Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pengendalian Manajemen (Preliminary StudypadaGerejaProtestan Maluku) T2 912011024 BAB IV
BAB IV
ANALISIS DATA
4.1. Gambaran Umum Gereja Protestan Maluku
GPM
berawal
dari
ibadah
perdana
Gereja
Protestan Calvinis dari orang-orang Belanda, mereka
merupakan pegawai VOC di Ambon pada 27 Februari
1605.
Gereja
ini
terus
berkembang
di
masa
pemerintahan Hindia Belanda yang dilayani oleh Gereja
Protestan di Indonesia (GPI) dan Nederlandse Zendeling
(NZG).
Genotschaap
Hingga
tahun
1930,
daerah
pelayanannya telah meliputi hampir seluruh Maluku.
Pada 6 September 1935 GPM berdiri sebagai
gereja yang mandiri dalam bidang konfesi, liturgi,
keuangan,
dan
kepemimpinan.
GPM
memelihara,
membina dan mengembangkan struktur dan fungsi
kepemimpinan
gereja
Presbiterial Sinodal yang
dengan
menganut
sistem
secara dinamis dan kreatif
menekankan pada peranan para presbiter (Efesus 4:
11-12), Pengelolaan dan penatalayanan kehidupan
gereja atas dasar persekutuan dan kasih (Filipi 2:14),serta hubungan yang selaras, serasi, utuh, terpadu,
dan
dinamis
penyelenggaraan
pelayanan
gereja,
jenjang-jenjang kepemimpinan gereja, serta umat gereja
secara menyeluruh. Sistem ini menekankan pada
prinsip kebersamaan yang terwujud dalam tindakan
yaitu berjalan, bergumul, bermusyawarah, bekerja, dan
berbuat serta mempunyai pengalaman bersama dalam
mengisi persekutuan untuk melayani dan bersaksi
sebagai misi Kristus. Menjalankan organisasinya GPM
memiliki pola organisasi yang tergambar berikut ini.
Gambar 4.1 : Pola Organisasi GPM (TAP SINODE No. 1 tahun
1978)
SINODE
Badan Pekerja Lengkap
Badan Pekerja Harian Sinode
Departemen
Sekretariat Umum
Biro
Biro
Sidang Klasis
Sidang Jemaat
Badan Pertimbangan
Lembaga non Departemen
Keterangan:
:GarisKomando
: Garis hub. fungsional
: Garis Staff
: Garis koordinasi
Sumber: Peraturan organik GPM hal. 99
Sebagai
organisasi
GPM
mempunyai
visi
yaitumenjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan
karya
secara
utuh
untuk
bersama-sama
dengan
sesama umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan
kehidupan
yang
berkeadilan,
damai,
setara,
dan
sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia.
Visi
ini
mendidik,
diterjemahkan
membina,
dalam
misi
membangun,
gereja
yaitu
memberdayakan
jemaat setempat atau umat dan orang-orang lain
menjadi manusia beriman yang berkualitas, maju,
mandiri, terbuka, serta memiliki rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan
dalam
kehidupan
bergereja
dan
bermasyarakat, sehingga mereka dapat bersama-sama
turut berperan serta dalam misi pembebasan dan
penyelamatan Allah melalui pelayanan yang holistik.
Pelayanan holistik ini mencakup seluruh aspek hidup
manusia,
aspek
jasmani-rohani,
ritual,
kelembagaan,
sosio-etis,
sosial-ekonomi-politik-budaya,
dan
ekologi. Visi dan misi ini dijalankan dalam kegiatankegiatan utama gereja (core activities), yang memberi
tekanan
pada
pelayanan
penguatan
dalam
karakter
hidup
dan
berjemaat,
kapasitas
bergereja,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menurut Merchant dan Van der Stede (2007)
bahwa visi dan misi suatu organisasi mesti jelas dan
dapat diukur sehingga organisasi dapat mengetahui
apakah mereka telah mencapai tujuan organisasinya.
Berdasarkan
visi
dan
misi
GPM
yang
telah
dikemukakan, dapat dianalisis bahwa terdapat dua
syarat untuk mencapaiannya, serta bagaimana visi ini
diterjemahkan dalam misi dan tanggapan indikator
pengukurnya, dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.1 Penjabaran visi dalam misi serta tanggapan indikator
pencapaian.
No.
Visi
1.
Menjadi gereja
yang memiliki
kualitas iman
dan
karya
secara utuh.
2.
Untuk
bersama-sama
dengan
sesama umat
manusia dan
ciptaan Allah
mewujudkan
kehidupan
yang
berkeadilan,
damai, setara,
dan sejahtera,
sebagai tandatanda kerajaan
Allah.
Penjabaran pada
misi
kualitas iman dan
karya
pada
visi
dapat
dicapai
dalam misi untuk
mendidik,
membina,
membangun,
dan
memberdayakan
jemaat
setempat
atau
umat
dan
orang-orang
lain
menjadi
manusia
beriman
yang
berkualitas, maju,
mandiri,
terbuka,
serta memiliki rasa
kebersamaan dan
kesetiakawanan
dalam
kehidupan
bergereja
dan
bermasyarakat.
Mewujudkan
visi
dengan
cara
bersama-sama
turut
berperan
serta dalam misi
pembebasan
dan
penyelamatan Allah
melalui pelayanan
yang holistik.
Tanggapan
indikator
pencapaian
Pada
penjabaran
misi,
tidak
dikemukakan
adanya
indikator
yang
dapat
digunakan untuk
mengukur
tercapainya
kualitas iman dan
karya secara utuh.
Kegiatan mendidik,
membina,
membangun
dan
memberdayakan
merupakan
rangkaian kegiatan
utama
dalam
implementasi visi.
Indikator
untuk
mengukur
bagaimana
kehidupan
berkeadilan,
damai,
setara,
sebagai
tandatanda
kerajaan
Allah
tidak
dijelaskan
di
dalam penjelasan
misi.
Berdasarkan tabel 4.1, dapat dikatakan bahwa
visi dan misi pada GPM masih abstrak, serta tidak
memiliki indikator yang jelas untuk mengukur konsepkonsep besar yang digambarkan sebagai visi. Kondisi
ini sesuai dengan karakter gereja sebagai organisasi
non-profit yang dikemukakan oleh Merchant dan Van
der Stede (2007) di mana organisasi non-profit tidak
memiliki kejelasan sasaran. Keabstrakan visi yang
berdampak pada kesulitan dalam membuat indikatorindikator
pencapaian
tujuan
membuat
sistem
pengendalian manajemen pada GPM menjadi menjadi
sulit.
4.2. Sistem Pengendalian Manajemen pada GPM
Deskripsi sistem pengendalian di GPM akan
diuraikan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Merchant dan Van der Stede (2007) bahwa
tiga jenis kontrol yaitu results
terdapat
controls,
action
controls dan people controls.
4.2.1 Results Controls
Results
controls
adalah
tipe
kontrol
yang
dilakukan dengan memberikan rewards untuk kinerja
terbaik atau memberikan punishing untuk kinerja yang
buruk. Terdapat empat syarat dalam pelaksanaan
results
controlsyaitu:
(1)
mendefenisikan
dimensi-
dimensi yang mana hasil yang diinginkan atau tidak
diinginkan seperti profitabilitas, kepuasan pelanggan
atau cacat produk; (2) mengukur kinerja berdasarkan
dimensi
ini;
(3)
pengaturan
target
kinerja
untuk
karyawan upayakan, dan (4) memberikan penghargaan
untuk mendorong perilaku yang dapat mengarah pada
hasil yang diinginkan. Berdasarkan keempat syarat
tersebut, maka berikut akan dijelaskan mengenai
bentuk results controls dan bentuk pelaksanaannya
yang telah dijalankan pada GPM dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Pelaksanaan bentuk Results Controls di GPM.
No.
Bentuk-bentuk Result
Kontrol
1.
Pengukuran Kinerja
2.
Pengaturan target
kinerja
3.
Sistem insentif
Ada
Keterangan
x
Dilakukan di GPM dalam
bentuk DP3
x
Dilakukan di GPM dalam
bentuk Kenaikan
pangkat
Berdasarkan
terdapat
dua
tabel
bentuk
4.2
dapat
results
dilihat
controls
bahwa
yang
telah
dilakukan oleh GPM yaitu pengukuran kinerja dan
sistem
insentif.
Pengukuran
kinerja
dilakukan
berdasarkan DP3. DP3 adalah daftar yang digunakan
untuk menilai setiap pelaksanaan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai/pelayan gereja.
DP3 dimuat dalam Keputusan Sidang nomor:
09/BPL/XXV/2003 bab II pasal 4 tentang daftar
pelaksanaan pekerjaan yang digunakan sebagai dasar
untuk melakukan kenaikan pangkat. Unsur-unsur
yang
dinilai
dalam
DP3
ini
adalah
kesetiaan/pengabdian, prestasi kerja, tanggung-jawab,
ketaatan,
kejujuran,
kerjasama,
prakarsa
dan
kreatifitas, kehidupan moral, serta kepemimpinan.
Hasil
penilaian
pelaksanaan
pekerjaan
dinyatakan
dengan sebutan dan angka-angka sebagai berikut.
Tabel 4.3. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan.
Skor
91 - 100
76 - 90
61 - 75
51 - 60
50 – ke bawah
Predikat
Amat baik
Baik
Cukup
Sedang
Kurang
Insentif diberikan berdasarkan persyaratan yang
tertuang
dalam
pangkat,
yang
Keputusan
peraturan
secara
Sidang
pelaksanaan
lengkap
nomor:
kenaikan
dijelaskan
dalam
09/BPL/XXV/2003.
Penjelasan mengenai hal ini digambarkan dalam tabel
4.4 berikut.
Tabel 4.4. Jenis kepangkatan dan target kinerja yang dicapai.
No.
1.
2.
Jenis Kenaikan
Persyaratan
Pangkat (insentif)
Kenaikan
pangkat • Telah empat tahun dalam pangkat
regular
yang dimiliki, dan setiap unsur
penilaian pelaksanaan pekerjaan,
sekurang-kurangnya bernilai baik.
• Telah lima tahun dalam pangkat
yang dimiliki dan setiap unsur
penilaian
sekurang-kurangnya
bernilai cukup.
Kenaikan
pangkat • Telah empat tahun dalam jabatan
pilihan
struktural dan fungsionalnya, serta
setiap unsur pekerjaannya bernilai
baik selama dua tahun terakhir.
• Telah lima tahun dalam jabatan
yang
dimiliki,
penilaian
pelaksanaan pekerjaan bernilai baik
dan tidak ada unsur penilaian yang
bernilai kurang.
3.
Kenaikan
istimewa
pangkat • Menunjukkan prestasi kerja luar
biasa baik dan menjadi teladan
selama dua tahun yang dinyatakan
dengan surat keputusan Sinode
GPM.
• Setiap unsur pelaksanaan kerja
bernilai amat baik.
• Menemukan penemuan baru yang
bermanfaat bagi GPM.
Penting untuk diperhatikan bahwa DP3 ini belum
rill results controls-nya. Penilaian kinerja staf itu dapat
diinterpretasikan dalam dua hal yaitu sebagai aturan
organisasi tetapi bisa juga diartikan sebagai results.
DP3 diinterpretasikan sebagai results controls, akan
tetapi di dalamnya belum dituangkan pengaturan
target.
Sehingga
insentif
yang
diberikan
tidak
bergantung pada target melainkan hasil penilaian
pelaksanaan pekerjaan. Kondisi ini membedakannya
dengan perusahaan yang memiliki keterkaitan diantara
pengukuran
kinerja
dan
pengaturan
target
kerja
dengan tujuan organisasi sangat kuat (misalnya dengan
laba, ROI, dll), tetapi untuk gereja agak sulit karena
tujuan dan indikatornya tidak jelas serta tidak terukur.
Kalau di dunia bisnis pengukuran kinerja dan
target bisa dikaitkan secara langsung dengan tujuan
perusahaan.
Akan
tetapi
karena
gereja
adalah
organisasi non-profit dimana visi dan misinya tidak
memiliki indikator yang jelas maka agak sulit untuk
mengaitkan antara tujuan gereja dengan pengukuran
dan target kinerja.
Belum diaturnya target kinerja, serta pengukuran
kinerja dan insentif yang belum dapat didasarkan pada
tujuan organisasi menimbulkan masalah di dalam
gereja, antara lain yang diidentifikasi dalam tabel 1.1.
Masalah-masalah itu yaitu, belum terwujud dengan
baik
optimalisasi
dalam
menterjemahkan
dan
melakukan implementasi tugas pokok dan fungsi atas
dasar aturan; perbedaan persepsi antara suprastruktur
dan
umat
dalam
memahami
keterpanggilannya;
pelaksanaan tugas yang belum maksimal disebabkan
oleh orientasi gereja pada kegiatan rutin; Aturan yang
tersedia tidak mengatur dengan jelas setiap bidang dan
tugasnya, yang berorientasi pada pengembangan dan
pencapaian
tujuan;
lemahnya
pemahaman
dan
kesadaran tugas pokok dan fungsi pada masing-masing
bidang kelembagaan; (lih. Tabel 1.1, masalah nomor
1,2,6,7,11,13).
GPM mempunyai finance responsibility centre
yang mayoritasnya adalah cost centre, yakni pada
departemen keesaan dan pembinaan umat, departemen
pekabaran injil dan komunikasi, departemen pelayanan
dan pembangunan.Sedangkan departemen finansial
dan ekonomi merupakan revenue centre. Bidang ini
bertugas
pendanaan
untuk
untuk
melakukan
organisasi.
kegiatan-kegiatan
Terdapat
beberapa
bentuk kegiatan pendanaan yang dilakukan oleh GPM
antara lain dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.5 Kegiatan pendanaan GPM
Kegiatan Pendanaan
Dana onderstanfons
Keterangan
Dana
onderstanfons
merupakan
sejumlah
dana
yang disimpan di Belanda sejak
tahun
1969,
yang
diperuntukkan
untuk
para
pensiun pendeta. Dana ini
hanya bisa digunakan pada
saat
emergensi,
untuk
mencukupi atau membantu
Dana Lestari
Penggunaan Aset gereja
Dana THT
mengatasi persoalan keuangan
pensiun GPM, tidak untuk
digunakan pada setiap tahun.
Secara lengkap penggunaan
dana
ini
dituang
dalam
pedoman pemanfaatan dana
onderstanfons.
Dana lestari merupakan dana
bantuan dari KVR di Belanda.
Dana ini digunakan dalam
permainan saham di Belanda,
dan oleh kesepakatan KVR di
Belanda, dana ini dikembalikan
kepada
GPM.
Penggunaan
dana ini diatur dalam pedoman
pemanfaatan dana lestari GPM.
Terdapat beberapa asset gereja
yang disewakan yaitu tanah
(tanah tersebut terdapat di
daerah
Pulo
Gangsa,
Urimeseng, batu gantong, dll),
gedung (sewa baileo oikumene).
Dana
THT
adalah
dana
perorangan yang dipotong dari
gaji setiap pegawai organik
GPM.
4.2.2 Action Controls
Kontrol ini melibatkan pengambilan langkahlangkah untuk memastikan bahwa karyawan bertindak
sesuai dengan kepentingan terbaik organisasi dengan
menjadikan tindakan mereka sendiri sebagai fokus
kontrol. Kontrol ini memiliki empat bentuk yang
pelaksanaan digambarkan dalam tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6 Bentuk-bentuk action controls dan pelaksanaannya di
GPM.
Bentukaction controls
Behavioral constraints
Preaction reviews
Action Accountability
Redudancy
Bentuk pelaksanaannya di GPM
• Password pada komputer yang
menyimpan data rahasia.
• Kunci lemari dan meja kantor.
• Pembatasan wewenang
pengambilan keputusan
• Pemisahan tugas
• Persetujuan program kerja dan
anggaran.
• Sidang-sidang
• Persetujuan RENSTRA
• Persetujuan pengelolaan hak
milik gereja.
• Persetujuan pimpinan gereja.
• Aturan kerja
• Kebijakan dan prosedur
• Ketentuan kontrak
• Kode etik
• MONEVA
• Verifikasi
• Visitasi
Menyediakan
pelayan/pegawai
organik cadangan
Ada
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Bentuk behavioral constraints dilakukan oleh
GPM dengan cara memberikan kendala-kendala fisik
berupa password pada komputer yang menyimpan
data-data rahasia, memberikan kunci pada lemari dan
meja kerja. Sedangkan untuk pembatasan wewenang
dalam
pengambilan
keputusan
dilakukan
gereja
dengan berpedoman pada tata GPM pasal 27 tentang
wewenang
dan
perwakilan
dalam
pengambilan
keputusan.
Mengenai
gereja
memiliki
pemisahan
tugas,
bidang-bidang
pada
umumnya
pelayanan
(bidang
PELPEM, Finansial ekonomi, kerumahtanggaan dan
PIKOM
Masing-masing
bidang
mempunyai
tugas
tersendiri yang memisahkannya dengan bidang yang
lain. Bidang PELPEM hanya dapat mengerjakan tugas
bidangnya tanpa mencampuri tugas bidang yang lain.
Demikian halnya bendahara hanya dapat mengerjakan
tugasnya sebagai bendahara tanpa mengerjakan tugas
sekretaris.
Preaction
reviews
secara
sederhana
dapat
diartikan sebagai bentuk persetujuan sebelum action
(tindakan, kebijakan, dll) dilaksanakan. Bentuk ini
ditemui di GPM dalam bentuk program kerja dan
anggaran melalui tiga aras (jemaat, klasis, dan sinode).
Dimana program kerja dari komisi harus meminta
persetujuan dari persidangan.
Bentuk action controls yang paling kuat pada
gereja terlihat dalam sidang-sidang yang dilaksanakan
oleh gereja pada masing-masing aras kepemimpinan.
Tabel 4.7 berikut ini akan menjelaskan tentang jenis
persidangan gereja, jenjang organisasi, dan waktu
pelaksanaan.
Tabel 4.7 Jenis persidangan gereja, jenjang organisasi, dan waktu
pelaksanaan
Jenis Persidangan
Sidang
Sidang
Sidang
Sidang
Sinode
BPL Sinode
klasis
jemaat
Jenjang
organisasi
Sinode
Sinode
Klasis
Jemaat
Waktu Pelaksanaan
5
1
1
1
tahun
tahun
tahun
tahun
sekali
sekali
sekali
sekali
Sedangkan mengenai jenis persidangan serta
tugas dan wewenang tiap-tiap persidangan dijelaskan
dalam tabel 4.8.
Tabel 4.8 Jenis persidangan serta tugas dan wewenangnya.
Jenis Persidangan
Sidang Sinode
•
•
•
•
Tugas dan wewenang
Menetapkan tata gereja
Menetapkan
peraturan-peraturan
pokok GPM dan atau peraturan lainnya
yang dipandang prinsipil.
Menetapkan pokok-pokok pengakuan
dan ajaran gereja.
Menetapkan PIP & RIPP GPM untuk
dipedomani oleh seluruh perangkat dan
pelayan dan warga gereja untuk waktu
Sidang BPL Sinode
Sidang klasis
Sidang Jemaat
5 (lima) tahun.
• Mengevaluasi dan meninjau kembali
pokok-pokok kebijaksanaan yang telah
ditetapkan dan dilaksanakan oleh
seluruh perangkat dan warga GPM.
• Menetapkan pola induk pelayanan GPM
sebagai dasar pelaksanaan Amanat
pelayanan GPM.
• Memilih dan mengangkat BPH sinode
dan Badan Pertimbangan BPH Sinode
untuk masa bakti 5 (lima) tahun.
• Menetapkan peraturan organik.
• Mengevaluasi hasil-hasil pelaksanaan
keputusan persidangan sinode dan
persidangan BPL sinode.
• Mengawasi
pelaksanaan
pelayanan
gereja
dan
pelaksanaan
Amanat
pelayanan GPM.
• Menjabarkan
keputusan-keputusan
dan
pokok
kebijaksanaan
yang
ditetapkan oleh persidangan sinode
menjadi program-program yang bersifat
operasional untuk dilaksanakan di
semua jenjang pelayanan gereja.
• Menetapkan anggaran pendapatan dan
belanja GPM untuk tahun berikutnya.
• Menilai dan mengesahkan
laporan
pertanggungjawaban pelayanan dan
keuangan klasis.
• Menetapkan
garis-garis
kebijakan
mengenai
pelaksanaan
keputusan
persidangan Sinode dan BPL Sinode
dalam bidang-bidang pelayanan gereja.
• Mengesahkan anggaran pendapatan
dan belanja tahunan dari klasis.
• Mengawasi
dan
membina
proses
perkembangan jemaat-jemaat menuju
kepada satuan pelayanan yang lebih
besar.
• Memilih utusan-utusan klasis ke
persidangan sinode dan BPL.
• Mengawasi segala harta milik gereja
yang bergerak maupun yang tidak
bergerak sesuai peraturan GPM.
• Mengevaluasi laporan
pertanggungjawaban pelayanan dan
keuangan jemaat.
• Menetapkan program-program
pelayanan jemaat.
• Menetapkan anggaran pendapatan dan
belanja jemaat.
• Menjabarkan keputusan persidangan
sinode, persidangan BPL sinode dan
persidangan klasis.
• Membicarakan
dan
menetapkan
masalah-masalah
keumatan
yang
relevan.
Program kerja dan anggaran dari jemaat mengacu
pada
isu
strategis.
Ini
dikarenakan
organisasi
mempunyai tujuan, dan agar jemaat-jemaat dapat
mendukung tujuan ini maka penting untuk dijabarkan
melalui rencana strategi. Rencana strategi (RENSTRA)
merupakan bagian yang sangat penting di dalam gereja.
Bentuk
ini
disetujui
pelaksanaannya
dalam
persidangan BPL tahun 2011, dan baru disosialisasi
serta diimplementasi pada tahun 2012. Berikut akan
dijelaskan tahapan pembuatan RENSTRA pada GPM.
1)
Pengumpulan data base jemaat yang lengkap.
2)
Melihat gambaran profil jemaat dan profil desa.
3)
Berdasarkan data base, profil jemaat, dan profil
desa, dilakukan identifikasi isu-isu yang muncul.
Di samping itu identifikasi isu dapat dilakukan
dengan menggunakan telaah terhadap dokumendokumen hasil persidangan jemaat tahun-tahun
sebelumnya
untuk
melakukan
analisa
kelembagaan gereja.
4)
Di samping data-data yang ada, tim RENSTRA
juga melakukan focus group discussion (FGD)
mengenai masalah-masalah di jemaat.
5)
Melakukan klarifikasi terhadap isu-isu yang ada
untuk melihat isu yang mana yang benar-benar
menjadi masalah dan isu yang mana yang hanya
bersifat kasuistik.
6)
Berdasarkan klarifikasi, maka isu hubungan
sebab-akibat disatukan untuk mendapatkan isu
utama.
7)
Karena keterbatasan kapasitas dan waktu, maka
dari
isu-isu
utama
dilakukan
perengkingan
untuk melihat isu mana yang mendesak untuk
diselesaikan berdasarkan kapasitas gereja.
8)
Menentukan isu strategi. Isu strategi ialah isu
dimana
gereja
punya
kapasitas
untuk
bisa
menyelesaikannya.
9)
Berdasarkan isu strategi dibuat rencana strategi.
Di dalam persidangan pada masing-masing aras
(jemaat,
klasis,
sinode)
rencana
strategi
ini
dibahas dan dilakukan persetujuan. Rencana
strategi akan dijadikan acuan dalam organisasi.
Bentuk
pengelolaan
yang
harta
berikut
milik.
Hal
ialah
ini
persetujuan
tertuang
dalam
peraturan pokok GPM tentang perbendaharaan gereja
pasal 3, di mana pihak yang ingin mengelola harta
milik gereja diharuskan untuk meminta persetujuan
dari
sinode
menyangkut
sebagai
pemegang
persetujuan
hak.
anggaran
Sedangkan
oleh
jenjang
kepemimpinan yang berwenang, diatur dalam pasal 5,
yakni APB jemaat disahkan oleh klasis, dan APB klasis
disahkan oleh sinode.
Bentuk lain dari preaction reviews dapat ditemui
dalam bentuk persetujuan-persetujuan yang diberikan
untuk
kepentingan-kepentingan
tertentu.
Seperti
persetujuan untuk pelaksanaan kegiatan, persetujuan
untuk sekolah lanjut, persetujuan untuk keluar jemaat,
persetujuan untuk mutasi dan lain-lain.
Bentuk-bentuk action accountability di GPM itu
dilakukan dengan cara:
1) Merumuskan aturan kerja, kebijakan dan prosedur,
dan ketentuan kontrak. Sedangkan untuk kode etik
tidak dimiliki oleh GPM.
2) Mengkomunikasikan melalui kegiatan sosialisasi,
rapat sinode, rapat klasis, perkunjungan ke jemaatjemaat.
3) Melakukan monitoring dan evaluasi
(MONEVA),
supervisi, dan verifikasi.
4) Memberikan rewards dan punishments misalnya
pemberhentian.
Aturan kerja mengatur tentang cara dalam
pelaksanaan
suatu
tugas
atau
pekerjaan
dengan
mengingat segi-segi tujuan gereja, peralatan, fasilitas,
tenaga kerja, waktu, ruang dan biaya yang tersedia
seefisien mungkin. Berikut akan dijelaskan tentang
bentuk-bentuk aturan kerja di GPM dalam tabel 4.9.
Tabel 4.9 Penjelasan jenis peraturan kerja
Jenis Peraturan
kerja
Peraturan pokok
GPM
Peraturan pokok
perbendaharaan
GPM
Peraturan tentang
penggembalaan
dan disiplin gereja
Peraturan
GPM
organik
Keterangan
Peraturan ini didalamnya ditetapkan halhal yang sifatnya pokok pada tiga aras
(sinode, klasis, jemaat).
Peraturan ini didalamnya memuat tentang
perbendaharaan
gereja,
tata
usaha
perbendaharaan
gereja,
pengurusan
komptabel,
perhitungan
dan
pertanggungjawaban
perbendaharaan,
pembentukan
tim
verifikasi
dan
pengawasan, inventaris, penyimpanan dan
memperbungakan
keuangan
gereja,
penertiban penyelewengan dan tuntutan
ganti rugi, serta serah terima jabatan.
Peraturan ini memuat tentang kewajiban
dan tanggung jawab anggota, pegawai, dan
pelayan
khusus
gereja,
tugas
dan
wewenang badan gereja, tindakan disiplin
bagi anggota, pegawai, dan pelayan khusus
gereja.
Peraturan ini memuat tentang pola
organisasi GPM, uraian tugas dan tata
laksana
perangkat
pelayan
GPM,
pengangkatan
pegawai/pejabat
organik
GPM,
pemberhentian
pegawai/pejabat
organik GPM, cuti pegawai/pejabat GPM,
pensiun pegawai/pejabat GPM, struktur
tugas pimpinan harian majelis jemaat
(PHMJ) GPM, dan pemilihan majelis jemaat
GPM.
Kebijakan dan prosedur kerja memperlihatkan
rangkaian dari tata kerja yang saling berhubungan satu
dengan yang lain. Dimana terlihat adanya suatu urutan
tahap demi tahap, dan jalan yang harus ditempuh oleh
pelayan/pegawai gereja dalam rangka menyelesaikan
suatu bidang tugas yang diberikan oleh pimpinan pada
ketiga aras (sinode, klasis, jemaat). Kebijakan dan
prosedur di gereja menyangkut dengan kebijakan dan
prosedur
pemilihan
pendeta,
majelis
jemaat,
dan
lainnya.
Ketentuan
kontrak
memuat
kesediaan
pegawai/pelayan organik untuk bersedia di tempatkan
di mana saja dalam tugas pelayanan. Ketentuan
kontrak dilakukan di dalam proses recruitments calon
pegawai/pelayan organik gereja.
Verifikasi merupakan pemeriksaan setiap laporan
yang dibuat oleh bendaharawan sebelum laporan itu
dijadikan laporan pertanggung jawaban dalam sidang-
sidang. Ketentuan mengenai verifikasi dituang dalam
peraturan pokok tentang perbendaharaan gereja pasal
19. Jika terdapat pelanggaran terhadap penggunaan
anggaran maka akan dikenakan sanksi sebagai mana
tertulis dalam aturan organisasi.
Tentang
melakukannya
monitoring
dalam
tiga
dan
evaluasi
cara,
yaitu
GPM
MONEVA,
supervisi, dan verifikasi. MONEVA merupakan kegiatan
monitoring
dan
evaluasi
atas
setiap
aksi
yang
dilakukan oleh gereja dalam berbagai jenjang. Kegiatan
ini dilakukan secara rutin oleh pihak klasis maupun
sinode. GPM baru melakukan kegiatan ini sebagai
tindak lanjut dari RENSTRA yang dijalankan. MONEVA
dilakukan oleh pihak BALITBANG GPM, Klasis, dan tim
asistensi di seluruh wilayah pelayanan GPM.
Visitasi dilakukan setiap 3 bulan sekali. Visitasi
dijalankan oleh gereja secara formal maupun non
formal.
Secara
formal
dilakukan
gereja
dengan
mengirimkan surat, sedangkan secara non formal
dilakukan
tanpa
surat
atau
dadakan.
Dalam
wawancara dengan Pdt. Yan Matatula mengemukakan
bahwa:
“Visitasi dadakan kami lakukan untuk mengecek
secara langsung informasi-informasi yang telah
kami dapatkan dari jemaat setempat terkait dengan
kinerja yang kurang baik maupun yang baik yang
dilakukan oleh pendeta setempat. Ini berguna untuk
menjadi bukti bagi kami mengenai apa yang
disampaikan umat, dan jika ada pendeta jemaat
yang kedapatan membuat kesalahan dengan
meninggalkan jemaat tanpa pemberitahuan kepada
kami, akan kami kenakan sanksi sesuai aturan
yang berlaku.”1
Hal
ini
menjadi
jelas
bahwa
GPM
telah
melakukan kegiatan visitasi namun kendalanya adalah
belum adanya format yang baku dalam melakukannya.
Kode etik tidak dimiliki oleh gereja. Dalam
persidangan BPL tahun 2011 di Dobo, hal ini sudah
diangkat tetapi belum disetujui karena terdapat alasan
yang terkait dengan karakteristik pelayanan di gereja.
Bentuk redundancy dilakukan gereja dengan
menyediakan
cadangan
yang
tenaga
dapat
pelayan/pegawai
menggantikan
organik
pelayan
Hasil wawancara ketua klasis kairatu tanggal 18 januari 2013
jika
sewaktu-waktu berhalangan dalam pelaksanaan tugas
pelayanan
gereja.
Pada
beberapa
jemaat
hal
ini
dilaksanakan dengan mempersiapkan majelis jemaat
bertugas untuk memimpin pelayanan ibadah jika
sewaktu-waktu
pendeta
bertugas
secara
tiba-tiba
berhalangan datang. Walaupun harus disadari bahwa
belum semua jemaat melakukan itu.
4.2.3 People/Culture Controls
People controls membangun kecenderungan alami
karyawan
disebabkan
untuk
oleh
mengendalikan
kebanyakan
diri.
orang
Hal
ini
memiliki
hati
nurani yang membuat mereka melakukan apa yang
benar,
menemukan
melakukan
organisasi
utama
kepuasan
pekerjaan
mereka
dengan
berhasil.
untuk melaksanakan
diri
ketika
mereka
dan
melihat
tiga
metode
baik,
Terdapat
people controls yaitu
seleksi dan penempatan karyawan, training, serta
desain pekerjaan dan penyediaan sumberdaya yang
diperlukan. Tabel berikut akan menjelaskan bagaimana
ketiga metode ini dijalankan di GPM.
Tabel 4.10 Metode People Controls dan bentuknya di GPM.
Metode
Realisasi di GPM
Seleksi dan
penempatan
karyawan
GPM melakukan seleksi dan
penempatan
karyawan
berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan.
Melakukan training bagi para
pegawai/pelayan organik.
Training
Desain
pekerjaan
dan sumber daya
yang diperlukan
Uraian tugas dan uraian kerja
Cross
chek
x
x
x
Proses seleksi dan penempatan dilakukan oleh
gereja dengan merekrut calon pendeta (vikaris) melalui
beberapa tahapan yaitu : pendaftaran yang dibuka
untuk setiap lulusan fakultas teologi, dengan tahun
lulus tertentu; tes calon vikaris berupa tes tertulis dan
psiko
tes;
pemberkasan
yang
berfungsi
untuk
menyeleksi calon vikaris berdasarkan berkas-berkas
yang telah dikumpulkan dan hasil tes; pegumuman
hasildan penempatan calon vikaris di daerah pelayanan
yang ditentukan. Syarat-syarat yang digunakan dalam
penilaian calon vikaris adalah ijasah teologi, sertifikat-
sertifikat kegiatan yang digunakan, surat keterangan
berkelakuan baik dari kepolisian (SKCK), dan
surat
keterangan keterlibatan dalam pelayanan di jemaat asal
calon. Kriteria penilaian yang digunakan gereja dalam
menilai calon vikaris menekankan pada aspek etika dan
moralitas, pendidikan teologi, kognitif, pengalaman
berorganisasi, serta kesehatan jasmani dan rohani.
Sebelum ada dalam masa vikariat, calon vikaris
diwajibkan
terdapat
mengikuti
training
materi-materi
yang
yang
di
berfungsi
dalamnya
mengasah
kecakapan dan melengkapi kemampuan vikaris untuk
melakukan pelayanan di jemaat tempat tugasnya. Di
dalam proses vikaris calon pendeta dimonitoring dan
dinilai oleh mentor setempat, jika kedapatan berbuat
kesalahan maka akan diberikan punishment sesuai
aturan dan dipertimbangkan kembali untuk dapat
diangkat menjadi pendeta ataukah tidak. Di masa akhir
vikaris terdapat tes yang berguna untuk mengevaluasi
kehadiran dan daya kritis vikaris dalam menghadapi
masalah-masalah di jemaat tempat tugasnya. Evaluasi
ini berguna untuk mengukur kapasitas vikaris serta
menjadi
bahan
pertimbangan
dalam
penempatan
pendeta.
Bentuk training dilakukan oleh GPM terkait
dengan
pengembangan
muatan-muatan
kapasitas
materi
pelayan
kontekstual.
melalui
Trainingyang
dilakukan melibatkan pegawai/pelayan organik yang
difasilitasi oleh gereja, namun kadang-kadang juga
difasilitasi
oleh
organisasi-organisasi
lain
yang
bekerjasama dengan gereja.
Desain pekerjaan dilakukan oleh gereja dalam
uraian tugas dan tata laksana perangkat pelayan yang
tertuang
dalam
Keputusan
BPL
Sinode
Nomor
:
10/BPL/XX/1998. Di sini terdapat pembagian tugas
dalam pelayanan di semua tingkat organisasi. Dalam
melakukan pelayanan di jemaat-jemaat pelaksanaan
pembagian
tugas
jemaat.
Pembagian
bidang
tugas
melibatkan
dan
peran
juga
majelis
dilakukan
daerah
jemaat
dan
berdasarkan
pelayanan.
Ini
memudahkan
tugas
pendeta
dalam
melakukan
pelayanannya.
Culture controls
dirancang untuk mendorong
saling pemantauan, dan merupakan bentuk kuat dari
group pressure pada individu yang menyimpang dari
norma-norma
kelompok.
Terdapat
lima
bentuk
pendekatan yang digunakan dalam kontrol ini yaitu
kode
etik,
penghargaan
kelompok,
transfer
intraorganisasi (rotasi karyawan), pengaturan fisik, dan
tone at the top. Berikut ini akan dijelaskan apakah
kelima pendekatan ini telah dilaksanakan di GPM
dalam tabel 4.11.
Tabel 4.11. Bentuk pendekatan culture controls dan realisasinya di
GPM.
Bentuk pendekatan
Realisasi di GPM
Kode etik
Penghargaan
Kelompok
Transfer
intraorganisasi (rotasi
karyawan)
GPM belum memiliki kode etik
Pendekatan ini belum dilakukan
di GPM
Pengaturan fisik
Tone at the top
GPM telah melakukan
pendekatan ini
GPM melakukan dalam bentuk
perencanaan kantor, arsitektur,
dan dekorasi gereja.
GPM melakukan ini dalam
bentuk tone at the top
Cross
check
x
x
x
Tabel 4.11 memperlihatkan bahwa bentuk pendekatan
yang dilakukan di gereja adalah transfer organisasi,
pengaturan fisik, dan tone at the top. Sedangkan untuk
kode etik dan penghargaan kelompok belum diadakan.
Kode etik memang telah diperbincangkan untuk
diadakan dalam sidang BPL di Dobo, namun belum
disetujui karena terdapat beberapa alasan yang penting
untuk dipertimbangkan dalam penyusunan formatnya.
Untuk
pendekatan
penghargaan
kelompok
belum
dilakukan di GPM. Transfer intraorganisasi (rotasi
karyawan) telah dilakukan oleh gereja dalam bentuk
mutasi
pegawai/pelayan
organik.
Mutasi
adalah
pertukaran pegawai/pelayan organik, dengan tujuan
untuk
memperkaya
pengalaman
melayaninya
di
jemaat. Mutasi pendeta dilakukan setiap lima tahun
sekali yang mekanisme penempatan pendetanya diatur
oleh sekretaris sinode. Arsitektur gereja menjadi ciri
khas tersendiri dari organisasi kerohanian ini. Gereja
sangat kuat dengan simbolis seperti salib, lonceng
gereja, dan lain-lain.
Tone at the top dipraktekan di gereja, dan ini
menjadi budaya yang sangat kuat di jemaat. Tone at the
top berhubungan dengan teladan pendeta di jemaat.
Teladan pendeta di jemaat dilakukan sesuai dengan
pola
pelayanan
gereja
(Tata GPM
pasal 8)
yang
berpolakan kehidupan Yesus Kristus sebagai:
1)
HAMBA yang taat dan mengkosongkan diriNya
untuk melayani bukan untuk dilayani.
2)
IMAM yang rela berkorban tanpa pamrih demi
tugas-tugas pelayanan pendamaian di antara
gereja, masyarakat, dan sesama manusia.
3)
NABI yang menaklukan segala sesuatu ke bawah
penilaian
firman
menegakan
Allah
keadilan,
kesejahteraan
umat
terutama
kebenaran
manusia,
untuk
dan
gereja,
masyarakat, bangsa dan negara.
4)
GEMBALA
yang
menjalankan
tugas-tugas,
kepemimpinan, dan pelayanan gereja di bawah
arahan dan tuntunan Gembala Yang Baik.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan
tersebut
maka secara ringkas sistem pengendalian di GPM dapat
dijelaskan dalam tabel 4.12 berikut ini.
Tabel 4.12 Sistem Pengendalian Manajemen pada GPM
Jenis
Kontrol
Results
controls
Action
controls
People/
culture
controls
Bentuk-bentuk
Ada
• Pengukuran
kinerja
• Pengaturan
target
• Sistem
insentif
• Behavioral
constraints
x
• Preaction
reviews
x
• Action
accountability
x
• Redudancy
x
Keterangan
DP3
Tidak ada
x
Kenaikan pangkat
x
Password,
kunci,
pembatasan wewenang
& otoritas pengambilan
keputusan.
rencana Program kerja
& anggaran, sidangsidang,
renstra,
persetujuanpersetujuan lain.
Peraturan
kerja,
ketentuan
kontrak,
verivikasi,
moneva,
visitasi;
Kode etik tidak ada.
Penyediaan
tenaga
pelayan cadangan
• Seleksi
&
penempatan.
x
• Training
• Desain kerja &
SDM
yang
diperlukan
• Kode etik
• Penghargaan
kelompok
• Transfer
x
x
x
Seleksi
tenaga calon
pendeta
(vikaris)&
penempatan
tenaga
pendeta.
Uraian tugas & tata
laksana,
pembagian
tugas.
Belum dimiliki
Belum dimiliki
Mutasi pendeta
intraorganizati
onal
• Pengaturan
fisik
• Tone at the top
4.3.
Implementasi
x
Arsitektur,
dekorasi
gereja
Sesuai
dengan
pola
pelayanan gereja
x
Sistem
Pengendalian
Manajemen pada GPM
GPM
telah
melakukan
sistem
pengendalian
manajemen dengan menggunakan jenis kontrol yang
dikemukakan oleh Merchant dan Van der Stede (2007)
antara
lain
results
controls,action
controls,
dan
people/culture controls, namun dalam implikasinya
terdapat beberapa bentuk kontrol yang tidak sesuai
dengan sistemnya. Berikut akan dijelaskan tentang
impementasi sistem pengendalian manajemen dalam
ketiga jenis kontrol.
1.
Results Controls
Implementasi kontrol ini dilakukan oleh GPM
dalam
bentuk
DP3
yang
diberikan
kepada
para
pegawai/pelayan
organik
penilai
pelaksanaan
pekerjaan untuk diisi daftar penilaiannya. Dari daftar
tersebut gereja dapat melakukan evaluasi terhadap
kinerja yang dilakukan apakah telah sesuai dengan
tujuan organisasi gereja atau belum.
Oleh karena tidak adanya keterkaitan antara
pengukuran kinerja, target kerja dan tujuan organisasi,
maka results controls yang diberikan bersifat subjektif.
Sehingga daftar penilaian kinerja pegawai (DP3) turut
dipengaruhi oleh subjektifitas mereka yang ditugaskan
untuk melakukan pemeriksaan.
2.
Action Controls
Kontrol ini di GPM menemui beberapa masalah
dalam implementasinya, yang akan dijelaskan dalam
penjelasan berikut.
Bentuk
preaction
reviews
di
GPM
berupa
persetujuan program melalui persidangan-persidangan
dan jenjang kepemimpinan di semua jenjang dilakukan
GPM setiap tahun pelayanan. Di dalam persidangan
juga terdapat evaluasi terhadap program-program yang
dijalankan oleh gereja selama satu tahun pelayanan.
Mengenai
persetujuan
RENSTRA,
hal
ini
baru
dilakukan oleh GPM pada tahun 2012. Di temui dalam
penelitian dalam wawancara dengan tim BALITBANG
GPM, disampaikan bahwa ada juga jemaat yang belum
melakukan
RENSTRA.
Ini
disebabkan
lemahnya
sosialisasi, tetapi juga pemahaman mereka tentang
pelaksanaan RENSTRA itu sendiri. Mengenai apakah
RENSTRA
telah
sesuai
dengan
tujuan
organisasi,
ditegaskan oleh tim BALITBANG bahwa visi dan misi
GPM yang lama masih abstrak dan karena itu sulit
untuk membuat renstra berdasarkan itu. Sehingga
mereka melakukannya dari awal dengan menggali isuisu strategis dari tiap jemaat di GPM. Lebih lanjut Pdt.
Vebby
Songopnuan,
S.Si
sebagai
sekretaris
mengemukakan bahwa:
“kami masih melakukan penggodokan untuk
membuat visi dan misi yang sesuai dengan isu-isu
strategis yang didapat dari tiap jemaat di GPM.
Sehingga kita dapat menentukan indikator-indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur pencapaian
visi dan misi. Sebab dengan demikian kita bisa
tim
membuat RENSTRA dengan indikator-indikator
terukur sesuai dengan visi dan misi gereja. ”2
Persetujuan pengelolaan harta milik gereja telah
dilakukan
kegiatan
organisasi.
pengelolaan
Namun
harta
dalam
milik
realitasnya
gereja
belum
sepenuhnya maksimal, bahkan ada yang dihapuskan
karena alasan-alasan tertentu. Karena itu penting juga
untuk merancang mekanisme yang baik dalam hal
pemberian persetujuan pengelolaan harta milik gereja,
yang mengatur tentang hak dan kewajiban bagi mereka
yang menggunakan hak pengelolaan harta milik gereja.
Preaction reviews merupakan hal yang sangat
ditekankan pada GPM. karena persetujuan apapun
yang diberikan oleh pimpinan sangat berhubungan erat
dengan eksistensi GPM. Misalnya untuk menjalankan
proposal kegiatan, panitia harus meminta persetujuan
dari pimpinan pada aras gereja yang menugaskannya.
Sebab dalam kenyataan di lapangan masih ada saja
Wawancara dengan sekretaris Tim BALITBANG GPM tertanggal 16
Januari 2013
orang-orang tertentu yang membawa nama gereja
untuk
tertentu
mendapatkan
untuk
uang
kepentingan
dari
instansi-instansi
pribadinya.
Untuk
kegiatan-kegiatan organisasi yang bersifat eksternal,
dalam hal ini berhubungan dengan organisasi eksternal
gereja, maka aras jemaat harus meminta persetujuan
dari klasis, dan aras klasis harus meminta persetujuan
dari sinode.
Bentuk
action
accountabilitydilakukan
gereja
dalam aturan kerja yang berfungsi untuk mengatur
bagaimana pegawai/pelayan organik dalam melakukan
pelayanannya. Dalam kenyataannya pegawai/pelayan
organik juga menyimpang dari aturan organisasi.
Seperti
tindakan
pegawai/pelayan
organik
meninggalkan jemaat dalam waktu yang sangat lama
untuk kepentingan keluarga. Hal ini kadang-kadang
terpaksa
dilakukan
oleh
pegawai/pelayan
organik
karena jarak yang jauh antara pegawai/pelayan organik
dengan keluarga (suami atau isteri dan anak-anak).
Akibatnya ketika terjadi masalah dalam jemaat pada
waktu pegawai/pelayan organik meninggalkan jemaat,
masalah yang ada menjadi tidak dapat ditangani atau
terlambat dalam penanganannya. Hal ini secara tegas
dijelaskan oleh ketua klasis kairatu yaitu:
“Ketika pendeta meninggalkan jemaat tanpa
memberitahu kepada kami maka pada saat terjadi
masalah dalam jemaat waktu pendeta itu pergi,
akan menyulitkan kami dalam berkoordinasi untuk
penyelesaian masalah. Padahal maksud kami
adalah baik, yaitu ketika pegawai/pelayan organik
meminta izin akan memberi signal kepada kami
untuk membantu memonitoring jemaat pada saat
dia tidak ada di jemaat.”3
Kondisi ini dimungkinkan oleh masalah-masalah
yang telah dideskripsikan pada tabel 1.1 diantaranya
ialah: belum berfungsinya tata gereja sebagai pedoman
organisasi, serta lemahnya fungsi kontrol terhadap aras
struktur di bawahnya, lemahnya pemahaman dan
rendahnya kesadaran terhadap tugas pokok dan fungsi
yang
menjadi
tanggung-jawab
bidang,
minimnya
pemahaman tentang job description (lih. Tabel 1.1
nomor 3, 11, 16).
Kontrak kerja dilakukan oleh gereja dengan para
pegawai/pelayan
organik
gereja
di
dalam
proses
recruitments, yang di dalamnya menekankan kesediaan
mereka untuk ditempatkan di mana saja untuk tugas
pelayanan.
Dalam
kenyataannya
terdapat
pegawai/pelayan organik yang tidak pergi ke tempat
tugasnya
karena
alasan-alasan
intrinsik
dan
ini
menimbulkan banyak masalah-masalah dalam jemaat.
Verifikasi telah dilaksanakan di GPM. Hasil
pemeriksaan dari tim ini dituang dalam laporan yang
disebut laporan hasil pemeriksaan (LPH). Dalam Focus
Group
Discussion
(FGD)
yang
dilakukan
Pdt.
A.
Latupeirissa, S.Th menyampaikan bahwa:
“Belum ada format yang baku yang disertai dengan
indikator-indikator terukur yang digunakan oleh tim
verivikasi dalam melakukan kegiatan visitator. Hal
ini disebabkan tenaga-tenaga yang direkrut di
dalam tim ini hanya berdasarkan pengalaman
semata bukan profesionalitas.”4
Proses
pengalaman
perekrutan
ini
yang
berpengaruh
didasarkan
dalam
atas
penanganan
terhadap berbagai masalah tata kelola keuangan di
Hasil FGD tertanggal 18 Januari 2013 di Kantor Klasis Kairatu
gereja. Hal ini lebih lanjut ditegaskan oleh Pdt. Rinto M
yang mengemukakan bahwa:
“Metode perekrutan berdasarkan pengalaman ini
membuat jika ada temuan-temuan penting dalam
pengelolaan keuangan di gereja seperti masalah
jumlah uang kolekta jemaat tertentu yang minim
dibarengi dengan beban tagihan tapel 30% yang
harus distorkan kepada sinode, tim verifikasi tak
dapat memberikan solusi alteratif dan ini membuat
pendeta setempat terpaksa menggunakan uangnya
sendiri untuk membayar tapel supaya pendeta bisa
dapat gaji.” 5
Hingga
saat
ini
gereja
masih
menggunakan
format tata kelola keuangan anggaran berimbang, yang
mengharuskan
seluruh
anggaran
dipakai
secara
berimbang. Padahal dalam pelaporan keuangan di
masing-masing jemaat sering terdapat saldo-saldo kas
dalam angka yang tinggi. Kondisi ini dimungkinkan
disebabkan oleh masalah tata kelola keuangan yang
belum diatur dengan baik, tidak ada sistem pada
pengendalian keuangan gereja, serta sistem rekruitmen
tim verifikasi berdasarkan pengalaman (lih. tabel 1.1
nomor 9, 18, 19).
5Ibid
Disamping verifikasi, bentuk action accountability
juga dilakukan GPM melalui implementasi RENSTRA
yang di dalamnya terdapat kegiatan monitoring dan
evaluasi (MONEVA). Kegiatan monitoring dan evaluasi
ini
sangat
membantu
dalam
mengontrol
kinerja
pendeta di jemaat-jemaat, hal ini sangat terlihat dari
penjelasan Pdt. Yan. Matatula, S.Th bahwa:
“Tapi sekarang setelah ada RENSTRA dan PROLITA
monitoring dan evaluasi menjadi sangat penting dan
tentunya apa yang dilihat, diamati dan diteliti kita
akan diskusikan dalam proses evaluasi dengan
komisi, dengan sub komisi tetapi juga dengan
kasubid dan MKM. Ini yang dimaksudkan dengan
rapat koordinasi, teknis, dan ruang ini yang akan
dipakai untuk melakukan evaluasi.”6
Kegiatan MONEVA masih dalam tahap implikasi
awal karena baru disosialisasikan untuk dijalankan di
masing-masing jemaat.
Kegiatan visitasi dilakukan GPM secara formal
dan non formal, namun yang menjadi kendala adalah
pada format dari visitasi itu sendiri.
Wawancara dengan Ketua Klasis kairatu tertanggal 18 januari
2013 di ruangan Ketua Klasis Kairatu GPM
6
Bentuk
dilakukan
redundancy
GPM
dengan
menyediakan tenaga-tenaga cadangan. Berdasarkan
hasil FGD yang dilakukan, kenyataan yang ditemui di
lapangan tidak semua jemaat mempersiapkan tenaga
pelayanan cadangan dengan baik, kebanyakan hanya
dibekali dengan materi LPJ tanpa ada penjelasan
mendalam tentang implementasinya dengan kehidupan
jemaat. Hal yang lebih fatal lagi ialah LPJ yang dibuat
menggunakan bahasa-bahasa ilmiah yang kadangkadang tak dapat dimengerti oleh jemaat yang memiliki
latar pendidikan yang rendah.
3.
People/culture controls
Dalam
proses
seleksi
dan
penempatan
pegawai/pelayan organik kebanyakan berorientasi pada
tugas
kependetaan
keterbatasan
sehingga
tenaga-tenaga
menimbulkan
profesi.
Realitas
ini
berdampak pada masalah keterbatasan SDM yang tidak
merata di semua daerah pelayanan; belum tersedianya
tenaga
profesional
dalam
tugas-tugas
struktural,
penelitian, maupun fasilitator, sistem rekruitmen tim
verifikasi berdasarkan pengalaman (lih. tabel 1.1 nomor
15,17,19).
GPM
melakukan
training
kepada
para
pegawai/pelayan organik gereja untuk meningkatkan
kemampuannya di jemaat. Namun kegiatan training
yang dilakukan belum maksimal bahkan ada yang
tidak
diimplementasikan
oleh
sebagian
pegawai/pelayan organik dalam tugasnya di jemaat. Ini
dipengaruhi
oleh
cara
pandang
dan
pemahaman
mereka tentang materi-materi trainingyang diikuti.
Belum adanya mekanisme yang baku dalam
mengontrol implementasi training yang diikuti oleh para
pegawai/pelayan
terhadap
GPM,
implementasi
serta
training
lemahnya
berdampak
kontrol
pada
masalah belum tertatanya data dan sistem informasi
data
karena
rendahnya
kemampuan
dan
SDM,
keterbatasan sumber daya manusia yang tidak merata
di semua daerah pelayanan (lih. tabel 1.1 nomor 12,15).
Tentang desain pekerjaan dan sumber daya yang
diperlukan, aspek ini sudah cukup maksimal dilakukan
di GPM. Dalam melakukan tugas di jemaat-jemaat
pendeta diberikan fasilitas berupa rumah (pastori
jemaat) tetapi juga untuk jemaat-jemaat yang berada di
kota dan memiliki sumber dana yang banyak, biasanya
jemaat menyediakan kendaraan berupa mobil atau
motor yang berfungsi membantu mobilisasi pendeta
dan pelayan ke tempat tugas.
Selain
itu
untuk
menjamin
kesejahteraan
pegawai/pelayan organisasi diberikan gaji dan pensiun.
Sistem penggajian berdasarkan atas golongan dan lama
masa
kerja
pegawai/pelayan
organik.
Pemberian
pensiun diberikan berdasarkan keputusan sidang XXV
BPL SINODE GPM nomor 13/BPL/XXV/2003. Dasar
pensiun yang dipakai untuk menentukan besarnya
pensiun adalah gaji pokok. Pada saat pegawai/pelayan
organik memasuki masa pensiun mereka diberikan
kompensasi sebesar tiga puluh juta rupiah. Jaminan
yang
diberikan
sangat
bermanfaat
sehingga
pegawai/pelayan
organik
menjadi
tenang
dalam
pelayanannya tanpa memikirkan sesuap nasi untuk
keluarganya. Di samping itu ada jaminan kesehatan
yang disiapkan gereja untuk para pegawai/pelayan
organik.
Namun, pada jemaat-jemaat yang terdapat di
daerah-daerah
pedalaman,
pelayanan
peralatan
yang
pendukung
masih
ada
di
belum
tersedia.
Misalnya penyediaan sound sistem untuk ibadah,
tranportasi pendeta, maupun rumah pastori. Belum
terlaksananya metode ini secara maksimal berdampak
pada masalah tidak dimilikinya sarana dan prasarana
yang mendukung pengembangan sistem informasi data;
peralatan pendukung tidak terkelola dengan baik;
ketersediaan sarana dan prasarana belum diarahkan
dalam mendukung tercapainya tujuan pada masingmasing bidang kelembagaan (lih. Tabel 1.1 nomor
7,8,13).
Di samping tiga metode yang digunakan dalam
implementasinya gereja mengandalkan peranan Roh
Kudus untuk menuntun dan mengontrol perilaku
pegawai/pelayan organik gereja. Hal ini menjadi dasar
keyakinan pegawai/pelayan organik gereja bahwa tugas
pelayanan yang dilakukan merupakan bentuk dari
keterpanggilan iman mereka. Hal ini dikemukakan
secara tegas oleh ketua sinode GPM bahwa:
“Harus diakui gereja ini dipimpin oleh Roh Kudus,
semua nggak bisa kita atur begitu saja. Ada
peranan Roh untuk memimpin gereja ini, dan disitu
sebenarnya uniknya organisasi keagamaan. Tugas
pelayanan gereja merupakan bentuk keterpanggilan
iman dan ini yang mendorong para pelayan gereja
untuk tetap melakukan tugasnya.”7
Berdasarkan
tabel
4.12
Kode
etik
dan
penghargaan kelompok belum dilakukan di GPM.
Kondisi ini berdampak pada masalah belum optimalnya
penguasaan
aturan
gereja;
minimnya
pemahaman
tentang job description (lih. tabel 1.1 no.4,16).
7
Wawancara dengan ketua sinode GPM tertanggal 10 januari 2013
Implementasi bentuk tone at the top belum
dilakukan
secara
pegawai/pelayan
terdapat
maksimal
organik.
Ini
pegawai/pelayan
oleh
dikarenakan
organik
yang
semua
masih
belum
melakukan hal ini dengan baik, karena apa yang
dikatakan atau yang diajarkannya berbeda dengan apa
yang diimplementasikan. Atau dengan kata lain pola
hidup mereka belum sepenuhnya sesuai dengan pola
pelayanan gereja yang terdapat dalam tata gereja pasal
8. Pola hidup yang bertentangan itu antara lain adalah
masih adanya perilaku miras, kekerasan, dan beberapa
kasus lainnya. Terhadap pelanggaran ini terdapat dua
bentuk punishmentyang dilakukan oleh gereja. Bentuk
yang pertama adalah bentuk tindakan penggembalaan
dan
disiplin
gereja
yang
diberikan
kepada
pegawai/pelayan organik yang tidak melaksanakan
kewajiban
dan
tanggung-jawabnya
sebagaimana
termaktub dalam ketetapan sinode GPM pasal 2 tahun
1995.
Bentuk
pemberhentian
yang
kedua
adalah
bentuk
pegawai
yang
tertuang
dalam
Keputusan Sidang BPL nomor 11/BPL/XXV/2003 yang
disebabkan atas tindakan menyimpang dari ajaran
gereja,
menyebarluaskan
ajaran
sesat,
memecah-
belahkan persekutuan umat, melakukan tindakan yang
terang-terangan merugikan gereja.
Berdasarkan penjelasan tentang implementasi
sistem pengendalian manajemen pada GPM, maka
secara ringkas hal tersebut akan digambarkan dalam
tabel 4.13.
Tabel 4.13 Implementasi Sistem pengendalian Manajemen pada
GPM
Jenis Kontrol
Results Controls
Implementasi
Pelaksanaan DP3
Action Controls
• RENSTRA
• Persetujuan
pengelolaan
harta
milik
gereja.
• Kontrol
ketat
dalam
persetujuan.
• Aturan kerja
• Verivikasi
Kendala Implementasi
Subjektifitas
dalam
penilaian DP3
Sosialisasi & indikator
Mekanisme pemberian
persetujuan.
Masih ada pegawai/
pelayan organik yang
menyimpang
dari
aturan kerja.
Rekruitmen
tenaga
verifikasi berdasarkan
pengalaman.
People/culture
controls
• MONEVA
• Penyediaan
tenaga pelayan
cadangan
• Seleksi
dan
penempatan
• Training
• Pendeta
diberikan
fasilitas
(rumah,
kendaraan,
jaminan
kesehatan, gaji,
pensiun)
• Tone at the top
• Gereja
menekankan
peranan
Roh
Kudus
yang
menuntun
&
mengontrol
perilaku
pelayan sebagai
wujud
panggilan iman.
Berorientasi
pada
penggunaan
bahanbahan LPJ.
Lebih mengedepankan
pada tenaga pedeta,
sedangkan
tenaga
profesional
kurang
mendapat perhatian.
Hasil training kurang
diimplementasi dalam
kerja.
Untuk
jemaat
pedalaman peralatan
pendukung
tidak
memadai
(sound
sistem, rumah pastori,
transportasi).
.Perilaku
pelayan
menyimpang dari pola
pelayanan gereja.
ANALISIS DATA
4.1. Gambaran Umum Gereja Protestan Maluku
GPM
berawal
dari
ibadah
perdana
Gereja
Protestan Calvinis dari orang-orang Belanda, mereka
merupakan pegawai VOC di Ambon pada 27 Februari
1605.
Gereja
ini
terus
berkembang
di
masa
pemerintahan Hindia Belanda yang dilayani oleh Gereja
Protestan di Indonesia (GPI) dan Nederlandse Zendeling
(NZG).
Genotschaap
Hingga
tahun
1930,
daerah
pelayanannya telah meliputi hampir seluruh Maluku.
Pada 6 September 1935 GPM berdiri sebagai
gereja yang mandiri dalam bidang konfesi, liturgi,
keuangan,
dan
kepemimpinan.
GPM
memelihara,
membina dan mengembangkan struktur dan fungsi
kepemimpinan
gereja
Presbiterial Sinodal yang
dengan
menganut
sistem
secara dinamis dan kreatif
menekankan pada peranan para presbiter (Efesus 4:
11-12), Pengelolaan dan penatalayanan kehidupan
gereja atas dasar persekutuan dan kasih (Filipi 2:14),serta hubungan yang selaras, serasi, utuh, terpadu,
dan
dinamis
penyelenggaraan
pelayanan
gereja,
jenjang-jenjang kepemimpinan gereja, serta umat gereja
secara menyeluruh. Sistem ini menekankan pada
prinsip kebersamaan yang terwujud dalam tindakan
yaitu berjalan, bergumul, bermusyawarah, bekerja, dan
berbuat serta mempunyai pengalaman bersama dalam
mengisi persekutuan untuk melayani dan bersaksi
sebagai misi Kristus. Menjalankan organisasinya GPM
memiliki pola organisasi yang tergambar berikut ini.
Gambar 4.1 : Pola Organisasi GPM (TAP SINODE No. 1 tahun
1978)
SINODE
Badan Pekerja Lengkap
Badan Pekerja Harian Sinode
Departemen
Sekretariat Umum
Biro
Biro
Sidang Klasis
Sidang Jemaat
Badan Pertimbangan
Lembaga non Departemen
Keterangan:
:GarisKomando
: Garis hub. fungsional
: Garis Staff
: Garis koordinasi
Sumber: Peraturan organik GPM hal. 99
Sebagai
organisasi
GPM
mempunyai
visi
yaitumenjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan
karya
secara
utuh
untuk
bersama-sama
dengan
sesama umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan
kehidupan
yang
berkeadilan,
damai,
setara,
dan
sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia.
Visi
ini
mendidik,
diterjemahkan
membina,
dalam
misi
membangun,
gereja
yaitu
memberdayakan
jemaat setempat atau umat dan orang-orang lain
menjadi manusia beriman yang berkualitas, maju,
mandiri, terbuka, serta memiliki rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan
dalam
kehidupan
bergereja
dan
bermasyarakat, sehingga mereka dapat bersama-sama
turut berperan serta dalam misi pembebasan dan
penyelamatan Allah melalui pelayanan yang holistik.
Pelayanan holistik ini mencakup seluruh aspek hidup
manusia,
aspek
jasmani-rohani,
ritual,
kelembagaan,
sosio-etis,
sosial-ekonomi-politik-budaya,
dan
ekologi. Visi dan misi ini dijalankan dalam kegiatankegiatan utama gereja (core activities), yang memberi
tekanan
pada
pelayanan
penguatan
dalam
karakter
hidup
dan
berjemaat,
kapasitas
bergereja,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menurut Merchant dan Van der Stede (2007)
bahwa visi dan misi suatu organisasi mesti jelas dan
dapat diukur sehingga organisasi dapat mengetahui
apakah mereka telah mencapai tujuan organisasinya.
Berdasarkan
visi
dan
misi
GPM
yang
telah
dikemukakan, dapat dianalisis bahwa terdapat dua
syarat untuk mencapaiannya, serta bagaimana visi ini
diterjemahkan dalam misi dan tanggapan indikator
pengukurnya, dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.1 Penjabaran visi dalam misi serta tanggapan indikator
pencapaian.
No.
Visi
1.
Menjadi gereja
yang memiliki
kualitas iman
dan
karya
secara utuh.
2.
Untuk
bersama-sama
dengan
sesama umat
manusia dan
ciptaan Allah
mewujudkan
kehidupan
yang
berkeadilan,
damai, setara,
dan sejahtera,
sebagai tandatanda kerajaan
Allah.
Penjabaran pada
misi
kualitas iman dan
karya
pada
visi
dapat
dicapai
dalam misi untuk
mendidik,
membina,
membangun,
dan
memberdayakan
jemaat
setempat
atau
umat
dan
orang-orang
lain
menjadi
manusia
beriman
yang
berkualitas, maju,
mandiri,
terbuka,
serta memiliki rasa
kebersamaan dan
kesetiakawanan
dalam
kehidupan
bergereja
dan
bermasyarakat.
Mewujudkan
visi
dengan
cara
bersama-sama
turut
berperan
serta dalam misi
pembebasan
dan
penyelamatan Allah
melalui pelayanan
yang holistik.
Tanggapan
indikator
pencapaian
Pada
penjabaran
misi,
tidak
dikemukakan
adanya
indikator
yang
dapat
digunakan untuk
mengukur
tercapainya
kualitas iman dan
karya secara utuh.
Kegiatan mendidik,
membina,
membangun
dan
memberdayakan
merupakan
rangkaian kegiatan
utama
dalam
implementasi visi.
Indikator
untuk
mengukur
bagaimana
kehidupan
berkeadilan,
damai,
setara,
sebagai
tandatanda
kerajaan
Allah
tidak
dijelaskan
di
dalam penjelasan
misi.
Berdasarkan tabel 4.1, dapat dikatakan bahwa
visi dan misi pada GPM masih abstrak, serta tidak
memiliki indikator yang jelas untuk mengukur konsepkonsep besar yang digambarkan sebagai visi. Kondisi
ini sesuai dengan karakter gereja sebagai organisasi
non-profit yang dikemukakan oleh Merchant dan Van
der Stede (2007) di mana organisasi non-profit tidak
memiliki kejelasan sasaran. Keabstrakan visi yang
berdampak pada kesulitan dalam membuat indikatorindikator
pencapaian
tujuan
membuat
sistem
pengendalian manajemen pada GPM menjadi menjadi
sulit.
4.2. Sistem Pengendalian Manajemen pada GPM
Deskripsi sistem pengendalian di GPM akan
diuraikan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Merchant dan Van der Stede (2007) bahwa
tiga jenis kontrol yaitu results
terdapat
controls,
action
controls dan people controls.
4.2.1 Results Controls
Results
controls
adalah
tipe
kontrol
yang
dilakukan dengan memberikan rewards untuk kinerja
terbaik atau memberikan punishing untuk kinerja yang
buruk. Terdapat empat syarat dalam pelaksanaan
results
controlsyaitu:
(1)
mendefenisikan
dimensi-
dimensi yang mana hasil yang diinginkan atau tidak
diinginkan seperti profitabilitas, kepuasan pelanggan
atau cacat produk; (2) mengukur kinerja berdasarkan
dimensi
ini;
(3)
pengaturan
target
kinerja
untuk
karyawan upayakan, dan (4) memberikan penghargaan
untuk mendorong perilaku yang dapat mengarah pada
hasil yang diinginkan. Berdasarkan keempat syarat
tersebut, maka berikut akan dijelaskan mengenai
bentuk results controls dan bentuk pelaksanaannya
yang telah dijalankan pada GPM dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Pelaksanaan bentuk Results Controls di GPM.
No.
Bentuk-bentuk Result
Kontrol
1.
Pengukuran Kinerja
2.
Pengaturan target
kinerja
3.
Sistem insentif
Ada
Keterangan
x
Dilakukan di GPM dalam
bentuk DP3
x
Dilakukan di GPM dalam
bentuk Kenaikan
pangkat
Berdasarkan
terdapat
dua
tabel
bentuk
4.2
dapat
results
dilihat
controls
bahwa
yang
telah
dilakukan oleh GPM yaitu pengukuran kinerja dan
sistem
insentif.
Pengukuran
kinerja
dilakukan
berdasarkan DP3. DP3 adalah daftar yang digunakan
untuk menilai setiap pelaksanaan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai/pelayan gereja.
DP3 dimuat dalam Keputusan Sidang nomor:
09/BPL/XXV/2003 bab II pasal 4 tentang daftar
pelaksanaan pekerjaan yang digunakan sebagai dasar
untuk melakukan kenaikan pangkat. Unsur-unsur
yang
dinilai
dalam
DP3
ini
adalah
kesetiaan/pengabdian, prestasi kerja, tanggung-jawab,
ketaatan,
kejujuran,
kerjasama,
prakarsa
dan
kreatifitas, kehidupan moral, serta kepemimpinan.
Hasil
penilaian
pelaksanaan
pekerjaan
dinyatakan
dengan sebutan dan angka-angka sebagai berikut.
Tabel 4.3. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan.
Skor
91 - 100
76 - 90
61 - 75
51 - 60
50 – ke bawah
Predikat
Amat baik
Baik
Cukup
Sedang
Kurang
Insentif diberikan berdasarkan persyaratan yang
tertuang
dalam
pangkat,
yang
Keputusan
peraturan
secara
Sidang
pelaksanaan
lengkap
nomor:
kenaikan
dijelaskan
dalam
09/BPL/XXV/2003.
Penjelasan mengenai hal ini digambarkan dalam tabel
4.4 berikut.
Tabel 4.4. Jenis kepangkatan dan target kinerja yang dicapai.
No.
1.
2.
Jenis Kenaikan
Persyaratan
Pangkat (insentif)
Kenaikan
pangkat • Telah empat tahun dalam pangkat
regular
yang dimiliki, dan setiap unsur
penilaian pelaksanaan pekerjaan,
sekurang-kurangnya bernilai baik.
• Telah lima tahun dalam pangkat
yang dimiliki dan setiap unsur
penilaian
sekurang-kurangnya
bernilai cukup.
Kenaikan
pangkat • Telah empat tahun dalam jabatan
pilihan
struktural dan fungsionalnya, serta
setiap unsur pekerjaannya bernilai
baik selama dua tahun terakhir.
• Telah lima tahun dalam jabatan
yang
dimiliki,
penilaian
pelaksanaan pekerjaan bernilai baik
dan tidak ada unsur penilaian yang
bernilai kurang.
3.
Kenaikan
istimewa
pangkat • Menunjukkan prestasi kerja luar
biasa baik dan menjadi teladan
selama dua tahun yang dinyatakan
dengan surat keputusan Sinode
GPM.
• Setiap unsur pelaksanaan kerja
bernilai amat baik.
• Menemukan penemuan baru yang
bermanfaat bagi GPM.
Penting untuk diperhatikan bahwa DP3 ini belum
rill results controls-nya. Penilaian kinerja staf itu dapat
diinterpretasikan dalam dua hal yaitu sebagai aturan
organisasi tetapi bisa juga diartikan sebagai results.
DP3 diinterpretasikan sebagai results controls, akan
tetapi di dalamnya belum dituangkan pengaturan
target.
Sehingga
insentif
yang
diberikan
tidak
bergantung pada target melainkan hasil penilaian
pelaksanaan pekerjaan. Kondisi ini membedakannya
dengan perusahaan yang memiliki keterkaitan diantara
pengukuran
kinerja
dan
pengaturan
target
kerja
dengan tujuan organisasi sangat kuat (misalnya dengan
laba, ROI, dll), tetapi untuk gereja agak sulit karena
tujuan dan indikatornya tidak jelas serta tidak terukur.
Kalau di dunia bisnis pengukuran kinerja dan
target bisa dikaitkan secara langsung dengan tujuan
perusahaan.
Akan
tetapi
karena
gereja
adalah
organisasi non-profit dimana visi dan misinya tidak
memiliki indikator yang jelas maka agak sulit untuk
mengaitkan antara tujuan gereja dengan pengukuran
dan target kinerja.
Belum diaturnya target kinerja, serta pengukuran
kinerja dan insentif yang belum dapat didasarkan pada
tujuan organisasi menimbulkan masalah di dalam
gereja, antara lain yang diidentifikasi dalam tabel 1.1.
Masalah-masalah itu yaitu, belum terwujud dengan
baik
optimalisasi
dalam
menterjemahkan
dan
melakukan implementasi tugas pokok dan fungsi atas
dasar aturan; perbedaan persepsi antara suprastruktur
dan
umat
dalam
memahami
keterpanggilannya;
pelaksanaan tugas yang belum maksimal disebabkan
oleh orientasi gereja pada kegiatan rutin; Aturan yang
tersedia tidak mengatur dengan jelas setiap bidang dan
tugasnya, yang berorientasi pada pengembangan dan
pencapaian
tujuan;
lemahnya
pemahaman
dan
kesadaran tugas pokok dan fungsi pada masing-masing
bidang kelembagaan; (lih. Tabel 1.1, masalah nomor
1,2,6,7,11,13).
GPM mempunyai finance responsibility centre
yang mayoritasnya adalah cost centre, yakni pada
departemen keesaan dan pembinaan umat, departemen
pekabaran injil dan komunikasi, departemen pelayanan
dan pembangunan.Sedangkan departemen finansial
dan ekonomi merupakan revenue centre. Bidang ini
bertugas
pendanaan
untuk
untuk
melakukan
organisasi.
kegiatan-kegiatan
Terdapat
beberapa
bentuk kegiatan pendanaan yang dilakukan oleh GPM
antara lain dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.5 Kegiatan pendanaan GPM
Kegiatan Pendanaan
Dana onderstanfons
Keterangan
Dana
onderstanfons
merupakan
sejumlah
dana
yang disimpan di Belanda sejak
tahun
1969,
yang
diperuntukkan
untuk
para
pensiun pendeta. Dana ini
hanya bisa digunakan pada
saat
emergensi,
untuk
mencukupi atau membantu
Dana Lestari
Penggunaan Aset gereja
Dana THT
mengatasi persoalan keuangan
pensiun GPM, tidak untuk
digunakan pada setiap tahun.
Secara lengkap penggunaan
dana
ini
dituang
dalam
pedoman pemanfaatan dana
onderstanfons.
Dana lestari merupakan dana
bantuan dari KVR di Belanda.
Dana ini digunakan dalam
permainan saham di Belanda,
dan oleh kesepakatan KVR di
Belanda, dana ini dikembalikan
kepada
GPM.
Penggunaan
dana ini diatur dalam pedoman
pemanfaatan dana lestari GPM.
Terdapat beberapa asset gereja
yang disewakan yaitu tanah
(tanah tersebut terdapat di
daerah
Pulo
Gangsa,
Urimeseng, batu gantong, dll),
gedung (sewa baileo oikumene).
Dana
THT
adalah
dana
perorangan yang dipotong dari
gaji setiap pegawai organik
GPM.
4.2.2 Action Controls
Kontrol ini melibatkan pengambilan langkahlangkah untuk memastikan bahwa karyawan bertindak
sesuai dengan kepentingan terbaik organisasi dengan
menjadikan tindakan mereka sendiri sebagai fokus
kontrol. Kontrol ini memiliki empat bentuk yang
pelaksanaan digambarkan dalam tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6 Bentuk-bentuk action controls dan pelaksanaannya di
GPM.
Bentukaction controls
Behavioral constraints
Preaction reviews
Action Accountability
Redudancy
Bentuk pelaksanaannya di GPM
• Password pada komputer yang
menyimpan data rahasia.
• Kunci lemari dan meja kantor.
• Pembatasan wewenang
pengambilan keputusan
• Pemisahan tugas
• Persetujuan program kerja dan
anggaran.
• Sidang-sidang
• Persetujuan RENSTRA
• Persetujuan pengelolaan hak
milik gereja.
• Persetujuan pimpinan gereja.
• Aturan kerja
• Kebijakan dan prosedur
• Ketentuan kontrak
• Kode etik
• MONEVA
• Verifikasi
• Visitasi
Menyediakan
pelayan/pegawai
organik cadangan
Ada
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Bentuk behavioral constraints dilakukan oleh
GPM dengan cara memberikan kendala-kendala fisik
berupa password pada komputer yang menyimpan
data-data rahasia, memberikan kunci pada lemari dan
meja kerja. Sedangkan untuk pembatasan wewenang
dalam
pengambilan
keputusan
dilakukan
gereja
dengan berpedoman pada tata GPM pasal 27 tentang
wewenang
dan
perwakilan
dalam
pengambilan
keputusan.
Mengenai
gereja
memiliki
pemisahan
tugas,
bidang-bidang
pada
umumnya
pelayanan
(bidang
PELPEM, Finansial ekonomi, kerumahtanggaan dan
PIKOM
Masing-masing
bidang
mempunyai
tugas
tersendiri yang memisahkannya dengan bidang yang
lain. Bidang PELPEM hanya dapat mengerjakan tugas
bidangnya tanpa mencampuri tugas bidang yang lain.
Demikian halnya bendahara hanya dapat mengerjakan
tugasnya sebagai bendahara tanpa mengerjakan tugas
sekretaris.
Preaction
reviews
secara
sederhana
dapat
diartikan sebagai bentuk persetujuan sebelum action
(tindakan, kebijakan, dll) dilaksanakan. Bentuk ini
ditemui di GPM dalam bentuk program kerja dan
anggaran melalui tiga aras (jemaat, klasis, dan sinode).
Dimana program kerja dari komisi harus meminta
persetujuan dari persidangan.
Bentuk action controls yang paling kuat pada
gereja terlihat dalam sidang-sidang yang dilaksanakan
oleh gereja pada masing-masing aras kepemimpinan.
Tabel 4.7 berikut ini akan menjelaskan tentang jenis
persidangan gereja, jenjang organisasi, dan waktu
pelaksanaan.
Tabel 4.7 Jenis persidangan gereja, jenjang organisasi, dan waktu
pelaksanaan
Jenis Persidangan
Sidang
Sidang
Sidang
Sidang
Sinode
BPL Sinode
klasis
jemaat
Jenjang
organisasi
Sinode
Sinode
Klasis
Jemaat
Waktu Pelaksanaan
5
1
1
1
tahun
tahun
tahun
tahun
sekali
sekali
sekali
sekali
Sedangkan mengenai jenis persidangan serta
tugas dan wewenang tiap-tiap persidangan dijelaskan
dalam tabel 4.8.
Tabel 4.8 Jenis persidangan serta tugas dan wewenangnya.
Jenis Persidangan
Sidang Sinode
•
•
•
•
Tugas dan wewenang
Menetapkan tata gereja
Menetapkan
peraturan-peraturan
pokok GPM dan atau peraturan lainnya
yang dipandang prinsipil.
Menetapkan pokok-pokok pengakuan
dan ajaran gereja.
Menetapkan PIP & RIPP GPM untuk
dipedomani oleh seluruh perangkat dan
pelayan dan warga gereja untuk waktu
Sidang BPL Sinode
Sidang klasis
Sidang Jemaat
5 (lima) tahun.
• Mengevaluasi dan meninjau kembali
pokok-pokok kebijaksanaan yang telah
ditetapkan dan dilaksanakan oleh
seluruh perangkat dan warga GPM.
• Menetapkan pola induk pelayanan GPM
sebagai dasar pelaksanaan Amanat
pelayanan GPM.
• Memilih dan mengangkat BPH sinode
dan Badan Pertimbangan BPH Sinode
untuk masa bakti 5 (lima) tahun.
• Menetapkan peraturan organik.
• Mengevaluasi hasil-hasil pelaksanaan
keputusan persidangan sinode dan
persidangan BPL sinode.
• Mengawasi
pelaksanaan
pelayanan
gereja
dan
pelaksanaan
Amanat
pelayanan GPM.
• Menjabarkan
keputusan-keputusan
dan
pokok
kebijaksanaan
yang
ditetapkan oleh persidangan sinode
menjadi program-program yang bersifat
operasional untuk dilaksanakan di
semua jenjang pelayanan gereja.
• Menetapkan anggaran pendapatan dan
belanja GPM untuk tahun berikutnya.
• Menilai dan mengesahkan
laporan
pertanggungjawaban pelayanan dan
keuangan klasis.
• Menetapkan
garis-garis
kebijakan
mengenai
pelaksanaan
keputusan
persidangan Sinode dan BPL Sinode
dalam bidang-bidang pelayanan gereja.
• Mengesahkan anggaran pendapatan
dan belanja tahunan dari klasis.
• Mengawasi
dan
membina
proses
perkembangan jemaat-jemaat menuju
kepada satuan pelayanan yang lebih
besar.
• Memilih utusan-utusan klasis ke
persidangan sinode dan BPL.
• Mengawasi segala harta milik gereja
yang bergerak maupun yang tidak
bergerak sesuai peraturan GPM.
• Mengevaluasi laporan
pertanggungjawaban pelayanan dan
keuangan jemaat.
• Menetapkan program-program
pelayanan jemaat.
• Menetapkan anggaran pendapatan dan
belanja jemaat.
• Menjabarkan keputusan persidangan
sinode, persidangan BPL sinode dan
persidangan klasis.
• Membicarakan
dan
menetapkan
masalah-masalah
keumatan
yang
relevan.
Program kerja dan anggaran dari jemaat mengacu
pada
isu
strategis.
Ini
dikarenakan
organisasi
mempunyai tujuan, dan agar jemaat-jemaat dapat
mendukung tujuan ini maka penting untuk dijabarkan
melalui rencana strategi. Rencana strategi (RENSTRA)
merupakan bagian yang sangat penting di dalam gereja.
Bentuk
ini
disetujui
pelaksanaannya
dalam
persidangan BPL tahun 2011, dan baru disosialisasi
serta diimplementasi pada tahun 2012. Berikut akan
dijelaskan tahapan pembuatan RENSTRA pada GPM.
1)
Pengumpulan data base jemaat yang lengkap.
2)
Melihat gambaran profil jemaat dan profil desa.
3)
Berdasarkan data base, profil jemaat, dan profil
desa, dilakukan identifikasi isu-isu yang muncul.
Di samping itu identifikasi isu dapat dilakukan
dengan menggunakan telaah terhadap dokumendokumen hasil persidangan jemaat tahun-tahun
sebelumnya
untuk
melakukan
analisa
kelembagaan gereja.
4)
Di samping data-data yang ada, tim RENSTRA
juga melakukan focus group discussion (FGD)
mengenai masalah-masalah di jemaat.
5)
Melakukan klarifikasi terhadap isu-isu yang ada
untuk melihat isu yang mana yang benar-benar
menjadi masalah dan isu yang mana yang hanya
bersifat kasuistik.
6)
Berdasarkan klarifikasi, maka isu hubungan
sebab-akibat disatukan untuk mendapatkan isu
utama.
7)
Karena keterbatasan kapasitas dan waktu, maka
dari
isu-isu
utama
dilakukan
perengkingan
untuk melihat isu mana yang mendesak untuk
diselesaikan berdasarkan kapasitas gereja.
8)
Menentukan isu strategi. Isu strategi ialah isu
dimana
gereja
punya
kapasitas
untuk
bisa
menyelesaikannya.
9)
Berdasarkan isu strategi dibuat rencana strategi.
Di dalam persidangan pada masing-masing aras
(jemaat,
klasis,
sinode)
rencana
strategi
ini
dibahas dan dilakukan persetujuan. Rencana
strategi akan dijadikan acuan dalam organisasi.
Bentuk
pengelolaan
yang
harta
berikut
milik.
Hal
ialah
ini
persetujuan
tertuang
dalam
peraturan pokok GPM tentang perbendaharaan gereja
pasal 3, di mana pihak yang ingin mengelola harta
milik gereja diharuskan untuk meminta persetujuan
dari
sinode
menyangkut
sebagai
pemegang
persetujuan
hak.
anggaran
Sedangkan
oleh
jenjang
kepemimpinan yang berwenang, diatur dalam pasal 5,
yakni APB jemaat disahkan oleh klasis, dan APB klasis
disahkan oleh sinode.
Bentuk lain dari preaction reviews dapat ditemui
dalam bentuk persetujuan-persetujuan yang diberikan
untuk
kepentingan-kepentingan
tertentu.
Seperti
persetujuan untuk pelaksanaan kegiatan, persetujuan
untuk sekolah lanjut, persetujuan untuk keluar jemaat,
persetujuan untuk mutasi dan lain-lain.
Bentuk-bentuk action accountability di GPM itu
dilakukan dengan cara:
1) Merumuskan aturan kerja, kebijakan dan prosedur,
dan ketentuan kontrak. Sedangkan untuk kode etik
tidak dimiliki oleh GPM.
2) Mengkomunikasikan melalui kegiatan sosialisasi,
rapat sinode, rapat klasis, perkunjungan ke jemaatjemaat.
3) Melakukan monitoring dan evaluasi
(MONEVA),
supervisi, dan verifikasi.
4) Memberikan rewards dan punishments misalnya
pemberhentian.
Aturan kerja mengatur tentang cara dalam
pelaksanaan
suatu
tugas
atau
pekerjaan
dengan
mengingat segi-segi tujuan gereja, peralatan, fasilitas,
tenaga kerja, waktu, ruang dan biaya yang tersedia
seefisien mungkin. Berikut akan dijelaskan tentang
bentuk-bentuk aturan kerja di GPM dalam tabel 4.9.
Tabel 4.9 Penjelasan jenis peraturan kerja
Jenis Peraturan
kerja
Peraturan pokok
GPM
Peraturan pokok
perbendaharaan
GPM
Peraturan tentang
penggembalaan
dan disiplin gereja
Peraturan
GPM
organik
Keterangan
Peraturan ini didalamnya ditetapkan halhal yang sifatnya pokok pada tiga aras
(sinode, klasis, jemaat).
Peraturan ini didalamnya memuat tentang
perbendaharaan
gereja,
tata
usaha
perbendaharaan
gereja,
pengurusan
komptabel,
perhitungan
dan
pertanggungjawaban
perbendaharaan,
pembentukan
tim
verifikasi
dan
pengawasan, inventaris, penyimpanan dan
memperbungakan
keuangan
gereja,
penertiban penyelewengan dan tuntutan
ganti rugi, serta serah terima jabatan.
Peraturan ini memuat tentang kewajiban
dan tanggung jawab anggota, pegawai, dan
pelayan
khusus
gereja,
tugas
dan
wewenang badan gereja, tindakan disiplin
bagi anggota, pegawai, dan pelayan khusus
gereja.
Peraturan ini memuat tentang pola
organisasi GPM, uraian tugas dan tata
laksana
perangkat
pelayan
GPM,
pengangkatan
pegawai/pejabat
organik
GPM,
pemberhentian
pegawai/pejabat
organik GPM, cuti pegawai/pejabat GPM,
pensiun pegawai/pejabat GPM, struktur
tugas pimpinan harian majelis jemaat
(PHMJ) GPM, dan pemilihan majelis jemaat
GPM.
Kebijakan dan prosedur kerja memperlihatkan
rangkaian dari tata kerja yang saling berhubungan satu
dengan yang lain. Dimana terlihat adanya suatu urutan
tahap demi tahap, dan jalan yang harus ditempuh oleh
pelayan/pegawai gereja dalam rangka menyelesaikan
suatu bidang tugas yang diberikan oleh pimpinan pada
ketiga aras (sinode, klasis, jemaat). Kebijakan dan
prosedur di gereja menyangkut dengan kebijakan dan
prosedur
pemilihan
pendeta,
majelis
jemaat,
dan
lainnya.
Ketentuan
kontrak
memuat
kesediaan
pegawai/pelayan organik untuk bersedia di tempatkan
di mana saja dalam tugas pelayanan. Ketentuan
kontrak dilakukan di dalam proses recruitments calon
pegawai/pelayan organik gereja.
Verifikasi merupakan pemeriksaan setiap laporan
yang dibuat oleh bendaharawan sebelum laporan itu
dijadikan laporan pertanggung jawaban dalam sidang-
sidang. Ketentuan mengenai verifikasi dituang dalam
peraturan pokok tentang perbendaharaan gereja pasal
19. Jika terdapat pelanggaran terhadap penggunaan
anggaran maka akan dikenakan sanksi sebagai mana
tertulis dalam aturan organisasi.
Tentang
melakukannya
monitoring
dalam
tiga
dan
evaluasi
cara,
yaitu
GPM
MONEVA,
supervisi, dan verifikasi. MONEVA merupakan kegiatan
monitoring
dan
evaluasi
atas
setiap
aksi
yang
dilakukan oleh gereja dalam berbagai jenjang. Kegiatan
ini dilakukan secara rutin oleh pihak klasis maupun
sinode. GPM baru melakukan kegiatan ini sebagai
tindak lanjut dari RENSTRA yang dijalankan. MONEVA
dilakukan oleh pihak BALITBANG GPM, Klasis, dan tim
asistensi di seluruh wilayah pelayanan GPM.
Visitasi dilakukan setiap 3 bulan sekali. Visitasi
dijalankan oleh gereja secara formal maupun non
formal.
Secara
formal
dilakukan
gereja
dengan
mengirimkan surat, sedangkan secara non formal
dilakukan
tanpa
surat
atau
dadakan.
Dalam
wawancara dengan Pdt. Yan Matatula mengemukakan
bahwa:
“Visitasi dadakan kami lakukan untuk mengecek
secara langsung informasi-informasi yang telah
kami dapatkan dari jemaat setempat terkait dengan
kinerja yang kurang baik maupun yang baik yang
dilakukan oleh pendeta setempat. Ini berguna untuk
menjadi bukti bagi kami mengenai apa yang
disampaikan umat, dan jika ada pendeta jemaat
yang kedapatan membuat kesalahan dengan
meninggalkan jemaat tanpa pemberitahuan kepada
kami, akan kami kenakan sanksi sesuai aturan
yang berlaku.”1
Hal
ini
menjadi
jelas
bahwa
GPM
telah
melakukan kegiatan visitasi namun kendalanya adalah
belum adanya format yang baku dalam melakukannya.
Kode etik tidak dimiliki oleh gereja. Dalam
persidangan BPL tahun 2011 di Dobo, hal ini sudah
diangkat tetapi belum disetujui karena terdapat alasan
yang terkait dengan karakteristik pelayanan di gereja.
Bentuk redundancy dilakukan gereja dengan
menyediakan
cadangan
yang
tenaga
dapat
pelayan/pegawai
menggantikan
organik
pelayan
Hasil wawancara ketua klasis kairatu tanggal 18 januari 2013
jika
sewaktu-waktu berhalangan dalam pelaksanaan tugas
pelayanan
gereja.
Pada
beberapa
jemaat
hal
ini
dilaksanakan dengan mempersiapkan majelis jemaat
bertugas untuk memimpin pelayanan ibadah jika
sewaktu-waktu
pendeta
bertugas
secara
tiba-tiba
berhalangan datang. Walaupun harus disadari bahwa
belum semua jemaat melakukan itu.
4.2.3 People/Culture Controls
People controls membangun kecenderungan alami
karyawan
disebabkan
untuk
oleh
mengendalikan
kebanyakan
diri.
orang
Hal
ini
memiliki
hati
nurani yang membuat mereka melakukan apa yang
benar,
menemukan
melakukan
organisasi
utama
kepuasan
pekerjaan
mereka
dengan
berhasil.
untuk melaksanakan
diri
ketika
mereka
dan
melihat
tiga
metode
baik,
Terdapat
people controls yaitu
seleksi dan penempatan karyawan, training, serta
desain pekerjaan dan penyediaan sumberdaya yang
diperlukan. Tabel berikut akan menjelaskan bagaimana
ketiga metode ini dijalankan di GPM.
Tabel 4.10 Metode People Controls dan bentuknya di GPM.
Metode
Realisasi di GPM
Seleksi dan
penempatan
karyawan
GPM melakukan seleksi dan
penempatan
karyawan
berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan.
Melakukan training bagi para
pegawai/pelayan organik.
Training
Desain
pekerjaan
dan sumber daya
yang diperlukan
Uraian tugas dan uraian kerja
Cross
chek
x
x
x
Proses seleksi dan penempatan dilakukan oleh
gereja dengan merekrut calon pendeta (vikaris) melalui
beberapa tahapan yaitu : pendaftaran yang dibuka
untuk setiap lulusan fakultas teologi, dengan tahun
lulus tertentu; tes calon vikaris berupa tes tertulis dan
psiko
tes;
pemberkasan
yang
berfungsi
untuk
menyeleksi calon vikaris berdasarkan berkas-berkas
yang telah dikumpulkan dan hasil tes; pegumuman
hasildan penempatan calon vikaris di daerah pelayanan
yang ditentukan. Syarat-syarat yang digunakan dalam
penilaian calon vikaris adalah ijasah teologi, sertifikat-
sertifikat kegiatan yang digunakan, surat keterangan
berkelakuan baik dari kepolisian (SKCK), dan
surat
keterangan keterlibatan dalam pelayanan di jemaat asal
calon. Kriteria penilaian yang digunakan gereja dalam
menilai calon vikaris menekankan pada aspek etika dan
moralitas, pendidikan teologi, kognitif, pengalaman
berorganisasi, serta kesehatan jasmani dan rohani.
Sebelum ada dalam masa vikariat, calon vikaris
diwajibkan
terdapat
mengikuti
training
materi-materi
yang
yang
di
berfungsi
dalamnya
mengasah
kecakapan dan melengkapi kemampuan vikaris untuk
melakukan pelayanan di jemaat tempat tugasnya. Di
dalam proses vikaris calon pendeta dimonitoring dan
dinilai oleh mentor setempat, jika kedapatan berbuat
kesalahan maka akan diberikan punishment sesuai
aturan dan dipertimbangkan kembali untuk dapat
diangkat menjadi pendeta ataukah tidak. Di masa akhir
vikaris terdapat tes yang berguna untuk mengevaluasi
kehadiran dan daya kritis vikaris dalam menghadapi
masalah-masalah di jemaat tempat tugasnya. Evaluasi
ini berguna untuk mengukur kapasitas vikaris serta
menjadi
bahan
pertimbangan
dalam
penempatan
pendeta.
Bentuk training dilakukan oleh GPM terkait
dengan
pengembangan
muatan-muatan
kapasitas
materi
pelayan
kontekstual.
melalui
Trainingyang
dilakukan melibatkan pegawai/pelayan organik yang
difasilitasi oleh gereja, namun kadang-kadang juga
difasilitasi
oleh
organisasi-organisasi
lain
yang
bekerjasama dengan gereja.
Desain pekerjaan dilakukan oleh gereja dalam
uraian tugas dan tata laksana perangkat pelayan yang
tertuang
dalam
Keputusan
BPL
Sinode
Nomor
:
10/BPL/XX/1998. Di sini terdapat pembagian tugas
dalam pelayanan di semua tingkat organisasi. Dalam
melakukan pelayanan di jemaat-jemaat pelaksanaan
pembagian
tugas
jemaat.
Pembagian
bidang
tugas
melibatkan
dan
peran
juga
majelis
dilakukan
daerah
jemaat
dan
berdasarkan
pelayanan.
Ini
memudahkan
tugas
pendeta
dalam
melakukan
pelayanannya.
Culture controls
dirancang untuk mendorong
saling pemantauan, dan merupakan bentuk kuat dari
group pressure pada individu yang menyimpang dari
norma-norma
kelompok.
Terdapat
lima
bentuk
pendekatan yang digunakan dalam kontrol ini yaitu
kode
etik,
penghargaan
kelompok,
transfer
intraorganisasi (rotasi karyawan), pengaturan fisik, dan
tone at the top. Berikut ini akan dijelaskan apakah
kelima pendekatan ini telah dilaksanakan di GPM
dalam tabel 4.11.
Tabel 4.11. Bentuk pendekatan culture controls dan realisasinya di
GPM.
Bentuk pendekatan
Realisasi di GPM
Kode etik
Penghargaan
Kelompok
Transfer
intraorganisasi (rotasi
karyawan)
GPM belum memiliki kode etik
Pendekatan ini belum dilakukan
di GPM
Pengaturan fisik
Tone at the top
GPM telah melakukan
pendekatan ini
GPM melakukan dalam bentuk
perencanaan kantor, arsitektur,
dan dekorasi gereja.
GPM melakukan ini dalam
bentuk tone at the top
Cross
check
x
x
x
Tabel 4.11 memperlihatkan bahwa bentuk pendekatan
yang dilakukan di gereja adalah transfer organisasi,
pengaturan fisik, dan tone at the top. Sedangkan untuk
kode etik dan penghargaan kelompok belum diadakan.
Kode etik memang telah diperbincangkan untuk
diadakan dalam sidang BPL di Dobo, namun belum
disetujui karena terdapat beberapa alasan yang penting
untuk dipertimbangkan dalam penyusunan formatnya.
Untuk
pendekatan
penghargaan
kelompok
belum
dilakukan di GPM. Transfer intraorganisasi (rotasi
karyawan) telah dilakukan oleh gereja dalam bentuk
mutasi
pegawai/pelayan
organik.
Mutasi
adalah
pertukaran pegawai/pelayan organik, dengan tujuan
untuk
memperkaya
pengalaman
melayaninya
di
jemaat. Mutasi pendeta dilakukan setiap lima tahun
sekali yang mekanisme penempatan pendetanya diatur
oleh sekretaris sinode. Arsitektur gereja menjadi ciri
khas tersendiri dari organisasi kerohanian ini. Gereja
sangat kuat dengan simbolis seperti salib, lonceng
gereja, dan lain-lain.
Tone at the top dipraktekan di gereja, dan ini
menjadi budaya yang sangat kuat di jemaat. Tone at the
top berhubungan dengan teladan pendeta di jemaat.
Teladan pendeta di jemaat dilakukan sesuai dengan
pola
pelayanan
gereja
(Tata GPM
pasal 8)
yang
berpolakan kehidupan Yesus Kristus sebagai:
1)
HAMBA yang taat dan mengkosongkan diriNya
untuk melayani bukan untuk dilayani.
2)
IMAM yang rela berkorban tanpa pamrih demi
tugas-tugas pelayanan pendamaian di antara
gereja, masyarakat, dan sesama manusia.
3)
NABI yang menaklukan segala sesuatu ke bawah
penilaian
firman
menegakan
Allah
keadilan,
kesejahteraan
umat
terutama
kebenaran
manusia,
untuk
dan
gereja,
masyarakat, bangsa dan negara.
4)
GEMBALA
yang
menjalankan
tugas-tugas,
kepemimpinan, dan pelayanan gereja di bawah
arahan dan tuntunan Gembala Yang Baik.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan
tersebut
maka secara ringkas sistem pengendalian di GPM dapat
dijelaskan dalam tabel 4.12 berikut ini.
Tabel 4.12 Sistem Pengendalian Manajemen pada GPM
Jenis
Kontrol
Results
controls
Action
controls
People/
culture
controls
Bentuk-bentuk
Ada
• Pengukuran
kinerja
• Pengaturan
target
• Sistem
insentif
• Behavioral
constraints
x
• Preaction
reviews
x
• Action
accountability
x
• Redudancy
x
Keterangan
DP3
Tidak ada
x
Kenaikan pangkat
x
Password,
kunci,
pembatasan wewenang
& otoritas pengambilan
keputusan.
rencana Program kerja
& anggaran, sidangsidang,
renstra,
persetujuanpersetujuan lain.
Peraturan
kerja,
ketentuan
kontrak,
verivikasi,
moneva,
visitasi;
Kode etik tidak ada.
Penyediaan
tenaga
pelayan cadangan
• Seleksi
&
penempatan.
x
• Training
• Desain kerja &
SDM
yang
diperlukan
• Kode etik
• Penghargaan
kelompok
• Transfer
x
x
x
Seleksi
tenaga calon
pendeta
(vikaris)&
penempatan
tenaga
pendeta.
Uraian tugas & tata
laksana,
pembagian
tugas.
Belum dimiliki
Belum dimiliki
Mutasi pendeta
intraorganizati
onal
• Pengaturan
fisik
• Tone at the top
4.3.
Implementasi
x
Arsitektur,
dekorasi
gereja
Sesuai
dengan
pola
pelayanan gereja
x
Sistem
Pengendalian
Manajemen pada GPM
GPM
telah
melakukan
sistem
pengendalian
manajemen dengan menggunakan jenis kontrol yang
dikemukakan oleh Merchant dan Van der Stede (2007)
antara
lain
results
controls,action
controls,
dan
people/culture controls, namun dalam implikasinya
terdapat beberapa bentuk kontrol yang tidak sesuai
dengan sistemnya. Berikut akan dijelaskan tentang
impementasi sistem pengendalian manajemen dalam
ketiga jenis kontrol.
1.
Results Controls
Implementasi kontrol ini dilakukan oleh GPM
dalam
bentuk
DP3
yang
diberikan
kepada
para
pegawai/pelayan
organik
penilai
pelaksanaan
pekerjaan untuk diisi daftar penilaiannya. Dari daftar
tersebut gereja dapat melakukan evaluasi terhadap
kinerja yang dilakukan apakah telah sesuai dengan
tujuan organisasi gereja atau belum.
Oleh karena tidak adanya keterkaitan antara
pengukuran kinerja, target kerja dan tujuan organisasi,
maka results controls yang diberikan bersifat subjektif.
Sehingga daftar penilaian kinerja pegawai (DP3) turut
dipengaruhi oleh subjektifitas mereka yang ditugaskan
untuk melakukan pemeriksaan.
2.
Action Controls
Kontrol ini di GPM menemui beberapa masalah
dalam implementasinya, yang akan dijelaskan dalam
penjelasan berikut.
Bentuk
preaction
reviews
di
GPM
berupa
persetujuan program melalui persidangan-persidangan
dan jenjang kepemimpinan di semua jenjang dilakukan
GPM setiap tahun pelayanan. Di dalam persidangan
juga terdapat evaluasi terhadap program-program yang
dijalankan oleh gereja selama satu tahun pelayanan.
Mengenai
persetujuan
RENSTRA,
hal
ini
baru
dilakukan oleh GPM pada tahun 2012. Di temui dalam
penelitian dalam wawancara dengan tim BALITBANG
GPM, disampaikan bahwa ada juga jemaat yang belum
melakukan
RENSTRA.
Ini
disebabkan
lemahnya
sosialisasi, tetapi juga pemahaman mereka tentang
pelaksanaan RENSTRA itu sendiri. Mengenai apakah
RENSTRA
telah
sesuai
dengan
tujuan
organisasi,
ditegaskan oleh tim BALITBANG bahwa visi dan misi
GPM yang lama masih abstrak dan karena itu sulit
untuk membuat renstra berdasarkan itu. Sehingga
mereka melakukannya dari awal dengan menggali isuisu strategis dari tiap jemaat di GPM. Lebih lanjut Pdt.
Vebby
Songopnuan,
S.Si
sebagai
sekretaris
mengemukakan bahwa:
“kami masih melakukan penggodokan untuk
membuat visi dan misi yang sesuai dengan isu-isu
strategis yang didapat dari tiap jemaat di GPM.
Sehingga kita dapat menentukan indikator-indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur pencapaian
visi dan misi. Sebab dengan demikian kita bisa
tim
membuat RENSTRA dengan indikator-indikator
terukur sesuai dengan visi dan misi gereja. ”2
Persetujuan pengelolaan harta milik gereja telah
dilakukan
kegiatan
organisasi.
pengelolaan
Namun
harta
dalam
milik
realitasnya
gereja
belum
sepenuhnya maksimal, bahkan ada yang dihapuskan
karena alasan-alasan tertentu. Karena itu penting juga
untuk merancang mekanisme yang baik dalam hal
pemberian persetujuan pengelolaan harta milik gereja,
yang mengatur tentang hak dan kewajiban bagi mereka
yang menggunakan hak pengelolaan harta milik gereja.
Preaction reviews merupakan hal yang sangat
ditekankan pada GPM. karena persetujuan apapun
yang diberikan oleh pimpinan sangat berhubungan erat
dengan eksistensi GPM. Misalnya untuk menjalankan
proposal kegiatan, panitia harus meminta persetujuan
dari pimpinan pada aras gereja yang menugaskannya.
Sebab dalam kenyataan di lapangan masih ada saja
Wawancara dengan sekretaris Tim BALITBANG GPM tertanggal 16
Januari 2013
orang-orang tertentu yang membawa nama gereja
untuk
tertentu
mendapatkan
untuk
uang
kepentingan
dari
instansi-instansi
pribadinya.
Untuk
kegiatan-kegiatan organisasi yang bersifat eksternal,
dalam hal ini berhubungan dengan organisasi eksternal
gereja, maka aras jemaat harus meminta persetujuan
dari klasis, dan aras klasis harus meminta persetujuan
dari sinode.
Bentuk
action
accountabilitydilakukan
gereja
dalam aturan kerja yang berfungsi untuk mengatur
bagaimana pegawai/pelayan organik dalam melakukan
pelayanannya. Dalam kenyataannya pegawai/pelayan
organik juga menyimpang dari aturan organisasi.
Seperti
tindakan
pegawai/pelayan
organik
meninggalkan jemaat dalam waktu yang sangat lama
untuk kepentingan keluarga. Hal ini kadang-kadang
terpaksa
dilakukan
oleh
pegawai/pelayan
organik
karena jarak yang jauh antara pegawai/pelayan organik
dengan keluarga (suami atau isteri dan anak-anak).
Akibatnya ketika terjadi masalah dalam jemaat pada
waktu pegawai/pelayan organik meninggalkan jemaat,
masalah yang ada menjadi tidak dapat ditangani atau
terlambat dalam penanganannya. Hal ini secara tegas
dijelaskan oleh ketua klasis kairatu yaitu:
“Ketika pendeta meninggalkan jemaat tanpa
memberitahu kepada kami maka pada saat terjadi
masalah dalam jemaat waktu pendeta itu pergi,
akan menyulitkan kami dalam berkoordinasi untuk
penyelesaian masalah. Padahal maksud kami
adalah baik, yaitu ketika pegawai/pelayan organik
meminta izin akan memberi signal kepada kami
untuk membantu memonitoring jemaat pada saat
dia tidak ada di jemaat.”3
Kondisi ini dimungkinkan oleh masalah-masalah
yang telah dideskripsikan pada tabel 1.1 diantaranya
ialah: belum berfungsinya tata gereja sebagai pedoman
organisasi, serta lemahnya fungsi kontrol terhadap aras
struktur di bawahnya, lemahnya pemahaman dan
rendahnya kesadaran terhadap tugas pokok dan fungsi
yang
menjadi
tanggung-jawab
bidang,
minimnya
pemahaman tentang job description (lih. Tabel 1.1
nomor 3, 11, 16).
Kontrak kerja dilakukan oleh gereja dengan para
pegawai/pelayan
organik
gereja
di
dalam
proses
recruitments, yang di dalamnya menekankan kesediaan
mereka untuk ditempatkan di mana saja untuk tugas
pelayanan.
Dalam
kenyataannya
terdapat
pegawai/pelayan organik yang tidak pergi ke tempat
tugasnya
karena
alasan-alasan
intrinsik
dan
ini
menimbulkan banyak masalah-masalah dalam jemaat.
Verifikasi telah dilaksanakan di GPM. Hasil
pemeriksaan dari tim ini dituang dalam laporan yang
disebut laporan hasil pemeriksaan (LPH). Dalam Focus
Group
Discussion
(FGD)
yang
dilakukan
Pdt.
A.
Latupeirissa, S.Th menyampaikan bahwa:
“Belum ada format yang baku yang disertai dengan
indikator-indikator terukur yang digunakan oleh tim
verivikasi dalam melakukan kegiatan visitator. Hal
ini disebabkan tenaga-tenaga yang direkrut di
dalam tim ini hanya berdasarkan pengalaman
semata bukan profesionalitas.”4
Proses
pengalaman
perekrutan
ini
yang
berpengaruh
didasarkan
dalam
atas
penanganan
terhadap berbagai masalah tata kelola keuangan di
Hasil FGD tertanggal 18 Januari 2013 di Kantor Klasis Kairatu
gereja. Hal ini lebih lanjut ditegaskan oleh Pdt. Rinto M
yang mengemukakan bahwa:
“Metode perekrutan berdasarkan pengalaman ini
membuat jika ada temuan-temuan penting dalam
pengelolaan keuangan di gereja seperti masalah
jumlah uang kolekta jemaat tertentu yang minim
dibarengi dengan beban tagihan tapel 30% yang
harus distorkan kepada sinode, tim verifikasi tak
dapat memberikan solusi alteratif dan ini membuat
pendeta setempat terpaksa menggunakan uangnya
sendiri untuk membayar tapel supaya pendeta bisa
dapat gaji.” 5
Hingga
saat
ini
gereja
masih
menggunakan
format tata kelola keuangan anggaran berimbang, yang
mengharuskan
seluruh
anggaran
dipakai
secara
berimbang. Padahal dalam pelaporan keuangan di
masing-masing jemaat sering terdapat saldo-saldo kas
dalam angka yang tinggi. Kondisi ini dimungkinkan
disebabkan oleh masalah tata kelola keuangan yang
belum diatur dengan baik, tidak ada sistem pada
pengendalian keuangan gereja, serta sistem rekruitmen
tim verifikasi berdasarkan pengalaman (lih. tabel 1.1
nomor 9, 18, 19).
5Ibid
Disamping verifikasi, bentuk action accountability
juga dilakukan GPM melalui implementasi RENSTRA
yang di dalamnya terdapat kegiatan monitoring dan
evaluasi (MONEVA). Kegiatan monitoring dan evaluasi
ini
sangat
membantu
dalam
mengontrol
kinerja
pendeta di jemaat-jemaat, hal ini sangat terlihat dari
penjelasan Pdt. Yan. Matatula, S.Th bahwa:
“Tapi sekarang setelah ada RENSTRA dan PROLITA
monitoring dan evaluasi menjadi sangat penting dan
tentunya apa yang dilihat, diamati dan diteliti kita
akan diskusikan dalam proses evaluasi dengan
komisi, dengan sub komisi tetapi juga dengan
kasubid dan MKM. Ini yang dimaksudkan dengan
rapat koordinasi, teknis, dan ruang ini yang akan
dipakai untuk melakukan evaluasi.”6
Kegiatan MONEVA masih dalam tahap implikasi
awal karena baru disosialisasikan untuk dijalankan di
masing-masing jemaat.
Kegiatan visitasi dilakukan GPM secara formal
dan non formal, namun yang menjadi kendala adalah
pada format dari visitasi itu sendiri.
Wawancara dengan Ketua Klasis kairatu tertanggal 18 januari
2013 di ruangan Ketua Klasis Kairatu GPM
6
Bentuk
dilakukan
redundancy
GPM
dengan
menyediakan tenaga-tenaga cadangan. Berdasarkan
hasil FGD yang dilakukan, kenyataan yang ditemui di
lapangan tidak semua jemaat mempersiapkan tenaga
pelayanan cadangan dengan baik, kebanyakan hanya
dibekali dengan materi LPJ tanpa ada penjelasan
mendalam tentang implementasinya dengan kehidupan
jemaat. Hal yang lebih fatal lagi ialah LPJ yang dibuat
menggunakan bahasa-bahasa ilmiah yang kadangkadang tak dapat dimengerti oleh jemaat yang memiliki
latar pendidikan yang rendah.
3.
People/culture controls
Dalam
proses
seleksi
dan
penempatan
pegawai/pelayan organik kebanyakan berorientasi pada
tugas
kependetaan
keterbatasan
sehingga
tenaga-tenaga
menimbulkan
profesi.
Realitas
ini
berdampak pada masalah keterbatasan SDM yang tidak
merata di semua daerah pelayanan; belum tersedianya
tenaga
profesional
dalam
tugas-tugas
struktural,
penelitian, maupun fasilitator, sistem rekruitmen tim
verifikasi berdasarkan pengalaman (lih. tabel 1.1 nomor
15,17,19).
GPM
melakukan
training
kepada
para
pegawai/pelayan organik gereja untuk meningkatkan
kemampuannya di jemaat. Namun kegiatan training
yang dilakukan belum maksimal bahkan ada yang
tidak
diimplementasikan
oleh
sebagian
pegawai/pelayan organik dalam tugasnya di jemaat. Ini
dipengaruhi
oleh
cara
pandang
dan
pemahaman
mereka tentang materi-materi trainingyang diikuti.
Belum adanya mekanisme yang baku dalam
mengontrol implementasi training yang diikuti oleh para
pegawai/pelayan
terhadap
GPM,
implementasi
serta
training
lemahnya
berdampak
kontrol
pada
masalah belum tertatanya data dan sistem informasi
data
karena
rendahnya
kemampuan
dan
SDM,
keterbatasan sumber daya manusia yang tidak merata
di semua daerah pelayanan (lih. tabel 1.1 nomor 12,15).
Tentang desain pekerjaan dan sumber daya yang
diperlukan, aspek ini sudah cukup maksimal dilakukan
di GPM. Dalam melakukan tugas di jemaat-jemaat
pendeta diberikan fasilitas berupa rumah (pastori
jemaat) tetapi juga untuk jemaat-jemaat yang berada di
kota dan memiliki sumber dana yang banyak, biasanya
jemaat menyediakan kendaraan berupa mobil atau
motor yang berfungsi membantu mobilisasi pendeta
dan pelayan ke tempat tugas.
Selain
itu
untuk
menjamin
kesejahteraan
pegawai/pelayan organisasi diberikan gaji dan pensiun.
Sistem penggajian berdasarkan atas golongan dan lama
masa
kerja
pegawai/pelayan
organik.
Pemberian
pensiun diberikan berdasarkan keputusan sidang XXV
BPL SINODE GPM nomor 13/BPL/XXV/2003. Dasar
pensiun yang dipakai untuk menentukan besarnya
pensiun adalah gaji pokok. Pada saat pegawai/pelayan
organik memasuki masa pensiun mereka diberikan
kompensasi sebesar tiga puluh juta rupiah. Jaminan
yang
diberikan
sangat
bermanfaat
sehingga
pegawai/pelayan
organik
menjadi
tenang
dalam
pelayanannya tanpa memikirkan sesuap nasi untuk
keluarganya. Di samping itu ada jaminan kesehatan
yang disiapkan gereja untuk para pegawai/pelayan
organik.
Namun, pada jemaat-jemaat yang terdapat di
daerah-daerah
pedalaman,
pelayanan
peralatan
yang
pendukung
masih
ada
di
belum
tersedia.
Misalnya penyediaan sound sistem untuk ibadah,
tranportasi pendeta, maupun rumah pastori. Belum
terlaksananya metode ini secara maksimal berdampak
pada masalah tidak dimilikinya sarana dan prasarana
yang mendukung pengembangan sistem informasi data;
peralatan pendukung tidak terkelola dengan baik;
ketersediaan sarana dan prasarana belum diarahkan
dalam mendukung tercapainya tujuan pada masingmasing bidang kelembagaan (lih. Tabel 1.1 nomor
7,8,13).
Di samping tiga metode yang digunakan dalam
implementasinya gereja mengandalkan peranan Roh
Kudus untuk menuntun dan mengontrol perilaku
pegawai/pelayan organik gereja. Hal ini menjadi dasar
keyakinan pegawai/pelayan organik gereja bahwa tugas
pelayanan yang dilakukan merupakan bentuk dari
keterpanggilan iman mereka. Hal ini dikemukakan
secara tegas oleh ketua sinode GPM bahwa:
“Harus diakui gereja ini dipimpin oleh Roh Kudus,
semua nggak bisa kita atur begitu saja. Ada
peranan Roh untuk memimpin gereja ini, dan disitu
sebenarnya uniknya organisasi keagamaan. Tugas
pelayanan gereja merupakan bentuk keterpanggilan
iman dan ini yang mendorong para pelayan gereja
untuk tetap melakukan tugasnya.”7
Berdasarkan
tabel
4.12
Kode
etik
dan
penghargaan kelompok belum dilakukan di GPM.
Kondisi ini berdampak pada masalah belum optimalnya
penguasaan
aturan
gereja;
minimnya
pemahaman
tentang job description (lih. tabel 1.1 no.4,16).
7
Wawancara dengan ketua sinode GPM tertanggal 10 januari 2013
Implementasi bentuk tone at the top belum
dilakukan
secara
pegawai/pelayan
terdapat
maksimal
organik.
Ini
pegawai/pelayan
oleh
dikarenakan
organik
yang
semua
masih
belum
melakukan hal ini dengan baik, karena apa yang
dikatakan atau yang diajarkannya berbeda dengan apa
yang diimplementasikan. Atau dengan kata lain pola
hidup mereka belum sepenuhnya sesuai dengan pola
pelayanan gereja yang terdapat dalam tata gereja pasal
8. Pola hidup yang bertentangan itu antara lain adalah
masih adanya perilaku miras, kekerasan, dan beberapa
kasus lainnya. Terhadap pelanggaran ini terdapat dua
bentuk punishmentyang dilakukan oleh gereja. Bentuk
yang pertama adalah bentuk tindakan penggembalaan
dan
disiplin
gereja
yang
diberikan
kepada
pegawai/pelayan organik yang tidak melaksanakan
kewajiban
dan
tanggung-jawabnya
sebagaimana
termaktub dalam ketetapan sinode GPM pasal 2 tahun
1995.
Bentuk
pemberhentian
yang
kedua
adalah
bentuk
pegawai
yang
tertuang
dalam
Keputusan Sidang BPL nomor 11/BPL/XXV/2003 yang
disebabkan atas tindakan menyimpang dari ajaran
gereja,
menyebarluaskan
ajaran
sesat,
memecah-
belahkan persekutuan umat, melakukan tindakan yang
terang-terangan merugikan gereja.
Berdasarkan penjelasan tentang implementasi
sistem pengendalian manajemen pada GPM, maka
secara ringkas hal tersebut akan digambarkan dalam
tabel 4.13.
Tabel 4.13 Implementasi Sistem pengendalian Manajemen pada
GPM
Jenis Kontrol
Results Controls
Implementasi
Pelaksanaan DP3
Action Controls
• RENSTRA
• Persetujuan
pengelolaan
harta
milik
gereja.
• Kontrol
ketat
dalam
persetujuan.
• Aturan kerja
• Verivikasi
Kendala Implementasi
Subjektifitas
dalam
penilaian DP3
Sosialisasi & indikator
Mekanisme pemberian
persetujuan.
Masih ada pegawai/
pelayan organik yang
menyimpang
dari
aturan kerja.
Rekruitmen
tenaga
verifikasi berdasarkan
pengalaman.
People/culture
controls
• MONEVA
• Penyediaan
tenaga pelayan
cadangan
• Seleksi
dan
penempatan
• Training
• Pendeta
diberikan
fasilitas
(rumah,
kendaraan,
jaminan
kesehatan, gaji,
pensiun)
• Tone at the top
• Gereja
menekankan
peranan
Roh
Kudus
yang
menuntun
&
mengontrol
perilaku
pelayan sebagai
wujud
panggilan iman.
Berorientasi
pada
penggunaan
bahanbahan LPJ.
Lebih mengedepankan
pada tenaga pedeta,
sedangkan
tenaga
profesional
kurang
mendapat perhatian.
Hasil training kurang
diimplementasi dalam
kerja.
Untuk
jemaat
pedalaman peralatan
pendukung
tidak
memadai
(sound
sistem, rumah pastori,
transportasi).
.Perilaku
pelayan
menyimpang dari pola
pelayanan gereja.