BUDAYA BANTENGAN TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU ANAK DI DESA JAPANAN KECAMATAN KEMLAGI KABUPATEN MOJOKERTO.

(1)

BUDAYA BANTENGAN TERHADAP PERILAKU ANAK DI DESA

JAPANAN KECAMATAN KEMLAGI KABUPATEN MOJOKERTO

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos) dalam Bidang

Sosiologi

Oleh:

GITA TRI UTARI

NADIA AZIZATUL LUTFIYAH

NIM:B05212033

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Nadia Azizatul Lutfiyah, NIM B05212033, 2016, BUDAYA BANTENGAN

TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU ANAK DI DESA JAPANAN KECAMATAN KEMLAGI KABUPATEN MOJOKERTO. Skripsi Program Studi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci: Tradisi Bantengan Dan Perilaku Anak

Ada dua persoalan yang akan dikaji dalam skripsi ini yaitu: (1) bagaimana Pengaruh Budaya Bantengan Terhadap Perilaku Anak Di Desa Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupten Mojokerto, (2) bagaimana dampak Pengaruh Budaya Bantengan Terhadap Perilaku Anak Di Desa Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto.

Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, peneliti dalam penelitian ini menggunakan teori Perilaku Sosial Beyond Freedom And Dignity Skinner dan teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead dan menggunakan metode kuantitatif. Semua itu digunakan untuk mencari data yang akurat tentang Pengaruh Budaya Bantengan Terhadap Perilaku Anak Di Desa Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupten Mojokerto.

Dari hasil penelitian ini di temukan bahwa (1) tradisi bantengan di Desa Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto masih terjaga dengan baik, keberadaan tradisi bantengan di Desa ini memberikan nuansa hiburan yang berbeda dari berbagai hiburan modern saat ini. Kemunculanya di berbagai acara yang di adakan baik di Desa Japanan maupun kerap tampil di tempat lain menjadikan tradisi bantengan ini tidak pernah sepi oleh penonton. Disamping sebagai hiburan masyarakat Desa Japanan, bantengan juga merupakan penyalur inspirasi masyarakat. (2) peran masyarakat Desa Japanan dalam menjaga tradisi bantengan sangat besar, generasi mudanya mereka secara sadar menjaga tradisi bantengan dengan baik. Keberadaan tradisi bantengan juga banyak memberikan manfaat baik para pemain maupun warga setempat. Masyarakat Desa Japanan Kecamatan Kemlagi menjaga dengan baik tradisi bantengan tersebut serta memelihara dan terus meningkatkan kualitas baik dari segi sumber daya manusia maupun dari ornamen yang di pakai saat pertunjukan tersebut serta tidak kalah pentingnya adalah selalu berinovasi agar tradisi bantengan dapat terus diterima oleh masyarakat dan tidak pudar seiring dengan kemajuan zaman modernisasi ini.


(6)

ABSTRACT

Nadia Azizatul Lutfiyah, NIM B05212033, 2016, Bantengan Culture to Change

the Behavior of Children in Rural Districts Japanan Kemlagi Mojokerto District.

Thesis Social Studies Program Faculty of Social Sciences and Political Science University Sunan Ampel Surabaya Islamic Country.

Keywords:Tradition Bantengan And Child Behavior

There are two issues that will be studied in this thesis are: (1) how Bantengan Cultural Influence Behavior Against Children In Rural Japanan Kemlagi

Kabupten District of Mojokerto, (2) how the impact Bantengan Cultural Influence Behavior Against Children In Rural Japanan Kemlagi District of Mojokerto. To address these problems thoroughly and deeply, Researchers in this study uses the theory of Social Behavior Skinner's Beyond Freedom and Dignity And Symbolic interactionism theory of George Herbert Mead and using quantitative methods. All of it was used to search for accurate data on Bantengan Cultural Influence Behavior Against Children In Rural Japanan Kemlagi Kabupten District of Mojokerto. From the results of this study found that (1) the tradition in the village Bantengan Japanan Kemlagi District of Mojokerto still well preserved, where Bantengan tradition in this village gives the feel of a different entertainment from a variety of modern entertainment today. Kemunculanya in various events held both in the village Japanan and often appear in other places makes tradition Bantengan is never empty by the audience. Besides, as a public entertainment Japanan village, Bantengan also an inspiration dealer community. (2) the role of village communities in maintaining the traditions Bantengan Japanan very large, the younger generation they consciously keep the tradition Bantengan well. The existence of a tradition Bantengan also provides many benefits both the players as well as local residents. Village Community Japanan District of Kemlagi keeping with good tradition Bantengan that as well as maintaining and continuously improving the quality both in terms of human resources and of ornaments in the life time of the show and no less important is always innovating to tradition Bantengan can continue to be accepted by the community and not fade along with the progress of modernization era.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI. ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... iix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah. ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Penelitian Terdahulu... 17

F. Definisi Oprasional... 17

G. Hipotesis... 32

H. Metode Penelitian…... 33

a. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 33


(8)

c. Variable dan Indikator Penelitian... 36

d. Teknik Pengumpulan Data... 37

e. Teknik Analisis Data... 39

I. Sitematika Pembahasan... 41

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Kajian Pustaka ... 44

a. Silat…………... 44

b. Mantra………... 44

c. Tari…………... 45

d. Musik………... 45

e. Syair……… .. 45

f. Budaya……….. . 46

g. Bantengan……… . 46

B. Kajian Teori……...46

BAB III PENYAJIAN DATA BUDAYA BANTENGAN DAN PERILAKU ANAK A. Deskripsi Umum Obyek Penelitian... 66

1. Gambaran Umum desa Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto………. ... 66

2. Kondisi Geografis…………... 66


(9)

BAB IV ANALISA DATA

A. Pengaruh Regresi Tentang Budaya Bantengan terhadap Perilaku anak di Desa Japanan kemlagi Kabupaten

Mojokerto... 85 B. Analisis Teoritis... 87 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….. . . 92

B. Saran………93

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 61

Tabel 2.2 62

Tabel 2.3 62

Tabel 2.4 62

Table 3.1 67

Table 3.2 67

Table 3.3 68

Table 3.4 69

Tabel 3.5 70

Tabel 3.6 72

Tabel 3.7 73

Tabel 3.8 76


(11)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budaya adalah suatu kebiasaan turun menurun yang dilakukan oleh suatu warga setempat. Setiap daerah mempunyai budaya masing-masing, yang tak lepas dari kebiasaan nenek moyang yang melestarikan. Menjaga kebudayaan yang menurut seniman dan kebudayaan sekarang agak susah, dikarenakan beberapa hal yang dilakukan sedikit melenceng dari kebudayaan yang asli dari nenek moyang.1

Desa Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto terkenal dengan seni Bantengan atau bisa di katakan Jaranan, kesenian Bantengan merupakan sebuah seni tradisional rakyat di kabupaten Mojokerto. Selanjutnya berkembang menjadi satu seni tradisi yang dikembangkan secara turun temurun oleh masyarakat, Kesenian Bantengan sekarang ini mengalami perkembangan yang begitu pesat di wilayah Kabupaten Mojokerto. Kesenian ini diyakini sebagai daerah lahirnya seni bantengan ini.

Kesenian ini begitu cepat di tangkap atau di mainkan oleh anak-anak yang masih usia di bawah umur sekitar kurang lebih 4 tahun sudah bisa melakukan tradisi tersebut yaitu bantengan, karena anak-anak muda sekarang khusus nya masih dibawah umur yaitu anak kecil bisa melakukan gerakan-gerakan bantengan atau bisa disebut juga jaranan, seperti contoh dimana pun ada bantengan selalu pengunjungnya banyak sekali terutama anak-anak kecil yang melihat. Setidaknya sebagai orang tua juga mengawasi atau memberi nasihat kepada anaknya biar tidak terlalu berlarut-larut melakukan hal yang seharusnya belum dilakukan sama anak kecil, contoh nya bermain pura-pura kesurupan, main jaranan, bantengan, bahkan mendengar suara musik bantengan pun anak kecil itu tidak asing lagi bagi

1

T.O . Ihroni, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta yayasan Obor Indonesia, 1996), hal 18 1


(12)

telinganya. Yang peneliti ketahui masyarakat didesa japanan kecamatan kemlagi kabupaten mojokerto banyak sekali anak-anak kecil yang senang sekali menonton tontonan bantengan yang di adakan oleh tuan rumah, seperti ada hajatan khitan, ulang tahun, dan lain-lain. Mereka langsung berbondong-bondong sama anak-anaknya menonton seni tersebut tanpa ada pemberitahuan oleh pemilik hajat. Bahkan peneliti herannya kalau ada pengajian atau yang berbau islami kenapa kok tidak berbondong-bondong datang untuk mendengarkan pengajian, kok malah berbondong-bondong melihat seni bantengan yang berbau mistis.

Indonesia menjadi salah satu negara yang mempunyai banyak produk seni pertunjukan dengan segala macam variasi media dan bentuk pementasannya. Keanekaragaman produk seni pertunjukan di Indonesia ini memiliki bentuk dan ciri khasnya masing-masing dan tersebar di segala penjuru mulai dari Sabang hingga Merauke. Salah satu produk seni pertunjukan Indonesia adalah Bantengan. Menurut Desprianto R.D Bantengan adalah seni pertunjukan yang mengombinasikan sendratari dengan pencak silat, adu kesaktian, musik, dan mantra.2 Para pemain kesenian Bantengan mengenakan tiga kostum binatang, yaitu banteng, macan, dan monyet sebagai simbol dalam rangka mengomunikasikan sebuah pesan moral kepada penikmatnya, yaitu tentang sifatkebaikan yang pasti akan mengalahkan sifat ejahatan. Binatang yang dianggap sebagai simbol kebaikan adalah banteng. Binatang yang dianggap sebagai simbol penjajah, kejahatan, dan angkara murka adalah macan. Binatang yang dianggap sebagai simbol provokator dan antek-antek penjajah adalah monyet.3

Hal ini membuktikan bahwa kesenian bantengan tumbuh menjadi seni tradisional asli Indonesia yang layak mendapat apresiasi. Kemajuan dan perkembangan kesenian ini tidak

2

Desprianto, R.D. 2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna Simbolik dan Nilai Moral. E-Journal Pendidikan Sejarah, (Online),:hal. 1, (http://ejournal.unesa.ac.id), diakses 25 Agustus 2015.

3


(13)

lepas dari peran serta masyarakat yang selalu mendukung seni Bantengan. Seni Tradisional Bantengan, adalah sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendra tari, olah kanuragan, musik, dan syair/mantra yang sangat kental dengan nuansa magis. Pelaku Bantengan yakin bahwa permainannya akan semakin menarik apa bila telah masuk tahap “trans” yaitu tahapan pemain pemegang kepala Bantengan menjadi kesurupan arwah leluhur Banteng.

Tidak aneh memang, sebab pada awalnya Seni Bantengan adalah unsur hiburan bagi setiap pemain Pencak Silat setiap kali selesai melakukan latihan rutin. Setiap grup Bantengan minimal mempunyai 2 Bantengan seperti halnya satu pasangan yaitu Bantengan jantan dan betina. Walaupun berkembang dari kalangan perguruan Pencak Silat, pada saat ini Seni Bantengan telah berdiri sendiri sebagai bagian seni tradisi sehingga tidak keseluruhan perguruan Pencak Silat di Indonesia mempunyai Grup Bantengan dan begitu juga sebaliknya.

Permainan kesenian bantengan dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala bantengan dan pengontrol tari bantengan serta kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor bantengan. Kostum bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta tanduk asli banteng.

Bantengan ini selalu diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas bantengan dengan alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain. Kesenian ini dimainkan oleh dua orang laki-laki, satu di bagian depan sebagai kepalanya, dan satu di bagian belakang sebagai ekornya. dan biasanya, lelaki bagian depan akan kesurupan, dan orang yang di belakangnya akan mengikuti setiap gerakannya.


(14)

Secara garis besar, pementasan kesenian Bantengan dibagi menjadi dua bentuk, yaitu model menetap dan model arak-arakan.4 Model menetap adalah model pementasan yang memusatkan semua rangkaian pementasan dalam suatu tempat secara tetap. Sementara itu, model arak-arakan adalah model pementasan yang menunjukkan formasi karnaval dan menekankan pada gerakan berjalan dari suatu tempat ke tempat lain.5

Apapun model pementasannya, ritual pertama yang selalu dilakukan oleh para pemain kesenian Bantengan sebelum mengikuti pementasan adalah ritual pamitke pundhen. Pundhenmerupakan tempat cikal bakal atau bedah krawangleluhur penunggu desa.6 Masyarakat Jawa meyakini bahwa pundhen adalah tempat tinggal para dhanyang. Dhanyangadalah adalah roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa, dukuh, atau kampung.7 Dhanyang begitu dihormati karena konon semasa hidupnya merupakan orang penting dalam sejarah desa tertentu. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa roh pendiri desa yang telah meninggal tersebut masih bersemayam di pundhen dan menjaga ketentraman desa, sehingga perlu diselenggarakan ritual-ritual sebagai wujud penghormatan kepada para roh leluhur desa atau dhanyang.

Wujud penghormatan terhadap dhanyang selaku roh pendiri desa merupakan sisa kepercayaan Animisme yang dianut oleh masyarakat Indonesia jauh sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha. Animisme adalah aliran kepercayaan terhadap eksistensi jiwa (roh) sebagai daya kekuatan luar biasa yang bersemayam di dalam manusia, binatang, tumbuhtumbuhan, dan segala yang ada di alam raya ini. Kepercayaan animisme ini

4

Herwanto, A.P. 2012. Bantengan: Kedigdayaan Seni Tradisi. Malang: APH Malang. Hal. 54 5

Hidajat, R. 2005. Wawasan Seni Tari: Pengetahuan Praktis Bagi Guru Seni Tari. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Hal. 25

6

Hidajat, R. 2006. Relasional Simbolis Desa, Sungai, dan Pundhen dengan Pertunjukan Topeng Malang di Dusun Kedungmonggo Karangpandan. Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa, Hal. 32-33

7


(15)

memunculkan penyembahan roh-roh nenek moyang.8 Kekuatan-kekuatan roh ini dianggap sebagai Tuhan atau dewa yang dapat memberi rasa aman, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam wujud materi, atau sebaliknya dapat memberikan kekacauan, keresahan, kesusahan, dan kemiskinan.9

Wujud kepercayaan terhadap eksistensi roh ini juga tercermin dalam ritual pamitke pundhen yang dilakukan oleh para pemain kesenian Bantengan sebelum melakukan pementasan. Maksud dan tujuan ritual pamit ke pundhen adalah meminta izin dan permisi kepada para dhanyang selaku roh pendiri desa agar pementasan berlangsung dengan lancar tanpa suatu halangan apapun. Permintaan izin secarasimbolis ini diwujudkan dalam bentuk doa bersama dan pembakaran dupa. Dupa merupakan salah satu jenis sesaji yang dipergunakan sebagai sarana ritual pamit ke pundhen. Dupa yang baunya harum konon paling disukai oleh roh halus.10 Sehingga para dhanyang selaku roh pendiri desa diharapkan bisa memberikan izin dan restu demi kelancaran dan kesuksesan pementasan.

Selain ritual pamitke pundhen, ada juga satu ritual yang biasanya digelar di tempat pementasan. Ritual ini dikenal dengan istilah ritual suguh. Ritual suguh pada dasarnya merupakan sebuah rangkaian prosesi doa bersama yang dipimpin oleh para sesepuh dan dibantu oleh para pendekar perwakilan masing-masing grup partisipan dalam pementasan tersebut. Maksud dan tujuan dilaksanakannya ritual suguh di arena pementasan ini adalah untuk memohon keselamatan dan kelancaran acara, mengumpulkan aura-aura positif, serta

8

Suwito. 2007. Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa. Jurnal Studi Islam dan Budaya IBDA, (Online), Hal. 2 (http://ibda.files.wordpress.com), diakses 25 Agustus 2015.

9

Sardjuningsih. 2013. Sembonyo: Jalinan Spiritualisme Masyarakat Nelayan. Tulungagung: STAIN Tulungagung Press. Hal. 72

10

Endraswara, S. 2004. Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan Fantasi Kejawen. Yogyakarta: Narasi Hal. 185


(16)

membuat “pagar”. Pembuatan “pagar” ini dimaksudkan untuk melindungi para pemain maupun penonton dari kekuatan jahat yang berbahaya.

Ritual suguhdi tempat pementasan ini menjadi juga menjadi ajang komunikasi secara simbolis antara para sesepuh dan para pendekar dengan para makhluk halus atau pihak ketiga. Benda yang menjadi perantara komunikasi tersebut adalah sesaji. Sesaji yang digunakan dalam ritual suguh ini ditempatkan di tengah-tengah arena pementasan. Sesaji adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap makhluk halus dengan melakukan semacam penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dan di tempat tempat tertentu. Sajian ini dapat diletakkan di bawah tiang rumah, persimpangan jalan, kolong jembatan, pohon besar, tepi sungai, dan tempattempat lainnya yang dianggap keramat serta angker.11

Upacara berkorban sesaji atau sajen memang ada dalam setiap upacara masyarakat Jawa. Sesaji ini bahkan dibuat masyarakat Jawa tanpa memperingati suatu kejadian tertentu atau peristiwa apapun.12 Pembuatan sesaji dilatarbelakangi oleh aktualisasi pikiran, keinginan, dan perasaan dari seseorang untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji menjadi wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negoisasi spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk hal-halus di atas kekuatan manusia tidak menganggu. Pemberian makan secara simbolis kepada roh halus diharapkan akan membuat roh halus tersebut menjadi jinak.13

Bahan-bahan sesaji yang digunakan sebagai media dalam ritual suguh sangat bervariasi, yaitu terdiri dari pisang jenis Raja Bali, kelapa, gula merah, beras, daun sirih, bumbu kinang, rokok kelobot (daun jagung), kemenyan, dupa, minyak wangi merek Fanbo,

11

Kodiran. 1974. Kebudayaan Jawa. Dalam Koentjaraningrat (Ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta: Djambatan Hal. 332

12

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Hal. 364 13

Endraswara, S. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi Hal. 95-96


(17)

kendi berisi air dari mata air, kaca kecil, sisir kecil dari kayu, benang, badhegatau air sari tape ketan, bucet atau irisan tumpeng kecil, minyak goreng, jenang abang, kembang telon atau bunga tiga warna (mawar, melati, dan kenanga), telur ayam kampung, kemiri, garam, terasi, kencur, jeruk purut, cabe merah, bawang merah, bawang putih, dan cikalan atau irisan kelapa kecil.

Penyelenggaraan ritual pamit ke pundhen dan suguh di tempat pementasan pada dasarnya merupakan sebuah tahapan awal sebelum menuju ke tahapan inti pementasan.

Tak jarang orang di bagian belakang juga kesurupan. Tetapi, sangat jarang terjadi orang yang di bagian belakang kesurupan sedangkan bagian depannya tidak. bantengan dibantu agar kesurupan oleh orang (laki-laki) yang memakai pakaian serba merah yang biasa disebut abangan dan kaos hitam yang biasanya di sebut irengan.

Bantengan juga selalu diiringi oleh macanan. kostum macanan ini terbuat dari kain yang diberi pewarna (biasanya kuning belang oranye), yang dipakai oleh seorang lelaki. macanan ini biasanya membantu bantengan kesurupan dan menahannya bila kesurupannya sampai terlalu ganas. Namun tak jarang macanan juga kesurupan.

Pemberian sesaji ini bermaksud agar para arwah leluhur ikut hadir dalam pesta tersebut, ini merupakan „jamuan makan‟ bagi mereka. Ritual ini bukan bentuk „suap‟ agar para mahluk halus tidak mengganggu permainan tersebut.

Pengalaman kesurupan ketika memainkan Bantengan dirasa berbeda antara kesurupan dengan seni yang lain. Penjiwaan akan tokoh Banteng sepenuhnya akan memberi nuansa tersendiri dalam melakukan atraksi ini. Jika Ngalamers pernah melihat Bantengan diiringi atraksi 'spektakuler', seperti pemain dicambuk tanpa menimbulkan rasa sakit dan luka, hal itu


(18)

karena ada teknik tertentu yang harus dikuasai. Tentu saja hal tersebut tak bisa disebutkan di sini, terlalu berbahaya dan perlu latihan khusus.

Peralatan atau perlengkapan dalam pementasan Seni Bantengan sangat berperan penting untuk pementesan dan juga atraksi banteng, antara lain yaitu : Topeng, Atribut Pemain, dan alat musik pengiring berupa jidor, gamelan, pengrawit, dan juga sinden.

1. Topeng

Para penari Bantengan memakai topeng yang berukuran besar, sehingga jika digunakan akan menutupi seluruh muka dan kepala sang penarinya. Topeng dari tiap kelompok Bantengan umumnya menampilkan dua topeng kepala banteng, satu buah topeng macanan, satu buah topeng kera, serta dua topeng gumingan khususnya yang ada di Mojokerto.

2. Atribut Penari

Penari memakai beberapa perlengkapan dalam pementasan Seni Bantengan. Beberapa perlengkapan tersebut diantaranya

a. Cemeti

Alat ini yang digunakan untuk mengundang arwah-arwah banteng baik dari utara,selatan, barat, hingga timur sebagai wujud permohonan izin diselenggarakannya pementasan. Selain itu cemeti juga berfungsi sebagai pengendali gerakan atau atraksi Bantengan yang mengalami trans.

b. Gongseng kaki

Alat ini dugunakan untuk menambah irama dalam atraksi Bantengan. c. Keranjang menjalin

Digunakan sebagai badan atau punggung banteng. Namun sekarang hanya sebagian yang menggunakannya.


(19)

d. Kain hitam atau disebut irengan

Digunakan sebagai pakaian banteng dan ada juga yang memakai kain merah atau abangan sebagai variasi.

3. Iringan Musik

Dalam sebuah pagelaran seni tradisional tidak lengkap tanpa adanya iringan musik. Sehingga musik juga penting untuk menambah suasana meriah sebuah pertunjukan terutama seni Bantengan. Alat musik yang paling pokok digunakan dalam Bantengan adalah jidor dan kendang. Kedua alat musik tersebut merupakan wujud dari berbagai macam perubahan dan perkembangan hidup manusia, dimana manusia berkewajiban untuk selalu menyesuaikan diri pada perkembangan jaman. Pemain musik dalam bantengan disebut pengrawit. Saat ini sudah banyak penambahan dengan bermacam alat sesuai selera pemain, tetapi hal yang tidak boleh dilupakan adalah alat musik asli seperti jidor dan kendang harus ada.

Tabuhan pertama jidor mengawali permainan Bantengan, sebagai tanda mulainya gebyak Bantengan. Jidor dan kendang harus ditabuh sampai akhir gebyak tidak boleh sekalipun berhenti karena akan membuat pemain-pemain yang dalam keadaan trance marah. Irama tabuhan jidor disebut jidor kerep yaitu ditabuh secara konstan dengan tempo yang tetap sama, sedang alat musik lain hanya mengisi. Cara menabuh seperti ini memberikan nuansa magis dan menggetarkan dada setiap pendengar terutama bagi pemain Bantengan. Apabila gebyak dilakukan dengan arak-arakan atau karnaval, alat musik harus diangkut dengan kendaraan dan berada paling depan dalam barisan bahkan ditambah dengan pengeras suara, dibelakangnya para Bantengan bermain. Saat gebyak dilakukan di arena, musik ditempatkan khusus dimana Bantengan bermain didepannya. Kemudian adanya panjak atau waranggono


(20)

juga merupakan hal yang penting di dalam pementasan kesenian Bantengan. Panjak adalah pemain gamelan seni Bantengan yang berasal dari anggota sanggar, terdiri dari tiga sampai empat orang sesuai dengan jumlah alat musik yang ada dalam pementasan seni Bantengan. Seorang narator dalam kesenian Bantengan tidak selalu ada pada saat pementasan berlangsung. Hal ini dikarenakan, pada saat pementasan atau gebyak berlangsung Banteng lebih suka bebas dan dengan area yang luas, dan Banteng akan terlihat lebih menarik juga atraktif.

Pementasan seni Bantengan tidak memerlukan suatu panggung tertentu. Seni Bantengan dapat dipentaskan secara arakarakan keliling desa sebagai sarana ritual. Hal ini sejalan dengan pendapat Soedarsono yang menyatakan bahwa seni pertunjukkan di Indonesia berfungsi sebagai sarana ritual.14 Pementasan seni Bantengan memiliki tahapan atau urutan dalam alur cerita Banteng, yaitu tahap yang pertama adalah tahapan ritual sebelum pementasan, baru kemudian tahap pementasan. 1. Tahap Pra acara sebelum pementasan diisi dengan upacara ritual untuk memanggil arwah-arwah leluhur Banteng, dan sebelumnya sesepuh meminta izin kepada arwah nenek moyang atau leluhur setempat untuk diadakan acara pementasan seni Bantengan. Sesepuh juga menyediakan beberapa sesaji seperti secara lengkap seperti pisang ayu, badeg, atau air keras ketan hitam, bunga tiga macam seperti bunga sedap malam, atau bisa juga menggunakan bunga kantil, bunga mawar, serta bunga melati. Selain itu syarat sesaji yang lain juga disiapkan seperti dupa, kemenyan, rokok klobot, telur ayam kampung, dan juga satu buah kelapa. Hal ini dilakukan untuk menyeleksi arwah banteng yang datang dan juga agar acara pementasan diberikan kelancaran.

14

Soedarsono. 1985. Peran Seni Budaya dalam Kehidupan Manusia: Kontinuitas dan Perubahannnya. Yogyakarta: FSUGM. hlm. 34


(21)

2. Para pemain Bantengan juga harus mempersiapkan diri secara fisik, kuat, dan tidak sakit, sehingga mampu menopang kepala banteng yang cukup berat.

3. Kemudian seluruh pemain berkumpul terlebih dahulu untuk berdo‟a bersama-sama demi kelancaran pementasan Bantengan.Tahap sebelum pementasan sangat penting dan menentukan proses jalannya pementasan. Jika tahapan sebelum pementasan sudah baik, maka pementasan selanjutnya menjadi lancar, dan begitu pula sebaliknya. Dalam persiapan pementasan harus diupayakan secara siap dan sempurna.

Perkembangan kesenian Bantengan yang terjadi di masyarakat Jawa Timur kususnya Claket, berkembang dimasyarakat pedesaan dan kelompok Pencak silat, sesuai dengan kepentingan dan fungsinya masingmasing. Sifat- sifat ini yang disebut dengan fungsi Eksternal dan Internal kebudayaan Bantengan.

1. Fungsi Ekternal

Fungsi kesenian Bantengan pada masyarakat awam atau pada umumnya sebagai bagian dari kesenian daerah atau tontonan kesenian kebudayaan daerah setempat. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada kegiatan-kegiatan besar daerah atau Negara, antara lain :

1). Perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus.

2). Untuk mengarak acara panghargian atau selamatan, yaitu : Selamatan desa, khitan, nikah, panen, tanam tuwuh ( menabur bibit tanaman ), dsb.

3). Memperingati Ulang Tahun Kota Mojokerto. 2. Fungsi internal

Fungsi kesenian Bantengan pada masyarakat tertentu, yang memang mengembangkan kesenian tersebut. Fungsi ini biasanya bersifat biologis spiritual kesenian budaya daerah setempat. Kegiatan ini biasanya ada beberapa bagian penting yang harus dilakukan kelompok kesenian Bantengan tersebut , yaitu antara lain :


(22)

1. Selamatan kesenian Bantengan pada harihari tertentu 2. Ritual pembuatan kepala banteng

3. Ritual pengisian spiritualisasi pada alat kesenian banteng, khususnya pada kepala banteng.

4. Penyempurnaan alat kesenian Bantengan, yang dianggap sudah tidak bisa digunakan lagi untuk acara-acara gebyak Bantengan biasanya dilakukan dengan larungan atau pembakaran, sesuai dengan tata cara daerah setempat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang sebagaimana tersebut di atas, maka dapat di ambil sebuah fokus masalah, yaitu :

1. Bagaimana Pengaruh Budaya Bantengan terhadap pengaruh perilaku anak masyarakat di Desa Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto ?

2. Bagaimana dampak pengaruh budaya bantengan terhadap perilaku anak di Desas Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian adalah sebagai berikut :

1. Agar memahami ritual yang akan dilakukan sebelum pertunjukan bantengan. 2. Untuk mengetahui rangkaian acara dan seluk beluk acara dalam pertunjukan


(23)

D. Manfaat Penelitihan

Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti, lembaga dan masyarakat untuk mengembangkan ilmu dan kreatifitas dan kebudayaan.

a. Secara Teoritis

1. Penelitian ini akan memberikan wawasan bagi peneliti dan memberikan informasi kepada mahasiswa bahwa memang ada realitas perubahan sosial yang nyata di masyarakat sekitar.

2. Penelitian ini akan memeberikan pengalaman bagi mahasiswa bagaimana cara menggunakan teori sebagaimana untuk melakukan penelitian.

3. Penelitian ini bisa menggali informasi yang real atau nyata dalam hal yang belum diketahui oleh mahasiswa dalam umumnya.

b. Secara Praktis

1. Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti, lembaga dan masyarakat untuk mengembangkan ilmu dan kreatifitas dan kebudayaan.

2. Penelitian ini akan memberikan wawasan bagi peneliti dan memberikan informasi kepada mahasiswa bahwa memang ada realitas perubahan sosial yang nyata di masyarakat sekitar.

3. Penelitian ini bisa menggali informasi yang real atau nyata dalam hal yang belum diketahui oleh mahasiswa dalam umumnya.


(24)

E. Penelitian Terdahalu

Dalam penelitian ada perbedaan dan persamaan dalam isi yang telah diteliti oleh penelitian sebelumnya. Dan dalam penelitian yang akan saya lakukan ini berkaitan dengan judul penelitian sebelumnya, antara lain:

1. Dari penelitian yang dilakukan oleh Maulana, M. Lutfi Syifa. Jurusan Sosiologi, fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Sunan Ampel. Yang memiliki judul penelitian “Tradisi Bantengan dan Modernisasi Studi Eksistensi Tradisi Bantengan di Dusun Banong Desa Gebangsari Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto”, tahun 2014. Dimana penelitian ini membahas tentang tradisi bantengan. Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian saya adalah metode yang digunakan yaitu menggunakan metode kuantitatif.

F. Definisi Oprasional

a. Kebudayaan

Dalam pemakaian sehari-hari kata “kebudayaan” berarti kualitas yang wajar yang dpat diperoleh dengan mengunjungi banyak sandiwara dan konser tarian dan mengamati karya seni pada sekian banyak kesenian di indonesia. Kebudayaan sendiri memiliki arti seluruh cara kehidupan di masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh hidup masyarakat itu kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan memiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.


(25)

Bahasa sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara generatis.15

b. Bantengan

Bantengan adalah sebuah seni pertinjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendra tari, musik dan syair, mantra yang sangat kental dengan nuansa magis atau gaib. Pelaku bantengan yakin bahwa permainannya akan semakin menarik apabila telah masuk tahap “ trans “ yaitu tahapan pemain pemegang kepala bantengan menjadi kesurupan arwah leluhur banteng atau ( dhanyang ). Dhanayang ini disebut juga roh halus yang biasanya di panggil buat merasuki tubuh manusia, atau merasuki orang yang ikut memainkan Seni Bantengan tersebut.

c. Masyarakat

Secara umum masyarakat diartikan sebagai kumpulan individu yang menetap dalam suatu wilayah yang diikat oleh norma, aturan dan budaya tertentu. Pengertian masyarakat secara umum tersebut apabila dicermati maka terdapat babarapa unsur yang ada dalam masyarakat yaitu adanya kumpulan individu, dan adanya norma, aturan dan budaya tertentu.16

15

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung Remaja Rosdakarya 2006), hal 25

16


(26)

Masyarakat adalah sehimpunan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu17.

Dalam gerakan Seni Bantengan, pendekar tidak bisa sembarangan dalam memegang maupun memainkannya. Beberapa gerakan tersebut terdapat aturan atau tata cara tersendiri. Berikut ini adalah beberapa tatacaranya.

1. Peragaan Jurus Pencak Silat

Peragaan jurus pencak silat ini dilakukan oleh masing-masing perwakilan dari grupgrup yang tampil, baik itu grup tuan rumah, maupun grup tamu. Peragaan jurus pencak silat biasa disebut kembangan. Sebuah kembanganmengombinasikan empat teknik dasar pencak silat, yaitu pembentukan sikap pasang, pola langkah, belaan, dan serangan.18 Pada saat membentuk sikap pasang, seorang pesilat mengekspresikan status siaga dan waspada yang sewaktu-waktu dapat dirubah untuk melaksanakan suatu tindakan taktis tertentu. Sikap pasang ini dapat menggunakan tanganatau kaki yang terdiri dari sikap berdiri, jongkok, duduk, dan berbaring. Apabila sikap pasang adalah bagian statis dalam gerakan pencak silat, maka pola langkah adalah bagian yang dinamis. Seorang pesilat harus menentukan arah, cara dan pola gerak untuk kepentingan pembelaan dan serangan. Upayaupaya pembelaan merupakan tindakan untuk menghindari (menggunakan teknik tangkisan serta elakan), menangkap, mengunci, dan menggagalkan serangan lawan. Sementara itu, serangan merupakan tindakan dalam menjatuhkan lawan dengan berbagai cara seperti memukul, menendang, dan membanting.19 Empat teknik dasar ini juga dapat diaplikasikan ke dalam sebuah adegan perkelahian antara sepasang pesilat. Para sesepuh dan pendekar

17

Sutan Rajasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Cendekia, 2003), hlm 302. 18

Maryono, O. 2000. Pencak Silat Merentang Waktu. Yogyakarta: Galang Press. Hal. 9-11 19


(27)

kesenian Bantengan Karya Muda menyebut adegan perkelahian itu dengan istilah bladonan. Bladonan ini dapat dilakukan dengan mempergunakan tangan kosong maupun berbagai jenis senjata seperti pisau, golok,pedang, trisula, dan toya.

Peragaan jurus pencak silat dalam sebuah pementasan kesenian Bantengan membuktikan bahwa pencak silat memiliki keterkaitanyang erat dengan kesenian Bantengan. Keterkaitan ini dapat dilihat pada gerakan tari-tarian (solah) dalam kesenian Bantengan yang banyak bersumber dari pola langkah (jangkah) pencak silat. Pengadopsian pola langkah (jangkah) pencak silat ke dalam gerakan solah dilatarbelakangi oleh penggunaan kesenian Bantengan sebagai alat kamuflase latihan pencak silat pada masa pemerintahan kolonial Belanda.20 Kegiatan latihan pencak silat pada masa pemerintahan kolonial Belanda memang begitu diawasi dengan ketat. Pencak silat dianggap memunculkan rasa percaya diri dan keberanian untuk menentang pemerintah kolonial (Maryono, 2000:79). Hal inilah yang menyebabkan para pemuda berinisiatif untuk menggunakan kesenian Bantengan sebagai bentuk penyamaran kegiatan latihan pencak silat agar tidak dicurigai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pasca Indonesia merdeka, kesenian Bantengan tidak lagi berfungsi alat kamuflase latihan pencak silat, melainkan sudah menjadi sebuah kesenian yang mandiri.21 Meskipun demikian, eksistensi kesenian Bantengan sebagai sebuah kesenian yang mandiri tidak bisa dilepaskan dari pencak silat begitu saja. Hal ini dapat dilihat pada atraksi peragaan jurus pencak silat yang masih diberi tempat dalam sebuah rangkaian pementasan kesenian Bantengan. Atraksi peragaan jurus pencak

20

Desprianto, R.D. 2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna Simbolik dan Nilai Moral. E-Journal Pendidikan Sejarah, (Online), Hal. 151, (http://ejournal.unesa.ac.id), diakses 25 Agustus 2015.

21


(28)

silat yang ditampilkan tersebut dirangkai dengan perkelahian menggunakan berbagai macam jenissenjata serta adu kesaktian.

2. Cara Memegang Bantengan

Bantengan dimainkan oleh dua orang pemain, bagian depan memegang kepala Banteng sekaligus sebagai kaki depan sedang bagian belakang menjadi kaki belakang. Keduanya masuk kedalam kain (biasanya berwarna hitam) sebagai tubuh bantengan. Pemain bagian depan sangat cepat mengalam trance daripada pemain bagian belakang. Pemain bagian belakang dituntut untuk lebih aktif bergerak kekiri dan kekanan mengikuti pemain bagian depan sekaligus memainkan ekor Bantengan. Karena jarang sekali mengalami trance maka pada setiap permainan pemain belakang lebih berat kerjanya dalam mengikuti gerak bagian depan yang sedang trance, kadang juga bergerak semaunya saja.

3. Solah

Solah adalah istilah untuk menyebut gerakan tari-tarian dalam kesenian Bantengan. Gerakan solah ini banyak bersumber dari pola langkah (jangkah) pencak silat yang dikombinasikan dengan peniruan gerakan binatang.22 Gerakan binatang yang diadopsi dalam solahadalah gerakan tiga binatang tokoh inti dalam kesenian Bantengan, yaitu banteng, macan, dan monyet. Apabila gerakan solah dilakukan dengan maksud untuk menirukan binatang banteng, maka gerakan itu disebut solahbanteng. Apabila gerakan solah dilakukan dengan maksud untuk menirukan binatang macan, maka gerakan itu disebut solah macan. Apabila gerakan solahdilakukan dengan maksud untuk menirukan binatang monyet, maka gerakan itu disebut solah monyet.

22


(29)

Peniruan gerakan binatang dalam tari-tarian merupakan sisa-sisa dari kepercayaan totemisme yang dianut oleh masyarakat primitif. Kepercayaan totemisme adalah kepercayaan masyarakat primitif kepada suatu binatang tertentu yang diyakini merupakan nenek moyang atau leluhur penjaga dan pelindung.23 Para penganut totemisme terkadang menyelenggarakan suatu upacara dalam bentuk tari-tarian yang menampilkan atau menirukan gerakan-gerakan dan sifat-sifat dari binatang totem seolah-olah mereka ingin menegaskan kesamaan identitas dengannya.24 Tari-tarian menirukan binatang totem inilah yang disebut animal dance.25

Kesenian Bantengan bisa digolongkan sebagai salah satu contoh animal dance sisa kepercayaan totemisme berdasarkan ciri-ciri fisik yang ada pada gerakan tari-tariannya. Animal dance menekankan pada kemampuan para penarinya dalam menirukan binatang totemnya. Hal ini juga berlaku pada gerakan solah dalam kesenian Bantengan yang menekankan para pemainnya untuk menirukan gerak-gerik binatang banteng, macan, dan monyet sesuai aslinya.

Atraksi solah semakin terlihat atraktif ketika dikombinasikan dengan lecutan pecut yang secara simbolis berfungsi untuk membuka jalan, mengundang roh-roh leluhur, serta membersihkan kotoran-kotoran dan hawa-hawa jahat ditempat pementasan. Lecutan pecut ini dilakukan secara bersahut-sahutan oleh para pendekar pengendali permainan yang berada di arena pementasan.

Atraksisolah ini mencapat adegan kilmaks ketika para pemain memasuki tahap trans. Trans bisa diartikan sebagai perubahan kesadaran yang ditandai dengan

23

Freud, Sigmund. 1918. Totem dan Tabu. Terjemahan Kurniawan Adi Saputro. 2001. Yogyakarta: Jendela Grafika. Hal. 3

24

Ibid, Hal 224 25


(30)

pergantian identitas pribadi menjadi identitas baru akibat pengaruh suatu roh, dewa, atau kekuatan lain.26 Trans yang diakibatkan oleh intervensi roh, dewa, atau kekuatan lain ini sesuai dengan penjelasan Pigeaud bahwa timbulnya keadaan trans “merupakan pertanda bahwa makhluk halus atau dewa yang ditunggu-tunggu itu benar-benar sudah datang”.27

Istilah populer dalam kesenian Bantengan untuk penyebutan kata “trans” adalah ndadi. Trans ini tidak hanya dialami oleh para pemain yangsedang beratraksi di tempat pementasan saja, akan tetapi juga dialami oleh para pemain yang tidak mendapatkan peran apa-apa dan hanya berada di sekitar tempat pementasan. Pemain yang tidak mendapatkan peran apa-apa tersebut biasanya mendapatkan tugas untuk membantu melakukan penjagaan di sekitaran tempat pementasan.

Menurut penjelasan para pemain kesenian Bantengan, kondisi yang dialami pada saat mengalami trans dibagi menjadi tiga macam. Kondisi pertama adalah sadar. Pada kondisi ini, para pemain berada dalam kondisi sadar, tetapi tidak bisa mengendalikan tubuhnya dan merasa ada kekuatan lain yang menyetir dirinya. Kondisi kedua adalah gelap total. Pada kondisi ini, para pemain tidak dapat mengingat apa-apa seperti halnya orang yang sedang tertidur dan bermimpi. Kondisi ketiga adalah setengah sadar. Pada kondisi ini, para pemain merasakan keadaan di antara sadar dan tidak sadar. Para pemain terkadang bisa mengingat apa yang terjadi, dan terkadang juga tidak bisa mengingat apa-apa

26

Zulkhair. 2008. Gangguan Kesurupan dan Terapi Ruqyah: Penelitian Multi Kasus Penderita Gangguan Kesurupan yang diterapi dengan Ruqyah di Dua Lokasi Pengobatan Alternatif Terapi Ruqyah. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Psikologi UIN Malang. Hal. 22

27


(31)

Tingkah laku para pemain yang mengalami trans sangat aneh. Para pemain tersebut biasanya mencari sesepuh atau pendekar untuk menjalin komunikasi. Komunikasi yang dijalin antara pihak ketiga dengan sesepuh atau pendekar biasanya berupa permintaan sesaji dan pemberian petuah. Sesaji yang menjadi favorit pihak ketiga adalah dupa, kemenyan, dan minyak wangi. Ketiga jenis sesaji ini sangat disukai oleh pihak ketiga karena baunya yang harum. Dupa biasanya dimakan langsung oleh pihak ketiga melalui perantara pemain, kemenyan dihirup asapnya, sedangkan minyak wangi dioleskan ke tanduk di kostum banteng. Sementara itu, mengenai petuah yang dituturkan pihak ketiga kepada sesepuh atau pendekar, petuah tersebut biasanya bercerita tentang bagaimana menjalani hidup yang lebih baik dan terkadang mengenai ramalan bencana alam

a. Solah Banteng

Gerakan atau tarian dalam bantengan disebut solah Banteng yang terdiri dari gerakan atau langkah gerakan mengayun tanduk ke kiri dan kanan yang disebut sabetan, dan gerakan srudukan tanduk. Langkah Banteng terdiri dari gerak jalan berputar yang disebut langkah kliter,dan gerakan langkah maju. Semua gerakan ini biasanya dilakukan berulang-ulang selama permainan sampai bertemu macanan dan bertang. Saat bertarung inilah Banteng baru menggunakan gerakan srudukan tanduk untuk mengalahkan macanan. Solah Banteng banyak bersumber dari gerakan pencak silat.

Gerakan ini sepertinya tampak cukup sederhana sehingga dengan melihat saja pemain sudah dapat menirukan bahkan memodifikasi sedemikian rupa, tetapi apabila dimainkan dalam kondisi sadar kebanyakan pemain hanya mampu bertahan kurang lebih 20 menit memainkan kepala Banteng yang beratnya rata-rata mencapai lebih dari 15kg lebih ditambah panasnya suhu udara didalam


(32)

kerudung hitam. Apabila pemain telah mencapai kondisi trance pemain tersebut tidak lagi bisa mengendalikan gerakannya, semua gerakan dikendalikan kekuatan halus yang masuk ke dalam tubuh pemain, sehingga walaupun mata pemain tertutup oleh kerudung kain mereka bisa bergerak dengan leluasa dan tanpa merasa capek. Kondisi trance membuat gerakan bantengan menjadi lebih menarik dan ditunggu-tunggu penonton selain itu permainan dapat bertahan dalam waktu yang lama sampai berjam-jam dengan nuansa magis yang kuat

b. Solah Macan

Gerakan tarian Macan atau yang biasa disebut solah macan biasanya lebih mengutamakan kuda-kuda, gerak kepala, cakaran dan koprol yang bersumber dari pencak silat, sehingga pemain macanan harus bergerak lebih aktif dan tidak boleh melakukan gerakan berjalan seperti manusia.

c. Solah Tarung Banteng Macan

Solah tarung Banteng Macan merupakan adegan pertemuan antara kebaikan dan keburukan, pada saat itu biasanya Kera yang merupakan simbol sifat kikir akan ikut muncul mengambil dan memanfaatkan kesempatan. Banteng (simbol kebaikan) selalu menang dalam pertarungan melawan Macan (simbol keangkaramurkaan).

Dalam gebyak Bantengan adegan pertarungan Banteng melawan Macan secara ringkas dapat digambarkan sebagai ketika Banteng bertemu Macan keduanya langsung saling menyerang. Banteng mengejar Macan dan langsung menyerang dengan srudukan tanduknya, tetapi Macan berhasil meloncat menghindar dan menangkap tanduk Banteng. Banteng terus menekan dengan tenaganya yang besar hingga macan jatuh terlentang terkunci tanduk Banteng. Banteng yang marah kemudian melemparkan Macan. Macan yang merasa kalah menjauh ketakutan.


(33)

Monyet (simbol sifat kikir) muncul di sela-sela kesempitan selama pertarungan untuk mengambil kesempatan yang mengungtungkannya.

Solah Banteng Macan biasanya dilakukan pada awal-awal permainan ketika kondisi pemain masih sadar, dengan gerakan yang luwes. Tetapi ketika keduanya trance terkadang malah menjadi shabat. Saling mendekat atau sibuk dengan gerakannya sendiri-sendiri.

Kesenian Bantengan sebagai hasil warisan leluhur Kota Mojokerto dijadikan tuntunan bagi masyarakat tentunya tidak lepas dari nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan dijadikan pedoman oleh masyarakat dalam berkehidupan. Didalam kesenian Bantengan terdapat nilai religius maupun nilai sosial yang mampu menjadikan kesenian Bantengan sebagai seni yang bernilai luhur yang perlu kita lestarikan dan kembangkan sesuai perkembangan jaman tanpa meninggalkan nilai estetika dan etika. Kesenian Bantengan tidak semata-mata hanya hiburan dan ritual saja, tetapi kesenian Bantengan ini bila dikaji banyak nilai-nilai moral yang terkandung diantaranya:

1. Nilai kebersamaan atau gotong royong tampak pada waktu seluruh pemain Bantengan saling bekerja sama dan gotong royong dalam mengadakan arak-arakan Bantengan. keliling desa.

2. Nilai keindahan tampak pada sajian pagelaran yang mengggunakan perlengkapan khas Jawa jadi terlihat indah, mulai dari gamelan, busana yang dipakai dan topeng. Selain itu keindahan juga terlihat diwaktu para pemain game lan memainkan musik gamelan terdengar mengiringi gerakan para pemain Bantengan.

3. Nilai kebenaran tampak pada saat pemain benar-benar membawakan atau memainkan kesenian Bantengan. Tampak saat pertarungan Banteng melawan


(34)

macan dalam perkelahiannya bisa mengalahkan para pemain macanan yang merupakan perwujudan Bangsa Kolonial yang menjajah para kaum pribumi, ini berarti bahwa kebenaran atau kebaikan pasti akan mengalahkan kejahatan. 4. Nilai kebaikan, bahwa Bantengan dibuat untuk mendidik kaum pribumi

untuk menjadi pejuang dan mengalahkan para penjajah yang datang. Kemudian tampak pada saat pemain Bantengan yang berusaha mengalahkan pemain Macanan yang nerupakan simbol dari penjajah.

5. Nilai tanggung jawab, dari sifat seorang pendekar Bantengan sebagai pengendali Bantengan yang berusaha menendalikan gerakan Bantengan agar tetap terkontrol.

6. Nilai religius, tampak dalam setiap do‟a yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam hal apapun baik dalam latihan maupun pagelaran selalu memohon pertolongan kepada Sang Pencipta.

7. Nilai kepercayaan, tampak pada masyarakat desa Claket khusunya pemaian kesenian Bantengan bahwa mereka percaya terhadap hal -hal ghoib. Mereka mempercayai adanya makhluk yang diciptakan Allah SWT selain manusia, kemudian tampak pula dalam alur cerita yang mengingatkan bahwa manusia harus percaya kepada Allah SWT dan segala yang diciptakan termasuk setan dan jin.

8. Nilai keburukan atau kejahatan tampak pada pemeran Macanan sebagai simbol penajajah dan pemeran Kera yang bertugas sebagai penghasut antara Banteng dan Macan. Hal ini menyampaikan bahwa tindakan Macan dan Kera itu sangat tidak terpuji karena meresahkan masyarakat.

Berdasarkan hasil pementasan kesenian Bantengan baik ketika di panggung maupun saat arak-arakan ditemukan adanya Temuan tentang


(35)

nilai moral memang bermanfaat bagi kebudayaan. Hal ini selaras dengan pendapat Liliweri yang menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak tentang tujuan budaya yang akan kita bangun bersama melalui bahasa, simbol, dan pesanpesan verbal maupun nonverbal.28

Nilai atau value mengandung pengertian sesuatu yang berharga. Sesuatu yang bernilai apabila memiliki nilai guna (memiliki keindahan) kebenaran atau kebaikan, misalnya sesuatu yang baik berarti memiliki nilai moral (nilai kebaikan). Nilai itu sesuatu yang abstrak, dapat dipikirkan, dipahami, dihayati, dijiwai, dan berhubungan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, hal-hal yang bersifat batiniah dan bersifat ideal bukan factual.29 Masyarakat dalam melakukan apapun hendaknya memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang diimbangi dengan hati bersih dan suci. Hal ini yang juga bisa didapatkan dari kesenian Bantengan, selain itu juga mengingatkan bahwa di muka bumi ini manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, akan tetapi manusia juga harus menyadari bahwa Tuhan menciptakan banyak makhluk, diantaranya adalah makhluk ghoib yang harus kita akui keberadaanya. Kesenian Bantengan yang mengajarkan nilai-nilai moral membawa pengaruh positif terhadap kebudayaan ataupun moral manusia. Selaras dengan pendapat Budiningsih yang menyatakan bahwa kebudayaan akan mempengaruhi cepat lambatnya pencapaian tahap-tahap perkembangan moral dan juga mempengaruhi batas tahap perkembangan yang tercapai.

28

Liliweri, 2007, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, PT LKIS Pelangi Aksara, hlm. 50.

29


(36)

Dengan kata lain, bahwa individu yang mempunyai latar budaya tertentu dapat ber beda perkembangan moral dipengaruhi oleh faktor kebudayaan.30

G. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan maslah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik.31

Dari judul yang diangkat oleh peneliti yakni Pengaruh Budaya Bantengan Terhadap Perilaku Anak Di Desa Japanan Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

a. Jika Hο lebih dari Hi (Hο>Hi) maka tidak ada Pengaruh Budaya Bantengan Terhadap Perilaku Anak di Ds.Japanan Kec.Kemlagi Kab.Mojokerto.

b. Jika Hο kurang dari Hi ( Hο< Hi) maka ada Pengaruh Budaya Bnatengan Terhadap Perilaku Anak di Ds.Japanan Kec.Kemlagi Kab.Mojokerto.

30

Budiningsih,2004, Pembelajaran Moral: Berpijak Pada Karakter Siswa dan Budayanya, Jakarta, Rineka Cipta, halaman 8.

31

Prof. Dr. Sugiyono,Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, (Bandung Alfabet, CV Desember 2014) hal 63


(37)

H. Metode Penelitian

a. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif.

Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial,pendekatan ini juga digunakan sebagai cara untuk meneliti berbagai aspek dari pendidikan. Istilah penelitian kuantitatif seing dipergunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk membedakannya dengan penelitian kualitatif.

b. Populasi, Sempel dan Teknik Sampling

Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek / subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertenti yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang


(38)

dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subyek dan obyek itu.32

Populasi disini saya meneliti anak-anak umur 11-15 tahun. Jumlah anak-anak yang biasanya suka mengikuti Budaya Bantengan tersebut banyak sekali sekitar 50 anak. Mereka sangat antusias sekali kalau ada event Bantengan dimana pun tempat nya pasti selalu dijangkau sama anak-anak tersebut. Ada juga anak-anak yang jadi pemain Bantengan disana.

Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang memiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan penelitian tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka penelitian dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representasi (mewakili).33

32

Prof. Dr. Sugiyono,Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, (Bandung Alfabet, CV Desember 2014) hal 80

33


(39)

Sampel merupakan bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri keadaan tertentu yang akan diteliti, atau sebagian anggota populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasi.34

Teknik Sampling

Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel, untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan.

Rumus pengambilan sampel yaitu K= Keterangan:

K : Interval Sampel

N : Elementer dalam populasi

n : Besar sampel yang akan diambil.35

c. Variable dan Indikator Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya.36

1. Variable independen (x) : Budaya Bantengan

34Nanang Martono, ”StatistikSosial Teori dan Aplikasi Program SPSS”,

(Yogyakarta: Gava Media, 2010), hlm.15.

35Masri Singarimbundan Sofian Effendi. “Metode Penelitian Survei”,

(Jakarta: LP3ES, 1989), hlm.160.

36


(40)

variable ini sering disebut sebagai variable stimulus, predicator, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas.Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat).

Indikatornya adalah sebagai berikut :

a) Silat b) Mantra c) Tari d) Musik e) Syair

2. Variabel Dependen (y) : Perilaku Anak

Variabel Dependen sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat.Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.

Indikatornya sebagai berikut :

a) Kreatif

b) Mudah bergaul c) Cerdas


(41)

d) Pinter

d. Teknik Pengumpulan Data

1. Kuesioner ( angket)

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bias diharapkan dari responden. Selain itu, kuesioner juga cocok digunakan bila jumlah responden cukup besar dan tersebar di wilayah yang luas.Kuesioner dapat berupa pertanyaan / pernyataan tertutup atau terbuka, dapat diberikan kepada responden secara langsung atau dikirim melalui pos, atau internet.

Bila penelitian dilakukan pada lingkup yang tidak terlalu luas, sehingga kuesioner dapat diantarkan langsung dalam waktu tidak terlalu lama, maka pengiriman angket kepada responden tidak perlu melalui pos.

2. Observasi

Observasi adalah sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain.


(42)

Sutrisno Hadi (1986) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikhologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

Teknik pengumpulan data secara observasi digunakan bila, penelitian berkenan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.37

e. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dan seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumasan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.Untuk penelitian yang tidak merumuskan hipotesis, langkah terakhir tidak dilakukan.

1. Statistika Deskriptif dan Inferensial

Statistic deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendiskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Penelitian yang dilakukan pada

37


(43)

populasi ( tanpa di ambil sampel nya ) jelas akan menggunakan statistic deskriptif dalam analisisnya. Tetapi bila penelitian dilakukan pada sampel, maka analisisnya dapat menggunakan statistic deskriptif maupun inferensial.38

2. Analisis Regresi Linear Sederhana

Regresi Linear Sederhana adalah Metode Statistik yang berfungsi untuk menguji sejauh mana hubungan sebab akibat antara variabel Faktor Penyebab (X) terhadap Variabel Akibatnya. Faktor penyebab pada umumnya dilambangkan dengan X atau disebut juga dengan Predictor sedangkan Variabel akibat dilambangkan dengan Y atau disebut juga dengan Response.

Model Persamaan Regresi Linear Sederhana adalah sepeti berikut ini :

Y = a + bX

Dimana :

Y = Variabel Response atau Variabel akibat ( Dependent )

X = Variabel Predictor atau Variabel faktor Penyebab ( Independen )

a = Konstanta

b = Koefisien Regresi ( Kemiringan )

38


(44)

Nilai-nilai a dan b dapat dihitung dengan menggunakan Rumus dibawah ini :

a = ∑ ∑ ∑ ∑

n ∑ ∑

b = n ∑ ∑ ∑

n ∑ ∑

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan berisi tentang pokok bahasan dalam setiap bab penelitian, yang disusun mulai awal hingga akhir.

BAB 1 : PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan dan membahas diantaranya latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, definisi konseptual, hipotesis, metode penelitian dan sistematika pembahasan dan jadwal penelitian.

BAB II: KAJIAN TEORI

Bab ini menjelaskan mengenai definisi konsep dari judul yang telah dipilih oleh peneliti dan landasan teori yang digunakan untuk menganalisa dari permasalahan yang telah ditetapkan sebelumnya.


(45)

Bab Ini menjelaskan mengenai definisi umum objek penelitian, deskripsi hasil penelitian, dan pengujian hipotesis.

BAB IV: ANALISA DATA

Pada Bab ini menjelaskan dan memaparkan tentang argumentasi teoretis terhadap hasil pengujian hipotesis.

BAB V: PENUTUP

Pada Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yang bersifat konseptual dan terkait langsung dengan rumusan masalah, tujuan penelitian dan temuan yang dihasilkan dari penelitian tersebut.Serta menjelaskan saran-saran yang diajukan oleh peneliti berdasarkan pada temuan penelitian, pembahasan dan kesimpulan hasil penelitian.

J. Jadwal Penelitian

Sebelum melakukan penelitian sebaiknya peneliti harus membuat jadwal penelitian agar mempermudah dan memperhemat waktu penelitian sebagaimana yang ditunjukkan peneliti dalam tabel berikut :

NO Kegiatan Pelaksanaan Kegiatan

1. Pengajuan Judul 23 September 2015 2. Pengumpulan Proposal 26 September 2015 3. Ujian Proposal 9 November 2015 4. Pencarian Data Penelitian 20 November 2015

5. Analisis Data Akhir Desember

Minggu ke 4, Awal Januari Minggu ke 1


(46)

(47)

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Kajian Pustaka

a. Silat

Pencak silat adalah olahraga bela diri yang memerlukan banyak konsentrasi. Ada pengaruh budaya Cina, Agama Hindu, Budha, dan Islam dalam pencak silat. Biasanya setiap daerah di Indonesia mempunyai aliran pencak silat yang khas. Misalnya, daerah Jawa Barat terkenal dengan aliran Cimande dan Cikalog, di Jawa Tengah ada aliran Merpati Puti dam di Jawa Timur ada aliran Perisai Diri.1

b. Mantra

Mantra adalah ucapan atau lafal yang di anggap mengandung kekuatan

ghaib, seiring digunakan oleh dukun untuk mengobati pasiennya yang sakit, atau membuat celaka orang lain. Mantra itu asalnya dari ajaran Hindu tetapi mempunyai pengaruh terhadap umat Islam di Indonesia yang semula memang penganut Hindu, sebelum datangnya Islam. Pengaruhnya bukan hanya pada jaman dahulu saja, tetapi juga bisa disaksikan terus berlangsung sampai sekarang.2

c. Tari

1M Muhyi Faruq,”Meningkatkan kebugaran jasmani melalui permainan dan olahraga pencak silat”, Grasindo, 2009

2

Djamaris E. Pengantar sastra rakyat. Ed-1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; 2001 44


(48)

Tari adalah gerak tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu untuk keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran. Bunyi-bunyian yang disebut musik pengiring tari mengatur gerakan penari dan memperkuat maksut yang ingin di sampaikan.

d. Musik

Musik adalah suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan terutama suara yang dihasilkan dari alat-alat yang menghasilkan irama.

e. Syair

Syair merupakan simbol bahasa yang digunakan oleh komponis dalam mengekspresikan perasaan untuk mempermudah pendengar dalam mencerna karya musiknya.

f. Budaya

Budaya adalah suatu kebiasaan turun menurun yang dilakukan oleh suatu warga setempat.Setiap daerah mempunyai budaya masing-masing, yang tak lepas dari kebiasaan nenek moyang yang melestarikan.


(49)

Bantengan adalah sebuah seni pertinjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendra tari, musik dan syair, mantra yang sangat kental dengan nuansa magis atau gaib.

B. Kajian Teori

Seorang Antropolog, yaitu E. B. Tylor (1971), pernah mencoba memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Dengan kata lain kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normative.Artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan, dan bertindak.3

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,

3


(50)

tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Kehidupan manusia yang berkembang dari waktu ke waktu, baik cepat atau lambat akan mengalami perubahan. Pertumbuhan demografi, akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan aspek kehidupan manusia lainnya. Kembali kepada perubahan sosial sebagai suatu proses, hakekatnya, tidak ada yang tidak mengalami perubahan di dunia ini. Tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini. Yang abadi itu hanyalah Tuhan dan “perubahan” itu sendiri. Perubahan ini abadi adanya. Sampai kemanapun, perubahan itu akan tetap terjadi.4 Pengertian lain menurut Selo Sumardjan, perubahan adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.5

Kadang-kadang, bagi yang suka mengamati perkembangannya, kebudayaan itu terkesan statis dan tidak bisa berubah. Akan tetapi dalam kenyataannya, tidak ada suatu persekutuan budaya yang tidak bergerak ke arah perubahan. Perkembangan teknologi pertanian dan penjajahan bangsa-bangsa. Barat atas kelompok-kelompok kebudayaan tertentu telah mempercepat kebudayaan.

Secara umum factor-faktor yang menyebabkan perubahan ada dua, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri disebut

internal factors atau yang sering disebut dengan endogen, dan faktor-faktor

4

Nursid Sumaatmadja,Op.Cit.,hal,79-80 5


(51)

yang berasal dari luar masyarakat yang disebut dengan external factors atau faktor eksogen.6

Untuk mendapatkan kontras antara paradigma perilaku sosial ini dengan paradigma terdahulu, disini akan diperlihatkan perbedaan antara pandangan skinner sebagai pengemuka exemplarnya dengan kedua pandangan paradigma yang lain itu. Skinner melihat kedua paradigma fakta sosial dan definisi sosial sebagai perspekttif yang bersifat mistik, dalam arti mengambil sesuatu persoalan yang besifat teka teki, tidak dapat diterangkan secara rasional.

Ide pengembangan paradigma Perilaku Sosial ini dari awal sudah dimaksudkan untuk menyerang kedua paradigma lainnya itu. Karena itu tak mengherankan bila perbedaan pandangan antara paradigma Perilaku Sosial dengan kedua paradigma lainnya itu merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.

Dalam bukunya Beyond freedom And Dignity Skinner menyerang langsung paradigma definisi sosial dan secara tak langsung terhadap paradigma fakta sosial, seperti tercemin dalam uraian berikut. Konsep kultur yang didefinisikan oleh paradigma fakta sosial dinilainya mengandung ide yang bersifat tradisional khususnya mengenai nilai-nilai sosial. Menurutnya pengertian kultur yang diciptakan itu tak perlu disertai dengan unsur mistik seperti ide dan nilai sosial itu. Alasannya karena orang tidak dapat melihat secara nyata ide dan nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat. Yang jelas

6

DR.Ishomuddin, Sosiologi Prrspektif Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, Cetakan Pertama Januari 2005, hal.136


(52)

terlihat adalah bagaimana manusia hidup, memelihara anaknya, cara berpakaian, mengatur kehidupan bersamanya dan sebagainya.

Menurut skinner kebudayaan masyarakat tersusun dari tingkah laku dengan kata lain kebudayaan adalah tingkah laku yang terpolah untuk memahami tingkah laku yang terpola itu tidak diperlukan konsep konsep seperti ide ide dan nilai nilai. Yang diperlukan adalah pemahaman terhadap”kemungkinan penguatan penggunaan paksa” itu. Walaupun menyentil pandangan paradigma serta sosial yang memang memandang tingkah laku manusia ditentukan oleh norma dan nilai sosial, tetapi kecaman tajamnya itu sebenarnya ditujukan terhadap paradigma definisi sosial.

Skinner berusaha menghilangkan konsep voluntarisme Parsons dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Menurutnya voluntarisme Parsons itu mengandung ide “autonomous man”. Maksudnya adalah manusia serba memiliki kebebasan dalam bertindak seakan-akan tanpa kendali. Sebagaimana diutarakan di atas, melalui lima proposisinya parsons berpendirian bahwa manusia makhluk yang aktif, kreatif dan evaluative dalam memilih di antara berbagai alternative tindakan dalam usaha mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki seperangkat “bagian dalam” yang menjadi

sumber dari tindakannya. Orang yang akan mampu berkarya, memulai sesuatu dan mencptakan karena bagian dalamnya itu. Padahal menurut Skinner pandangan yang menganggap manusia mempunyai bagian dalam yang serba


(53)

bebas demikian itu adalah pandanga yang bersifat mistik dan berstatus metafisik yang harus disingkirkan dari dalam ilmu sosial. 7

Budaya adalah suatu kebiasaan turun menurun yang dilakukan oleh suatu warga setempat. Setiap daerah mempunyai budaya masing-masing, yang tak lepas dari kebiasaan nenek moyang yang melestarikan. Menjaga kebudayaan yang menurut seniman dan kebudayaan sekarang agak susah, dikarenakan beberapa hal yang dilakukan sedikit melenceng dari kebudayaan yang asli dari nenek moyang.

Dalam pemakaian sehari-hari kata “kebudayaan” berarti kualitas yang wajar yang dpat diperoleh dengan mengunjungi banyak sandiwara dan konser tarian dan mengamati karya seni pada sekian banyak kesenian di indonesia. Kebudayaan sendiri memiliki arti seluruh cara kehidupan di masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh hidup masyarakat itu kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan memiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak

7

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (PT Rajagrafindo Persada Jakarta 2013), hal 69-71


(54)

terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara generatis.8

Bantengan adalah sebuah seni pertinjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendra tari, musik dan syair / mantra yang sangat kental dengan nuansa magis / gaib. Pelaku bantengan yakin bahwa permainannya akan semakin menarik apabila telah masuk tahap “ trans “ yaitu tahapan pemain pemegang kepala bantengan menjadi kesurupan arwah leluhur banteng atau ( dhananyang ).

Seni bantengan yang telah lahir sejak jaman kerajaan singasari sangat erat dengan kaitannya pencak silat. Walaupun pada masa kerajaan Ken Arok tersebut bentuk kesenian bantengan belum seperti sekarang, yaitu berbentuk topeng kepala bantengan yang menari. Karena gerakan tari yang dimainkan mengadopsi dari gerakan kembangan pencak silat.

Tidak aneh memang sebab pada awalnya Seni Bantengan adalah unsur hiburan bagi setiap pemain pencak silat setiap kali selesai melakukan latihan rutin. Setiap group bantengan minimal mempunyai dua bantengan seperti halnya satu pasangan yaitu bantengan jantan dan betina. Walaupun berkembang dari kalangan perguruan pencak silat, pada saat ini seni bantengan telah berdiri sendiri sebagai bagian seni tradisi sehingga tidak keseluruhan perguruan pencak silat di indonesia mempunyai group bantengan dan begitu juga sebaliknya. Perkembangan kesenian bantengan mayoritas berada di masyarakat pedesaan atau wilayah pinggiran kota.

8

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung Remaja Rosdakarya 2006), hal 25


(55)

Permainan kesenian bantengan dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala bantengan dan pengontrol tari bantengan serta kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor bantengan. Kostum bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala bantengan yang terbuat dari kayu serta tanduk asli bantengan. Bantengan ini selalu diiringi oleh sekelompok musik khas bantengan dengat alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain. Kesenian ini tak jarang orang dibagian belakang juga kesurupan. Tetapi, sangat jarang terjadi orang yang di bagian belakang kesurupan sedangkan bagian depannya tidak, bantengan dibantu agar kesurupan oleh orang (laki-laki) yang memakai pakaian serba merah yang disebut abangan dan kaos hitam yang biasanya disebut irengan.

Bantengan juga selalu diiringi oleh macanan, kostum macanan ini terbuat dari kain yang diberi pewarna (biasanya kuning belang orange), yang dipakai oleh seorang laki-laki. Macanan ini biasanya membantu bantengan kesurupan dan menahannya bila kesurupan sampai terlalu ganas. Namun tak jarang macanan juga kesurupan.9

Bagi Skinner, respon muncul karena adanya penguatan. Ketika dia mengeluarkan respon tertentu pada kondisi tertentu, maka ketika ada penguatan atas hal itu, dia akan cenderung mengulangi respon tersebut hingga akhirnya dia berespon pada situasi yang lebih luas. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguat. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu

9


(56)

penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan tersebut akan berlangsung stabil dan menghasilkan perilaku yang menetap. Kesenian Bantengan sangat dekat dengan masyarakat karena kesenian bantegan ini dijadikan oleh masyarakat sebagai media hiburan.Hampir semua kalangan mengenal dan menyukai kesenian bantengan karena di dalam kesenian ini terdapat sendra tari,pencak silat, olah kanuragan, musik, dan syair/mantra yang didalamnya memiliki makna dan maksud.

Masyarakat cenderung menilai kesenian bantengan hanya sebatas sebagai hiburan semata, namun masyarakat tidak mengetahui latar belakang dan maksud dari kesenian tersebut.Maka dari itu penelitian ini lebih memfokuskan kepada penilaian masyarakat terhadap kesenian bantengan, apakah kesenian bantengan tersebut bernilai negative atau positive serta apakah kesenian bantengan ini memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat.

Menurut George Herbert Mead dia merupakan pengaruh terpenting bagi Blummer, sosiologi selanjutnya dalam teori interaksionisme sombolik yang terkenal melalui bukunya, Mind, Self and Society dan beberapa buku selanjutnya merupakan karya penting Mead. Mead memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Bagi Mead, individu merupakan makhluk yang sensitif dan aktif. Keberadaan sosialnya sangat mempengaruhi bentuk lingkungannya (secara sosial maupum dirinya sendiri) secara efektif, sebagaiman lingkungannya mempengaruhi kondisi sensitivitas dan aktifitasnya. Mead menekankan bahwa individu itu


(57)

bukanlah merupakan “budak masyarakat”. Dia membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuknya.

Bagi Mead, tertib masyarakat akan terjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikkan melalui simbol-simbol. Untuk menjelaskan sifat spesifik komunikasi ini, maka komunikasi simbolis antar manusia harus dibandingkan dengan komunikasi antar hewan.

Gambaran mead yang terkenal dalam hal ini adalah mengenai anjing yang berkelahi. Setiap isyarat seekoranjing merupakan stimulasi bagi munculnya respon anjing lainnya. Demikian pula sebaliknya, sehingga akan terjadi saling memberi dan menerima. Anjing-anjing itu menyatu dalam “perbincangan isyarat”, meski isyarat itu sendiri bukan merupakan suatu yang berarti, sebab isyarat itu tak membawa makna. Anjing-anjing itu berinteraksi satu dengan lainnya, masing-masing saling bersiap dan mengantisipasi posisi yang lain secara spontan.

Hewan selalu bereaksi secara naluriah terhadap gerakan-gerakan. Hal ini merupakan rangsangan yang diikuti oleh reaksi (converstion of gestures). Di pihak lain, manusia menginterprestasikan gerakan-gerakan atau kata-kata. Manusia memandangnya sebagai simbol, yaitu simbol maksud-maksud yang hendak dinyatakan dengan kata dan gerakan sesuai dengan maknanya. Manusia bertindak atas dasar interprestasi semacam ini. Jadi, antara stimulus dan responsifitas, terhadap ruang untuk melakukan interprestasi.

Lebih jauh, Mead menjelaskan konsep diri (self) dengan menyebut bahwa “diri” dapat bersifat sebagai obyek maupun subyek secara sekaligus. Ia


(1)

BAB V PENUTUP 1. KESIMPULAN

Kesenian Bantengan ini sangatlah tidak asing di kalangan masyarakat ataupun anak-anak yang ada di Desa Japanan Kecamatan kemlagi Kabupaten Mojokerto ini. Sebagaimana Seni Bantengan ini sangatlah di gemari oleh semua orang terutama anak-anak sampai dengan remaja. Oleh karena itu Seni Bantengan mengajarkan nilai positif yaitu dengan mengenalkan budaya Seni Bantengan ini yang sudah lama ada pada zaman dahulu, tetapi ada juga nilai negatifnya yaitu Seni Bantengan melihatkan ritual-ritual yang menjadikan orang musyik dengan memanggil arwah lelulur untuk menjadikan pemain bantengan kesurupan.

Dari hasil penelitian tentang kesenian bantengan dapat disimpulkan bahwa kesenian bantengan adalah sebuah kesenian yang menggunakan ilmu pengetahuan sebagai acuannya. Segala bentuk dalam atraksi kesenian bantengan adalah sebuah trik. Kesenian bantengan lebih mengutamakan nilai seni dari pada nilai mistiknya. Kesenian bantengan memiliki makna yang baik bagi masyarakat. Namun masyarakat awan masih belum mengetahui hal tersebut, masyarakat mempercayai bahwa di dalam kesenian bantengan masih mengadung unsur mistik didalamnya karena di dalam kesenian bantengan terdapat atraksi-atraksi yang mustahil dilakukan oleh manusia normal pada umumnya.

Kesenian bantengan merupakan kesenian yang khas dari kota Malang tepatnya di Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Pada zaman dahulu,


(2)

menjadi sarana dakwah di masa masuknya islam, dan saat ini Bantengan dijadikan seni yang berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Adanya peubahan fungsi dan itu merupakan hasil adaptasi suatu budaya untuk dapat eksis mengikuti perkembangan dunia.

2. SARAN

Perlunya pelatihan atau penelitian dengan valid dan sesuai dengan tema anda saat meneliti di suatu tempat atau desa yang ingin anda teliti. Salah satu untuk meningkatkan penelitian adalah dengan mengobservasi.

Menurut saya, masih banyak yang diperbaiki lagi dengan baik dan benar demi generasi-generasi penerus saya ke depannya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ihroni, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta yayasan Obor Indonesia, 1996)

Desprianto, 2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna Simbolik dan Nilai Moral. E-Journal Pendidikan Sejarah, (Online), (http://ejournal.unesa.ac.id), diakses 25 Agustus 2015. Herwanto, 2012. Bantengan: Kedigdayaan Seni Tradisi. Malang: APH Malang.

Hidajat, 2005. Wawasan Seni Tari: Pengetahuan Praktis Bagi Guru Seni Tari. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Hidajat, 2006. Relasional Simbolis Desa, Sungai, dan Pundhen dengan Pertunjukan Topeng Malang di Dusun Kedungmonggo Karangpandan. Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

Suwito. 2007. Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa. Jurnal Studi Islam dan Budaya IBDA, (Online), (http://ibda.files.wordpress.com), diakses 25 Agustus 2015.

Sardjuningsih. 2013. Sembonyo: Jalinan Spiritualisme Masyarakat Nelayan. Tulungagung: STAIN Tulungagung Press.

Endraswara, S. 2004. Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan Fantasi Kejawen. Yogyakarta

Kodiran. 1974. Kebudayaan Jawa. Dalam Koentjaraningrat (Ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta: Djambatan

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

Endraswara, 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi


(4)

Soedarsono. 1985. Peran Seni Budaya dalam Kehidupan Manusia: Kontinuitas dan Perubahannnya. Yogyakarta: FSUGM.

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung Remaja Rosdakarya 2006)

Tasmuji, IAD-IBD-ISD, (MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya 2012)

Sutan Rajasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Cendekia, 2003), hlm 302.

Maryono, 2000. Pencak Silat Merentang Waktu. Yogyakarta: Galang Press.

Desprianto, 2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna Simbolik dan Nilai Moral. E-Journal Pendidikan Sejarah, (Online), (http://ejournal.unesa.ac.id), diakses 25 Agustus 2015. Herwanto, 2012. Bantengan: Kedigdayaan Seni Tradisi. Malang: APH Malang.

Freud, Sigmund. 1918. Totem dan Tabu. Terjemahan Kurniawan Adi Saputro. 2001. Yogyakarta: Jendela Grafika.

Hadi, 2005. Sosiologi Tari: Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta: Pustaka.

Zulkhair. 2008. Gangguan Kesurupan dan Terapi Ruqyah: Penelitian Multi Kasus Penderita Gangguan Kesurupan yang diterapi dengan Ruqyah di Dua Lokasi Pengobatan Alternatif Terapi Ruqyah. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Psikologi UIN Malang.

Pigeaud. 1938. Pertunjukan Rakyat Jawa: Tinjauan Umum Mengenai Pertunjukan

Liliweri, 2007, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, PT LKIS Pelangi Aksara

Budiningsih,2004, Pembelajaran Moral: Berpijak Pada Karakter Siswa dan Budayanya, Jakarta, Rineka Cipta,


(5)

Sugiyono,Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, (Bandung Alfabet, CV Desember 2014)

Sugiyono,Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, (Bandung Alfabet, CV Desember 2014)

Nanang Martono, ”StatistikSosial Teori dan Aplikasi Program SPSS”, (Yogyakarta: Gava Media, 2010)

Masri Singarimbundan Sofian Effendi. “Metode Penelitian Survei”, (Jakarta: LP3ES, 1989), Sugiyono, “Statistika untuk Penelitian”, (Bandung: Alfabeta, 2009)

M Muhyi Faruq,”Meningkatkan kebugaran jasmani melalui permainan dan olahraga pencak silat”, Grasindo, 2009

Djamaris E. Pengantar sastra rakyat. Ed-1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; 2001 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2012) Nursid Sumaatmadja,Op.Cit.

Selo Sumardjan,Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, rajawali, 1982

Ishomuddin, Sosiologi Prrspektif Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, Cetakan Pertama Januari 2005

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (PT Rajagrafindo Persada Jakarta 2013)

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung Remaja Rosdakarya 2006)

Wikipedia, Seni Tradisi Bantengan


(6)

Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, (Pustaka setia bandung), juni 2005

George Ritzer, Teori sosiologi Modern, (Kencana Predana Media Group Jakarta 2007) Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian (Alfabeta: Bandung, 2007)