Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Identitas dalam Ritual Tulude
BAB III SUKU SANGIHE DAN RITUAL TULUDE Suku Sangihe terletak di beberapa kepulauan daerah Propinsi Sulawesi Utara,
sekarang telah menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan Talaud,
1 Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan Kabupaten Kepulauan SITARO. Pada abad ke
XVIII, Talaud dan Sangihe menjadi satu bagian dalam struktur organsisasinya, dan
2
secara resmi pada tahun 1825 dimasukkan dalam keresidenan Manado. Pada perkembangan berikutnya, Talaud dan Sangihe menjadi satu kabupaten yang disebut Kabupaten Sangihe Talaud. Pada tahun 2002, berdasarkan UU No. 5 Tahun 2002, Talaud dimekarkan dari kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud, menjadi Kabupaten sendiri yaitu Kabupaten Kepualaun Talaud. Pada tahun 2007, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2007 tanggal
dari Kabupaten Kepulauan Sangihe mekar lagi satu kabupaten yaitu Kabupaten Kepulaun Siau, Tagulandang, Biaro (SITARO).
Berdasarkan kepentingan penelitian dalam tulisan ini, maka penulis
menggunakan dua lokasi kabupaten di atas untuk melihat bagaimana ritual Tulude
dalam mempengaruhi keberagaman identitas yang ada, sehingga terjadi perubahan
identitas. Hal ini dilakukan dengan cara menetapkan ketua adat kabupaten dan Petua
adat di beberapa desa atau kecamatan sebagai informan kunci untuk mendapatkan
data penelitian.Dengan demikian, maka pemaparan data dari hasil penelitian berikut akan
dibuat dalam bentuk klasifikasi dan sub tema untuk mempermudah memahaminya.
1 SITARO adalah singkatan dari Siau, Tagulandang, Biaro. Itu adalah nama-nama pulau yang terhimpun dalam territorial Kabupaten SITARO. 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud (Tahuna:
Pemaparan itu dimulai dari gambaran umum suku Sangihe, sampai pada bagaimana
ritual Tulude itu dilaksanakan dalam kehidupan mereka.3.1. GAMBARAN UMUM SUKU SANGIHE Pada bagian ini kita akan melihat uraian tentang gambaran umum suku Sangihe.
Kepentingan dari uraian ini tidak lain merupakan landasan pengantar untuk menunjukkan kalau beberapa kebiasaan yang terdapat dalam kehidupan suku Sangihe menyatu dalam praktek ritual Tulude. Pada sisi yang lain juga terdapatnya beberapa tindakan yang dilakukan oleh suku Sangihe yang melatarbelakangi praktek ritual
Tulude.
3.1.1. Asal Manusia di Suku Sangihe.
Latar belakang manusia yang hidup di suku Sangihe dapat ditemukan dari teks narasi yang diceritakan turun temurun dalam bentuk legenda dan mitos.
Berikut adalah kisah tentang asal manusia yang hidup di suku Sangihe.
3.1.1.1.Suku Apapuhang.
Suku Apapuhang adalah manusia pertama dalam legenda suku Sangihe yang pernah hidup di pulau Sangihe. Tempat tinggal mereka di cabang pohon. Lokasi tempat tinggal tersebut ada di antara daerah Mangaese dan Bowongkaleng, di sebuah lembah yang dikenal dengan sebutan Nambalang Apapuhang kecamatan Tabukan Utara. Bentuk fisik mereka tubuhnya pendek dan kerdil. Mereka memiliki kerajaan yang terletak di bawah bumi, dan letak jalan untuk menuju ke kerajaan itu berada di belakang air terjun Apapuhang di kampung Lenganeng. Menurut legendanya bahwa semua benda di kerajaan Apapuhang terbuat dari emas.
Suku Apapuhang terbagi atas beberapa kelompok yaitu: Deduhe
Batang (kelompok yang bertempat tinggal di bawah lindungan batang-
batang kayu besar yang tumbang); Dalige Kalinsu (kelompok yang bertempat tinggal di tengah-tengah akar papan dari pohon-pohon kayu yang besar); Tanak (kelompok yang lebih rendah dan mengembara dengan tidak menentu tempat tinggalnya) dan Nane (kelompok yang
3
disebut demikian menurut tempat kediamannya). Mereka hidup mengembara di hutan-hutan, dan makan buah-buahan, umbi-umbian, dan daging dari hasil buruan. Mereka menggunakan bahasa sendiri, yang sebagiannya sudah bercampur dengan bahasa yang dibawa dari Mindanao Selatan, yang merupakan bahasa Sangihe. Bahkan Brilman mengatakan, penduduk Sangihe termasuk suku-suku Indonesia dari
4 induk bangsa Melayu Polinesia atau Austronesia.
3.1.1.2.Suku Pêmpanggo Suku ini tidak memiliki tempat tinggal tetap. Mereka adalah manusia yang memiliki tubuh yang tinggi, melebihi manusia normal, tetapi badannya tidak terlalu besar. Letak dimana mereka hidup tidak diketahui.
3.1.1.3.Suku Angsuang.
Suku Angsuang adalah manusia berbadan tinggi dan besar (raksasa). Cerita tentang manusia ini menjadi legenda di kampung- kampung yang berada di kaki gunung Awu. Angsuang adalah tokoh dalam legenda Gunung Awu (nama gunung merapi), yang 3 menceritakan proses terjadinya letusan gunung berapi. 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 20.
Ada juga cerita-cerita atau legenda yang mengatakan bahwa masyarakat Sangihe merupakan keturunan bidadari dan keturunan raksasa yang pernah mendiami kepulauan ini. Ada juga yang mengatakan bahwa suku Sangihe berasal dari keturunan Mindanao
5 (Philipina), keturunan suku Ternate dan Bolaang Mongondow.
3.1.2. Arti Nama Sangihe.
Kata “Sangihe” dalam sejarah lisan suku Sangihe memiliki beberapa pengertian dan sumber dari kata itu sendiri, yaitu: pertama, kata
“Sangihe”
berasal dari bahasa Cina
“Sang” (tiga) dan I (sarang burung). Menurut cerita
6
para orang tua, dahulu ada pelaut Cina yang menemukan sarang burung ditiga tempat, yaitu Tabukan, Kalama (Tamako) dan Mahoro (Siau). Kata Sang-I kemudian menjadi Sangir yang berarti “tiga sarang burung”.
Kedua, menurut legenda kata “Sangihe” mula-mula berasal dari kata
“Sang-Hiyang”, karena Medellu dan Mekila yang dipandang sebagai manusia
yang pertama mendiami pulau Sangihe adalah orang khayangan. Jadi kata
7 Sangihe berarti “orang khayangan”.
Ketiga,
“Sangihe” berasal dari kata “Sangi” artinya menangis,
kemudian mendapat tambahan
“he” yang memberi penekanan suatu keadaan
dengan pengertian terisak-isak. Maka, kata Sangihe berarti
”menangis terisak-
8 isak”.
5 6 Wawancara (via telephone) tanggal 15 September 2017, Bpk. Semuel Ketua Adat SITARO. 7 Sangkar burung yang dimaksud ialah sangkar burung wallet. 8 Meddelu adalah raja pertama suku Sangihe, sedangkan Mekila adalah permaisurinya.
3.1.3. Keadaan Wilayah.
Sangihe merupakan daerah maritim atau bahari dengan luas lautnya
2
sekitar 25.000 km . Sangihe juga merupakan daerah kepulauan, dimana terdapat 112 pulau, yang terdiri dari 30 pulau (26,79%) berpenduduk dan 82 pulau (73,21%) tidak atau belum berpenduduk. Secara geografis kepulauan Sangihe
o o o
terletak antara 4 13” – 4 44’22” Lintang Utara dan 125 9’57” Bujur Timur. Dengan batas-batas wilayah: Sebelah Utara berbatasan dengan Republik Philipina; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Minahasa; Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi; Sebelah Timur berbatasan dengan
9 Kabupaten Kepulauan Talaud.
3.1.4. Bentuk Pemerintahan.
Pada awal abad XV, tepatnya tahun 1425, di kepulauan Sangihe telah lahir sebuah kerajaan bernama Tampunganglawo. Sistem pemerintahan diatur oleh raja, atau biasa disebut
“datu”, sebagai pemimpin. Tidaklah mengherankan kalau di Sangihe muncul banyak kerajaan, seperti kerajaan Kendahe, kerajaan Manganitu, kerajaaan Tagulandang, kerajaan Siau dan lain sebagainya.
Datu atau raja yang memimpin adalah Gumansalangi (yang lebih dikenal dengan nama Medellu) dan istrinya Kondaasa (Sangiang Mekila).
Gumansalangi yang mendirikan kerajaan Tampunganglawo. Wilayah
pemerintahannya meliputi Sangihe Talaud dan Philipina Selatan. Ketika
Medellu meninggal, ia digantikan oleh anaknya bernama Melintangnusa.
Setelah Melintangnusa meninggal, Kerajaan Tabukan terbagi dua, yaitu : 9 Kedatuan Sahabe di sebelah Utara, berpusat di Sahabe dan Kedatuan Salurang di sebelah Selatan, berpusat di Salurang. Dalam perkembangannya kedua kedatuan ini, dipersatukan oleh seorang pangeran yang bernama Makaampo, dialah cucu Melintangnusa. Wilayah pemerintahannya ialah Sahabe, Tabukan, Lapango, Kuma, Manalu dan Salurang.
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh dua bentuk organisasi kerajaan pembantu raja yaitu:
Bobato’n delahe, dan Bobaton’n bale.
Orgnasisasi pertama dikepalai oleh seorang “Mayore” atau “Mayore labo”. Bertugas menangani masalah sosial dalam masyarakat. Sedangkan
“Bobato’n bale ” dikepalai oleh Kapitalaung atau Kapten Laut, yang menangani masalah-
masalah khusus pemerintahan. Kapitalaung sebagai aparat pelaksana
10 pemerintahan di bawah Raja.
Pada pemerintahan raja-raja, Sangihe telah dijajah oleh bangsa Portugis dan Belanda. Kedudukan atau pemerintahan Raja-raja ini, sempat diganti pada waktu penjajahan Jepang, namun karena kekalahannya (Jepang), bangsa Belanda dengan NICA kembali ke Sangihe, yang merasa mendapat kesempatan untuk menerima kembali bekas jajahannya. Pada waktu itulah, kedudukan raja- raja di daerah Sangihe dikembalikan seperti dulu, dan berjalan sampai
11 terbentuknya NIT (Negara Indonesia Timur), tahun 1947.
Sejak tahun 1947, sistem pemerintahan mulai berubah, dan dipimpin oleh Kepala Daerah, namun kedudukan raja-raja masih tetap, sehingga dapat dikatakan bahwa Kepala Daerah ini hanya sebagai pengontrol pada waktu 10 pemerintahan Hindia-Belanda. Tahun 1950, terjadi perubahan, dengan
Wawancara (via telephone) tanggal 4 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat Sangihe. 11 terbentuknya Federasi Raja-raja. Dengan demikian, daerah Raja-raja diganti menjadi daerah Swapraja dengan Kepala Swapraja sebagai pemimpinnya.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan pemerintahan di Sangihe,
12 terbentuklah Dewan Pemerintahan Daerah, pada tanggal 24 Agustus 1951.
3.1.5. Kehidupan Sosial.
Keberadaan dari kerajaan-kerajaan di Sangihe, membuat atau telah menciptakan strarifikasi sosial yang menonjol dalam beberapa lapisan atau tingkatan, yaitu: Lapisan pertama, kaum bangsawan di lingkungan Istana; lapisan kedua, kaum bangsawan yang statusnya sebagai pembantu-pembantu Raja; lapisan ketiga, para pemimpin tingkat bawah, seperti kepala-kepala desa atau Kapitalaung dan warga biasa; dan lapisan keempat, kaum abdi yang
13 merupakan kaum pekerja.
Kerukunan hidup kekeluargaan di Kepulauan Sangihe sangat erat. Salah satu faktor yang mendukung kekeluargaan tersebut adalah sikap gotong-royong antara satu dengan yang lainnya. Tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat Sangihe, tercermin dari nilai dan pola kehidupan masyarakat, dalam bentuk
14 organisasi sosial, yaitu Mapalus.
3.1.6. Agama dan Kepercayaan.
Sebelum agama Kristen, Islam, Hindu dan Budha masuk di Kepulauan Sangihe, kira-kira abad I
- – XV, masyarakat Sangihe sudah memiliki keyakinan dan kepercayaan yang merupakan warisan nenek moyang, yaitu suatu 12 kepercayaan adanya makhluk halus, roh-roh halus, kekuatan gaib, benda-benda 13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 32.
- –Nederlands woordenboek, halaman 8 ). Priester memiliki pengertian sebagai
Pendeta, Padri atau Biksu di masa kolonial Belanda. Kata êmpu adalah kata dasar dari kata perempuan
Wawancara (via telephone) tanggal 4 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat Sangihe. 14 sakti, arwah orang yang sudah meninggal dan lain sebagainya. Mereka meyakini bahwa hal itu membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan. Sebab makhluk halus dan sebagainya ada yang mendatangkan kebaikan dan ada pula yang
15 mendatangkan malapetaka bagi mereka.
Mereka berusaha untuk mendekatkan diri kepada roh-roh yang memberikan kesejahteraan, menjaga dan melindungi kehidupan. Akan tetapi, mereka menjauhkan diri dari roh-roh yang membuat mereka menderita dan mendatangkan malapetaka dalam kehidupan mereka. Berbagai macam sesajian diberikan apabila mereka mengadakan penyembahan. Tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat adalah puncak bukit, puncak gunung, tanjung- tanjung, pohon besar dan tempat keramat lainnya, kadangkala tempat itu dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ritual tradisional. Masyarakat juga percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal tersebut, dapat memberikan perlindungan, kesehatan, kekebalan tubuh, memberi hasil panen
16 yang melimpah, dan hasil laut yang banyak.
Selain kepercayaan terhadap roh-roh halus, arwah orang mati, benda- benda sakti, kekuatan-kekuaran gaib, mereka juga mempunyai satu kepercayaan, bahwa ada suatu kekuatan yang lebih besar, yang berkuasa melebihi segala kuasa yang ada di bumi. Kuasa inilah yang disebut Ghenggona Langi Duata
Saluruang , yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam semesta”.
15 16 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 77.
Wawancara (via telephone) tanggal 4 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat
Ghenggona Langi diyakini dan dipercayai sebagai sesuatu yang suci dan
17 memberikan keselamatan bagi manusia.
Mereka tidak sembarangan menyebut Ghenggona Langi. Itulah sebabnya mereka menyebut Ghenggona Langi dengan Mawu Ruata atau Mawu Duata.
Sebutan Ghenggona Langi hanya dapat dijumpai dalam kata-kata permohonan doa, yang terungkap pada pelaksanaan ritual, termasuk ritual Tulude.
Ghenggona Langi- lah yang disembah dan dipuji. Itulah sebabnya Ghenggona Langi sering dikatakan “I Ghenggona Langi Duata Saluruang Manireda Bihingang
”, yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam semesta
18
melindungi kita semua ”.
Pada sekitar abad XV, masuk suatu aliran kepercayaan Islam, yang
19 Sistem pengajarannya diberikan secara lisan menamakan dirinya “Islam Tua”.
oleh pemimpin yang sifatnya turun-temurun. Agama Kristen (Protestan dan Katolik) masuk di Kepulauan Sangihe, pada abad XVI dan XVII, dibawa oleh para Pastor bangsa Portugis dan Spanyol, dan para Pendeta bangsa Belanda yang ikut serta dengan VOC. Mereka menyebarkan dan mengajarkan ajaran atau agama Katholik dan Protestan, yang oleh penduduk disambut baik. Tahun 1683, Ds. Corneles de Leuw, seorang Pendeta yang berasal dari Belanda, memperkenalkan agama Kristen, sampai ke pelosok desa. Dialah Pendeta
20
pertama yang berkhotbah dalam bahasa Sangihe. Kemudian pekerjaan
21 penginjilan itu dilanjutkan oleh suatu Badan penginjil dari Belanda yaitu NZG.
17 Wawancara (via telephone) tanggal 12 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat Sangihe. 18 19 E. Tatimu, Sejarah Gereja Maranatha Tahuna 1924-1996 (Tahuna : GMIST Maranatha, 2000), 3. 20 Kepercayaan ini sampai sekarang masih ada, dan tersebebar dibeberap daerah di Sangihe. 21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 41.
Kemudian pada abad XIX, masuk agama Islam di Kepulauan Sangihe. Agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Ternate. Sistem pengajarannya sama dengan sistem pengajaran agama Islam di seluruh Indonesia.
3.1.7. Hukum Adat.
Dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Sangihe, terdapat larangan- larangan yang bersifat mengatur, sesuai dengan fungsinya mempererat hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Pada zaman dahulu, apabila ada anggota masyarakat yang kedapatan berbuat dosa, apalagi menyangkut perkara
22
nedosa , maka para Petua adat setempat mengadakan sidang untuk
menjatuhkan hukuman berupa sanksi. Ada tiga bentuk perkara Sumbang yaitu: Sumbang Berat, Sumbang Ringan dan Sumbang Enteng .
Sumbang Berat adalah dosa yang diakibatkan oleh karena adanya
tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh seorang ayah dengan anak perempuannya (anak kandung), persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bersaudara kandung, persetubuhan seorang ibu dengan anak laki-lakinya (anak kandung). Sumbang Biasa adalah dosa yang dilakukan karena adanya persetubuhan seorang ayah dengan anak tiri perempuan, ibu dengan anak tiri laki-laki, persetubuhan antara suadara yang berada pada posisi keturunan ke- empat, laki-laki yang beristri bersetubuh dengan kaka atau adik perempuan dari istrinya (saudara ipar) atau sebaliknya, seorang laki-laki yang bersetubuh dengan dua orang perempuan yang bersaudara kandung, walaupun laki-laki itu tidak menikah dengan salah satu diantaranya. Sumbang Enteng adalah dosa yang
22 dilakukan karena adanya persetubuhan laki-laki dan perempuan yang bersaudara
23 pada keturunan ke-enam.
Perkara nedosa atau sumbang dapat menimbulkan malapetaka, seperti: hujan lebat, tanah longsor, gempa bumi, banjir besar, wabah penyakit dan lain sebagainya. Apabila terjadi peristiwa alam tersebut, para orang tua berjalan berkeliling mencari penyebabnya, dengan bertanya kepada orang-orang sampai diketahui. Jika telah terungkap, dimana ada masyarakat yang melakukan perkara
nedosa atau kesalahan lainnya, maka alam pun mulai tenang kembali seperti
keadaan semula. Kemudian berkumpulah para orang tua dan Petua adat mengadakan musyawarah dan merencanakan untuk mengadakan ritual pentahiran. Kadangkala orang tersebut akan dijatuhi sanksi, seperti: Salahoko (memberi denda kepada pelanggar adat tersebut), Iwembang (diasingkan dari tengah-tengah masyarakat umum), Memohang (plakat, bagi mereka yang mencuri). Hukum adat yang masih berlaku sampai sekarang adalah menyangkut
24 perkawinan sampai pada tingkat ketujuh.
3.1.8. Kesenian Daerah.
Kesenian masyarakat Sangihe pada umumnya sama, baik mereka yang ada di pulau Sangihe, Siau, Tagulandang dan pulau-pulau lainnya di Sangihe.
Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau minat masyarakat semakin berkurang, banyak kesenian daerah yang sudah tidak digunakan lagi, bahkan beberapa
25
diantaranya sudah hilang sama sekali. Adapun kesenian daerah Sangihe, yaitu:
23 24 Keduanya masih dapat dinikahkan apabila mendapat persetujuan dari keluarga kedua belah pihak.
Wawancara (via telephone) tanggal 9 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat Sangihe. 25 Wawancara (via telephone) tanggal 6 September 2017, Bpk. Muntiaha Petua Adat SITARO
3.1.8.1.Seni Vokal.
Suku Sangihe mengenal beberapa bentuk seni vokal yaitu:
Sasambo merupakan ungkapan syukur, pujian dan doa, yang
berupa puisi, syair, peribahasa atau perumpamaan yang dilagukan. Selain itu, sasambo juga merupakan ungkapan hati yang memiliki arti yang mendalam dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi ritual adat yang digelar saat itu. Sasambo dengan pukulan tagonggong dikenal sebagai pengiring tari Gunde. Dinyanyikan dalam bentuk solo dan koor, oleh pria maupun wanita, dengan bahasa sastra.
Kakumbaede merupakan nyanyian permintaan doa, yang
dilakukan dalam ritual adat termasuk ritual adat Tulude. Diucapkan dalam bahasa sastra dan dibawakan dalam bentuk solo atau koor secara bergantian. Lagu dan syairnya berubah-ubah mengikuti maksud dan tujuan pelaksanaannya.
Kakalumpang merupakan nyanyian dalam bentuk grup, yang
dinyanyikan sementara mencukur kelapa. Kakalumpang menggambarkan suatu kehidupan berdasarkan asas gotong royong.
Mebawalase adalah bentuk bernyanyi secara bergantian atau
berbalasan syair lagu. Dalam perkembangannya disebut Masamper atau
Samper yang dinyanyikan dalam bentuk koor atau secara bersama-sama.
3.1.8.2.Seni Musik.
Ada juga beberapa model seni musik sebagai berikut:
Musik Bambu ; merupakan alat musik yang terbuat dari bambu,
tanpa dicampur dengan bahan lainnya. Memiliki bermacam ukuran mulai dari yang kecil sampai besar, yang membawakan lagu dalam berbagai irama. Menurut jenis dan fungsinya, musik bambu terdiri atas: Seruling (kecil dan besar), sebagai melodi atau pembawa lagu; Terompet, Saxafon, Trombon dan Klarinet, sebagai pengantar atau pembantu melodi (Improvisasi); Korno dan Bambu Tengah, sebagai pengiring arsis; Bas, sebagai pengiring thesis; Tambur, sebagai ritmis. Musik ini dimanfaatkan sebagai alat hiburan, yang juga dipakai dalam ritual adat.
Musik Oli, merupakan musik tradisi yang dipakai dalam ritual
adat, seperti ritual adat Tulude. Merupakan alat pemujaan yang hanya dimainkan dalam empat nada. Musik ini sudah mulai punah dan hanya terdapat di daerah Manumpitaeng (Manganitu).
Tagonggong , sejenis tambur yang berbentuk silinder, pada salah
satu ujungnya ditutup dengan kulit kambing. Digunakan untuk mengiringi lagu Sasambo, tari-tarian dan dibunyikan sebagai tanda dimulainya ritual adat Tulude.
Nanaungang (sejenis gong, tapi berukuran besar) terbuat dari
kuningan, dipakai sebagai pembuka ritual adat, termasuk ritual adat Tulude (dibunyikan tiga kali).
3.1.8.3.Seni Tari.
Terdapat enam jenis tari dalam kehidupan suku Sangihe yaitu: Pertama, Tari Gunde. Merupakan tarian yang dipakai dalam ritual adat menyembah Ghenggona Langi Duata Saluruang. Merupakan satu tarian penyembahan, yang penarinya adalah kaum perempuan. Gerak tari Gunde menggambarkan kehalusan budi dan ketinggian watak perempuan Sangihe.
Kedua, Tari Salo . Merupakan tarian perang yang menggambarkan kekesatriaan dan kepahlawanan, serta kejujuran, demi keadilan menyerahkan tubuh dan jiwa sampai titik darah terakhir, setia membela pemerintah, bangsa dan negara. Tari Salo merupakan induk dari tari yang ada di daerah Sangihe.
Ketiga, Tari Upase. Merupakan tari pengawal atau tarian pengawal terdepan. Tari Upase menerima dan mengawal para tamu, pemimpin tokoh adat, dan mengawal kue adat Tamo Banua.
Keempat, Tari Alabadiri. Merupakan tarian perang, yang menggambarkan diri sebagai pengawal istana. Dalam tarian ini, terkandung nilai budaya yang mendalam tentang hakekat atau citra pemerintah dan rakyat yang tercermin dalam setiap gerakannya. Alat yang digunakan adalah: Kalubalang/Kaliau (Perisai), Toketing (rotan yang dibelah tiga), Sinsing (cincin yang terbuat dari kulit kerang putih yang diasah), dan Sondang (pisau bermata dua, terbuat dari kuningan).
Kelima, Tari Bengko, merupakan tarian perang. Tarian ini menggambarkan sikap rakyat yang membela bangsa dan tanah air. Alat yang digunakan adalah tombak.
Keenam, Tari Ransansahabe; merupakan tarian perang, yang melambangkan kesiapan atau kesiagaan seorang prajurit mempertahankan wilayahnya dan pengamanan pemerintahan. Alat yang
26 digunakan adalah kelung dan bara.
26
3.1.9. Ritual Adat.
27 Adapun ritual adat yang ada di Sangihe, sebagai berikut: Menulude atau Tulude , merupakan suatu ritaul doa pengucapan syukur kepada Tuhan, karena kasih-Nya yang dilimpahkan dalam setahun yang silam.
Ritual ini juga dimaksudkan untuk memohon, kiranya hidup dimasa mendatang senantiasa mendapat perlindungan. Penjelasan lebih lanjut untuk ritual ini akan dibahas pada bagian berikut dalam bab ini.
Menahulending , merupakan ritual dalam bentuk doa rakyat untuk
seseorang atau kelompok, yang dilakukan atas inisiatif rakyat, tanpa diminta oleh pihak yang hendak didoakan. Adat tersebut antara lain diberikan kepada: Pemimpin wilayah, pengantin, tokoh-rokoh masyarakat (tukang pandai besi, bidan desa), Petua adat dan pengantin.
Dumangeng Bale (naik rumah baru); merupakan ritual permohonan doa
kepada Tuhan, kiranya rumah tersebut akan menjadi tempat tinggal yang mendatangkan kebahagiaan kepada pemiliknya.
Menahulending Mepapangentude (adat perkawinan); di Kepulauan
Sangihe, apabila dua insan pemuda dan pemudi dijodohkan atau dinikahkan, maka harus melalui tata cara adat sebagai berikut: Mengonong (permulaan peminangan), Metahi Awui ( menuturkan asal usul), dan Mepapangentude (pesta perkawinan).
27
Salimbangu Banua/Wanua ; merupakan pesta rakyat masyarakat Sangihe,
yang bertujuan mengakrabkan dan meningkatkan kerjasama, persatuan dan kesatuan.
3.1.10. Pakaian Adat.
Terdapat empat model pakaian adat suku Sangihe, yang terbuat dari serat
28
29 kofo yang ditenun yaitu:
Pertama, Laku Tepu: Model laku tepu ini panjang hingga menutupi mata kaki dan berlengan panjang serta bagian leher berbentuk bulat polos, yang diberi renda dibagian pinggir bawah pergelangan tangan dan melingkari bagian leher.
Laku tepu tidak menggunakan kancing. Untuk pria, baju panjang hingga
menutupi telapak kaki, dan lubang bagian lehernya berbentuk setengah lingkaran. Dan untuk wanita : Baju panjang hingga pertengahan betis dan kain sarung. Kedua, Baniang: Merupakan laku tepu yang dimodifikasi, bentuk lengannya panjang, potongan leher berbentuk bulat polos, tapi panjang baju hanya sampai sebatas pinggul, bagian depan terbelah dan memakai kancing baju. Sebagai pasangannya, dipakai celana panjang. Ketiga, Kongkong: Berbentuk celana yang panjangnya sampai pada bagian betis, antara tumit dan lutut. Keempat adalah Kingking: Sejenis kaos oblong masa kini, hanya tanpa lengan.
28 Kofo adalah rajutan yang berasal dari tradisi Phlilina (Manila) yang terbuat dari pisang hote, daun
nenas, daun pandan. Namun sampai sekarang, pakaian adat sudah tidak dibuat dari serat kofo, melainkan
dari kain modern seperti kain Satin dan Bludu. 293.1.11. Atribut Yang Digunakan.
30 Adapun atribut yang digunakan adalah: 3.1.11.1.
Soho U Wanua (kalung panjang).
Atribut yang dipakai sebagai pelengkap dalam pakaian adat untuk menghadiri ritual yang akan dilaksanakan. Atribut ini biasanya dipakai oleh pemimpin adat atau pelaksana ritual adat.
3.1.11.2. Paporong/Umbe (penutup kepala), Merupakan bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat
Sangihe. Paporong berbentuk segitiga, yang dilipat berulang-ulang sehingga menyisahkan sedikit tonjolan yang berbentuk segitiga di tengah. Ada dua jenis paporong, yakni: Paporong lingkaheng, dipakai oleh rakyat biasa dan paporong kawawantuge atau paporong hiteng
datu , dipakai oleh kaum bangsawan atau keturunan raja. Ada lima
bentuk Paporong/Umbe yaitu: pertama, Umbe Maratu, melambangkan beban dan tanggung jawab seorang raja atau pemimpin. Kedua, Umbe
Alabadiri/Ransa, melambangkan rasa hormat dan kepatuhan. Ketiga, Umbe Upase, melambangkan sifat penurut. Keempat, Umbe Salo,
melambangkan kepeloporan dan keberanian. Kelima, Umbe Apang Elo, dipakai oleh orang tua setiap hari.
3.1.11.3. Salikuku/papehe (ikat pinggang).
Atribut yang dipakai dibagian pinggang dengan model dilingkar dan diikat. Atribut ini juga dipakai oleh pemimpin adat dan pelaksana ritual adat.
30
3.1.11.4. Bawandang liku (selendang panjang).
Di letakkan di bahu kanan dengan kedua ujungnya dipertemukan di pinggang sebelah kiri, ujungnya dibiarkan terurai, dan salah satu ujungnya dapat dipegang. Untuk pria menggunakan atribut :
Soho u wanua, paporong, salikuku/ papehe . Dan untuk wanita
menggunakan atribut : Soho u wanua (tiga lapis mulai dari yang pendek
31
sampai yang panjang), bawandang liku (untuk keturunan bangsawan memakai kaduku atau anumitung, yang bentuknya hampir menyerupai selendang, tetapi kedua ujungnya dijahit membentuk lingkaran), gelang, genop keemasan pada lengan baju sebanyak sembilan buah, pusige (konde tegak lurus di atas kepala).
3.1.12. Warna pakaian.
32 Warna yang digunakan adalah warna khas masyarakat Sangihe, yaitu: Ledo (agak putih), merupakan warna asli kain kofo, yang melambangkan
kesucian. Maririhe (Kuning tua), melambangkan keagungan, dihormati dan mendatangkan kebajikan. Kamumu (ungu), melambangkan kesetiaan, keteladanan, kasih sayang dan semangat yang tinggi. Mahamu (merah), melambangkan keberanian. Melong (hijau), melambangkan kesuburan dan kesejukkan. Biru (biruh), melambangkan masyarakat bahari.
3.1.13. Bahasa.
Bahasa Sangihe termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia atau Melayu Polinesia, dan tergolong dalam kelompok bahasa-bahasa di Philipina. 31 Bahasa Sangihe dibedakan atas tiga dialek yang pengenalannya antara lain pada 32 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 76 - 77
vokal akhir kata, seperti : Dialek Sangihe Besar: memakai vokal akhiran (-e), dialek Siau: memakai vokal akhiran (-e) dan dialek Tagulandang: memakai
33 vokal akhiran (-i).
Masyarakat Kepulauan Sangihe, menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Sedangkan bahasa ibu (daerah) dipakai dalam percakapan setiap hari. Dalam pemakaian bahasa daerah Sangihe terdiri atas bahasa umum dan bahasa Sastra. Bahasa umum, merupakan bahasa Melayu yang dipakai dalam interaksi setiap hari. Bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan dalam pengajaran di sekolah atau dalam berkhotbah. Orang-orang tua yang tidak pernah sekolah tidak mengerti bahasa tersebut, walaupun demikian mereka ahli dalam bahasa sasahara atau bahasa rahasia, yang digunakan di laut untuk
34
menipu setan-setan. Bahasa Sasahara (bahasa samaran) bahasa daerah yang kata-katanya sangat dalam, biasanya hanya dimengerti oleh orang-orang tua.
Bahasa Sasahara terbagi atas dua, yakni: Bahasa Sasahara, digunakan di laut, dan Bahasa Sasaili, digunakan di darat.
3.1.14. Bahasa Sastra.
35 Bahasa adat atau bahasa yang banyak digunakan dalam ritual adat.
Beberapa contoh bahasa umum, sastra, dan sasahara sebagai berikut: Bahasa Umum Bahasa Sastra Bahasa Sasahara Bahasa Indonesia
Sakaeng Pato / dalukang Malimbatangeng Perahu
33 34 Wawancara (via telephone) tanggal 15 September 2017, Bpk. Semuel Ketua Adat SITARO. 35 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 27.
Menurut Brilman, bahasa-bahasa ini kaya akan bentuk-bentuk, mengandung banyak cerita, teka-teki, nyanyian kepahlawanan, pesta, doa dan
36 mantera.
3.1.15. Sistem Mata Pencaharian.
Masyarakat Sangihe pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam bahan-bahan makanan seperti: ubi kayu, ubi jalar, keladi/ talas, pisang, serta sagu, untuk memenehi kebutuhan hidup sehari- hari. Terkadang, hasil panen tanaman mereka jual di pasar tradisional. Selain itu mereka juga menanam tanaman tahunan sebagai tanaman produksi, yaitu: kelapa, cengkih, coklat, pala, dan lain sebagainya. Selain petani, masyarakat Sangihe juga bermata pencaharian sebagai nelayan.
Di Sangihe, terdapat juga industri kecil, yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, seperti: Kerajinan bambu cina, mereka membuat tempat duduk dan meja; kerajinan tanah liat, mereka membuat papedang (tempat memasak sagu);
kerajinan tikar dan tolu, mereka membuat tikar dari pohon nameng (sejenis
pohon pinang) dan rotan, serta tolu dari daun pandan dan daun sesa; kerajinan
pandai besi, masyarakat Sangihe juga membuat pedang, pisau dari besi, yang
37
pengolahan dan pembuatannya masih secara tradisional. Ada juga masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang (pada umumnya orang Gorontalo, Arab dan masyarakat Tionghoa), Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI Polri dan buruh/tukang bangunan.
36 37 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 27.
3.1.16. Sistem Ilmu Pengetahuan.
Walaupun daerah Sangihe merupakan daerah tertinggal baik infrastruktur dan suprastruktur, tetapi mereka memiliki pengetahuan yang didapatkan dari nenek moyang tentang ilmu perbintangan, bulan, mata angin, pergantian musim, untuk dipakai ketika mereka menyusun strategi bertahan hidup dengan daerah mata pencaharian yaitu di laut dan di darat. Di laut pengetahuan itu dipakai untuk menentukan kapan ikan akan didapatkan dengan cukup melimpah, sedangkan di darat dipakai kapan musim yang tepat untuk bercocok tanam.
38 Demikianlah selayang pandang daerah dan masyarakat Sangihe, yang menggambarkan kehidupan masyarakat Sangihe secara umum, untuk diketahui.
Berikut ini kita akan membahas tentang ritual Tulude yang memiliki beberapa proses sehingga dinamakan ritual Tulude. Sebelum disebut ritual Tulude, namanya adalah Sundeng. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya perubahan ritual
Sundeng ke Tulude. Oleh karena itu, terlebih dahulu kita membahas tentang ritual
Sundeng , kemudian bagaimana sehingga dari ritual Sudeng menjadi ritual Tulude.3.2. RITUAL SUNDENG
Sundeng artinya pengorbanan besar. Meskipun belum ada data pasti mengenai
keberadaan Sundeng di masa lalu, tetapi bukti keberadaan Sundeng masih ada sampai saat ini dalam bentuk tradisi lisan. Masyarakat Sangihe menyebut tempat ritual tersebut sebagai tamp ă atau tampă u pêngamałeng (menyembah dan memuja). Kegiatan utama dari mengamałě adalah mě hale.
38
Mě hale adalah prosesi ritual pemujaan yang dilakukan dengan cara bernyanyi.
Lirik-lirik nyanyian
mě hale adalah syair mantera. Jika para pengikut Sundeng sedang
mě hale, kegiatan tersebut dinamakan mě kałantô yang berasal dari akar kata kałantô
(nyanyian kematian). Proses “kałanto” dilakukan pada ritual pengorbanan saat korban sedang menghembuskan nafas-nafas terakhir. Mê kalantô dilakukan dengan cara berbalas atau “mě bawaļisě/mê bawaļasê” oleh pelaku mě kalantô dengan cara dinyanyikan. Lagu-lagu mêkalantô bernada pentatonis. Menyanyikan lagu dengan
39
gaya mêkałanto disebut “mě ganding”.
Selain kegiatan
mě kalanto, dalam ritual Sundeng dilakukan juga kegiatan
40 Sumalo atau (tari pengorbanan). Tarian ini hanya ditarikan oleh Ampuang. Gerakan
tari Sumalo adalah berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat sambil memegang
Bară
(pedang). Konsep tari Sumalo adalah peperangan melawan roh jahat yang mengganggu jiwa korban saat akan terlepas dari raga.
Melakukan gerak Sumalo juga disebut sebagai mê salai (menari), sedangkan gerak tarinya dinamakan kengkeng (meledak, pincang) atau taha (batang pohon.) Dinamakan kengkeng karena salah satu gerakannya adalah menghentak-hentakan kaki di tanah menyerupai cara berjalan orang pincang, sehinga menimbulkan bunyi yang kuat. Dinamakan “taha”, karena para penari juga menghentakkan kaki di batang pohon. Tarian kengkeng memiliki kesamaan fungsi dengan tari lide (tekan). Akan tetapi yang membedakan tarian kengkeng dan lide adalah, tarian kengkeng kaki dari 39 Pentatonik itu berasal dari kata penta (lima) dan tonic(nada). Tangga nada pentatonik ini dibentuk
dengan mengurangkan nada ke-4 dan ke-7 dari struktur oktaf 8 nada. Sehingga dia nadanya menjadi
1,2,3,5,6 (do, re, mi, sol, la). Pentatonik sebenarnya kebanyakan digunakan untuk musik modern maupun
tradisional di berbagai negara di dunia ini, seperti Cina, Jepang, dan Indonesia. 40 Sebagai pemimpin tertinggi yang juga bertugas memimpin ritual pengorbanan. Kata ampuangmemiliki pengertian yang serupa dengan kata pu, êmpu yang berarti priester (Mr.K.G.F. Steller en
Ds.W.E.Aebersold, Sangirees
Suku Sangihe sangat meyakini bahwa ketiga hal di atas adalah representasi dari kutukan yang Ilahi atas pelanggaran manusia dalam kehidupan bersama. Untuk menghilangkan kutukan tersebut, harus melalui ritual pengorbanan manusia yang dilaksanakan dalam ritual Sundeng. Dalam ritual pengorbanan itu yang dikorbankan adalah seorang perempuan yang masih perawan.
Pada tahun 1674-1676 penginjil protestan dari Belanda tiba pertama kali di Sangihe, dan menjelang 1700 hasil dari pengajaran itu melahirkan pandangan baru tentang korban yang biasa dipakai dalam ritual Sundeng. Mereka melarang menggunakan manusia sebagai korban dan menggantikannya dengan hewan yaitu babi. Kriteria dari hewan babi ini sebagai korban ialah gemuk, berbulu seluruh tubuhnya dan berkulit hitam.
Di pertengahan tahun 1800, badan penginjilan Belanda (NZG) mengirim utusan dari Minahasa bernama S.D. van der Velde van Capellen ke pulau Sangihe dan membaptis 5033 orang menguatkan pemahaman bahwa sejak saat itu semakin berkurangnya penganut Sundeng. Kedatangan S.D. van der Velde van Capellen sampai masuknya utusan injil dari Zendeling Werklieden tahun 1857, berdampak kepada penganut Sundeng yang selanjutnya menemukan jalan simpang. Sebagian penganut, tetap menjalankan
kałanto sebagai warisan tradisi Sundeng dan sebagian
41 lagi menemukan tradisi baru yaitu medarorô.
Seiring dengan masuknya agama Kristen di kepulauan Sangihe, maka
mêkałantô, mě hale, dan mêdarorô dalam ritual Sundeng, tidak lagi diterima oleh
sebagian besar masyarakat Sangihe yang sudah beragama. Kemudian lahirlah sebuah tradisi baru yang dinamakan Tuludê. Rentang waktu berakhirnya tradisi sundeng ke tradisi
Tułudê diperkirakan pertengahan tahun 1800, karena agama moderen masuk
42 direntang waktu tersebut.
3.3. RITUAL TULUDE
Ritual Tulude adalah tradisi nenek moyang tentang makan bersama yang telah dilaksanakan dalam kurun waktu ratusan tahun oleh suku Sangihe. Ritual Tulude ini juga dipahami sebagai suatu proses penolak bala atau menolak segala sesuatu yang
43 mendatangkan malapetaka dalam kehidupan masyarakat.
3.3.1. Asal Kata.
Pada halaman empat dalam tulisan di bab I, telah diuraikan sedikit tentang pengertian kata Tulude. Penguraian itu ialah ritual Tulude merupakan ritual penolakan terhadap suatu kejadian buruk yang akan terjadi dalam kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah dari mana asal kata Tulude? Kata ini berasal dari nama bulan dalam bahasa Sangihe. Bulan tersebut ditetapkan dalam
o perhitungan bintang Fajar yang letaknya 90 tegak lurus dengan ubun-ubun. 41 Bintang Fajar itu disebut (Kadademahe Daluhe), sedangkan nama bulannya Medarorô artinya memanggil arwah, dari kata dasar dorô yang berarti hinggap atau kemasukan.
Arwah-arwah yang dipanggil adalah arwah leluhur atau arwah orang sakti. Biasanya dalam setiap kegiatan
medarorô, yang dilakukan adalah meminta obat untuk menyembuhkan orang sakit yang sedang sekarat,
juga penyucian dan pembersihan diri atas penderitaan. 42 43 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 153.44
disebut Tulude. (kecurigaan bahwa ritual Tulude adalah ritual penyembahan yang dilakukan 1 bulan sekali, bukan satu tahun sekali. Kemungkinan itu adalah ritual penyembahan bulan dilangit yang ke 8, 9, dan 10).- kapan penanggalan ritual ini? Apakah perhitungan bintang ini tidak dipengaruhi oleh perhitungan bintang dan bulan dalam kalender modern? Mengapa dia menjadi satu tahun sekali, bukan 1 bulan sekali? Jika memang 1 bulan sekali? Maka yang harus dicari adalah kebiasaan yang dilakukan setiap 1 bulan.
3.3.2. Arti Kata.
Ada beberapa pengertian dari kata Tulude yang dipahami oleh suku Sangihe. Mereka mengunakan kata “tulide” untuk memahami kata Tulude.
Tulide terdapat dua pengertian yaitu; pertama, meluruskan perjalanan kehidupan
di tahun yang baru. Kedua, cara meluruskan semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh masyarakat di tahun yang berlalu. Kemudian arti kata ini juga dimengerti dari kata
“menuhude” artinya mendorong cara hidup manusia untuk
45 berjalan kedepan dengan penuh selamat.
Pengertian yang lain tentang kata Tulude yaitu dipahami sebagai singkatan dari kata Tulung (penolong, menolong dan pertolongan), Lukade (penjaga atau menjaga),dan Dendingang (menyertai atau penyertaan). Oleh karena itu dalam hal ini Tulude diartikan sebagai ritual permohonan kepada
Ghenggona Langi Duata Saluruang (Ilahi /Tuhan) untuk menolong, menjaga
46 dan menyertai kehidupan seluruh suku Sangihe setiap saat.