas, Philipus M. Hadjon kemudian menyimpulkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi, yakni:24

1) kewenangan untuk memutus secara mandiri;

2) kewenangan interpretasi terhadap norma yang kabur (vague norm).

Secara teoritis terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni atribusi, delegasi dan mandat. Wewenang atribusi adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan

22.

Ridwan H.R., op. cit, h. 107. 23.

Sadjijono, op. cit, h. 60-61, dikutip dari Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (wet-en rechtmatigheid van bestuur), makalah tidak dipublikasikan, h. 4-5.

24.


(30)

perundang-undangan. Wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.25 Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi merupakan pelimpahan dari wewenang atribusi yang diberikan oleh pemberi wewenang (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris). Setelah terjadi pelimpahan maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan bersifat tidak dapat ditarik kembali oleh delegans.26 Wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahannya. Setelah terjadi pelimpahan kepada penerima mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat (mandans) dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan kembali oleh mandans.27

Ketiga cara dalam memperoleh wewenang ini sangat penting untuk diketahui oleh setiap badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) sebelum melakukan tindakan atau mengeluarkan keputusan. Ketiga jenis wewenang tersebut berkaitan dengan pertanggungjawaban apabila kelak timbul sengketa yang disebabkan oleh tindakan atau keputusan dari badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara).

b. Konsep Keputusan Tata Usaha Negara

Pada asasnya semua keputusan (pemerintahan) diambil atas dasar permintaan melalui permohonan tertulis baik dilakukan oleh orang perseorangan (naturlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon). Keputusan tanpa

25.

Sadjijono, op. cit, h. 66. 26.

Sadjijono, loc.cit. 27.


(31)

adanya (surat) permintaan adalah batal karena hukum.28 Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu keputusan pemerintahan yang diambil atas dasar permintaan.

Menurut S. Prajudi Atmosudirjo, keputusan-keputusan tersebut terikat kepada tiga asas hukum, yakni :

1) asas yuridikitas (rechtmatigheid), artinya, keputusan pemeritahan maupun administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad);

2) asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil berdasarkan suatu ketentuan undang-undang;

3) asas diskresi (discretie, freies ermessen), artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya”, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas. Ada dua macam diskresi, yaitu: “diskresi bebas” bilamana undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan “diskresi terikat” bilamana udang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat administrasi dianggap paling dekat.29

Keputusan yang diambil dalam suatu penetapan KTUN dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Bersifat positif artinya permohonan penetapan KTUN tersebut dikabulkan, sedangkan bersifat negatif artinya permohanan penetapan KTUN tersebut ditolak. Pemohon yang permohonannya ditolak dapat mengajukan kembali permohonannya setelah memperbaikai atau menyempurnakan (substansi dan syarat) permohonannya itu.

c. Teori Tujuan Hukum

Menurut E. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu,

28.

S. Prajudi Atmosudirjo, op.cit, h.89. 29.


(32)

pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh penguasa itu.30 Ada hukum yang bersifat mengatur (fakultatif, aanvuilend recht) dan bersifat memaksa (imperative, dwingend recht).31

Adapun tujuan hukum menurut para sarjana diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Menurut Subekti, tujuan hukum adalah untuk mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya adalah untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.

2) Menurut L.J. van Apeldoorn, tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.

3) Menurut teori etis, hukum bertujuan semata-mata menghedaki keadilan. 4) Menurut Geny, hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai

keadilan. Dan sebagai unsur daripada keadilan disebutkannya “kepentingan daya guna dan kemanfaatan”.

5) Menurut teori utilities (Bentham), hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. 32

Sarjana lain juga memberikan pandangan mengenai tujuan hukum itu, diantaranya :

1) Menrut J. van Kant, hukum bertujuan untuk menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu. 2) Menurut Soedjono Dirdjosisworo, tujuan hukum adalah melindungi individu dalam hubungannya dengan masyarakat, sehingga dengan demikian dapat diharapkan terwujudnya keadaan aman, tertib, dan adil. 3) Menurut Roscoe Pound, hukum bertujuan untuk merekayasa

masyarakat (law as tool of social engineering). 33

Secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan hukum itu ialah untuk memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.

30.

Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 3. 31.

Ibid, h. 36. 32.

J.B. Daliyo, et. al., 1994, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40.

33.

C.S.T. Kansil, 1991, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 40-44.


(33)

d. Asas Preferensi Hukum

Asas preferensi hukum merupakan asas yang berlaku dalam perundang-undangan. Adapun asas-asas preferensi hukum tersebut yaitu: 34

1) Asas lex superior derogat legi inferiori, artinya undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang lebih rendah;

2) Asas lex specialis derogat legi generali, artinya undang-undang yang bersifat khusus mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang bersifat umum;

3) Asas lex posteriori derogat legi priori, artinya undang-undang yang baru mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang lama.

e. Tipe Penyelesaian Konflik Norma

Peraturan perundang-undangan memuat berbagai ketentuan norma hukum di dalamnya. Seringkali terdapat pertentangan antara norma hukum yang satu dengan norma hukum yang lainnya, baik pertentangan norma diantara peraturan perundang-undangan (pertentangan vertikal dan pertentangan horizontal) maupun pertentangan norma dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Maka perlu ditetapkan norma yang mana yang harus diterapkan. Langkah yang ditempuh adalah melalui penyelesaian konflik norma atau pertentangan norma.

Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, terdapat beberapa tipe penyelsaian konflik norma atau pertentangan norma berkaitan dengan penerapan asas preferensi hukum, yaitu :

34.

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 187.


(34)

1) Pengingkaran (disavowal)

Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan mempertahankan bahwa tidak terjadi konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis atau konflik logika diintepretasi sebagai pragmatis. Tipe ini beranggapan bahwa tidak terdapat konflik norma, meskipun dirasakan bahwa sesungguhnya terdapat konflik norma.

2) Reinterpretasi (reinterpretation)

Dalam kaitan penerapan ketiga asas preferensi hukum harus dibedakan, yang pertama adalah reinterpretasi yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi hukum, menginterpretasi kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua yakni menginterpretasi norma preferensi, dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan menyampingkan norma yang lain.

3) Pembatalan (invalidation)

Terdapat 2 macam pembatalan, yakni pembatalan abstrak formal dan pembatalan praktikal. Pembatalan abstrak dan formal yaitu pembatalan suatu norma yang dilaksnakan oleh suatu lembaga khusus, misalnya pembatalan Peraturan Pemerintah ke bawah (dalam hierarki peraturan perundang-undangan) dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan pembatalan norma Undang-Undang (terhadap UUD NRI Tahun 1945) dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatalan praktikal yaitu pembatalan suatu norma dengan cara tidak melaksanakan norma tersebut di dalam kasus konkrit.

4) Pemulihan (remedy)

Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan suatu ketentuan. Misalnya dalam hal suatu norma yang unggul dalam arti overruled norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, maka dengan cara memberikan kompensasi. 35

1.7 Metode Penelitian

Skripsi merupakan salah satu karya ilmiah yang penulisannya didasarkan pada metodelogi penelitian ilmiah dan menggunakan jenis-jenis pendekatan tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

35.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi Hukum, cet. V, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 31-32.


(35)

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem hukum mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji memberikan pendapat penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.37 Perlunya penelitian normatif dilakukan dalam penulisan ini beranjak dari adanya pertentangan norma atau norma yang konflik (conflict of norm,geschijld van normen) antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keragu-raguan dalam penerapannya.

b. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan yang dikembangkan, antara lain: 38

1. Pendekatan Kasus (the case approach),

2. Pendekatan Perundang-undangan (the statutory approach),

36.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34.

37.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Ed. I, Cet. XII, PT. Rajawali Pers, Jakarta. h. 12.

38.

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 75.


(36)

3. Pendekatan Fakta (the fact approach),

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual approach),

5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach), 6. Pendekatan Sejarah (historical approach),

7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

Penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statutory approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach) digunakan untuk menelaah aturan hukum terkait penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta akibat hukumnya. Sedangkan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep yang diterapkan dalam menyelesaikan pertentangan norma yang terjadi.

c. Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan sumber-sumber penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini yakni:

1) Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat


(37)

mengikat.39 Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini adalah :

- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344).

- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380).

- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958).

39.


(38)

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601).

- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapat Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1268).

2) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan


(39)

dengan permasalahan penelitian.40 Selain itu, bahan hukum yang diperoleh melalui internet juga termasuk sebagai bahan hukum sekunder dengan mencantumkan alamat situsnya.

3) Sumber bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum serta ensiklopedia hukum.41 Bahan hukum tertier digunakan untuk melengkapi dan memberikan penjelasan terkait bahan hukum primer dan sekunder yang dirasa masih kurang jelas.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik kepustakaan atau studi dokumen (study document). Penelusuran bahan hukum dilakukan melalui proses membaca, mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara sistematis sesuai dengan permasalahan penelitian.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu: 42

40.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta h. 141.

41.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 119.

42.


(40)

1) Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum maupun non-hukum. Teknik deskripsi digunakan untuk menganalisis dan menggambarkan kondisi pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan.

2) Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran hukum. Teknik argumentasi digunakan dalam penulisan ini untuk menganalisis kondisi pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan dan menemukan penyelesainnya berdasarkan pada teori-teori yang terkait melalui bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.


(41)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN PEMERINTAH, KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN), PERADILAN TATA

USAHA NEGARA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

2.1 Tindakan Pemerintah

2.1.1 Pengertian Tindakan Pemerintah

Pemerintah melakukan berbagai tindakan untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan yang disebut dengan tindakan pemerintah (bestuurshandeling, jamak = bestuurshandelingen). Tindakan pemerintah adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie).1 Dalam negara hukum modern (welfarestate), pemerintah memiliki tugas yang lebih luas daripada hanya menjalankan undang-undang sebab lapangan pekerjaan pemerintah meliputi tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurszorg).

Terdapat dua pengertian mengenai pemerintahan, yaitu pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Menurut Teori Trias Politica (teori pemisahan kekuasaan) dari Montesquieu, pemerintahan dalam arti luas terdiri atas tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.2

1.

Sadjijono, op. cit, h. 84. 2.

E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. IV, Ichtiar, Jakarta, h 16.


(42)

Pengertian pemerintahan dalam arti luas juga dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya :

a) Menurut C. van Vollenhoven, pemerintahan dalam arti luas dibagi dalam empat fungsi atau kekuasaan (catur praja) yaitu pemerintahan dalam arti sempit (berstuur), polisi (politie), peradilan (rechtspraak) dan membuat peraturan (regeling, wetgeving).

b) Menurut Lemaire, pemerintahan dalam arti luas dibagi dalam lima fungsi atau kekuasaan (panca praja) yaitu penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurszorg), pemerintahan dalam arti sempit, polisi, peradilan dan membuat peraturan.

c) Menurut A.M. Donner, pemerintahan dalam arti luas dibagi dalam dua tingkatan atau kekuasaan (dwi praja), yaitu alat-alat pemerintahan yang menentukan haluan (politik) negara (taaksteling) dan alat-alat pemerintahan yang menjalankan politik negara yag telah ditentukan (verwekenlijking van de taak).3

Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti sempit yaitu hanya meliputi kekuasaan melaksanaan undang-undang (eksekutif, bestuur, bestuurszorg) atau tidak termasuk kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) dan menegakkan undang-undang (yudikatif) serta fungsi kepolisian. Pengertian pemerintahan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pengertian pemerintahan dalam arti sempit.

2.1.2 Bentuk-Bentuk Tindakan Pemerintah

Terdapat dua bentuk tindakan pemerintah (bestuurshandeling) yang dilakukan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan, yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan fakta/bukan berdasarkan hukum (feitelijkehandeling).4 E. Utrecht mengartikan “bestuurshandeling” dengan “perbuatan pemerintah” serta menyebutkan dua

3.

Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, 1983, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara Jilid 1, Penerbit Alumni, Bandung, h. 40-41.

4.


(43)

bentuk tindakan pemerintah ini (rechtshandeling dan feitelijkehandeling) sebagai dua golongan besar perbuatan pemerintah.5

1) Tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling)

Menurut R.J.H.M. Huisman (sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R), tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum tertentu. 6 Tindakan berdasarkan hukum dari pemerintah berarti tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang menimbulkan akibat hukum tertentu berupa hak dan kewajiban, seperti tercipta atau hapusnya hak dan kewajiban tertentu. Menurut H.D. van Wijk/Williem Konijnenbelt (sebagaimana dikutip oleh Sadjijono), akibat hukum tindakan pemerintah tersebut dapat berupa :

a. menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau kewenangan yang ada;

b. menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau obyek yang ada;

c. terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan ataupun status tertentu yang ditetapkan. 7

Ada dua bentuk tindakan hukum pemerintah, yaitu tindakan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik (publiekrechttelijke handeling) dan tindakan hukum pemerintah berdasarkan hukum privat (privatrechttelijke handeling). Dua bentuk tindakan hukum pemerintah ini berkaitan dengan kedudukan pemerintah sebagai institusi pemegang jabatan pemerintahan (ambtsdrager) dan sebagai badan hukum. Perbedaan antara tindakan hukum

5.

E. Utrecht, op.cit, h. 62-63. 6.

Ridwan H.R., op. cit, h. 109-110. 7.


(44)

publik dan tindakan hukum privat akan melahirkan akibat hukum yang berbeda pula.

Tindakan hukum publik (publiekrechtshandeling) berarti bahwa tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah didasarkan pada hukum publik dalam kedudukannya sebagai pemegang jabatan pemerintahan yang dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula. 8 Tindakan hukum publik dibagi menjadi dua bentuk, yakni tindakan hukum publik bersifat sepihak (eenzijdig publiekrechttelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersifat berbagai pihak, yakni dua atau lebih (meerzijdik publiekrechttelijke handeling) atau menurut E. Utrecht disebut dengan tindakan hukum publik bersegi satu (eenzijdige publiekrechttelijke handeling) dan tindakan hukum publik bersegi dua (tweenzijdige publiekrechttelijke handeling).9

Dikatakan sebagai tindakan hukum publik bersegi satu (bersifat sepihak) karena alat-alat perlengkapan pemerintah memiliki kekuasaan istimewa dalam melakukan atau tidak melakukan tindakan tergantung kehendak sepihak dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian. Olek karena merupakan suatu pernyataan kehendak secara sepihak dari organ pemerintahan, maka tindakan hukum pemerintah yang bersegi satu ini tidak boleh mengandung unsur kecacatan seperti

8.

Sadjijono, op. cit, h. 86. 9.


(45)

kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang) serta hal-hal lain yang menimbulkan akibat hukum tidak sah.10 Tindakan hukum publik yang bersifat sepihak (bersegi satu) ini disebut dengan ”beschikking” atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan istilah “keputusan” atau “ketetapan”.11

Selain itu, dikatakan sebagai tindakan hukum publik bersegi dua (berbagai pihak) karena terdapat persesuaian kehendak (wilsovereenkomst) antara dua pihak atau lebih (pemerintah dan pihak lain) yang diatur dalam suatu ketentuan hukum publik.12 Contoh tindakan hukum publik bersegi dua adalah “kortverband contract” (perjanjian kerja yang berlaku selama jangka pendek) antara swasta dengan pemerintah. 13

Sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yang didasarkan pada hukum privat dalam kedudukannya sebagai badan hukum dan bukan tugas untuk kepentingan umum sehingga tindakannya didasarkan pada ketentuan hukum privat.14 Tindakan pemerintah dalam hukum privat misalnya jual beli tanah dan jual beli barang yang dilakukan pemerintah dalam hubungan hukum perdata.

2) Tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling)

Tindakan berdasarkan fakta adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat

10.

Ridwan H.R, op. cit, h. 111. 11.

Sadjijono, op. cit, h 87. 12.

Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, op. cit, h. 45-46. 13.

Sadjijono, loc. cit. 14.


(46)

hukum.15 Menurut Kuntjoro Probopranoto, tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling) ini tidak relevan, karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kewenangannya.16 Tindakan berdasarkan fakta yang dilakukan oleh pemerintah misalnya tindakan meresmikan gedung-gedung, monumen dan menyelenggarakan upacara-upacara serta kegiatan lainnya yang tidak menimbulkan akibat hukum.

2.1.3 Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintah

Menurut E. Utrecht tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan pemerintah yang terpenting dalam hal pelaksanaan tugas pemerintahan.17 Adapun unsur-unsur tindakan hukum pemerintah yakni :

a. tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahaan (bestuursorgan);

b. tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie);

c. tindakan dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen) di bidang hukum administrasi;

d. tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan umum;

e. tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah; f.

tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum.18

Sedangkan menurut Ridwan H. R. (sebagaimana mengutip pendapat Muchsan) menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintah adalah sebagai berikut:

15.

Ridwan H.R., op. cit, h. 109. 16.

Sadjijono, op. cit, h. 84. 17.

E. Utrecht, op. cit, h. 63. 18.


(47)

a. perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgan) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;

b. perbuatan tersebut dilaksnakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;

c. perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang Hukum Administrasi Negara;

d. perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat;

e. perbuatan hukum administrasi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (mengedepankan asas legalitas atau wetmatigheid van bestuur). 19

Perlunya asas legalitas dalam setiap tindakan hukum pemerintah mengingat bahwa wewenang sebagai dasar pemerintah dalam melakukan berbagai tindakan bersumber pada peraturan perundang-undangan.

2.1.4 Alat Ukur Keabsahan Tindakan Pemerintah

Asas legalitas menjadi unsur utama dalam setiap tindakan pemerintah. Asas legalitas bermakna bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila tindakan pemerintah dilakukan tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan maka tindakan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang (wilekeur) atau penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang berakibat cacat yuridis pada tindakan hukum yang dilakukan.20 Untuk mengukur keabsahan tindakan pemerintah dapat menggunakan dua alat ukur, yaitu peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).21 Peraturan perundang-undangan berkaitan dengan dasar hukum

19.

Ridwan H.R., op. cit, h. 112-113. 20.

Sadjijono, op. cit, h. 107. 21.


(48)

yang memberi wewenang bagi pemerintah untuk bertindak (legitimasi pemerintah), sedangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik berkaitan dengan dasar-dasar dan pedoman bertindak bagi pemerintah diluar aturan yang bersifat normatif. Asas-asas umum pemeritahan yang baik dijadikan sebagai penilaian terhadap moralitas setiap tindakan pemerintah.

2.2 Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) 2.2.1 Pengertian KTUN

Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) merupakan tindakan hukum publik pemerintah yang bersegi satu atau bersifat sepihak (eenzijdigepubliekrechtelijke handeling). Istilah Keputusan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh Otto Meyer dengan istilah “verwaltungsakt

(Jerman). Istilah ini diperkenalkan di Belanda oleh C.W. van der Pot dan C. van Vollenhoven dengan istilah “beschikking” dan di Perancis dikenal dengan istilah ”acte administratif”. Istilah “beschikking” diperkenalkan di Indonesia

oleh WF. Prins dan diterjemahkan dengan istilah “ketetapan” (E. Utrecht, Bagir Manan), “penetapan” (Prajudi Amtosudirjo), dan “keputusan” (WF. Prins, Philipus M. Hadjon).22

Menurut van der Pot (sebagaimana dikutip oleh Djenal Hoesen Koesoemahatmaja), beschikking merupakan tindakan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan, pernyataan kehendak mereka dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mangadakan perubahan dalam lapangan hubungan

22.


(49)

hukum.23 Oleh E. Utrecht, beschikking diartikan sebagai perbuatan hukum publik (yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa).24

Bedasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Sedangkan, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyatakan bahwa:

Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dari pemaparan beberapa pengertian mengenai KTUN di atas, dapat disimpulkan bahwa KTUN merupakan tindakan hukum publik bersegi satu (sepihak) yang dilakukan oleh pemerintah, melalui alat-alat perlengkapan pemerintahan (badan atau pejabat Tata Usaha Negara), yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara (sebagai bentuk pernyataan kehendak), berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual

23.

Djenal Hoesen Koesoemahatmaja, op. cit, h. 47. 24.


(50)

dan final, serta menimbulkan akibat hukum tertentu (dalam bidang administrasi) bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dari rumusan kedua undang-undang tersebut di atas terlihat bahwa pengertian KTUN pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sedikit berbeda dan cenderung lebih luas dibandingkan dengan rumusan pengertian KTUN yang ada pada Pasal 1 angka 9 UU PTUN. Dalam skripsi ini tidak akan dijelaskan lebih mendalam mengenai perbedaan rumusan pengertian KTUN antara kedua undang-undang tersebut karena yang akan dibahas dalam skripsi ini berkaitan dengan penetapan suatu KTUN yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut. 2.2.2 Unsur-Unsur KTUN

Berdasarkan pada definisi yang dikemukakan para sarjana, maka dapat dirumuskan unsur-unsur dari KTUN (beschikking), yakni :

a. pernyataan kehendak yang bersifat sepihak (bersegi satu); b. dikeluarkan oleh organ pemerintahan;

c. berdasarkan pada norma wewenang yang diatur dalam hukum publik (peraturan perundang-undangan);

d. ditujukan untuk hal-hal yang bersifat khusus atau peristiwa konkret dan individual;

e. dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang administrasi.25

Sedangkan, berdasarkan pada definisi yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara meliputi:

a.penetapan tertulis;

25.


(51)

b.dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara; c.berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d.bersifat konkret, individual dan final;

e.menimbulkan akibat hukum; dan

f. ditujukan bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Unsur-unsur KTUN berdasarkan ketentuan Pasal 1 angkat 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu:

a.ketetapan tertulis;

b.dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; dan c.yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. 2.2.3 Syarat Sah KTUN

Suatu KTUN yang sah akan dengan sendirinya memiliki kekuatan hukum, baik kekuatan hukum formal maupun kekuatan hukum materiil. Hal ini kemudian melahirkan prinsip praduga rechtmatig (presumption iustitae causa) yaitu setiap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pemerintah dianggap sah menurut hukum sampai terbukti sebaliknya melalui suatu pembatalan dari pengadilan.26

Menurut van der Pot, terdapat empat syarat yang harus dipenuhi agar suatu Keputusan Tata Usaha Negara berlaku sebagai ketetapan (keputusan) yang sah, yaitu :

a. ketetapan harus dibuat oleh alat pemerintahan (organ) yang berwenang (bevoegd);

26.


(52)

b. pembentukan kehendak alat pemerintahan yang membuat ketetapan tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming);

c. ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara (procedure) membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut;

d. isi dan tujuan ketetapan itu, harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.27

Sedangkan menurut Kuntjoro Purbopranoto (sebagaimana dikutip oleh Sadjijono), ada dua syarat yang harus dipenuhi agar Keputusan Tata Usaha Negara yang dibuat oleh pemerintah menjadi keputusan yang sah. Kedua syarat tersebut yakni :

a.syarat materiil, meliputi :

1) alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang (berhak);

2) dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen yuridiche gebreken in de welsvorming);

3) keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan bilamana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig); 4) isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang

hendak dicapai (doelmatig). b.syarat formil, meliputi :

1) syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;

2) harus diberi bentuk yang telah ditentukan;

3) syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;

4) jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan;

5) ditandatangani oleh pejabat pemerintahan yang berwenang membuat keputusan.28

27.

Djenal Hoesen Koesoemahatmaja, op. cit, h. 28.


(53)

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga diatur mengenai syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yakni diatur dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:

a.ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b.dibuat sesuai dengan prosedur; dan

c.substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa sahnya KTUN juga didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak memenuhi syarat tersebut di atas, maka akan menimbulkan kekurangan dan dapat mengakibatkan keputusan itu dianggap batal sama sekali atau pemberlakuannya dapat digugat.

2.2.4 Macam-Macam KTUN

Secara teoritis dikenal beberapa jenis atau macam-macam KTUN, yaitu sebagai berikut: 29

1) Keputusan Deklaratoir dan Keputusan Konstitutif

Keputusan deklaratoir adalah keputusan yang tidak mengubah hak dan kewajiban yang telah ada, tetapi sekadar menyatakan kembali hak dan kewajiban tersebut atau suatu hubungan hukum. Sedangkan keputusan konstitutif adalah keputusan yang melahirkan atau menghapuskan suatu

29.


(1)

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pemerintah, mengingat amat luasnya lapangan pekerjaan pemerintah.

2.3.2 Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

Kompetensi suatu lembaga peradilan berkaitan dengan kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan mengadili atau menyelesaikan suatu perkara. Kompetensi suatu lembaga peradilan dibedakan menjadi dua macam, yakni kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Kompetensi absolut peradilan berhubungan dengan kewenangan suatu lembaga peradilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok perkaranya. Kompetensi absolut berkaitan dengan lingkungan peradilan apa yang berwenang mengadili suatu perkara, yakni lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer atau lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan kompetensi relatif peradilan berhubungan dengan kewenangan suatu lembaga peradilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah atau daerah hukumnya (yurisdiksi pengadilan). Kompetensi relatif berkaitan dengan pengadilan mana yang berwenang mengadili suatu perkara dalam satu lingkungan peradilan.32

Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa, “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.” Jadi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara

32.


(2)

adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sedangkan kompetensi relatif dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah berkaitan dengan kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara menurut kedudukan dari Pengadilan Tata Usaha Negara yang dibedakan berdasarkan daerah-daerah hukum, yakni meliputi wilayah tertentu sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan bahwa:

(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.

(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota provinsi, dan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

Sebagaimana halnya pada lingkungan peradilan lainnya di Indonesia, pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara juga memiliki kompetensi berdasarkan tingkatan peradilan yang dilaksanakan oleh suatu kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan tingkat banding serta oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tingkat kasasi.

2.4 Peraturan Perundang-undangan

2.4.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Peraturan Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan menjadi landasan dalam setiap penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.


(3)

Pembentukan setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU PPP) yang menggantikan keberadaan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PPP menyatakan bahwa,

Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.” Menurut Van Der Tak,

peraturan perundang-undangan adalah kaidah tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat umum. 33

Menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental (civil law system) yang dimaksud peraturan perundang-undangan (wet in materiele zin) mengandung tiga unsur, yaitu:

1. norma hukum (rechtsnorm)

Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming) dan pembebasan (vrijstelling).

2. berlaku ke luar (naar buiten werken)

Ru iter berpedapat bahwa, di dalam peraturan perundang-undangan terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesamanya, maupun antara rakyat dengan pemerintah. Norma yang mengatur bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang

33.

Aziz Syamsuddin, 2013, Proses Dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 19.


(4)

sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut

“berlaku ke luar”.

3. bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)

Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari

adresat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada “Setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak

(abstract) dan yang konkret (concreet) jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu. 34

Dalam konsep peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dimaksud sebagai peraturan perundang-undangan adalah segala peraturan tertulis yang mempunyai norma bersifat umum (algemeen) dan abstrak (abstract) yang dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang.

2.4.2 Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Norma hukum dalam suatu negara adalah berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), sebagaiamana yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori penjenjangan norma hukum (stufentheorie) dan oleh muridnya Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine Rechtslehre”.35 Demikian pula halnya pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Norma hukum dalam peraturan perundang-perundang-undangan juga tersusun dalam suatu hierarki menurut jenis sesuai dengan kekuatan hukum mengikatnya.

34.

Maria I., op. cit., h. 35-36. 35.


(5)

Jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu jenis peraturan perundang-undangan menurut hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan di luar hierarki. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU PPP, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3.Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4.Peraturan Pemerintah;

5.Peraturan Presiden;

6.Peraturan Daerah Provinsi; dan 7.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki atau tata urutan sebagaimana dimaksud diatas, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU PPP.

Selain itu, ada pula jenis peraturan perundang-undangan yang ada di luar hierarki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPP tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PPP, jenis peraturan perundang-undangan yang ada di luar hierarki tersebut mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat


(6)

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Jenis peraturan perundang-undangan yang ada di luar hierarki ini tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.