Prosiding Seminar Inovasi Teknologi Pertanian 2012

PENGARUH PERBANDINGAN JANTAN-BETINA
TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK
DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH KALIMANTAN SELATAN
Suryana, Sholih, N.H., H. Kurniawan, Suprijono dan Retna Qomariah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
e-mail suryanakalsel@yahoo.com

ABSTRAK
Salah satu penyebab kegagalan dalam proses penetasan telur itik di kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan
Selatan adalah rendahnya daya tunas dan daya tetas telur, sehingga anak itik (DOD) yang dihasilhan jumlahnya sedikit. Di
sisi lain, permintaan anak itik sebagai bibit dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Upaya yang dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan perbandingan itik jantan dan betina (sex ratio) yang ideal. Kegiatan ini
dilaksanakan di Desa Mandingin Kecamatan Barabai, Kalimantan Selatan dengan melibatkan 3 orang kooperator penetas
itik. Tiap koopetor melakukan penetasan telur masing-masing sebanyak 3 kali periode penetasan, dengan perbandingan
jantan dan betina 1:5, 1:10 dan 1:28 (pola petani). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbadingan jantan-betina (sex
ratio) 1:5 memberikan hasil data tunas telur (fertilitas yang lerbih baik dibanding pola pemeliharaan petani (1:28), namun
hasil daya tetas dan mortalitas pada periode I untuk produksi telur 1 bulan lebih besar jika dibanding periode II dan III
dengan umur tetas yang relatif tua.
Kata kunci : daya tunas, daya tetas, sex ratio, itik

PENDAHULUAN

Itik lokal, termasuk itik Alabio berperan tidak saja sebagai sumber pangan yang cepat
menghasilkan (quick yielding) (Solihat et al., 2003), tetapi lebih penting lagi merupakan sumber
pendapatan peternak (Hamdan dan Zuraida, 2007; Hamdan et al., 2010), menciptakan lapangan
pekerjaan dan menambah konsumsi protein hewani bagi peternak dan masyarakat (Jarmani dan
Sinurat, 2004). Saat ini itik unggul yang mulai berkembang di Kalimantan Selatan adalah itik MA
(Mojosari-Alabio) yang merupakan hasil persilangan antara itik Mojosari jantan dan itik Alabio
betina.Itik MA diusahakan utamanya berperan sebagai penghasil telur, baik telur konsumsi maupun
telur tetas. Telur tetas yang berkualitas dapat diperoleh dari induk yang berkualitas baik, dengan
perbandingan jantan dan betina (sex ratio) yang seimbang, sementara untuk mengetahui telur yang
fertil atau bertunas, terlebih dahulu harus dilakukan penetasan. Keberhasilan usaha penetasan telur itik
salah satunya ditentukan oleh faktor-faktor seperti: kualitas telur, bobot telur, indeks telur, fertlitas
dan daya tetas (Istiana, 1994; Wibowo et al. 2005). Fertilitas dan daya tetas telur itik memegang
peranan penting dalam memproduksi bibit anak itik (Wibowo et al., 2005; Suryana dan Tiro, 2007),
sehingga dihasilkan jumlah bibit sesuai yang diharapkan (Suryana, 2011).
Kendala yang sering dihadapi dalam penetasan telur itik, antara lain kematian embriodan
telur yang tidak bertunas atau infertil umumnya tinggi selama proses penetasan (Baruah et al., 2001;
Setioko, 2005). Setioko et al,. (2004) menyatakan bahwa faktor yang dapat mengakibatkan kematian
embrio atau embrio cacat adalah faktor biologis yang menyebabkan spermatozoa tertinggal dalam
oviduct dalam waktu lama dan kapasitas sperma yang rendah fertilitasnya. Faktor lingkungan antara
lain temperatur, kelembaban dan konsentrasi gas yang terdapat di dalam telur (Kortlang, 1985).

Kelembaban berpengaruh terhadap kecepatan hilangnya air dari dalam telur selama inkubasi (Setioko,
1998). Kehilangan air yang banyak menyebabkan keringnya chario-allantoic untuk kemudian
digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi kematian embrio dan telur membusuk (Baruah et al.,
2001).
Penetasan telur itik Alabio yang sekarang banyak dilakukan peternak di Kabupaten Hulu
Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Hulu Sungai Tengah (HST), sebagian besar
masih tradisional dengan menggunakan sekam/gabah sebagai sumber panasnya (Nawhan, 1991;
Setioko, 1998; Suryana dan Tiro, 2007), dan sumber pemanas listrik (Wasito dan Rohaeni, 1994),
atau kombinasi di antara keduanya, dengan kapasitas bervariasi antara 1000-2.500 butir/periode
penetasan (Suryana dan Tiro, 2007).
Cara penetasan menggunakan sistem sekam atau gabah diakui peternak/penetas memiliki
keunggulan dibanding dengan alat penetasan boks yang terbuat dari kayu atau tripleks. Cara
penetasan tersebut di samping daya tetas yang dihasilkan lebih tinggi, juga kapasitas alat penetas lebih

banyak sehingga dalam periode penetasan tertentu dapat menghasilkan DOD dalam jumlah besar.
Selanjutnya faktor lainnya yang mempengaruhi keberhasilan penetasan adalah kualitas telur di
antaranya bobot telur yang banyak dipengaruhi faktor genetik, umur induk, musim dan pakan (Solihat
et al., 2003). Perbedaan ini diduga disebabkan oleh asal telur tetas yang digunakan sumbernya tidak
sama, dan dihasilkan oleh induk yang mempunyai bobot badan bervariasi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Applegate et al. (1998) bahwa bobot telur yang dihasilkan berkorelasi positif dengan

bobot induk. Bobot telur dipengaruhi oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur itik, bangsa, tingkat
protein dalam pakan, cara pemeliharaan dan temperatur lingkungan (Solihat et al. 2003).
Ditinjau dari aspek pakan, Wahju (1997) mengemukakan bahwa penurunan besar telur dapat
disebabkan oleh defisiensi asam linoleat ataupun kandungan zat anti nutrisi tertentu dalam pakan
seperti nicarbacin dan gossypol. Defisiensi asam linoleat dalam pakan dapat mengakibatkan bobot
telur yang dihasilkan lebih ringan, sehingga berat embrio juga lebih rendah (Komarudin et al., 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina, pakan
induk, umur pejantan yang digunakan dan umur telur (Srigandono, 1997), jumlah induk yang
dikawini oleh satu pejantan dan umur induk (Solihat et al. 2003). Selain itu, hubungan temperatur
lingkungan yang semakin meningkat antara lain temperatur atmosfir disinyalir dapat menyebabkan
penurunan fertilitas telur atau sebaliknya (Kortlang, 1985). Menurut Wilson (1997) daya tetas sangat
dipengaruhi oleh status nutrien pakan induk, sehingga keseimbangan kebutuhan nutrien untuk
perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang, 1985).
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh telur tetas itik yang berkualitas baik
dengan daya tunas dan daya tetas optimal.
BAHAN DAN METODA
Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Mandingin Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu Sungai
Tengah (HST). Kegiatan ini merupakan uji teknologi yang dilakukan pada kelompok UP-FMA “Giat
Usaha”, dengan materi yang digunakan adalah itik MA (Mojosari-Alabio) berumur 6 bulan sebanyak

56 ekor. Introduksi teknologi yang dilakukan adalah:
 Perbaikan perbandingan jantan – betina (sex ratio)
 Perbaikan kandang (panggung)/kandang kelompok
 Perbaikan pakan
Rancangan Pengujian dan Parameter yang Diamati
Rancangan yang digunakan dalam uji teknologi dan pakan susunan pakan seperti tertera
pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1.Rancangan perlakuan uji teknologi.
Perlakuan

Ulangan

A

A1
A2
A3
B1
B2
B3

Pola petani

B

C (Kontrol)

Keterangan
Perbandingan jantan dan betina (1:5)

Perbandingan jantan dan betina (1:10)

Perbandingan jantan dan betina (1:28)

Tabel 2. Susunan bahan dan kompsisi pakan serta kandungan nutrisi ransum perlakuan.
No.

Bahan pakan

Persentase (%)


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Sagu/paya
Dedak halus
Pakan komersial (PAR L)
Ikan kering
Konsentrat
Mineral itik
Jumlah

40,0
20,0
19,5
15,0
3,0

2,5
100,0

Kandungan nutrien *)
1.
Energi metabolis (kkal/kg)
2.
Protein kasar (%)
3.
Serat kasar (%)
4.
Lemak kasar (%)
5.
Kalsium (%)
6.
Phosphor (av.) (%)

2.800
16,5
5,17

4,88
2,99
0,67

Harga pakan (Rp)/kg

2.180.-

Sumber : BPTP Kalimantan Selatan, 2010.
*) berdasarkan perhitungan

Paramater Diamati
1. Produksi telur harian (%), dihitung dengan mencacat setiap hari produksi telur yang dihasilkan.
2. Daya tunas telur (%), dihitung berdasarkan rumus :
Jumlah telur menetas
Jumlah telur bernas

x 100%

3. Daya tetas (%), dihitung berdasarkan rumus :

Jumlah telur ditetaskan
x 100%
Jumlah telur bertunas
4. Bobot tetas (g), diperoleh dari hasil penimbangan anak itik umur sehari (DOD) setelah bulunya
mengering/ekor.
5. Bobot telur (g), diperoleh dengan cara penimbang masing-masing telur
6. Mortalitas (%).
Analisis Data : Selanjunya data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Produksi Telur
Produksi telur merupakan salah satu sifat kuantitatif penting yang bernilai ekonomis tinggi
dari performan unggas petelur. Rata-rata produksi telur itik selama lima bulan pengamatan, disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Keragaan produksi telur itik Alabio.
No.
1
2.
3.
4.
5.


Bulan
Oktober
November
Desember
Januari
Februari

Produksi Telur (%)

Bobot telur (g)

Indeks telur (%)

20,50
35,68
58,90
75,21
77,57


39,52
41,22
50,45
52,75
53,88

74,82
76,21
78,52
79,21
79,55

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata produksi telur itik tertinggi diperoleh pada bulan
Februari sebesar 77,57%, sementara terendah pada bulan Oktober 2011 (29,50%). Hal ini dapat
dipahami bahwa peningkatan produksi telur seiring dengan penambahan umur itik dan pemberian
pakan yang memadai. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Suryana (2011), bahwa
produksi telur itik Alabio di Kasbupaten Hulu Sungai Utara selama lima bulan pengamatan sebesar
76,48%, tetapi lebih tinggi dari yang dilaporkan Setioko dan Istiana (1999) menyatakan bahwa
produksi telur itik Alabio selama 5 bulan pengamatan mencapai 75,19%. Perbedaan produksi telur
yang dicapai dalam pengamatan ini diduga disebabkan umur pertama bertelur bervariasi.
Menurut Yuwono et al. (2005), kemungkinan lainnya yang menyebabkan perbedaan
produksi telur adalah jumlah dan kandungan nutrien pakan belum optimal, karena kebutuhan nutrien
selama proses pembentukan telur kurang memadai. Laporan lainnya dikemukakan Hamdan dan
Zuraida (2007); Hamdan et al. (2010), bahwa produksi telur itik Alabio selama 4-6 bulan di
Kecamatan Babirik, HSU berkisar antara 66,92-70,00%. Sementara itu Rohaeni (1997) menyatakan
bahwa produksi telur itik Alabio dengan pemberian pakan lokal selama ±6 bulan sebesar 72,35% dan
lebih rendah dari hasil yang dikemukakan Rohaeni dan Setioko (2001), bahwa rataan produksi telur
dengan perlakuan ransum berbeda, berturut-turut sebesar 68,86%; 60,07% dan 48,09%. Prasetyo dan
Susanti (1999/2000) melaporkan bahwa produksi telur itik Alabio yang dipelihara intensif meningkat
menjadi 200-250 butir/th, bila dibandingkan dengan cara tradisional. Solihat et al., (2003)
mengemukakan produksi telur dari tiga bangsa itik (Alabio, Tegal dan Mojosari) yang dipelihara
intensif berkisar antara 42,46-63,40%.
Menurut Edianingsih (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan produksi telur
adalah genetik dan lingkungan. Faktor genetik merupakan pewarisan sifat dari tetuanya antara lain
dewasa kelamin lebih awal (Hardjosworo et al. 2001), tingginya intensitas peneluran, persentase
peneluran dan clutch (Appleby et al., 2004), sementara lingkungan lebih dominan pengaruhnya adalah
pemberian pakan dan cara pemeliharaan (Solihat et al., 2003; Pingel, 2005), dan bobot telur (Ketaren
et al., 1999).
Selain itu, beberapa karakteristik genetik yang mempengaruhi produksi telur lainnya adalah
masak kelamin, intensitas bertelur yang tinggi, panjang masa bertelur dan lama istirahat (Solihat et
al., 2003). Produksi telur dipengaruhi oleh pakan, genetik dan kecepatan masak kelamin, kandungan
nutrien pakan, imbangan energi dan protein pakan yang berbeda (Solihat et al., 2003), periode
bertelur dan masa rontok bulu (molting) (Purba et al., 2005), stress pada saat adaptasi masuk kandang
baru yang terlalu singkat akan mempengaruhi perbedaan produksi telur (Solihat et al., 2003).
Rata-rata bobot telur tetas yang digunakan bervariasi. Bobot telur tertinggi sebesar 58,33 g
dan terendah 39,52 g Rataan bobot telur itik Alabio yang dihasilkan dari penelitian ini lebih tinggi
dibanding bobot telur itik Alabio, seperti yang dilaporkan Prasetyo dan Susanti (1999/2000) yakni
60,21±5,64. Bobot telur merupakan sifat yang banyak dipengaruhi oleh faktor genetik, umur induk,
posisi telur dalam clutch, musim dan pakan (Solihat et al., 2003). Perbedaan ini diduga disebabkan
oleh asal telur tetas yang digunakan sumbernya tidak sama dan dihasilkan oleh induk yang
mempunyai bobot badan bervariasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate et al., (1998) bahwa
bobot telur yang dihasilkan berkorelasi positif dengan bobot induk.
Bobot telur dipengaruhi oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur itik, bangsa, tingkat
protein dalam pakan, cara pemeliharaan dan temperatur lingkungan (Solihat et al., 2003). Ditinjau
dari aspek pakan, Wahju (1997) mengemukakan bahwa penurunan besar telur dapat disebabkan oleh
defisiensi asam linoleat ataupun kandungan zat anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti nicarbacin
dan gossypol. Defisiensi asam linoleat dalam pakan dapat mengakibatkan bobot telur yang dihasilkan
rendah sehingga berat embrio juga lebih rendah (Komarudin et al., 2008).
Indeks telur merupakan perbandingan antara panjang telur dibagi lebar dikali 100%. Ratarata indeks telur itik tertinggi (79,55%), sedangkan terendah 74,82%. Indeks telur yang
mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi oleh genetik dan bangsa (Romanov et al., 1995), juga
proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur (Larbier dan Leclercq, 1994). Hasil pengamatan
ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Suryana (2011), bahwa rata-rata index telur yang diperoleh
selama proses penetasan sebasar 78,22%.

Keragaan Hasil Penetasan
Daya tunas atau fertilitas telur adalah perbandingan antara telur yang fertil dengan jumlah
total telur yang ditetaskan. Rata-rata fertilitas telur tertinggi sebesar 97,88 % pada priode penetasan ke
III dan sex ratio (1:10), sementara terendah 50,21% priode penetasan ke I dan sex ratio (1:28) atau
kontrol (Tabel 4). Perbedaan fertilitas ini diduga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan,
khususnya pemberian pakan dan perbandingan jantan betina yang kurang tepat. Fertilitas telur dalam
penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya, yang dilaporkan Istiana dan Setioko
(1999), yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan terseleksi di Kabupaten HST masing-masing sebesar
73,33% dan 77,4%, sementara Rohaeni et al. (2005) melaporkan bahwa rata-rata fertilitas telur itik
Alabio sebesar 88,16%. Demikian pula hasil yang dilaporkan Brahmantiyo dan Prasetyo (2001),
bahwa rata-rata fertilitas pada telur itik Alabio sebesar 79,12%±2,71. Wibowo et al., (2005)
melaporkan fertilitas telur itik yang diperoleh selama 27 kali periode penetasan sebesar 85,3%.
Pendapat lainnya dikemukakan Setioko et al. (1999), bahwa fertilitas telur itik Alabio di
lokasi Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) di Kabupaten HSU sebesar
95,57%, sedangkan dilaporkan Suryana dan Tiro (2007), hasil fertilitas yang diperoleh selama 26
periode penetasan telur itik Alabio di Kabupaten HSU sebesar 90,38%. Purba et al., (2005)
menyatakan bahwa rata-rata fertilitas telur itik di daerah sentra produksi dan penetasan di Kabupaten
Blitar, Jawa Timur berkisar antara 86,46-90,49%, sementara Yuwono et al., (2005) melaporkan
bahwa rataan fertilitas telur itik lainnya selama lima periode penetasan sebesar 89,31%. Faktor-faktor
yang mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina, pakan induk, umur pejantan yang
digunakan dan umur telur (Srigandono, 1997), jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan dan
umur induk (Solihat et al., 2003). Selain itu, hubungan temperatur lingkungan yang semakin
meningkat antara lain temperatur atmosfir disinyalir dapat menyebabkan penurunan fertilitas atau
sebaliknya (Kortlang, 1985).
Tabel 4. Keragaan hasil penetasan telur itik Alabio.
Jumlah
telur
(butir)

Kode

Daya
tunas
(%)

Daya
tetas
(%)

Embrio
mati (%)

Mortalitas
(%)

Bobot
tetas (g)

I

50
50
50

A
B
K

96,68
96,35
50,21

37,67
35,35
8,00

63,03
14,66
92,0

5,0
2,0
10,0

35,67
36.89
35.54

II

100
100
100

A
B
K

96,70
96,41
51,33

42,55
45,76
10,21

57,45
54,43
89,79

1,0
0
0

37,22
37,89
38,01

III

150
150
100

A
B
K

97,12
97,88
50,91

50,58
52.89
10,33

41,42
47,11
89,67

0
0
0

41,22
42,10
40,46

Periode
penetasan

Keterangan : A = sex ratio (1 : 5);

B = sex ratio (1 : 10);

K = Kontrol sex ratio (1;28)

Rata-rata daya tetas tertinggi (52,89%), sedangkan terendah (8,0%). Rendahnya daya tetas
ini diduga disebabkan oleh faktor non teknis, yaitu sarana penetasan yang kurang mendukung. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Lasmini et al., (1992), tinggi rendahnya daya tetas bergantung kepada
kualitas telur tetas, sarana penetasan dan keterampilan pelaksana, dan lamanya penyimpanan telur
(Kortlang, 1985). Hasil kajian Setioko (1998) menyebutkan bahwa penyimpanan telur tetas selama 13 hari diperoleh rataan daya tetas lebih tinggi (73,43%), dibandingkan penyimpanan selama 5-7 hari
hanya mencapai 65,03%. Rataan daya tertas telur yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah
bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Rohaeni et al., (2005); Suryana dan Tiro
(2007), rataan daya tetas telur itik Alabio masing-masing sebesar 79,49% dan 61,77%, tetapi
sebaliknya lebih tinggi dari laporan Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) sebesar 48,98%±2,16. Menurut
Wilson (1997) daya tetas sangat dipengaruhi oleh status nutrien pakan induk, sehingga keseimbangan
kebutuhan nutrien untuk perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang, 1985).
Rata-rata bobot tetas tertinggi diperoleh pada penetasan periode III sebesar (42,10 g),
sementara terendah pada kode K (35,54 g). Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate et al., (1998),

bahwa bobot telur tetas mempunyai pengaruh signifikan terhadap bobot tetas yang dihasilkan. Bobot
tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini relatif sama dengan hasil penelitian Lasmini et al., (1992)
sebesar 42,22 g, tetapi lebih besar bila dibandingkan hasil yang diperoleh Brahmantiyo dan Prasetyo
(2001) yakni 39,85 g±0,66.
Mortalitas DOD yang diperoleh selama penelitian tertinggi (10%) pada periode penetasan I
dan terendah (1,0%) diperoleh pada periode penetasan II, dengan rasio jantan:betina yang diperoleh
hasilnya sama, yakni 1:1. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wibowo et al., (2005), bahwa DOD
normal yang diperoleh dari penetasan selama 27 periode sebanyak 42350 ekor, dengan perincian
DOD jantan 21.023 ekor dan betina 20.916 ekor, atau mendekati perbandingan jantan dan betina
adalah 1:1.
Temperatur dan kelembaban merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan
penetasan telur. Rata-rata temperatur tertinggi (38,750C) dan terendah (37,940C), sedangkan rata-rata
kelembaban tertinggi (68,87%) dan terendah (66,51%±2,4). Tingginnya temperatur disebabkan oleh
panas dalam alat penetas kurang stabil, sedangkan kelembaban yang berfluktuatif diduga disebabkan
oleh pergantian/penambahan air yang berubah-ubah. Menurut Setioko (1998) temperatur mesin
penetasan yang ideal sekitar 370C, dan kelembaban akhir masa penetasan dinaikkan menjadi 85%.
Kortlang (1985) menyatakan bahwa kelembaban relatif selama proses penetasan umur telur 1-26 hari
sebesar 79%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
 Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa perbandingan jantan betina (sex ratio) itik
1: 5 dan 1:10 memberikan hasil fertilitas atau daya tunas telur yang tidak jauh berbeda, namun
hasil daya tetas dan mortalitas pada periode I untuk produksi telur 1 bulan, mortalitas DOD nya
lebih besar, jika dibanding periode II dan III yang umur telur tetasnya relatif tua.
Saran
 Untuk pemeliharaan selanjutnya, karena yang diperlukan itik betina untuk menghasilkan telur
tetas yang lebih banyak, maka disarankan menggunakan perbandingan jantan-betina (1:10), yakni
1 ekor jantan dengan 10 ekor betina.

DAFTAR PUSTAKA
Alfiyati, A. 2008.Si Penghasil Telur dan Daging Yang Handal Dari Kalimantan Selatan;Bibit. Media
Informasi Perbibitan Ternak 2 (1):19-21.
Applegate, T.J, D. Harper andL. Lilburn. 1998. Effects of hen age on egg composition and embryo
development in commercial Pekin ducks. Poult Science 77:1608-1612.
Baruah, K.K, P.K. Sharma dan N.N, Bora. 2001. Fertility, hatchability and embryonic mortality in
ducks. J. IndianVeteterinary 78:529-530.
Biyatmoko, D. 2005. Petunjuk Teknis dan Saran Pengembangan Itik Alabio. Dinas Peternakan
Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. ;9
Biyatmoko, D. 2005a. Kajian Arah Pengembangan Itik Di Masa Depan. Makalah disampaikan pada
Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan Itik serta Diseminasi Teknologi
Peternakan Tahun 2005; Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan
Selatan. Banjarbaru. ;13
BPTP Kalsel. 2010. Pembuatan Pakan Itik. Lembar Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarabaru.
Disnak Provinsi Kalimantan Selatan. 2008. Laporan Tahunan 2008. Dinas Peternakan Provinsi
Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
Edianingsih, P. 1991. Performans Produksi dan Pengukuran Keragaman Fenotipik Itik Alabio Pada
Sistem Pemeliharaan Intensif. Tesis: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hamdan A dan R. Zuraida. 2007. Profil usaha ternak itik Alabio petelur pada lahan rawa lebak
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kasus Desa Sungai Durait Tengah
Kecamatan Babirik). Di dalam: Revitalisasi Kawasan PLG dan Lahan Rawa Lainnya untuk
Membangun Lumbung Pangan Nasional.Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa.
Kuala Kapuas, 3-4 Agustus 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan
Pemerintah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Palangka Raya. ;127-134
Hamdan, A, R. Zuraida, dan Khairudin. 2010. Usahatani Itik Alabio Petelur (Studi Kasus Desa
Prima Tani Sungai Durait Tengah Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara
Kalimantan Selatan), Di dalam: Menjadikan Inovasi Badan Litbang Pertanian Tersedia Secara
Cepat, Tepat dan Murah. Prosd. Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Perdesaan.
Bogor, 15-16 Oktober 2009. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. ;256-262
Hardjosworo, P.S et al. 2001. Pengembangan Teknologi Peternakan Unggas Air Di Indonesia. Prosd.
Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. hlm. 22-41.
Istiana.1994. Kematian Embrio Akibat Infeksi Bakteri Pada Telur Tetas Di Penetasan Itik Alabio dan
Perkiraan Kerugian Ekonominya. Jurnal Penyakit Hewan 26 (45). Balai Penelitian Veteriner.
Bogor. ;36-40
Jarmani, S.N dan A.P. Sinurat. 2004. Pengembangan Itik Dalam Upaya Menambah Konsumsi Protein
Hewani dan Pendapatan Masyarakat. Di dalam; IPTEK Sebagai Motor Penggerak
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosd. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Buku 1; Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm.621627.
Komarudin, Rukmiasih dan P.S. Hardjosworo. 2008. Performa Produksi Itik Berdasarkan Kelompok
Bobot Tetas Kecil, Besar dan Campuran. Di dalam: Inovasi Teknologi Mendukung
Pengembangan Agribisnis Peternakan Ramah Lingkungan. Prosd. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 Nopember 2008. Pusat penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. ;604-610

Kortlang, C.F.H.F. 1985. The incubation of duck eggs. Di dalam: Farrel, D.J and Stapleton, P. (ed).
Duck Production Science and World Practice. University of New England. ;167-177
Nawhan, A. 1991. Usaha Peternakan Itik Alabio (Anas platyrhynchosBorneo) di Kalimantan Selatan.
Orasi Ilmiah Disampaikan Pada Lustrum II dan Wisuda VI Sarjana Negara; Universitas Islam
Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary. Banjarmasin, 26 Oktober 1991. Kalimantan
Selatan. Banjarmasin. ;18
Pingel, H. 2005. Development of small scale duck farming as a commercial operation. Prosd.
Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. ;317-349
Prasetyo, L.H dan T. Susanti. 1999/2000. Seleksi Awal Bibit Induk Itik Lokal. Laporan Hasil
Penelitian Rekayasa Tekonologi Peternakan. Bagian Proyek ARMP II. Balai Penelitian Ternak.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Prasetyo, L.H. 2006. Strategi dan Peluang Pengembangan Pembibitan Ternak Itik. Wartazoa
Bulletin Ilmu Peternakan Indonesia 16 (3):109-115.
Purba, M dan T. Manurung. 1999. Produktivitas Ternak Itik Petelur Pada Pemeliharaan Intensif.
Prosd. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. ;374-380
Purba M, Hardjosworo PS, Prasetyo LH, Ekastuti DR. 2005. Pola Rontok Bulu Itik Alabio Betina Dan
Mojosari Serta Hubungannya Dengan Kadar Lemak Darah (Trigliserida); Produksi dan
Kualitas Telur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10 (2): 96-105.
Rohaeni, E.S. dan Tarmudji. 1994. Potensi dan Kendala Dalam Pengembangan Peternakan Itik
Alabio Di Kalimantan Selatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (1): 4-6.
Rohaeni, E.S, dan A.R. Setioko. 2001. Keragaan Produksi Telur Pada Sentra Pengembangan
Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Kalimantan Selatan. Prosd. Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru;Bogor, 6-7
Agustus 2001. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai
Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Rohaeni, E.S. 1997. Pengaruh Tingkat Pemberian Bahan Pakan Lokal Untuk Itik Alabio Laporan
Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Banjarbaru.
Rohaeni, E.S. 2005. Analisis Kelayakan Usaha Itik Alabio Dengan Sistem Lanting di Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. Prosd. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 12-13
September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor. ;845-850
Rohaeni, E.S, A. Hamdan dan A.R. Setioko. 2005. Usaha Penetasan Itik Alabio Sistem Sekam Yang
Dimodifikasi Di Sentra Pembibitan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Prosd. Seminar nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku II. Bogor, 12-13 September 2005. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. ;727778
Rohaeni, E.S dan Y. Rina. 2006. Peluang dan Potensi Usaha Ternak Itik Di Lahan Lebak. Prosd.
Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu; Banjarbaru, 28-29 Juli 2006. Balai Penelitian
Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Banjarbaru. ;387-397
Solihat, S. Suswoyo dan I. Ismoyowati. 2003. Kemampuan Performan Produksi Telur Dari Berbagai
Itik Lokal. Jurnal Peternakan Tropis 3 (1):27-32.

Setioko A.R. 1998. Penetasan Telur Itik Di Indonesia. Wartazoa Bulletin Ilmu Peternakan Indonesia
7 (2) 40-46.
Setioko, A.R. 2001. Inseminasi Buatan Pada itik. Makalah disampaikan pada Acara Pelatihan
Inseminasi Buatan pada Itik di BPT HMT Pelaihari Kalimantan Selatan. Tambang Ulang, 30-31
Agustus 2001. ;8
Setioko, A.R. 2008. Konservasi Plasma Nutfah Unggas Melalui Kriopreservasi Primordial Germ
Cells (PGCs). Wartazoa Bull Ilmu Peternakan Indonesia 18 (2):68-77.
Setioko, A.R, A.P. Sinurat, B. Setiadi dan A. Lasmini. 1994. Pemberian Pakan Tambahan Untuk
Pemeliharaan Itik Gembala Di Subang Jawa Barat. Jurnal Ilmu dan Peternakan 8 (1):27-33.
Setioko, A.R dan Istiana. 1999. Pembibitan Itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosd.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. ;382387
Setioko, A.R, Istiana, D.I. Ismadi dan E.S. Rohaeni. 1999/2000. Pengkajian Teknologi Usahatani Itik
Alabio [Laporan Hasil Pengkajian]. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.
Banjarbaru. ;39
Setioko, AR, Istiana dan E.S. Rohaeni. 2000. Pengkajian Peningkatan Mutu Itik Alabio Melalui
Program Seleksi Pada Pembibitan Skala Pedesaan. Makalah di sampaikan pada Temu Aplikasi
Paket Teknologi Pertanian Sub Sektor Peternakan; Banjarbaru, 15-16 Agustus 2000. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru. ;13
Setioko, A.R., dan E.S. Rohaeni. 2001. Pemberian Ransum Bahan Pakan Lokal Terhadap
Produktivitas Itik Alabio. Prosd. Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 67 Agustus 2001. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai
Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Setioko, A.R, T. Susanti, L.H. Prasetyo dan Supriyadi. 2004. Produktivitas Itik Alabio dan MA dalam
Sistem Perbibitan Di BPTU Pelaihari. Di dalam; IPTEK Sebagai Motor Penggerak
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan Prosd. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner; Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Setioko, A.R, S. Sopiyana, dan T. Sunandar. 2005. Identifikasi Sifat Kuantitatif dan Ukuran Tubuh
Pada Itik Tegal, Itik Cirebon dan Itik Turi. Prosd. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.Bogor. ;786-794
Suparyanto, A. 2005. Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung Melalui Pembentukan Galur
Induk. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suryana. 2007. Prospek Dan Peluang Pengembangan Itik Alabio Di Kalimantan Selatan. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (3):109-114.
Suryana dan B.W. Tiro. 2007. Keragaan Penetasan Telur Itik Alabio Dengan Sistem Gabah Di
Kalimantan Selatan. Di dalam; Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Prosd. Seminar Nasional dan
Ekspose. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua; Jayapura, 5-6 Juli 2007. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. ;269-277
Suryana. 2011. Karakterisasi fenotipik dan genetik itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di
Kalimantan Selatan dalam rangka pelestarian dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Srigandono, B dan W. Sarengat. 1990. Ternak itik identitas Jawa Tengah. Prosiding Temu Tugas Sub
Sektor Peternakan. Pengembangan Itik di Jawa Tengah. hlm.10-16.
Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air. GadjahMadaUniversity Press. Yogyakarta.
Srigandono, B. 2000. Beternak Itik Pedaging. Penerbit PT. Trubus Agriwidya. Jakarta.
Suwindra, I.N. 1998. Uji Tingkat Protein Pakan Terhadap Kinerja Itik Umur 16-40 Minggu Yang
Dipelihara Intensif Pada Kandang Tanpa dan Dengan Kolam. Disertasi. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tanari, M. 2005. Karakterisasi Habitat, Morfologi dan Genetik Serta Pengembangan Teknologi
Penetasan Ex Situ Burung Maleo (Macrocephalon Maleo Sal. Muller 1846) Sebagai Upaya
Meningkatkan Efektivitas Konservasi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Wasito dan E.S. Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Penerbit Kanisius. Yogjakarta.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press.Yogjakarta.
Wibowo, B., Juarini dan E. Sunarto. 2005. Analisa Ekonomi Usaha Penetasan Telur Itik Di Sentra
Produksi. Di dalam: Merebut Peluang Agribisnis melalui Pengembangan Usaha Kecil dan
Menengah Unggas Air. Prosiding Lokakarya Unggas Air II. Ciawi, 16-17 Nopember 2005.
Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. ;261-270
Wilson, H.R.1997. Effects of maternal nutrient on hatchability. J Poult Sci 76:143-146.